Tumgik
#fiksi
pemintalkata · 9 months
Text
Bandung dan Kenangan
Stasiun Bandung hari ini dan 5 tahun yang lalu tidak banyak berubah.
Setelah 5 tahun, akhirnya aku berani menginjakkan kaki di bumi pasundan ini. Bumi yang katanya lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
Masih pagi saat aku turun dari kereta keberangkatanku. Aku memutuskan untuk cari sarapan dulu sebelum nanti siang check in hotel.
Pilihanku jatuh pada bubur ayam. Ah 5 tahun yang lalu juga sama, sarapan bubur ayam juga saat tiba di Bandung. Bedanya ada yang jemput dan menemani. Sedangkan kali ini harus bisa sendiri.
Tidak ada agenda khusus terkait keberangkatanku ke Bandung kali ini. Hanya kangen saja. Sembari mencoba apakah aku sudah mampu kembali berjalan di Jalan Braga tanpa genggaman tangannya.
Haha, agaknya dari sini kalian sudah tahu bahwa cerita kali ini penuh dengan kepedihan.
Setelah selesai sarapan, aku memutuskan untuk pergi ke Masjid Raya Bandung. Mau menumpang mandi dan duduk-duduk sebelum pukul 12 nanti beranjak untuk ke hotel.
Tidak ada itenerary yang aku siapkan. Karena seperti kataku tadi, perjalananku ke Bandung kali ini hanya sekadar untuk mengenang. Mengenang kenangan yang entah benar-benar harus disimpan atau sebetulnya lebih baik direlakan.
Aku tiba di hotel tempatku menginap tepat pukul satu siang. Aku memutuskan untuk tidur sampai sore datang.
Kalau dibilang tanpa tujuan sama sekali, mungkin kelihatannya aku sedikit berbohong. Karena ada satu tempat yang ingin aku kunjungi meski hanya sebentar. Braga adalah satu-satunya tempat yang ingin aku kunjungi kali ini. Kopi Toko Djawa lebih tepatnya. Tempat yang terlalu mainstream tapi aku selalu kangen tempat yang satu itu.
Siapa lagi yang mengajakku ke sana kalau bukan dia yang sempat hidup di masa lalu? Haha, selalu begitu. Selalu ada satu kenangan yang paling dominan saat selesai dengan suatu hubungan.
Sayangnya, Kopi Toko Djawa memang memiliki tempat tersendiri di hidupku. Bagaimana tidak, dulu di salah satu tempat duduknya, ada aku dan dia yang saling bertukar cerita dengan raut wajah berbinar setelah berbulan-bulan terpisahkan ratusan kilometer jauhnya. Selalu seperti itu setiap bertemu. Lalu bagaimana aku bisa lupa?
Setelah puas menikmati suasana dan kudapannya, aku pun beranjak dari tempat dudukku. Aku keluar dari Kopi Toko Djawa tepat saat gerimis turun. Untunglah aku belum memesan taksi online. Jadi kuputuskan untuk masuk kembali ke dalam sembari menikmati hujan yang membasahi jalanan Braga.
Tidak ada harapan aku akan bertemu dengan laki-laki yang pernah aku panggil "Mas", karena saat ini aku tahu sudah ada perempuan yang ia panggil "Neng" dengan begitu mesranya.
Setelah hujan berhenti, aku segera memesan taksi online. Seharusnya bisa sejak tadi, toh naik taksi, tidak akan kehujanan. Tapi aku masih mau berlama-lama di toko ini, sebelum esok aku kembali ke kotaku.
Aku sampai di kamar hotel dan membantingkan tubuhku ke atas kasur. Bandung mulai dingin. Aku meraih handphone-ku dan melihat deretan instragram story yang silih berganti. Hingga akhirnya aku tiba pada story miliknya. Iya, milik laki-laki pertama dan mungkin terakhir yang mengajakku ke Kopi Toko Djawa.
Aku dan dia memang sama-sama memilih untuk tidak saling unfollow ataupun block. Kami mengakhiri hubungan kami secara benar, jadi tidak ada yang perlu saling menyingkirkan.
Mataku terbelalak saat aku tahu dia menampilkan potret berdua dengan kekasihnya di Kopi Toko Djawa. Haha, semesta tidak merestui aku dan dia berjumpa rupanya.
Tapi setidaknya malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Selain bisa menginjakkan kaki lagi ke Bandung, selain karena sudah ke Kopi Toko Djawa, dan selain karena Bandung dingin malam ini, aku tahu satu hal lagi. Iya, ternyata tempat favoritnya masih sama. Masih Kopi Toko Djawa, meski yang ia gandeng berbeda. Semoga perempuan itu tidak pernah tahu bahwa kekasihnya pernah sesering itu mengajak perempuan di masa lalunya ke kedai kopi yang sama.
Dan doaku, semoga perempuan itu tidak bernasib sama dengan aku. Yang pernah diajak ke Kopi Toko Djawa dan dilepaskan di stasiun Bandung dengan derai air mata.
51 notes · View notes
tulisanmimi · 6 months
Text
"Kamu tahu apa kalimat yang paling bullshit untuk kondisi kita saat ini?"
Keheningan menyelinap diantara pembicaraan kami.
"Waktu akan menyembuhkan luka."
"Bukankah itu memang benar Ka?" Jawabku.
"Waktu tidak pernah benar-benar menyelesaikan dan menyembuhkan Din. Kita hanya terbiasa dengan rasa sakitnya sampai waktu berlalu dan tidak merasakannya lagi. Tapi, jika ini tentang impian. Waktu hanya membuatmu terlupa sesaat dan impian itu akan hadir lagi di kemudian hari entah sebagai penyesalan karena kamu ga pernah mencoba dan mengusahakan atau dia akan hadir membawa hikmah terlepas apapun hasilnya."
21 notes · View notes
manifestasi-rasa · 8 months
Text
Jalan dan jajan mungkin adalah dua hal yang erat dengan kita, ya? Entah sudah berapa kali ajakan jalan dan jajan muncul di percakapan kita.
"mie sentosa mau nyoba?"
"Gass"
"Ayo ke patjarmerah, ada Agus magelangan"
"Agendakan"
"udah sarapan? Mau nyoto, ndak?"
"Boleh."
Aku yang selalu berinisiatif, dan kamu yang sesekali menahan namun seringnya mengiyakan. Kata kita, kita hanya teman. Tapi teman-teman tidak menganggap demikian. Selalu ada hal lebih diantara kalian, katanya. Pelengkap satu sama lain, kata mereka. Tapi kita hanya mengendikkan bahu. Katamu: asumsi memang seringkali jahat, padahal mereka tidak tahu bagaimana yang sebenarnya. Tapi, apakah kita sendiri tau apa yang sebenarnya? Kamu tahu? Aku tidak.
Kita seperti berjalan beriringan di jalan yang tiada pencahayaan. Barangkali suatu waktu kita akan berada pada persimpangan. Dan kita menuju arah yang berbeda. Barangkali. Barangkali aku tiba-tiba berbelok atau berbalik arah tanpa kamu tahu. Barangkali. Barangkali kamu berhenti dan aku terus melaju tanpa saling tahu. Barangkali. Sebab kita beriringan saja, tidak bergandengan. Kehilangan salah satu adalah mungkin. Atau barangkali kita memutuskan untuk memasang lampu-lampu untuk penerang jalan, memastikan bahwa jalan yang kita tempuh akan sampai pada tujuan bersama, menyatukan pegangan sebab meyakini bahwa berjalan bersama akan membawa kita lebih jauh dan dalam pada makna. Barangkali. Who knows?
23 notes · View notes
coklatjingga · 4 months
Text
Tumblr media
Cerita (Sangat) Pendek
Aku mencintaimu," bisik pemuda itu pada selembar rindu yang dikirimkan kekasihnya minggu lalu.
Sudah banyak bulan ia lalui bersama setumpuk harapan yang datang setiap pekan. Dari kekasihnya yang jauh dari genggaman.
Entah sampai kapan. Entah masih ada kesempatan atau justru pupus di tengah jalan. Begitu sulit di antara keduanya menggelar pertemuan.
Pemuda itu melipat kembali lembar rindu beraroma mawar merah di tangannya.
"Aku hanya punya impian, semoga kau sabar menantikan," bisiknya sekali lagi. Satu tetes kecewa jatuh dari sudut netra. Pemuda itu tertangkap basah menangisi rindu bersama aroma tubuh kekasihnya.
11 notes · View notes
guratpena · 1 year
Text
fiksi
apakah manusia dan cerita cinta diantaranya hanyalah kisah fiksi? yang alur ceritanya adalah buatan, tanpa melibatkan rasa.
apakah manusia dan cerita cinta diantaranya hanyalah kisah fiksi? yang ucap rindunya adalah buatan, meski sebenarnya hati enggan melakukan.
apakah manusia dan cerita cinta diantaranya hanyalah kisah fiksi? yang harap temunya adalah buatan, walaupun nyatanya merasa direpotkan oleh pertemuan.
apakah manusia hanya bisa mengharap fiksinya terwujud?
22 notes · View notes
nonaabuabu · 1 year
Text
M E M B I R U
b a g i a n p e r t a m a
sebuah cerita bersambung, ditulis sebagai project menulis tahunan di @komunitaspuanberaksara
'Kamu mungkin hanya benci kenyataannya Ul, bahkan di antara brengsek itu nggak ada yang memilihmu jadi pasangannya, menyedihkan.’
Gema suara Lalita masih menyisakan separuh kekosongan dalam diriku, sedang separuhnya lagi adalah amarah. Lalita tidak akan tahu, dan tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menyingkirkan kebohongan-kebohongan orang lain atas nama cinta. Aku sudah sangat fasih melakukannya, bagaimana mungkin perempuan sepemuja cinta sepertinya memahami itu?
Sudahlah, aku terlalu muak bahkan hanya untuk membayangkan bagaimana Lalita yang super cerdas mendadak bodoh oleh obsesinya terhadap dongeng, ya tentu saja bukan dongeng gadis korek api, tapi cinderella. Seorang putri yang menunggu peri penolongnya di malam sunyi untuk bisa mendapatkan pangeran. Lupa, jika ia mau ia juga tak butuh pangeran untuk membuatnya bahagia. Lalita jelas memiliki otak, tidak mungkin ia tidak berpikir. 
“Masih mikirin masalah kamu sama Lalita?”
Ditra meletakkan proposal kegiatan yang akan dilaksanakan organisasi kami di hadapanku. Aku membukanya sekilas, bahkan tak berminat untuk melihat detail acara yang sudah ia susun rapi.
“Jadi ke dekanat hari ini? Kayaknya pak Wir ngajar di kelas Mitigasi.” 
Ditra tak mengubris perkataanku, ia malah mengeluarkan rokoknya, menyandarkan diri dengan nyaman, melipat kaki lalu menatapku penuh. Hari ini kami berencana meminta tanda tangan untuk persetujuan akhir proposal kegiatan yang akan kami laksanakan bulan depan, dan itu adalah persetujuan dari pak Wirahadi dosen beberapa mata kuliah, termasuk mitigasi sekaligus civitas yang merangkap sebagai wakil dekan tiga, yang dalam salah satu perannya mengawasi kegiatan kemahasiswaan.
“Lalita cuma orang yang tahu apa yang dia mau Ul, sama kayak kamu tahu apa yang kamu mau.”
Ah, si brengsek ini, menggurui lagi.
Ditra adalah salah satu teman baikku di kampus, kendati karena memiliki dosen wali yang sama, kami juga mengambil banyak kelas yang sama, ironisnya lagi kami berada di organisasi yang sama. Kami mengikuti salah satu unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang penelitian, khususnya penelitian bioteknologi kelautan. Ya jangan bayangkan seberapa banyak anak ini mencampuri urusanku, mungkin juga salahku terlalu banyak bercerita kepadanya.
“Aku lagi ngga butuh komentar apa-apa Dit, kalau mau merokok silakan lanjut, aku lebih baik ke laboratorium duluan, Anisa udah telpon daritadi, ada jadwal asistensi.”
Aku berdiri tergesa, menarik proposal dengan asal, berlalu dan tak memedulikan panggilannya lagi.
Aku tahu, mungkin Ditra benar. Tapi itu juga tidak memberikan penjelasan bagiku kenapa Lalita bereaksi sejauh itu. Kenapa Lalita bersikap seolah semua pemikiranku adalah omong kosong yang tercipta dari rasa tersingkir? Apa argumenku atas pilihannya adalah sebuah penghakiman hingga ia juga berhak menghakimiku?
Semua ini dimulai dua hari yang lalu, aku cukup merasa malu dengan fakta jika aku harus terlibat dengan hal tidak penting seperti ini. Ya meski pada akhirnya sikap Lalita lebih menyita pikiran dari semua itu. Aku bahkan memikirkannya semalam suntuk. Jelas saja, meski tak memiliki predikat mahasiswa berakhlak baik, aku tak pernah memiliki masalah apapun, terlepas itu kepada dosen, kakak tingkat, seangkatan apalagi adek tingkat. Aku terlalu sibuk membangun duniaku sendiri, sebab aku tahu banyak hal yang lebih menyita perhatian daripada menciptakan permusuhan.
Awalnya aku dan Lalita hanya mengobrol biasa, di depan sekretariat himpunan saat menunggu Ditra meminta tanda tangan ketua himpunan untuk acara organisasi kami yang akan dilaksanakan, kebetulan kami akan melaksanakannya secara nasional mau tidak mau kami memakai atas nama jurusan demi kredibilitas. Lalita mulai bercerita tentang kegundahan hatinya, ya apalagi kalau bukan perihal laki-laki. Semua obrolan itu menjadi runyam saat ia mengatakan bahwa dia rela melakukan apapun untuk laki-laki yang ia cintai.
Aku yang awalnya mendengarkan dengan seksama sontak bereaksi, dan perdebatan itu tak terelak. Aku bersikeras dengan argumenku bahwa ia tak perlu melakukan apapun untuk kekasihnya yang dalam ceritanya bagiku terdengar brengsek. Bagaimana tidak, sudah seminggu ini kekasihnya menghindarinya karena alasan sedang sibuk kegiatan kampus, padahal di antara kesibukan itu Lalita melihat beberapa kali kekasihnya makan bersama dengan perempuan lain. Mengetahui itu Lalita dan kekasihnya sempat beradu argumen, hingga ada kata-kata yang dalam cerita Lalita menyudutkannya, saat itulah ia mengatakan padaku bahwa ia rela melakukan apapun, termasuk berhenti mengikuti kegiatan mahasiswa demi bisa menemani kekasihnya. 
Keadaan semakin buruk saat aku memintanya membuka mata dan tak perlu terbuai dengan cinta. Lelaki itu juga paling menyukainya hanya karena wajahnya yang rupawan makanya bersikap kurang ajar. Mungkin bagian ini aku keterlaluan, tapi Lalita adalah gadis cantik juga pintar, ia jauh dari kata-kata bahwa perempuan cantik itu cenderung tak memiliki isi. Setidaknya di mataku Lalita memiliki kelasnya sendiri, kelas yang tiba-tiba meluncur ke bawah karena dongeng cinderella yang dia impikan.
Menyedihkannya, Lalita tak terima dengan semua yang aku katakan. Ia menunjuk tepat diwajahku dan berkata pedas sebelum akhirnya berlari meninggakan gedung sekretariat.
“Kak Ulya, halo kak Ulya!”
“Eh, gimana?”
“Kak Ulya nggak ada kelas? Ini udah 13.15 loh!” Anisa rekan sesama asisten laboratorium menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan jam yang sudah menunjukkan 13.15, jam kelas siang dimulai.
Aku berdiri terburu-buru, mengambil tas dan berlari menuju pintu laboratorium. Karena memikirkan Lalita aku nyaris melupakan jika hari ini aku punya kelas pengganti untuk biodiversity dan sialnya lagi dosen pengampunya adalah bu Sumara yang tidak pernah mentolerir keterlambatan. Pernah sekali aku terlambat, dan bahkan hanya dengan gerakan mata saja aku dan beberpa mahasiswa lainnya yang terlambat menyingkir dari pintu kelas. Padahal keterlambatan kami karena adanya praktikum bioteknologi di laboratorium unoversitas, yang jaraknya cukup jauh, sehingga aku dan beberapa mahasiwa lainnya terlambat. Aku jelas tak ingin terjadi kedua kalinya, bu Sumara adalah salah satu dosen yang meski dihindari mahasiswa karena galak dan suka mengadakan kuis dadakan, tapi urusan mengajar beliau sangat jelas dan detail menjelaskan. Bagiku ia ada dalam kategori dosen terbaik di jurusan.
Akan sangat aku sayangkan melewati kelas beliau. Maka, aku menerobos lorong gedung laboratorium yang masih dipenuhi adik tingkat yang sedang menunggu giliran asistensi, melewati gedung dekanat dan berbelok cepat menuju gedung tempat jurusanku berkuliah. Sekilas aku melihat Ditra melambai padaku dari arah gedung dekanat, aku tak memedulikannya. Waktuku tak banyak. Aku terus menaiki tangga dengan napas tak beraturan hingga akhirnya sampai, tanpa berpikir panjang aku membuka pintu kelas dengan satu hentakan.
Napasku masih tersengal saat dosen yang mengajar di kelas itu melihatku kebingungan. Aku menahan napas sejenak, mengedarkan pandangaan. Dan ini lebih menyeramkan dari terlambat kelas bu Sumara, aku salah kelas.
Tatapan itulah yang mengunciku sesaat, hingga dalam detik yang amat singat namun terasa panjang aku tenggelam sejenak. Barangkali jika saja dosen yang sedang mengampu tidak berdehem, aku akan terjebak di sana lebih lama. 
Sesaat setelah kesadaranku kembali, aku menunduk lalu meminta maaf kepada dosen yang mengajar, memutar kepala ke seisi kelas, meminta maaf. Beberapa dari mereka hanya diam, mungkin kaget sedang beberapa lainnya tertawa, mungkin ekspresiku cukup menghibur.
Saat aku ingin menutup pintu undur diri, sekali lagi aku beradu pandang dengan salah satu mahasiswa dalam kelas tersebut. Detik itu kembali menghentikan gerakanku, aku mengambil jeda sebentar untuk mengenalinya, jika tadi adalah tatapan yang membuatku tenggelam maka sekarang adalah tatapan yang membuatku bertanya. Aku cukup percaya diri untuk yakin tak memiliki masalah dengan sosok itu, hingga cukup aneh jika ia menatapku sedemikian nyalang. Seolah aku baru saja membuatnya marah, atau lebih tepat seolah aku adalah orang yang paling ia benci di dunia ini.
Tunggu, bagaimana bisa seseorang dalam waktu satu menit mengubah caranya menatap kepadaku? 
Sialnya, aku tak berhenti mempertanyakan itu dan memikirkan tatapannya hingga berhari-hari kemudian.
lanjut bagian kedua
24 notes · View notes
cellularn · 16 days
Text
The First Page
Tumblr media
Bau khas buku baru menguar di penghidu, memasuki jam rawan overthinking, perempuan berpakaian serba hitam dengan aksen merah pada tas jinjing itu menetapkan keputusan untuk bersantai di bagian pojok perpustakaan demi ketenangan pikiran walau sementara. Petang menjelang malam adalah waktu terbaik untuk sekadar melamun atau membiarkan diri larut dalam ratus lembar kertas berisi ragam peristiwa, begitu cara pikirnya.
“Mbak Ay, nggak bosen pinjem buku mulu?” untuk hari ini perempuan itu tidak sendiri, selepas menjemput adik paling bungsu ia pergi ke perpustakaan demi sebuah buku kurang dari seratus halaman yang baru dihadirkan dua hari lalu.
“Nggak,” jawab sang puan apa adanya. Ia senang meminjam buku sebab tak punya cukup ruang untuk mengoleksi buku di dalam rumah.
Laki-laki yang sejak tadi menemani hanya berdiam, sesekali mengecek ponsel dan memainkan permainan di ponsel, lalu kembali merecoki dengan melongok ke sampul buku di genggaman kakak perempuannya. “Itu baca apa, Mbak?”
Melihat gerak-gerik adiknya yang tampak begitu jauh dari kata nyaman, bukunya ditutup sebentar. “Iden sebentar, ya, Mbak mau healing. Kamu kalo mau ke kedai sebelah boleh aja, nanti Mbak telepon, oke? Bukunya tipis, kok.”
‘Tipis apanya? Itu bahkan lebih tebel dari LKS matematika?’ ujar Aiden dalam hati saat menatap setebal apa buku tersebut. Menurut dugaan Aiden yang melongok diam-diam, sepertinya ada 300 lebih halaman.
Sedikit jengkel, adik laki-lakinya menggerutu. “Ih, orang nanya doang. Tapi uang aku abis, Mbak. Tadi ketinggalan jadi cuma kebawa 10 ribu, itu pun hasil selipan tas.”
Saking pengertiannya, wanita itu terkekeh, oh jadi ini alasan mengapa Aiden hanya melamun tidak jelas di sebelahnya. “Mbak transfer ke GoPay, sana, gih, kamu di sini malah gangguin Mbak.”
“Mbak udah bilang Bunda?” sepulang sekolah, biasanya Aiden sama sekali tidak diperbolehkan pergi berkelana oleh kedua orang tua, itu kesepakatan mutlak. Bila ingin keluar bersama teman, Aiden akan pulang ke rumah terlebih dahulu dan izin kepada Ibunda tercinta karena Ayah belum kembali dari bekerja. Maka dari itu, perizinan membawanya sampai hampir malam ini dipertanyakan pada sang kakak.
“Udah. Kata Bunda nggak apa, dia bilang sekalian ajak kamu baca, tapi kamunya kan ogah-ogahan, Mbak nggak mau maksa. Jadi ntar Mbak bilang Bunda aja kamu ke kedai. Maaf, buku ini cuma ada satu stok aja, jadi Iden ikutan Mbak ke sini,” tuturnya sedikit menyesal.
Aiden menyengir. “Gak papa, Iden ngerti Mbak butuh refreshing. Makasih, ya, Mbak. Iden ke sebelah. Love you!”
“Hm, too. Mbak transfer sekarang, nanti cek.”
Sang adik dengan celana abu-abu serta sweater biru dongker mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik jajaran rak menjulang.
***
Rak dengan ribuan koleksi buku menjadi rumah kedua bagi seonggok pria bertubuh semampai. Shift sore-malam menjadi tanggungan per akhir bulan ini untuk sementara dikarenakan temannya perlu merawat putri kecil yang dikabarkan dirawat sebab terjangkit demam berdarah.
“Tadi banyak yang balikin buku, tapi belum aku taruh di rak lagi, tolongin ya, Sal.” Pinta wanita penjaga perpustakaan kecil itu setengah memohon.
“Sip, nanti saya rapiin. Cepetan, Kak, nanti Iren keburu ngerengek nyari Mamanya,” ucapnya santai, toh dirinya bukan seseorang yang banyak sibuk, tak masalah bila terkena pergantian shift seperti sekarang.
Dengan tergesa-gesa, Ibu satu anak itu melambaikan tangan. “Iya, nih. Makasih, ya, Sal!”
“Sama-sama, Kak Gauri!”
Usai berkoordinasi, pria itu secara cekatan membereskan tasnya, meletakkan di dalam boks besar khusus menyimpan barang pribadi sebelum mendorong tumpukan buku-buku hasil pinjaman ke tempat semula.
Ekor mata si pria menangkap seorang wanita mengerutkan alisnya di pojok ruangan, wajahnya tampak sedikit tidak bersahabat sebab tatapannya terkunci seakan sudah menyatu dengan lembar per lembar buku bacaan.
Baru kali pertama si pustakawan melihat orang sebegitu serius membaca, ia terlalu banyak menengok pengunjung yang membaca di dalam tak betah dan berakhir hanya melamun alih-alih menghabiskan seratus lembar buku. Ah, sepertinya ia terlalu lama menelaah sampai lupa ada banyak hal untuk dikerjakan.
***
“Mas, kalo saya pinjamnya sekitar sebulan boleh nggak?” tiga tumpuk buku dengan halaman ratusan mendarat di meja dekat pintu tempat di mana para pustakawan biasanya melayani.
“Sesuai sama peraturan di sini, belum bisa, Kak. Maksimal dua minggu seperti biasa,” jelas sang pustakawan.
“Duh, saya ada acara di luar kota dan perkiraan waktunya sampai satu bulan. Boleh, dong, ya?” rayu perempuan di hadapan dengan binar melasnya.
Masih dengan senyum, pria itu menghela napas. “Kalau gitu kenapa nggak beli aja bukunya, Kak?”
“Rumah saya udah jadi gudang buku, Mas, udah nggak ada space lagi. Saya di jalan bosen nih, nggak ada buku.”
“Buku elektronik banyak, nggak perlu sewa sebulan, lho.” Solusi diberikan pada—si ngeyel—pelanggan pertamanya hari ini.
“Buku fisik lebih nyaman dibaca, Mas. Satu bulan, ya?” entah berapa lama ia perlu merayu agar luluh hati pria ini, yang jelas ia perlu buku itu untuk menemani perjalanan panjangnya yang dimulai dari akhir pekan.
“Ini bukan langganan Spotify, Kak. Kalau mau bayar denda 200.000 per buku pinjaman karena telat dua minggu. Gimana?” tawarnya. Itu sesuai peraturan absolut perpustakaan, di mana satu buku telat dikembalikan selama satu minggu, maka satu lembar uang merah menjadi pengganti.
“Mas, emang beneran se-nggak bisa itu? Saya langganan di sini, udah ada booklabs card juga, masak iya nggak ada privilege?” binaran putus asa sekarang dijadikan senjata demi rayuan terakhir.
Namun, reaksi pria itu masih teguh pendirian. “Mau poinnya sampai 100.000 pun nggak akan ada privilege sewa buku satu bulan, tertera di sana tulisannya mendapat buku segel gratis jika poin mencapai 4.000, ‘kan? Nggak ada tulisan ‘Anda akan mendapat kesempatan meminjam buku lebih dari tenggat waktu yang tercantum’. Saya cuma orang yang jaga, Kak, nggak bisa ambil keputusan juga.”
“Aduh, ya udah, deh. Kira-kira dua yang lain ini bakal ada yang keep nggak dalam waktu sebulan ke depan?” perkiraan ia akan meminjam kembali adalah sebulan lagi, ia ingin memastikan apa bisa setelah kembali dari kegiatannya ia pergi kemari untuk segera meminjam buku tersebut.
Raut wajah pria itu tampak berpikir. “Ya ... tergantung. Karena ini buku keluaran terbaru dan kami nggak punya banyak stok, kemungkinan ada.”
“Keep buat saya bulan depan, bisa, Mas—“ dibacanya nama di bagian dada sang pustakawan. “Salim?”
Mendengar namanya disebut, Salim terkekeh, “nggak bisa, Kak.”
“Capek, deh.” Perempuan itu menepuk jidatnya, kemudian memisahkan buku paling tebal untuk dipinjamnya dua minggu ke depan. “Ini dicap dulu, Mas, saya jadi pinjam yang ini aja.”
“Sebentar, ya.” Pria yang dirasa memiliki tingkat kesabaran rendah tetapi mudah mengendalikan itu mengecap kartu yang diselipkan di halaman paling depan buku sebagai keterangan dengan stempel berlogo perpustakaan bernama “booklab.studio” dan memberikannya pada wanita di depan meja.
“Member card-nya dibawa?”
“Ini, Mas.” Ia menyodorkan kartu bercorak minimalis khas interior perpustakaan.
Salim memindai kode dari kartu tersebut supaya poin beragam keuntungan itu menambah dan bisa ditukarkan dengan buku gratis saat jumlahnya mencapai 4.000 poin.
“Terima kasih, Kak Ayla. Have a good day!” di sana pula Salim mengetahui siapa nama pelanggan yang memohon padanya tadi.
“Serius nggak bisa sebulan?” masih juga.
Salim tertawa. “Nggak bisa, Kak.”
Ayla memanyunkan labiumnya. “I will not have a good day, fyi.”
Serius, pria itu tak hentinya terkekeh melihat bagaimana bibir wanita itu tertekuk karena inginnya tak dituruti. Mau bagaimana lagi, Salim bukan siapa-siapa yang mampu seenak jidat mengubah peraturan berdasar luluh lewat cemberut. “Smile. It'll be help. Kalo ada bukunya, saya hubungi.”
Langkah yang semula ingin melewati pintu kembali berbalik. “Lewat?”
“Dari member card kan ada alamat e-mail. Nanti saya kabari lewat e-mail.” Tunjuk Salim pada komputer di hadapan. Membuktikan bahwa perkataannya benar.
“Yes! Thank you, ya, Mas Salim!” binaran ceria kini menghiasi wajah manisnya, ia bergegas pergi dengan langkah bergegas, tak lagi lesu seperti sebelumnya.
Pria tersebut bergeleng. Ada-ada saja jenis manusia masa kini.
2 notes · View notes
megandarii · 1 month
Text
Kala Hujan-6
April 2013
Jangan ajari Alan arti sabar, sudah lebih dari satu bulan ia menahan diri untuk bicara dengan Hujan yang masih dengan konsisten mendiamkannya. Sebelumnya, ia merasa sudah sangat mengenal Hujan, tapi kali ini ia jauh dari mengerti. Pada akhirnya Alan hanya diam di tempat, tidak mencoba dekat ataupun pergi. Hujan sendiri terlalu gengsi untuk meminta Alan kembali. Bagi Hujan, ini masalah harga diri. Sementara untuk Alan, jaga jarak dengan Hujan adalah hal paling tepat yang bisa dilakukan lelaki sejati dalam situasi ini.
Karena itu, Alan makin sering menghabiskan waktu bersama teman-teman lainnya. Sabtu ini pun mereka berencana tracking ke Gunung Papandayan, menginap di sana barang semalam. Alan butuh waktu menjernihkan pikiran, melepaskan Hujan untuk sejenak, jadi ajakan itu mustahil ia lewatkan. Sementara Hujan, makin menyibukkan diri dengan kegiatan UKM Jurnalistik yang ia ikuti sejak tahun lalu. Setiap hari pulang larut malam karena harus kuliah dan meliput, kemudian menulis berita. Sampai di kostan hanya sempat mandi dan makan, lalu langsung tertidur lelap karena kelelahan. Tidak sempat untuk mengkhawatirkan hatinya sendiri.
Sabtu ini, Hujan tau Alan dan teman-temannya akan pergi naik gunung. Salah satu anggota rombongan yang akan berangkat mengajak Hujan ikut serta, namun Hujan menolaknya. Ia belum siap menghadapi Alan. Alhasil, agenda Hujan diakhir pekan hanyalah menghabiskan waktu di kostan, dengan setumpuk bacaan yang sudah ia siapkan hasil meminjam dari perpustakaan. Menjelang sore, Hujan menyalakan televisi, mencari channel berita. Seorang jurnalis tidak boleh ketinggalan isu-isu terkini, menurutnya. Hingga muncullah berita tentang bencana kebakaran hutan di Gunung Papandayan. Kebakaran tersebut baru saja terjadi, dan yang ada dipikiran Hujan hanyalah Alan. Refleks Hujan mengambil handphone dan menelepon nomor Alan. Tapi tidak ada jawaban. Hujan berusaha menelepon teman-teman lainnya, tapi nihil. Tak satupun bisa dihubungi. Yang kemudian terlintas dipikiran Hujan adalah Keenan.
"Halo, Keenan."
"Ya?"
"Help."
"Ann? Are you ok? Tenang dulu. Ada apa?"
"Alan. Papandayan. Kebakaran," jawab Hujan terbata.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, Keenan memahami perkataan Hujan. Ia tau Alan dan teman-temannya tengah mendaki sejak pagi ini. Dan... Papandayan, kebakaran, tak elak ia membayangkan hal-hal buruk terjadi.
"Kamu di mana?"
"Kostan."
"Kamu siap-siap. Aku ke sana sekarang, jemput kamu."
Bermodalkan mobil pinjaman salah seorang teman, Keenan dan Hujan berangkat menuju Garut. Sebagai ketua angkatan, Keenan merasa perlu memastikan kondisi teman-temannya. Tapi sebagai mantan, entah kenapa Keenan ingin membantu Hujan memastikan kondisi pria yang secara tidak sadar sangat disayanginya.
Dalam perjalanan sejauh 96 KM dengan waktu tempuh lebih dari 3 jam, Keenan dan Hujan tak saling bicara. Menjelang maghrib keduanya baru tiba di pos pertama. Berkat berita kebakaran sore tadi, situasinya jadi cukup ramai. Keenan dan Hujan turun dari mobil dan bergegas menuju pusat informasi. Namun sayang, informasi yang mereka dapatkan hanya sebatas, 'rombongan teman-temannya belum kembali karena tidak ada satupun laporan tentang mereka sampai saat ini'. Hujan merogoh handphone dari dalam tas, berusaha menghubungi Alan, lagi. Tapi gagal. Ia sendiri kesulitan mendapat sinyal. Kondisi itu hanya membuatnya makin frustrasi.
"Tenang. Kita tunggu dulu. Mungkin mereka dalam perjalanan turun," Keenan berusaha menenangkan.
"Tapi sekarang sudah hampir malam, Nan. Gimana kalau ternyata mereka terjebak di sana karena asap?"
"Mereka bakal baik-baik aja. Percaya sama aku."
"Nan, kita nggak bisa ke atas aja, ya? Minta izin, Nan. Kita harus cari mereka."
"Nggak bisa, Ann. Bukan gitu cara kerjanya."
"Tapi mereka nggak bisa dihubungi. Sampai sekarang belum ada kabarnya. Nan, kalau mereka kenapa-napa gimana?" Hujan mulai menangis, membayangkan hal buruk menimpa Alan membuat hatinya nyeri.
"He's gonna be okay. I promise," Keenan mengelus bahu Hujan. Melihat Hujan menangisi pria lain bukan sesuatu yang ingin ia hadapi saat ini, tapi kakinya menolak pergi.
Satu jam. Dua jam. Hari sudah gelap. Tidak satupun wajah dari teman-temannya yang terlihat di antara rombongan pendaki yang turun gunung.
"Kamu tunggu aja di mobil. Aku keluar sebentar cari informasi."
Hujan hanya mengangguk setuju.
Keenan berjalan menuju pos informasi, sampai kemudian, Keenan melihat seseorang yang ia kenal. Diki, teman sekelas Hujan.
"Diki!" Panggilnya lantang sembari berlari.
Mendengar namanya dipanggil, Diki menoleh. "Lho, kok ada di sini, Nan?"
"Gua liat di berita, terus buru-buru ke sini bawa mobil. Kalian gimana?" Keenan menepuk-nepuk bahu Diki dengan raut khawatir.
"Kami berhasil turun, tapi Alan..." kalimat Diki menggantung.
"Alan kenapa?"
"Kakinya terkilir karena jatuh saat berusaha lari. Makanya kami butuh waktu cukup lama buat turun dari lokasi camp ke sini."
"Oh, God. You scared me," Keenan menghela nafas lega.
"Yang lain di pos, buat laporan. Alan lagi diobati di ambulan sebelah sana," Diki menunjuk salah satu ambulan tak jauh dari pusat informasi.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Ann di sini, biar gua antar dia ketemu Alan dulu, ya."
"Ok. I'll see you later."
Keenan bergegas menghampiri Hujan, "Mereka selamat."
"Really? Oh thanks God. Mereka di mana sekarang?"
Tanpa menjawab, Keenan membuka pintu mobil, menarik lengan Hujan, membawanya bertemu Alan.
Alan masih berada di ambulan. Kakinya hampir selesai dibebat oleh salah seorang perawat. Hujan yang melihat Alan lantas berlari menghampiri. Di detik yang sama, genggaman tangan Keenan terlepas dan langkahnya terhenti.
"Alan!" panggil Hujan dari kejauhan.
"Hujan?"
Sesampainya di hadapan Alan, yang Hujan lakukan hanya satu, memeluknya.
"I'm okay," kata Alan setelah beberapa saat.
Hujan melepas pelukannya. Matanya memerah, hidungnya basah, pipinya sudah dibanjiri air mata.
"Jelek banget ya kamu kalau lagi nangis," canda Alan sambil tertawa. Satu tangannya mengelus kepala Hujan.
"Kamu nggak apa-apa? Yang lain mana?"
"Kakiku cuma terkilir. Yang lain aman. Mereka lagi laporan di pos. Kamu kok bisa ke sini?"
"Sama gua, Lan," jawab Keenan sambil berjalan menghampiri.
Alan tak mampu mengantisipasi situasi ini, jadi ia tak bisa merespon dengan kata-kata, hanya wajahnya yang menyiratkan kebingungan.
"Syukur kalian nggak apa-apa. Kami khawatir banget waktu dengar beritanya."
"Thank you, anyway."
"Well, gua ketemu anak-anak dulu ya," Keenan meninggalkan Alan dan Hujan.
"Kok bisa sama Keenan?" tanya Alan setelah memastikan Keenan menjauh.
"Kalian sama sekali nggak bisa dihubungi, satu-satunya yang terpikir cuma Keenan. Setelah aku telepon dia langsung jemput dan ngajak aku ke sini."
"Kupikir dia marah sama aku."
"Mungkin dia ke sini buat mastiin kondisi anak-anak sebagai ketua angkatan."
"Kamu udah nggak marah sama aku?"
"Gimana bisa aku marah saat yang aku bayangin adalah kamu terjebak di atas sana tanpa bantuan?"
Alan tersenyum lembut, "Aku kehilangan kamu. Kangen kita yang dulu," pinta Alan dengan wajah memelas.
Hujan ingin bilang, 'Aku juga kehilangan, kangen kamu, tapi bukan lagi sebagai teman.'
Otak dan hatinya tidak sedang selaras, jadi yang terucap dari mulut Hujan hanya, "Aku juga."
Alan tersenyum, satu tangannya refleks merengkuh Hujan dalam dekapan. Antara lega atau semakin mempertegas luka, Alan tidak peduli. Ia hanya ingin Hujan ada, entah dengan status apa. Pintanya saat ini hanya untuk bersama Hujan, selama yang ia bisa usahakan.
Dari kejauhan, Keenan menyaksikan bagaimana Hujan dan Alan berbaikan. Meskipun sudah berstatus mantan, ada perasaan tidak rela yang mencuat ke permukaan. Namun Keenan juga sadar, bahwa sejak awal, melepaskan Hujan adalah jenis kekalahan yang tidak bisa ia tawar.
Rangkasbitung, 6 Maret 2024
Find the previous story here:
2 notes · View notes
tulisanmimi · 4 months
Text
"Fa, buatku setiap hari adalah hari untuk ibuku. Bagaimana menurutmu Din?"
"Aku juga sepakat Fa. Rasanya merayakan ibu tidak akan pernah cukup untuk sekali setahun saja. Tidak akan pernah sebanding dengan segala perjuangannya. Apalagi taat musiman dengan membuat tulisan, snap atau postingan tapi lupa bantu cuci piring, baju atau yang lainnya dirumah. Tapi untuk yang merayakan, itu juga tidak apa-apa. Setiap kita mempunyai cara masing-masing untuk membahagiakan orang tua, terutama bakti pada ibu."
9 notes · View notes
diary-sunflower · 10 months
Text
Yang ingin membaca cerita genre healing fiction, buku ini saya rekomendasikan. Dulu, saya mengira drama Korea, novel Korea identik dengan romansa cinta-cintaan yang bagi sebagian orang (termasuk saya kadang-kadang), membosankan. Tapi membaca ini, membuat pandangan saya berubah. Novel ini menawarkan cerita yang sederhana. Para tokoh yang sepaket dengan karakter dan masalah mereka, dapat kita temukan di lingkungan sekitar. Mungkin ini tentang saya, dia, mereka atau kamu.
Salah satu pesan dalam novel ini ialah bahwa setiap orang memiliki masalah, masa lalu dan penyelesaian masalah yang berbeda. Namun, di antara semua keruwetan hidup, ada kehangatan yang dapat muncul hanya dengan kebaikan yang mungkin bagi kita tak seberapa, tapi ternyata memiliki dampak yang luar biasa bagi orang lain. Kadangkala, kita cukup dengan hanya menjadi pendengar yang baik, bahu untuk bersandar bagi mereka yang sedang lelah, memberikan sesuatu dari hati --meski mungkin niat awalnya tidak begitu, tapi seiring bergulirnya waktu, kita menemukan makna ketulusan.
Minimarket Always memang merepotkan. Tapi jika ada yang seperti itu di dekat tempat tinggal saya, rasanya menyenangkan juga untuk dapat singgah sebentar.
Tumblr media
7 notes · View notes
coklatjingga · 8 months
Text
(Cerbung) Dear, Aksa
Hai, Aksa.
Suara rintik hujan yang jatuh di atas genteng malam ini membuatku kembali mengingatmu. Sudah sewindu berlalu, namun cerita tentangmu masih menjadi tema besar dalam hidupku. Entah sampai kapan.
Rintik yang turun di halaman rumah ternyata juga membasahi pipiku. Tanpa ada kamu yang siap mengeringkannya seperti dulu. Sapu tangan biru tua penuh garis itu, masihkah setia di kantung celanamu?
Begitu banyak kisah, Aksa. Begitu banyak memori yang terpaksa kusimpan dalam ingatan. Saat banyak orang menyarankan untuk membuangnya, tetap saja kujawab iya dengan pura-pura. Kau tak akan kemana-mana. Memori tentangmu akan tetap di sana.
Kini kuakui, Aksa. Tanpamu duniaku serta merta berubah. Yang dulu ada perlahan tiada. Seiring kepergianmu yang tak membiarkanku menahan sedetik saja.
Bagaimana kabar harimu di sana? Benarkah kau telah bahagia? Kau tega sekali, Aksa. Membawa seluruh impian kita berdua dan membiarkanku sendirian dalam hampa.
Kini kunikmati rintik hujan di bibir jendela, sembari memutar kembali kenangan kita di bawahnya. Saat kita menolak kalah dengan terus melaju di aspal yang basah.
***
Move On, Please
Tak kutahu jika cinta akan membawa luka sesakit ini. Setelah kepergianmu saat mimpi kita sedikit lagi.
“Tolong jangan menolak lagi. Ini sudah orang ke sekian yang kamu tolak tanpa alasan.” Suara itu lagi-lagi memaksaku menyumpal telinga dengan earphone.
Ya, aku tahu tindakan itu tidak sopan. Namun, bukankah lebih tidak sopan memaksa seseorang menerima apa yang semestinya ia tolak? Bagiku laki-laki di depanku ini sangat tidak sopan.
Ia masuk ke kamar tanpa permisi, lalu ngomel tanpa henti. Padahal ini masih dini hari. Tepatnya pukul tiga pagi. Apa di kamarnya tidak ada jam? Sampai lupa waktu begini.
“Kamu denger, kan?” Kini wajahnya turun tepat di depan hidungku. Nyaris saja kepala kami terbentur sebab kini kepalaku refleks maju, terkejut.
“Iya,” jawabku singkat dan tidak semangat.
Dialog dini hari ini sudah sering terjadi. Tepatnya setelah Ayah menolak proposal pernikahan yang Bayu ajukan. Ya, laki-laki yang kini berkacak pinggang di hadapanku. Dia kakakku, kakak satu-satunya yang selalu menjahiliku. Kami dua anak kembar yang berbeda jauh.
Kini Bayu sudah dewasa. Sudah menemukan tambatan hati dan berencana menikah, layaknya pria dewasa mapan lainnya. Sayangnya, Ayah tidak serta merta memberi Bayu izin. Ada satu hal yang menjadi penghalangnya dan itu aku. Anak perempuan satu-satunya yang masih diperlakukan layaknya bocah 13 tahun.
Ayah sangat menjagaku, melebihi Bayu. Bagi Ayah sedikit goresan di tubuhku merupakan bencana. Berbeda dengan Bayu yang memang hobi menyakiti dirinya sendiri dengan uji nyali. “Tolong bantu aku. Jangan jadiin aku korban gagal move on kamu itu."
Tanganku seketika geram hendak menyumpal mulutnya dengan buku di tanganku ...
(Bersambung)
8 notes · View notes
daffasahmillah · 10 months
Text
Pendendam
“Dek, kamu tau ga kalo berurusan sama orang yang pendendam itu yang paling ribet?” Tanyanya padaku mengawali perbincangan di cafe. Mungkin ia sedang ingin mengeluhkan masalahnya padaku.
“Ohh iya? emang kenapa bisa gitu? bukannya asal udah saling maafin itu udah selesai ya?” Tanyaku yang mulai penasaran dengan argumentasinya
“Iya, soalnya maaf itu kan harusnya disertai dengan kerelaan hati atau ikhlas. Padahal itu adalah sesuatu yang sulit di dapat dari seorang yang pendendam. Sedangkan kalo kita ga dapet maaf dari dia, itu akan mempersulit hisab kita nanti di akhirat", jawabnya atas pertanyaanku disertai tatapan khawatir yang coba ia sembunyikan. Mungkin ia sedang berurusan dengan orang yang pendendam dan risau dengan apa yang akan terjadi padanya kelak. 
"Terus apa yang akan kaka lakukan untuk mendapat maaf dan kerelaan hatinya ketika melakukan kesalahan pada orang yang pendendam ?", tanyaku mencoba menggali jawaban darinya.
"Entahlah, aku belum tau", jawabnya singkat dengan suara yang kian lirih, mungkin ia enggan membicarakan lebih lanjut masalah yang sedang dialaminya.
"Eh kamu, gimana studinya sekarang dek?" lanjutnya mengalihkan topik pembicaraan. Sepertinya dia benar-benar ingin menutup rapat masalahnya kali ini. Enggan berbagi denganku seperti biasanya. Tentu saja aku membiarkannya, tak memaksa untuk bercerita lebih lanjut. Mencoba percaya padanya, meski sebenarnya aku memendam rasa khawatir yang begitu besar.
"Entah apa yang sedang kamu hadapi, semoga kamu baik-baik saja kak", doaku dalam hati.
19 Januari 2023
10 notes · View notes
lilanathania · 4 months
Text
Sihir Buku
Ada banyak berkat yang saya rasakan dalam hidup. Salah satu yang paling saya syukuri adalah orang tua yang memperkenalkan dunia imajinasi dan sihir buku sedari dini.
Tumblr media
Salah satu kenangan masa kecil yang paling membekas adalah bagaimana setiap bulan kami pergi ke Gramedia. Di toko buku itu, papa dan mama akan membiarkan saya memilih satu buku favorit untuk dibeli. Bayangkan seorang bocah cilik yang asik menjelajahi rak-rak tinggi dengan jajaran buku dongeng. Bagi saya, 'menara' buku berwarna-warni itu sama menariknya dengan es krim dan permen. Kami selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, menikmati kebersamaan walau terpisah di lorong kesukaan masing-masing. Saya selalu ndlosor di lantai bagian buku-buku anak, membaca sebanyak mungkin sebelum memilih satu yang layak dibawa pulang. Kala itu, membeli buku sebulan sekali adalah sebuah kemewahan yang sangat dinanti-nanti.
Sedikit dewasa, buku-buku yang saya baca semakin tebal. Dari puluhan halaman bergambar menjadi ratusan lembar penuh tulisan. Dari dongeng di negeri fauna menuju kisah perjalanan penyihir, penunggang naga, dan kisah romantis remaja. Harga buku kesukaan pun semakin tak murah. Berkali-kali saya takut membawa buku yang mahal ke hadapan orang tua saya. Namun, respon mereka selalu sama, "Buat buku, tidak apa-apa!" Pola pikir ini kemudian saya terima sebagai warisan yang sakral. Untuk ilmu pengetahuan, imajinasi, dan wawasan, tidak ada kata mahal.
Suatu ketika di bangku SMA, saya pergi ke mall dengan beberapa teman perempuan. Mereka asik membeli jepit rambut, bando, dan aksesori wanita. Saya hanya melihat-lihat sambil berpikir, sayang ya beli begini kalau jarang dipakai. Tak sabar menunggu mereka, saya bergeser ke toko buku yang berada tak jauh dari situ. Setelah memilih beberapa novel, saya membayar dan kebetulan teman-teman yang sudah selesai dari toko aksesori bergabung di kasir. Salah satu mendekat dan berkata dengan kaget, "Ya ampun! Lila, kamu belanja buku banyak banget! Mahal ya sampai ratusan ribu!"
Memori itu terpatri jelas sekali di benak saya. Betul juga ya? Mau beli jepit kurang dari 20 ribu saja saya sayang. Namun kemudian saya pergi ke toko buku dan menghabiskan uang hampir 10x lipat untuk tiga buah buku :)) Di kala itu saya sadar betul bahwa papa mama telah sukses meracuni anaknya dengan dunia literasi.
Layaknya sebuah kisah cinta, perjalanan saya dengan buku tak selalu berjalan mulus. Usai lulus kuliah, saya merasa sangat jauh dari buku. Saya masih suka menulis dan membaca artikel-artikel pendek, tetapi sangat jarang membaca novel dan karya sastra panjang. Berbagai alasan saya bisikkan ke diri sendiri, kamu sudah bekerja, sekarang kamu perlu membaca report - bukan novel, kamu sibuk aktivitas lain sehingga tak ada waktu. Dari beberapa novel sebulan menjadi satu novel per bulan, lalu beberapa novel per tahun.
Entah mulai kapan, membaca menjadi sesuatu yang hanya bisa dilakukan di waktu-waktu spesial. Saya tak lagi mencari waktu untuk membaca, tapi membaca ketika ada waktu. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, dan saya selalu kesulitan untuk kembali menumbuhkan rasa cinta tersebut.
Belakangan, saya mencoba menjauhkan diri dari media sosial. Platform ini memunculkan banyak dampak negatif dan menyerap terlalu banyak energi serta emosi (saya membuat tulisan tentang media sosial di sini jika Anda tertarik membaca). Perlahan-lahan, saya memaksa diri membaca buku.
Rasanya ternyata sangat emosional. Saya menemui buku pertama yang membuat saya menangis dalam lima tahun terakhir. Buku pertama yang membuat mata saya pedas karena begadang - terlalu penasaran dengan akhir cerita. Buku pertama yang membuat saya tak sabar membaca seri kedua dan ketiganya. Buku-buku lanjutan dari kisah-kisah masa kecil yang dulu begitu saya cintai. Saya merasa seperti orang yang menemukan kembali cinta pertamanya. Sesuatu yang terasa begitu melegakan, menenangkan, dan menggembirakan. Nyaman.
Saya kemudian juga memahami bahwa rating buku sangatlah penting. Hal ini sangat terasa ketika membaca ulang buku-buku dengan target pembaca dewasa yang dulu saya lahap ketika masih SD atau SMP. Ternyata, buku-buku itu memberikan warna dan makna yang begitu berbeda. Apa yang dulu membingungkan atau terasa begitu abstrak, sekarang dapat saya maknai dengan jelas. Kutipan yang berkata 'You never read the same book twice' memang benar adanya. Membaca karya apik memang terkadang butuh lebih dari sekali agar tak ada inti sari yang terlewat.
Seorang dosen dan sahabat saya pernah berkata, "Membaca itu bukan hobby tapi habbit". Ada masanya membaca memang perlu dibiasakan sebelum lama-lama menjadi suatu hal yang akan kita rindukan ketika tidak dilakukan. Saya begitu bersyukur bahwa orangtua saya memperkenalkan pada dunia sejuta warna ini. Tanpa mereka, tak mungkin saya menjadi seorang pembaca seperti hari ini. Di dunia yang serba cepat dan instan, membaca adalah salah satu jalan keluar untuk kembali mendapatkan kenikmatan yang meresap secara perlahan. Suaka nyaman untuk melangkah di trotoar kata-kata menuju dunia imajinasi.
4 notes · View notes