Tumgik
biru-mudaa · 1 year
Text
Sesering apapun terjadi, perpisahan, akan selalu membawa suasana getir pada pelakunya. Kelebatan memori tentang apa yang pernah terjadi, seringnya membawa kembali hangatnya senyum dan tawa yang pernah ada, bahkan dinginnya sendu dan air mata. Tapi pada akhirnya, kenyataan itu benar adanya, perpisahan mau tak mau tetap terjadi, waktu terus berjalan, dan kita pulang ke jalan masing2.
11 notes · View notes
biru-mudaa · 1 year
Text
Kita punya impian, semesta punya kenyataan.
0 notes
biru-mudaa · 2 years
Text
Feeling enough for what you have and who you are💛
2 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Kubawa diri dalam lelah yang tiada sudah; pada letih yang membawa rintih.
Kujauhkan logika pada hal yang nyata; kusesatkan asa dari percaya.
Sampai mana ujungnya? Dimana tepinya?
Entah..
Bantu aku kembali bertemu jalan pulang, ya?
—biru-muda
4 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Sebentar saja
Aku, sedang rindu
Pada kata yang terpilin menjadi doa, menjadi cerita
Pada aksara yang tersusun menjadi mantra
Yang menguatkan, yang menenangkan
Yang membawa kesadaran setelah tanda baca terakhir disematkan
Aku, sedang rindu
Pada sunyi, sepi, yang menggema ke setiap sudut
Pada gulita yang mengisi setiap titik
Pada tenang, pada hening
Pada napas panjang dan mata terpejam
Pada rintih nan teduh
Pada penerimaan terluas, terlepas, terikhlas
Terlalu banyak suara
Terlalu banyak cahaya
Terlalu bising, terlalu riuh
Membuat semua gaduh
Membungkam suara yang ada
Memendam rasa yang meraja
Menyembunyikan segala nestapa
Menahan aliran cerita
Agar hanya ada suka, dan lelah pada akhirnya
Maaf, aku hanya sedang rindu..
Bisa kau bawa kembali semua itu untukku?
Sebentar saja.
—biru-mudaa
3 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Bukan ketinggalan, hanya belum ketemu waktu yang tepat aja.
Bukan berantakan, hanya belum terbiasa aja.
Bukan hancur, hanya belum kuat aja.
Bukan gagal, hanya belum mencoba lagi aja.
.
Kadang, di saat-saat menegangkan itu, saat percaya dan kecewa mulai bertarung untuk memenuhi relung, memang hanya mindset yang bisa menjadi penolong.
Gapapa, pelan-pelan, nanti pasti bisa, nanti pasti sampai.
—biru-mudaa
6 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Di tetes hujan yang ke sekian, aku memandangmu. Jauh, jauh sekali, sampai tak nampak apa yang kupandang. Hanya sepi, hanya bayanganku sendiri.
Lalu di tetes yang kemudian, aku mendengar suara mengalun. Adalah tulus, lembut mengalus. Adalah rentetan kata yang tersusun menjadi doa.
.
"Semoga kamu baik-baik,"
Lalu pikirku berkelana kemana-mana,
"Kalau sedang tidak baik, semoga kamu segera membaik."
Imajinasiku melayang semakin jauh,
"Semoga waktu yang baik segera membawa kabar baik!"
.
Lalu hujan menipis, meninggalkan dingin dan hening. Seperti doa yang kubawa, menguap begitu saja. Tapi tidak hilang, mereka lalu melekat pada pohon-pohon harapan, bernaung di bawah langit keajaiban, dan siap membawa kejutan di hari-hari kemudian.
-biru-mudaa
4 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
(jangan menghindar dari perasaan yg hadir)
Ngga akan pernah selesai kalau kamu ngga mau menyelesaikannya, kalau kamu terus menghindarinya. Denial ga bikin hati kamu membaik, ga bikin kamu lepas dari rasa sakitnya juga, kan? Akui aja, setidaknya ke dirimu sendiri, Dir.
Semua udah terlanjur berantakan, Din. Aku ga tau mesti beresin darimana.
Terus ketika kamu diemin aja, apa semuanya jadi beres? Apa hati kamu jadi tenang? Aku yakin banget, masih ada gemuruh dalam hati kamu, masih banyak tanda tanya di kepala kamu, masih banyak ragu, masih banyak takut, masih banyak khawatir, masih ada perasaan bersalah. Dan harus inget, itu semua ga akan ada ujung nya kalau kamu ga berusaha untuk menyelesaikan, atau sekedar mengakuinya. Selama ini kami denial terus. Kamu selalu menganggap all is well, padahal ngga kan? Kamu yang bisa nentuin kapan ketidaknyamanan dalam hidup kamu bisa selesai.
Terus kamu mau aku berbuat apa?
Jangan cuma nunggu, jangan nunggu semua hilang gitu aja, lenyap gitu aja, berharap memori kamu mereset ingatan ga enak tentang hal itu secara otomatis. Ga akan selesai, Dir. Selesaikanlah secara sadar. Kalo kamu mau melupakan dan ga peduli dengan lukanya, atau mau berlapang hati menerima pedihnya. Lakukan itu semua dengan sadar, ajak diri kamu untuk sama-sama ambil tindakan. Bukan cuma didiemin dengan harapan bisa hilang gitu aja. Pasti deh, akan ada perasaan ga enak yg masih tertinggal, dan entah akan sampai kapan.
Tapi rasanya udah terlalu jauh, aku ngerasa ga dapat momentum yang tepat aja, bahkan mungkin udah ga ada.
Dan akan terus semakin jauh kalau kamu ga mulai dari sekarang. Mau menunggu sejauh apa lagi?
-biru-mudaa
6 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Gelap tak selalu soal derita. Gemerlap tak melulu membawa bahagia. Kita harus belajar paham, Sayang. Ada jutaan cerita yang disuguhkan semesta; bercampur baur dari ramuan rasa. Saling berganti; tak abadi. Bumi pun tak hanya berisi siang, tak sepanjang waktu berhias malam, bukan? Semua sementara saja memang.
Begitu juga hadirnya kita, takkan terjamin selalu ada.
—biru-mudaa
5 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Hujan paling jujur
"Eh disini toh... Dicariin loh dari tadi." Coco datang dengan raut wajah terlihat lega.
"Co, ada apa?" Saras menoleh setengah kaget, tangannya masih erat menggenggam cangkir berisi minuman hangat.
"Dicariin yang lain tuh.." Coco sudah bergerak menuju posisi di dekat Saras. "Ga kedinginan, Ras?" Cuaca sedang dingin memang, serasa ada uap yang ikut terhembus saat ia buka suara, saking dinginnya.
Udah terlanjur beku, Co.
Saras tak menjawab, matanya bergerak menunjuk cangkir di genggaman sebagai jawaban pertanyaan Coco.
Hening sesaat. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing.
"Gue liat lo kayanya tenang banget ya menikmati hujan, sendirian begini?" Coco kembali membuka suara, nadanya berat, kalau Saras 'sehat' seharusnya ia sudah terpana hanya dengan mendengar suara itu.
Saras tersenyum, "Hujan itu menyuguhkan waktu bagi sesiapa saja untuk jujur, Co."
Coco masih diam, bukan karena bingung. Coco memang ingin mendengar rentetan kata lainnya dari Saras.
"Sama hal nya kaya bintang jatuh yang katanya membawa ruang dan waktu untuk mengabulkan setiap harapan yang dipanjatkan. Hujan juga sama, membawa ruang dan waktu bagi siapa pun untuk bisa jujur, tanpa perlu mendengar penghakiman."
"Bagi gue, saat hujan adalah saat-saat gue bisa jujur sama diri sendiri. Jujur kalau gue sedang takut atau percaya diri, sedang khawatir atau yakin, sedang gelisah atau tenang, sedang merasa salah atau damai, sedang merasa sendiri atau justru memang ingin sendiri, sedang merasa butuh ditemani atau didengari. Jujur kalau gue sedang ga baik-baik aja atau memang all is well. Jujur kalau gue sedang lemah, payah, kacau, berantakan. Jujur kalo isi kepala gue terlalu riuh, terlalu gaduh, terlalu banyak aduh. Jujur kalau hati gue sedang perih, lirih, penuh rintih. Jujur kalo gue masih punya banyak luka yang belum kering, apalagi sembuh. Jujur kalau gue memang cemas dengan diri gue di masa depan nanti. Jujur akan segala hal. Jujur sama diri sendiri. Momen yang cukup jarang didapat, hujan kan ga datang setiap waktu."
Saras menelan luda pelan, telapak tangannya mendadak dingin, semakin dingin maksudnya. Lo barusan ngomong apaa, Raaas? Halahh!
"Ternyata bener impression gue selama ini. Jujur, meskipun lo keliatan nya lempeng2 aja, tapi gue punya firasat lo ga se-lempeng itu. Ternyata banyak hal yang emang sengaja ga lo tunjukkan ke dunia luar. Dan beruntung banget gue bisa liat salah satu sisi tersembunyi itu di waktu romantis begini. Hahahahah. How surprising you, Ras!"
Saras tertawa canggung, setengah malu, "Hahahah, duh sorry, jadi kebawa suasana begini. Anyway makasih lho udah jujur. Jadi setuju nih sama opini gue?" sudah kepalang malu, sudahlah, toh yang Saras kenal, Coco bukan orang ribet yang mau capek mencampuri urusan orang lain, nanti juga dia lupa.
"Wahahaha bener juga ya, kebawa jujur kan gue jadinya." Tawa lepas Coco membawa senyum kecil bagi Saras.
"Coba deh kapan-kapan nikmati waktu sendiri nya pas hujan-hujan." Saras kembali merasa hangat. "By the way, katanya tadi pada nyariin gue? Ada apa?"
"Oh iya!! Itu.. makan malam." Coco menampilkan wajah terkejut, lupa tujuan awalnya menemui Saras.
"Yaampun.. Dari tadi dong ya? Yok dahh, sebelum pada berubah jadi monster kelaperan!" Saras juga ikut terkejut.
————
Hujan tetap riuh, tetap bising, tetap jatuh, tetap meluruh. Saras mengamini sebelum beranjak pergi, berharap sisa doa dan harapan yang ia kirimkan ke langit bisa segera menemuinya, bersama rintik dan berisik.
-biru-mudaa
3 notes · View notes
biru-mudaa · 3 years
Text
Semakin dipuji semakin tahu diri
Semakin sadar kalau diri nyatanya ga mampu untuk melakukan dan menyelesaikan banyak hal. Sulitnya perjalanan, beratnya rintangan, banyaknya cobaan, menumpuknya beban yang menjelma harapan, hanya kita yang paham, yang meniti perjalanannya hingga bisa sampai tujuan, bisa diliat orang dengan riuh tepuk tangan.
Nyatanya, dalam perjalanan itu banyak yang dikorbankan, banyak yang dilepaskan, banyak yang diikhlaskan, dan lebih lebih lebih banyak lagi yang dimintakan. Iya, minta pertolongan, minta kekuatan, minta kemampuan, minta kesanggupan, kepada Sang Raja dari semua raja, Yang Maha Berkehendak. Karena kita sadar, emang ga bisa apa-apa, benar-benar ga berdaya, tapi Allah dengan segala rahmat dan cinta-Nya berkenan merespon doa-doa hamba-Nya, benar-benar paham kesulitan hamba-Nya, dan mengkaruniakan dua kali lipat kemudahan di balik kesulitan itu. Allah yang kasih pintu saat semua jalan rasanya buntu. Allah yang kasih cahaya saat semua rasanya pekat gulita. Allah yang kasih tenaga saat rasanya udah ga sanggup dan mau menyerah aja. Manusia benar-benar cuma bisa ikhtiar semaksimalnya dan terus memelas lewat doa. Betul memang kata ulama dan ustad dalam ceramahnya, setidak-jelas apapun keadaannya, semustahil dan setidak-mungkin apapun, kalau Allah sudah berkehendak ga ada yang ga mungkin, barang setitik pun. Perjalanan berat ga begitu terasa ketika dijalani dengan keyakinan akan pertolongan Allah, tiba-tiba udah sampai, dan semua ketakutan, kecemasan, keputus-asaan, keraguan yang sempet membelenggu langkah seperti bersembunyi dan menguap begitu aja. Berganti dengan peluh kebanggan dan 'ketidakpercayaan' yang melahirkan tepuk tangan juga beragam pujian dari yang menyaksikan kemenangan.
Semakin dipuji benar-benar semakin sadar, bahwa diri ini ga ada apa-apanya, tanpa Allah. Juga semakin yakin, bahwa pertolongan Allah itu nyata, bisa dijemput dengan kesabaran dan keyakinan.
فَاِ نَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۙ 
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan," (QS. Al-Insyirah : 5).
اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۗ 
"sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah : 6).
Bukan kita yang hebat, tapi Allah yang memampukan, maka seharusnya ga ada yang boleh disombongkan, justru harus banyak direnungkan. Coba ingat-ingat, berapa banyak hal berat yang akhirnya bisa terlewati, dan kamu tidak pernah membayangkannya sama sekali?
-biru-mudaa
21 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
Kuperiksa kembali bagian itu, dia masih disana; segar, terbuka lebar.
Miris, kuteguk lagi cairan yang katanya obat itu, hangat menjalar ke setiap aliran di dalam.
Lalu aku merenung dalam diam,
Apakah luka ini akan terus begini? Aku harus menunggu sampai kapan lagi? Semuanya serasa terganggu; ketenangan dan kemerdekaan hati. Lantas bagaimana ini?
Apa benar waktu akan membuatnya sembuh? Tapi di waktu yang ke berapa lagi?
Semilir angin hanya meniupkan hening. Sunyi, sepi, nirbunyi.
.
Untuk sesiapa saja yang masih berlumur luka, mari menyembuh bersama.
5 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
Mungkin sajak itu memang ditakdirkan tanpa akhir, tapi sudah jelas harus berakhir. Mungkin itu alasan diksi-diksi sudah enggan untuk saling berkait, karena sepanjang apapun ia terangkai, seindah apapun rima tersusun, semanis apapun makna tersuguh, tak akan pernah mengantarkannya pada koma, tanda tanya, apalagi titik. Ia hanya akan menjadi pengembara tanpa rasa, hilang arah, kemudinya hancur, dibawa kabur. Tanpa izin, tanpa pamit.
Entah apa yang akan dilakukannya kemudian. Meneruskan kegilaannya yang penuh percaya, atau justru mendengar logikanya untuk diam menepi. Bak sang kelasi yang menjadi buta, tak tau dimana, tak tau mau kemana, terombang-ambing, terbanting, karena sang kapten membawa kemudi dan kompasnya pergi, tanpa peduli, tanpa belas kasih. Sang kelasi mulai gusar, tapi belum gentar. Hatinya sengau, suaranya parau. Ia sudah mati rasa memikirkan sang kapten yang pergi, menyakiti, melanggar janji. Wajahnya menengadah ke langit, memelas pada sang Tuan. "Wahai Tuan, haruskah aku berakhir sekarang?" Tak ada jawaban selain hujaman ombak yang kian keras. Namun percaya nya masih meraja, ia bertahan disana, semakin tak tentu arah, tak jelas rupa, hingga akhirnya langit mereda. Awan membentuk sebuah tanda, isyarat dari sang Tuan. Sang kelasi masih enggan mengakui, "benarkah aku harus berakhir sekarang? tanpa harus bertemu dulu dengan kejelasan?", ia bertanya sekali lagi, setengah pasrah.
Maka logika mengambil alih segala kegilaannya. Ia banting tiang kemudi, melempar ke kanan kiri, tak jelas, yang penting harus bertemu tepi. Kapal ini mungkin harus hancur, sajak ini harus berhenti, tapi aku tak akan mati, yakin nya. Mungkin tepi belum terpantau, apalagi tergapai. Tapi beberapa waktu lagi ia pasti sampai. Percaya nya selalu bisa diandalkan untuk membuatnya tetap hidup.
Entah bagaimana cerita berjalan, akhirnya ia sampai di tepi. Semua habis, tak ada sisa, tak ada puing. Tubuh nya sudah terlalu lelah untuk sekedar mengaduh, hatinya sudah terlalu letih untuk merintih. Ia terpejam, pasrah, entah nanti masih hidup atau mati. Tapi masih besar inginnya untuk melihat esok, menanti harapan menjemputnya. Pandang nya mengelana di langit yang selama ini memancarkan kelabu. Ia meracau, tertawa kacau.
"Aku harus berakhir, diksi harus berhenti, sajak telah mati, ha ha."
Matanya benar-benar terpejam, ia melihat kenanga menghiasi bangku panjang di pelataran sore.
"kita adalah sepasang amunisi yang akan melahirkan banyak diksi, merangkai puisi, sajak, dan cerita berseri."
"diksi?"
"iya, batu bata yang akan membangun cerita, rumah kita."
"berarti tidak boleh ada yang pergi sampai ceritanya tuntas."
"dituntaskan, lebih tepatnya. Bukan oleh kita, tapi semesta. Kamu jangan pergi, ya?"
.
Ada sesal yang baru hadir. Mengapa bualan itu terasa sangat meyakinkan? Atau aku yg sudah terbodohkan? Persetan dengan janji, sana pergi!
.
Dan kini sajak telah mati, tanpa akhir yang pasti, sang diksi sudah berhenti, menyerah untuk terus memaksakan kondisi.
—biru-mudaa
18 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
Overthinking
Kepul uap dari permukaan cangkir seolah menari di udara. Hitam, pekatnya bercampur dengan temaram. Panas, setara dengan dadanya yang berapi. Celah matanya mengecil, tengkuknya merunduk. Jemarinya bermain di mulut cangkir, berlari mengikuti alur. Warna tubuhnya terlihat kontras dengan hamparan warna temaram dan secangkir minuman yang tergeletak di depan.
.
Adalah esok pagi yang mungkin akan diawali dengan keraguan, ketakutan, ketidaknyamanan. Bagaimana kalau tidak cocok? First impression, bagaimana kalau buruk? Gugupku sulit diatur, bagaimana akan terlihat normal? Bagaimana kalau aneh? Bagaimana kalau tidak sempurna? Bagaimana kalau tidak bisa? Bagaimana kalau ditolak? Apakah akan gagal?
Kepul uap masih menari. Mengalun bersama angin.
.
Adalah lusa yang serasa menegangkan. Bertemu dengan teman lama dari masa-masa lama. Tanpa melalui temu pun semesta tau, betapa rupawannya ia sekarang, betapa eloknya tubuh yang dulu setara denganku, betapa cemerlangnya gagasan dalam kepala itu, betapa luasnya mata itu memandang sudut-sudut dunia, ahh betapa gemasnya pipi chubby di dalam stroller itu. Astaga, betapa tak setaranya tubuh ini bersanding dengan mereka, betapa tak sebandingnya isi kepala ini bergaul dengan mereka, betapa menyedihkannya serpihan cerita perjalanan yang kupunya. Bagaimana kalau nanti berantakan? Bagaimana kalau hanya membuat kekacauan? Memalukan, memilukan? Ahh.. canggung, murung, mungkin hanya sudut ruang yang akan menerimaku dengan suka cita, ya?
Bibir ranum terbuka, menyentuh lembut tepian cangkir.
.
Adalah nanti malam. Mengamati hilir-mudik sepasang muda-mudi, pun puluhan raga yang terikat oleh 'darah'. Senyuman buatan, sapaan hangat yang terpaksakan, ucapan selamat dan pujian hanya pada yang berbahagia. Akan segera terdengar celotehan dari tiap sudut, metafora di sana sini. Bagaimana caranya menghilang dari sana? Bagaimana supaya tak terdengar bisikan tanpa bobot, yang hanya gemar membandingkan diri orang yang jelas berbeda? Bagaimana mantra supaya bumi mau menelanku saja?
Kepul uap kian menipis, jari jemari belum berhenti menari.
.
Adalah besok besok, dan besok, dan besoknya. Segala hal berisi kejutan yang seringkali tak terduga. Yang seringnya telah coba kuantisipasi sesigap mungkin, tapi nyatanya aku selalu lengah, selalu ada celah yang tak bisa tertutup. Mungkin begitu kah cara semesta bekerja? Begitu kah cara Tuhan memberi kehidupan?
Tarikan nafas terhembus lebih panjang tiap helaannya.
Someone tell me about anything, please! Just talk anything, don't stop!
.
Kelopaknya terpejam pelan, pasrah. Lengannya memeluk diri sendiri. Dingin, tapi panas. Terang, tapi gelap. Ramai, tapi sepi.
Telepon genggam berdering. Randi. Ah, dia harus kupaksa jujur, apa iya dia punya ilmu telepati? Hadirnya selalu tepat saat aku butuh, saat aku hampir layu.
.
Dimana, Tam?
Tak ada suara lain kecuali alunan biola dari pengamen pinggir jalan yang suaranya melengking sampai sini.
Tam.. Gue pernah bilang kan? Gue juga sama seperti lo kok, gampang takut, gampang overthinking, dan sejenisnya. Tp berkali2 udah gue buktiin sendiri, nyatanya semua bisikan buruk yang menuhin hati dan kepala ga semenakutkan itu kok.
Kini suara lalu-lalang orang terdengar ramai lagi.
Emang ga ada hal yang lebih ruwet lagi dari pikiran kita sendiri.
Suara lalu-lalang kembali hilang, berganti dengan alunan instrumen yg terdengar mendayu-dayu.
Kalo lagi overthinking itu emg butuh dicurahkan, Tam. Sharing aja sama orang yang lo percaya, seengganya itu bisa bantu lo keluar dari keruwetan itu, meskipun sedikit dan efek nya ga signifikan. Tapi gimana pun lo akan selalu butuh telinga orang lain, dan gimana pun pasti akan ada 'telinga' yang Tuhan kirim untuk denger celotehan lo. Apapun bentuknya. Yakin aja. Overthinking harus dinetralisir dengan distraction, yang positif tentunya. Yang membawa kewarasan.
"Thank's ya Ran... You're the real pahlawan kesiangan, meskipun belum kesiangan amat."
Suara tawa terdengar renyah,
Lagi dimana sekarang? Ngopi ya? Ikut dong..
Hening.
Lo mau tau lanjutan Holmes riddle yang gue baca, ngga?
"Mau!" Suara itu terdengar lantang, dan spontan.
Okee.
—biru-mudaa
3 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
Setidakjelas apapun yang sedang terjadi sekarang, sekacau balau apapun segala rencana, sehancur lebur apapun perasaan,
nyatanya bumi tetap berputar, waktu tetap berjalan, planet tetap mengorbit, matahari tetap terbit, bintang tetap gemintang, bulan tetap bersinar, hujan tetap turun, angin tetap berhembus, ombak tetap berdebur, mata air tetap mengalir, burung tetap terbang, ikan tetap berenang, manusia tetap berlalu lalang. Segala hal masih berjalan sebagaimana mestinya.
Dunia tidak berputar hanya di kamu, it's not all about you. Life must go on, right?
Calm, kamu sudah mencoba, sudah berusaha. Segala usahamu berhak untuk gagal dan berhasil. Berhasil, syukur. Gagal, sabar. U just need to try your best. Gapapa berantakan, nanti bisa dibereskan, pelan-pelan. Yang penting jangan berhenti dulu, ya?
Take a deep breath~~
try it, repeat.
—biru-mudaa
11 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
Tentang Hujanku
Hujan adalah riuh yang menyenangkan. Suara bisingnya adalah alunan syahdu, merdu. Mendayu-dayu, semakin bising semakin menyentuh kalbu. Rintiknya adalah air yang menghidupkan, menumbuhkan, menawarkan kewarasan. Bau basahnya adalah aroma kemenangan, ketenangan, membawa keyakinan. Mendung kelabunya adalah warna meneduhkan, melembutkan, menyegarkan. Dinginnya adalah kehangatan, menyelip ke celah-celah beku, berdamai dengan segala ragu.
Hujan adalah kehidupan, helaan nafas yang lebih panjang, nyawa yang kembali terisikan, jiwa yang kembali dinyalakan, asa yang kembali ditumbuhkan.
Hujan mengirim akar harapan yang mengokohkan. Hujan membawa sutra yang melembutkan. Hujan membiarkan segala cemas terbang, menguap, hilang. Hujan membungkam semua suara pengkhianatan. Hujan membungkus segala ketakutan. Hujan membuat riuh menjadi teduh; membuat luluh segala keluh. Hujan adalah penawar segala angkuh.
—biru-mudaa
42 notes · View notes
biru-mudaa · 4 years
Text
[INSYAA ALLAH~]
"Ya elaah jangan insyaa Allah napa.."
"Eng....."😐
——
Rasulullah ﷺ juga pernah menjanjikan sesuatu tanpa bilang "insyaa Allah", dan Allah SWT menegur hal tersebut lewat Malaikat Jibril, turunlah ayat 23-24 surat Al-Kahfi 👇
وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَايْءٍ اِنِّيْ فَا عِلٌ ذٰلِكَ غَدًا ۙ 
"Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, Aku pasti melakukan itu besok pagi," (QS. Al-Kahfi : 23)
اِلَّاۤ اَنْ يَّشَآءَ اللّٰهُ ۖ وَا ذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰۤى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَ قْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا
"kecuali (dengan mengatakan), Insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini." (QS. Al-Kahfi : 24)
——
Suatu ketika, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Rasulullah ﷺ .
Pendeta Yahudi tersebut memberi saran, "Kalian hendaknya bertanya kepada Muhammad tentang 3 perkara. Jika Muhammad dapat menjawab 3 pertanyaan ini, maka sungguh ia adalah utusan Allah. Namun, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang biasa yang mengaku sebagai nabi."
"Apa itu?", tanya kedua utusan.
"Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq (timur) dan Maghrib (barat) dan apa yang terjadi atas dirinya. Ketiga, tanyakan kepadanya tentang roh."
Mendapat saran tersebut keduanya pun pulang ke Makkah dan melapor kepada petinggi Quraisy. Mereka segera menemui Rasulullah ﷺ dan menanyakan 3 persoalan sebagaimana yang disarankan oleh pendeta Yahudi.
"Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok," jawab Rasulullah ﷺ dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan segera memberi wahyu terkait perkara tersebut.
Namun waktu yang disebutkan telah lewat, hingga 15 malam Rasulullah ﷺ menunggu datangnya wahyu yang dapat menerangkan tentang 3 pertanyaan itu. Rasulullah ﷺ terus menanti, tetapi Malaikat Jibril tak kunjung datang. Kaum musyrikin Makkah mulai mencemooh Rasulullah ﷺ hingga beliau merasa sedih dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy.
Akhirnya, datanglah Malaikat Jibril membawa wahyu dari Allah SWT untuk menegur Rasulullah ﷺ karena telah menjanjikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan "insyaa Allah." (QS al-Kahfi:23-24). Malaikat Jibril juga menyampaikan wahyu terkait persoalan tersebut, tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (QS. 18: 9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (QS. 18: 83-101); dan perkara roh (QS. 17: 85).
Sumber: fiqhislam.com
——
Sepenting itu yaa "insyaa Allah" tuh, kadang suka kelupaan bilang, auto PD kalo hal yang direncanakan akan bisa terlaksana, padahal mah belum tentu Allah mengizinkan itu terjadi hheu. Gapapa, emang mesti dilatih terus biar terbiasa.. Tapiii, nyebut "insyaa Allah" dalam 'janji' juga jangan sembarangan ya, karena frasa itu sebetulnya dimaknai sebagai bentuk tauhid dan tawadhu, bukan hanya sembarangan ucapan.
CMIIW🐣
—biru-mudaa
4 notes · View notes