Tumgik
nadiadasa · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
french words 
meanings by: other-wordly
like/reblog if you save
1K notes · View notes
nadiadasa · 5 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
english and japanese words
meanings by: other-wordly
like/reblog if saving
3K notes · View notes
nadiadasa · 5 years
Text
Aku ingin jatuh cinta
“Aku ingin jatuh cinta.” Katanya.
Kalimat itu sering keluar dari bibir gadis kecil di setiap perjumpaan kami. Terlalu sering sampai aku bosan mendengarnya.
“Kenapa kau ingin jatuh cinta?” tanyaku suatu hari.
“Aku rindu jatuh cinta. Aku rindu jantungku berdebar lebih kencang karenanya. Aku rindu wajahnya selalu “hadir” disetiap langkahku, bagai iklan yang selalu hadir di setiap laman internet yang kubuka. Aku rindu perasaan rindu ingin berjumpa. Aku rindu mencuri-curi pandang kepadanya. Aku rindu tersipu malu saat aku bertatapan dengannya. Aku rindu mencantumkan namanya dalam setiap doa. Aku rindu energi positif yang mengalir dalam tubuhku setiap aku jatuh cinta.”
“Apakah semua itu berlaku ketika obyek jatuh cintamu tak jatuh cinta padamu?”
Gadis kecil terdiam.
---
Tadi pagi aku bertemu dengan gadis kecil. Tangannya tak bisa diam. Pikirannya tak tenang. Tatapannya selalu kemana-mana. Aku tahu ia sedang ‘tidak bersamaku’.
“Hei! Kau ada apa? Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyaku, yang rupanya mengagetkannya.
“Tidak apa-apa.” jawabnya malas.
“Ah, kau ini macam aku bukan perempuan saja. Aku tau ada apa-apa dibalik tidak apa-apamu. Kenapa kau?”
Gadis kecil menggaruk kepalanya yg aku tahu itu tak gatal.
“Aku sedang jatuh cinta.” Jawabnya malu-malu.
“Kau jatuh cinta? Lalu kenapa kau bersedih? Bukannya orang jatuh cinta mukanya selalu berseri-seri? Muka kau kusut sekali seperti baju yang tak disetrika.”
“Aku jatuh cinta pada orang yang tak membalas perasaanku.”
“Oh, pantas saja wajahmu mendung begitu.”
Ada perasaan iba aku mendengarnya.
“Memangnya kau jatuh cinta pada siapa?”
“Marley” jawabnya.
Pipi gadis kecil seketika memerah. Malu.
Aku kenal Marley. Dia adalah teman kami sewaktu berada di bangku SMA. Sekarang Marley bekerja di salah satu perusahaan ternama di ibukota.
“Seminggu yang lalu kami asik berkirim pesan lewat media sosial. Aku senang setiap dia melihat storyku dan menyukai postinganku. Sesekali ia mengomentari postinganku yang menunjukkan ketertarikan padaku. Terkadang aku menangkap bahwa ia memiliki perasaan padaku, tapi tak jarang juga aku merasa dia tak tertarik padaku. Aku terlalu malu dan gengsi untuk bertanya padanya, bahkan untuk memulai percakapan dengannya pun aku tak sanggup. Sudah dua hari ini aku tak melihat namanya muncul di layar hpku. Aku rindu. Aku berharap dia mengomentari storyku sehingga kami kembali berkomunikasi, tapi dia tak kunjung datang. Aku jatuh cinta, tapi aku merasa tersiksa.”
Belum sempat aku merespon cerita gadis kecil, hpku berbunyi. Satu pesan masuk:
‘Aku rindu padamu.’
Marley.
... 
2 notes · View notes
nadiadasa · 6 years
Text
Divortiare, Twivortiare, dan Twivortiare 2
Aku mulai suka baca dan ingin baca novel-novelnya Ika Natassa setelah aku baca Antologi rasa, meskipun aku udah baca Critical Eleven sebelumnya, it was long time ago. Kebetulan di jogja novel Divortiare habis di hampir semua Gramedia di Jogja. Akhirnya aku menemukannya di Semarang, ceritanya waktu liburan di Semarang.
I love Divortiare! Kisah tentang Alexandra yang cerai dari (mantan) suaminya, Beno, menyita seluruh waktuku. I did enjoy every second reading this novel, tentang perjalanan Alexandra yang ingin menghapus kenangan tentang Beno. Ikut senang waktu Alexandra mendapat perhatian dari orang lain, perhatian yang selama ini nggak dia dapatkan dari pernikahannya dengan Beno. Sekaligus marah bercampur sedih waktu kenangan tentang Beno yang kembali mengudara. Marah waktu ingat betapa egois mantan suaminya itu. Sedih waktu ingat momen-momen indah bareng Beno, yang cuma tinggal kenangan.
Perceraiannya dengan Beno menghasilkan luka yang dalam. Dia tak lagi percaya dengan pernikahan. Dia trauma.
“Commitment is a funny thing, you know? I’s almost like getting a tatto. You think and you think before you get one. And once you get one, it sticks yo you hard and deep.”
Akankah Alexandra menikah lagi? Akankah kembali pada Beno? Ataukah membuat kisah baru dengan orang lain?
Setelah baca Divortiare, aku penasaran banget sama kelanjutan kisah Alexandra. Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung beli buku kedua, Twivortare. Buka halaman pertama, ada perasaan kecewa karena ternyata bentuk sajiannya nggak seperti buku sebelumnya. Aku jadi malas bacanya. Tapi karena penasaran, aku “terpaksa” menikmati.
Bentuk penyajian cerita di Twivortiare seperti format twitter, dimana banyak tanda ‘@’ yang diikuti dengan nama akun seseorang. Karena terlalu banyak tanda-tanda yang nggak umum ada di novel-novel kebanyakan, novel ini jadi membingungkan. Membingungkan berujung pada membosankan.
Tapi lama kelamaan, aku menikmati novel dengan bentuk yang membingungkan ini, meskipun dengan adanya sedikit paksaan. Sedikit paksaan itu hilang tergantikan dengan cerita Alexandra yang nagih. Ya, bener-bener nagih.
Sama seperti sebelumnya, selesai baca twivortiare, aku langsung beli twivortiare 2 dengan alasan yang sama, penasaran. Bentuk novel ketiga dari seri Alexandra ini masih seperti format twitter, namun lebih teratur, lebih tidak membingungkan dari twivortiare sebelumnya.
Overall, these are awesome! Aku suka banget dan bikin baper euy! Dan aku yakin setiap orang yang baca ini pasti baper. Ceritanya ringan tapi nggak cheessy dan bukan roman picisan.
Terutama twivortiare dan twivortiare 2, banyak menceritakan tentang marriage life. Apa yang sebaiknya dilakukan sebagai suami, sebagai istri.  Alur cerita nggak cuma berisi kisah Alexandra, melainkan juga beberapa pemikiran dan petuah sederhana. So, nggak cuma menghibur, serial ini juga memberikan berbagai pengetahuan.
Dari seluruh isi serial ini, kayaknya lebih baik kalau ada tanda 18+ deh, soalnya ceritanya banyak yang mengarah ke dewasa, as I told, most of it about marriage life.
I don’t believe they are fictional characters! They are like real for me, or perhaps for everyone who read these books. Ika Natassa is Brilliant!
Tumblr media
0 notes
nadiadasa · 6 years
Text
Apa yang kulakukan?
Suatu hari di lingkungan kampus.
“Masalah kita sekarang itu...”
“Bener itu, menurutku kita harus...”
“Tapi kalo menurutku....”
“Gimana kalo gini aja...”
...
“Baik, saya simpulkan bahwa ada tiga solusi untuk permasalahan kita...” Seorang laki-laki duduk di tengah forum dengan buku catatan di atas mejanya. Moderator.
Di antara kumpulan muda-mudi yang sedang serius membahas mengenai permasalahan mereka, ku lihat seorang gadis kecil duduk dengan mata yang berkaca-kaca. Sedih. Menahan tangis.
“Kamu kenapa?” tanyaku ke gadis kecil itu.
“Gapapa kak.” jawabnya.
“hm.. oke. kalo ada apa-apa cerita aja ya”
“iya kak. aku pulang dulu ya kak.”
“yaudah ati-ati”
Gadis kecil itu segera berlari menjauh, menjatuhkan secarik kertas. tak sengaja. Kubuka kertas yang terlipat itu.
Aku merasa bodoh, hina, dan tak berguna. Aku bukan siapa-siapa disini, dan dimana pun. Siapa yang peduli denganku? Siapa yang mau berteman denganku? Lihatlah! Betapa hebatnya mereka. Berdiri menyuarakan apa yang mereka pikirkan. Menghasilkan solusi-solusi cerdas. Aku? Aku hanya bisa diam. Tak bersuara. Tak menghasilkan apapun. Tak berguna kan?
2 notes · View notes
nadiadasa · 6 years
Text
Kuliah dan Rasa Bosan.
Ku teringat gadis kecil pernah bercerita padaku saat ia masih menjadi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Aku ingin cepat-cepat lulus SMA, lalu kuliah. Rasanya lebih enak kuliah. Pake baju bebas. Jadwal bebas. Liburan semesternya lama. Dan terlebih, ngga perlu belajar semua pelajaran, cukup apa yang kita minati dan mendalam.”
Kini gadis kecil itu telah mengerti seperti apa kehidupan kampus, dan aku rasa ia juga telah mencabut kata-katanya. Terlebih saat ia berada di lingkungan yang sebenarnya tak ia inginkan.
“Kau ingin kuliah dimana?” tanyaku.
“Aku ingin kuliah di psikologi.” jawabnya mantap.
Tapi, kudengar kini ia tak sedang belajar psikologi di kampusnya. Aku tak tahu mengapa ia banting setir ke keilmuan lain, padahal ia diterima oleh jurusan psikologi di universitas yang cukup memiliki nama di Indonesia.
“Aku muak dengan kuliahku. Bosan. Masuk kelas. Duduk. Dengarkan dosen. Keluar kelas. Masuk laboratorium. Dengarkan asisten. Keluar laboratorium. Mengerjakan laporan. Mengerjakan tugas. Mengumpulkan laporan. Mengumpulkan tugas. Mendapat laporan baru. Mendapat tugas baru. Begitu terus. Membosankan. Memuakkan”
“...”
“Aku ingin berhenti kuliah. Bukannya aku membenci belajar. Aku sangat suka belajar, tapi tidak dengan cara membosankan seperti itu. Belajar tak hanya dengan kuliah kan? Jadi, berhenti kuliah bukan masalah kan?”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanyaku.
“Kapan-kapan aku kasih tau.”
8 notes · View notes
nadiadasa · 6 years
Text
Mati.
Pagi itu aku sedang berada di perjalanan pulang. Berjalan kaki. Melewati rumah kosong. Halaman rumah luas dengan pohon-pohon tua.
Gadis kecil. Membawa pisau. masih bersih.
“Sedang apa kau disana?” tanyaku.
“Aku ingin mati.” jawabnya sembari memberikan pisau itu kepadaku.
Ragu. Takut. Ngeri. Kuambil pisau itu.
“Kenapa kau ingin mati?”
“Aku capek hidup.”
Sebuah telepon genggam berbunyi. Bukan milikku. Milik gadis kecil itu.
Satu panggilan tak terjawab.
Telepon genggam itu berbunyi lagi. Foto seorang laki-laki muda terpampang di layar.
“Pacarmu?”
“Bukan, hanya teman dekat.”
“Kenapa kau ingin mati?” kuulangi pertanyaanku.
“Aku capek hidup.”
Telepon genggam milik gadis kecil itu berbunyi. Lagi. Foto seorang ibu dengan anak perempuannya tertampang di layar. Mereka tersenyum. Bahagia sekali.
“Mamamu menelpon.”
“Biarkan.”
“Kenapa kau ingin mati?”
“Aku capek hidup.” Sepertinya gadis kecil itu bosan dengan pertanyaanku.
Lagi-lagi telepon genggam itu berbunyi. Layar menunjukkan foto yang berbeda. Seorang bapak dengan anak perempuan yang berada dalam pelukannya. Anak perempuan yang bersama dengan ibu tadi.
“Bagaimana dengan mama, papa dan teman dekatmu? Mereka pasti khawatir.”
“Mereka tak seharusnya khawatir.”
“Mereka khawatir karena mereka sayang kamu”
“Aku sayang mereka. Itu mengapa aku harus mati.”
1 note · View note
nadiadasa · 6 years
Text
Orang Ketiga
Suatu hari, gadis kecil itu datang padaku dan menangis. Lama sekali.
“Aku benci perempuan itu! Aku benci mereka!”
“Rasa sakit ini sungguh mengakar di hati. Tumbuh terus-menerus dengan satu pupuk. Kebersamaan Mereka.”
“Teman. Itu pengakuannya. Aku percaya pengakuan itu. Aku percaya padanya. Tapi mengapa selalu ada perempuan itu?? Mengapa perempuan itu muncul dan merampas sikap manis yang ia berikan padaku?? Mengapa perempuan itu selalu muncul di layar handphonenya?? Mengapa dengan perempuan itu saat kulihat dia tertawa bahagianya?? Mengapa selalu perempuan itu yang muncul setiap aku dan dia bersama?? Mengapa perempuan itu?? Dan, mengapa tak pernah kudengar pengakuan-pengakuan dari mulutnya? Mengapa harus dari orang??”
“Rasa sakit itu terus tumbuh, dan menghasilkan buah kebencian.”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya memeluk gadis kecil itu. Membelai rambutnya pelan. Memberikan pundak tempat dia bersandar.
“Aku yang salah.” ucap gadis kecil itu, lebih tenang. “Aku merebutnya dari perempuan itu. Mereka dulu dekat. Perempuan itu yang menjadi keinginannya. Tapi, kemudian aku datang dengan polosnya. Dan, dia lebih memilihku. Melepas keinginannya untuk bersama perempuan itu. Dua tahun sudah aku dan dia bersama. Dua tahun pula aku menjadi orang ketiga.”
“Aku yang harus pergi. Aku lah orang ketiga. Aku lah yang merusak hubungan mereka.”
Gadis kecil itu menangis lagi. Lebih keras.
3 notes · View notes
nadiadasa · 7 years
Photo
REALLY MISS THIS HEALTHY FOOD AND MY HEALTHY LIFE!!!
Tumblr media
You don’t have to go on a diet to be healthy. Being thinner isn’t the only reason to eat healthier.
4K notes · View notes
nadiadasa · 7 years
Text
Secuil perasaanku
Hai, namaku Sasa. Aku adalah seorang gadis yang bisa dibilang introvert. Kalo kata Tori Kelly dalam lagunya, I love my space. Ya, I do love my space. Dulu waktu aku masih sekolah, aku cenderung kemana-mana sendiri. Kalau sama orang banyak, aku cenderung diam. Aku benci diriku yang banyak omong. Aku bahagia dengan kesendirianku.
Semakin aku tumbuh besar, aku semacam diberi doktrin, bahwa sendiri adalah hina. Sendiri adalah HINA. “Manusia itu makhluk sosial” seakan-akan menyindir bahwa sendiri itu dilarang. “Orang sukses itu orang yang punya banyak kawan”, so aku ga akan sukses gitu kalau aku cuma punya beberapa teman? Semua omongan itu berhasil membuat aku benci dengan kesendirian. Ya, sekarang aku benci sendiri. Aku ingin ada yang menemaniku makan. Aku ingin ada yang menemaniku ini dan itu. Bahkan, aku ingin ada yang menemaniku tidur.
Tapi, omongan-omongan itu, kebencianku dengan kesendirian tak berhasil membuatku memiliki teman. Bagaimana bisa? Aku hanyalah orang yang tak pandai berkata-kata. Aku lebih memilih diam daripada banyak omong. Aku tak pandai bercanda, tak lihai menggunakan kata-kata untuk menghasilkan sebuah lelucon. Singkatnya, “aku ga asik”. Aku hanya tau buku. Aku ga gaul. Aku ga up to date. Aku norak. Aku ga bisa ngendarai–apalagi punya—mobil. Aku ga punya banyak uang untuk nongkrong disana-sini, makan makanan mahal di restoran-restoran ternama. Mana ada yang mau berteman denganku? Bahkan untuk membawa suasana agar menyenangkan dengan gelak tawa aja aku ga bisa.
Aku hanya memiliki kamar indekos berukuran 3x3 m yang kumiliki hanya jika aku membayar uang sewa pada pemiliki rumah. Aku hanya memiliki laptop dengan koneksi internet. Aku hanya memiliki bertumpuk-tumpuk buku. Aku hanya punya tangan yang bisa mengetik untuk menuangkan apa yang kupikirkan dan apa yang kurasakan. Semua itu tidak cukup bukan untuk menjadi manusia utuh dan/atau manusia sukses? 
Mungkin kebanyakan dari kalian akan berkata, “keluarlah, cari teman!”.  Aku sudah melakukan semuanya? Aku habiskan waktu di luar untuk bertemu dengan orang lain. Bercengkerama bersamanya. Semua tenaga, waktu, pikiran serta materi telah kukerahkan. Lalu apa? Orang-orang yang telah kuanggap teman bahkan saudara lebih memilih berkumpul dan bermain dengan orang-orang yang bisa ‘menggila’ dan aku tidak cukup ‘menggila’ untuk bergabung? Lalu haruskah aku keluar dari kamarku dengan membawa papan bertuliskan “Ayo berteman denganku!” atau “temani aku!”?
2 notes · View notes
nadiadasa · 7 years
Text
HOPE #2
“Sa, kamu ngga keluar kelas buat makan seperti teman-teman lainnya?”
“Ngga Bu, saya disini aja.”
“Kamu ngga lapar? Ayo makan bareng Ibu.” Ajak Bu Tika sambil menarik tangan Sasa agar bangkit dari kursinya.
“Tapi Bu…”
“Sudahlah, ayo! Ibu bawa spagheti dan puding. Kamu harus coba spagheti dan puding buatan Ibu.”
Sasa dan Bu Tika pun berjalan bersama menuju kantor guru untuk mengambil makanan dan kemudian pergi ke kantin.
Setiba di kantin, mereka segera menduduki dua kursi dekat jendela. Dua kursi yang tersisa diantara sekian banyak kursi yang ada. Keadaan kantin siang itu sangat ramai. Terdengar suara sendok dan garpu yang saling bersentuhan dari setiap meja makan. Antrian untuk kelima stand makanan masih terlihat panjang dengan penjual yang sibuk menyiapkan makanan pesanan dari anak-anak yang merupakan siswa dari sekolah tersebut. Beberapa anak telah menghabiskan makanannya, namun masih asyik mengobrol dengan teman-temannya. Terlihat pula beberapa guru yang sedang menghabiskan makan siangnya dengan terburu-buru. Sa dan Bu Tika sendiri tengah menghabiskan spagheti buatan Bu Tika yang sudah tersebar luas soal rasanya yang enak. Puding cokelat di kotak makan berwarna biru miliki Bu Tika telah menunggu keduanya selesai menghabiskan spagheti dan dilanjutkan dengan puding sebagai makanan penutup.
“Bagaimana spagheti buatan Ibu? Enak?” Tanya Bu Tika.
“Enak banget! Ini spagheti terenak yang pernah Sasa makan, tapi setelah spagheti buatan Bunda Sasa” Jawab Sasa sambil mengacung dua jarinya membentuk tanda peace.
“Kalau dibandingkan sama masakan mama Sasa, jelas kalah masakan Ibu” Jawab Bu Tika sambil tertawa.
“Tapi spagheti buatan Ibu tetep enak kok. Coba Ibu buka warung spagheti, pasti laku.”
“Ibu juga sempat kepikiran itu, tapi masih belum siap. Mungkin lain kali.. Oh iya, Sasa cita-citanya apa?”
Pertanyaan Bu Tika membuat Sasa terdiam. Pertanyaan itu selalu ditanyakan oleh setiap orang dan pertanyaan itu yang paling Sasa hindari. Sasa selalu menghindar apabila ia ditanya apa cita-citanya.
“Ibu sendiri dulu waktu kecil cita-citanya apa?”
“Dulu waktu masih SD, Ibu pengen jadi dokter seperti kebanyakan teman-teman Ibu. Tapi setelah masuk SMP, Ibu ngga suka sama biologi, Ibu lebih suka pelajaran bahasa Indonesia. Keterusan deh sampai kuliah ambil sastra Indonesia. Kalau sudah lulus SMA, Sasa mau lanjut kuliah dimana?”
“Sasa pengen masuk psikologi Bu”
“Wah bagus itu! Nanti bisa jadi psikolog.”
Sasa cuma bisa tersenyum. Senyuman getir.
*bersambung..
0 notes
nadiadasa · 7 years
Text
Tumblr media
Kebahagiaan. Hal menarik yang jarang muncul dalam judul ataupun tema penelitian. Bagi seorang profesor Belanda, Ruut Veenhoven, kebahagiaan telah memberikannya gelar sebagai “Bapak Riset Kebahagiaan”. Veenhoven mencetuskan Database Kebahagiaan Dunia (World Database of Happiness—WHD). WHD menyimpan berbagai pengetahuan manusia tentang kebahagiaan, serta tempat-tempat mana yang paling membahagiakan.
Menurut kalian negara mana yang menduduki kursi tempat/negara yang paling membahagiakan?
Belanda, atau yang biasa disebut dengan negeri kincir angin atau negeri tulip adalah negara yang paling membahagiakan dalam WHD. Sebenarnya apa sih yang membuat Belanda menjadi negara paling membahagiakan/bahagia?
Toleransi.
“Jangan menginjak saya” adalah kalimat yang dapat menggambarkan toleransi yang menjadi salah satu alasan kebahagiaan orang Belanda. Riset Veenhonven menunjukkan bahwa orang yang toleran cenderung bahagia. Orang Belanda menoleransi apa saja, bahkan menoleransi ketidaktoleransian. Wujud toleransi Belanda ialah tiga hal : narkoba, prostitusi dan bersepeda. Ganja Maroko, merupakan salah satu bentuk narkoba yang dapat membuat siapa yang menggunakannya merasa senang. Mengkonsumsinya dengan terus menerus akan memberikan perasaan senang secara terus menerus pula. Namun apakah kesenangan yang terus menerus tersebut dapat menimbulkan kebahagiaan? Sebuah kalimat menarik dapat menjawab pertanyaan tersebut, “Kita ingin mencapai kebahagiaan kita dan tidak hanya mengalaminya.”
#1 Geography of Bliss, Eric Weiner.
0 notes
nadiadasa · 7 years
Text
Mata.
Mata.
Salah satu indera manusia.
Dengannya, manusia memiliki kemampuan melihat keindahan ciptaan Tuhan.
Pemandangan alam.
Manusia.
  Aku tak pernah melihat mata dari manusia sebelumnya.
Ya, aku tak pernah menatap mata orang yang sedang berbicara denganku.
Bagiku, itu tak sopan.
Dan, aku takut. Hehe
  Tapi, ada sepasang mata yang berhasil aku tangkap dari seorang yang biasa saja.
Tidak sengaja.
Mata genit, teduh namun bercahaya.
Tak tau apakah mata itu berskenario atau hanya kebetulan semata.
  Kata orang, dari mata jatuh ke hati.
Bagaimana bisa?
Bukannya dari mata jatuhnya otak bagian belakang?
Bisa jelaskan padaku lewat syaraf mana mereka?
 Mata.
Kini aku tahu rasanya, hati berdegup kencang hanya karena sepasang mata.
Bahkan aku tak dapat berhenti membayangkannya.
Tak hanya mata, senyumnya pun indah.
  Jatuh cinta?
Aku tak ingin buru-buru menyimpulkan.
Aku hanya ingin menyimpan sepasang mata itu,
dalam hati.
  nqd, yk 17 Feb 2017
0 notes
nadiadasa · 7 years
Text
HOPE
Kertas kosong. putih. bersih. belum ternodai goresan pensil sama sekali.
‘ayo sa, pikirkan, pikirkan, pikirkan. tugas ini gampang banget, kamu cuma tinggal tulis apa harapan-harapanmu.’
sudah satu setengah jam berlalu semenjak Bu Tika memberikan tugas pengganti kelas bahasa Indonesia dan pergi meninggalkan kelas. sembilan belas orang lainnya yang juga mendapatkan kertas yang sama seperti Sasa, terlihat asik menggoreskan pensil di atas kertas, menuliskan semua harapan-mereka dengan bersemangat. Sebaliknya, Sasa justru terlihat tertekan dengan tugas yang harus ia kerjakan itu. tangannya bergetar dan basah oleh keringat. bibirnya pucat dan terlihat putus asa.
Sasa bukan tipe anak yang intovert, ia sering menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. makan bersama, nonton bersama, bahkan menginap di rumah temannya sering ia lakukan. Tapi, satu hal yang tak pernah ia lakukan ke teman-temannya adalah menceritakan apa yang sedang bergejolak dalam dirinya. ia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri, termasuk alasan mengapa tak ada satu katapun yang telah ia tuliskan di atas kertas “harapan”nya.
Lima belas menit lagi, bel pergantian pelajaran berbunyi. Sasa bertambah panik. Bukannya ia tak dapat menulis, namun tak ada yang dapat ia tulis.
Teng. Teng. Teng.
“Harapanku adalah memiliki harapan.”
*bersambung..
0 notes
nadiadasa · 7 years
Text
Apakah cinta adalah seni?
Judul Buku : The art of loving - memaknai hakikat cinta (terjemahan) Penulis : Erich Fromm Penerjemah : Andri Kristiawan Tahun Terbit : 2014 Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tempat Terbit : Jakarta
Manusia adalah makhluk rasio, makhluk yang sadar akan dirinya, salah satunya ialah kesadaran akan kesendirian dan ketidakberdayaannya terhadap kekuatan alam dan masyarakat. Kesendirian atau keterpisahan seseorang dapat menimbulkan kegelisahan serta menjadi penjara yang mencekam bagi dirinya. Maka dari itu, kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut terdapat dalam segala macam ‘kondisi orgiastik’ (orgiastic state). Solusi semacam ini dapat digambarkan secara gamblang dengan ritual suku primitif yang biasa dilakukan bersama-bersama. Karena ritual yang dilakukan bersama-bersama, pengalaman melebur dengan kelompok semakin membuat solusi ini jauh lebih efektif. Segala bentuk penyatuan orgiastik memiliki sifat yang kuat, bahkan dahsyat serta berlangsung dalam seluruh kepribadian (pikiran dan tubuh). Namun sayangnya, keterpaduan orgiastik ini bersifat sementara dan periodik. Sedangkan cara mengatasi keterpisahan dengan konformitas (kesesuaian sikap dan perilaku) akan menghasilkan keterpaduan yang bersifat semu. Demikian pula dengan keterpaduan yang dicapai dalam kerja produktif tidaklah bersifat antarpribadi. Oleh karena itu, ketiga cara tersebut hanyalah jawaban parsial atas masalah eksistensi. Jawaban yang utuh terletak pada pencapaian penyatuan antarpribadi, peleburan dengan pribadi lain, dalam cinta. Penulis menulis buku ini berdasarkan pertanyaan “apakah cinta adalah seni?”. Cinta adalah seni. Konsekuensi cinta adalah seni ialah cinta perlu dipelajari, sebagaimana mempelajari seni. Sayangnya, tidak ada orang yang berpikir bahwa cinta perlu dipelajari. Penulis menjelaskan dalam bab pertama (Apakah Cinta adalah Seni?) mengenai premis-premis yang mengatakan bahwa cinta tidak perlu dipelajari, antara lain : masalah cinta yang pertama dipandang oleh kebanyakan orang ialah soal dicintai, bukan mencintai dan masalah cinta adalah masalah objek, bukan kemampuan. Dengan pola pikir seperti itu, mudah sekali seseorang mengalami kegagalan cinta. Penulis menuturkan langkah-langkah untuk mempelajari makna cinta guna mengatasi kegagalan cinta setelah mengetahui penyebab kegagalan cinta. Langkah pertama ialah menyadari bahwa cinta adalah seni. Langkah selanjutnya proses pembelajaran cinta itu sendiri, yang mencakup mempelajari teori dan diikuti dengan praktik, sebagaimana mempelajari teori seni dan praktik seni. Pada bab kedua (Teori Cinta), penulis menjelaskan mengenai teori cinta seperti tiga paragraf pembuka dari tulisan ini. Penulis menyebutkan bentuk-bentuk cinta, baik yang dewasa maupun tidak dewasa. Cinta dalam bentuk yang tidak dewasa atau biasa disebut penyatuan simbiosis merupakan suatu peleburan tanpa integritas, baik secara aktif (sadistis) atau pasif (masokhisme). Sedangkan cinta dewasa ialah suatu penyatuan dengan tetap memelihara intergritas seseorang, seperti paradoks yang terdapat dalam cinta, yaitu bahwa dua insan menjadi satu namun tetap dua. Dalam bab yang sama, penulis memberikan beberapa definisi cinta, antara lain, cinta adalah suatu tindakan aktif yang berarti “bertahan di dalam” dengan kata “memberi” sebagai karakternya. Selain memberi, cinta selalu mengimplikasikan unsur-unsur dasar, antara lain : perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Keempat unsur tersebut saling berkaitan. Buku ini menjelaskan tentang makna cinta menurut beberapa tokoh dalam bab ketiga (Cinta dan Kehancurannya dalam Masyarakat Barat Kontemporer). Menurut S. Freud, pada dasarnya cinta merupakan fenomena seksual, dimana cinta adalah buah dari ketertarikan seksual. Bagi Freud, cinta di dalam dirinya sendiri adalah fenomena irasional, sedangkan cinta sebagai fenomena rasional, sebagai puncak pencapaian kedewasaan, bukanlah persoalan yang perlu diteliti karena keberadaannya tidak nyata. Sebagian besar gagasan Freud dipengaruhi oleh tipe materialisme yang lazim pada abad kesembilan belas. Berbeda dengan Freus, seorang psikoanalis kontemporer, H.S. Sullivan menjelaskan adanya pembagian yang tegas antara seksualitas dengan cinta. Penulis merangkum dari pernyataan Sullivan, bahwa hakikat cinta tampak dalam situasi kolaborasi, yang di dalamnya dua orang merasa : “Kita bermain menurut aturan main untuk menjaga martabat serta perasaan tentang diri kita yang lebih unggul dan baik.” Menurut penulis, kedua bentuk cinta di atas merupakan dua bentuk “normal” kehancuran cinta dalam masyarakat Barat Modern, patologi cinta yang terpola secara sosial. Selain itu, terdapat pula patologi cinta yang terindividualisasi yang memiliki kaitan dengan cinta semu. Cinta semua dapat berbentuk apa yang disebut dengan “cinta sentimental” ataupun “mekanisme proyektif”. Pada akhir bab ketiga, penulis menjelaskan hakikat cinta dalam kaitannya dengan agama. Kemudian dalam bab terakhir (Praktik Cinta), penulis menjelaskan mengenai praktik cinta. Penulis memberi peringatan kepada para pembaca untuk tidak berharap akan mendapat jawaban atau diberikan resep “bagaimana melakukannya sendiri” karena mencintai adalah pengalaman pribadi yang hanya dapat dirasakan semua orang oleh dan untuk dirinya sendiri, yang dapat dilakukan diskusi tentang praktik mencintai adalah membahas premis seni mencintai, pendekatannya, serta praktik dari premis dan pendekatan itu. Praktik seni, dalam hal ini praktik cinta, mempunyai syarat-syarat umum tertentu, yaitu kedisiplinan, konsentrasi, kesabaran, dan perhatian penuh. Ada satu hal lagi yang harus ditambahkan. Seseorang harus mulai menerapkan kedisiplinan, konsentrasi, dan kesabaran dalam seluruh fase hidupnya. Praktik seni cinta membutuhkan praktik keyakinan. Keyakinan sendiri membutuhkan keberanian, yaitu kemampuan untuk mengambil risiko, kesiapan untuk menerima rasa sakit dan kekecewaan. Sama seperti kedisiplinan, konsentrasi, dan kesabaran, keyakinan serta keberanian harus dipraktikkan setiap saat. Cinta adalah satu-satunya jawaban yang sehari dan memuaskan atas masalah eksistensi manusia, oleh karena itu cinta menjadi kebutuhan utama dan nyata pada setiap manusia. Keyakinan pada kemungkinan cinta sebagai fenomena sosial dan bukan semata-mata fenomena pengecualian yang bersifat individual, merupakan keyakinan rasional yang didasarkan pada wawasan tentang hakikat dasar manusia itu sendiri.
nqd, yk 13 jan 2017.
2 notes · View notes
nadiadasa · 7 years
Text
Seorang gadis kecil berpikir, “seyakin apapun orang lain berjani padaku untuk akan selalu ada bersamaku, pasti akan ada saatnya dimana tak ada mereka di sampingku. Karena pada dasarnya tiap orang memiliki kehidupannya masing-masing.”
Semenjak itu si gadis kecil berjanji tak akan bergantung pada orang lain, dan menjalani hidupnya dengan sendiri
#gadiskecil
1 note · View note
nadiadasa · 8 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
4K notes · View notes