Tumgik
#Writingforhealing
sitinurhabibah14 · 10 months
Text
Proses download mungkin seperti kehidupan
Setiap % nya mengajarkan banyak hal
Lambatnya menguji kesabaran
Bertambah cepatnya menambah kesyukuran & memberi kepercayaan
Ia seperti lebih dulu Allah izinkan untuk menyelesaikan
Tapi tak tau kan berapa panjang proses yg ia lakukan
Cintai proses menyelesaikan 'download'mu
Masing-masing dari kita punya waktu
Jakarta, 2 Juli 2023
89 notes · View notes
aksara-rasa · 9 months
Text
Terlalu penuh, berisik dan ramai. Semoga hanya permulaan.. kedepannya hal² baik berdatangan dengan tulus.
Agustus, 1.
8 notes · View notes
jdmathes · 1 year
Photo
Tumblr media
I want to give a shoutout and thanks to @inlandia_institute and @cati_porter for allowing me to lead a writing workshop for Community Overcoming Recidivism through Education (CORE) at Pasadena City College. The first meeting went splendidly with only several technical glitches. I’m grateful to be working with writers impacted by the carceral system. I call the workshop “Speak Truth to Power and a Healing Narrative.” #writersofinstagram #teachersofinstagram #writingcommunity #writingteacher @penamerica #writingforjustice #writingforhealing #massincarceration (at Redlands, California) https://www.instagram.com/p/Cn0aNdnPj6p/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
ruanguntukku · 1 year
Text
Setiap perjalanan di dalam hidup akan membawa pelajaran berharga bagi diri kita. Apa yang aku alami pun demikian. Ranah pertemanan adalah ranah yang cukup sulit untuk aku jalani. Seiring dengan berbagai macam jalan yang Allah takdirkan untukku, akhirnya di titik ini aku tersadar.
Tidaklah sebuah ukhuwah atau pertemanan itu bisa langgeng dan diridhoi Allah, kecuali yang dibangun di atas ilmu.
Berteman, memiliki circle yang dibangun atas dasar kepentingan, cita-cita, impian, kesukaan, hobi dan visi-misi yang sama mungkin sebuah hal yang menyenangkan, tapi tidak menjamin ketenangan dan keberkahan.
Ya, itu sebuah poin penting yang aku dapatkan. Menulis ini bukan artinya setelah hijrah terlebih di saat ini aku memiliki teman-teman yang banyak. Bukan soal berapa kuantitas teman yang aku punya, tapi soal bagaimana perjalanan menemukan teman yang Allah rida.
Berteman karena memiliki kepentingan bersama, pernah.
Berteman karena punya cita-cita yang sama, pernah.
Berteman karena punya kesenangan dan hobi yang sama, juga pernah.
Bahkan berteman ketika berada di dalam visi dan misi yang sama pun pernah. Ranah visi misi ini juga termasuk ke dalam masalah aqidah dan manhaj.
Nyatanya berteman dengan yang sama-sama sudah berhijrah kepada manhajul Haq, tidak serta-merta menjadikan sebuah jalinan pertemanan itu langgeng dan berkah.
Memang akan selalu ada orang-orang yang datang dan pergi dalam kehidupan kita, dan maksud langgeng di sini tidak harus selalu berkomunikasi setiap waktu. Melainkan walaupun jarang bertegur sapa, tapi masing-masing saling merindukan, mendoakan dan berkomunikasi dengan obrolan yang bermanfaat.
Ya, itulah sebuah keberkahan, ketika jalinan pertemanan terjaga dari maksiat dan dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Ketika ukhuwah itu diisi dengan ilmu, bukan ghibah. Oleh karena itu, aku menyampaikan bahwa bukan soal sering tidaknya ngobrol bersama, tapi soal amar ma'ruf nahi munkar, soal akhirat.
Ketika sesama muslim saling bermuamalah di atas jalan ilmu, yang dibicarakan adalah kebaikan dan manfaat. Berisi nasihat dan motivasi kebaikan. Candaan tentu ada, tapi tidak menyakiti perasaan apalagi sampai mengarah kepada hinaan fisik atau candaan kotor.
Ketika berselisih hati keduanya selalu kembali kepada ilmu. Mengedepankan prasangka baik dan saling merendahkan diri masing-masing untuk meminta maaf dan memberi maaf.
Nasihat disampaikan dengan hikmah, jika pun belum bisa menerima nasihat tidak serta-merta membenci yang memberi nasihat, melainkan bermuhasabah dan meminta kelembutan hati kepadanya Allah agar diberikan rezeki bisa rujuk kepada kebenaran.
Percayalah, keakraban yang dibangun dari hal-hal selain ilmu akan mudah berselisih dan terputus.
Jika satu di antara dua pihak yang berteman mulai menjauh dari ilmu, maka pertemanan pun akan semakin berjarak, karena ibaratnya ilmu itu adalah lentera yang menerangi jalan. Jika lenteranya meredup bahkan padam, maka akan menjadi berpencar dan tidak sejalan. Itu sunnatullah yang tidak akan berubah.
Sampai orang yang meninggalkan ilmu itu kembali kepada ilmu, maka barulah lentera itu bercahaya. Kembali bisa menerangi kepada jalan yang benar.
Satu hal, jangan pernah takut untuk ditinggalkan atau melepaskan seseorang. Ketika orang tersebut memang bisa memudharati agama kita, maka loyalitas kita yang utama adalah mementingkan Allah dan Rasul-Nya. Di saat inilah untaian doa rahasia kita menjadi penghubung rindu dan kasih sayang kepada mereka yang semakin menjauh atau yang dijauhkan oleh Allah.
—SNA, Ruang Untukku #94
Selasa, 24-01-2023 | 23.10
Venetie Van Java, dengan penuh rasa syukur dengan kehidupan yang ada saat ini. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shalihaat ❤️
1 note · View note
unsentthoughtss · 1 year
Text
writingforher
Tumblr media
0 notes
yamspoken · 2 years
Text
Glory to Misconceptions
Blind since the womb;
my father said I've always been too clumsy.
We’ve never had a good relationship.
who gets along with stuck up individuals anyway?
I never meant to be a disappointment.
I'm lost, truly. 
I attempt to listen to myself 
feel empathetic, 
hand all gratitude to life,
then nothing and everything feels lame without drugs.
I am at peace,
but the struggle is hitting me. 
What have I done? 
- A.Y.
2 notes · View notes
Text
utah/nevada
I saw the red rocks at night when they were black. I could make out only their size, the earth's expansion as we drove past. I gazed at a tumbleweed, a Joshua tree, both firsts to me. For hours we drove in the blue of cold desert with only headlights, stars and navigation. At some point, looking out to dark and beautiful sameness, my view turned to a sea of light. Colorful, blinding. Vegas. An oasis of illumination and illusion.
There, inescapable advertisements, money spent at all hours, mundaneness and glamor, souvenirs galore, excess, artfulness, architecture, food, drink, gift, slot machines, dim lights, bright lights, sounds, stimuli, cash, change, more excess. Over and over again. After hours on the road, pulling along luggage was exhilarating. I took the elevator up to my room on the twenty-third floor, the number of my age that I didn’t notice until after. Outside my window I saw a rollercoaster and an arena. When I peered around some more I noticed a sculpture of what seemed to be a 50-foot woman, though I didn’t measure her. Fifteen minutes to change and drink a whole overpriced water bottle from the weighted snack bar. 
We rushed to be seated before the show and when it started I was pulled into the familiar, magical world of live theater. A performance. Acrobatics, music, dancers, lights, costumes, props, storyline, projections, silks, actual cars! It was strategic and beautifully executed. I forgot my hunger and allowed myself to smile and laugh publicly along with most everyone else at the sights we were seeing. There was confetti and a huge piece of fabric over the whole crowd at one point, moving like water, psychedelic images projected and manipulated. We were immersed and it felt so different to be there, living and breathing next to people. All our faces in masks but even so, we were there together.
The theater was a hexagon and the floor of the stage was mechanical. It could do things I didn’t know were possible. Moving and sinking, rising, holding huge props, expelling smoke and hiding fake explosions. I know we have rockets that fly to space but this really impressed me to see. 
I liked Vegas but it wasn’t ‘me’, so I wandered the streets and took pictures, appreciating the newness after years of hearing of its personality. Those same humans I enjoyed sitting next to the night before suffocated me in the daylight, crossing traffic and taking up more than their share of space. I guess this is what we get for coming around a holiday, though I liked the people-watching.
My mind wandered thinking of what ‘old Vegas’ looked like before this turn of technology. I was intrigued to learn about the infamous hotels and casinos, wanting to visit to see the architecture even though a few of them weren’t considered ‘safe’ anymore. 
After a few nights I could decipher Orion's belt in the sky without a pointer, noticing how his body tilted to the left and didn’t stand straight from where I was. At some point we passed the Utah-Arizona port of entry into Utah, from Arizona. My first time in Arizona. If I was there but only for fifteen minutes in the car, was I really ‘there’? Did it count? My mom pointed out sage and juniper and I realized I couldn’t see which was which in the dark. Maybe not in the light either, but I’d like to think I’d guess correctly. 
The windy three-lane highway held high beams and my ears popping. Wiped out, we walked the aisles of a grocery store at 9pm for last-minute ingredients. It was almost Thanksgiving. We arrived at our temporary home on the hill. The ground wasn’t paved, it was gravel. Rock.
We slept but I was excited to be where I was, somewhere I had never been. I dreamt about being in that house on the hill, about knowing the neighbors, being trapped somewhere, having fear, and my other dreams I forgot. I was the first one awake, alerted from the wind creaking my room at the far end of the house with a rumble. It creaked in the sort of way that reminds you that houses have to, or try, to withstand the elements. What if they decided to no longer defend? 
This wind was heavy and I wondered how bad it could get with a house on a hill. I went to the living room and opened the curtain to see the invisible force that made it so the trees barely held on. They whipped and the wind waned and rushed again. The faded blue sky rose out of darkness into light and I took a photo but didn’t capture it.
That day we walked through Snow Canyon in the sun and red sand, volcanic rock, fossilized sand dunes, or something like that. I forget the descriptions but I remember the feeling. That night I drove to the dollar store for ingredients we had forgotten and on the way back a jack rabbit ran out in front of the car. I breaked fast and my eyes glued to its bounding and puffy long legs. I was lucky enough to notice the stripe of black on its tail and see its eyes reflect red from the headlights. And lucky enough to not have hit it. I had never seen a jack rabbit before.
Bryce Canyon was a long drive crawling up about 8,000 feet to flat land. I tried to hear conversations while sitting in the back. I watched the trees and saw that a whole town lived up there, with homes and a gas station and everything. At that altitude I expected only a national park, but people lived their lives up here. We saw deer and hiked and it was cold on our way up from the canyon, the rocky formations incredible and red and seismic. The bark of trees twisted and arches formed themselves. My brother brought me to the bed of a stream with no water and showed me rocks that were both yellow and pink in the same broken piece. There were thousands and I picked one up to take. In my flannel pocket it broke apart.
For Zion we woke up early, coffee and hitting the road, 30-something degrees in the morning, before the sun had a chance to reach in between the canyons, fought off by tall rock. We bundled up and found parking. We walked and waited and took the shuttle and as we did we passed male and female deer and I exclaimed and pointed to them because the antlers amaze me. But my exclamation apparently misled some passengers who looked out, expecting I saw something more remarkable, judging from their faces. Their unamusement felt disheartening.
We started our walk through the woods which turned into a hike up switchbacks, so many switchbacks, between walls of rock. We stripped off our jackets and sweatshirts, legs burning, breaks essential. We finally got to where the hike to Angel's Landing started, a.k.a. where the last hike ended. We each looked over the bank to open space and gigantic rock. My mom didn’t want me to start the next hike due to its danger but my brother, like me, is adventurous and wanted to. Next year it will run off a lottery system so only a certain number of lucky people can hike it. This was the last year without that, so we thought “what the hell, we’re already here.” It made me smile how siblings can be so similar yet so different. In a good way.
Setting off, we held the chain when we could, navigating where to put feet, amazed at how sandstone indents over time from so many people stepping through the years. Looking down the mountain I couldn’t believe I had brought myself up this high with my own two legs. They were stronger than I knew. 
There were parts of the path with no chain, only cliff, only rock climbing, but I didn’t feel scared of the height. I joked to my brother that I was scared of plenty of other things. 
We saw endangered California condors and the breeze was perfect at the top. We took photos and on the way down I repelled at some points, finding it easier than stepping the slope the other way. I shared water with him and eventually we made it down to where we started, knowing still that we had a way to go back to the shuttle below. The shuttle that, just an hour before, looked like an ant from the height we stood upon.
The whole way back we crouched down the mountain and all our knees hurt and we sweat and were tired. My lungs had expanded and I was proud, dusty hands as an accomplishment, proof I had clung to rock. I didn’t notice they were dusty until we were down. We washed our hands in the river, icy yet perfect. I let a cool breeze through a cracked window on the shuttle and when I turned cold I didn’t shut it, but instead peered out to the cacti.
That night, exhausted, our last night together, we played a board game and watched tv and said goodbye. At 3am we woke up, lugged our stuff to the car, and finally, I felt altitude sick for the first time. In an odd way. My throat felt constricted, as if wearing a choker. I knew I was a little dehydrated too. I couldn’t sleep so I took a dramamine, also for the first time, and my body felt heavy. Wind and a bright moon hid a huge orange on the horizon, a flashlight showing us shrubs as the hills bounced through remote towns, transfixed by dust. I convinced myself I could sleep and covered my face from the light once it came. My skin was dry, my throat was dry. We inched towards sea level through the hours, reassuring myself after all of this driving, terrain changing, that when I got home there would be less static, more moisture.
The strenuous hike, lack of sleep and 18+ hours in the car left me overtired, thinking about the wisdom of the land, this land, their land, which we have taken. I thought about this desert and how people lived here before electricity, before water redirected with ease, before you could store food like we do now. I thought about how things were used when they had to be used, crops and meat planned for. I thought about how they are still used but it’s different, it’s money now, and people don’t have it. Made to not have it. I thought about the plants gone or nearly gone, the knowledge we forcibly erase over time, the people here that we make disappear--the people who belong here. 
I thought about how our medicine used to be for all, used to be knowledge to hold, to cherish, to thank the earth for. I thought about how, before all of this, people could simply live their lives and give back and that was enough. They could have solitude, work, play. Time to contemplate, to pursue hobbies, to be bad at things. Time. Before it got complicated and condensed and tested and given an amount of which you were worth. Not everyone had these freedoms, most definitely not, but it was a more normal way of life than we have today. We were allowed to be human. To be connected to the earth, to each other. Now, we are allowed to capitalize. It was person to person, now it is person to system. How come we stopped meeting each other with care? How come we stopped treating ourselves with care? I think about where we are going and I think I prefer to ponder where we have been. 
2 notes · View notes
uraphrodhite · 3 years
Text
Menjadi Sempurna
"Kesempurnaan adalah hal yang fiktif bagi manusia. Apakah mengusahakannya akan menjadi sebuah kesalahan?"
Kali pertama aku posting tulisanku di sini. Mungkin kalau kalian baca ini nanti, tulisannya masih banyak kekurangan tapi aku coba selalu belajar dan terus memperbaiki.
Nah, ngomong-ngomong soal belajar, aku suka banget 'loh belajar. Belajar hal-hal apapun yang aku suka, dengan catatan achievementku dalam hal tersebut bagus. Terlalu result oriented ya, memang. Makanya aku jadi sangat ambisius. Kalau aku mau, maka harus. Hasilnya, aku juga jadi lebih keras kepala.
Menurutku pribadi, aku pembelajar yang baik. Bidang apapun bisa aku pelajari dengan cepat. Terlebih jika arahan, pedoman dan referensinya jelas. Pokoknya aku suka belajar.
Aku suka belajar apapun. Asal jangan suruh aku berbicara hehe. Apalagi di depan umum. Aku sama sekali tidak pandai berkomunikasi. Mungkin karena terlalu sering berinteraksi dengan buku hehe. Aku merasa menghadapi soal-soal yang rumit lebih mudah untuk diajak berinteraksi daripada harus berinteraksi dengan manusia. Keringet dingin, euy!
Dengan sadar, aku memahami kelebihan dan kelemahan yang aku punya. Pun sampai saat ini, hasil tes talent mapping yang aku lalui menyatakan hal yang sama dengan yang aku kira sebelumnya. Semua bakat dan kemampuanku berkumpul pada bagian thinking dan striving.
Suka berpikir dan pekerja keras, katanya.
Tapi, kalau dipikir-pikir, bakat dominanku sepertinya amat membosankan. Bakat dominan nomor 1 adalah Analytical. Orang-orang dengan bakat analitikal adalah orang-orang yang terlalu objektif. Mereka memerlukan analisis data, menemukan pola, dan mengkaitkan ide-ide.
Pokoknya, bagi kami yang punya bakat ini, kalau tidak ada buktinya artinya hal tersebut tidak benar atau tidak perlu dipercayai.
Kalau orang-orang analitikal ini ngobrol dengan temannya, kira-kira beginilah percakapannya:
"Eh, katanya kalo makan mi instan ga boleh bareng sama nasi. Ntar gendut," kata salah satu teman.
"Ah, masa? Risetnya udah ada belum?"
Percakapan pun terhenti.
Orang-orang analitikal ini memang sangat membosankan, cuek dan tidak humoris di segi manapun. Kalau mau ghibah sama mereka, jadinya tidak menyenangkan xixi.
Buat mereka, kesempurnaan adalah segalanya. Selagi bisa sempurna, kenapa tidak. Selagi masih ada waktu untuk memberikan yang terbaik, kenapa tidak. Makanya, 9 dari 10 orang analitikal, akan mengumpulkan atau menyampaikan tugas-tugasnya dengan rentang waktu yang sempit terhadap deadline. Jika tugas dikumpulkan terakhir pukul 10.00 WIB, 9 dari 10 orang tersebut akan mengumpulkan di atas pukul 09.30 WIB. Pukul 09.55 WIB mungkin, bahkan 09.59 WIB. Bagi mereka, sempurna adalah yang utama.
Dengan sifat ini, aku juga cenderung ingin selalu menjadi sempurna di setiap hal. Tapi sayangnya, aku manusia. Menjadi sempurna itu menyalahi kodrat manusia dan hanya akan menjadi pungguk yang merindukan bulan.
Sebagai jalan tengah, untuk memenuhi ambisi dan segala keinginan untuk sempurna, aku memilih untuk selalu melakukan yang terbaik dalam setiap hal yang aku lakukan. Tapi hanya hal-hal yang aku mau, terutama yang aku prioritaskan. Jangan paksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak aku minati. Aku tidak akan melakukannya dengan baik.
Rasanya, selalu ingin menjadi sempurna ini melelahkan. Meskipun sering kali saat berusaha menjadi sempurna aku akan menemui hasil yang manis pada akhirnya. Tapi bukankah untuk bahagia kita tidak perlu menjadi sempurna?
5 notes · View notes
amatagaikin · 3 years
Text
Deliberative Itu, Gini Kayaknya
Oh, hai!
Assalamu’alaikum!
Ada yang pernah mendengar, membaca, atau mengetahui kata ‘deliberative’? Kalau belum, berarti sama denganku, setidaknya sampai tanggal 14 Maret 2021. Yang aku ketahui, ‘deliberative’ ini bukan makanan, bukan komponen mesin, dan bukan pula nama teknik dalam bermain sepak bola. Jadi kalau ada yang memikirkan di ketiga area tersebut, berhentilah sekarang dan lanjutkan membaca tulisanku ini.
‘Deliberative’ adalah suatu pola pikir, cara pandang, dan cara bersikap seseorang yang mengutamakan kehati-hatian, skeptis banget, serta mengumpulkan informasi sebanyak mungkin sebelum melakukan suatu hal. Kira-kira begitu, mohon koreksi jika ada yang salah.
Untuk melanjutkan tulisan ini, sebenarnya aku masih bingung ingin menjelaskan seperti apa karena takut apabila menggeneralisir. Apalagi jurusanku dari akuntansi, bukan psikologi. Tentu dari otorisasi keilmuan aku tidak memilikinya.
Tapi bisa saja aku hanya menyampaikan informasi berdasarkan buku, jurnal, atau artikel kredibel yang bisa aku dapatkan dari internet. Tapi buku apa yang cocok? Gimana cara mencari jurnal psikologi yang bagus? Adakah yang bisa menjelaskannya dengan cara yang awam? Atau ada dari sumber lain seperti YouTube, podcast, Tiktok?
Eh, memang perlu ya aku mencari itu semua? Kan tulisanku bukan tulisan yang ilmiah, dan tidak sedang ditujukan untuk menulis hal yang serius. Definisi dari satu pembicara saja sudah cukup, sisanya dilanjutkan opini saja.
Tapi bagaimana mau beropini kalau dasar yang dipakai hanya satu? Barangkali ada pengertian lain yang akan memperkaya opini dari tulisan ini. Tambah lah satu atau dua pengertian lagi.
Bagaimana caranya memverifikasi pengertian yang beda-beda itu? Apalagi aku sama sekali awam soal ini dan tidak terlalu berminat juga menggalinya sendiri lebih jauh. Bukan bermaksud apa, tapi kayaknya lebih cocok jika dibahas secara privat. Tidak dibahas di sini. Mungkin lebih nyaman ngobrol langsung.
Kalau tidak terlalu berminat, kenapa tulisan ini sudah menyentuh 280an kata?
Entahlah. Coba aku teruskan sampai 300an kata, seperti standarnya berita online suatu LPM di kampus yang dulu aku pernah berkegiatan di sana.
Jadi, inilah tulisan yang sudah aku pikirkan kurang lebih empat hari. Sebenarnya tidak sama persis, ada beberapa perubahan dari yang aku pikirkan di awal. Tak apa, setidaknya sekarang sudah lebih dari 300 kata.
Kesimpulannya?
Haruskah kesimpulan dijelaskan secara eksplisit oleh penulis? Memang setiap tulisan harus ada kesimpulannya? Kalau tidak ada, gimana?
Dah ya, cukup.
2 notes · View notes
mengenangmasa · 3 years
Text
Menjejak Kenang
Selamat pagi, sudah berapa bulan menjalani masa-masa work from home? Bagaimana perasaannya? Meski kutahu tak semua berjalan dengan baik, tapi semoga selalu dapat menuai hikmah dari tiap perjalanan yang terus menyisakan basah air mata. Yaa, air mata sabar karena bertahan menghadapi peliknya cobaan, dan air mata syukur sebab atas pertolongan Allah dirimu berhasil melewati tantangan.
Izinkan kali ini aku memperkenalkan diriku, semoga kita bisa berkawan. Sebelumnya aku sudah pernah menulis di sini dan beberapa di antara kalian sudah mengenalku. Nama blogku adalah mengenangmasa, tujuannya ialah sebagai bentuk apresiasi diriku sendiri akan perjalanan dari waktu ke waktu, belajar menerjemahkan dan menjabarkan hal yang bisa aku jabarkan. Aku akan menulis dalam beberapa kemasan nantinya, semoga Allah memudahkan dan menolongku dalam menjaga niatku untuk menulis. 
Sebelumnya mengapa aku memutuskan kembali menulis di sini, setelah blogku hampir terbengkalai selama berbulan-bulan dan menarik beberapa tulisan yang sudah pernah aku tulis? Jawabannya adalah kembali ke nama blog ini, mengenangmasa adalah serentenan makna yang disiratkan dalam tulisan yang sekiranya perlu kutuangkan tiap aku mengingat sesuatu.
Dalam tulisan ini ada yang memang sengaja kutulis untuk dipahami semua orang dan ada juga yang memang bukan kutujukan untuk dipahami siapapun. Bagi teman-teman yang ingin memberi masukan dan saran atau nasihat dapat menghubungiku melalui pesan di blog ini, terima kasih. 
Tetap jaga iman dan imun, kawan. 
نسأل الله السلامة والعافية
Penuh kasih, dari sahabatmu.
Tangerang Selatan, 15 Desember 2020.
1 note · View note
sitinurhabibah14 · 1 year
Text
Jangan heran jika kau temukan, ada circle dalam circle pertemanan
Karena titik nyaman seseorang tak bisa kamu paksakan
Yang bisa kamu atur adalah responmu melihat demikian
Jika dirimu bukan dalam bagian, gapapa kan?
Jakarta, 4 Maret 2023
70 notes · View notes
aksara-rasa · 2 years
Text
Bumi, Bintang, Mentari
Episode 7 : Pengulangan
2 notes · View notes
asyifaalaila · 3 years
Text
Tumblr media
Diary dan Ceritanya
Setiap buku punya ceritanya masing-masing menjadi wakil dari setiap ide yang melayang dan memenuhi ruam perjalanan panjang milik waktu.
Sempat sebelumnya pernah tertarik dengan bahasan writing for healing. Kau tahu? Bahwa menulis merupakan salah satu sarana lain yang dapat dipilih untuk menuangkan pikiran selain bercerita.
Ketika kita menulis.. Maka ruam segala permasalahan itu akan tertuang dan mengalir, menyembuhkan perlahan sang penulis.
Diary dan Ceritanya.
Tidak pernah tahu, apakah sampai saat ini masih ada orang-orang yang menulis diary hingga bertahun-tahun. Membacanya lagi. Tertawa sendiri lagi. Bagian part yang sedih terkadang menjadi suatu hal konyol masa kini haha (read : alay).
Oh iya, mungkin barangkali ada teman-teman yang membaca tulisan ini.. Ada yang aku ingin sampaikan,
bahwa .. tulislah, apa yang menjadi ceritamu hari ini, bahkan detik ini.
Hingga kemudian kita menyadari. Bahwa setiap momen yang menjumpai kita saat ini adalah sejarah terbaik. Perjuangan kita selama ini adalah perjuangan terbaik. Mengapa? Karena kita adalah pemeran utama dalam diary kita masing-masing. Kita adalah penulis handal dalam diary kita. Kita adalah penulis skenario yang paling natural dalam hidup kita.
Menurutku, penting untuk mencatat proses yang selalu kita lalui. Selain sebagai healing untuk diri kita, nantinya tulisan itu menjadi sarana untuk memorizing.
Bagaimana tulisan kita.
Bagaimana gaya bahasa kita.
Bagaimana kita menghargai diri sendiri.
Menuliskan setiap kebaikan dan pertolongan Allah..
Dan apapun,
Tulis apapun yang kamu ingin tuliskan. Tulis apapun yang kamu resahkan. Tulis apapun yang ingin kamu utarakan..
Termasuk mimpi-mimpi yang kamu rasa tidak mungkin..
Titip pesan ya
"Jaga baik-baik kalau mau nulis diary, hati-hati ada yang diem-diem baca wkwk"
Semoga bermanfaat~
H a m a s a h..
asyifalailaa
1 note · View note
kilasjejak · 5 years
Text
Cinta Tanpa Bahasa 1
Kamu tahu, siapa dia yang mencintai tanpa bahasa tapi dengan kerja nyata ?
Kamu tahu, siapa dia yang mencintai tanpa kata tapi dengan pembuktiannya ?
Kamu tahu, siapa dia yang mencintai tanpa aksara tapi dengan kasih sayangnya ?
Ayah
Barangkali, setiap ayah di dunia ini adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tentunya tak semua bersepakat dengan tulisan subjektif ini, bukan ?
Ia bukan laki-laki luar biasa, ia sederhana, bersahaja namun istimewa, setidaknya bagi anak perempuanya. Tak perlu dengan bahasa tuk ungkapkan cintanya. cukup dengan tindakan nyata.
Ia memastikan anak perempuanya bertumbuh setiap harinya. Menjaga masa remaja gadisnya. Hingga tiba saatnya, ia harus menyerahkan harta berharga pada lelaki asing yang sama sekali tak di kenalnya.
Di dunia ini, ada yang di takdirkan tak melihat ayahnya saat pertama kali melihat dunia. Barangkali karena telah menghadap Sang Pencipta, atau bahkan pergi tak terekam jejaknya.
Di dunia ini, ada yang tertakdir tak didampingi ayahnya, barangkali karena suatu hal yang tak dapat di ungkap dengan kata.
Tak mengapa. Kamu kuat...
Bagi yang tak sempat melihat rupa ayah...
Kamu hebat. Tuhan memilihmu menjadi perempuan kuat. Perjuanganmu tanpa sosoknya pasti tak mudah, tapi percayalah Tuhan tak pernah meninggalkanmu.
Bagi kamu yang di tinggal ayah tanpa jejak..
Kamu mampu. Tuhan memilihmu menguat bersama ibumu. Tak mengapa, jangan benci dia. Jangan benci ayah yang dengannya kamu bisa hadir di dunia. Minta pada Tuhan, agar dia bisa kembali lagi ke pelukan keluarga. Tetap hormati dan mendoakannya. Sulit ya ? iya.. aku tahu rasanya... sebab di situasi seperti itu, Tuhan ingin kamu menjadi wanita dengan jiwa yang kuat dan tegar.
Bagi kamu yang selalu di temani ayah...
Kamu beruntung. Tuhan memilihmu agar kamu dapat berbakti padanya. Menyayanginya.
Ketahuilah, cintanya seringkali tak terungkap dengan bahasa. Ia terejawantah dengan tingkah laku nyata, dengan pembuktiannya. Melindungimu, menjagamu hingga pada saatnya ia akan menyerahkanmu pada lelaki baru pilihanmu. Barangkali seperti itu.
Ditulis menjelang dzuhur. 15.10.2019
51 notes · View notes
ruanguntukku · 2 years
Text
Sedalam dan sejauh apapun aku mengikuti perasaanku, pada akhirnya aku hanya akan semakin dalam terpuruk di dalam kesengsaraan, karena memang kembali meniti jalan agama adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup dengan selamat.
Wanita itu bengkok dan mudah dikuasai oleh perasaannya, maka itulah celah-celah setan untuk merasuk. Ketika apa yang dipikirkannya terasa yang paling benar, maka seringkali ia tidak peduli dengan nasihat-nasihat yang datang.
Karena di saat itu hanyalah perasaannya yang paling penting. Bukan hal lain. Padahal, kembali tunduk kepada aturan Allah adalah satu-satunya cara merendahkan diri yang bisa membuatnya mulia dan terhormat.
—SNA, Ruang Untukku #63
Selasa, 26-07-2022 | 21.48
Venetie Van Java
Dengan banyak kesadaran.
1 note · View note
safirraerna · 4 years
Text
Aku percaya bahwa setiap orang punya cerita dan layak bercerita tentang kehidupan dan perjuangannya. Di dunia ini ada banyak sekali orang yang telah bercerita, membagikan gagasan serta pemikiran. Melalui bercerita, tercipta begitu banyak ruang untuk berkarya dan berbagi. Bercerita menjadi sarana untuk bertukar isi pikiran juga isi hati dan sebagai sarana menyalurkan emosi.
2 notes · View notes