Tumgik
#CeritanyaIffah
ceritanyaiffah · 2 years
Text
Hujan Berapa Rintik?
Tumblr media
Petrichor!
Langkahku terhenti. Aroma ini makin menguat ditengah jatuhan rinai yang tak seramai tadi.
Ah, pantas, momen senja bersama hujan seringkali jadi waktu sendu favorit banyak orang. Karna bahkan, hanya dengan menyesap aroma tanah dan aspal yang menguar seba'da hujan, bisa jadi hal spesial nan menenangkan.
"Sampai kapan mau berdiri disitu?"
"Waktu gabakalan nunggu kita buat gerak. 10 menit dari sekarang, ini jalanan bakal lebih padat,"
Aku bergeming. Bukankah selalu ada pilihan untuk menjeda perjalanan?
"Oke, oke, baik. Kurasa memang tak ada guna mendebat kepala yang lebih keras dari kelapa," nafasnya terhembus kasar.
Kepalaku mendongak.
"Tidakkah kau juga rasa, rintik yang jatuh perlahan ini lebih baik? Tidak menyakitkan kepala dan menyapa sensoris kita lebih lembut misalnya?" Mataku anteng mengatup. Membiarkan air yang mengalir diwajah turun dengan mulusnya.
"Apakah kau mulai kembali membual? Semua hujan sama saja, tak ada beda!" Ia tampak merasa kesal. Kupikir bila langkahku tak segera beranjak, suaranya kan makin naik beberapa oktaf.
"Kau bertanya yang lebih baik? Sungguh, mereka yang turun diiringi orkestra langit bersahabatlah yang terbaik,"
"Apa yang kan kau nikmati bila petir dan guruh tak henti bertengkar selama pertunjukan? Berhenti berpikir tak masuk akal dan mari segera pergi!" Tatapan tajamnya tak henti mengintimidasi.
Ck. Seperti biasa, kita sama kuatnya.
"Kau memang menarik. Selalu," Kulirik sebentar manik-manik hitam itu bersama seberkas sunggingan.
"Tapi, apa yang membuatmu berpikir bahwa tak ada beda dalam hujan? Bahkan, kulitmu tak bisa berbohong akan tajam tumpulnya air yang terasa," aku mengedikkan bahu.
"Jawabannya sederhana. Biar tajam atau tumpul sentuhan yang terasa, bukankah kau tetap menyebutnya hujan? Sekumpulan uap air yang jatuh guna menyeimbangkan siklus bumi. Walau nantinya ketika jatuh, titik-titik itu bisa jatuh dengan keras atau lembut seperti katamu tadi. Tapi intinya ia tetap hujan, kan? Tak ada beda," Jawabnya tak peduli.
"Jika otak kecilmu itu masih belum bisa mencerna juga, pikirkan saja hujan seperti hal-hal yang datang dihidupmu. Yang takkan berubah hakikat dari lahir hingga akhirmu. Walau tiap datang, bisa jadi rasanya berbeda,"
"Berbeda karna interpretasi dan penerimaan yang kau buat sendiri. Sama seperti hujan tadi. Bahkan bila hujan yang kau bilang berubah jadi es lalu salju. Atau tetiba datang seramai konser bersama guruh dan lintar yang bersatu padu," lanjutnya jelas tanpa ragu.
Sungguh, tak dapat kutahan seberkas sunggingan dibibirku.
"Heh, apanya yang lucu?" Matanya mendelik, persis -nan kecil yang marah bila tak dibelikan baju.
"Entah, aneh rasanya tiba-tiba kau jadi dewasa ckck,"
"Apanya yang aneh, heh!? Adalagi kau yang makin drama sampai mempertanyakan hujan segitunya. Hujan ya hujan, tak bisa kau sibuk kapan datang dan bentuknya. Jangan pulak kau ingin hitung berapa jumlahnya. Amboi, payah urusan.."
"Baik uruslah diri kau sendiri. Karna hati, respon dan lakumu, kau yang punya kuasa," Ia kembali menghembus nafas kasar.
"Atau jangan bilang kau ingin mengakuisisi saham kepemilikan hujan, heh?" Aneh, tiba-tiba ia terkekeh.
"Aishh, sudah kubilang berhenti menatapku demikian! Aku benci itu. Atau kulempar kau dengan sandal!" Kasut hitam itu sudah ikut teracung.
"Ckck, yaa, baiklah baiklah. Kali ini kau menang," kupalingkan senyum, kembali fokus memindai zebra cross yang tetiba ramai dalam jeda hujan.
Ctakk, zrashh..
Ah, Ia kembali menghilang.
Bersama langkah yang turut kupijakkan pada genangan.
-----
Picsource by pinterest.
4 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Dari Kulai, Johor Bahru.
"Mbak, mbak, coba liat deh, ini banyak yang komentar di upload-an yang tadi.." Mami berseru segera setelah sampai dirumah.
"Ini juga ada kak ida yang komentar.."
Aku melirik sekilas ke ponsel mami. Tertera sapaan melayu dengan emoticon hangat, khas sepupu ramah nan luarbiasa kami itu. Ah, pikirku jadi teringat dua tahun yang lalu. Saat babe tiba-tiba mengajak kami mengunjungi Kulai,  Johor Bahru.
Pertama kali datang, pikirku terkesan. Betapa maju daerah yang mereka sembut 'kampung' itu. Jalanan lebar dan rumah-rumah luas dengan desain modern khas melayu. Bukan 'sesederhana' rumah panggung upin-ipin seperti bayanganku. Sama sekali tak mencirikan bahwa daerah itu bukan terletak pas di ibukota. Kecuali penegasan hamparan sawit dikiri-kanan jalan menuju daerahnya. Yang juga membuat daerah itu bercuaca panas luar biasa. Yang baru buatku tersadar, ada tempat yang lebih panas dari bangka wkwk.
Seminggu berada disana, walimahan kak fathiya menjadi salah satu tujuan utama. Salah satu pesta utama itu sungguh menarik. Yap, karna selain mempelai sendiri yang menggotong-gotong kursi untuk tamu, lantas mencuci piring setelahnya (bahkan keknya kak fat dan suami cuman duduk dipelaminan waktu foto dan seremonial awal ajalo. Sisanya menyapa tamu langsung, bahkan melayani mengambilkan makanan!), gaada juga organ dangdut gonjrang gonjreng yang biasa kita temui pada pesta kebanyakan. Tapi rebana melayu dan lagu-lagu islami macam sabyan yang jadi andil menyemarak-kan. Sempat kutanyai perihal ini pada om kami-pak katnin, yang jawabannya bakal bikin kita tersentil perlahan. Kurasa.
"Oh itu.. Dahulu jugak disini masih pakai-lah lagu-lagu macam dangdut tu. Atau lagu pop ke.."
"Nah, tapi semenjak ade terkenal ustad-ustad dari indonesia, macam ustad abdul somad, ustad adi hidayat, perlahan-lahan lah tu masyarakat tinggal muzik-muzik macam tu bile ade majelis perkahwinan. Kan seringlah tu, kami dengar ceramah-ceramah ustad dari indonesia. Entah dengar di tv ke, atau bile ustad tu datang ceramah kesini.."
"Jadi baiklah diganti jadi muzik islami macam ini. Kan sekarang dah banyak pilihan. Nak rebana lagu-lagu islami melayu cak ini ke, sholawat, maher zain, atau yang tengah musim macam-macam lagu sabyan.."
Sesaat rasa hangat menjalar dihati saat mendengar jawabanan pak katnin tadi. Sungguh Maha Kuasa Allah ya, yang bahkan bisa mendatangkan hidayah dari luar jangkauan mata, bahkan negara. Tapi disatu sisi ada rasa miris juga, bahwa yang jauh keknya lebih bisa terketuk hatinya, dibandingkan yang lebih dekat, sepelemparan rasa.
Hmm benar-benar, hidayah tu memang mahal kali lah ya. Kudu kuat-kuat dicari dan dijaga:(
Tumblr media
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Konstèlasi Semesta (1).
#SerialMolly
Tumblr media
"Kakeek!"
Bruk
"Zanky rindu sekali dengan kakek.." tangan mungil itu erat memeluk pinggang bapak, yang tengah asyik dibuai sony.
"Kakek juga rindu sekali dengan zanky! Sudah lama sekali bukan lele di empang belakang tidak kita buat sambel pecel! Duh, kakek jadi lapar nak.." Bapak terkekeh, tidak kalah antusias. Posisinya tetap tidak berganti, hanya ditambah tubuh zanky yang ikut terayun diatas tubuh tua-nya.
"Betul. Sambal pecel lele nenek memang debest! Ada pedes-pedesnya gitu kek.." Terangkat mantap kepala zanky dengan dua jempol mungilnya.
Ah, bocah. Sejak kapan yang namanya sambal rasanya asin! Pedas pasti-kan jadi citarasa yang senantiasa terbawa. Batinku mulai menjengkel.
Kemarin tidurku sudah diganggu gumaman aneh bapak, sedang hari ini bocah tengil itu datang, huh. Aku makin merapatkan posisiku, mencoba bersembunyi dibalik buffet ibu.
"Kek, tahu tidak, tadi disekolah aku mendapatkan pertanyaan yang membuatku kesaaal sekali.." Badan zanky merosot, mencoba duduk diantara gerak irama sony.
Ah, alamat, tidur soreku jadi kembali tidak nyenyak hari ini.
"Memangnya tadi bu guru tanya apa? Dan kenapa zanky kesal?" Bapak tetap santai, makin merapatkan jalinan tangan dan menikmati irama buaian.
"Masa bu guru tanya gini, lebih dulu mana diciptakannya, antara gunung-gunung, bumi, langit dan bintang-bintang?"
"Terus aku kan berusaha ingat-ingat cerita umma, kek. Tapi sepertinya umma belum pernah cerita itu.." raut wajah zanky mulai terlipat.
"Habis itu zanky jawab apa?"
"Aku bilang, langit bu guru! Habis teman-temanku diam semua kek. Ndak ada yang jawab.."
"Lha, terus kenapa kamu kesal? Kan berarti bisa jawab?" Bapak masih merespon dengan santainya.
"Soalnya, habis aku jawab langit, bu guru malah ketawa kek. Padahal kan, katanya umma, langit itu ada tujuh lapis. Dan menurutku pasti itu tinggiiii sekali. Jadi pasti langit dulu yang diciptain, kan pasti ribet kek bikinnya. Baru deh, sisanya ditempel bintang, terus ditaruh bumi yang ada gunungnya, ada kita manusianya.."
Bapak manggut-manggut. Punggungnya mulai terangkat.
"Iyaya, kakek juga setuju sama kamu. Terus habis ketawa, bu guru bilang apa lagi?"
"Bu guru bilang gini kek; zanky, jawabannya jadi pr ya buat kamu. Hari ini kamu belum berhasil menjawab dengan benar. Sambil kepalaku dielus-elus gitu. Aku kan jadi kesal kek. Malu sama teman-teman kalau jawabanku salah, huhu.." Mulai berkaca-kaca mata bocah usia 5 tahun itu.
Ah, dasar si cengeng yang perfeksionis. Begitu saja sudah kesal, marah dan menangis. Apa pulak malu karna jawabannya salah. Payah..
Aku mulai memperbaiki posisi. Berusaha menutup kuping, agar tak terdengar percakapan tak guna tadi. Bukankah sungguh tak penting mempertanyakan lebih dulu mana antara langit, bumi, bintang, dan gunung yang diciptakan? Bukankah yang penting sekarang kita sedang ada di bumi, dapat menatap langit yang ada bintangnya, bisa jalan-jalan digunung dan sisanya tinggal nikmati hidup saja? Cari makan dan santai-santai gitu?
Huh.. aku kembali menghela nafas. Sudah betul dugaan awalku bahwa percakapan ini akan sia-sia saja.
Bapak mulai menenangkan zanky.
"Sudah, ndakpapa, nak. Kakekpun sebenarnya bingung. Bingung tujuan gurumu bertanya begitu, bingung juga dengan jawaban betulnya apa.."
"Hmm.. menurutmu bagaimana mol? Apa kira-kira jawaban terbaiknya?" Menoleh bapak padaku sembari tetap mengelus zanky.
Hah? Menurutku?
Ah, pasti lagi-lagi pertanyaan dalam kepala bapak sudah makin menumpuk banyak, hingga akhirnya bertanya padaku yang besar otakku saja bahkan tak sampai sepersen dari berat total tubuhku.
Jadi, untuk apa pertanyaan itu dibuat, dan kira-kira jawaban betulnya apa?
Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Lagi-lagi gema maghrib memutus obrolan aneh kami sore ini. Padahal baru saja ingin kuajak otak kecilku ini berpikir. Ah, kuputuskan saja kembali mendengkur, mencoba meneruskan tidur.
(Bersambung)
2 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Tumblr media
Bara-Bara.
Siang satu januari, gegara orang rumah sibuk kali request ayam bakar yang beneran di 'bakar', maka jadilah sesiangan daster ijo pemberian mami jadi 'harum' bakaran. Dan tau, ternyata ga gampang kali lo buat arang itam legam tu jadi matching dan kawin sama api. Lalu melahirkan bara, yg selanjutnya kan berpetualang bersama memembakar ayam dan bumbu-bumbunya tadi. Eh, tapi jadi macam judul film yak, "petualangan bara (padu rasa arang&api)". *Et maap random kali wkwk.
Tapi, ngomong-ngomong soal bara, tahun 2020 kemarin keknya banyak kali ya bara-bara yang terjadi. Apalagi tahun dimulainya era pandemi, yang bikin kita-kita hidup hari-hari dalam dunia layar lebih banyak dibanding direct interaction sesama makhluk bumi. Dan efeknya tu jadi berasa kali.
Contohnya, sadar gasih kalo misalnya kita tu jadi mudah kali kepancing akan sesuatu, mudah marah, dan emosi hanya karna suatu berita yang belum jelas keabsahan-nya, suatu champaign yg gajelas siapa penggagasnya, atau suatu konten yg sejatinya udah secara jelas pengen nge-provokasinya. Terus, kita juga jadi mudah kemakan dan keikutan trend-trend yang sebenernya bikin efek negatif buat diri sendiri. Apalagi konteksnya kalo bahas diri kita sebagai muslimah. Dan apalagi juga kalo kita kepancing, ikutan panas dan ikutan jadi negatif juga gitu. Makin banyak dah tu kan bara-bara nya. Tahun hareudang euy. Keknya syaiton berpesta ria.
Cuman, ngomongin soal tahun bara-bara, tetiba tu jadi keingetan nasihatnya ibunda pohon, yang bilang, jadilah seseorang itu yang responsif, bukan reaktif. Nah, emang bedanya apa?
Ternyata, kalo reaktif itu sikap yg lebih kita kedepankan dengan spontanitas sesaat, jadi segala reaksi yang kita keluarkan itu biasanya masih disertai dengan emosi, pikiran yang belum jernih dan luas. Jadi nanti jatuhnya ga solutif juga bisa-bisa malah tambah 'bara' di hal yg lagi kita komentarin/liat tadi. Sedangkan, kalo responsif itu, sikap yang kita kedepankan dengan kepala jernih, emosi yang lebih tenang, karna kita udah cerna dulu segala sesuatunya. Tabayyun dulu. Jadi, output yang kita keluarinpun, entah komentar atau apapun itu bisa lebih positif dan solutif gitu. Dan pastinya ga bikin bara-bara kembali idup lagi menjadi api.
Eh, jadi intinya, fah?
Ya semoga ditahun ini kita bisa lebih pintar menghadapi bara-bara, ya! Entah itu bara yang muncul karna panggangan ayam, ikan, panggangan berita, panggangan tipi, panggangan social media, ato panggang-panggangan lain yang kadang muncul ga tepat guna. Jangan makin dinyalain apinya, jangan juga dijaga panasnya kalo² hal yang lagi dipanggang tadi ga enak dan bermanfaat buat dimakan lambung, kepala dan hati kita, gitu. Kan kalo diare barabe ya.
Juga,
Kalo kata kalimat seribu ummatnya bu tedjo,
"Dadi wong ki mbok yo sing solutip!"
ngono lho..
Nb: Psstt🤫, jangan lupa juga buka Q.S. Al Hujurat ayat 6, ya!
2 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Tumblr media
Sebuah cinta. Dari, ibunda pohon.
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Karam.
Tumblr media
"Wah, ramai ok.. kan lah kubilang agik ramai" Seru bungsu sambil melihat sekeliling.
"Enggak. Kita juga kemarin kesini sama lah ramainya.. kita berenti di ujung aja, ditempat biasa" ujar babe menenangkan.
Bimbi kembali melaju membelah pinggiran matras. Menuju ujung pantai dengan rumah nelayan, tempat favorit kami.
"Eh tengok-tengok, ade mobil polisi banyak kek ambulan. Ade ape ok?" Tunjukku sambil memicingkan mata.
"Oh, ade kapal tenggelem.."
"Besak kapal e.."
"Iya, kapal isep timah tu yang karam. Baru kemarin gara-gara gagal lempar jangkar karna ombak besar. Ada dimuat di berita" jawab babe menjelaskan.
"Oo.." respon kami berempat bersamaan.
Selekas bimbi berhenti dan membuka pintu, kupandang-pandang lagi kapal karam didepanku tadi. Bentuknya besarr kali, dengan kelir putih tegas salah satu perusahaan tambang BUMN terbesar pula di provinsi kami. Juga kelir perusahaan partner BUMN tersebut disamping kanannya.
Semakin memangkas jarak, aku jadi terpaku. Tetiba teringat beragam champaign reklamasi yg seringkali dibahas dan digaungkan saat masa SD hingga SMA-ku disini. Beragam protes-protes kami, sampai uji Ph dan segala penelitian dampak lingkungan akibat pengerukan timah, yang dulu-dulu kupikir makin tak sopan karna makin dekat menuju rumah-rumah kami.
Ingin ku-sukur-kan saja rasanya sewaktu melihat kapal isap yg hanya makin terlihat setengahnya tadi. Kupikir impas bukan? Atas segala dampak lingkungan, sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan politik yg mereka timbulkan. Taipan (beneran taipan disini sebutannya, bukan karna pinjam istilahnya bang tere ya wkwk) makin kaya, sejahtera, masyarakat yg lelah bertarung nyawa. Toh, rugi satu kapal ga bakal langsung bikin mereka miskin bukan?
Seperti kata sebuah laporan VOA Indonesia ditahun 2017,
Provinsi Bangka-Belitung berada di posisi tertinggi dalam soal kerusakan lahan yang mencapai 1,053 juta hektar atau 62 persen dari luas daratannya. Industri ini juga sumber korupsi. Selama 10 tahun sejak 2004, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara dari penambangan timah sebesar 68 triliun rupiah dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak.
Walau katanya, dengan timah pula pulau ini terdengar namanya di peta dunia,
Bangka Belitung bagai menerima buah simalakama. Sejak lama, kepulauan ini menjadi penghasil timah terbaik di dunia. Sepuluh negara, yaitu Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Jepang dan Singapura, menggantungkan pasokan timah dari sana. Buah manis itu bertahun-tahun dinikmati dan membawa nama Bangka-Belitung di peta dunia.
Begitu yang tertulis disana. Pun sama berita-berita lainnya.
Maka, ku-sukur-kan si karam tadi sungguh tak apa bukan? Toh hanya satu kapal diantara puluhan bahkan ratusan kapal yg tengah berlarung mengeruk bumi pulau kami?
Tsahh, byurr..
Gulungan ombak yg memang tengah tinggi seakan menyadarkan pikir-pikir anehku tadi.
Keknya, bukan tugasku untuk menghakimi segala hal yg terjadi pada pulau dan penghuninya ini, karna kerja taipan² dan kroni²nya tadi.
Karna kayaknya, sejahat apapun mereka di pikiran kecilku ini, tetap aja,
Ada rizki orang banyak, yang kukira hampir 1/3 masyarakat pulau yg Allah titip beri pada taipan-taipan itu,
Ada puluhan atau bahkan ratusan perusahaan di indonesia bahkan, yg memang membutuhkan timah sebagai salah satu bagian produk mereka,
Dan bahkan, masih ada kita, yg selanjutnya mungkin menjadi konsumen akhir dr produk² perusahaan itu.
Maka perkara ini, sungguh bukanlah hal yg sederhana tuk diatasi. Tapi bukan berarti mustahil tuk teratasi.
Jadi pemerintah tu sulit, karna ada tanggungan rakyat dalam tiap kebijakannya,
Jadi pengusaha juga sulit, karna ada tanggungan karyawan dalam tiap produksinya,
Jadi karyawan dan masyarakat juga sulit, karna ada perut keluarga yg harus diisi di tiap harinya,
Dan,
Jadi manusia juga sulit, karna ada hati, pikiran dan mulut yg harus pintar² pula dijaga.
Kalau kau tadi jadi sukur-kan kapalnya,
Kukira kau yg kan karam selanjutnya, fah.
"Dadi wong ki mbok yo sing solutip, ngono lho!"
Fah, fah..
Mending bantu cari solusinya🐣
Nb : Coba² buka Q.S. al ahzab ayat 70-71 dan hadist arba'in nomor 34, ya!
1 note · View note
ceritanyaiffah · 4 years
Text
Tentang Bapak
#SerialMolly(1)
Kriet, kriet..
Derit kursi goyang tua bapak kembali memekak-kan telingaku pagi ini.
"Kamu tau, saya sudah setua ini mol.."
Bapak kembali mengedarkan pandangan. Kembali menyeruput sisa kopi terakhir di cangkir. Aku tetap mendengkur. Sejuk udara kaki bukit manglayang jauh lebih menarik dibanding cerita bapak.
"Saya mungkin sudah berada di ujung.."
"Perkebunan sudah diurus Radini. Bah dan Fatih sudah memiliki perjalanan masing-masing. Ibuk? Sepertinya sudah bahagia dengan kebun bunganya. Sudah mampu temukan warna yang mungkin selama ini ia cari. Toh tyroid-nya sudah terkendali, jadi amarah bukan lagi makanannya sehari-hari. Ckck.." Bapak terkekeh kecil, bahagia dengan monolognya sendiri.
Kriet, kriet..
"Kamu tau mol, ada banyak hal yang terpikirkan kepala tua ini sekarang.."
"Dulu, saat ulangtahun ke 17, Abdul remaja selalu takut. Takut untuk jadi dewasa. Ia pikir, jika 17 tahun usianya, ia akan segera kuliah. Lalu menikah, memiliki keluarga, lalu menjadi tua. Lantas mati.."
Bicara bapak menggantung, menghela nafas.
"Ia takut mati mol. Untuk itu ia enggan dewasa. Tapi nyatanya, sekarang saya sudah tua, mol.."
Kriet, kriet..
Terjalin tangan bapak. Sembari mengerjap, menengadah menikmati buaian sony, kursi tuanya.
"Lantas, saya harus apa mol?"
"Menunggu waktu, kah?"
Kriet, kriet..
Kakiku bergeming.  Cerita bapak sedikit banyak mengganggu posisi nyaman tidurku.
Aku bingung, pak. Batinku.
Cerita bapak terlalu kompleks. Tak terjangkau otak kecilku yang hanya suka makan dan tidur begini. Apapula bicara tua dan mati. Usiaku baru dua tahun.
"Mol, sejatinya apa yang kita cari?"
Nafas bapak gusar. Sepertinya mulai lelah bermonolog.
Makan, pak. Batinku menjawab kecil.
"Bahkan tak kurang rasa nyaman yang diri ini rasa mol. Tapi mozaik perjalanan yang diri ini punya sepertinya masih kurang.."
Kriet, kriet...
Ah bapak. Masa berpikir itu saja tak mampu. Badanku kembali menggeliat.
Apa lagi? Tidur mungkin pak yang jadi jawaban. Berat mataku kembali membendung suara.
"Pada siapa mol harusnya diri ini memetakan perjalanan? Lantas menuju dan memuarakan?" Pejam mata bapak, makin menikmati buaian sony.
Pada siapa? Kemana?
Allahu Akbar, Allahu Akbar...
Gema maghrib memutus monolog bapak. Ah, padahal baru saja ingin berpikir. Aku kembali mendengkur, mencoba meneruskan tidur.
...
0 notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Kamu di hari ini,
Adalah dirimu,
Yang kamu takutkan di hari yang kemarin.
Nyatanya masih baik-baik aja, kan?
---------
Dari fah, kepada fah.
•Masih september•
@ceritanyaiffah
1 note · View note