Tumgik
otonviton · 9 months
Text
Merdeka Belajar Kok Bimbingan Teknis?
Saya agak kesal kok bisa ya sekolah yang dalam tanda kutip sudah Merdeka, berbesar-bangga memajang pamflet pembukaan ajaran baru dengan Bimbingan Teknis. Rasa-rasanya jika merdeka masih terkait dengan bimbingan, kok agak kolonial ya? Teknis pula!
Apa saya salah tangkap ya? Saya mengikuti kurikulum Merdeka sejak awal. Bahkan sedikit menyumbang ide dalam desain awal pembangunan ekosistem merdeka di sekolah. Ideal memang, tapi mengubah paradigma memang seperti mencabuti rumput di halaman, sesaat terlihat rapi sebentar kemudian tumbuh lagi.
Merdeka ialah independent, berbeda dengan freedom dan liberty. Merdeka didefinisikan sebagai kekuatan dan kekuasaan untuk menentukan diri sendiri untuk berbuat atau tidak berbuat. Prasyaratnya yaitu kemauan untuk mengubah dan tidak. Ingat ada persona non aktif juga di sana. Kebebasan untuk tidak memilih juga merupakan bagian kemerdekaan.
Maka sekolah bisa menentukan sesuai dengan kekuatan dirinya untuk ikut mengimplentasikan kurikulum merdeka ini. Cuman jangan kaget, kita semua itu pada dasarnya itu gatelan, tidak mau kalah dari orang lain. Otomatis ya berbondong-bondong mencoba-coba kurikulum merdeka padahal separuh lebih isinya kosong.
Gampang, tinggal cari instruktur, ajari lewat diklat 3 hari selesai, absahlah kita jadi sekolah merdeka. Oh Tuhan, pikiran setan mana yang merasuki saya berasumsi seperti itu.
Tapi tentu ada alasannya. Menyandingkan kata bimbingan yang disistematisasi menjadi sebuah pola tertentu umtuk diaplikasikan pada kegiatan pembelajaran agaknya terlalu problematis untuk otak sederhana saya. Justru pola tadi membuat prasyarat kemerdekaan tadi jadi hilang. Akhirnya guru selalu merasa disuapi, kehilangan muruah menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Saya balik tanya itu merdeka?
Belum lagi pengembangan keprofesian guru yang masih “cangkang” dan sekadar menjadi alat administratif. Terbukti dalam beberapa studi, pengembangan keprofesian masih banyak dilakukan dalam kerangka mandatory (dimandatkan) bukan volunteery (kerelaan). Guru mampu membebaskan dirinya dari keterjajahan, dengan mengakui bahwa dirinya selalu tidak berkecukupan dalam ilmu.
Yuk, balik pada esensi merdeka. Filsafat baik dari para pendahulu bangsa yang luar biasa. Seperti kata Soekarno merdeka adalah jalan emas
2 notes · View notes
otonviton · 3 years
Text
One Punch Lines: Membuka Cerita dengan Satu Paragraf
Kadangkala kesulitan menulis sebuah cerita dimulai saat hendak menuliskan paragraf pertamanya. Seperti sebuah kunci, paragraf pertama akan menentukan pembaca, apakah akan lanjut membaca atau menutup buku lalu melupakan ceritamu segera.
Paragraf pertama selalu diidentikan dengan gambaran awal cerita. Tapi justru banyak formula lain yang dipakai oleh penulis-penulis besar. Formula ini bisa kita sebut one punch lines: satu kalimat yang menonjok pembaca. Berikut formula itu.
1. Penggambaran latar, waktu, dan suasana yang menggugah pencerapan indera
Formula ini digunakan dengan memberi deskripsi unik tentang sebuah tempat yang akan diceritakan. Gunakanlah sedikit deskripsi yang unik, agar membuat mood pembaca tertarik. Sedikit juga bubuhkan cerita awal untuk menarik untuk membaca di paragraf selanjutnya.
Contoh:
Bayang pohon beringin itu bergerak-gerak saat Aku duduk bersamanya di kursi berbau basah itu. Hujan memang turun sebentar, dan sepertinya angin ingin membawanya kembali. Ada suara musik sayup-sayup. Kurasa Beethoven, ah tapi tidak aku yakin itu Chopin. Tidak ada yang lebih sendu selain Chopin. Kubuka buku tebal itu. Buku yang menuliskan mimpi-mimpi guru sepertiku. Dia pun senyum, sepertinya kita sepakat akan itu.
2. Straight to the conflict
Formula ini seperti menarik kail ikan. Harus cepat agar mata kail menancap di mulut ikan. Formula ini menuntut kepiawaian penulis untuk menentukan konflik mana yang akan ditaruh di muka cerita. Sebaiknya konflik diceritakan tetap terselubung agar menarik minat pembaca lebih dalam pada cerita anda.
Contoh:
Detik-detik nasibku hampir selesai. Penanda waktu di layar monitor menunjukkan sisa 30 menit lagi ujian CAT selesai. Sementara keringat mulai bercucuran di dahiku. Sedari tadi aku menahan kencing, tapi tak kunjung juga kulaksanakan sebab aku tahu jika aku meninggalkan ruangan ini maka tamatlah riwayatku.
3. Berikan pertanyaan filosofis
Tidak ada yang mampu membuka tabir cerita selain sebuah pertanyaan kuat. Pertanyaan ini membuka kemungkinan pikiran pembaca. Membuat penasaran pula pada apa yang dimaksud pertanyaannya. Cerita dimulai dengan membuat suasana yang penuh tanda tanya.
Contoh:
Sudah benarkah apa yang aku putuskan? Apa suatu saat nanti aku akan menyesal atas keputusan ini? Keputusan meninggalkan tanah kelahiranku untuk merantau ke negeri orang. Apa aku akan menyerah di jalan? Apa aku sanggup berjalan saat tidak ada yang menuntun jalan?
4. Penggambaran tokoh dan penokohan yang kuat
Tokoh yang kuat biasanya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Untuk apa? Agar kita tahu bahwa tokoh itu fiksi, dan agar selama kita menulis kita tidak bermain sebagai Tuhan dalam cerita kita sendiri. Untuk menggambarkan tokoh anda bisa memukai dari sisi uniknya dulu.
Contoh:
Dari kacamatanya yang tebal kita tahu bahwa dia suka sekali menatap komputer lama-lama. Jari jemarinya seperti juga punya mata. Ia tahu letak huruf V, J, dan Spasi tanpa harus keempat matanya melirik. Pipinya bulat kemerahan. Seperti buah persik siap makan. Dahinya lebar seakan kamu bisa mendaratkan sebuah helikopter di sana.
5. Memberi gambaran keseluruhan cerita
Ringkasan cerita bisa ditaruh di awal untuk memberi gambaran singkat tentang apa yang akan dibaca oleh pembaca. Formula ini menayaratkan cerita yang menarik, dibungkus dengan rapi pada paragraf awal.
Contoh:
Tak banyak yang tahu betapa berat perjuanganku hingga titik ini. Sebuah titik di mana banyak orang menginginkannya. Kisah ini akan dimulai saat aku memutuskan untuk pergi mengembara ke Tanah Rencong. Menerjang rawa Singkil yang sunyi itu. Menggali kesempatan yang tercecer di Idi Rayeuk. Tak ada yang tahu nasib, begitu juga kisah hidup seseorang. Maka aku akan menceritakan kisah ini padamu, hanya padamu.
Sekian, selamat membuka paragraf kisah Anda.
5 notes · View notes
otonviton · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
silahkan repost klo mau repost 😊 ga usah minta izin. Klo direpost di IG, kindly mention akun IG @hellopersimmonpie . Thanks 😂
640 notes · View notes
otonviton · 3 years
Text
Dua Senjata Pemusnah Dunia*
Oleh: Tono Viono, S.Pd., Gr.
Mengata-ngatai orang atau diri sendiri dengan sebutan “Nggak ada akhlak”, sudah menjadi cuitan santer di kalangan anak muda saat ini. Mungkin cuman meme sih, tapi coba kita pikir lagi, kayaknya iya sih sekarang gitu. Abis, kok iya merasa bangga karena nggak ada akhlak? Satir kan?
Maraknya pemakaian bahasa “akhlakless/ nggak ada akhlak” buat membedakan Si Doi yang luar biasa dengan Si Gue yang nggak ada akhlak” ini merupakan sebuah neologi. Neologi itu semacam ilmu bahasa yang mempelajari tentang kebaruan penggunaan bahasa. Umumnya bersifat utterance/ ucapan tapi, banyak pula yang menjadi bahasa tulis. Penggunaan medsos sebagai medium baru dalam berkomunikasi menambah tugas neologi buat mengurusi pesan WA yang kamu kirim sama gebetan. Ada kata bapernya nggak, gpl nya nggak? atau ada kata nggak ada akhlaknya?
Ya, manusia memang kelewat kreatif. Dalam kurun beberapa dekade ini manusia sudah menciptakan bahasa-bahasa baru. Perubahan ini wajar dalam bahasa karena sifatnya yang dinamis. Dari sinilah dikatakan bahwa bahasa akan berkembang mengikuti perubahan zaman. Tak ayal, setiap ganti Menteri, kurikulum ganti juga. Bukan isinya, tapi namanya aja yang beda isinya ruwet lagi ruwet lagi. Tapi dari sifat-sifat kebahasaan itu, manusia dapat bertambah perbendaharaan katanya.
Setiap peristiwa budaya terjadi, maka bahasa akan muncul sebagai pahlawannya. Contohnya di masa pandemi ini, kita selalu dijejalkan dengan istilah-istilah baru. Social distancing, new normal, lockdown, menandakan situasi pandemi yang erat dengan kita. Bahasa baru ini bisa jadi muncul karena dua hal: satu benar-benar terjadi atau yang ke dua supaya terlihat keren.
Nah, kalau benar-benar kejadian berarti generasi milenial sekarang tidak lagi menjunjung tinggi adab sebagai tindakan hidup? Benar-benar nggak ada akhlak?
Mari kita bedah tipis-tipis…
Dalam definsi Saya, akhlak berarti landasan murni manusia dlaam menyikapi sebuah hal. akhlak berada dalam diri dan tak berbentuk. Akhlak cuman bisa dilihat melalui perilaku. Artinya akhlak lebih kepada inner beauty (kecantikan di dalam) seseorang. Akhlak tidak bermain di zona abu-abu. Makanya dalam Islam diajarkan hanya dua perihal akhlak, akhlakul karimah dan akhlakul mazmummah. Akhlak baik dan lawannya. Cantik dengan jelek. Kaya kamu…
Sudut pandang agar dapat mengenali akhlak seseorang itulah yang dinamakan adab. Adab semacam aturan lentur yang tidak dicatat dalam buku. Adab hidup karena ada yang menghidupinya, yaitu pengguna adab tertentu. Adab terikat dengan siapa dan apa yang direpresentasikan dari sebuah perilaku. Contohnya terlihat dari perilaku salam. Bagi masyarakat Jawa salam identik dengan cium tangan. Coba perhatikan, setiap pagi pasti ada saja gurumu baris rapi sambil separuh mengulurkan tangan. Sengaja, minta disosor. Nggak mau kalah, siswa nyosornya malah di dahi atau ngelap sebagian ilernya. Saya pernah bercita-cita kayak gitu, tapi untungnya gak kesampaian. Urusan tampil keren di depan gebetan sukses membuat Saya jadi murid rajin.
Kalau di Nusa Tenggara Timur, kamu bisa salam tempel yang benar-benar nempel dengan hidung lawan salam kita. Laki perempuan sama saja. Ketika bertemu mereka akna saling memluk sambil menempelkan ujung hidung mereka. Satu kibasan sedikit menuntaskan rindu. Kebayang, kalau ada temen dari jauh buru-buru kitacari hidungnya, pas dicari hidungnya hilang. Pesek ternyata.
Beda lagi di Aceh, kebiasaan mencium tangan pas salam nggak ada sangkut pautnya dengan adab antara orang tua dan orang muda. kebanyakan tua muda mengangkat salamnya lalu berucap “Assalamualaikum”, salam sejahtera bagi Anda. Kebiasan mencium tangan hanya dilakukan kepada Teungku atau Ulama saja.
Dari kisah salam itu menandakan perilaku di belahan Nusantara saja dapat berbeda. Adab untuk salam saja disesuaikan dengan masyarakat mana yang melihat perilaku itu. Adab terpengaruh pada cara pandang masyarakat. Adab menjadi lebih lentur, terkait dengan kondisi sosial. Adab lebih kepada perilaku yang ditempatkan sesuai dengan tempatnya. Saya, Ketika melihat orang NTT salam hidung kok ya jadi merinding juga.
Tapi, kita harus setuju bahwa perbedaan perilaku beradab itu menandakan sebuah kebaikan, Salam selalu bermakna mendoakan. Bahkan di ujungnya pakai Ya Ahli Kubur juga menandakan kebaikan. Artinya kita care sama mayit, kita selalu mendoakan keselamatan baginya selama berada di alam barzah. Kebaikan inilah yang bersifat akhlaki, sifat yang universal yang bisa diaplikasikan oleh seluruh umat manusia di jagad raya.
Makanya akhlak menjadi ilmu wajib yang harus kita pelajari duluan ketimbang adab. Ilmu ibarat pedang panjang yang siap menerobos jantung siapa saja dalam satu tebasan. Ilmu adalah kemampuan, teknik, skill yang dipakai manusia dalam berperilaku. Ilmu bisa menjadi senjata untuk menguasai dunia. Makanya Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menegaskan berulang kali pentingnya ilmu. Saking pentingnya, Hujjatul Islam sampai menegaskan dalam beberapa bab.
Ilmu ibarat pedang tajam yang dapat dijadikan senjata untuk melindungi diri. Tetapi, sebagai pedang ilmu juga berpotensi untuk melukai diri sendiri. Ilmu dapat berbalik menjadi bahaya ketika seseorang merasa dirinya paling wow, pinter menggurui, anti kritik, atau tukang debat. Ilmu menjadi rentan untuk disalahgunakan karena sifatnya yang analitik lagi rasional.
Maka pedang itu mesti memiliki sarung sebagai pelindungnya. Sarung pedang itu ialah adab. Sarung pedang harus sebaik pedang itu sendiri. Memakai bahan yang indah dan perkasa. Dengan itu ia mampu melindungi tajamnya pedang itu menusuk-nusuk bokong kita. Apa jadinya kalau Sasuke lagi loncat-loncat pohon malah teriak-teriak “Adaw, bokong Gue”. Nggak cool lagi lah!
Adab menjadikan ilmu berharga, adab melindungi ilmu dari salah sasaran. Adab menjadi mahkota ilmu yang keduanya menjadi keselamatan dunia. Selesai berdebat tentang adab dulu baru ilmu atau kebalikannya. Karena keduanya adalah senjata kita di dunia. Ilmu harus punya adab juga dipakai. Seperti itu kiranya kurang lebih menjadi manusia.
Kedua senjata tersebut jika digunakan akan menjadikan seseorang memiliki akhlakul karimah. Akhlak baik yang tercermin dalam perilakunya, berbahasanya, sopan santunnya, kepintarannya, dan hal-hal luar biasa lainnya.
Semoga, kita adalah golongan berilmu dan beradab yang seperti itu, bukan ikutan supaya kelihatan keren dengan nggak ada akhlak!
*disampaikan pada materi Seminar Day Adab dulu Baru Ilmu, Darul Hikam International School, 6 November 2020
0 notes
otonviton · 4 years
Text
Tumblr media
Buat Madah Kelana
:Anakku
Kelanaku, menangislah
sebab bahasa pertama manusia
ialah kesedihan
kelak itulah yang membuatmu
jadi sekuatnya ciptaan
Kelanaku, merangkaklah
di punggung zaman yang ringkih
dan ingatlah kita hanya tamu
tertatih menunggu waktu
yang tertunda di ruang tunggu
Kelanaku, duduklah
di hangat pangkuan ayahmu
akan kubacakan sebuah kisah
tentang dunia yang miskin cerita
dan kata-kata yang sudah
tak lagi punya nyawa
Kelanaku, melangkahlah
pijak kakimu dalam-dalam
nyatakan itu sebagai sejarah
tentang awal sebuah pencarian
muasal dari sebuah perjalanan
Kelanaku, berlarianlah
pungut satu persatu isyarat
bahasa Sang Pencipta
pada tamsil bunga
qasidah cemara
zikir samudera
tasybib cinta
madah kelana
Akhirnya Kelanaku, tidurlah
seperti sunyinya seorang hamba
1 note · View note
otonviton · 4 years
Text
Ke-diri-an
“Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu”
Kalimat bernapas sufistik ini nantinya akan menjadi mahsyur bagi kalangan pencinta sebagai adagium pencarian dirinya terhadap Tuhan. Tersebut bahwa “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh mengenal Tuhannya” merupakan slogan paling eksistensialis yang pernah saya dengar dalam konteks ini. Betapa tidak, ketika filsafat lain berbicara seputar ke-Akuan, kedirian dengan segala kebisa-annya. Kaum sufi mampu menemukan kemungkinan baru atas pencarian diri, yakni ketiadaan.
Kadang setelah berhasil mengerjakan sebuah hal, remeh sekalipun, kita akan langsung merasa bangga luar biasa atas pencapaian kita. Seperti saya, saat berhasil membikinkan kepiting asam manis favorit keluarga kami. Sebuah peristiwa yang memberi efek dramatik bagi saya. Pelan-pelan tapi pasti saya memuji masakan saya sendiri dan membanggakannya kepada istri. Mungkin sebuah hadiah perayaan bagi diri sendiri. Karena atas sayalah akhirnya makanan itu dapat masuk dalam aliran perut kami. Melalui perjalanan panjang fisik dan batin agar kepiting itu ada di atas meja santap kami.
Sadar atau tidak, dalam hidup sehari-hari kita selalu merasa haus atas pengakuan diri. Kita selalu rindu akan pengakuan dari orang lain atas pencapaian kita terhadap sesuatu. Dari mulai cara laku, cara tutur, sampai ke cara pikir, kita selalu butuh sanjungan dari orang lain. Kini orang berbondong-bondong membeli celana cingkrang agar dianggap ahli ibadah. Berjanggut tebal-tebal agar diakui pintar agama.
Namun kalau kita tarik lebih dalam ternyata semua kedirian itu hanyalah semu. Sebab prasyarat kedirian semacam itu membutuhkan orang lain sebagai objek yang meng”aku”. Paradigma tadi membutuhkan minimal dua individu yang mengaku kediriannya. Bagaimana bisa kedirian dihadirkan pada sesuatu yang tidak tunggal? Maka sebaiknya kita taruh kedirian kita bukan lagi bertumpu atas pengakuan orang lain. Mari kita menyelam lebih jauh terhadap diri sendiri bahwa pengakuan diri bisa atas diri sendiri saja. Orang lain tak perlu ada yang mencampuri urusan diri sendiri. Maka kita akan mengenal siapa sesungguhnya kita dalam hidup kita sendiri. Peran apa yang sedang dijalani sebagai wayang dari Sang Dalang Semesta.
Lalu kita coba hadirkan ruh kalimat tadi ke dalam situasi seperti ini. Bahwa mengenal diri yang sesungguhnya adalah saat kita mendapati diri sebagai ketiadaan. Kita dapat makan malam dengan kepiting asam manis hari itu karena saya punya uang untuk beli. Saya punya uang karena bekerja tiap hari. Saya bekerja karena untuk hidup dan menghidupi. Namun jika suatu saat berbagai kenikmatan itu dicabut Sang Empunya? Maka cerita tersebut hanya jadi sesuatu yang terbalik-balik. Sebuah ketidakmampuan. Bahwa hidup kita menjadi persoalan sampai mana kita berhasil mengatasi ketidakmampuan itu.
Sebenarnya kemampuan kita hanyalah sepercik pancaran sifat-Nya yang maha luas. Kita mendengar karena Ia Maha Mendengar. Kita melihat karena tak sebutir zarah-pun yang tak terlihat oleh-Nya. Kita membikin sesuatu karena Ia Maha Kreator atas segala ciptaan-Nya. Maka, ketika kita yang hanya diberikan sepercik sifatNya, dihadapkan pada kuasa-Nya, apa yang telah diberikan lalu dicabutnya, apalah kehendak kita.
Jadi, kedirian hanyalah sebatas persoalan sejauh mana manusia mengetahui bahwa ia hanyalah sebuah ketiadaan. Niscaya jika kita berhasil mencapai titik itu, maka tirai penutup Tuhan akan tersingkap, dan kita diizinkan untuk mabuk sebagai kekasihNya.
Kalau saya sepertinya masih sangat jauh dari titik itu. Sebab nyatanya saja, saat dipaksa oleh istri untuk masak kedua kalinya, saya lupa bumbunya.
3 notes · View notes
otonviton · 4 years
Text
Momentum
Berapa banyak kesempatan yang sempat kita sia-siakan dalam hidup kita? Tertinggal begitu saja di belakang. Sadar terlewat kita menyesalinya begitu dalam, tak sadar hilang begitu saja. Mungkin saja bahkan, ada satu kesempatan mengubah seratus delapan puluh derajat hidup kita dari saat ini, dan itu takkan pernah terjadi ketika kesempatan itu menguap begitu saja.
Momentum puasa sering dianggap kesempatan memperbaiki diri. Saya bilang puasa itu momentum untuk mendiamkan diri. Sebelas bulan manusia selalu hibuk dengan segala jenis kegiatan, saat puasa hal-hal itu akan mengalami perlambatan. Jam tidur berubah, kondisi fisik yang menjadi lebih sensitif untuk bergerak bekerja, dan perihal-perihal 'kemalasan' lain yang terkadang dampaknya lebih baik daripada bertindak.
Bahkan mungkin dari kemalasan itu, timbul suatu kebaikan, tidur misalnya. Tidur bukan tidak mungkin mengubah kesempatan kita untuk membicarakan orang lain, melihat yang tak pantas, atau berjalan ke tempat tak berkah.
Namun momentum adalah hukum Fisika, ia memerlukan besaran yang berbeda untuk menghentikan laju suatu benda. Puasa menganjurkan kita untuk meninggalkan lisan, gerak, indera kita pada hal yang tak bermanfaat. Bukan hanya makan dan minum saja yang berhenti, tapi nafsu dan akal buruk pula yang mesti kita stop. Ini tidak terjadi begitu saja, ada gaya dan usaha kita untuk menghentikan 'gerak' maksiat kita itu. Dan kadang membutuhkan waktu berbeda bagi beberapa orang. Seberapa jauh usaha mereka untuk meraih momentum itu.
Untungnya, Tuhan memberi waktu yang cukup lama untuk meraih momentum itu.
0 notes
otonviton · 4 years
Text
Kamus Sudah Mati
Willy, seorang pria berbadan besar baru saja tiba di Bandung. Seorang petugas COVID 19 lalu menghadangnya, "Hei Gendut! Dari mana mau ke mana?". "Saya dari Manado Pak, hendak mudik. Dan maaf Pak saya bukan gendut, tapi gemuk!". "Ooh, kalo begitu Kamu pulang kampung bukan mudik! Silakan jalan terus!", jawab petugas tersebut mempersilakan Willy pulang ke rumahnya dengan aman.
Saya suka dengan ungkapan anekdotal, rasanya cukup mewakili dengan apa yang terjadi antara negara dan saya. Negara berdagelan, dan saya hanya menonton tertawa. Kurang cukup dengan virus, rasanya kita harus siap-siap menguburkan sendiri kamus. Sebabnya, tanyakan saja pada politikus.
Dari jagad polemik perbedaan mudik dan pulang kampung ini, setidaknya saya menangkap tiga hal: Pertama, sejauh mana batas sebuah kata dianggap bersinonim dan tak. Dari ungkapan anekdotal tadi mari kita bahas sinonim dari sebuah kata. Willy mengaku gemuk bukan gendut. Padahal keduanya dalam tataran makna itu hampir sama. Verhaar (1981) mendefinisikan bahwa sinonimi sebagai ungkapan (frasa, kata, kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Namun yang perlu diingat adalah bahwa kata bersinonim adalah kata yang memiliki informasi yang sama meski tidak harus persis maknanya.
Dalam hal ini mari coba kita mendefinisikan ulang kata gendut dan gemuk. Gendut menurut KBBI V berarti besar dan seakan-akan menggantung. Sedang gemuk berarti besar dan banyak dagingnya. Jika ditinjau dari analisis kuantitatif, kesamaannya terdapat pada informasi 'besar'. Hal ini sebetulnya belum menunjukkan hubungan sinonimi pada kedua kata tersebut. Namun jika kita tempelkan pada thesaurus maka kedua lema ini menjadi sinonimi dalam informasi berat. Artinya kedua kata tadi bersanding informasi pada kaitan berat yang 'besar'.
Dari sana, dapat diartikan bahwa kata gendut dan gemuk hanya bersinonim pada informasi yang menyatakan berat saja. Jika pada informasi perut mungkin gendut akan disamakan dengan kata lain seperti tambun, buncit dsb.
Tumblr media
Lalu bagaimana dengan mudik dan pulang kampung? Mari coba kita lihat di KBBI. Mudik berarti verba cakapan yang bermakna pulang ke kampung halaman. Sedang pulang kampung tidak akan ada karena merupakan kata bentukan. Kalau kita tengok kata mudik dalam thesaurus maka yang muncul adalah pulang kampung. Artinya, informasi mudik itu bersinonim dengan pulang kampung karena memiliki informasi yang sama. Ada beberapa unsur dari frasa mudik yang sama dengan klausa kampung halaman. Informasi itu berkenaan dengan perpindahan penduduk ke kampung halaman.
Kemudian kenapa kedua kata bermakna sama ini kemudian dimaknai berbeda? Menurutnya, kata mudik hanya dikhususkan pada lebaran saja dan pekerja saja, sedang pulang kampung bisa kapan saja dan siapa saja. Ada pengkhususan di dalam kaitannya dengan waktu. Perbedaan temporal ini sebenarnya dimungkinkan ketika dibubuhi kata tambahan, dan kamus sudah menyediakan iti. Jika yang ingin dimaksud adalah mudik lebaran, mari kita sama-sama sepakati dengan gabungan kata mudik bersama. KBBI sudah menyediakan itu.
Tumblr media Tumblr media
Nah, temuan ini kemudian menyeret saya untuk memasuki bagian kedua. Strategi berbahasa kadang begitu berbahaya. Orwell dalam Nineteen Eighty Four sering menggunakan istilah Newspeak atau doublethink. Setidaknya inilah yang menyeret saya dalam pusaran arus makna mudik dan pulang kampung. Bukan mudik, tapi pulang kampung. Bukan investor, tapi stafsus. Bukan pengangguran, tapi prakerja. Bukan gelandangan, tapi tunawisma. Terdengar akrab bukan?
Doublespeak dalam pemahaman saya berarti dua kata yang disengajakan bertaksa/ berambigu untuk menyembunyikan realitas yang sebenarnya. Mungkin kita sedikit bercontoh, kata 'digeser' menjadi mafhum terdengar untuk kondisi yang sebenarnya 'digusur secara paksa'. Atau 'preman' pada masa Orba dengan 'musuh politik Cendana' sendiri. Kata ini sering kali lalu lalang lintas media dan utamanya dalam informasi yang berkait politik agar pendengar menangkap makna yang sesuai dengan kemauan sang pemberi informasi. Doublespeak dapat mereduksi, mendistorsi makna satu ke dalam makna lainnya, meski memiliki makna yang sinonim atau berlawanan.
Doublespeak ini membuat fakta alternatif. Terma fakta alternatif ini benar-benar merupakan bungkusan baru atas terma ‘pikiran-ganda’ (doublethink) yang terjadi pada orang-orang Oceania—suatu negara fiktif Orwell—di bawah kepemimpinan totaliter sang Big Brother. Di novel tersebut, pikiran-ganda adalah efek yang terjadi saat penguasa berhasil menanamkan ide bahwa ialah yang benar dan selalu benar, sedemikian rupa sehingga saat seseorang dihadapkan pada suatu realitas, maka realitas tersebut bisa dipikirkannya kembali sebagai … ‘realitas alternatif’ (baca: alternatif versi penguasa). Proses berpikir pertama adalah saat perjumpaan dengan realitas, proses kedua terjadi saat hasil pemikiran tersebut otomatis terpikirkan kembali karena ide yang sudah ditanamkan sebelumnya. Tentu saja, proses penanaman ide ini tidak selamanya dengan cara menautkan perbedaan antara mudik dan pulang kampung saja. Tapi strategi-strategi lain agar realitas yang sebenarnya kemudian tergantikan dengan fakta alternatif yang dikehendaki.
Tentu saja doublespeak ini kemudian menyeret kita pada situasi trance/ hipnotik. Kadang kita melupakan realitas yang sebenarnya dan cenderung melihat ke arah fakta alternatif. Tidak terhitung lagi betapa banyaknya korban HOAX yang ada, karena mereka terperangkap pada dimensi makna alternatif ini.
Kemudian apa prasyarat doublespeak ini? Pemberi informasi adalah orang terpercaya atau setidaknya dianggap terpercaya. Coba Anda pikirkan, siapa yang akan Anda amini perkataannya bahwa mudik dan pulang kampung itu berbeda, Apriyudha yang seorang guru biasa atau presiden kita tercinta? Tentunya kita tak perlu menebak siapa juaranya.
Tumblr media
Ketiga, dan yang paling utama. Saya menemukan orang-orang anti kritik berkilah dengan mengatakan bahwa kritik harus ada bersamaan dengan solusi. Coba, apakah ada solusi sastra? Yang ada hanya kritik sastra. Kritik tanpa solusi tetap kritik kan? Dan kritik itu sebetulnya vitamin demokrasi. Apa jadinya kritik pisang, kritik sampeu kalau mesti ditambah-tambahi solusi?
So, dahulukan belajar mantiq daripada sembarang tafsir, dahulukan aqli dibanding asal membawa tauhid! Tabik!
Lihat lagi:
Judul diambil dari PP twitter Uda Lanin
Kemendikbud. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Thesaurus Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses: http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/gendut
Verhaart, J.W. M. 1981. Asas-Asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Palimpung, Hizkia Yosie. 2017. Trump dan Orwellian. [daring] diakses pada: https://indoprogress.com/2017/02/trump-dan-orwellian/
4 notes · View notes
otonviton · 4 years
Text
Guru, Pfft.
Sejak kemarin, banyak banget tulisan-tulisan yang di-share rekan kerja soal guru menjelang Hari Guru, termasuk isi pidato Menteri Pendidikan yang baru. Kebanyakan tulisan itu bicara soal betapa mulianya seorang guru, soal betapa sulitnya jadi guru, soal betapa hebatnya guru, yang menurutku rahasia umum sehingga informasi itu sudah tidak istimewa. Aku nggak minat, nggak excited juga, karena, you know, aku nggak pernah merasa aku adalah seorang guru meskipun aku dapat uang dari mengajar dan berbagi ilmu.
Sampai sore tadi, percakapan soal privilege, staf khusus, pencapaian apa saja yang sudah didapat pada usia 23 tahun, kerjaan, gaji, uang, barang diskonan, dan keinginan beli sepatu idaman yang harganya sekali gaji, mengantarkan sebuah pernyataan, “Kamu tuh S-1, kerja berapa tahun gajinya (cuma) segitu, harusnya kamu udah punya penghasilan puluhan juta. Kamu sih, tahunya cuma ngajar aja, gak ada tantangannya, gitu doang.” ke telingaku.
Butuh waktu bagiku untuk sekadar percaya kata-kata itu meluncur dengan enteng dan tanpa rasa bersalah. Aku menutup percakapan dengan kalimat, “kerjaan aku lebih banyak dibayar pahala,” karena ungkapan kekesalanku atas pernyataan itu tak akan bisa sebentar.
Tulisan ini adalah sumpah serapahku.
Keep reading
16 notes · View notes
otonviton · 5 years
Text
Tips Belajar Indie dari Mawang (Buat Pak Jokowi)
Nuhinahinnuhinna hinnu iwyekh
Bagi saya, pekan ini tidak ada yang lebih menarik dari lagu Mawang berjudul Kasih Sayang Kepada Orang Tua. Pria Sunda berambut iklan ini berhasil mengupgrade sensitivitas kita sebagai insan yang dilahirkan dari hasil peraduan orang tua. Betapapun minor, dengan beragam kondisi, pengalaman empiris kita sebagai anak dapat diejawantahkan dengan sempurna melalui lagu nirlirik ini.
Sebagian orang mungkin tidak paham apa yang dikatakan Maw dan Wang yang solo tapi ngeband ini. Tapi, justru inilah estetikanya. Pendengar menjadi bebas dalam merekontruksi makna dari nuhinahinnuhinnahinnu itu. Sekali lagi, apapun kondisi dan hubungan kita dengan orang tua lirik ini menjadi ekspresi itu. Kadang bisa sedih, bisa sekaligus gembira pula. Tapi, inilah indie, kebebasan berekspresi dengan hati.
Untung saja ada Mawang, kalau tidak habislah kita ini. Plus, saran saya dengarkan lagu Mawang setidaknya sekali tiap pagi hari. Gunanya merangsang pikiran kita agar lebih sensi. Wabilkhusus Pak Jokowi. Supaya jadi presiden yang indie. Tidak asal jeblos sana sini.
Oh, gawat jika saya sempat lupa mendengar lagu Mawang pagi hari. Di telinga saya terjadi semacam empat gangguan pendengaran yang ditimbulkan dari lingkaran Pak Jokowi. Satu, kebakaran hutan dan ladang (Karhutla) yang semakin menegaskan bahwa negeri ini semakin terancam bencana ekologi. Kedua, revisi UU KPK yang kian hari makin tak masuk akal, apalagi hati. Ketiga, oh revitalisasi ekonomi yang kini tinggal janji. Keempat, penyelesaian konflik Papua yang kini telah berlalu sampai sekian hari.
Baik, berdasarkan tafsir bebas sebebas-bebasnya dari lagu Mawang, saya mencoba merangkum beberapa tips buat Pak Jokowi untuk mendinginkan hati atas semua kekacauan yang terjadi:
1. Seperti setiap musisi indie, tentukan prioritas!
Siapa yang kira Mawang yang berambut panjang dulunya itu cepak ABRI? Kita mesti belajar banyak darinya bagaimana menentukan prioritas melalui citra diri. Mulanya ia mengurus rambut, kemudian sedikit demi sedikit membeli gitar dari hasil membintangi iklan sampo mandi. Modal tersebut kemudian dipersembahkan untuk kedua orang tua dengan jalan membuat album sendiri.
Lihat Pak Jokowi, betapa kita harus belajar dari Mawang soal bagaimana menentukan prioritas. Dalam pepatah Sunda, ulah ngarawu ku siku, atau Bahasa Indonesianya jangan meraup dengan sikut. Semua persoalan bisa diselesaikan, dengan jalan menentukan yang mana yang mesti diselesaikan lebih dahulu. Sebaiknya Pak Jokowi mendaftar permasalahan urgent yang mesti diselesaikan duluan, ketimbang memutar solusi hingga masalah tak kunjung usai. Seperti apa yang dilakukan Pak Jokowi yang malah gerusah-gerusuh memberikan surpres terkait revisi UU KPK pada DPR.
Saya tidak jadi masalah ketika UU KPK memang akan direvisi. Toh, saya yang missqueen ini tidak bakal terpengaruh signifikan sama aktifitas korupsi. Tapi, alangkah baiknya jika Pak Jokowi menuntaskan masalah Karhutla lebih dulu. Sebab, permasalahan ini bukan hanya berdampak serius pada ekologi tapi juga kesehatan masyarakat di daerah yang terkena dampak asap.
Kemudian, konflik Papua yang sebenarnya mereka hanya minta satu hal: diundang ke istana, makan-makan, kemudian didengar aspirasinya. Tanpa intervensi praktis dan politis. Sudah tok itu saja.
Untuk masalah UU KPK serahkan saja di lain hari. Wong, tugas DPR yang lalu-lalu juga belum kelar. UU P-KS misalnya.
2. Berkarya dengan hati, bukan atas intervensi
Idealisme Mawang terbukti pada jawaban tempo hari yang menyatakan ia menolak segala jenis label rekaman. "Tapi nggak tau kalau besok". Lanjut Mawang. Jawaban itu membuktikan bahwa sebagai musisi, ia memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa berkarya itu harusnya dari hati, bukan campur tangan label rekaman dan intervensi pada karyanya sendiri.
Begitulah kiranya Pak Jokowi, lagi-lagi Bapak mesti berkaca pada diri Mawang yang baik hati. Bapak semestinya memiliki keteguhan hati. Sebagai pemimpin yang followernya tersebar di penjuru instagram, yutub dan Indonesia hari ini, Bapak mestinya berteguh, bahwa Bapak adalah content creator pada setiap kebijakan yang Bapak buat. Bapak itu master mind bagi arah pemikiran negeri, kenapa harus tunduk pada intervensi anggota DPR dari partai yang justru adalah anak buah Bapak sendiri?
KPK itu ibarat musisi indie Pak. Biarkan dia bebas dengan keindie-annya. Jangan coba-coba siapapun intervensi dia. Seperti Mawang, tidak tahu kalo besok.
Sekali lagi, Pak Jokowi yang jauh lebih viral dari Mawang itu sendiri. Coba sekali-kali saat malam hari di kamar istana berkatalah tegas "I'm your president!" depan cermin. Kalau tidak bisa juga, nyanyilah nuhinnahinnuhinnahinnu iyewkh pasti tingkat kepedean Pak Jokowi naik beberapa strip. Percaya deh!
3. Jauhi barisan pemuja bernama Fans
Atau kalau bagi Pak Jokowi mungkin istilahnya buzzer. Pak, di negara kita ini banyak kali orang berpendidikan atau intelektual berkualitas. Kenapa arah kebijakan negeri ini malah dihandle oleh in-telek-tua semacam Benny Siregar, Moeldoko, dan Budi Gunawan sih?
Buzzer-buzzer yang katanya intelektual itu malah membikin jadi ruwet Pak. Masa netizen yang maha bener ini diakal-akali sama 61 orang masyarakat Papua bentukan BIN? Niatnya apa ya? Semacam prank mungkin ya dari Kepala BIN ini. Pas lagi makan di istana, enggak lucu kan kalo tiba-tiba 61 orang keselek dan mengaku bukan bagian apa-apa dari masyarakat Papua?
Atau hashtag #sawitbaik dari salah satu kementerian yang dikeluarkan lucunya, pas terjadi Karhutla. Hmmm prank jilid dua kayaknya ya. Kita tahu, wong di tv menyiarkan ada setidaknya beberapa orang dan korporasi yang membakar hutan dan ladang gambut itu. Dan kita sama-sama tahu kemana ladang gambut itu akan berakhir, kebun sawit. Tadaaa, jadi Bapak bisa bilang sawit itu baik?
4. Panjangkan rambut
Seperti beberapa musisi indie yang saya kenal. Contohnya, Jason Ranti, Mawang, Ibeng. Mereka memanjangkan rambut dengan alasan idealisme dan biar panjang ajah. Selain itu rambut panjang juga secara semi otomatis akan memanjangkan akal kita juga. Tidak percaya? Faktanya jika Bapak pikir orang berambut panjang hanya perawatan dengan sampo dan tonik saja, itu salah besar. Sebab bagi orang dengan rambut panjang, saat stok sampo di rumah habis maka ia akan menghalalkan apa saja yang masih berbentuk cairan. Sabun cuci piring, sabun mandi cair, atau odol pun diberi air sedikit bila perlu.
Begitulah Pak Jokowi, ada baiknya Bapak mengikuti saran saya ini. Berkacalah pada Mawang yang selalu rendah ini. Kalaupun tidak, mari kita bernyanyi :
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa i love yu mamah i love yu papah
1 note · View note
otonviton · 5 years
Text
Senja Berkata 6
Manusia & Estetika
Tumblr media
Oleh: Tono Viono
Saling silang antara estetika dan manusia sudah terjadi sejak awal mula peradaban manusia. Setidaknya beberapa kitab samawi menitahkan estetika menjadi sebuah bentuk ibadah. Estetika memainkan peranan penting dalam setiap gagasan transcendental dari alam pikiran manusia. Bahwa Tuhan selalu menciptakan sesuatu yang indah, lukisan dan nyanyian alam, puisi dalam kitab serta kita sebagai manusia. Kemudian manusia dengan segala keterbatasannya mulai meniru keindahan tersebut. Maka lahirlah seni sebagai bentuk cermin keindahan Ilahiah. Seni lahir atas dorongan manusia untuk meniru, mereplika kemampuan Ilahiah yang tangan manusia terlalu terbatas untuk mencipta. Homo Esteticus.
Menyoal estetika tentunya tidak bisa lepas dari hakikatnya, mengapa estetika dipelajari sebagai bagian pemikiran. Estetika kemudian memainkan pera dalam membentuk batas-batas. Batas baik atau buruk, batas indah atau tidak. Sebuah karya seni kemudian akan diukur estetikanya dengan nilai relative, bukan nilai absolut. Oleh sebab itu relatifitas tadu menjadi nilai bias ketika dihadapkan pada bentuk seni kolektif yang menuntut nilai absolut. Maka terdapat seni yang dapat menciptakan gairah kolektif dan seni yang tidak.
Bias estetika ini kemudian pernah menjadi diskursus dalam pemikiran kebudayaan di negeri kita. Pada era pasca kemerdekaan, arah diskursus seni terbelah menjadi dua kubu. Satu pada seni untuk seni, dan seni untuk rakyat pada lainnya. Diskursus ini kemudian yang membentuk citra estetika modern saat in. kegamangan estetika.
Mafhum sudah bahwa pergerakan seni di negeri kita ini belum mencapai suatu kesepakatan kolektif. Bagi seni untuk seni, seni bergerak menjadi lebih otonom, mandiri tanpa perlu keluar sebagai pahlawan kolektif. Namun, seni itu kemudia menjadi objek yang paling rentan, rapuh jika dihadapkan pada kesadaran kolektif. Di lain kubu, seni untuk rakyat setidaknya pernah mengambil alih kebudayaan nasional sebagai identitas kolektif yang seragam. Namun lagi-lagi citra seragam yang identic dengan modernism ini kemudian runtuh oleh bangkitnya kesadaran individu.
Dalam Bahasa, kita mengenal dua kosa kata yang perlu padan secara pandangan sehari-hari, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan. Dua kata ini yang kemudian menjadi efek dari estetika itu sendiri. Sebuah objek seni dipandang memiliki estetika karena menghasilkan efek berupa dua kata tersebut. Tapi, sesungguhnya kedua kata tersebut berbeda.
Kenikmatan berangkat dari pencerapan inderawi yang kemudian menciptakan sensasi temporal pada fisik. Atau  bisa kita sebut efek fisik. Misalnya, seks, makanan, dan kebutuhan fisik lainnya. Kenikmatan hanya bersifat sementara dan kemudian akan hilang seiiring dengan mesti dipenuhinya kembali kebutuhan fisik tadi.
Sedangkan kebahagiaan, timbul menjadi gairah, gugah, dan hal-hal lain yang tidak dapat tercakup pada fisik saja. Kebahagiaan hadir menetap, tidak lekang oleh waktu dan dominan. Serta biasanya kebahagiaan tidak dengan mudah dapat dibahasakan, dirupakan, atau dibunyikan. Contohnya saja mintalah salah satu orang untuk menceritakan perasaannya saat ini.
Dalam mencari hakikat estetika, setidaknya manusia perlu melewati kedua tahap ini. Ketika seseorang dihadapkan pada sebuah objek, ia akan mencerap secara inderawi, kemudian otaknya menciptakan hormon untuk membuat gairah tertentu yang hadir dalam jiwa seseorang. Kedua tahapan ini harus dilalui tanpa mengabaikan  tahapan lainnya. Maka, seseorang yang melewati kedua tahapannya disebut memiliki kesadaran estetik.
Bahwa pola pembangunan kita sudah memiliki cetak birunya sejak awal, tetapi dapat dikatakan tanpa estetika. Pembangunan fisik selalu menyasar pada pola-pola Gestalt yang kemudian hanya memberi efek inderawi saja. Keseragaman dalam memberikan alat kerja, upah, dan citizen reward menjadi temporal dan dapat dimainkan sedemikian rupa. Kemudian yang menjadi untung hanya beberapa saja. Pembangunan kemudian dicirikan sebagai ciri manusia madani, yang sejatinya jauh sekali dari hakikat madani. Arah pembangunan nasional seharusnya dapat kembali menyinggung kedua tahapan estetika tadi. Pembangunan didasarkan pada capaian akhir dari estetika, kemudian membuang hal-hal redundan sebagaimana kita menyikapi sebuah objek seni. Pembangunan fisik yang tanpa nilai guna kemudian harus ditata ulang lagi, sehingga dapat menyentuh dua aspek estetika tadi.
Inilah yang bisa disebut sebagai manusia yang membangun manusia. Pembangunan fisik memang menjadi prasyarat bagaimana sebuah kemajuan budaya terjadi, sebab tanpa bercermin, kebudayaan otentik mustahil tercipta sendirinya. Namun bukan berarti kita hanya mengejar itu saja, tanpa menyentuh ranah yang lebih mudah secara teoritis digali. Ranah manusia kreatif.
Estetika memainkan peranan penting dalam pembangunan manusia sebab dengannya terbentuk manusia kreatif yang dapat menciptakan sebuah kesadaran kolektif. Manusia-manusia ini yang di hari kemudian membentuk sebuah gagasan estetis dan kreatif untuk mengubah arus pemikiran yang masih dipengaruhi bau modernism. Gagasan inilah yang kemudian membuat singkapan-singkapan baru yang belum terjamah oleh indrustrialisasi dan keseragaman pola pikir ala modern.
Lalu bagaimana manusia bisa bersentuhan kembali dengan estetika? Di saat pendidikan nasional yang menjadi satu-satunya hulu kebenaran kini tergerus pula oleh aroma keseragaman?
Maka satu-satunya jalan keluar yang tersisa ialah kita: manusia dan estetika.
Tumblr media
1 note · View note
otonviton · 5 years
Text
Ada Baiknya Jika Majas Pars Pro Toto Dihilangkan Saja
"Sampai sekarang Si Anu tidak terlihat batang hidungnya" -Bu Imas
Saya ingat dulu dengan lihainya Bu Imas menjelaskan kepada saya mengenai sebuah majas atau gaya bahasa bernama pars pro toto. Majas tersebut terngiang-ngiang di telinga saya sampai saat ini, entah karena namanya mirip dengan nama saya atau karena terdengar unik saja. Saya kira itu hanya salah satu materi pelajaran saja, karena sampai segede ini pun saya belum dengar ada orang bilang batang hidung untuk menujukkan ketiadaan. Tapi, nyatanya majas pars pro toto ini seringkali digunakan orang, dan oalah, dampaknya aduhai mengerikan.
Sebenarnya, pars pro toto itu bagian dari jenis sinekdoke, atau pertautan. Makna sebagian dianggap mewakili keseluruhan. Batang hidung Si Anu dalam kalimat tadi mewakili seluruh batang-batang yang ada di tubuh si Anu. Batang tubuh, batang lengan, batang telinga, dan batang Anu. Pokoknya mewakili kehadiran si Anu seluruhnya, jiwa dan raga. Berkebalikan dengan totem pro parte, rival abadinya.
Betul sekali, pars pro toto ternyata juga hadir dalam kasus mahasiswa Papua yang bikin onar di asrama Surabaya. Nah, kalimat tadi juga ialah contoh majas pars pro toto. Dan kalimat seperti itulah yang ternyata direproduksi terus menerus oleh media dan orang-orang. Oh, akhirnya saya tahu, darimana konflik identitas bermuara. Pars Pro Toto-lah biangnya.
Tentang citra mahasiswa Papua yang baru-baru ini muncul kembali menjadi gesekan identitas etnis di negara kita, memang bermula dari bawaan alamiah manusia mencocokkan ciri tertentu dengan sifat tertentu. Homo cocoklogi. Otak kita dengan mudahnya memproduksi makna bahwa si Robertus karena hitam maka dia beringasan seperti hewan. Setidaknya itu terbukti pada awal mula perbudakan kulit hitam di Amerika dan Afrika Selatan. Bahwa yang hitam, didukung dogma gereja kemudian, disandingkan dengan kejahatan. Stigma tersebut diproses melalui satu tautan, pars pro toto.
Kecenderungan mentautkan sebuah citra menjadi identitas ternyata yang menimbulkan konflik-konflik identitas. Apalagi ini direproduksi terus menerus oleh media, maka identitas kemudian akan terbentuk dengan mudah dan masif. Cobalah kita merenung, orang Papua dengan citra lahiriahnya ternyata memiliki berbagai identitas. Di Asmat, pernah saya kunjungi satu kampung yang memakan sirih pinang, tapi kampung sebelahnya tidak. Ada yang menenggak sopi (miras) dari pagi sampai sore, ada pula yang taat ajaran Katolik. Artinya identitas kultural itu tidak bertautan langsung dengan citra-citra lahiriah seseorang.
Saya pun tidak bisa memilih saya lahir di Bandung, dari orang tua Jawa. Maka saya memilih Sunda sebagai identitas saya, karena sejak kecil saya dibesarkan di sebuah lorong kecil di tengah Kota Bandung. Kemudian ketika kini saya hidup di Aceh, maka stigma orang Jawa pun melekat pada saya, orang Jawa yang suka klenik dan tidak taat beragama. Padahal sudah seringkali saya bilang kepada orang, saya lahir di Bandung dan saya memilih Sunda sebagai etnis saya. Tapi, stigma terlanjur menancap. Alhasil saya dicap sebagai orang Jawa beserta atribut identitasnya. Enak? Oh TENTU TIDAK MARIA!
Ada baiknya kita hentikan ke-pars pro toto-toto-an kita ini yang aduhai betapa mengerikannya jika kita keenakan. Siapa saja tak bergantung pada citranya, dapat melakukan apa saja. Bisa saja kita menyebut bukan orang Papua saja yang tukang malak, preman di pasar Kuta Binjei pun pernah malak saya. Bukan orang Aceh saja yang pandai ngaji, orang Sukabumi pun juara MTQ. Akhirnya betapa indah dunia tanpa pars pro toto.
Sekedar saran bagi Bu Imas, coba ganti majas pars pro toto dengan nama saya, pasti lebih indah: pars pro tono! Ahiw!
1 note · View note
otonviton · 5 years
Text
Yang Lupa Gado-Gado itu Bernama Indonesia
Alkisah seorang puan kelana dari jauh singgah di ibukota. Perutnya sudah tak kuasa menahan keroncongan. Ia lalu melihat sekeliling, dan mendapati sebuah warung bertuliskan Gado-Gado. Tanpa basa-basi ia memesan kepada pemilik warung satu gado-gado. Set set.... Dengan cekatan pemilik warung tersebut meracik seluruh bumbu dan bahan menjadi sebuah sajian nikmat di atas piring.
Puan kelana itu duduk di kursi paling ujung, dekat kaleng kotak berisi kerupuk bulat. Ia melihat pemilik warung datang menghampirinya, lalu menyodorkan piring berisi sajian tadi. Sendok telah digenggam dan mulut sudah siap memamah. Tapi, puan kelana tak segera menyantap sajiannya. Apa gerangan?
Siapapun tak menyangka jika puan kelana kemudian mengacungkan tangan. Pemilik warung terperangah, kemudian menanyakan apa yang salah dengan masakannya. Dengan dahi berkerut puan kelana bilang:
"Mana gado-gadonya?"
***
Seperti puan kelana, pun saya tidak tahu jika ditanya oleh Anda mana Indonesia. Dalam peta yang ada hanya titik kecil yang jika kita bandingkan dengan bumi yang sebesar biji jagung di luasnya angkasa raya Tuhan ini. Beberapa tempat saya kunjungi, tak ada yang namanya Indonesia. Atau yang menjadi nama gang pun tak ada. Gang Indonesia, tak pernah tercatat di atlas manapun.
Yang ada hanya Aceh, Sunda, Jawa, Papua, Jombang, Ciateul, Blang Uyoh. Tak ada satupun yang namanya Indonesia. Lalu mana Indonesia?
Indonesia adalah gado-gado, gado-gado itu Indonesia. Di dalamnya terdapat komposisi yang beraneka ragam. Tauge kita samakan Aceh, tahu sama Sunda, lontong itu Jawa dll. Semianya bercampur menjadi sebuah sajian lezat nan nikmat bernama Indonesia.
Narasi kebangsaan tidaklah muncul dari satu yang mendaku aku. Tapi dari keseragaman nasib (dalam perspektif menyedihkan) yang memunculkan sebuah ide kebangsaan. Kemudian membentuk sebuah identitas baru yang kita sebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Dari situlah kita mesti berkaca bahwa semua komponen penting dalam membangun identitas tadi. Kita akan asing jika menemukan gado-gado tanpa bumbu kacang, seharusnya kita pula akan asing jika salah satu dari komponen pembentuk bangsa ini menjadi sasaran sentimen pihak lain.
Sentimen banal inilah yang justru akan memperkeruh sajian nikmat bernama Indonesia ini. Kekinian polarisasi pasca pilpres semakin menguatkan wacana intoleran di gado-gado kita ini. Pihak satu menebalkan batas perbedaan antara yang lain. Belum lagi ditambah dengan wacana Indonesia anti bla bla bla yang sebenarnya dialah yang bukan Indonesia.
Sebab mendaku Indonesia pada satu pihak saja itu bukanlah Indonesia.
Sekarang bagaimana jika anda saya suguhkan gado-gado yang dipisah-pisah antar penyusunnya. Lontong di satu piring, tauge ambil kemudian di piring lain, saus kacang di piring tetangga? Bagaimana kita bisa mendefinisikan jika sajian itu lezat?
Maka terimalah bahwa Indonesia itu semestinya dicampur baur, diaduk sampai rata untuk menghasilkan sesuatu yang lezat. Keberagaman itu lezat, kita mesti pandai-pandai menikmatinya.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-74
Tumblr media
1 note · View note
otonviton · 5 years
Text
Mendapat Jejak dari Peta Ingatan
Situ Lembang
kekasihku, apakah kita harus mengakhiri
apa yang sebenarnya belum kita mulai.
tepi danau inilah yang selalu menyinggung ingatan.
lelehan kabut dari puncak gunung
terapung, menyamarkan kenangan dan luka.
pohon-pohon tegak dengan sendirinya
tak seperti kesetiaan kita yang rapuh dan lapuk oleh waktu.
dan aku memang tahu, lanskap jalan ini
landai namun terasing.
sepanjang usia,
kau bertanya mengapa daunan jatuh
tanpa bahasa.
langit hitam, kampung mulai melebam.
dua nelayan terburu mengangkat jaringnya
seakan danau ini tak lagi bersahaja
ikan-ikan enggan tersesat dalam bubu mereka.
lalu, lihatlah kita
mataku yang berlumut
rintik hujan tampak setia, enggan terusik dari pipi.
sebab kau selalu tergesa menitipkan sesuatu,
mungkin kebisuan.
kekasih, apakah ini kesetiaan?
di sekeliling danau, daun-daun mahoni jatuh.
mengambang, memutar kenangan.
sepertinya aku tahu, kita tak akan dipertemukan kembali.
malam yang menyurut, matahari berlaut.
atau embun yang terasa asin di mata kita.
kekasih, lalu inikah kesabaran?
seakan-akan taman ini serupa dengan surga,
yang menjadi pangkal dari perpisahan Adam dan Hawa.
2011
.
Menemukan lagi sajak ini di jejak digital zine rajakadal, seperti kembali lagi ke masa lalu. Sajak ini pernah menjadi sampul sebuah buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh kampusku. Entah, mengingatnya kembali saya jadi senyum-senyum sendiri. Mungkin masa lalu adalah bahan terbaik bagi lelucon.
Nostalgia, sesuatu yang bagi sebagian orang menjadi hiburan sekaligus menjadi siksaan bagi yang lainnya. Ada yang berbondong-bondong curhat dengan bahasa yang jelas, ada pula yang menyembunyikannya dalam tirai cerita. Tapi yang jelas, tanpa kita bahasakan, kenangan akan membuar ke udara. Ia tak akan jadi apa-apa.
Nostalgiaku seperti dangdut Rhoma Irama, mari kita merayakan kepedihan!
1 note · View note
otonviton · 5 years
Text
Tuhan, terimakasih telah menjatuhkan hatiku pada orang yang sama, berkali-kali
0 notes
otonviton · 5 years
Text
Ada yang tersemat setiap shalat, ada yang mewujud setiap sujud. Tasbihku membelai cemara angin. Rukukku dingin bersama runduk embun pagi. O, Yang Maha Puisi berkatilah mereka yang masih percaya.
0 notes
otonviton · 5 years
Text
Fragmen Kecil Buat Pendidikan
1.
Pagi yang baru, matahari yang sama, persoalan yang sama. Buku lusuh di ketiak anak terbakar. Memanggang jalanan ialah hal biasa bagi langkah yang terpaksa. Melenggang di antara reruntuhan yang dulu dikenal desa. Nasib dapat diukur dari sini. Seolah dunia akan menyempit tanpa program Wajib Belajar 12 Tahun. Dan kebahagiaan duniawi bersumber dari selembar kertas berharga.
2.
Sekarang sekolah ialah kasino, tempat mengadu nasib. Seberapa banyak engkau bertaruh, maka semakin berbahaya pula namamu di sana. Orangtua memberi jaminan dana atau apa-apa yang tersisa di tubuhnya untuk dijadikan patung sumbangan. “Mau anak Anda aman di sekolah? Maka berikanlah kami kepala Anda!” begitu kata iklan penerimaan murid baru.
3.
Menjadi guru yang pemaaf itu gampang, yang sulit adalah guru yang pemarah. Tapi keduanya tetap bakal menjadi bulan-bulanan. Guru baik budi dikeroyok muridnya sendiri. Guru keras hati ditempeleng orang tua murid. Memang murid kita mental tahu, maka tidak usah jadi pisau tajam buat membelah otak dungu. Ujar kepala sekolah tempo itu.
4.
Kelas-kelas adalah rumah jagal bagi Audrey dan sesamanya. Sikut-menyikut sudah ganti model sekarang. Patuh dan tertib udah nggak musim lagi, sekarang ikutilah trend kekinian: Dilan! Memang, bar-bar benar.
5.
Di dunia yang miskin kisah, pelajaran hanya tagar-tagar yang sejenak bertengger di trending topics, kemudian raib entah gerangan. Puisi tak lagi diajarkan, diganti cerita yang beredar dengan algoritma sederhana, semakin sering belajar dari konten yang sama, semakin Anda pintar terhadap yang itu-itu saja.
6.
Setelah dewa-dewa pergi, ibadah yang tersisa hanyalah clickbait. Dan pahala dihitung dari seberapa banyak layar teleponmu diketuk seseorang. Perasaan tak lagi dalam, sedangkal doa yang dikabulkan oleh halaman newsfeed. Pikiran-pikiran yang sejajar adalah produk dari pendidikan kita. Seperti mudahnya mereplika kecerdasan dengan big data. Dan moral, oh tentu saja moral, ditentukan dari jumlah tombol suka dari seluruh peradaban. Eureka!
7.
Begitulah, di negeri yang ngeri ini. Kita diajarkan untuk menulis yang tak perlu ditulis, membaca yang tak mesti dibaca. Tapi jangan khawatir setelah lulus nanti banyak pekerjaan menanti mereka, pemuja adsense, youtuber kelas Halilintar atau ulama yang sedetik mengajarkan kasih sayang, sejurus kemudian mengutuk golongan lain yang tak sejalan. Atau paling mentok, terjunlah ke politik. Dengan itu Anda bisa lebih guru dari guru.
8.
Kapten O Kapten! betapa kita butuh John Keating, betapa kita rindu Al Ghazali, betapa kita perlu Tjokroaminoto. Maafkan kami Ki Hajar! Betapa murid kita perlu untuk naik kursi sekolah, lalu melihat bahwa dunia tak sebatas pandang saja. Betapa kita perlu merobek-robek kurikulum, lalu menggantinya dengan pikiran-pikiran bebas kita.
9.
Carpe diem! Sesungguhnya dibalik dinginnya gelap malam, ada tungku-tungku yang sedia menghangatkan. Ada Paulus yang masih memegang dayungnya ke sekolah. Ada Pak Sadri yang tetap mengajar setelah tempo hari ditoyor muridnya yang ketahuan merokok. Percayalah masih ada nasib baik bagi mereka yang percaya.
10.
Pendidikan ialah kayu bagi tungku pemikiran. Dan kita butuh kesadaran untuk menyala-nyalakan.
2019
Tumblr media
1 note · View note