Tumgik
#Cerbung
coklatjingga · 8 months
Text
(Cerbung) Dear, Aksa
Hai, Aksa.
Suara rintik hujan yang jatuh di atas genteng malam ini membuatku kembali mengingatmu. Sudah sewindu berlalu, namun cerita tentangmu masih menjadi tema besar dalam hidupku. Entah sampai kapan.
Rintik yang turun di halaman rumah ternyata juga membasahi pipiku. Tanpa ada kamu yang siap mengeringkannya seperti dulu. Sapu tangan biru tua penuh garis itu, masihkah setia di kantung celanamu?
Begitu banyak kisah, Aksa. Begitu banyak memori yang terpaksa kusimpan dalam ingatan. Saat banyak orang menyarankan untuk membuangnya, tetap saja kujawab iya dengan pura-pura. Kau tak akan kemana-mana. Memori tentangmu akan tetap di sana.
Kini kuakui, Aksa. Tanpamu duniaku serta merta berubah. Yang dulu ada perlahan tiada. Seiring kepergianmu yang tak membiarkanku menahan sedetik saja.
Bagaimana kabar harimu di sana? Benarkah kau telah bahagia? Kau tega sekali, Aksa. Membawa seluruh impian kita berdua dan membiarkanku sendirian dalam hampa.
Kini kunikmati rintik hujan di bibir jendela, sembari memutar kembali kenangan kita di bawahnya. Saat kita menolak kalah dengan terus melaju di aspal yang basah.
***
Move On, Please
Tak kutahu jika cinta akan membawa luka sesakit ini. Setelah kepergianmu saat mimpi kita sedikit lagi.
“Tolong jangan menolak lagi. Ini sudah orang ke sekian yang kamu tolak tanpa alasan.” Suara itu lagi-lagi memaksaku menyumpal telinga dengan earphone.
Ya, aku tahu tindakan itu tidak sopan. Namun, bukankah lebih tidak sopan memaksa seseorang menerima apa yang semestinya ia tolak? Bagiku laki-laki di depanku ini sangat tidak sopan.
Ia masuk ke kamar tanpa permisi, lalu ngomel tanpa henti. Padahal ini masih dini hari. Tepatnya pukul tiga pagi. Apa di kamarnya tidak ada jam? Sampai lupa waktu begini.
“Kamu denger, kan?” Kini wajahnya turun tepat di depan hidungku. Nyaris saja kepala kami terbentur sebab kini kepalaku refleks maju, terkejut.
“Iya,” jawabku singkat dan tidak semangat.
Dialog dini hari ini sudah sering terjadi. Tepatnya setelah Ayah menolak proposal pernikahan yang Bayu ajukan. Ya, laki-laki yang kini berkacak pinggang di hadapanku. Dia kakakku, kakak satu-satunya yang selalu menjahiliku. Kami dua anak kembar yang berbeda jauh.
Kini Bayu sudah dewasa. Sudah menemukan tambatan hati dan berencana menikah, layaknya pria dewasa mapan lainnya. Sayangnya, Ayah tidak serta merta memberi Bayu izin. Ada satu hal yang menjadi penghalangnya dan itu aku. Anak perempuan satu-satunya yang masih diperlakukan layaknya bocah 13 tahun.
Ayah sangat menjagaku, melebihi Bayu. Bagi Ayah sedikit goresan di tubuhku merupakan bencana. Berbeda dengan Bayu yang memang hobi menyakiti dirinya sendiri dengan uji nyali. “Tolong bantu aku. Jangan jadiin aku korban gagal move on kamu itu."
Tanganku seketika geram hendak menyumpal mulutnya dengan buku di tanganku ...
(Bersambung)
8 notes · View notes
megandarii · 2 months
Text
Kala Hujan-6
April 2013
Jangan ajari Alan arti sabar, sudah lebih dari satu bulan ia menahan diri untuk bicara dengan Hujan yang masih dengan konsisten mendiamkannya. Sebelumnya, ia merasa sudah sangat mengenal Hujan, tapi kali ini ia jauh dari mengerti. Pada akhirnya Alan hanya diam di tempat, tidak mencoba dekat ataupun pergi. Hujan sendiri terlalu gengsi untuk meminta Alan kembali. Bagi Hujan, ini masalah harga diri. Sementara untuk Alan, jaga jarak dengan Hujan adalah hal paling tepat yang bisa dilakukan lelaki sejati dalam situasi ini.
Karena itu, Alan makin sering menghabiskan waktu bersama teman-teman lainnya. Sabtu ini pun mereka berencana tracking ke Gunung Papandayan, menginap di sana barang semalam. Alan butuh waktu menjernihkan pikiran, melepaskan Hujan untuk sejenak, jadi ajakan itu mustahil ia lewatkan. Sementara Hujan, makin menyibukkan diri dengan kegiatan UKM Jurnalistik yang ia ikuti sejak tahun lalu. Setiap hari pulang larut malam karena harus kuliah dan meliput, kemudian menulis berita. Sampai di kostan hanya sempat mandi dan makan, lalu langsung tertidur lelap karena kelelahan. Tidak sempat untuk mengkhawatirkan hatinya sendiri.
Sabtu ini, Hujan tau Alan dan teman-temannya akan pergi naik gunung. Salah satu anggota rombongan yang akan berangkat mengajak Hujan ikut serta, namun Hujan menolaknya. Ia belum siap menghadapi Alan. Alhasil, agenda Hujan diakhir pekan hanyalah menghabiskan waktu di kostan, dengan setumpuk bacaan yang sudah ia siapkan hasil meminjam dari perpustakaan. Menjelang sore, Hujan menyalakan televisi, mencari channel berita. Seorang jurnalis tidak boleh ketinggalan isu-isu terkini, menurutnya. Hingga muncullah berita tentang bencana kebakaran hutan di Gunung Papandayan. Kebakaran tersebut baru saja terjadi, dan yang ada dipikiran Hujan hanyalah Alan. Refleks Hujan mengambil handphone dan menelepon nomor Alan. Tapi tidak ada jawaban. Hujan berusaha menelepon teman-teman lainnya, tapi nihil. Tak satupun bisa dihubungi. Yang kemudian terlintas dipikiran Hujan adalah Keenan.
"Halo, Keenan."
"Ya?"
"Help."
"Ann? Are you ok? Tenang dulu. Ada apa?"
"Alan. Papandayan. Kebakaran," jawab Hujan terbata.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, Keenan memahami perkataan Hujan. Ia tau Alan dan teman-temannya tengah mendaki sejak pagi ini. Dan... Papandayan, kebakaran, tak elak ia membayangkan hal-hal buruk terjadi.
"Kamu di mana?"
"Kostan."
"Kamu siap-siap. Aku ke sana sekarang, jemput kamu."
Bermodalkan mobil pinjaman salah seorang teman, Keenan dan Hujan berangkat menuju Garut. Sebagai ketua angkatan, Keenan merasa perlu memastikan kondisi teman-temannya. Tapi sebagai mantan, entah kenapa Keenan ingin membantu Hujan memastikan kondisi pria yang secara tidak sadar sangat disayanginya.
Dalam perjalanan sejauh 96 KM dengan waktu tempuh lebih dari 3 jam, Keenan dan Hujan tak saling bicara. Menjelang maghrib keduanya baru tiba di pos pertama. Berkat berita kebakaran sore tadi, situasinya jadi cukup ramai. Keenan dan Hujan turun dari mobil dan bergegas menuju pusat informasi. Namun sayang, informasi yang mereka dapatkan hanya sebatas, 'rombongan teman-temannya belum kembali karena tidak ada satupun laporan tentang mereka sampai saat ini'. Hujan merogoh handphone dari dalam tas, berusaha menghubungi Alan, lagi. Tapi gagal. Ia sendiri kesulitan mendapat sinyal. Kondisi itu hanya membuatnya makin frustrasi.
"Tenang. Kita tunggu dulu. Mungkin mereka dalam perjalanan turun," Keenan berusaha menenangkan.
"Tapi sekarang sudah hampir malam, Nan. Gimana kalau ternyata mereka terjebak di sana karena asap?"
"Mereka bakal baik-baik aja. Percaya sama aku."
"Nan, kita nggak bisa ke atas aja, ya? Minta izin, Nan. Kita harus cari mereka."
"Nggak bisa, Ann. Bukan gitu cara kerjanya."
"Tapi mereka nggak bisa dihubungi. Sampai sekarang belum ada kabarnya. Nan, kalau mereka kenapa-napa gimana?" Hujan mulai menangis, membayangkan hal buruk menimpa Alan membuat hatinya nyeri.
"He's gonna be okay. I promise," Keenan mengelus bahu Hujan. Melihat Hujan menangisi pria lain bukan sesuatu yang ingin ia hadapi saat ini, tapi kakinya menolak pergi.
Satu jam. Dua jam. Hari sudah gelap. Tidak satupun wajah dari teman-temannya yang terlihat di antara rombongan pendaki yang turun gunung.
"Kamu tunggu aja di mobil. Aku keluar sebentar cari informasi."
Hujan hanya mengangguk setuju.
Keenan berjalan menuju pos informasi, sampai kemudian, Keenan melihat seseorang yang ia kenal. Diki, teman sekelas Hujan.
"Diki!" Panggilnya lantang sembari berlari.
Mendengar namanya dipanggil, Diki menoleh. "Lho, kok ada di sini, Nan?"
"Gua liat di berita, terus buru-buru ke sini bawa mobil. Kalian gimana?" Keenan menepuk-nepuk bahu Diki dengan raut khawatir.
"Kami berhasil turun, tapi Alan..." kalimat Diki menggantung.
"Alan kenapa?"
"Kakinya terkilir karena jatuh saat berusaha lari. Makanya kami butuh waktu cukup lama buat turun dari lokasi camp ke sini."
"Oh, God. You scared me," Keenan menghela nafas lega.
"Yang lain di pos, buat laporan. Alan lagi diobati di ambulan sebelah sana," Diki menunjuk salah satu ambulan tak jauh dari pusat informasi.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Ann di sini, biar gua antar dia ketemu Alan dulu, ya."
"Ok. I'll see you later."
Keenan bergegas menghampiri Hujan, "Mereka selamat."
"Really? Oh thanks God. Mereka di mana sekarang?"
Tanpa menjawab, Keenan membuka pintu mobil, menarik lengan Hujan, membawanya bertemu Alan.
Alan masih berada di ambulan. Kakinya hampir selesai dibebat oleh salah seorang perawat. Hujan yang melihat Alan lantas berlari menghampiri. Di detik yang sama, genggaman tangan Keenan terlepas dan langkahnya terhenti.
"Alan!" panggil Hujan dari kejauhan.
"Hujan?"
Sesampainya di hadapan Alan, yang Hujan lakukan hanya satu, memeluknya.
"I'm okay," kata Alan setelah beberapa saat.
Hujan melepas pelukannya. Matanya memerah, hidungnya basah, pipinya sudah dibanjiri air mata.
"Jelek banget ya kamu kalau lagi nangis," canda Alan sambil tertawa. Satu tangannya mengelus kepala Hujan.
"Kamu nggak apa-apa? Yang lain mana?"
"Kakiku cuma terkilir. Yang lain aman. Mereka lagi laporan di pos. Kamu kok bisa ke sini?"
"Sama gua, Lan," jawab Keenan sambil berjalan menghampiri.
Alan tak mampu mengantisipasi situasi ini, jadi ia tak bisa merespon dengan kata-kata, hanya wajahnya yang menyiratkan kebingungan.
"Syukur kalian nggak apa-apa. Kami khawatir banget waktu dengar beritanya."
"Thank you, anyway."
"Well, gua ketemu anak-anak dulu ya," Keenan meninggalkan Alan dan Hujan.
"Kok bisa sama Keenan?" tanya Alan setelah memastikan Keenan menjauh.
"Kalian sama sekali nggak bisa dihubungi, satu-satunya yang terpikir cuma Keenan. Setelah aku telepon dia langsung jemput dan ngajak aku ke sini."
"Kupikir dia marah sama aku."
"Mungkin dia ke sini buat mastiin kondisi anak-anak sebagai ketua angkatan."
"Kamu udah nggak marah sama aku?"
"Gimana bisa aku marah saat yang aku bayangin adalah kamu terjebak di atas sana tanpa bantuan?"
Alan tersenyum lembut, "Aku kehilangan kamu. Kangen kita yang dulu," pinta Alan dengan wajah memelas.
Hujan ingin bilang, 'Aku juga kehilangan, kangen kamu, tapi bukan lagi sebagai teman.'
Otak dan hatinya tidak sedang selaras, jadi yang terucap dari mulut Hujan hanya, "Aku juga."
Alan tersenyum, satu tangannya refleks merengkuh Hujan dalam dekapan. Antara lega atau semakin mempertegas luka, Alan tidak peduli. Ia hanya ingin Hujan ada, entah dengan status apa. Pintanya saat ini hanya untuk bersama Hujan, selama yang ia bisa usahakan.
Dari kejauhan, Keenan menyaksikan bagaimana Hujan dan Alan berbaikan. Meskipun sudah berstatus mantan, ada perasaan tidak rela yang mencuat ke permukaan. Namun Keenan juga sadar, bahwa sejak awal, melepaskan Hujan adalah jenis kekalahan yang tidak bisa ia tawar.
Rangkasbitung, 6 Maret 2024
Find the previous story here:
2 notes · View notes
erzulliee · 1 year
Text
Jogja dan Hujan Pertama di Bulan September
Jangan lupa follow Wattpad Erzullie ya :)
Babak 1
Masih ku tatap hujan pertama di bulan September.
"Permisi, Mas," ucap seorang gadis manis dengan rambut sebatas bahu.
"Oh, ya, silakan." Aku memberikan celah untuk gadis itu lewat di depanku.
Ia duduk di tepat di kursi sebelahku, menjadi pendamping perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta.
Sejak kereta api berjalan, tak ada kata yang terucap di antara kami. Aku sibuk menatap hujan di luar jendela, sementara ia sibuk menidurkan diri.
Sejak ia tertidur, muncul keberanian untuk sesekali meliriknya. Takdir memang bajingan. Bisa-bisanya menghadirkan orang asing macam begini. Wajahnya tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik untuk terus dipandang.
Perjalananku kali ini bertujuan untuk membasuh luka dari patahnya hati. Namun, September memang unik. Selain hujan pertama, ia juga menyuguhkan pertemuan pertama.
'Seandainya bisa kenal sama dia.' Batinku. Berharap ia singgah sejenak di beranda takdir.
Waktu terus bergulir. Perlahan kepalanya turun hingga bersandar di bahuku.
'Bajigur!' Batinku. Aku takut degup jantungku yang berdebar kencang ini membangunkannya. 'Woilah! Cepet bangun Mbak. Hatiku geter-geter ini hoy!'
Biarpun begitu, sisi kecil hatiku berharap ia terus begitu. Setidaknya pundak pria ini tidak rapuh seperti hatinya.
Tanpa sadar, terukir senyum tipis di bibirku. Hingga tiba-tiba aku merasakan ada air yang mengalir dari bahu menuju lenganku. Ku tatap si manis ini.
'Si jenius! Ngiler anjay!'
Tiba-tiba mata si jenius in—si manis ini terbuka. Ia terkejut dan langsung mengangkat kepalanya. Ditatapnya iler yang berdusun di bahuku.
"Eh sorry." Dengan panik ia ambil sapu tangan dari kantong jaketnya, lalu membersihkan baju dan lenganku.
Aku tersenyum menatapnya. 'Untung manis!' Batinku. "Enggak apa-apa kok."
"Maaf, maaf, enggak sadar saya."
"Kalo sadar mah bukan tidur, Mbak," balasku dengan bumbu guyon.
Ia tertawa. Lesung pipinya membuat senyumnya semakin manis.
"Mau ke mana, Mas?"
"Jogja. Mbaknya?"
"Sama."
"Mau kuliah?" tanyaku
"Emang masih kelihatan kayak mahasiswi, ya?" Ia berpose menempelkan jarinya yang berbentuk huruf v di bawah dagu.
Aku terkekeh. "Iya," balasku.
"Sempet kuliah di sana, tapi udah lulus tiga tahun lalu. Sekarang mau main aja. Masnya mau ngapain?"
Aku tersenyum membuang muka menatap hujan di luar jendela. "Menghapus luka, Mbak."
"Mirip-mirip deh sama aku. Aku main juga karena mau ngubur pilu."
'Jiahahaha menarik!'
Aku menyodorkan tanganku. "Riki." Ia membalas jabatan tanganku. "Lena," ucapnya.
Lena. Seperti namanya. Aku dibuat terlena dengan parasnya.
Lena bercerita bahwa ia suka ayam geprek di Jogja. Ayam geprek di Jakarta terlalu culun katanya. Selain geprek, ia juga suka pengamen di Jogja. Menurutnya para pengamen ini adalah orang-orang yang mencari panggung jalanan, bukan sekadar mencari uang dan tidak bertanggung jawab dengan telinga pendengarnya. Jogja memang begitu, kaya dengan seniman.
"Kalo kamu, apa yang paling kamu suka dari Jogja?" tanyanya padaku.
"Enggak ada," jawabku
Ia memicing. "Kok?"
"Aku juga kuliah di sana. Sejak lulus, Jogja enggak lagi sama. Keistimewaannya ikut terkubur bersama masa lalu. Tempat yang sama, tapi dengan waktu dan orang yang berbeda."
"Nyesek ya ... terus ngapain ke Jogja kalo gitu? Masih banyak kota lain," ucapnya.
Aku tersenyum. Suasana mendadak hening diselimuti dinginnya kereta malam. "Aku butuh luka yang lebih besar untuk menghapus luka di hatiku saat ini. Aku mulai menyadari, bahwasanya sakit hati terbesar adalah ketika kita cuma diberikan ketidakberdayaan untuk duduk sambil menikmati secangkir nostalgia tanpa dicumbu sua."
Lena tersenyum mendengar ucapan ku. "Wih, kata-katanya."
"Setelah lulus, aku sadar. Hal yang paling mahal itu adalah kehadiran."
"Sepakat," ucap Lena.
Waktu yang tersisa kami gunakan untuk saling mendekatkan diri. Menyenangkan rasanya mengenal orang baru.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Bogowonto akan tiba di stasiun akhir Yogyakarta ...."
Hingga tak terasa kami hampir tiba di penghujung perjalanan. Baik aku dan Lena, kami berdiri. Aku mengambilkan tas miliknya yang berada di atas.
"Makasih." Lagi-lagi ia tersenyum padaku.
"Sama-sama," balasku sembari menyematkan senyum balasan.
Kami berjalan ke depan stasiun bersebelahan. Rasanya nyaman, aku tak ingin jauh darinya. Padahal belum ada sepuluh jam kami saling mengenal satu sama lain. Sepertinya Lena sukses meluluhkan hatiku. Aku jatuh cinta.
"Rik, aku duluan, ya. Makasih udah nemenin ngobrol. Semoga lekas sembuh." Lena masuk ke dalam mobil taksi berlogo twitter sambil melambaikan tangannya padaku. Aromanya perlahan pudar dari hidupku.
Tanpa dosa ia pergi begitu saja. Tak meninggalkan jejak barang secuil nomor ponselnya. Di matanya aku hanyalah sebuah selingan takdir.
Lagi. Aku terluka ditikam anganku sendiri. Lena tidak salah. Aku yang salah karena berharap padanya.
Benar kata orang-orang rupanya. September memang identik dengan hujan. Dengan senyum mendung, aku melangkah pergi. Biar ku anggap semua rasa ini hanyalah bunga tidur semalam.
END
11 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (1)
Mesin cetak digital yang ukurannya hampir sepanjang tempat tidur baru saja selesai bertugas setelah seharian ini harus bekerja keras. Memasuki masa-masa kampanye pemilu, membuat usaha percetakan digital Teguh ramai. Berbagai wajah dan bendera partai disertai rencana program kerja anggota DPR tergambar apik di poster, banner, spanduk, dan baliho. Tidak ada yang tahu apakah program-program kerja gemilang tersebut menjadi nyata ataukah berakhir sebagai janji manis saja. Tapi Teguh tidak ambil pusing. Toh ia tidak menggandruingi dunia politik--tidak apatis, tidak juga fanatik. Yang jelas ia bersyukur karena dana-dana kampanye politikus itu turut memberikan sumbangsih pada perekonomiannya dalam mencapai salah satu tujuan finansial: membangun rumah di Solo.
Teguh si pekerja keras dan kreatif dalam mencari nafkah. Walaupun saat ini baru tiga pegawai yang harus ia gaji ditambah dirinya dan ikan cupang dalam toples di kosannya yang harus ia hidupi, tapi Teguh juga bekerja dengan giat untuk menghidupi mimpinya. Tentu saja di usianya yang baru saja melewati angka tiga puluh tahun, ingin juga menafkahi pasangan hidup. Tapi apa daya, ia tak punya.
"Alhamduillah selesai juga. Makasih Jo" Teguh menerima gulungan poster dari Jojo, karyawannya.
,“Oke bos! Rame bener ini tadi. Bisa nih bulan depan nambah karyawan baru?” Ucap Jo.
“Pinginnya gitu sih. Doain deh”
Setahun yang lalu ia membangun usaha ini. Menghabiskan tabungan hasil side hustling sebagai web designer ditambah pinjaman modal dari orangtuanya. Teguh bersyukur karena sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Walaupun progresnya belum begitu fantastis, yang penting tetap optimis. Teguh memberi nama “Landscape Digital Printing and Advertising”. Memang namanya sangat kental dengan dunia arsitektur. Bukan tidak ada maksud, sesungguhnya ia dulu adalah mahasiswa arsitektur universitas negeri di kota Solo. Tidak peduli gelar yang disandangnya, panggilan jiwa entrepreneur lah yang membawanya melangkah kesini.
Dikuncinya rolling door setelah semua orang di dalam kembali pulang. Rasanya capek, tapi Bahagia. Ingin ia segera pulang dan mandi air hangat. Teguh baru saja turun dari motor lalu hendak membuka gerbang kos-kos an tempatnya tinggal, hingga pelupuk matanya menangkap sebuah mobil yang parkir di sebrang.
Tumben ada mobil disini? Tamu kali ya?. Sulit mengetahui dengan jelas di gelapnya malam tanpa penerangan lampu jalan. Hanya lampu teras kosannya yang agak enggan bersinar terpaksa menerangi.
Namun sepertinya mobil ini tak asing, Eh, mobil ayah ibu? Kenapa malam-malam kesini?
"Lho, ayah, ibu, kesini malam-malam gini, ada apa?" Disalaminya ayah dan ibu yang duduk di kursi taman. Teguh penasaran karena orangtuanya jauh-jauh dari Wonosobo menemuinya.
"Enggak ada. Mampir aja, tadi ayah dan ibu dari rumah teman, ada reuni SMA" jawab ibunya
"Oohh.. kirain kenapa bu. Nginep sini aja ya yah, bu? Ada kamar kosong kok bisa disewa. Pagi aja baliknya"
Ibu menoleh ke arah ayah, "Gimana, mas?"
"Iya wes. Lama nggak nyetir jauh capek juga badanku. Kamu bilangkan Bapak kos ya le kalo kami nginep sini"
"Siap yah. Tunggu sini bentar, aku bilang pak Hendri. Aku naik dulu ya"
Setelah menemui Pak Hendri, Teguh bergegas ke kamar mandi. Badannya lengket, kaos yang dipakainya terasa kumal. Sangat tidak nyaman. Ingin segera ia hempaskan keringat, debu, kuman, dan bau kecut pada tubuhnya.
Selesai mandi badannya terasa kembali segar tapi perutnya lapar. Ia baru ingat kalau belum makan malam. Setelah solat Isya, segera dihampirinya kamar yang ditempati ayah ibunya.
"Yah, Bu, belum tidur?" Dilihatnya ke balik pintu yang tidak tertutup rapat. Ayah dan ibu sedang asyik dengan handphonenya masing-masing.
"Belum nih. Udah makan kamu?" Tanya ibu
"Belum bu, belum sempat makan tadi sibuk terus. Lagi rame bu, alhamdulillah. Mau nggak temani aku makan?"
"Ayo, le. Sekalian jalan-jalan di Kota. Nostalgia waktu kami dulu kuliah disini. Iya nggak, bu?" ayahnya menyahut.
Ibu hanya tersenyum seraya bersiap untuk jalan-jalan malam.
"Sip. Aku setirin ya yah" Teguh mengendarai mobil. Ayahnya duduk disamping dan ibu duduk di jok belakang.  Senang rasanya jalan-jalan bertiga saja dengan orangtuanya. Sebuah momen yang langka. Biasanya selalu pergi berlima dengan dua adiknya. Mungkin begini ya rasanya waktu dia masih jadi anak tunggal.
"Kangen juga ya, yah bu, jalan-jalan bertiga gini"
"Iya. Dulu waktu kamu masih bocah, kita bertiga jalan jalannya kalau nggak naik motor ya naik mobil cerry. Inget ga kamu?" Tanya ayah dari kursi depan.
"Hahaha. Iya yah. Cerry hijau legenda"
"Kalo jalan2 jauh kayak ke Solo kamu dulu mesti minum obat biar ga mabuk le" Ibu menggoda Teguh yang sedang serius menyetir.
"Hahaha.Untung sekerang udah nggak ya buk. Sudah kebal. " Teguh tertawa lagi mengenang masa kecilnya.
Rasanya syahdu berkendara di kota Solo malam hari. Jalanan masih ramai dengan motor dan mobil juga orang-orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Temaram lampu kota turut menghiasi pemandangan. Di pinggir jalan banyak sekali pedagang penjual makanan yang masih buka. Segala macam makanan  ada di sana. Teguh memilih nasi goreng sebagai menu makan malamnya.
“Aku beli nasi goreng langgananku disini yah. Dijamin uenak” Teguh membuat isyarat jempol dengan tangannya. “Banyak makanan lain juga itu disekitarnya. Barangkali ayah dan ibu ingin makan lagi”. Mereka menuju tenda hijau dengan gerobag berwajan besar. Api menyala-nyala di dasar wajan. Penjual nasi goreng dengan lihai mengaduk-aduk masakannya dengan spatula yang tak kalah besar. Bau sedap segera memenuhi indra penciuman. Teguh menjadi semakin lapar saja. Tanpa melihat menu ia memilih nasi mawut dan jeruk hangat.
Mereka bertiga memilih duduk di bawah alias lesehan. Baru sebentar duduk, jeruk hangat pesanan Teguh sudah datang. Dicamilnya kacang godog untuk mengganjal perutnya yang keroncongan.
“Ibu jadi teringat Nindya. Dia apa masih di Solo, Guh?” Tanya ibu tiba-tiba.
Nindya adik kelas SMA-nya adalah orang yang dimaksud ibu. Seseorang yang mengisi hatinya sejak masih di bangku sekolah hingga beberapa waktu lalu.
 (Bersambung)
2 notes · View notes
myescape17 · 1 year
Text
Last Goodbye Part 1
Melihatmu di sebrang sana mengingatkanku akan waktu itu. Saat aku memutuskan untuk berhenti dan kamu yang terus berjalan hingga menyadari aku berada jauh dibelakangmu.
Kita saling berhadapan dengan jarak yang semakin melebar. Ketika itu aku juga ingat, kamu hanya menatap ke arahku entah apa yang kamu pikirkan saat itu tapi kamu tak memanggilku untuk kembali atau pun menghampirku untuk menggandeng lagi tanganku seperti di masa lalu.Kamu hanya diam, dan kita hanya diam diantara riuhnya jalan waktu itu. Tanpa kata, kita telah sepakat untuk berpisah.
Dan kini kamu tetap diam di sana, penampilan yang tak pernah berubah walaupun sedikit suram tapi tetap terlihat terbaik di mataku.Kali ini aku akan berpamitan dengan benar, supaya kita tak lagi tersiksa dengan perpisahan.
Meskipun aku yang memilih berhenti, aku juga merasakan sakitnya perpisahan dan mungkin kamu lebih menderita daripada aku. Dan aku harap kamu tak membenciku, karena aku juga tak bisa membencimu. Aku akan menghampirimu, tunggu.
Terinspirasi dari last goodbye akmu.
1 note · View note
arvsee · 2 months
Text
Yang suka baca wattpad, boleh mampir ke ceritaku yaaa hehe
Maciiwww🫶
1 note · View note
riskayun · 4 months
Text
Yang Tertunda
Dafi hanya memberi kejutan ini untukku. Bukan karena ada maksud lain yang ingin disampaikan. Tetapi sepertinya dugaanku ini salah.
--------------------------
“Anyway, mau ke mana, Daf? Kok rapi bener? Nggak mungkin kan cuma kasih buku ini doang, tapi dandanannya udah kayak mau nembak cewek.” Kutatap lelaki itu dari bawah sampai atas sembari menunjuk buku yang baru saja dikasih olehnya.
Pagi ini Dafi terlihat begitu memesona dan menawan. Dengan mengenakan sepatu sneakers abu, celana yang senada dengan warna sepatunya, jaket hitam, dan t-shirt belang putih-abu. Dan rambutnya yang cepak membuat ia terlihat lebih maskulin.
“Mengapa menatapku seperti itu, Nay? Emang ada yang salah ya dengan penampilanku hari ini?” Sejenak Dafi memandangiku, lalu memerhatikan pakaian yang tengah dikenakannya. Tiba-tiba. Eh bentar-bentar, kok kamu tau kalau aku mau nembak cewek?”
Aku menggeleng menandakan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilannya.
“Apa ... ? Jadi serius mau nembak cewek? tanyaku dengan suara lantang dan mimik wajah yang seperti tidak senang. Sorot mataku melebar. Kali ini jantungku berdebar lebih kencang tak seperti biasanya.
Dafi terperanjat. Perkataanku sepertinya telah mengagetkan lelaki berambut cepak ini. “Biasa kali, Nay. Bikin kaget aja.”
“Iya-iya maaf.” Aku tertunduk malu. Tiba-tiba, aku teringat wanita yang kutemui di acara pernikahan teman Dafi beberapa hari lalu. Wanita tersebut mengaku sebagai teman lamanya.
Aku menduga bahwa Dafi akan mengungkapkan isi hatinya pada Shera. Secara ia wanita yang sempurna. Menurutku. Cantik, putih, memiliki rambut indah dan panjang. Pastinya wanita idaman para lelaki tak terkecuali Dafi. Di depan hotel Pacific kemarin saja ia sama sekali tak berkedip menatap Shera.
Tetapi, kenapa aku mesti kesal padanya. Seharusnya aku tak perlu begini karena bukan urusanku.
“Oh iya. Jangan lupa dibaca, ya. Buku itu sangat keren dan sangat menginspirasi.”
“Pastinya dong, Daf! Duh, jadi enggak sabar nih pengin cepet-cepet baca. Kamu pulang gih sana!” usirku.
“Lah, kamu ngusir aku, Nay?”
“Iya, aku ngusir kamu. Kenapa emangnya? Biar aku bisa segera baca buku ini.”
“Tapi kan aku masih ada urusan sama kamu.”
Aku menatap wajah lelaki itu. “Urusan apa lagi? Soal apa? Ya udah, ngomong aja. Aku siap kok dengerin,” ucapku tersenyum simpul sembari memeluk buku.
Bola mata Dafi memandang ke arah buku yang sedang kupeluk. Ia perlahan menjelaskan, bahwa tidak bisa menyampaikan hal penting itu di sini. Di halaman apartemenku. Dafi justru mengajakku ke Universal Studios Singapore, destinasi wisata yang belum aku kunjungi.
Entah, saat ini pikiranku menjadi kacau. dua hari belakangan ini aku memang sedang terguncang. Gelisah. Ditambah, bayangan orang tua yang masih menari-nari di pikiranku. Meminta untuk segera pulang ke Indonesia-Surabaya. Namun, di lain sisi, aku masih belum bisa melepaskan ragaku di Negeri Singa ini.
Aku terpaku diam. Dua menit kemudian, aku menyetujui ajakan Dafi ke destinasi wisata yang dimaksud. Tanpa pikir panjang, langsung melangkah masuk menuju lantai dua kamarku. Kemudian meminta Dafi untuk menunggu sejenak.
***
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam naik bus. Akhirnya kami tiba di Universal Studios Singapore. Inilah salah satu destinasi yang paling kunantikan sejak lama. Juga menjadi destinasi favorit kedua setelah Merlion Park.
Tatkala tengah asyik melihat pemandangan alam di sekitar, tiba-tiba Dafi bertanya mengenai Galuh.
“Nay, Galuh gimana kabarnya? Udah lama aku nggak denger kabar dia lagi. Lalu, kembali ke sini kapan?”
“Alhamdulillah. Baik kok, Daf. Dia sibuk ngerawat ibunya. Entahlah, aku kurang paham kalau soal itu. Tapi sepertinya masih lama deh.”
“Oh iya, katanya kamu mau ngomongin hal penting di sini. Emang sepenting apa sih? Sampai harus jalan jauh terlebih dahulu baru membuka mulut.” Aku menatap Dafi dengan penuh keheranan.
“Ehm, kita cari tempat aman dulu, ya. Kalau di sini masih banyak orang lalu-lalang. Jadi, biar enak ngobrolnya gitu, Nay.”
(Bersambung)
#30DWC #30DWCJilid44 #Day25
0 notes
amyracle · 7 months
Text
Amor fati
Menceritakan perjalanan yang membuat seorang wanita sangat kuat dan sangat mandiri. Kehidupan yang sangat sulit ditebak bagaimana akhirnya. Perjalanan hidup yang penuh rintangan, jalannya sangat terjal, dan hanya ada sedikit bonus track untuk dia bisa berjalan santai dan mengatur nafas.
Kisah Edrei, gadis yang memiliki kehidupan yang sempurna, dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya, namun perlahan kehidupannya berbalik dan memaksanya untuk menjadi seseorang yang mandiri dan kuat. Hingga akhirnya Edrei bisa berdamai dengan kehidupannya yang sangat berat tersebut. Amorfati, mencintai takdir.
0 notes
ohlalune · 1 year
Text
Aku tidak tahu betul bagaimana perasaanku terhadapmu, Luna.
Setelah kita saling menyakiti, kamu masih sama. Tenang dan ceria. Aku tidak yakin bagaimana tentang mencintaimu untuk kedua kalinya.
Kamu bukan yang pertama. Tapi terasa seperti pertama kalinya. Yang meneriakiku ketika aku hanya bisa diam saja. Memarahiku ketika aku payah. Namun, disaat yang sama, memelukku agar aku tenang. Memegang tanganku yang gemetar lalu menariknya dan berlari. Seperti saat ini.
"Ayo Gian, kita melihat bulan," katamu dengan cerianya.
1 note · View note
putputies-blog · 1 year
Text
Tonton "The Last Target Ep. 5 | Danis kok jadi aneh ya?" di YouTube
youtube
0 notes
princexeno · 1 year
Text
Sang Pemburu dan Lembayung Rembulan Perak (Bg. 1)
“Aku penguasa hutan suci, tunduklah di hadapanku!” seru bocah lelaki itu, berdiri membentangkan tangan di atas sisa pohon yang sudah lama ditebang. Teman-temannya duduk menonton sementara dia bergaya congkak layaknya para dewa, lengkap dengan properti mahkota, jubah, dan tongkat yang dibuat seadanya.
Namanya Marik, anak dari Uruj sang Pemburu. Tujuh hari lagi umurnya genap dua belas tahun, momen spesial yang dinanti-nanti olehnya. Pada umur tersebut anak-anak di desa Tamlen akan melakukan ritual Peleburan. Saat itu mereka akan digiring menuju ‘Tepian Mimpi’, gerbang pembatas antara dunia manusia dan para roh. Di sana mereka akan bertemu dengan roh-roh pendamping dan mendapatkan kemampuan khas dari mereka. Marik ingin menjadi hebat seperti ayahnya, satu-satunya orang yang dia tahu pernah membunuh serigala tanduk perak dan beruang darah di desa.
“Marik! Aku lapar. Kita pulang saja, yuk,” potong salah satu temannya.
Marik mendecak, “Aduh, Boren. Bukannya tadi kamu sarapan paling banyak, ya?”
Boren cengar-cengir sebelum memperdengarkan suara gemuruh dari perutnya. Anak-anak yang lainnya sontak tertawa.
Marik menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak bisa berbuat banyak, akhirnya dia pun menyudahi waktu bermain mereka.
Dasar bocah, pikir Marik sebelum beranjak pergi. Ironi.
(bersambung)
0 notes
ermunlaila · 2 years
Text
Dindarrel #3. Hari-hari
Sore menjelang malam. Senja di ufuk barat mulai berganti warna menjadi jingga. Selain kendaraan yang silih berganti menyapa, hiruk pikuk jalanan mulai dipadati oleh warung tempel pinggiran dan lampion yang mengitarinya.
Aku dan abang memang masih sekantor, meskipun sudah beda departemen. Kita selalu berangkat dan pulang bersama, begitu juga dengan sore ini, kita pulang menggunakan sepeda motor kesayangan. Namun, sedari tadi kita hanya saling diam disepanjang jalan. Kita sama-sama tahu sedang tidak berada di suasana hati yang "oke".
Sesampainya di rumah.
"Bisa gak sih bang taro barang-barang ke tempatnya lagi?! Gak bantuin beresin gapapa deh, tinggal balikin doang apa susahnya sih! Aku tuh cape."
"Ya sama aku juga lagi cape. Pulang ke rumah bukannya disambut hangat malah di cemberutin terus di omelin. Kalo perkara kerjaan kantor jadi bikin kamu dikit-dikit bete, udahlah resign aja. Aku masih mampu kok nafkahin. Daripada hal sepele gini jadi diributin terus gegara bad mood sama kerjaan. Bukan sekali loh ini ngeributin hal-hal receh. Kenapa lagi coba sok sini cerita."
"Maaf ya, maafin aku yang masih aja begini, jangan suruh aku resign dong nanti aku kesepian."
"Makanyaaaaa... huh... iya iya aku maafin, jadi kenapa hari ini?"
"Blablablablaa...."
Begitulah aku yang sedikit rada "cablak". Segala sesuatu yang tidak kusukai bisa langsung keluar dari mulutku. Meski seringkali langsung menyesal telah mengeluarkan kata-kata itu. Atau sesekali dengan tiba-tiba terdiam tanpa alasan dalam waktu yang cukup lama. "Moodian" kalau kata orang. Aku sendiri tak mengerti kenapa begitu, apa ini yang namanya perubahan mental pasca menikah karena sudah terlalu lama sendiri?
Begitulah juga keadaan abangku yang terkadang ikut tersulut api emosi, tapi ia tetap berusaha berfikir logis demi menjaga keutuhan hubungan kami. Tarik nafas dalam lalu hembuskan, "ayok cerita, lagi kenapa?" atau "kamu lagi suntuk ya? keluar yok" atau "ih ada yang lagi bete niiiiihhhhh, susan susan susan... besok gede mau jadi apa?" (Playlist lagunya keluar). Begitu senjata andalannya. Bagaimana bisa aku marah lama-lama?
0 notes
rubahlicik · 1 year
Text
Cerbung: Nama Saya, Ojan
Berawal dari obrolan tentang karya tulis fiksi sama istri, aink jadi kepikiran soal bikin cerbung. Dari pada nganggur kan ini imajinasi? Trus dari update fitur pollingnya tumblr, aink jadi pengen bikin cerbung yang melibatkan reader dalam alur ceritanya secara langsung.
Jadi tiap chapter baru aink tulis dadakan setelah liat hasil voting. Biar kayak tahu bulat. Dibikin dadakan 😊
semoga Istiqamah kamu, Rubah!
Ini list chapter yang uda rilis, buat yang ketinggalan bisa baca dari awal, tapi uda ga bisa vote. Durasi voting 24 jam setelah chapter terbaru rilis.
Chapter 1 : Di Perpustakaan part.1
Chapter 2 : Di Perpustakaan part.2
Chapter 3 : Di Kelas
Chapter 4 : Di Perpustakaan part.3
Chapter 5 : Di Perpustakaan part.4
Chapter 6 : Di DPR
Chapter 7 : Di Pelataran Oktagon
Chapter 8 : Di Lapangan Depan
Chapter 9: Di jalan dept Fisika ke dept Kimia
16 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Sehelai Benang Asa (5-selesai)
Tumblr media
Hari jumat kembali datang. Waktunya Rani bekerja kembali. Setelah tiga hari harus belajar ekstra karena mengikuti tryout di bimbelnya, akhirnya ia punya waktu untuk bersantai. Walaupun yah...tidak begitu santai karena gaun yang butuh dipayet antri mengular.
"Ran, ibu punya kabar baik! Tiga bulan lagi Ibu ikut peragaan Adibusana. Ibu jarang sekali ikut event ini, terakhir lima tahun yang lalu. Kamu kalau bisa kerja setiap hari disini, tentu bisa belajar banyak. Gimana?" Tanya bu Maya
"Adibusana? Apa itu bu?" Rani memang tidak banyak memiliki pengetahuan tentang mode, ia adalah seorang lulusan SMA negeri yang sekedar memiliki hobi fashion. Beberapa yang pernah dibuatnya hanyalah blouse sederhana miliknya dan baju-baju lucu untuk kucingnya. Teorinya berbekal tutorial youtube.
"Adibusana itu, teknik pembuatan busana dengan jahitan tingkat tinggi, Ran. Tentunya berbeda dari membuat gaun-gaun pesanan pelanggan" Jelas Bu Maya.
"Ayok, Ran. Jarang-jarang, loo.." Hesti, karyawan tetap Bu Maya ikut berkomentar.
Rani sedikit tidak yakin dengan apa yang didengarnya, "Bu Maya yakin mengajak saya? Saya kan benar-benar minim pengalaman bu..."
"Iya saya tau. Tapi saya rasa kamu berbakat Ran di bidang ini. Ada Hesti dan yang lainnya juga bisa mengajarimu. Kamu pikir-pikir dulu saja"
"Baik, Bu, terimakasih telah percaya dengan saya. Akan saya kabari secepatnya Bu" ucap Rani. Bu Maya hanya mengangguk sambil tersenyum.
Rani kembali mengambil benang, jarum dan payet. Sebuah gaun menunggu untuk dibuatnya menjadi lebih indah.
Sesungguhnya, hatinya berdesir mendengar kabar ini. Sesekali ia memperhatikan sekitar.
Gulungan kain yang terhampar dilantai,
warna-warni benang yang tersusun sedikit berantakan di rak,
kumpulan kancing pada berbagai toples bening,
suara mesin jahit berpadu dengan suara gunting yang membelah helaian kain.
Hatinya semakin yakin. Rasanya ia ingin segera pulang dan berbicara dengan orang tuanya.
*****
Berani. Seperti namanya, Rani. Kini Rani telah berani mendengarkan hatinya dan memperjuangkan mimpinya.
SELESAI
2 notes · View notes
mbeeer · 4 months
Text
Tumblr media
Kalian masih inget cerbung TWILH yang dulu jadi cerbung nomer 1 di tumblr indonesia gak? Kayaknya follower-follower lama akun ini sekitaran tahun 2014 harusnya pernah baca atau tau sih..
Cerita bersambung tentang kebodohan Dimas, Ikhsan, Nurhadi, Ipeh, Cloudy, dll itu..
Nah kebetulan, buku yang bakal keluar pas natalan besok ini, nyeritain tentang Dimas, Ikhsan, Nurhadi pas udah kuliah. Jadi buat kalian yang dulu pernah ngikutin cerbung itu kayaknya bakal gak asing sama cerita di dalam sini..
Saya tunggu PO-nya natal nanti yaaak! 👋🏻
45 notes · View notes
bersuara · 6 months
Text
Dulu sewaktu SMP, aku punya teman yang baik banget menurutku. Dia sering dengerin ceritaku perihal cerbung yang aku baca (sewaktu aku SMP, cerbung sangat populer di Facebook). Pas sampai kelas, yang langsung ku cari adalah dia, aku langsung ceritain kelanjutan cerbung dengan antusias. Dia sambil ketawa ngangguk-ngangguk berusaha memahami kehaluanku sepanjang cerita.
Dia, baik menurut versiku. Ketika di kelas aku dijauhi dengan alasan sok pintar, dia dan dua temanku yang lain masih mau temenin aku. Sebaliknya, aku pun berusaha biar jadi teman yang baik buat dia. Dengerin seluruh kisah hidup yang dia ceritakan (ahhh aku nangis pas inget hahahaha).
Tapi takdir adalah milik Tuhan. Pas aku kelas 10/11 SMA, aku dapat kabar dari temanku yang lain kalau dia udah ngga ada. Pas pertama kali dengar, rasanya langsung kosong gitu aja, rasanya ngga percaya sekaligus menyesali karena setelah lulus SMP, aku dan dia cuma komunikasi lewat Facebook, itu pun hampir lost contact. Aku ngga tau kalau dia punya penyakit yang mengharuskannya untuk operasi, dia meninggal dalam keadaan berjuang (aahhhh beneran nangis).
Setelah dapet kabar dia ngga ada, rasanya aku denial, malamnya pas tidur aku mimpiin dia. Pas di mimpi aku nanya ke dia, kalau apa yang aku dengar ngga nyata. Tapi dia bilang yang aku dengar itu ngga bohong. Dua hari berturut-turut mimpiin dia. Aku menganggap dengan hadirnya dia dimimpiku, artinya dia minta doa dariku.
Aku cuma mau bilang ke dia, makasih karena udah jadi temanku. Yang ikut khawatir pas aku pingsan karena kena bola basket yang dilempar sengaja oleh teman cowo di kelasku, disaat teman yang lain malah ngetawain (aku inget sampai sekarang perihal kejadian itu, termasuk orang yang suka bully dan doain aku yang jelek-jelek).
Aaa nangis karena kangen ngga enak banget yah.
- 14 Oktober 2023
9 notes · View notes