Tumgik
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Pernahkah mengalami dimana kita sudah merasa banyak beribadah, membasahi lisan kita dengan dzikir kepada Allah, namun hati ini tetap merasa resah, dan solusi untuk masalah hidup tetap tak kunjung datang?
Seringkali kita juga melihat, banyak orang yang tidak pernah meninggalkan wirid hariannya, tapi akhlaknya tetap tercela. Karena dzikir yang dilantunkan hanya sampai pada lisannya saja, tidak menghidupkan hatinya. Karena hanya dilakukan sebagai rutinitas keseharian, ataupun kebiasaan turun temurun, tanpa bisa mengerti dan mendalami makna apa yang ia baca.
Perbedaan hidup dan mati hati manusia adalah pada kemampuan berdzikir. Orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang selalu memuji Allah dengan bertasbih, “(Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk atau berbaring.” QS. Ali-Imran: 191.
Seluruh makhluk Allah tidak henti-hentinya bertasbih. Malaikat, gunung-gunung, bahkan seluruh alam semesta pun senantiasa bertasbih. “Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tiada henti-hentinya malam dan siang.” QS. Al-Anbiya: 20.
Imam Ghazali menjelaskan, bahwa dzikir mengharuskan adanya rasa suka dan cinta kepada Allah ta’ala. Lalu bagaimana caranya agar bisa membangun rasa?
Bagi fitrah manusia, pertama kali rasa suka terbangun bila kita bisa merasakan ada banyak kebaikan padanya, lalu cinta dan pengabdian akan tumbuh sebagai ungkapan rasa terima kasih atas semua kebaikannya.
Dalam musnad Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada satu hari pun yang berlalu melainkan laut meminta izin kepada Rabbnya untuk menenggelamkan bani Adam. Para malaikat juga meminta izin kepada Allah untuk segera menangani dan mematikan mereka. Sementara Allah berfirman, “Biarkanlah hamba-Ku. Aku lebih tahu tentang dirinya ketika Aku menciptakannya dari tanah. Andaikan ia hamba kalian, maka urusannya terserah kalian. Karena ia hamba-Ku, maka ia berasal dari-Ku dan urusannya terserah kepada-Ku.”
Maka “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” QS. Ar-Ra’d: 28, karena “Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” QS. Al-Hajj: 46.
Bertasbih tidak akan terlihat efeknya, bila hati tidak dipenuhi rasa cinta dan ketulusan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” QS. Al-Anbiya: 87-88.
Allah menyebut kondisi Nabi Yunus as. dengan ‘fiy zhulumaat’, yang artinya dalam kegelapan-kegelapan. Karena ada tiga kegelapan yang dialami Nabi Yunus, yaitu gelap malam, gelap dalam laut, dan gelap dalam perut ikan. Seandainya Nabi Yunus tidak menyesal dan bertasbih kepada Allah, dia akan berada dalam perut ikan selamanya.
Kekuatan bertasbih juga ditunjukkan pada kejadian isra’ mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mampu berpindah tempat dalam waktu singkat. Juga seorang sholih yang bisa mengalahkan kekuatan jin untuk bisa memindahkan kerajaan Ratu Bilqis ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum mata berkedip. (QS. An-Naml: 40).
Maka perhatikanlah bagaimana Allah membela manusia, meski manusia sangat suka melakukan perbuatan dosa, Allah selalu mendahulukan maaf-Nya ketimbang azab-Nya. Maka sewajarnya bila kita menunjukkan rasa syukur dengan bertasbih memuji asma-Nya. Bahkan ketika bertasbih dengan tulus pun, Allah makin menumpahkan nikmat-Nya kepada hamba-Nya.
“Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” QS. An-Naml: 40.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
31 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
“Be yourself” dengan makna positif adalah kembali kepada fitrah yang sebenarnya. Sehingga kita bisa mendapatkan kebahagiaan, kebebasan, dan ketentraman yang hakiki sebagai seorang muslim. Lalu, apa saja yang perlu kita lakukan?
Membebaskan Hati dan Jiwa.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)” QS. Al-Baqarah: 257. Hati dan jiwa akan bebas dan hidup bila mendekat kepada Allah. Sebaliknya, mengikuti nafsu dan godaan setan membuat kita keluar dari fitrah sebagai seorang muslim, sehingga hati yang bersih terkotori dan tidak memberikan rasa ketenangan yang dicari.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan lafaz an-nur (cahaya) dalam bentuk tunggal, sedangkan lafaz zalam (kegelapan) dalam bentuk jamak. Karena perkara yang hak (benar) itu hanya satu, sedangkan perkara yang kufur dan bathil itu banyak ragamnya. Sehingga tidak dapat menganggap remeh perbuatan buruk dengan dalih “sekali-kali kok, enggak sering-sering.”
Umar bin Abdul ‘Azis ra. berkata, “Jangan sekali-kali engkau menganggap ada sesuatu lebih penting dari jiwamu sendiri. Karena sesungguhnya, tidak ada istilah sedikit dalam perbuatan dosa.” Tarikh Thabari 6/569.
Banyak orang saat ini melakukan healing malah dengan mengikuti ritual diluar islam. Ibarat sakit A tapi diberikan obat B. Alhasil, yang diperoleh hanya ketenangan semu sesaat. “Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya.” Ar-Rafi’i, Wahyul Qalam 1/50.
Maka kembalikanlah jiwa dengan tuntunan Rabbmu, maka jiwa akan kembali sehat dan bahagia.
Meluruskan Akal.
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” QS. Ali-Imran: 132. Seringnya manusia berteriak kebebasan bagi akal, semua produk akal manusia berlindung atas nama hak asasi. Sehingga semua pemikiran bersifat relatif. Bisa benar atau salah tergantung kondisi saat itu. Maka muncul pemikiran-pemikiran liar tanpa batasan. Semisal, saya boleh beragama atau tidak, saya boleh menjadi orang baik atau jahat, saya boleh berganti gender sesuka hati, saya bisa melahirkan tanpa harus menikah, dan lainnya.
Allah yang memberikan akal, maka Allah memberikan aturannya, yaitu kebebasan berpikir dan bertindak harus dalam kerangka ketaatan pada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, agar manusia mendapat rahmat. Bukan malah melanggarnya, sehingga menyebabkan datangnya segala musibah karena kebodohan manusia sendiri.
Menghargai Tubuh.
Bersyukur dengan apa yang Allah berikan kepada kita, sehingga tidak peduli celaan orang lain. Seorang sholih bernama Ibrahim An-Nakh’i, berjalan bersama sahabatnya seorang buta. Orang buta itu mengatakan, “Ya Ibrahim, orang-orang yang melihat kita mengatakan, ‘Itu orang buta dan orang pincang, itu orang buta dan orang pincang..’ Ibrahim menjawab, Kenapa engkau terbebani memikirkannya? Jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala, lalu kenapa?”
Maka "be yourself" bukan berarti terserah maunya gue. Menjadi diri sendiri, selalu terkait kepada sang Pencipta. Terkait dengan tanggung jawabnya kepada Allah dan makhluknya.
Karena kebebasan yang sejati adalah bagaimana bisa:
Bebas dari teraniaya dan menganiaya
Bebas menjaga fitrahnya tanpa takut di bully atau malah menyimpang
Bebas dari azab kubur dan neraka
Bebas menjalankan perintah Allah tanpa rasa takut
Bebas dari godaan setan dan hawa nafsu.
Maka sejatinya, be yourself adalah usaha kita menuju pulang ke surga.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hatinya mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” QS. Al-Hadid: 16.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
17 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Suatu hari seorang pemuda mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin berzina. Orang-orang pun marah dan melarangnya melakukan itu. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bawalah dia dekat denganku.” Maka pemuda itu mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu suka (perbuatan zina) bila itu terjadi kepada ibumu?”
Ia menjawab, “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah jadikan aku tebusan (kematianku) bagimu!”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “(Begitulah juga halnya) orang lain tidak suka hal itu (terjadi) kepada ibu-ibu mereka.”
Jawaban yang sama diberikan pria tersebut ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Bagaimana bila terjadi kepada anak perempuannya dan bibi-bibinya (saudari dari ayah dan ibunya).” HR. Ahmad.
Sisters, hadits diatas bukanlah hanya sekedar tentang larangan berzina, tapi juga menekankan bahwa hidup itu terkait dengan aturan dari Allah subhanahu wa ta’ala, perbuatan harus diperhitungkan dampaknya bukan hanya buat diri sendiri tapi juga buat orang lain. Tidak ada istilah “yang penting saya bahagia, tidak peduli dengan orang lain”.
Saat ini begitu banyak orang yang berteriak “be yourself”, sebagai cara memotivasi orang lain untuk bangkit dan tidak takut dalam berbuat sesuatu, atau khawatir dengan celaan orang lain. Namun dalam realitanya, untuk menjadi diri sendiri tidak diikuti dengan pemahaman yang utuh.
Sehingga “be yourself” dimaknai dengan “terserah gue”. Bebas melakukan apa yang kita mau, dan menolak untuk hal yang kita tidak suka. Tidak mau diatur orang lain dan hanya meyakini aturan sendiri yang dipahami. Barometer pemahaman bukan kepada ridho Allah, tapi ridhonya akal pikiran manusia yang lemah.
Maka bermunculah gerakan-gerakan berdalih kebebasan murni tanpa diikuti rasa tanggung jawab antara sesama, pejuang keadilan namun sepihak, pantang dinasehati karena merasa dirinya paling benar, tapi suka berkomentar tajam kepada orang yang tidak sepemahaman, selalu merasa insecure dalam menjalani kehidupan.
Muncul prinsip:
Nomor satu “Saya selalu benar”
Nomor dua “Kalau saya salah, lihat nomor satu”.
Seperti apa yang dikatakan Fudhail bin Iyadh, “Engkau telah berbuat buruk, namun menyangka dirimu telah berbuat baik. Engkau bodoh, tapi menyangka dirimu berilmu. Engkau bakhil, tetapi menyangka dirimu dermawan. Engkau dungu, tetapi menganggap dirimu bijaksana. Ajalmu dekat, tetapi angan-anganmu panjang.” Syiar A’lamin Nubala 8/440.
“Be yourself” akan bermakna positif ketika kembali kepada fitrah yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan, selaku pencipta manusia.
Fitrah identik dengan ketundukan, ketaatan kepada Rabbnya. Bila keluar dari fitrah, maka akan semaunya sendiri, tidak taat aturan, maka akan membahayakan dan lebih baik dihancurkan bila tidak dapat diluruskan kembali. Misalkan kita mencipta robot, andai robot itu keluar dari perintah yang kita berikan, maka pasti akan membahayakan, sehingga harus segera diperbaiki. Bila tidak bisa, maka lebih baik dihancurkan sebelum membuat kerusakan fatal.
Allah sengaja mengabadikan kisah-kisah para pembangkang di dalam Al-Qur’an, mulai dari Fir’aun dengan kesombongannya menganggap dirinya yang paling benar dan perkasa, kaum Nabi Luth yang hancur karena homoseksual, kaum ‘Ad dan Tsamud yang cerdas dan kaya namun melawan perintah Nabi-Nya. Bahkan peninggalan azab Allah masih bisa kita lihat sampai saat ini sebagai bentuk peringatan nyata, seperti pompeii di Italia.
Menurut sisters, seperti apa jati diri dengan kebahagiaan dan kebebasan yang hakiki itu bagi seorang muslim?
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
20 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Abu Sa’id Al-Khudri menjenguk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat menjelang wafatnya, ia merasakan panasnya tubuh Rasulullah karena demam yang dialami beliau. “Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Begitupun kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami.”
Lalu Abu Sa’id bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab, “para nabi”. Abu Sa’id bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang-orang shalih”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan, apabila salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, adalah sampai tidak punya apapun. Dan sebaliknya, bila diuji dengan kesenangan, maka diberikan segala kemewahan.” HR. Ibnu Majah.
Ujian hidup tidak hanya ketika kondisi terpuruk, tapi juga ketika berada “di atas angin”. Bagaimana Nabi Sulaiman dengan kekayaan dan kekuasaannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan keterbatasan materinya, namun keimanan kepada Allah tetap tidak luntur.
Lalu apakah ujian kesenangan lebih mudah dari kesulitan? Kita bisa melihat pada realita yang terjadi, banyak orang tersandung dengan ujian kesenangan. Budaya flexing makin marak. Tergoda dengan gaya hidup yang serba ‘wah’, sehingga tidak lagi peduli darimana rezeki itu berasal, asal bisa mendapatkan kekayaan dengan cepat, dan bisa menunjukkan kemewahan ke semua orang. Karena harus terus tampil bergaya, maka korupsi, judi online, membuat konten tipu-tipu memiliki jet pribadi, bahkan sampai terlilit pinjol pun bakal dijalani. Sedangkan di satu sisi, Allah sudah tidak ada lagi dalam hati.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, apakah menurutmu orang yang banyak hartanya itu adalah orang kaya?” Abu Dzar menjawab, “Benar ya Rasulullah.” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apakah menurutmu orang yang tidak mempunyai harta adalah orang miskin?” Abu Dzar menjawab, “Benar ya Rasulullah.”
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Abu Dzar, ketahuilah bahwa kekayaan dan kefakiran itu sumbernya hanya dari hati. Barangsiapa yang kaya di dalam hatinya, maka ia tidak akan dapat dicelakakan oleh apapun yang ia alami dalam hidupnya di dunia. Dan barangsiapa yang fakir hatinya, maka ia tidak dapat dijadikan kaya oleh harta apapun sepenuh dunia. Justru itulah yang akan menghancurkannya.” HR. Ibnu Hibban.
Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang lebih hebat bagi seseorang, antara dikokohkan (dimenangkan) atau diberi ujian?” Lalu Imam Syafi’i menjawab, “Ia tidak dikokohkan sebelum diberi ujian.”
Hal itu kita perlukan untuk tetap menjaga cahaya keimanan kita tidak meredup. Bila cahaya keimanan menerangi jiwa, maka akan membawa ketenangan dan kedamaian dalam diri. Dan cahaya itu selalu mengikuti orang-orang shalih, sehingga orang sholih itu kemanapun selalu mencerahkan dan menjadi penerang dalam kehidupan, bukan sebaliknya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdoa, “Ya Allah jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam ucapanku cahaya. Jadikanlah pada pendengaran ku cahaya, pada penglihatanku cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya, dan dari depanku cahaya. Jadikanlah dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya. Ya Allah berikanlah kepadaku cahaya, dan jadikanlah aku cahaya.” HR. Muslim dan Abu Dawud.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
12 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Kesibukan seringkali menyita waktu lebih banyak, sehingga lelah akan sangat terasa hadirnya di penghujung hari-hari kita. Malam menjadi waktu di mana lelah dan kantuk begitu menginginkan hak istirahatnya hingga fajar, hingga membuat kita terlupa, bahwa malam memiliki istimewanya sendiri untuk kita menepi dan mendekat kepada-Nya.
Jika ternyata malam-malam kita masih seringkali redup sebab hanya terisi oleh beban dan pikiran yang tak ada habisnya, mungkin inilah saatnya untuk kita kembali menghidupkannya.
Saat raga mampu berdiri tegap meski lelah menimpa. Malam dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepi untuk menghadiahkan cintanya pada Allah subhanahu wa ta’ala hingga kakinya membengkak.
Di dalam ash-shahihain disebutkan bahwa ketika kedua telapak kaki beliau bengkak karena terlalu lama berdiri mendirikan shalat malam, Aisyah ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau berbuat, sedangkan dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni.” Lalu beliau menjawab, “Wahai Aisyah, bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” HR. Muslim.
Lantas bagaimana dengan kita? Yang selalu merasa masih ada waktu untuk dilewati, merasa telah banyak beramal selama ini.
Jika itu terjadi, percayalah masih ada kesempatan untuk kita memperbaiki. Masih ada kesempatan untuk mendekatkan diri lebih dekat lagi. Menepi, memenuhi malam untuk melesatkan harap dan ampunan, lebih lama lagi.
“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa), dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.” QS. Al-Muzammil: 6.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
14 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Ramlah binti Abu Sufyan atau yang biasa dipanggil Ummu Habibah, sosok wanita yang terpelihara. Dia adalah keponakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada di antara istri-istri beliau yang lebih dekat garis keturunannya dengan beliau, dan lebih banyak sedekahnya daripada Ummu Habibah. Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ummu Habibah menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy.
Suatu malam, Ummu Habibah terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi buruk tentang suaminya. "Aku melihat di dalam mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku memohon kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisku," ujarnya.
Pagi harinya, Ubaidullah bin Jahsy berkata, "Ummu Habibah, aku berpikir tentang agama, dan menurutku tidak ada agama yang lebih baik dari agama Nasrani. Aku memeluknya dulu. Kemudian aku bergabung dengan agama Muhammad, tetapi sekarang aku kembali memeluk Nasrani."
Ummu Habibah berkata, "Demi Allah, tidak ada kebaikan bersamamu!" Kemudian ia menceritakan kepada suaminya tentang mimpi itu, tetapi Ubaidullah tak menghiraukannya. Ubaidullah kemudian murtad dan mabuk-mabukan sampai akhir hayatnya.
Ummu Habibah membesarkan anaknya sendirian di Habasyah. Peristiwa yang menimpa Ummu Habibah didengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah masa iddahnya selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta bantuan Negus, penguasa Habasyah untuk melamarkan Ummu Habibah.
Negus kemudian mengutus Abrahah, seorang budak perempuannya untuk menjumpai Ummu Habibah. Ia menerima lamaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mahar sebesar 400 dinar. Pernikahan itu terjadi sekitar tahun ke-7 H.
Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Khaibar, rombongan muhajirin dari Habasyah termasuk Ummu Habibah kembali ke Madinah dan menetap bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ummu Habibah selalu tegas, dan berpegang teguh kepada Islam termasuk dalam menghadapi Abu Sufyan, bapaknya. Salah satu ucapannya kepada Abu Sufyan adalah, "Ayahku adalah Islam. Aku tidak mempunyai ayah selainnya, selama mereka masih membanggakan Bani Qais atau Bani Tamim."
Beberapa tahun setelah berkumpul dengan Ummu Habibah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia benar-benar menyibukkan diri dengan beribadah dan berbuat kebaikan. Dia berpegang teguh pada nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan senantiasa berusaha mempersatukan kaum Muslimin dengan segala kemampuannya sampai ia meninggal dunia pada tahun ke-46 H.
Menjelang wafatnya, Aisyah berkata pada Ummu Habibah, "Terkadang di antara kita sebagai istri-istri Nabi ada suatu khilaf, semoga Allah mengampuniku dan mengampunimu dari perbuatan atau sikap itu." 
Ummu Habibah membalas, "Engkau telah membahagiakan diriku, semoga Allah juga membahagiakan dirimu."
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
27 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Kesedihan dan sakit hati yang sangat dalam menyelimuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menemukan jasad Hamzah bin Abdul Muthalib, salah satu paman kesayangannya, terkoyak mengerikan setelah perang uduh.
Hindun binti Utbah telah membelah dada Hamzah dan mengunyah jantungnya, sebagai pembalas dendam Hindu karena banyak saudaranya yang tewas ketika perang badar.
Namun Allah subhanahu wa ta’ala menenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah. Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan. Sungguh, Allah beserta orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” QS. An-Nahl: 127-128.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia biasa, yang juga punya rasa sakit dan keinginan untuk membalas ketika dizalimi oleh para musuh Allah subhanahu wa ta’ala.
Keadaan keji yang hampir membuat seorang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ingin melakukan pembalasan, ketika memaafkan rasanya mustahil dilakukan, namun Allah subhanahu wa ta’ala meredamnya dengan mengingatkan Rasul-Nya agar bersabar dulu, ketimbang membalas.
Karena sifat manusia biasanya, sangat sulit untuk membalas sewajarnya, seringkali yang terjadi adalah membalas membabi buta, karena dendam membara yang disiram api setan.
Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkenal sebagai pribadi yang sangat bijak dan pemaaf, tidak mungkin melakukan tindak kekejaman. Allah tetap menjaga Rasul-Nya agar tidak ternodai akhlak tercela.
Di kemudian hari, ketika Hindun masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak sanggup melihat wajahnya, karena senantiasa terbayang jasad Hamzah ra.
Abu Hurairah ra. menceritakan, suatu ketika seorang lelaki mencaci Abu Bakar ra., sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu duduk memperhatikan dengan tersenyum kagum. Tetapi ketika Abu Bakar ra. membalas sebagian cacian yang ditujukan terhadap diriya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelihatan marah, lalu bangkit. Maka Abu Bakar menyusulnya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika dia mencaciku engkau tetap dalam keadaan duduk. Tetapi ketika aku membalas caciannya, engkau kelihatan marah dan meninggalkan tempat duduk.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sesungguhnya pada mulanya ada malaikat yang bersamamu membela dirimu. Tetapi ketika engkau membalas terhadapnya sebagian dari caciannya (malaikat itu pergi) dan datanglah setan, maka aku tidak mau duduk bersama setan.” HR. Imam Ahmad.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” QS. Asy-Syuro: 40.
Allah mengingatkan manusia, bahwa dalam kondisi yang mustahil mengandalkan kemampuan diri untuk memaafkan, bersabar hanya bisa dilakukan dengan pertolongan-nya, dan sabar dalam kondisi yang sangat sulit, balasan langsung akan datang dari Allah.
Bila Allah yang berjanji memberikan reward-nya, maka itu adalah sesuatu yang sangat indah dan tak terbayang oleh kita. Maka jangan pernah mendelete Allah subhanahu wa ta’ala dari kehidupan kita, karena kita pasti akan selalu membutuhkan-Nya.
Sakit hati itu niscaya, selama manusia masih punya rasa, namun terpuruk menjadi hal tak biasa, ketika Tuhan tak lagi percaya.
Meneruskan hidup itu harus, menjalani dalam suka atau duka adalah pilihan. Ketika duka mendominasi, berhentilah sejenak dan renungi diri. Berikan jarak yang semakin jauh dengan kesedihan dan kemarahan, lakukan perlahan agar terbangun keikhlasan, bukan keterpaksaan yang terus menyakitkan.
Menangis bukan aib, maka jangan pura-pura ceria. Beruzlah bukanlah pengecut tapi jangan terlalu lama. Banyak teman yang siap memelukmu diluar sana.
Hidup itu akan terus memberi warna sampai kafan putih menyelimuti raga. Tinggal kita memilih akhir yang mana, duka atau bahagia.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
18 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang paling cepat datang kepadaku di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya.”
Zainab merupakan orang yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ungkapan ‘yang paling panjang tangannya’ adalah yang paling banyak berbuat baik.
Dia adalah Zainab, putri Jahsyin bin Rabab dan keponakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia termasuk wanita pertama yang ikut hijrah ke Madinah. Sebelumnya, Zainab menikah dengan Zaid bin Haritsah, budak sekaligus anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayangnya pernikahan Zainab dan Zaid ini tak diiringi dengan keharmonisan sehingga Zaid kerap berkonsultasi ke Rasulullah untuk menceraikan istrinya.
Meski Rasulullah sempat melarang itu, namun akhirnya Rasulullah mengizinkan Zaid menceraikannya setelah turun wahyu Allah atas perceraian sekaligus sah bagi seorang ayah angkat mengambil istri dari mantan istri anaknya. Dialah wanita yang disebut Allah subhanahu wa ta’ala dalam Firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 37.
Setelah itu Allah menikahkannya dengan Nabi-Nya melalui pernyataan nash Al-Qur’an, tanpa wali dan saksi. Itu sempat menjadi hal yang dibanggakan dirinya di hadapan Ummahatul Mukminin lainnya, dia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari atas Arsy-Nya.”
Zainab adalah seorang pengrajin, penyamak, dan penjahit. Ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Zainab pada bulan Dzulqa’dah tahun 5 Hijriah. Pada saat itu Zainab berusia 25 tahun. Dia seorang wanita shalihah, banyak berpuasa, bangun malam, dan baik. Dia dijuluki Ummul Masakin.
Dia merupakan wanita yang mulia, taat beragama, wara’, dermawan, dan baik. Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Zainab binti Jahsy memiliki kedudukan yang sama denganku disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik dalam agama melebihi Zainab, paling bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, paling jujur, suka menyambung silaturahmi, dan paling besar sedekahnya.”
Diriwayatkan dari Atha, bahwa dia mendengar Ubaid bin Umair berkata, Aku mendengar Aisyah mengira Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sempat tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan meminum madu di sana. Aisyah kemudian berkata, “Aku kemudian bermusyawarah dengan Hafshah, bahwa siapapun di antara kami berdua yang didatangi beliau, maka dia harus berkata, ‘Aku mendapati getah pohon padamu! Apakah kamu makan getah pohon?’ Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui salah satu dari mereka, lalu dia mengatakan hal itu kepada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Tetapi aku minum madu di rumah Zainab dan aku tidak akan mengulanginya lagi’.” Lalu turunlah firman Allah pada surat At-Tahrim ayat 1-4.
Zainab binti Jahsy wafat di Madinah saat usia 53 tahun. Beliau merupakan istri Rasulullah yang paling pertama wafat setelah kematian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Zainab binti Jahsy dimakamkan di Jannatul Baqi.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
21 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Berbicara tentang rindu, ia adalah gejolak hati akan sebuah harapan pertemuan. Ada kalanya rindu mampu mendekatkan, namun ada juga yang justru menjerumuskan. Ia justru berujung menyesakkan hati, sebab hanya terisi oleh sesuatu yang tak jelas ujungnya, dan tak benar tempatnya.
Teringat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merindu hingga bersedih, disampaikan oleh Imam Al-Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalah, yang mengutip riwayat dari Anas bin Malik, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan kerinduannya. “Kapan aku akan bertemu para kekasihku?” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami adalah para kekasihmu?”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kalian memang sahabatku, para kekasihku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar.” Kerinduan yang dilandaskan cinta terhadap-Nya, untuk kita umatnya. Rindu yang mendekatkan, berlandas cinta dan keimanan.
Lalu bagaimana dengan rasa rindu kita? Rindu kepada manusia, memang tak ada salahnya selagi ia tak menjadikan hati ini penuh hingga disesakkan oleh sesuatu yang bukan karena-Nya dan tak diridhai-Nya.
Namun seringkali rindu tak ditempatkan dengan tepat, sehingga hanya berujung sedih dan kecewa, ataupun bahagia yang hanya sementara.
Kerinduan itu menyerupai api yang dinyalakan oleh kesucian cinta. Ia berkobar di dalam relung hati. Kesucian ini merupakan cinta yang bergantung kepada-Nya, dan berlandaskan karena-Nya.
Maka rasa rindu yang kita miliki perlu kita pantaskan, kepada sumber harap, pemilik hati, dan penggerak kerinduan itu sendiri. Dan kerinduan kepada Allah, adalah sebaik-baik rindu yang perlu kita miliki. Kerinduan ini ditanam oleh cinta yang tumbuh di atas hamparan anugerah. Hati bergantung kepada sifat-sifat-Nya yang suci, lalu rindu untuk melihat kelembutan kemurahan-Nya, tanda-tanda kebaikan dan karunia-Nya.
Ini adalah sebaik-baik kerinduan, mendekatkan perjalanan, dan menguatkan kesabaran. Madaarijus Saalikin 3/444.
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah. Maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan Allah itu pasti datang.” QS. Al-Ankabut: 5.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
25 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dia adalah Hindun binti Abu Umayyah Al-Makhzumiyah. Dia merupakan keponakan Khalid bin Al-Walid, Saifullah, dan keponakan Abu Jahal bin Hisyam. Ummu Salamah termasuk wanita yang hijrah pertama kali dan mengikuti dua kali hijrah, yaitu pada saat hijrah ke Habasyah dan ke Madinah. Sebelum menjadi istri Nabi, dia menjadi istri dari saudara sesusuan beliau, yaitu Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi, seorang pria sholih.
Diriwayatkan dari Yazid bin Abu Maryam, dia berkata, Ummu Salamah berkata kepada Abu Salamah, “Aku mendapat berita bahwa wanita yang memiliki suami yang dijamin masuk surga, kemudian dia tidak menikah lagi, maka Allah akan mengumpulkan mereka kembali di surga. Oleh karena itu, aku memintamu berjanji agar tidak menikah lagi sesudahku dan aku tidak menikah lagi sesudahmu.”
Abu Salamah menjawab, “Apakah kamu akan menaatiku?” Ummu Salamah berkata, “Ya”. Abu Salamah berkata, “Jika aku mati maka menikahlah. Ya Allah, berilah Ummu Salamah orang yang lebih baik dariku, yang tidak membuatnya sedih dan tidak menganiayanya.” Setelah Abu Salamah meninggal Ummu Salamah berkata, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah? Aku menunggu.”
Diriwayatkan dari Tsabit, bahwa Ibnu Umar bin Abu Salamah menceritakan kepadaku dari ayahnya, bahwa ketika masa iddah Ummu Salamah habis, dia dilamar Umar, namun dia menolak. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk melamarnya, dan dia berkata, “Selamat datang. Katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam aku adalah seorang yang pencemburu dan aku mempunyai anak kecil, aku juga tidak mempunyai wali yang menyaksikan.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan kepadanya untuk menyampaikan jawaban mengenai perkataannya, “Mengenai perkataanmu bahwa kamu mempunyai anak kecil, maka Allah akan mencukupi anakmu. Mengenai perkataanmu bahwa kamu seorang pencemburu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan kecemburuanmu. Sedangkan para wali, tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali akan ridha kepadaku.”
Ummu Salamah kemudian berkata, “Wahai Umar, berdirilah dan nikahkan Rasulullah denganku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya pada tahun 4 Hijriah dan dia termasuk wanita yang paling cantik serta paling mulia nasabnya.
Ummu Salamah termasuk salah seorang shahabiyat yang fakih, ia juga meriwayatkan sejumlah hadits. Ummu Salamah memiliki beberapa anak, yaitu Umar, Salamah dan Zainab.
Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada istri-istrinya, “Jika kamu senang menjadi istriku di surga maka janganlah menikah sesudahku, karena wanita yang akan menjadi istri seseorang di surga adalah yang menjadi istri terakhirnya di dunia.”
Ummu Salamah merupakan istri Nabi yang terakhir kali meninggal. Dia diberi umur panjang dan mengetahui pembunuhan Husain Asy-Syahid, sehingga membuatnya pingsan karena sangat bersedih. Tidak berselang lama setelah peristiwa itu, dia meninggal dunia. Ummu Salamah meninggal pada tahun 61 Hijriah pada saat berumur kurang lebih 90 tahun.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
15 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Suatu hari Umar bin Khattab memarahi seorang lelaki yang ingin menceraikan istrinya dengan alasan sudah tidak cinta lagi. “Celaka engkau! Apakah rumah tangga hanya dibangun atas dasar cinta? Lalu dimanakah perawatan yang harus engkau lakukan? Dimana janji yang telah engkau ucapkan?”
Siapa yang tidak takut dengan seorang Umar, karakternya yang keras dipakainya untuk melibas kebathilan. Bahkan setan pun lari bila melihatnya. Tapi untuk urusan keluarga, beliau mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Umar terbiasa dengan kemarahan istrinya kepadanya, dan Umar tidak pernah membalas istrinya. “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku, karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Karena istriku, aku merasa tentram (untuk tidak berbuat dosa). Maka hendaknya engkau mampu menahan diri karena yakinlah kemarahan istri itu hanya sebentar.”
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” QS. An-Nisa: 19.
Kecintaan terhadap sesuatu tidak hanya sekedar rasa, yang bisa mati karena kecewa, bisa mendendam karena marah, bisa membalas bila disakiti. Kecintaan seorang muslim adalah tentang memberi maaf dan menyemai kebaikan, untuk memanen hasilnya di akhirat kelak.
Cinta terhadap diri, bukan hanya bicara tubuh, bagaimana sibuk mempercantik diri. Semestinya kita ingat bahwa tubuh ini milik Tuhanmu. Maka harus dijaga sesuai dengan keinginan Allah, agar tubuh ini tidak mengundang maksiat, dan terus terjaga harga dirinya hingga ke liang lahad.
Cinta kepada orang lain, bukan bicara bagaimana harus memiliki sepenuhnya. Tapi bagaimana bisa membangun rasa empati, ada ketika dibutuhkan, memberi tanpa diminta, meluruskan bila salah.
Cinta kepada kebendaan, bukan bicara bagaimana bisa menumpuk kekayaan dan menjaganya biar tidak pernah habis. Tapi bagaimana kekayaan itu diperoleh secara halal, dapat membantu orang lain yang kesulitan ekonomi, sehingga keberkahannya naik ke langit sebagai penambah catatan amal kebaikan, dan Allah membalas berlipat ganda dalam bentuk rizki yang dia kehendaki. Tak melulu dalam bentuk materi (uang), tapi bisa berupa kesehatan, keluarga yang bahagia, lingkungan tetangga yang baik, ketenangan dalam hidup.
Cinta dengan ruang dan waktu, bukan bicara dejavu, sehingga tidak mau keluar dari masa lalu. Tapi menjadikan masa lalu sebagai pelajaran kehidupan, meneruskan kebaikan bila ada, meninggalkan masa kelam jauh di belakang. Karena kita hidup bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan.
Maka cinta bukanlah bercerita tentang “aku”, tapi cinta bercerita tentang dalam membangun peradaban. Cinta adalah sebagaimana bisa banyak memberi, sedikit menerima.
Kondisi akan terus berubah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi harus siap untuk segala kondisi. Kesiapan hanya bisa dilakukan bila ada kekuatan besar yang disiapkan. Kekuatan itu bernama iman. Pun ketika ditinggalkan teman, iman pasti menemani kita dalam kesendirian.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
101 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Fatimah merupakan wanita pilihan, Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Qurasyiyah, Al-Hasyimiyah, dan Ummu Al-Husain. Ia dilahirkan saat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai Nabi.
Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib dinikahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Dzulqa’dah, dua tahun setelah perang Badar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai dan memuliakan Fatimah. Fatimah merupakan sosok perempuan yang sabar, baik hati, menjaga diri, menerima, dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah kepada Ali ketika sampai padanya berita bahwa Ali ingin menikahi putri Abu Jahal. Ketika itu beliau bersabda, “Demi Allah, putri Nabiyullah tidak boleh dicampur dengan putri musuh Allah. Sesungguhnya Fatimah merupakan bagian dariku. Sesuatu yang meragukanku berarti meragukannya dan sesuatu yang menyakitiku berarti menyakitinya.”
Aisyah ra. berkata, “Jika Fatimah datang sambil berjalan, gaya jalannya terlihat sama dengan gaya berjalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau berdiri seraya berkata, ‘Selamat datang wahai putriku!’.”
Aisyah ra. juga berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang perkataan dan pembicaraannya menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain Fatimah, dan jika Fatimah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdiri lalu menciumnya dan memanjakan dirinya. Begitu juga Fatimah memperlakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, dia berkata, “Ketika Fatimah sakit, Abu Bakar datang lalu meminta izin. Ali lantas berkata, ‘Wahai Fatimah, ini ada Abu Bakar meminta izin menemui dirimu.’ Fatimah berkata, ‘Apakah kamu ingin aku mengizinkannya?’ Ali menjawab, ‘Ya’.”
Menurut aku (Asy-Sya’bi) dia ketika itu mempraktekkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengizinkan seorang pun masuk rumah suaminya kecuali atas izin suaminya.
Fatimah mempunyai dua orang putra, yaitu Hasan dan Husain, sehingga ia mendapat julukan Ummu Al-Husain. Ia juga mempunyai dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum (istri Umar bin Khattab) dan Zainab (istri Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah ketika beliau sakit, “Sesungguhnya aku akan meninggal karena sakitku ini.” Mendengar itu, Fatimah menangis. Namun beliau menenangkan dirinya dengan memberitahukan bahwa dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama kali bertemu dengan beliau.
Ketika itu dia adalah pemimpin wanita dunia ini. Dia pun menerima dan menyembunyikannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Aisyah bertanya kepadanya, lalu dia bercerita kepadanya tentang berita itu. Aisyah berkata, “Fatimah hidup selama enam bulan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Kemudian dia dimakamkan pada malam hari.”
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
48 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Fatimah merupakan wanita pilihan, Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Qurasyiyah, Al-Hasyimiyah, dan Ummu Al-Husain. Ia dilahirkan saat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai Nabi.
Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib dinikahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Dzulqa’dah, dua tahun setelah perang Badar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai dan memuliakan Fatimah. Fatimah merupakan sosok perempuan yang sabar, baik hati, menjaga diri, menerima, dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah kepada Ali ketika sampai padanya berita bahwa Ali ingin menikahi putri Abu Jahal. Ketika itu beliau bersabda, “Demi Allah, putri Nabiyullah tidak boleh dicampur dengan putri musuh Allah. Sesungguhnya Fatimah merupakan bagian dariku. Sesuatu yang meragukanku berarti meragukannya dan sesuatu yang menyakitiku berarti menyakitinya.”
Aisyah ra. berkata, “Jika Fatimah datang sambil berjalan, gaya jalannya terlihat sama dengan gaya berjalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau berdiri seraya berkata, ‘Selamat datang wahai putriku!’.”
Aisyah ra. juga berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang perkataan dan pembicaraannya menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain Fatimah, dan jika Fatimah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdiri lalu menciumnya dan memanjakan dirinya. Begitu juga Fatimah memperlakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, dia berkata, “Ketika Fatimah sakit, Abu Bakar datang lalu meminta izin. Ali lantas berkata, ‘Wahai Fatimah, ini ada Abu Bakar meminta izin menemui dirimu.’ Fatimah berkata, ‘Apakah kamu ingin aku mengizinkannya?’ Ali menjawab, ‘Ya’.”
Menurut aku (Asy-Sya’bi) dia ketika itu mempraktekkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengizinkan seorang pun masuk rumah suaminya kecuali atas izin suaminya.
Fatimah mempunyai dua orang putra, yaitu Hasan dan Husain, sehingga ia mendapat julukan Ummu Al-Husain. Ia juga mempunyai dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum (istri Umar bin Khattab) dan Zainab (istri Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah ketika beliau sakit, “Sesungguhnya aku akan meninggal karena sakitku ini.” Mendengar itu, Fatimah menangis. Namun beliau menenangkan dirinya dengan memberitahukan bahwa dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama kali bertemu dengan beliau.
Ketika itu dia adalah pemimpin wanita dunia ini. Dia pun menerima dan menyembunyikannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Aisyah bertanya kepadanya, lalu dia bercerita kepadanya tentang berita itu. Aisyah berkata, “Fatimah hidup selama enam bulan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Kemudian dia dimakamkan pada malam hari.”
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
3 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Kadang kita punya beragam rencana namun ujungnya hanya menjadi angan-angan. Hasil tak sesuai dengan yang diinginkan, capaian-capaian terhenti pada titik pengharapan, sedangkan waktu terus berjalan. Bila membandingkan diri dengan orang lain, rasanya kita termasuk di bagian orang yang gagal, tidak seberuntung yang lain.
Namun ujian seperti itu akan terus hadir untuk menguji keyakinan kita terhadap Allah, selaku sebaik-baik pembuat rencana. Seringkali ketidaktahanan akan kondisi sulit dan ujian yang tak ada habisnya, karena kita hanya mengandalkan kemampuan dan kekuatan pribadi saja. Membuat berbagai keinginan capaian yang ingin lekas diwujudkan tanpa melibatkan Allah.
Sejatinya Allah sedang mendidik daya tahan kita untuk berjuang, dan memaknai setiap proses yang ada dengan senantiasa melibatkan-Nya. Maukah kita berkorban dengan seluruh harta, jiwa, dan raga kita, senantiasa terjaga dalam naungan ketaatan, berjuang dengan segenap ketakwaan, dan menyerahkan kepada-Nya dengan utuh untuk segala urusan.
Penulis kitab Manazilus-Sa’irin berkata, “Keyakinan ini adalah warna hitam mata tawakal, titik tengah lingkaran kepasrahan dan relung hati penyerahan din.” Keyakinan kita terhadap Allah adalah inti dari tawakal, seperti halnya warna hitam pada mata, atau seperti titik tengah lingkaran yang semua sisinya berpusat padanya. Seperti relung hati yang menjadi bagian terpenting dari hati itu sendiri.
Maka apabila kepasrahan merupakan hati, maka keyakinanlah yang menjadi relungnya. Apabila kepasrahan merupakan mata, maka keyakinan merupakan warna hitamnya. Dan apabila kepasrahan merupakan lingkaran, maka keyakinan merupakan titik tengahnya. Keyakinan menjadi hal penting yang berperan dalam tawakal kita terhadap segala rencana Allah subhanahu wa ta’ala. Madaarijus Saalikin 2/24.
Keyakinan terhadap Allah terdapat tiga derajat:
Derajat keputusasaan. Keputusasaan ini perlu, agar seorang hamba menyadari bahwa dirinya tidak dapat melawan hukum yang telah Allah tetapkan. Meyakini bahwa kita tidak bisa lari dari qadha’ dan hukum-Nya, sebab Allah telah menetapkan hukum dan urusan bagi dirinya. Sehingga memunculkan sikap ikhlas menerima keputusan-Nya.
Derajat aman. Keamanan ini dirasakan seorang hamba dari kehilangan yang didapatkan, namun meyakini bahwa Allah telah menyiapkan dan akan menggantikan yang terbaik untuknya, sehingga dirinya mampu ridha dan bersabar sebab yakin bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu yang terbaik untuk dirinya.
Melihat keazalian Allah. Selagi hati kita mempersaksikan bahwa Allah memiliki sifat azali (kekal), maka kita tidak terlalu sibuk dengan permintaan, sebab semuanya sudah ditetapkan oleh Allah, sehingga lebih fokus pada optimalnya ikhtiar dan tawakal. -Madaarijus Saalikin 2/247-248.
Biarkan pengalaman gagal, kecewa, takut, lelah dan segala rasa yang hadir menjadi proses berharga untuk diri semakin mengenal-Nya.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada orang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersyukur. Itu pun baik baginya.” HR. Muslim.
Segala harapan dan rencana yang kita miliki dan inginkan, biarkan ia bermuara kemana ia harus dikembalikan. Kita harus memahami bahwa kewajiban kita adalah berusaha, dan memaknai setiap proses dari Allah dengan sebaik-baik tawakal dan kesabaran. Menyadari bahwa kondisi sulit dan ujianlah yang membuat kita terus bertumbuh dan terjaga dalam naungan kebaikan. Dan meyakini bahwa Allah lah sebaik-sebaiknya perencana dalam kehidupan.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
20 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Kadang kita punya beragam rencana namun ujungnya hanya menjadi angan-angan. Hasil tak sesuai dengan yang diinginkan, capaian-capaian terhenti pada titik pengharapan, sedangkan waktu terus berjalan. Bila membandingkan diri dengan orang lain, rasanya kita termasuk di bagian orang yang gagal, tidak seberuntung yang lain.
Namun ujian seperti itu akan terus hadir untuk menguji keyakinan kita terhadap Allah, selaku sebaik-baik pembuat rencana. Seringkali ketidaktahanan akan kondisi sulit dan ujian yang tak ada habisnya, karena kita hanya mengandalkan kemampuan dan kekuatan pribadi saja. Membuat berbagai keinginan capaian yang ingin lekas diwujudkan tanpa melibatkan Allah.
Sejatinya Allah sedang mendidik daya tahan kita untuk berjuang, dan memaknai setiap proses yang ada dengan senantiasa melibatkan-Nya. Maukah kita berkorban dengan seluruh harta, jiwa, dan raga kita, senantiasa terjaga dalam naungan ketaatan, berjuang dengan segenap ketakwaan, dan menyerahkan kepada-Nya dengan utuh untuk segala urusan.
Penulis kitab Manazilus-Sa’irin berkata, “Keyakinan ini adalah warna hitam mata tawakal, titik tengah lingkaran kepasrahan dan relung hati penyerahan din.” Keyakinan kita terhadap Allah adalah inti dari tawakal, seperti halnya warna hitam pada mata, atau seperti titik tengah lingkaran yang semua sisinya berpusat padanya. Seperti relung hati yang menjadi bagian terpenting dari hati itu sendiri.
Maka apabila kepasrahan merupakan hati, maka keyakinanlah yang menjadi relungnya. Apabila kepasrahan merupakan mata, maka keyakinan merupakan warna hitamnya. Dan apabila kepasrahan merupakan lingkaran, maka keyakinan merupakan titik tengahnya. Keyakinan menjadi hal penting yang berperan dalam tawakal kita terhadap segala rencana Allah subhanahu wa ta’ala. Madaarijus Saalikin 2/24.
Keyakinan terhadap Allah terdapat tiga derajat:
Derajat keputusasaan. Keputusasaan ini perlu, agar seorang hamba menyadari bahwa dirinya tidak dapat melawan hukum yang telah Allah tetapkan. Meyakini bahwa kita tidak bisa lari dari qadha’ dan hukum-Nya, sebab Allah telah menetapkan hukum dan urusan bagi dirinya. Sehingga memunculkan sikap ikhlas menerima keputusan-Nya.
Derajat aman. Keamanan ini dirasakan seorang hamba dari kehilangan yang didapatkan, namun meyakini bahwa Allah telah menyiapkan dan akan menggantikan yang terbaik untuknya, sehingga dirinya mampu ridha dan bersabar sebab yakin bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu yang terbaik untuk dirinya.
Melihat keazalian Allah. Selagi hati kita mempersaksikan bahwa Allah memiliki sifat azali (kekal), maka kita tidak terlalu sibuk dengan permintaan, sebab semuanya sudah ditetapkan oleh Allah, sehingga lebih fokus pada optimalnya ikhtiar dan tawakal. -Madaarijus Saalikin 2/247-248.
Biarkan pengalaman gagal, kecewa, takut, lelah dan segala rasa yang hadir menjadi proses berharga untuk diri semakin mengenal-Nya.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada orang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersyukur. Itu pun baik baginya.” HR. Muslim.
Segala harapan dan rencana yang kita miliki dan inginkan, biarkan ia bermuara kemana ia harus dikembalikan. Kita harus memahami bahwa kewajiban kita adalah berusaha, dan memaknai setiap proses dari Allah dengan sebaik-baik tawakal dan kesabaran. Menyadari bahwa kondisi sulit dan ujianlah yang membuat kita terus bertumbuh dan terjaga dalam naungan kebaikan. Dan meyakini bahwa Allah lah sebaik-sebaiknya perencana dalam kehidupan.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
5 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” QS. An-Nur: 26.
Ayat ini diturunkan oleh Allah sebagai pembelaan kepada Aisyah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pada waktu itu tengah difitnah oleh kaum munafik. Ayat ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa Aisyah yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang laki-laki baik, juga merupakan perempuan baik, sehingga membantah tuduhan kaum munafik yang tidak berdasar.
Ayat ini juga menjadi dasar dari ungkapan jodoh itu merupakan cerminan diri. Meskipun demikian, tak selalu perempuan yang baik mendapatkan laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Belajar dari sejarah, kita mengetahui bahwa Nabi Ayyub dan Nabi Nuh memiliki istri yang tidak baik. Pun dengan Asiyah yang akan kita bahas kali ini, Asiyah merupakan wanita sholihah yang bersuamikan Fir’aun, musuh Allah yang mengaku sebagai Tuhan, banyak mendzolimi rakyatnya dan banyak membunuh manusia.
Masya Allah betapa teguhnya dan sabarnya Asiyah memiliki suami seperti Fir’aun. Maka tak selalu jodoh merupakan cerminan diri, ketika bertentangan ini bisa jadi merupakan ujian dari Allah.
Meski bersuamikan Fir’aun, ini tidak menghalangi Asiyah untuk beriman kepada Allah dan mengimani bahwa Nabi Musa merupakan utusan Allah. Ketika Nabi Musa mengalahkan para tukang sihir Fir’aun, keimanan Asiyah semakin mantap. Keimanannya kepada Allah sebenarnya sudah lama tertanam di hatinya. Asiyah menolak menyatakan Fir’aun (suaminya) sebagai Tuhan. Dalam Tafsir Muroh Labid disebutkan bahwa benih-benih iman dalam hati Asiyah mulai tampak ketika ingin mengasuh Nabi Musa yang dihanyutkan di sungai.
Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya. Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa  yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?”
Mereka menyanjungnya. Lalu, Fir’aun berkata lagi kepada mereka, “Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selain ku”. Berkatalah mereka kepadanya, “Bunuhlah dia!” Alangkah beratnya ujian Asiyah, disiksa oleh suaminya sendiri.
Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakan batu yang besar.
Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.
Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah. Maka Allah pun tidak menyia-yiakan keteguhan iman wanita itu. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.
Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdoa memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini dalam Al-Qur’an.
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” QS. At-Tahrim: 11.
Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.
Maka tibalah saat-saat terakhirnya di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.
Sisters, tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulai ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.
Kisah Asiyah ini merupakan salah satu contoh bahwa catatan amal seorang istri tidak tergantung pada catatan amal suaminya. Seorang suami beramal sholeh untuk dirinya sendiri, juga seorang istri beramal sholeh untuk dirinya sendiri. Tak ada jaminan kita bersuamikan seorang laki-laki sholeh, kita juga akan selamat di akhirat kelak. Juga tak menjadi sebab bahwa kita bersuamikan laki-laki tidak sholeh, sehingga kita tidak selamat di akhirat.
Maka jangan merasa aman, sadarilah bahwa di dalam rumah tangga kita bertugas saling mengingatkan antara suami-istri, orangtua-anak, dan antar saudara. Maka jadikanlah rumah tangga kita yang berprioritas pada akhirat, yag senantiasa menjaga nilai-nilai islam pada setiap insan di dalam rumahnya.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
35 notes · View notes
frasa-in · 1 year
Text
Tumblr media
Dear Sisters,
Peribahasa mengatakan, “Malu bertanya, sesat di jalan.” Namun ada orang yang sudah banyak bertanya, mengapa tetap ‘sesat jalan’?
Tujuan bertanya itu ada bermacam-macam, ada yang memang ingin mencari kebenaran, tapi ada juga yang sebaliknya. Bertanya sekedar ‘ngetes’ untuk mencari celah-celah pemakluman atas kemalasan melakukan perintah Allah padahal sudah mengerti, atau hanya mencari pembenaran atas pendapatnya sendiri, bertanya untuk meledek, atau bertanya sekedar ingin tahu saja.
Maka sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk bisa mendeteksi jenis pertanyaan yang boleh ditanyakan dan pantas untuk dijawab. Bila tujuannya memang untuk mendapatkan kebenaran, mendalami ilmu untuk menguatkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah yang bermanfaat dan menjauhi kesesatan.
Tetapi bila selain itu, seorang muslim dilarang banyak bertanya. Ilmu adalah ibadah hati, tidak akan mendapatkan hikmah untuk orang yang bertujuan selain kepada Allah, hatinya tertutupi noda-noda dosa atau penyakit hati.
Beberapa hal ini harus dihindari:
Bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, berandai-andai, meminta diramal, termasuk pertanyaan kapan hari kiamat tiba. QS. Al-A’raf: 187. Ibnu Umar ra. berkata, “Kalian jangan bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, karena aku mendengar Umar bin Khattab melaknat orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.”
Bertanya hal yang tidak perlu karena ingin tahu saja. Hal ini tidak mendatangkan kebaikan apapun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari pernah ditanya oleh segolongan kaum, hingga beliau marah. Seorang lelaki bertanya, “Siapakah ayahku?” Lelaki lainnya bertanya pula, “Untaku hilang, di manakah untaku?”. Yang lain lagi bertanya, “Dimanakah ayahku?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab "Di neraka."
Bertanya tentang wujud Allah subhanahu wa ta’ala. Kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh kaum yahudi. “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”. Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” QS. Al-Baqarah: 56.
Bertanya yang menyebabkan memberatkan si penanya dalam melaksanakan hukum syariat. Maka ketika seorang berilmu tidak menjawab pertanyaan kita (mendiamkan), berarti itulah yang lebih baik bagi kita. Ketika turun perintah untuk berhaji, seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam, tidak menjawab. Ia pun mengulang pertanyaannya hingga 3 kali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak, dan seandainya kukatakan ya, niscaya menjadi wajib, dan seandainya diwajibkan (tiap tahunnya), niscaya kalian tidak akan mampu”. Maka Allah menurunkan ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” QS. Al-Ma’idah: 101.
Allah juga melarang bertanya untuk hal-hal yang menyebabkan kesusahan, kesedihan, dan tidak menambah keimanan. “Apakah orang tua Rasulullah masuk surga atau neraka?”. Karena hal yang sudah masuk wilayah prerogatif Allah tidak ada yang mampu menjawabnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkanlah apa-apa yang aku tinggalkan, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan menyalahi Nabi-Nabi mereka. Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.” HR. Bukhari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal-hal yang fardhu, maka janganlah kalian menyia-yiakan nya, dan Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya, dan Dia telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan (tidak menjelaskan) banyak hal karena kasihan kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.”
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
13 notes · View notes