Pesanku, jadilah laki-laki baik, jadilah perempuan baik. sekalipun sedang dalam kondisi tersulitmu. Sebab kadang banyak hal yg kita sesali untuk kemudian kita tangisi karena ada sedikit nya kekeliruan yg sudah kita lakukan mungkin tanpa sadar atau bahkan dengan sadar.
Kekeliruan kita, kesalahan maupun keegoisan kita yang sangat manusiawi. Bentuk itu semua hadir karena barangkali kita sedang berada dalam masa yang tidak menyenangkan, menguras energi, menekan kapasitas diri kita lebih dari yang kita punya, atau bahkan sedang di tuntut untuk tetap berjalan dengan semestinya padahal diri kita sedang tidak dalam kondisi baik. Banyak sekali sebab mengapa kita jadi melakukan hal seperti itu, maka saling memahami dan mengerti adalah solusi terbaik dalam terus menyayangi sesama.
Untuk itu, kalau ada yang lakukan suatu kesalahan jangan kita hakimi orangnya, tapi kita fahami keadaan nya mengapa ia bisa sampai melakukan itu.
Sesederhana "kayaknya klo kita lakuin hal ini dia bakal sakit hati", "aku ga boleh bersikap kaya gitu nanti dia terluka", "oh kalau aku mau di hargai aku juga harus bisa menghargai"
sederhana bukan? Tapi, ternyata kita masih harus belajar untuk bisa seperti itu. Masih banyak yang belum bisa, jadi semoga; hari demi hari yang sudah kita lewati menjadikan pribadi kita mau untuk terus belajar.
Maka yang terpenting dari semuanya adalah tetaplah menjadi baik sebagaimana kita telah dilahirkan dengan selamat dan dalam keadaan penuh kebaikan dari Sang Pencipta melalui rahim sang Ibunda.
Namun, tidak benar jika semua hal kau anggap kritik. Ingat bahwa berprasangka positif akan menghasilkan situasi yang positif. Jadi, tidak perlu takut dengan kritik. Kita semua tumbuh dengan kritik. “
Kemarin Sore, secara tak sengaja aku menemukan video ini di beranda YouTube-ku dalam mulai menontonnya. Aku rasa video ini sepertinya cocok untukku yang saat ini memang tengah bertanya-tanya mengenai diriku sendiri, apakah memang aku hanya malas membaca ataukah karena aku sudah tidak lagi mampu membaca seperti dahulu?
youtube
Setelah menonton video tersebut, suatu kesadaran tiba-tiba menyeruak dari dalam diriku. Mungkin sebenarnya memang, aku bukannya tak lagi mampu membaca, tapi sekadar tidak lagi membaca karena alasan-alasan konyol seperti kemalasan atau semacamnya.
Segera selepas itu, aku memutuskan untuk menantang diriku sendiri. Pada rak bukuku, ada How To Respect Myself yang sudah aku beli semenjak Februari lalu namun belum juga mampu aku selesaikan sampai hari ini. Aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku masih aku yang dahulu; seorang pembaca yang baik.
Aku pun mulai membaca, benar-benar membaca, dari sore itu hingga malam tiba, hingga hari berganti, dan hasilnya pada akhirnya turut membuatku terkesima; ternyata aku masih bisa! Aku bisa menyelesaikan 300 halaman buku tersebut hanya dalam kurun waktu beberapa jam; mungkin sekitar lima hingga enam jam, itu pun tanpa tindakan maraton, di mana aku sebenarnya dalam rentang waktu tersebut masih melakukan hal-hal lain, hanya saja ketika aku kembali membaca, aku berusaha menyingkirkan semua gangguan, terutama gangguan media sosial.
Keberhasilan ini memberikan angin segar bagi jiwaku. Ternyata aku belum bodoh. Aku masih mampu. Aku masih diriku yang dahulu.
Dari keberhasilan kecil ini juga aku mulai memahami bahwa diriku pribadi bergantung sepenuhnya pada diriku sendiri arahnya hendak ke mana. Aku pun memahami bahwa sebagai manusia aku sudah punya segala hal yang aku butuh kan untuk menjadi diriku yang sebaik-baiknya. Tinggal bagaimana aku mensyukuri anugerah waktu yang telah Tuhan berikan dengan membangun manfaat sebesar-besarnya.
Membaca adalah makanan bagi jiwa. Tidak heran jika belakangan aku merasa hampa. Ternyata jiwaku tidak cukup nutrisinya. Setelah melahap 300 halaman kemarin, jiwaku benar-benar kenyang dan puas. Dia seakan berkata kepada pikiranku, "Seharusnya dari dulu kamu melakukan ini."
Maka aku bertekad untuk kembali membaca secara serius, insya Allah. Aku akan kembali menekuni Goodreads, yang sepertinya sudah lebih dari setahun tidak pernah aku buka, menyusun daftar bacaan yang aku mampu selesaikan tahun ini, dengan susah payah, dan merancang target bacaanku tahun depan (Yeay! sebentar lagi tahun baru!) serta bertekan untuk sepenuh-penuhnya menyelesaikan target tersebut atau bahkan melampauinya!
Dua hari lalu, saya disapa oleh seorang ibu. Padahal saat itu saya tengah mengendari Beat saya dan si Ibu juga sedang mengendarai Mio nya.
“MBAK… BARENG TAH…?” Tanyanya sambil berteriak. Maklum, bising suara kendaraan lain membiaskan suaranya. Sehingga mau tak mau, dia berteriak kepada saya.
Saya yang sedang dalam perjalanan ke kantor, tentu saja bingung. Bareng…? Bareng kemana…? Hari ini tidak…
Aku terbiasa hidup di lingkungan yang, ketika aku mengambil sebuah keputusan, orang-orang yang berada di sekitarku juga senang.
Namun tidak dengan hari itu. Untuk pertama kalinya aku memutuskan sesuatu yang mengundang konflik orang sekitarku, perasaan ketidaksetujuan mereka mampu kutangkap dari bagaimana mereka memperlakukan hingga membalas chatting.Jujur, itu adalah hal yang baru, dan rasanya tidak nyaman.
Tapi kalaulah aku bisa mengulang waktu, rasanya aku akan mengambil keputusan yang sama. Merasakan ketidaknyamanan yang sama. Menemui perasaan akward yang sama ketika bertemu dengan mereka. Tapi nyatanya aku bisa ya, aku bisa memutuskan sesuatu tanpa ikut-ikutan. Ternyata aku baik-baik aja ya ketika berbeda pendapat dengan orang di sekitar. Ternyata akhirnya aku berani ya, bilang tidak atas hal yang tidak aku inginkan.
Hari itu aku belajar sesuatu. Bahwa keputusanku tidak bergantung sama apa yang orang lain putuskan.
Oleh: Dahlan Iskan
”Pilih yang mana?”
Saya diminta masuk ke dalam counter check in: agar bisa melihat layar komputer di meja petugas. Ada denah susunan kursi di layar itu. Banyak kursi sudah terisi.
Saya memang telat check in. Tidak ada lagi dua kursi kosong yang bersebelahan. Saya harus duduk terpisah dari istri. Sedih. Padahal maunya meniru Putu Leong: lengket terus seperti prangko.
Gara-gara…
Tuhan adalah rumah, kemanapun dan sejauhmana kita pergi, akan selalu rindu untuk kembali, kembali ke asal usulNya.
Manusia memiliki fase dalam hidupnya, setiap fasenya menyimpan berbagai pengalaman yang kemudian ketika diingat dan dikenang muncul suatu keindahan sekalipun pengalaman itu pahit baginya karena fitrah manusia ialah selalu ingin kembali ke asal usulNya.
Dan,hakikat manusia dalam perjalanan hidupnya sesungguhnya bukan menuju tetapi kembali, kembali kepada sang khaliq.
Pilihlah yang baik agamanya, maka kau akan beruntung. Mengapa beruntung? Sebab, seseorang yang baik agamanya, ia akan memuliakanmu.
Tidak merendahkan dirimu apalagi menjatuhkan tangannya di pipimu, la tahu bagaimana sikap Rasulullah kepada istrinya yang begitu santun.
Mengapa beruntung? Sebab seseorang yang baik agamanya, ia akan menunaikan kewajibannya tanpa mendzolimi dirimu sedikitpun. Hingga hidupmu akan jauh lebih damai.
Mengapa beruntung? Sebab ia akan memperlakukan dirimu dengan sangat baiknya. Menghargai upayamu memberikan yang terbaik untuknya.
Mengapa beruntung? Sebab ia akan menjadi teladan yang baik untuk anak-anakmu kelak. Hingga memilih pasangan yang baik, yang artinya kau sedang mempersiapkan generasi- generasi terbaik.
“Ucik, resolusi tahun baru lu apa?”
“Kagak adaaaa, gua jalanin aja, beberapa goal sih ada tapi ya gua nyantai aja. Kan mau belajar biar semakin menikmati proses dan ga fokus ke tujuan, yang penting gua happy ngejalanin apa yang gua kerjakan. Kalau ntar gua ngotot fokus ke tujuan aja tanpa menikmati proses ya sama aja bo’ong. Terus buat apa belajar, kalau proses belajar itu ga dinikmati, kan…
Media sosial masih menjadi isu utama bagi diriku hingga di penghujung 2023. Padahal kalau dipikir-pikir, aku tidak terlalu punya kepentingan juga berlama-lama scrolling konten yang tidak terputus.
Namun memang efek adiksi dari media sosial itu terasa seperti mencengkeram aspek biologis dan psikologis di dalam diriku.
Padahal aku sudah sempat menjalankan eksperimen 30 hari tanpa Instagram dan hasilnya aku sebenarnya bisa baik-baik saja tanpa hal-hal semacam itu.
Sampai saat ini aku masih merasa bahwa semakin menjauhnya diriku dari buku-buku adalah salah satu sebab utama adiksi yang sulit sekali terobati itu.
Aku rindu masa-masa di mana aku tenggelam dalam bacaan-bacaan berkepanjangan. Apa aku bisa menghidupkan kembali keemasan masa itu?
Banyak buku bagus. Banyak pula bacaan bagus selain buku. Artikel di Medium, opini-opini para pemikir, dan berita-berita berkesan yang ditulis dengan keseriusan bisa menjadi bahan yang tak habis-habis. Maka dari itu aku sebenarnya tidak punya alasan apa-apa untuk tidak membaca.
Mungkin aku hanya perlu disiplin. Perlu menerapkan secara persis apa yang sudah aku baca di buku-buku semacam The Power of Habit, Atomic Habits, Deep Work, dan lain-lain.
Belakangan aku rasanya seperti merasa terbebani dengan aktivitas membaca dan menulis. Apa karena membaca dan menulis itu adalah aktivitas pokok dari pekerjaanku? Sehingga saat membaca dan menulis aku merasa seperti sedang bekerja yang mana secara mental alokasiku untuk itu terbatas.
Ini yang perlu aku renungi lebih lanjut di samping perenungan tentang menghindari media sosial.
Beberapa hari yang lalu aku menonton video ini di YouTube yang cukup memberi motivasi untuk kembali merutinkan membaca:
youtube
Video ini dengan apik menjelaskan bahwa kita sebenarnya hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja setiap harinya untuk menjadi pembaca buku yang jauh lebih baik dari sebagian besar orang di dunia ini. Terutama di Indonesia juga.
Dalam video tersebut juga digambarkan bahwa kalau kita menjadikan waktu 'membaca' media sosial menjadi membaca buku, kita akan mampu menyelesaikan sekitar 30 buku setiap tahunnya. Dalam artian kuantitas apa yang kita 'baca' di media sosial dalam setahun itu setara dengan 30 buku!
30 menit tentu bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan durasi scrolling. Insya Allah aku bisa melakukannya!