Tumgik
hanamaulida · 12 days
Text
Sudah berada di fase, lagi sakit (bahkan sampai dirawat di rumah sakit) tapi nggak mau ada yang jenguk. Kecuali orang2 yang benar2 siginifikan dan penting dalam hidup aja.
Pas kembali masuk kantor, ada yang bilang gini :
"Lo kemarin sakit? Dirawat? Kok nggak bilang2. Gw malah tau dari bidang lain masa"
"Hehe iya teh. Repot lah harus pengumuman sakit. Lagian kemarin seluruh anggota keluarga lagi pada sakit, jadi ribet aja nanti nerima2 tamu. Pengen istirahat"
Dalam hati, orang-orang nganggep gw aneh nggak ya? Ansos gitu? Bisa2nya orang lagi sakit nggak pengen ditengok dan BILANG NGGAK MAU DITENGOK🤣
Tapi ya gapapa, I'm just set the boundaries for my self. Yang penting nggak merugikan orang lain dan menyampaikan dengan baik2.
11 notes · View notes
hanamaulida · 3 months
Text
Point of View
Akhir2 ini sempet beberapa kali liat video dengan nuansa sama. Judulnya "PoV anak rewel suami marah2 tapi saldo ATM 5M". Ada beberapa versi yang dibuat sama orang2. Pesannya sama, bedanya paling ada di angka M nya ; ada yang 5M, 2M, 3M, dll.
Singkat cerita video itu memperlihatkan ibu2 lagi gendong/nemenin anak yang lagi tantrum. Sambil full senyum tanpa jeda. Nah yang menarik, di kolom komentar hampir semua sepakat sama PoV tersebut.
Di awal mungkin kita juga secara refleks membenarkan hal tersebut ya. Termasuk saya. Sempet ketawa juga. Apalagi di kondisi yang lagi benar2 sulit dalam hal finansial. Merasa relate dan ada temennya.
Sampai saya tertegun oleh salah satu komentar "Akhirnya terkuak ya rahasia gentle parentingnya Nikita Willy"
Saya nggak tau... Apa sayanya aja terlalu nganggep serius konten yang niatnya mungkin hanya guyon ini?
Tapi di lubuk hati terdalam.... kok saya merasa direndahkan ya sebagai perempuan.
Mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kesabaran itu kan sebuah keharusan. Karena anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga sebaik mungkin. Lagipula, Allah juga telah menciptakan fitrah seorang perempuan itu penuh kasih sayang. Ssetidaknya kadar/potensi kelembutan perempuan terbukti lebih besar daripada laki2.
Tapi dengan adanya konten seperti itu --dan banyak yang setuju, maka sama saja dengan perempuan mengkerdilkan dirinya sendiri.
Padahal seorang ibu, terlepas dari kondisinya (ekonomi) seperti apa selalu bisa menjadi mulia karena tugas yang diembannya.
Padahal seorang ibu, atas segala pengorbanan dan jasanya, tak kan bisa terbayar oleh saldo rekening berapa-M pun!
Baru sanggup lemah lembut ketika segalanya melimpah.
Baru bisa bersabar ketika rekening unlimited.
Baru mau senyum ketika punya semuanya.
Seriously, ini sama sekali tidak lucu :( emang boleh hubungan ibu-anak setransaksional itu?
Jujur yang saya khawatirkan, banyak ibu2 yang seolah mendapatkan validasi atas sikapnya yang kurang patut pada anak dengan dalih "Ya iyalah, gw kan bukan Nikita Willy yang gak mikir besok mau makan apa"
Semoga memang hanya saya yang terlalu serius terhadap konten bercandaan ini.
Semoga ibu2 yang menonton konten tersebut paham bahwa kaya raya bukanlah syarat untuk menjalankan peran terbaik sebagai ibu.
Karena apapun dan bagaimanapun kondisinya, naluri seorang ibu, selalu ingin melakukan dan memberikan yang terbaik untuk anak2nya.
41 notes · View notes
hanamaulida · 4 months
Text
Terimakasih atas kisahnya.. sungguh menjadi tamparan keras di tengah sibuknya memikirkan perkara dunia... 😭
Cerpen : Jika sudah 5 tambahkan 2
“Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”
Begitu nasihat ibuku jika aku hendak kembali merantau. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa jauh dari orang tua. Ngekost di kota lain di luar tempat kelahiranku. Aku suka berpetualang mencari tempat baru, suasana dan segala macam pengalaman yang membuatku antusias. Karena itulah aku memilih sekolah jauh dari rumah sejak sekolah dasar. Dan sejauh ini orang tuaku tidak keberatan. Mereka percaya aku bisa jaga diri.
Aku mengangguk, menyelesaikan tali sepatu kemudian menghampiri ibuku untuk mengecup telapak tangannya. Kelopak matanya basah. Selalu begitu jika aku sudah harus berpamitan lagi.
Ibu tidak menasihatiku macam-macam, seperti jaga pergaulan, cari teman dan lingkungan yang baik dan sebagainya. Pesan ibu hanya kalimat sederhana, “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua. Biasakan tujuh itu jadi kebutuhanmu sehari-hari.”
Ya, sederhana ibu hanya mengingatkanku untuk selalu menjaga shalat lima waktu di manapun aku berada. Dan berpesan agar aku selalu menyempatkan waktu untuk menambah dua hal lagi. Tahajud di sepertiga malam dan Dhuha ketika matahari mulai naik tujuh hasta sejak terbitnya. Itulah tujuh waktu yang awalnya seperti kewajiban rutin yang harus aku lakukan tiap harinya, dan lama-lama menjadi kebutuhanku sendiri. Seperti kata ibu.
Sewaktu umurku masih lima tahun aku pernah menanyakan alasannya. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus bangun sebelum shubuh. Ibuku menjelaskan, sembari memakaikan seragam sekolahku. Ibuku paham, jika aku harus mengerjakan sesuatu, aku harus tahu lebih dulu alasannya. Katanya,
“Jika kamu sudah besar nanti, kelak kamu akan paham kalau shalat itu bukan sekedar rutinitas seorang muslim. Shalat adalah cara seorang hamba bersyukur dan meminta perlindungan Allah.” Ujar ibuku sembari mengancingkan bajuku.
“Misalnya shalat shubuh, kenapa kita harus buru-buru bangun pagi-pagi sekali yang bahkan matahari pun belum terbit untuk menunaikan shalat dua rakaat. Itu cara kita menyiapkan diri, jiwa dan raga untuk menghadapi kehidupan satu hari ke depan. Karena kita tidak tahu akan ada apa saja selama dua puluh empat jam ke depan. Bayangkan kalau orang bangun tidur langsung kerja, beraktivitas. Pasti rasanya malas sekali. Tapi dengan kita shalat pikiran kita akan lebih segar, raga kita akan lebih siap. Pagi-pagi sekali kita sudah terbasuh air, menghirup udara segar. Berkonsentrasi untuk sepenuh jiwa menghadapNya. Berdoa untuk meminta kemudahan. Insya Allah kalau kita melakukan shalat shubuh secara teratur –tidak kesiangan terus. Langkah kita akan lebih ringan, karena sudah sadar sepenuhnya. Sadar dari kematian sementara yang kita kenal dengan tidur, sadar bahwa kita sudah diberi kesempatan kembali hidup. Kamu ingat doa bangun tidur kan? Sering baca terjemahnya juga kan?”
Aku mengangguk, sambil kedua lenganku berpegangan pundak ibu karena harus mengangkat kaki kiri untuk memakai celana.
“Seperti itu juga empat shalat wajib lainnya, masing-masing memiliki manfaat bagi yang mengerjakannya. Pengetahuan kita saja yang masih terbatas. Kalau sudah besar kamu nanti jauh lebih paham dari ibu.”
Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.
“Kebutuhan manusia itu banyak, tidak bisa seratus persen kita bisa berusaha memenuhinya. Untuk saat ini, itu cukup jadi alasan buatmu mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat. Catat di hatimu, Dhuha lah caramu meringankan kebutuhanmu yang tidak bisa kamu penuhi secara sempurna. Dhuha penyeimbang usaha-usaha yang sedang kamu lakukan. Berharaplah diberi kemudahan, selalu diberi jalan terang. Cukup itu dulu yang jadi alasannya, pelan-pelan ketika kau sudah rutin mengerjakannya, ibu yakin kamu akan menemukan alasan lain. Kamu akan pahami dengan sendirinya.
Sedangkan untuk Tahajud, baru belakangan ini aku tahu alasannya kenapa ibu menasehatiku untuk selalu bangun di sepertiga malam. Waktu masih sekolah aku jarang sekali bangun untuk shalat Tahajud, karena di sekolah aku pasti menguap karena mengantuk. Makanya untuk shalat malam ini, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Hingga setelah kerja inilah pemahaman itu mulai datang membawa alasan-alasan yang jiwaku menerimanya. Ternyata aku memang membutuhkan shalat malam itu, membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah setelah seharian disibukkan dengan rutinitas yang monoton. Membutuhkan waktu sendiri dalam sepi untuk perenungan, untuk menyejukkan jiwa-jiwa yang mulai lapar oleh basuhan rohani. Dengan Tahajud jiwa manusiaku kembali kepada fitrahnya, sebagai seorang hamba. Dialog diri sebagai seorang hamba itu yang membantuku kembali ke tujuan semula aku merantau di bumi ini. Setelah seharian penuh aku dibutakan jalan oleh dunia.
Dalam perjalanan kembali ke kosanku, aku mengingat kembali pesan sederhana ibu. “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”
Lagi-lagi aku mengangguk meski jarak ibu sudah berkilo meter di belakang. Mengangguk seolah ibu sedang berada di depanku seperti ketika waktu kecil dulu. Akan selalu aku usahakan menunaikan yang tujuh ini, sesibuk apapun itu. Aku bertekad. @quotezie
376 notes · View notes
hanamaulida · 4 months
Text
Aku tidak mencintaimu di setiap waktu. Aku mencintaimu di setiap doa.
Falafu
Dalam menjalani kehidupan berumahtangga, semua emosi akan datang silih berganti. Ibarat kata; se-serasi apapun kita dengan pasangan, pasti ada saatnya berbeda pandangan. Yang amat mungkin memicu perdebatan.
Ada kalanya kita merasa saling menemukan. Tapi dalam beberapa situasi, bisa jadi melihat bayangannya saja sudah enggan.
Tapi itu adalah kita, manusia, makhluk yang tiada daya tanpa pertolongan-Nya.
Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kita tidak akan bisa dan tidak akan mampu mencintai pasangan kita di setiap waktu yang kita punya.
Beda soal dengan doa. Doa adalah jalur komunikasi langsung antara kita dengan Allah Azza wa Jalla. Tidak ada perantaranya.
Ketika sesuatu kita sebut dalam doa, artinya, sesuatu tersebut amat penting bagi kita.
Sehingga...
Ketika kita senantiasa berupaya meminta kebaikan bagi pasangan melalui doa, sebahagia atau sekacau apapun perasaan kita saat itu pada pasangan...
Maka itulah yang paling patut disebut cinta.
101 notes · View notes
hanamaulida · 5 months
Text
Set the boundaries.
Lagi-lagi tentang kantor.
Sekarang ini, bisa dibilang, aku adalah orang paling bodo amat untuk urusan relasi dengan teman kantor. Jarang ikut kegiatan yang sifatnya 'hanya' kumpul2 diluar urusan kerjaan, misalnya. While temen2ku yang satu angkatan (masuk kerjanya bareng) sangat kelimpungan menimbang2 kalau mau skip ikut kumpul.
Duh nanti dinotice sama atasan, gimana?
Nanti dibilang nggak loyal, gimana?
Nanti dicariin, kemana aja?, gimana?
Aku? Dengan mudah menjawab yang sebenar2nya kalau aku punya urusan lain yang lebih penting.
Begitu juga ketika mengerjakan tugas2 kantor. Nggak bisa dipungkiri, pegawai2 yang lebih senior (apalagi di Pemerintahan Daerah) bekerja dengan progress yang sangat lambat. Jadilah kerjaan selesai lebih lama, dengan kualitas yang sederhana (asal selesai).
Aku bukannya julid atau tidak suka, atau malas membantu mereka. Aku justru prihatin dan kasihan sebenarnya. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka mengemban jabatan yang tanggungjawabnya besar. Apalagi mengetahui bahwa jabatan itu hasil 'meminta' :)
Sehingga, sering sekali beliau2 ini meminta bantuan tentang suatu kerjaan benar2 dari awal sampai akhir. Sementara, kan, aku juga harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasku.
Sesekali kalau aku lagi nggak terlalu sibuk, aku bantu. Tapi kalau aku lagi mengerjakan sesuatu, lalu diminta mengerjakan hal lain yang bukan tugasku, ya aku tolak.
Bu, pak, punten. Saya lagi ngerjain x. Belum bisa bantu.
Atau,
Jalan ninjaku yaitu mode do not disturb, pake headphone dan setel podcast keras, dan pura2 nggak denger atau nggak nyimak apa yang terjadi.
Kadang aku galau juga. Aku ini dipandang seperti apa ya oleh teman2 di kantor? Sombong kah? Pelit ilmu kah? Tapi seringnya kegalauan2 itu aku mementahkan dengan keyakinan; aku hanya butuh set the boundaries.
Aku memilih untuk membatasi apa2 yang aku dengar, rasakan, dan kerjakan untuk menghemat energiku.
Aku tidak bermaksud sombong atau jahat dengan orang, aku hanya butuh 'kewarasan' untuk tetap seimbang dalam menjalani hidup.
Biarlah orang berasumsi apa. Keputusanku untuk tidak terus menerus membantu atau akrab kumpul2 (secara terpaksa) adalah prinsip. Kecuali jika aku benar2 ingin. Aku tidak mau terjebak dalam drama dan menjadi people pleaser.
Dan yang terpenting, aku selalu melakukan yang terbaik atas tugas2 yang menjadi tanggung jawabku.
Ohiya, keengananku dalam acara kumpul2 sebenarnya juga cukup beralasan. Aku mengetahui tabiat beberapa orang yang ringan dalam melakukan manipulasi (baik di soal anggaran ataupun level pergaulan), suka membicarakan keburukan orang lain, dan menduduki jabatan dengan jalan yang tidak semestinya ditempuh.
Sehingga, aku, lagi2 memilih untuk tidak memiliki hubungan dekat atau akrab dengan orang2 ini.
Lagi2, aku hanya memilih untuk lebih sadar atas hidupku; prinsip dan nilai yang aku yakini. Jadi, tak perlu merasa bersalah atas itu (talk to myself).
83 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Apa iya, masalah2 pelik yang dihadapi rakyat kecil bisa diselesaikan lewat rapat di ruangan-ruangan mewah dengan makanan dan minuman yang nyaman di lidah?
Just thinking....
58 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Kemarin, hari Senin.
Seperti Senin-senin sebelumnya, saya ngebut buru2 menuju kantor karena apel pagi dimulai sebelum jam 8.
Alhamdulillah sampai kantor pas banget apel baru dimulai.
Nggak ada yang beda dari apel hari ini. Pimpinan apel membahas agenda yang sedang berjalan di bidang dan saya berusaha mendengarkannya dengan seksama.
Selesai apel, saya tanda tangan di presensi apel. Kenapa? Konon kepala dan sekretaris dinas pingin tahu siapa aja yang nggak ikut apel.
Nah konflik dimulai ketika saya duduk di kursi saya.
Ada pesan WhatsApp masuk;
"Na tolong absenin saya ya, saya lagi isi bensin ngantri nggak keburu apel"
Klasik. Permintaan sebelumnya pun saya udah pernah nolak. Kok nggak kapok ya saya tolak?
Saya diemin aja tuh.
Nggak lama, si ibu nelpon. Saya nggak angkat juga. Saya memilih membalas via chat karena malas debat pagi2.
"Bu maaf saya nggak bisa ngabsenin. Ibu langsung ke Bu Dian aja ya"
Nggak lama, si ibu muncul. Dan marah2 ke saya! Hehe.
"Hana, kok saya WA nggak dibales nggak diangkat. padahal kamu online!"
"Udah saya bales Bu"
"Halah alasan. Apa susahnya sih ngabsenin!"
"Tadi aja dari bidang kita cuma ada saya sama Bu Dewi. Mana berani saya ngabsenin ibu"
Diapun pergi sambil membanting langkah.
Saya? Yaa agak deg2an sih. Cuma saya lebih tenang. Dan nggak nyangka bisa seberani itu; berhasil mempertahankan prinsip meski di hal yang menurut orang "remeh" ini.
Oh iya, ini balasan WA saya ke beliau:
"Maaf Bu saya nggak bisa. Semoga ibu memahami prinsip saya ya Bu..🙏🏼 utk tugas lain/tanggung jawab lain saya pasti mau bantu dan kerjakan.."
*Meskipun pahit, semoga tetap terlihat cukup sopan dengan saya menyisipkan emoticon 🙏
43 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Tepat hari ini, usiaku 29 tahun. Beberapa tahun terakhir --didorong oleh pemahamanku dalam agama yang kuyakini, aku berusaha untuk tidak merayakan ulang tahun.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri tanggal lahir adalah tanggal yang spesial bagi kehidupan seseorang. Tidak mungkin dilupakan. Katakanlah untuk kebutuhan administratif, salah satunya. Tanggal akan tersemat di berbagai kebutuhan dokumen kependudukan, pekerjaan , sekolah, dll.
Sehingga eman-eman jika tanggal yang sudah dihapal di luar kepala itu tidak dijadikan 'momentum' akan sesuatu.
Takjub rasanya mengetahui waktu masih bergulir di tanggal yang sama selama 29 kali dalam hidupku. Dan entah kenapa, tiap tanggal lahirku berulang, ingatan pertama yang terlintas dalam benakku adalah teman-teman sebaya (atau bahkan lebih muda) yang sudah wafat.
Siapa yang tidak takut mati? Maksudku, orang2 yang ingin masuk surgapun, yang bahkan amalan + ibadahnya baguspun, pasti terbesit rasa takut akan kematian. Membayangkan gelapnya alam kubur saja tak sanggup rasanya.
Lalu bagaimana kabarnya aku yang hanya inginnya saja masuk surga, tapi amalan dan ibadahnya biasa-biasa saja (atau bahkan minus) :""""""
Maka di momentum 29 kali tanggal 29 Agustus terulang dalam hidupku, aku memilih untuk melakukan ini:
1. Bersyukur
Masih diberi kesempatan oleh Allah atas nafas yang dihirup, melihat dengan mata yang sehat, makan dan minum, tidur nyenyak, keluarga yang sehat (dan sangat banyak nikmat lain yang tentu tidak bisa dihitung!!).
2. Muhasabah diri
Dari sekian ribu jam yang Allah beri, apakah telah digunakan dan dimaknai dengan sebaik-baiknya? Berapa perbandingan antara bermalas-malasan dengan bebenah diri?
3. Mengingat perjuangan Ibu yang melahirkanku
Tanggal lahir sejatinya adalah momen perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya. Maka bagiku cukup masuk akal, bahwa jikapun tanggal kelahiran itu dirayakan, maka pastikan hal tersebut ditujukan untuk dia yang Allah percayakan untuk memperjuangkan kehadiran kita di dunia ; IBU (otw beli kado untuk mama).
Ya Allah.... Di titik ini rasanya sudah tidak ada keinginan akan sesuatu yang sifatnya materi seperti dulu.
Ketenangan hati, kesehatan, hubungan yang baik dengan orang-orang terkasih, itulah yang membuat segalanya terasa cukup.
Sisanya, kurasa adalah tinggal bagaimana caranya aku mengekspresikan rasa syukur.
Alhamdulillah 'ala kulli haal..
Terimakasih atas kesempatan hidup ini, Ya Allah. Izinkan aku menjadi manusia yang senantiasa berada dalam lindungan, kasih sayang, dan petunjuk-Mu...
60 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Ikhlas itu sulit. Tapi ia membawamu ke puncak kebahagiaan.
91 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Hidup ini tidak boleh sederhana. Hidup ini harus hebat, kuat, dan bermanfaat.
Yang sederhana adalah sikap.
Chairul Tanjung
501 notes · View notes
hanamaulida · 7 months
Text
Allah.....🥺
Berikan waktu pada dirimu untuk beristirahat dari lelahnya dunia dan teman-temannya, agar hatimu sembuh, agar dirimu bisa berubah pada arah kebaikan, dan agar kamu lebih bisa mencintai dirimu sendiri. Berikan jeda.
Berikan jeda, untuk kesekian kalinya lagi.
Barangkali kamu sedang sakit, entah hati atau pun pikiran. Barangkali kamu sedang jenuh dengan ritme hari yang dilalui dengan begitu cepatnya tanpa pernah lagi kamu menikmatinya.
Berikan jeda, untuk kembali menata apa yang kurang dari hati ini. Barangkali sudah terlalu jauh dari Allah, cobalah mendekat, semampunya.
Berikan jeda, jangan lupa, ya.
@jndmmsyhd
828 notes · View notes
hanamaulida · 8 months
Text
For the first time, sengaja ambil cuti 3 hari nyambung ke weekend karena ngerasa udah ada sinyal kenceng banget untuk ambil jeda dari semua rutinitas.
Yup, cuti ini bener-bener dialokasikan untuk berdialog dengan diri sendiri tentang; apa sih sebenernya yang lagi "dikejar"? Apa tujuan akhirnya udah bener? Lalu sejauh ini, jalurnya udah tepat apa belum? Energinya tersalurkan pada hal yang esensial atau sebaliknya? Upaya dan keseriusannya udah sebesar apa?
Alhamdulillah, ternyata semua pertanyaan bisa kujawab. Meskipun jawabannya hampir bikin kaget semua. Menyadari BETAPA banyak sekali waktu dihabiskan bukan untuk hal yang benar-benar penting. Dan sekarang, imbasnya ya bener-bener bisa dirasain (bahkan secara fisik).
Ketidaktenangan bikin badan lemes nggak bergairah. Males-malesan nggak ada motivasi. Dari sisi emosi, juga nggak terkontrol. Bahaya banget ini kalau dibiarkan berlarut.
Muaranya sebenernya pada satu ketakutan. Saya takut kelak, mati dalam keadaan tidak sadar dengan apa yang dikerjakan disini (dunia). Takut kalau ternyata kebiasaan yang saya jalani sehari-hari, bukan kebiasaan yang cukup baik. Padahal kita akan dimatikan sesuai kebiasaan kita... naudzubillahimindzalik.
Ya Allah, meski begitu banyak penyesalan atas waktu yang berlalu sia-sia, tapi hamba meyakini bahwa dorongan untuk memperbaiki diri yang saat ini aku rasakan adalah hidayah dari Mu. Maka yaa Allah, bimbinglah aku.. jaga aku.. hindarkan aku dari hal-hal yang tidak bermanfaat.. bantu aku meniti langkah baru, untuk menjadi manusia yang sesuai dengan misi penciptaan Mu..
Rabbana dzalamna anfusana.. Wa illamtagfirlana.. Wa tarhamna.. Lanakuunanna minal khaasyirin..
27 notes · View notes
hanamaulida · 9 months
Text
Jika disederhanakan, tugas kita sebagai orangtua itu simple banget kok. Cuma ada dua, yaitu meninggalkan kenangan dan mengajarkan kebiasaan.
Nah pertanyaannya adalah kenangan indah atau buruk yang kita tinggalkan? Kebiasaan yang bermanfaat atau tidak yang kita ajarkan?
Simple, tapi berat. Di sanalah ujiannya.
Elly Risman, Psikolog.
155 notes · View notes
hanamaulida · 9 months
Text
Penyakit Kronis Penyebab Remaja Menggunakan Obat-obatan Terlarang
Oleh: Hana Maulida, S.Kesos
Fungsional di DKBPPPA Kabupaten Serang
Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan obat terlarang. Sejak dulu narkoba telah menjadi masalah langganan di negeri ini. Saya jadi teringat memori 25 tahun yang lalu. Sambil menunggu film kartun favorit tayang sepulang sekolah, seringkali saya menonton berita kriminal yang tayang sebelumnya. Berita yang kerap menjadi highlight dalam acara tersebut adalah tentang penangkapan pengguna narkoba. Mirisnya, sampai sekarang berita penangkapan pemakai dan pengedar narkoba baik dari kalangan artis, pejabat, dan orang biasa juga masih berseliweran. Bahkan kategorinya bertambah; melibatkan anak selaku pengguna, kurir, bahkan pengedar.
Tepat seminggu yang lalu, saya memperoleh kabar mengejutkan dari seorang ketua pemuda di salah satu kampung di Kabupaten Serang. Ia mengeluhkan tentang maraknya aksi para remaja yang mengonsumsi obat-obatan terlarang di kampungnya. Setelah ditelusuri, ternyata anak-anak tersebut bisa dengan sangat mudah mengakses barang haram itu melalui handphone. Transaksi dilakukan via obrolan di salah satu aplikasi, lalu barang dikirimkan ke tempat yang telah disepakati bersama. Tentu bukan ke alamat rumah atau sekolah, tapi tempat tersembunyi yang sekiranya tidak diketahui siapapun. Selain aksesnya yang mudah, ternyata obat-obatan yang dibeli oleh anak-anak ini juga tergolong terjangkau. Bayangkan, hanya bermodalkan uang sepuluh sampai dua puluh ribu rupiah, mereka bisa memperoleh obat tersebut. Jenis obat yang umumnya dipesan adalah pil koplo.
Kenyataan tentang anak-anak kampung yang tertangkap tangan menggunakan obat-obatan terlarang ini sungguh sangat mengiris hati. Manuver para perusak generasi dalam mempromosikan narkoba benar-benar tak pandang bulu. Tidak hanya orang dewasa yang menjadi sasaran, tapi juga anak-anak. Tidak hanya di kota, bahkan kini sudah sampai di perkampungan. Upaya yang dilakukan juga tak main-main; semakin masif, kreatif, dan inovatif. Mereka memahami betul karakter dari kelompok yang mereka jadikan sasaran, sehingga pendekatan yang dilakukanpun sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan.
Hal ini tentu menjadi tamparan keras bagi kita para pegiat anti-narkoba dan perlindungan anak untuk juga melakukan hal sama. Yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas upaya pencegahan dengan cara-cara yang segar dan mengikuti perkembangan zaman. Jangan-jangan sosialisasi pencegahan yang dilakukan masih menggunakan presentasi beberapa tahun yang lalu, dengan metode ceramah (satu arah) yang membuat audiens mengantuk?
***
Sampai saat ini, pasar terbesar yang menjadi sasaran para pengedar narkoba adalah penduduk usia produktif, yaitu antara 15 dan 64 tahun. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), di Indonesia ada sebanyak 4,8 juta jiwa orang yang pernah memakai narkoba sepanjang tahun 2022-2023, termasuk di dalamnya usia anak. Prevalansinya terus meningkat dari tahun ke tahun, terlebih di masa pandemi covid-19. Tingkat depresi yang tinggi akibat tekanan sosial-ekonomi menyebabkan permintaan terhadap narkoba meningkat. Di sisi lain, penggunaan smartphone pada anak di masa pandemi juga menjadi faktor tidak langsung anak bisa dengan mudah terpapar oleh tayangan gaya hidup bebas hingga akhirnya terinspirasi dan bahkan bisa mengakses obat-obatan itu sendiri.
Menurut KBBI obat diartikan sebagai bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang. Logikanya, ketika seseorang mengonsumsi obat, artinya ada penyakit yang ingin disembuhkan dari dirinya. Dalam konteks kasus penggunaan obat-obatan terlarang pada anak, tanpa disadari sebenarnya ada penyakit kronis (menahun) yang diidap sehingga mereka berani mencoba mengonsumsinya. Sayangnya penyakit ini jarang terindentifikasi karena dianggap bukan penyakit yang bisa disembuhkan di rumah sakit. Penyakit kronis tersebut antara lain;
1. Kurangnya kasih sayang orangtua
Dewasa ini, hubungan antara anak dan orangtua semakin menunjukkan kerenggangan. Penggunaan gawai yang berlebihan, kesibukan, perbedaan generasi, kurangnya kesadaran untuk belajar tentang pengasuhan, dan konflik dalam keluarga (misalnya perceraian, kekerasan, dll) menjadi faktor penyebab kerenggangan hubungan ini terjadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fauzia dan Yunita di Jakarta (2020) dengan melibatkan 200 remaja yang terlibat dalam penggunaan narkoba, ditemukan bahwa tingkat kasih sayang dan perhatian dari orangtua memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan narkoba pada remaja. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak dapat membantu mencegah penggunaan narkoba pada remaja.
Sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa ketika anak bermasalah maka yang perlu dimintai pertanggungjawaban adalah orangtua. Tapi kebanyakan kita berhenti pada narasi itu tanpa benar-benar merencanakan langkah yang selanjutnya bisa dilakukan orangtua untuk "memperbaiki" diri dan hubungan dengan sang anak. Karena bukan hanya anak yang butuh perbaikan, tapi juga orangtua.
Solusi dikembalikan pada keluarga/orangtua menjadi keputusan yang pertama dan utama dilakukan. Namun sebetulnya itu menjadi hal yang sia-sia jika keluarga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Alih-alih menjadi anak yg lebih baik, anak bisa jadi melalukan kesalahan yg sama. Mereka bahkan berpotensi untuk berontak dan melakukan hal yang lebih buruk dari sebelumnya karena dilabel sebagai anak nakal, bahkan dihukum secara fisik dan sosial.
2. Tidak Adanya Pengawasan terhadap Penggunaan Handphone
Sejak masa pandemi, hampir semua anak usia sekolah memiliki handphone. Para orangtua, termasuk dari kalangan menengah ke bawah, rela melakukan apa saja demi anaknya bisa memiliki handphone. Itu semua dilakukan agar anaknya tetap bisa mengikuti pelajaran melalui daring. Namun yang senyatanya terjadi, gawai pintar itu justru digunakan untuk kepentingan lain. Anak yang pada dasarnya memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dibiarkan berpetualang sendiri. Setiap saat memegang handphone, tanpa pengawasan sama sekali. Konten kekerasan dan pornografi secara tidak sadar mereka nikmati. Akses terhadap obat-obatan terbuka tanpa ada hambatan. Transaksi bisa sukses dilakukan hanya dengan menggoyangkan jemari.
Banyak orangtua membela anaknya yang seharian menatap layar handphone dengan berlindung pada alasan "sedang belajar/ mengerjakan tugas sekolah. Namun mereka tidak pernah benar-benar memastikan apa yang anak lakukan. Disinilah penting bagi para orangtua untuk selalu mendampingi, mengawasi, dan memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan handphone pada anak. Ciptakan komunikasi yang dua arah, agar anak tidak merasa dihakimi.
3. Tidak Terfasilitasinya Anak dengan Kegiatan Positif
Dunia anak adalah dunia eksplorasi. Secara alamiah, mereka dilahirkan dengan rasa penasaran tinggi dan keinginan untuk mencoba banyak hal. Anak usia remaja lebih unik lagi. Energi mereka sedang berada di titik puncak. Kondisi psikologis mereka sedang berada di mode labil (berubah-ubah) karena sedang dalam proses pencarian jati diri. Semua itu adalah kebutuhan yang wajib disalurkan. Tidak bisa tidak. Sehingga, jika tidak difasilitasi dan diarahkan pada kegiatan yang positif, pilihan satu-satunya adalah terjerumus kepada hal sebaliknya. Sebab anak remaja dengan segala kelebihan energi dan kelabilannya, akan selalu mencari tempat 'bermain' sebagai sarana aktualisasi dirinya.
***
Tiga 'penyakit' di atas bukan hadir secara tiba-tiba. Tapi akumulasi dari gejala dan ‘penyakit’ kecil yang sekian lama diabaikan. Kasus anak menggunakan obat-obatan terlarang seharusnya menjadi refleksi bagi lingkungan terdekatnya; kira-kira apa penyakit kronis yang diderita si anak sampai-sampai ia mencari sendiri obat untuk menyembuhkannya?
Anak-anak itu masih punya waktu yang banyak. Jalan mereka masih panjang. Beberapa dari mereka bahkan telah masuk ke dalam kategori usia produktif. Mereka-mereka inilah yang kelak memimpin bangsa. Namun apa jadinya jika di periode emas ini justru mereka akrabi dengan obat-obatan. Alih-alih semangat menyongsong masa depan, waktu mereka justru habis untuk berjuang melawan kecanduan. Patah sebelum berkembang.
Tanya diri kita, sudahkah kita peduli dengan anak-anak di sekitar kita; saudara, tetangga, atau anak kita sendiri. Pernahkah kita bertanya pendapatnya tentang sesuatu yang penting, atau memberikannya kepercayaan sehingga membuat mereka merasa didengar dan berharga?
Selamat Hari Anti Narkotika Sedunia. Alih-alih berharap angka penggunaan narkoba di usia anak serta merta menurun, lebih baik kita mulai dengan menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Berikan mereka wadah dan kesempatan untuk sibuk dalam hal positif.
Karena generasi hebat mustahil tercipta di bawah pengaruh 'obat'!
*Tulisan ini terbit di Harian Kabar Banten, 27 Juni 2023
11 notes · View notes
hanamaulida · 9 months
Text
Aku lebih banyak bersyukur atas ucapan yang berhasil kutahan.
Daripada kata-kata (buruk) yang terucap.
22 notes · View notes
hanamaulida · 9 months
Text
Tumblr media
Beberapa hari lalu, viral video dari stand up comedian Bintang Emon tentang penggunaan dana stunting. Videonya simpel, cuma dialog si Bintang dengan seorang yang diperankan menjadi staf di pemerintahan daerah.
Sambil menonton, sambil scrolling komentar netizen. Nemu komen ini dan langsung pengen ketawa yang keras. Karena relate banget! Yang menghambat pembangunan di daerah, tentunya dengan tidak menihilkan faktor lain, ya pemerintah daerahnya itu sendiri.
Akar masalahnya menurut saya adalah KKN. Politik dinasti. Atau 3D (duit, dekat, dulur). Ini berimbas pada posisi-posisi penting yang tidak ditempati oleh orang yang tepat dengan kompetensi yang tidak sesuai jabatan.
Sungguh nggak habis pikir sama tata kelola pemerintahan yang seperti ini. Bisa-bisanya orang yang nggak paham apapun terkait satu bidang, diberikan tanggungjawab yang besar di bidang itu. Dihormati atas APAPUN keputusan yang beliau ambil, padahal tidak berdasarkan proses proper.
Nggak usahlah terlalu kompeten/militan di bidangnya. Minimal, pejabat-pejabat eselon itu punya kompetensi leadership dan manajemen deh. Biar bisa mengelola sumberdaya dan mengambil keputusan yang tepat. Minimaaaal...
Namun yang saya amati, mindset para pelaksana kebijakan ini pada umumnya masih tertinggal di zaman kolonial. Berstatus sebagai pelayan publik, tapi orientasinya ingin dilayani. Bahkan haus penghormatan. Visi tinggi untuk membangun negeri ibarat angin lalu saja. Sekali didengar, kemudian dilupakan. Yang penting datang ke kantor, menghabiskan waktu (dan anggaran), lalu pulang. Kalau ada anggaran jalan, kalau tidak ada ya duduk-duduk saja di ruangan. Budaya yang seperti ini nggak bisa dipungkiri juga tumbuh subur karena tolak ukur kinerja yang dilihat berdasarkan penyerapan anggaran. Bukannya output atau outcome.
Sejauh ini, solusi paling strategis menurut saya pribadi adalah daerah dipimimpin oleh sosok yang tepat. Punya integritas dan kompetensi. Yang di bawah-bawah insyaallah akan selalu taat pada atasan. Akan mengerahkan upaya sekeras-kerasnya jika itu perintah dari pimpinan.
Akhir kata...
Saya nggak mau marah-marah lagi kayak awal masuk kerja. Karena saya sadar itu nggak baik untuk kesehatan saya, dan nggak ada manfaatnya juga. Tapi saya bertekad menjadi PNS sebaik yang saya mampu. Dan mengajak anak-anak muda yang punya idealisme untuk jangan ragu bergabung menjadi abdi negara. Agar di masa depan, jabatan-jabatan penting diisi oleh insan berkualitas.
Tak lupa, selalu berdoa semoga masyarakat dianugerahi pemimpin yang punya niat baik untuk membangun negeri.... Karena ketika pemimpin suatu daerah itu bagus, ripple effectnya bakal kemana-mana.
56 notes · View notes
hanamaulida · 10 months
Text
"Ya Allah semoga masih ada yang kosong.."
Kata-kata itu masih betah bertengger di pikiranku sampai hari ini sejak dua hari yang lalu. Keluar dari bibir kecil sulungku yang berusia 4 tahun.
Setahun terakhir ini, ia memang sedang gandrung pada aktivitas menggambar. Macam-macam dan ada-ada saja gambar yang dibuatnya. Alat transportasi, rumah, anggota keluarga, tokoh kartun, dll. Biasanya mengikuti minat atau sesuatu yang saat itu sedang ia sukai. Dalam sehari, bisa 20 lebih kertas penuh dengan coretannya. Dan yang lebih membuatku salut, kesemuanya itu mengandung cerita! Karena setiap sedang menggambar ia sambil berceloteh dan memberitahukannya dengan mata berbinar kepadaku, ayahnya, adiknya, atau neneknya yaitu ibuku.
Siang itu, nampaknya kertas di buku gambar miliknya penuh. Ia pun membuka lembar demi lembar bukunya sambil berdoa seperti yang kukutip di awal tulisan ini. Hanya berharap ada 1 halaman kosong.
Tapi nampaknya tidak ia temukan.
Akupun sigap mencarikan kertas kosong untuknya sebelum ia kecewa.
Alhamdulillah, ada.
"Terima kasih, Emah"
"Iya sayang, sama-sama. Aa mau gambar apa?"
Tak sampai 10 detik, ia pun langsung saja tenggelam dalam imajinasi sambil mulutnya komat-kamit bercerita.
Sambil memandangi sulungku yang sedang asyik corat-coret, dalam hati aku merasa terharu. Tapi juga tersentil di saat yang sama.
Terharu, karena upayaku mengajak anak berdialog tentang Allah perlahan membuahkan hasil yang manis.
Tersentil, karena tersadar, aku bukan orangtua mahasempurna. Yang seringkali lupa, dan melakukan kesalahan.
***
Aku memang cukup getol mengajak anak-anak bercakap tentang Allah. Misalnya, saat mereka sedang punya keingiinan, aku sering sekali bilang,"Kalau ingin sesuatu, minta ke Allah dulu ya Nak..." atau ketika mereka mendapat suatu kenikmatan "Ini dari Allah loh sayang, yuk bersyukur dulu.. Alham? Dulillah..". Atau ketika ada yang sakit "Iya Nak, sakit ya. Minta sama Allah supaya Allah sembuhin ya.."
Jujur saja pada awalnya aku tidak berharap anak-anak akan secepat itu memproses afirmasi yang aku coba lakukan. Maksudku, aku tidak punya ekspektasi apa-apa kecuali agar anak sering mendengar tentang Allah dariku. Ibunya.
Aku hanya ingin anak-anak mengingatku sebagai orang yang sering mengingatkan mereka untuk mengingat-Nya.
Tidak lebih. Tidak sampai di tataran praktik.
Tapi nyatanya... Atas izin Allah.. aku bisa melihat anakku menunjukkan bahwa ia bukan hanya "tahu" tapi juga meyakini dan mempraktekkannya.
Kemampuan yang aku pribadi pun masih kesulitan untuk mempertahankannya, apalagi ditengah hiruk pikuk duniawi ini...
Pernah sebelum kejadian ini, saat aku sedang mencari satu barang yang aku lupa menaruhnya. Saat itu secara tidak sadar aku berkata-kata kecil "Duh... dimana ya? Tadi kayaknya disini"
Si sulung yang melihatku sibuk mencari-cari barang lalu nyeletuk,
"Emah, udah berdoa belum? Biar dikasih tahu, dibantu sama Allah"
"Astaghfirullah. Iya ya, Emah lupa. Makasih ya Aa udah ingetin"
Masyaa Allah, Nak....
Dan benar saja, setelah aku mengikuti nasehat anakku itu, benda yang kucari beberapa detik kemudian ketemu!
Masyaa Allah.. Masyaa Allah...
Aku sama sekali tidak menyangka hasil yang ditampakkan bisa secepat ini dan justru berbalik menjadi pengingat yang sangat ampuh bagiku pribadi.
Maka benarlah kata pepatah, bahwa kita akan menuai apa yang kita tanam.. Dan nyatanya memang benar, bahwa menjadi orangtua, khususnya Ibu, membuka banyak sekali kesempatan untuk banyak belajar dan merefleksi diri.
***
Aku memang bukan orangtua yang sempurna. Tapi betapa romantisnya Allah, ternyata Dia menghendaki ketidaksempurnaan itu menjadi kesempatan bagiku menuai apa yang telah aku tanamkan pada anak-anakku..., Meskipun tentu saja dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang kumiliki.
***
Nak, jika hal sekecil mencari selembar kertas kosong saja kau berharap pada Allah... Emah doakan, kelak ketika kehidupan membawamu pada prahara yang lebih besar, kau tahu kemana harus mengeluh dan meminta...
14 notes · View notes