Tumgik
#cerita cinta
apriliakinasih · 2 months
Text
I've Moved On
Aku pernah sehancur itu karena mencintai seseorang. Aku pernah berderai air mata setiap malam karena merindukannya. Dadaku pernah sesesak itu akibat ditikam rindu. Aku betul-betul menginginkannya.
Aku telah lama mengenalnya. Dan menurutku, dia begitu sempurna—meskipun aku juga tahu kekurangannya. Intinya, semua kriteria yang kuinginkan ada pada dirinya. Dia selalu ada dalam hatiku, sekalipun aku tak pernah berjumpa dengannya semenjak menyukainya.
Dia jauh. Tapi ternyata, jarak tak cukup kuat untuk menjadi alasan berhenti mencintainya. Aku pernah berusaha sekuat tenaga untuk membunuh perasaanku. Tapi semakin kubunuh, ternyata semakin tumbuh. Aku juga pernah bertekad melupakannya. Tapi aku tak pernah bisa. Ya, cinta tanpa pertemuan itu nyata adanya.
Saat dia memutuskan untuk pergi, aku setia menanti. Berharap suatu saat dia akan kembali. Sungguh, selain dia, rasanya tak ada lagi yang kuinginkan. Dia benar-benar telah menjadi keinginan terbesar dalam hidupku.
Aku telah melakukan segala cara, pun tak putus berdoa. Bersimpuh di hadapan-Nya sambil berderai air mata. Dan meminta agar kelak kami bisa bersama. Aku ingin kami bisa melewati suka dan duka berdua. Aku bahkan sudah siap jika harus meninggalkan semua kenyamanan demi mendampinginya. Ke manapun, aku tak masalah, asalkan bersamanya.
Aku ingin sekali menjadi perempuan yang berada di baris terdepan untuk mendukungnya meraih impian-impiannya. Menjadi penyemangatnya yang nomor 1.
Aku bahkan pernah mengatakan pada diriku sendiri. Jika kami ditakdirkan bersama, aku ingin ibunya tak merasa kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Setulus itu rasaku untuknya.
Aku bahkan pernah sangat ingin menjadi rumah baginya. Tempat yang sangat nyaman untuk dia pulang.
Tapi apa daya. Tak peduli sederas apapun air mataku saat mendoakannya, memintanya, Allah belum mengizinkan.
Sungguh. Awalnya sangat berat menerima keputusan-Nya. Sebenarnya, dari awal aku telah menyadari bahwa dia tak ada perasaan apa-apa padaku. Hanya aku yang menginginkannya. Dan dia tidak menginginkanku.
Kuatnya perasaanku memaksaku untuk berjuang sendirian. Namun semua perjuanganku itu tak sedikit pun menggerakkan hatinya. Dan aku tahu, tidak ada yang mampu untuk menahan atau pun menggerakkan hatinya itu kecuali Allah Yang Maha Kuasa.
Dulu, aku tidak terima dengan keputusan-Nya. Kenapa aku tidak bisa bersama dengan orang yang begitu kucintai. Aku bahkan berpikir bahwa orang yang beruntung adalah mereka yang bisa menikah dengan orang-orang yang mereka cintai. Ya, betapa beruntungnya mereka. Sebab tidak semua orang bisa seperti itu, termasuk aku.
Dulu, aku merasa marah. Kenapa aku dianugerahi rasa ini kalau pada akhirnya aku tidak bisa bersamanya? Kenapa aku tidak bisa melupakannya? Kenapa aku masih saja merindukannya dan menginginkannya? Kenapa?! Aku marah pada takdirku dan aku benci pada diriku sendiri.
Karena telah mempertahankan rasa ini selama bertahun-tahun, pada akhirnya aku menyerah. Sudah kukerahkan segala daya dan upayaku. Sudah tak henti-henti doaku. Tapi barangkali, Allah punya maksud sendiri kenapa doaku tidak dijawab seperti yang kuinginkan. Hingga pada akhirnya, aku memilih ikhlas untuk melepas. Ikhlas, seikhlas-ikhlasnya.
Dan hari ini, kalau teringat tentang aku yang dulu saat masih mencintainya, aku jadi heran pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mampu bertahan sampai sekian lamanya. Bagaimana bisa aku sebodoh itu, menginginkan orang yang bahkan tak ingin aku ada di hidupnya. Lelahnya berjuang sendirian seperti tak kupedulikan.
Sekarang aku telah sadar. Aku seperti diberi petunjuk oleh-Nya, bahwa ternyata segala penolakan yang kudapatkan itu adalah bentuk kasih sayang-Nya. Aku bersyukur masih dilindungi, masih diselamatkan dari apa-apa yang (mungkin) tak baik untukku.
Kini, ruang hatiku sudah tak lagi berpenghuni. Kubiarkan dia pergi, dan aku juga sudah tidak mengharapkannya untuk kembali. Semua perasaanku padanya telah pudar, bahkan hilang sama sekali. Ceritaku tentangnya telah selesai. Aku pun tak lagi peduli pada apa-apa yang berkaitan dengannya. Lega sekali rasanya setelah melepaskan. Hati juga tak lagi tersiksa.
Aku sendiri bahkan tidak menyangka bisa mengakhiri perasaanku untuknya. Alhamdulillah. I've moved on.
Aku jadi ingat satu quote yang sering sekali kudapati di laman media sosial. Quote itu berbunyi:
"Jika Allah menginginkan dua hati untuk bersatu, maka Dia akan menggerakkan keduanya, tidak hanya satu."
–Anonim
(27 Februari 2024| 08:15 WIB)
24 notes · View notes
85kilometer · 5 days
Text
Menyepakati Jeda
Adalah dua satu empat belas; setelah percakapan panjang dengan pasangan—aku dan ia bersepakat untuk rehat dari segala hiruk-pikuk kepala. Namun seluruh akal menggerogoti raga, mengelumat daya tak bersisa hingga jadi abu tanpa nyawa.
Pertengkaran memang selalu melelahkan, namun kita tak alpa melakukan. Aku menyayanginya, dan ia juga menyayangiku. Kita saling menyayangi namun dengan cara masing-masing. Hingga seringkali kita berdebat; entah memperdebatkan diri kita atau orang lain. Dan kita, selalu saja tak kehabisan topik dalam mengupas apapun.
Ia dengan segala kecerdikan mampu mengutarakan isi kepala yang seringkali kutentang. Begitu juga denganku, yang bersikukuh dengan pendirian. Ironisnya, kita tak henti bertarung hingga menjelang petang.
Kukira berdiskusi tanpa lelah selalu menemui titik temu, namun baginya menuai masalah baru.
Lalu, kupikir beradu argumen selalu menyimpul benang merah, namun baginya hanya lilitan benang tanpa arah.
Akhirnya, kita menyepakati jeda, meminimalisir komunikasi, dan memberi rehat pada raga yang dirundung lelah. Agar hening memberi perenungan dan memahami esensi kedua jiwa yang saling menentang.
10 notes · View notes
esbatubulet · 19 days
Text
Sejak pertemuan denganmu, cerita ini bukan lagi tentang sebuah pencarian, namun tentang memantaskan diri untuk sebuah tujuan..
19 notes · View notes
summerinbali · 1 month
Text
ini yang aku lihat, sekarang coba kamu yang berkaca.
tumpukan kertas berisikan tulisan lama, hasil berkaca seorang lelaki tumbuh. ada yang memuat surat cinta, cerita kesedihan, kenangan dan kemenangan. ada rasa perjalannya sendirian tapi selalu jumpa keramaian.
lelaki itu ingat betul setiap tulisannya dan cerita dibaliknya. lelaki itu mengenali setiap tumpukan kertas itu. tetapi seluruhnya hanya duduk dipojokan ruangan, dibiarkan berdebu. tidak akan usang, hanya menjadi terlupakan.
apabila lelaki itu kembali berkaca lagi, ia mungkin sudah menjadi sosok yang jauh berbeda dengan refleksi sepuluh tahun yang lalu.
kini, ia bukan lagi seorang musafir, atau petualang ulung. saat pagi menjadi realis sejati berhadapan dengan dunia dan malam menjadi sahibulhikayat handal dengan dua pendengar setia.
aku bisa melihat bambu cina itu kini dalam dirinya. walaupun banyak goyah dan ragu, ia tetap berdiri kokoh. dengan angin yang jadi kawannya, setiap hembusan memberikan arah kemana ia harus bergerak.
you know that i am proud of you and your growth thus far. i hope you never catch tired of growing.
6 notes · View notes
dikimarlina · 1 year
Text
Saling Menemani
Kami sepenuhnya sadar, bertemu dengan banyak kurang. Tidak buruk untuk saling diterima, tapi tidak juga 100% sempurna dalam kriteria. Tak mengapa, kami sadar kami adalah manusia biasa.
Usai terucap dan terdengarnya akad, kami bertekad untuk saling menemani. Mendukung proses tumbuh satu sama lain dengan kecepatan semampunya.
Alhamdulillah, sudah lebih baik. Meskipun tentu saja masih banyak kurangnya.
Kami yakin, selalu memandang kurangnya pasangan adalah sumber kesengsaraan. Namun, selalu merasa penuh kelebihan dan keindahan adalah suatu kebanggaan yang melenakan dari upaya perbaikan dan kesombongan yang merugikan. Rumah tangga kami memiliki lebih dan kurang.
Saling menemani sampai mati. Saling mengobati kelelahan. Saling mengevaluasi kegagalan. Saling menghibur jika dilanda keterpurukan. Saling merayakan sekecil apapun kemajuan.
19 notes · View notes
prettywallflwer · 1 year
Text
Pada Akhirnya Aku Memilih untuk Mengikhlaskan
Aku pikir luka dalam hati akan sembuh begitu saja dituntun oleh waktu. Sudah hari keberapa ini? Sudah cukup lama kukira, sudah terasa banyak perubahan yang terjadi pada masing-masing diri. Saat aku menuliskan ini, aku tersadarkan bahwa hatiku belum sepenuhnya sembuh seperti yang aku duga. Entahlah, bagian mana yang membuatku masih di sini menggenggam luka yang seharusnya aku lepas sejak lama.
Sesekali momen-momen yang aku benci bermunculan dalam kepala, seperti sedang mengingatkan kembali itu semua, yang lucunya ketika aku mengingatnya ternyata masih ada perasaan nyeri dalam hati sambil merutuki kesalahan diri.
Kemudian aku tersadar bahwa tak semestinya aku terus menetap di sini. Di tempat yang pernah aku tetapkan sebagai zona nyaman. Saat itu, aku berpikir tidak masalah jika aku sering kemari karena aku suka, aku tak ingin meninggalkannya. Tapi, sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin beranjak, berpindah, bahkan meniadakan tempat ini. Tak ada lagi keantusiasan, tak ada lagi harapan, tak ada lagi hal yang bisa dijadikan alasan. Semuanya pelan-pelan sudah terkubur oleh kenyataan.
Mungkin kemarin-kemarin aku lupa bahwa manusia ialah makhluk fluktuatif yang akan selalu bertemu perubahan. Hal yang kukira bisa bertahan lama, nyatanya tak ada yang benar-benar bertahan selain pelajaran dan kenangan.
Aku hanya ingin melanjutkan kehidupan ini dengan perasaan yang lebih arif layaknya manusia lain yang sekarang lakukan. Aku hanya ingin tak lagi terbayang-bayang hal yang masih menimbulkan kesakitan. Aku hanya ingin kembali pada keharusan-keharusan seperti sebelumnya. Lalu, aku tersadarkan jika hal pertama yang harus aku lakukan ialah mengikhlaskan semuanya.
Aku sudah dapat menerima kenyataan ini, tapi sepertinya mengikhlaskan masih perkara yang terlewatkan.
Lantas, dimana aku harus membeli rasa ikhlas itu?
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kutau jawabannya. Tak ada yang menyediakan keikhlasan selain meluaskan lagi kelapangan hati dan mendewasakan pemahaman diri.
Pada akhirnya aku memilih untuk mengikhlaskan dan memaafkan semuanya, supaya perlahan aku mampu kembali memaknai serta melanjutkan kehidupan tanpa ada luka yang tersisa.
Dan kini tempat itu sudah bukan lagi yang akan aku jadikan tempat kembali. Aku rapikan dan kunci rapat-rapat pintunya sebelum beranjak pergi.
14 notes · View notes
rsintiyaaa · 3 months
Text
Its love story not a poetry
Ketika kamu tak pernah bercerita hal yang penting atau tidak penting tentang diri kamu disitulah keegoisanmu dan aku tak bisa apa-apa.
Ketika kamu membiarkanku bercerita tentang hal yang terjadi dihidupku sedih hingga bahagia disitulah letak keegoisanku
Sampai pada akhirnya Tuhan kasih kamu rezeki sakit dan membuatku khawatir. Di fikiranku terus bertanya, apa kamu sudah makan? Sudah minum obat? Apa kata dokter? Kamu masuk kerja gak ya hari ini? Dan lain lain
Kamu mulai bercerita sedikit demi sedikit hingga akupun sedikit lega. Dan hal-hal manispun kamu lakukan :) itu seperti bukan dirimu yang dulu aku kenal, tapi aku tau itu kamu. Kamu yang menyayangiku mungkin lebih dari aku menyayangimu
Dan
Aku jadi suka diskusi sama kamu, padahal dulu aku tidak suka sama sekali diskusi
Aku jadi suka kalo di perhatiin kamu, padahal dulu aku bisa perhatiin diri aku sendiri
Aku jadi suka telfonan sama kamu sampai berjam-jam, padahal aku benci sekali di telfon
Aku jadi suka melakukan sesuatu ketika sama kamu, diskusi sama kamu, dan bahkan di telfon tiba-tiba sama kamu, Itu semua adalah sebagian kecil yang aku suka ketika ada kamu
Aku tau ini berlebihan, but its real. Sesuatu yang nyebelin bisa aku diskusikan dan tak pernah habis topiknya bahkan waktu berjam-jam pun terasa cepat.
The last but not least, semua hal tentang kamu itu menarik, menarik perhatianku.
I know you read this mas, i don't know if i don't have you in my life and i wanna say
Aku sayang kamu+++++++++++🫶🏻
✍🏻: @rsintiyaaa
2 notes · View notes
diksi-faa · 11 months
Text
Seberkas Cahaya
Ia kungkung besarnya dilema dalam sukma. Hingga hampir tersesat dalam kubangan tak berarah. Terlena oleh derita, terlarut dalam luka, dan terpana dengan neraka. Syukurnya cahaya baik masih berpendar didada. Perlahan, senyum manis berbalut ikhlas menghiasi jiwanya.
Bukan karena apa dan siapa. Tapi karena dirinya sendiri yang menyadari. Bukan sebab mengapa dan bagaimana. Tapi sebab Ilahi yang menggerakkan hati
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam 🖤
~Tulisan anyar 24 Mei 2023, Faa
7 notes · View notes
udien-nasionalis · 6 months
Text
Hiduplah dengan indah dan bahagia setiap hari tanpa alasan dan kepastian,
Karna kamu sudah di beri suatu kesempatan hari ini dan akan hilang suatu kesempatanmu di kemudian hari.
-udiennasionalis
4 notes · View notes
seleralekaki69 · 2 years
Text
blog baca Ku biarkan istriku main dengan lelaki yang lain
penasaran dengan isi cerita bisa di klik link berikut >>>> https://bit.ly/3pBvxdY <<<<
Tumblr media
49 notes · View notes
pluiemagie · 1 year
Text
Tentang Rina (7): Petrichor
“I don’t mind spending every day
Out on your corner in the pouring rain
Look for the girl with the broken smile
Ask her if she wants to stay a while.”
(She will be loved – Maroon 5)
“Udah jam lima nih. Gue balik duluan ya, guys,” pamit Tasya sambil merapikan meja kerjanya.
“Eh, gue ikut!” seru Lea dari balik kubikel.
“Kerjaan lo belum beres, Na?” tanya Tasya.
“Iya, nih, belum. Kalian duluan aja,” ujar Rina sambil tersenyum.
“Kita duluan, yes. Semoga cepet kelar. Jangan nginep di kantor. Haha,” kata Lea.
Rina tertawa kecil. “Yaudah gih. Tiatiyaa kalian. Bentar lagi beres kok, nih.”
Kedua temannya itu pun berlalu. Gadis itu melihat sekilas jam tangannya yang menunjukkan pukul lima lewat lima belas. Matanya kembali berkutat di depan komputer. Ia sibuk menyelesaikan laporan pembangunan hotel yang perusahannya sedang garap itu. Dan besok pagi, ia harus memberikan laporan itu kepada atasannya.
Lima belas menit kemudian, ia keluar dari ruangan kerjanya. Saat sudah tiba di lantai satu, matanya menangkap pemandangan sore ini. Awan gelap menggelayut manja di atas sana. Cuaca sore ini berkebalikan dengan suasana hati Rina yang secerah mentari pagi di musim semi. Tidak ada hal istimewa yang terjadi sebenarnya. Semuanya berjalan seperti biasa. Entah, perasaannya hanya sedang bagus saja belakangan ini.
Ia berjalan di depan lobi dan berpapasan dengan seorang pria yang beberapa hari lalu memberinya roti lapis.
“Hai, Rina,”
Gadis itu pun menatap arsitek muda yang sedang digrandungi teman-teman kantornya itu. Pria itu tengah berjalan mendekat ke arahnya.
Rina mengangguk sopan dan memberikan senyum sekilas sebagai balasan.
“Baru pulang?”
“Iya, Pak.”
“Mau bareng? Kebetulan lagi bawa mobil. Mau hujan juga, kan,” tawar Devan sambil sekilas melihat ke arah luar.
“Oh, Pak Devan duluan aja,” tolak Rina.” Saya mau ke masjid dekat sini.” Rina mengangkat tangan kiri yang dilingkari jam tangan. “Sebentar lagi magrib.”
“Wah, iya juga, ya,” ujarnya sambil melirik jam tangan miliknya. “Saya juga deh kalo gitu.”
Gadis itu tidak punya alasan untuk menolak lagi, mereka berdua pun berjalan menuju masjid yang berada tak jauh dari kantor Rina. Berjalan bersisian tanpa ada yang membuka percakapan. Satu informasi lagi yang Rina dapat hari ini, bahwa laki-laki itu ternyata memiliki agama yang sama seperti yang dianutnya.
“Selesai salat, tunggu di sini, ya,” ujar Devan menarik Rina dari dunianya sendiri.
Usai menunaikan salat, Rina duduk di selasar masjid, menunggu Devan. Gadis itu bersandar pada pilar dan memejamkan kedua matanya. Gerimis mulai jatuh membasahi bumi. Ia menghirup dalam-dalam aroma petrichor sore itu. Sejak kecil, Rina menyukai sekali aroma khas yang dihasilkan oleh perpaduan air hujan yang bertemu dengan tanah itu. Senyum terbit dari bibir gadis berkerudung biru itu.
Tanpa gadis itu sadari, Devan sedang memandanginya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Pria itu menatap dalam diam, juga tidak berniat menghampiri gadis itu. Setelah beberapa menit berlalu, Rina membuka matanya dan merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.
“Yuk.” Devan sudah berada di sebelah Rina.
Rina memasang raut wajah bingung.
“Pulang bareng, kan?” tanya pria berkemeja biru langit itu.
“Pulang bareng? Hmm.. kayaknya  kita beda arah deh, Pak,”
“Haha. Sok tau banget. Emang tinggal di mana?”
“Di Cawang, Pak.”   
Devan menggangguk beberapa kali.
“Yaudah, ga apa-apa, bareng aja.”
“Lho, Pak Devan emang tinggal di mana?”
Pria itu melenggang menuju mobilnya tanpa menjawab pertanyaan Rina.
***
“Nanti saya turun di Stasiun Sudirman aja, ya, Pak Devan”
Alih-alih melajukan mobilnya menuju rumah tempat yang diminta Rina, Devan memarkirkan mobilnya di depan café Pioggia, tempat pertama kali mereka bertemu.
“Lho, Pak, kok kita…”
“Saya laper. Makan dulu ya.”
Tak menghiraukan ucapan Rina, pria itu turun dari mobil dengan sebuah payung. Hujan masih turun meskipun tidak terlalu deras. Melihat Devan yang sudah turun dan menunggunya di luar mobil, gadis itu pun turun dari mobil, meskipun dengan berat hati. Yang ia inginkan saat ini hanyalah cepat sampai di rumah dan berisitirahat, mengingat besok perusahaannya akan mengadakan rapat kembali dengan tim arsitek perusahaan tempat Devan bekerja.
Pria itu dengan sigap menaungi Rina dengan payung yang ia genggam begitu gadis itu keluar dari mobil. Kemudian, mereka berdua masuk ke dalam café dan disambut oleh seorang pelayan wanita. Pelayan itu dan beberapa pelayan lainnya terkesiap saat mereka berdua sudah berdiri di depan counter. Rina penasaran mengapa mereka terlihat terkejut.
“Apa karena mba-mba itu kaget liat cowo ganteng kayak Devan, ya?” batin Rinasambil memandang Devan yang tengah sibuk melihat menu yang ada di display.
Menurut Rina, secara penampilan, Devan bisa dibilang menarik. Pria di sebelahnya itu cukup tinggi, berbadan tegap dan atletis -terlihat dari otot yang tercetak di kemeja yang dikenakan pria itu-. Devan memiliki rahang yang tegas, potongan rambut yang rapi, dan wajah yang tampan.
“Eh, tampan? Ralat. Lumayan ganteng. Eh, cakep. Ah, terserahlah,” Pikiran Rina kembali berulah.
“Mau pesan apa?” suara Devan membuyarkan self-talk Rina.
“Yang enak apa?” Rina ikut bergabung melihat menu, tetap menjaga jarak dari Devan.
Devan menunjuk dan menjelaskan menu yang menurutnya terbaik di café itu.
“Oh, yaudah samain aja kalo gitu,” jawab Rina.
Devan berjalan beberapa langkah di depan Rina dan memilih meja di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Devan membuka pembicaraan setelah mereka duduk.
Rina mengangguk beberapa kali.
Gadis itu enggan bertanya balik. Ia memilih diam saja.
“Kamu selalu kayak gitu ya?”
“Maksud, Pak Devan?”
“Pen…diam?” Devan berhati-hati saat mengucapkannya.
Rina tertawa lepas, memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Pendiem apanya,” ujar gadis itu dengan menepuk sebelah tangannya di udara. “Karena baru kenal aja, Pak. Aslinya saya malu-maluin tau, Pak.” Gadis itu tertawa kembali.
Devan tersenyum memandang Rina. Ini pertama kalinya pria itu melihat gadis ini tertawa di hadapannya.
Senyuman di wajah Devan hilang tatkala pesanan mereka datang.
“Emang saya keliatan kayak gitu, Pak?” tanya Rina setelah berterima kasih kepada pelayan yamg mengantarkan pesanan mereka.
“Ga usah manggil ‘Pak’ bisa ga?” protes Devan. “Panggil Devan aja,” lanjutnya.
“Okeee,” respon Rina sambil menyatukan ibu jari dan telunjukknya membentuk huruf O. “Jadi, apakah saya keliatan pendiem?” tanya Rina lagi.
“To be honest, pertama kali saya liat kamu….” Devan menggeleng, enggan melanjutkan. Di hadapannya, Rina yang sedang menunggu kelanjutan kalimat pria itu dengan saksama pun mendengus.
“Ah, ga seru nih Pak Devan.”
Dipanggil dengan embel-embel ‘Pak’ lagi membuat mata pria itu membulat yang dibalas oleh senyuman pura-pura bersalah dari Rina.
“Devan, maksudnya,” ralat gadis itu.
“Udah, makan deh. Keburu dingin.”
Selesai makan, mereka berdua masih belum beranjak dari kursi masing-masing, memandang hujan yang masih juga setia mengguyur Jakarta malam itu dari balik jendela café.
“Ujannya awet ya.” Rina membuka percakapan.
“Iya nih. Mau pulang sekarang?”
Rina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Berapa yang tadi?” tanya gadis itu sambil mengaduk tas, mencari dompetnya.
Devan mengernyitkan keningnya tanda tak mengerti.
“Yang tadi. Makanannya berapa harganya?”
“Ya ampun. Ga usah lah. "It’s on me. No worries,” sahut Devan.
“Eh, tapi, kan….”
“Lain kali gantian Rina traktir saya, ya.”
Gadis itu mengacungkan kedua jempolnya, menyetujui ucapan Devan.
Rina bersikeras menolak tawaran Devan untuk mengantarnya pulang ke rumah dan Devan yang di depan kemudi juga tak mau mengalah. Jadilah, mobil melaju ke daerah Rina tinggal. Mereka banyak berbincang selama perjalanan. Akan tetapi, tiap kali Rina membuka topik mengenai pekerjaan, Devan selalu mengalihkan ke topik lain. Pria itu sepertinya enggan membicarakan pekerjaan. Baginya, pekerjaan cukup dibicarakan di waktu kerja.
 “Ngomongin yang lain aja, ya, jangan kerjaan mulu. Mumet,” ujarnya disertai tawa kecil.
Mobil Honda HRV putih yang dikendarai Devan mendarat mulus di jalan di dekat kediaman Rina. Gadis itu tidak ingin diantar hingga di depan rumahnya karena ia merasa belum terlalu dekat dengan pria di sebelahnya itu. Ia memutuskan untuk turun di gang dekat rumahnya.
“Yakin sampai sini aja?” tanya Devan saat Rina melepas sabuk pengaman.
“Iya, gapapa, Pak, eh, Dev. Udah deket, kok.”
“Okee. Take care, ya.”
“You too. Hati-hati di jalan.”
Devan membuka jendela dan melambaikan tangannya ke arah Rina setelah gadis itu turun. Gadis itu pun tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan mobil pria tersebut. Devan mengamati Rina dari dalam mobil sambil tersenyum. Ia merasa bahagia menghabiskan waktu dengan gadis itu. Ditambah lagi, gadis itu banyak tersenyum dan tertawa malam ini, tidak seperti pertemuan-pertemuan awal mereka. Devan berharap ia bisa semakin dekat dengan gadis itu. Gadis yang dulu pernah menangis di dekatnya. Namun, mungkin gadis itu tak mengingatnya atau bahkan tak mengetahui bahwa diam-diam, Devan mengamatinya di hari itu.
Find out the previous chapters here:
7 notes · View notes
apriliakinasih · 1 month
Text
Senja dari Balik Kaca Jendela
Sore ini, sambil menunggu waktu berbuka, aku membawa laptopku ke ruang tamu. Aku lalu membuka e-book, dan menenggelamkan diri pada halaman demi halaman buku yang sedang kubaca. Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba kulihat ada cahaya jingga pada kaca jendela ruang tamuku. 
Seketika aku tahu bahwa itu adalah sinar matahari senja. Saat itu juga, aku langsung bergegas untuk melihat senja dari balik jendela. Aku duduk di kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan matahari yang membulat besar dan—sebenarnya—menyilaukan. Tapi walau bagaimana pun, aku selalu menyukai matahari senja. 
Ketika aku sedang menikmati pemandangan, tiba-tiba aku teringat akan satu mimpiku. Mimpi yang dulu pernah mengakar kuat dalam hatiku. Sebuah mimpi sederhana, yang entah bisa atau tidak terwujud di masa depan. 
Mimpiku itu adalah memandangi langit senja lengkap dengan mataharinya yang besar, dengan seseorang yang kucintai. Dulu, aku ingin kelak bisa menikmati senja bersamanya. Tapi saat ini, aku bahkan sudah melupakan dirinya. Dia sudah lama pergi dari hatiku. Itulah kenapa tadi aku mengatakan bahwa aku tidak tahu apakah kelak mimpi itu bisa terwujud atau tidak. Karena aku tidak tahu, apakah dia ditakdirkan untukku atau tidak.
Senja memang begitu indah, dan terkadang bisa membawa pikiran kita pada mimpi kita yang indah—meski mimpi itu sudah lama sekali. 
(19 Maret 2024|17:47 WIB)
3 notes · View notes
narizka · 7 months
Text
Ada yang tersembunyi
Kita sama sama tahu bagaimana menyembunyikan perasaan satu sama lain
Untuk tetap bertahan tanpa rasa canggung.
Bukan karena jarak
Tapi waktu yang tidak tepat
Bukan salah cinta
Tapi masa yang berbeda
Mungkin terlihat seperti aku tidak memperhatikan, tapi aku melihat dan memperhatikan mu. Mulai dari nafas yang kau hembuskan hingga pantulan wajah mu yang tergambar jelas dari kaca televisi yang sedang memperhatikanku seolah aku tak tahu. Dengan wajah kebimbangan, sedih dan bahagia. Tapi mata itu berbicara. Kesedihan sedang menguasaimu.
19/9/23 -sby
5 notes · View notes
soldanluna · 1 year
Text
Belum Saatnya
Ntah kapan aku tidak teliti dalam memindahkan benih-benih yang datang, benih yang tertinggal itu tumbuh begitu saja. Perlahan ia mengeluarkan akarnya, batangnya kecilnya telah tumbuh, tak tega ku merusaknya alih-alih " dia tidak akan tumbuh secepat itu". Namun kenyataannya sekarang dia hanya menunggu mekar untuk menjadi bunga nan indah tiada duanya.
Akhirnya aku mencabut bunga yang siap untuk mekar itu dan aku pindahkan, karena sang pemilik belum siap untuk merawatnya, karena tanahnya untuk tumbuh dan menjaganya masih belum bagus.
Maafkan aku yang membiarkan rasa ini tumbuh, akupun sentak terkejut dengan pertumbuhannya. bukannya diri ini tidak mau tapi tidak siap, melihatmu yang akan tumbuh menjadi bunga indah yang menyejukkan hati di tanah setengah gersang tidaklah elok, meski rasanya sakit untuk mencabutnya itu akan lebih baik dbanding sakit melihat sebuah bunga cantik yang layu. Tumbuhlah ketika tanah telah menjadi subur, ditampung rapih didalam vas yang bercorak, diberikan pupuk yang baik, disiram air yang selalu ada saat dibutuhkan, dan ketika aku sudah belajar cara merawatnya.
Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama, kali ini kuserahkan semuanya padaMu sang Maha kuasa, sang Maha Cinta, dan yang Maha Pemilik Cinta..
Rabu 8 Februari, almazah
9 notes · View notes
summerinbali · 1 month
Text
berkaca pada langit dan kemudian bayanganku muncul tepat di bumi
kelak kamu akhirnya sadar kalau aku hanya perempuan biasa. suka menangis, dalam bahagia atau sedih atau kelegaan. aku suka bersolek dengan berbagai riasan. aku tidak puitis, hanya mampu mengartikulasikan sejuta hal dan perasaan yang muncul dalam benak ini. aku tidak romantis juga, aku hanya suka mencintai dan dicintai. aku juga bergerak dengan arus yang mengalir di sekitarku. alhasil, senandung yang kurapalkan sama seperti kebanyakan orang yang kamu temui di toko baju ternama, transportasi umum, atau bahkan di lorong rumah sakit. lalu, film yang aku kisahkan ke kamu pun mungkin kamu bisa temukan aku dalam perempuan lainnya. aku tiada unik, tiada beda.
2 notes · View notes
wardunarian · 11 months
Text
hayyy ...🥹🥹...apakah kepergianmu ini akan mengisaratkan aku utk menunggu?
apakah kau akan kembali lagi untukku?
tentang pergi dan meninggalkan pasti ada yg trtinggal syg, kenangan tentang kita,tentang genggam yg sempat erat lalu lepas,tentang peluk yg seakan satu namun runtuh ...
bolehkah aku ibaratkan ttg pergimu seprti matahari? yg akan kembali esok hari dgn terang yg sama?
aku tdak apa apa menikmati malam sendirian tanpa kau ...walau aku tahu kau bersinar di belahan bumi lain .. .dan aku tunggu kau kembali utk mnemui aku dgn cahaya fajarmu... ....
Tumblr media
5 notes · View notes