Tumgik
#canggumemangcandu
evoydemoy · 3 years
Text
Aduhai, Canggu Buatku Candu!
Aku suka kulitku, tan, basah dan berkilau karena pantulan cahaya Ilahi.
Aduhai, aduh Canggunya. Canggu membuat hati ku tergila-gila. Wilayahnya kecil, orang tak peduli siapa kamu, apa pekerjaan mu dan apa agamamu.
Aku suka di sini. Semuanya ceria. Semuanya senang. Semuanya bahagia. Terlihat bahagia, mungkin. Tapi itu saja cukup.
Canggu punya daya tarik memikat. Suasana pedesaan dengan orang-orang modern yang mencari gelombang ombak, berkumpul di sana. Para bule kebanyakan memburu Canggu untuk berselancar dan menikmati matahari terbenam.
“Lihat, aku membawa arak Bali. Manis. Sudah ku campur dengan sprite, kalau tidak dicampur pasti keras banget. Aku juga gak kuat minum arak Bali langsung,” kata Joni, teman lama yang ku hub karena tahu dia di Bali.
Aku senang bisa ada Joni di sini. Dia mengenalkan ku pada beberapa kawan di Bali, yang akhirnya menjadi sobat sunset ku. Yeay!
Kedatangan ku di Canggu adalah sebuah keberanian. Bagi sebagian orang, mereka akan lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah. Berjaga-jaga menjaga hal yang bahkan tidak bisa dijaga kepastiannya.
Bukan soal tidak ada uang. Bukan juga karena informasi dadakan yang dipublikasikan pemerintah soal keperluan PCR Test yang harus dipenuhi untuk menginjakkan kaki di Bali.
“Mahalan PCR-nya daripada harga tiketnya,” gerutu ku selintas. Tapi aku butuh berlibur, sudah lama aku merasakan ada ketidakseimbangan pikiran, jiwa, dan hati. Sinkronisasi dengan alam dan satu tempat yang tenang mungkin akan membantu menyeimbangkannya kembali.
Koper sudah terisi, pesawat sudah check in, kertas hasil PCR test sudah terlipat rapi di dalam tas kecil ku, dan fiuuuww!
“I’m here, Bali.”
Segalanya seperti keajaiban buatku. Lancar jaya tanpa kurang suatu apapun.
Canggu oh Canggu! Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tak ingin meninggalkannya bahkan saat koper baru saja ku turunkan dari mobil.
“I belong to here,” bisikku pada langit biru dan seekor anjing berbulu coklat yang sudah menyambut ku manis di depan pintu vila.
Tidak semua daerah Bali seperti Canggu. Di sini tidak ada bangunan candi atau kuil yang menjadi objek wisata layaknya daerah Bali lainnya.
Canggu cuma punya kehidupan. Dan kehidupan Bali sedang berpusat pada Canggu, kali ini.
Kehidupan inilah yang aku inginkan. Kehidupan inilah yang aku dambakan. Kehidupan inilah yang membuat ku kecanduan setengah mati.
“Suasana pandemi Covid-19 membuat Canggu lebih tenteram, jam 8 sudah sepi,” kata mba Wayan si penjaga vila.
Sudah pukul 1 siang, saatnya mencari makan. Ngeng! Aku dibonceng Syeila sedangkan Mimi dibonceng Wita. Kami menuju Nasi Pedes Bu Hanif.
“Loe tahu gak perbedaan orang lokal sama orang bule di sini?”, ujar Syeila sambil memboncengku.
“Apa?“
“Kalau lokal pakai jaket, kalau bule, noh kaya gitu,” unjuk Syeila menengok ke arah jalanan.
Ada bule laki-laki bertelanjang dada mengendarai motor NMAX dengan papan seluncur disamping kirinya.
Lalu ada bule wanita memakai dress model backless hitam dengan Vespa matic-nya sedang membonceng golden. Lucu sekali. Anjing itu bahkan menikmati angin yang menghempas bulu rambutnya sambil menengok ke kiri dan ke kanan.
Selebihnya, ya turis lokal atau warga lokal yang memakai jaket. Takut kepanasan dan masuk angin, hihihi...
Aku bangun pagi sekali, pukul 6 waktu Indonesia bagian tengah. Maklum, jam beol ku memang jam segitu, sama seperti di Jakarta. Selesai beol, ku buka tirai dan pintu ku geser pelan-pelan, aduhaiiiii! Sejuk, indah, damai, tenteram, nyaman.
“Gusti Nu Maha Agung, terima kasih untuk segalanya,” lagi-lagi aku berbisik sendiri.
0 notes