Tumgik
mtchamilktea · 3 years
Text
Aku sempat mempertanyakan semesta,
yang selalu berkata tidak pada kita,
yang mengitung hari demi hari,
yang berjalan lebih lambat dari kura-kura yang sedang cedera kaki.
Aku sempat curiga semesta sengaja bersekongkol dengan waktu (yang juga tidak suka jika kita bertemu).
Lalu mereka mencampuri detik-detik kita dengan sianida,
dan kita, manusia yang sedang mabuk-mabuknya, meminum detik-detik itu dengan sukarela.
Hingga merah bibirmu dan merah bibirku menjadi biru, sebiru samudera.
Lalu terjatuhlah tubuh mabuk kita berdua di gersangnya tanah di halaman depan rumah kita.
— séri
0 notes
mtchamilktea · 3 years
Text
'Jangan pernah berada dalam cinta yang terlalu berapi-api,' nasihat mama saat aku bercerita tentang kamu.
Aku terdiam, tanpa tahu harus menjawab apa. Puluhan alasan sudah aku siapkan untuk membelamu kalau-kalau mama tidak setuju, pun lebih banyak lagi pujian jika mama menyukaimu.
Tapi, apa yang harus aku katakan jika jawaban mama begini?
'Cinta yang seperti itu hanya akan membakar, dan terus membakar. Lalu tiba-tiba saja, kamu sudah tersulut api tanpa sadar,' mama melanjutkan.
Saat itu aku tidak setuju. Aku beranggapan mama hanya terlalu khawatir pada anak perempuannya yang baru jatuh cinta.
Tentu, mana bisa aku bayangkan kita bisa berada pada titik ini?
Saat cinta kita habis terbakar,
dan yang tersisa hanya kita yang menjadi abu.
— séri
3 notes · View notes
mtchamilktea · 4 years
Text
apa yang harus aku lakukan jika semua orang mendadak tuli saat aku melolong minta tolong berulang kali?
— séri
1 note · View note
mtchamilktea · 4 years
Text
I.
Aku percaya jika senja punya rasa, maka rasanya akan semanis bibirmu yang aku kecup kala sore itu.
Jika senja punya memori, maka memorinya adalah pelukan kita di ujung jalan, hangat dan malu-malu.
Jika senja adalah warna, maka ia adalah rona di pipimu kala aku bisikkan "sampai jumpa", masih di ujung jalan yang sama di memori kita.
Senja membara indah di matamu, merah, membakar, merona.
Tak butuh waktu lama hingga senja menelusup masuk dalam dirimu, mengisi setiap kedipan mata, setiap debaran jantung, dan setiap tarikan napas.
Hingga senja menjadi dirimu sepenuhnya.
II.
Namun, aku saksikan senja beranjak pergi. Ia tak lagi ada di kecupmu, di pelukmu, di matamu, dan di pipimu. Senja hilang tak berbekas.
Lalu hujan datang, meluluhlantakkan semuanya. manis bibirmu, hangat pelukmu, rona pipimu, bara matamu. Ia mengisi ruang kosong di setiap jengkal wajahmu yang aku puja puja.
Hujan menjadi rasa yang aku kecap setelah ciuman kita. Hujan pula yang menggantikan senja di pipimu yang kehilangan ronanya. Hujan mengisi ruang di matamu dengan derasnya, badainya, riuhnya, bisingnya.
Hujan juga yang menjadi memori kita di ujung terminal bandara, saat aku bisikkan kata "sampai jumpa".
III.
Hujan menjadi temanku selepas kamu pergi. Ia setia, tak pernah mengeluh meski aku masih merindu hangatnya senja.
Hingga perlahan, dinginnya tak lagi menusuk tulang, tak lagi membuatku gigil, tak lagi membirukan bibir. Ia menyusup masuk ke setiap rongga diriku yang kosong setelah tak lagi kau tinggali.
IV.
Lima tahun berlalu hingga aku dengar kabar badai melahap habis tubuhmu. Lucunya, aku masih tak acuh, membiarkan hujan menetap di setiap sudut hatiku, bertanya tanya dengan bodohnya akankah ia menjadi badai yang sama.
V.
Hujan masih mengisi diriku saat kau kembali, pun ia menjadi memoriku, menjadi memori kita di ujung terminal bandara yang sama.
Hujan menjadi diriku sepenuhnya saat aku peluk tubuh ringkihmu terakhir kali.
Aku jatuh menghantam bumi,
ratusan kali,
ribuan kali,
jutaan kali.
Lagi,
lagi,
dan
lagi,
hujan menjadi memori kita.
Meski kali ini tak lagi bisa aku bisikkan "sampai jumpa".
VI.
"Selamat tinggal," bisikku padamu, senjaku, yang lelap tertidur di peti mati, pucat pasi seakan rona membara senja terkuras darimu sepenuhnya.
— séri.
0 notes
mtchamilktea · 4 years
Text
analogi.
Perpustakaan dan langit senja. Jam empat sore dan hanya tersisa kita berdua. Alih-alih membaca, aku menopang dagu, lebih memilih untuk menganggumi kamu.
Jam lima. Kamu masih terpaku pada lembaran buku. Mataku berhenti pada buku di tanganmu. 'Analogi' bukan judul buku yang biasa kamu baca.
Jam enam tepat. Kamu menutup buku, selesai dengan bacaan terakhirmu.
"Mau tahu apa analogiku untuk kamu?" Kamu memecah hening.
Aku mengangkat bahu sambil mengulas senyum, tak sabar mendengar jawabanmu.
"Jarum jam!" Kamu menjawab singkat.
"Lalu kamu yang jadi jamnya?" Aku tertawa kecil.
Sudut bibirmu naik menahan tawa, "aku? aku akan jadi angka dua belas!"
Setahun setelah kamu pergi, di perpustakaan yang sama, aku membalik-balik halaman buku yang kau baca hari itu. Halaman terakhirnya mengingatkanku pada lelucon analogimu.
Aku adalah jarum jam.
Kamu adalah angka dua belas.
Selalu berpapasan,
selalu bertemu,
tak pernah lama bersama.
— séri.
2 notes · View notes
mtchamilktea · 4 years
Text
Aku sudah mati, sayang
Kau mendaki rerumputan.
Tertunduk lesu mendapati aku yang telah nyaman bersandar di akar-akar pohon yang merentang jauh.
Aku sudah mati, sayang.
Jangan menangis. Teriakanmu terlalu bising, tidurku tak lelap.
Tak apa. Bukan salahmu jika kau berlari tak tahan saat lukaku menganga terlalu lebar.
Aku sudah mati, sayang.
Jauh sebelum kamu datang,
aku sudah mati, sayang.
— séri.
1 note · View note
mtchamilktea · 4 years
Text
Antonim
Sunyi adalah duniaku, selepas kamu pergi.
Aku merindukan bising.
Kau, membuatku merindukan bising.
Sepi adalah duniaku, selepas kamu pergi.
Aku merindukan ramai.
Hiruk-pikuk, riuh-rendah, huru-hara, gempar-gempita.
Katakan semua kata yang kau pikirkan, aku rindu semuanya.
— séri.
1 note · View note
mtchamilktea · 4 years
Text
Mari membunuh waktu
Mari membunuh waktu.
Ayo sambut tanganku, kita bunuh waktu bajingan itu, yang tak mau berhenti langkahnya bahkan setelah kau bersujud mohon ampun.
Sudah aku siapkan pisau di rumah.
Sudah aku asah tajam agar ia mati dalam satu tusukan saja.
Mari membunuh waktu.
Mari bunuh dia agar ia berhenti bergerak.
Agar ia tak lagi berlari terlalu cepat,
Agar kau tak lagi merangkak mengejar.
Mari membunuh waktu.
Agar aku bisa memungut darah dan pecahan tubuhnya.
Agar bisa aku rakit lagi lalu kuberi padamu sebagai hadiah.
Agar kau punya waktumu sendiri.
Agar dokter bajingan itu berhenti berkata "kau tak punya waktu lagi".
Mari membunuh waktu.
Mari membunuh waktu.
Ayo sambut tanganku!
Mari kita bunuh waktu bajingan itu.
— séri.
2 notes · View notes