Tumgik
#ketakutan bangkit
nonaabuabu · 8 months
Text
Melawan Rasa Takut
Akhirnya tangis yang aku tahan berbulan-bulan ini pecah, saat Ayah mengiyakan untuk aku pulang. Ada rasa takut dan ada pula rasa lega karena akhirnya berani keluar dari zona yang telah membuat aku merasakan waswas setiap waktu.
Kesekian kali aku kehilangan diri, kesekian kali aku menemukan itu lagi. Kehilangan diri kali ini sebab ketakutan akan sesuatu yang perlahan mengikis nalar dan nurani. Tentu membuat kehilangan tujuan hidup yang pernah kubangun untuk membuat aku bangkit dari rasa terpuruk.
Aku berkali-kali menyakinkan ini ke diri sendiri, berdiskusi dengan orang sekitar, berdoa kepada Tuhan hingga akhirnya aku memilih kalah untuk materi yang menjanjikan demi hal yang membuat aku merasa tenang.
Sejujurnya aku lebih ingin pulang, menikmati kehidupan desa yang kadang tetap berisik oleh kejulidan tetangga. Tapi masih ada peer yang harus aku bawa pulang, dan aku butuh sejenak untuk pengalaman yang lebih banyak.
Terlepas bagaimana nanti Tuhan mengatur semuanya, aku masih ingin mengusahakan yang terbaik untuk hidupku. Dan kali ini dengan menekan semua ego dan kembali melihat dunia dengan perspektif yang lebih positif.
—Somewhere only I know, 05 September 2023
21 notes · View notes
jejaringbiru · 1 year
Text
Selamat Hari Ayah
Tumblr media
@padangboelan​
Begitu berat beban ditumpuan kakimu.
Tapi, tak mau pula engkau berbagi padaku.
Mengapa? Tanyaku.
Katamu...
Aku mencintaimu.
Tak perlu kau risaukan aku.
Bebanku adalah tanggungjawabku.
-Ayah kepada aku
@manusiafajar
Kala itu, matanya selalu tegar pun waspada, membangkitkan semangat pada jiwa, membangunkan urat harapan dalam raga.
Kala itu, tak ada keraguan, langkahnya mengalahkan ketakutan, genggamannya menghantarkan hangat juga rasa aman.
Seiring berjalannya waktu, tatapan itu mulai sayu, langkahnya tak sekekar dahulu, tidak bertambah cepat, tapi ia kokoh penuh ketenangan, kebijaksanaan.
Sentuhan indah bertambah dari biasanya, aku tahu itu melawan banyak keegoisan, banyak belajar dari pengalaman, dan karenanya hatiku-pun bertambah banyak kasih sayangnya.
Satu yang tak berubah, cintamu tak pernah banyak terdengar dari kata dan suara, ia penuh pembuktian, ia penuh kepastian.
Allah menjagamu selalu, Abi. Putrimu menyayangimu sepanjang waktu.
@penaalmujahidah​
Bapak, aku tak menemukan cinta pada kata-katanya Sebab bapak jarang bicara Aku pun tak pernah merasakan cinta dari pelukannya Sebab bapak tak pernah melakukannya saat aku sudah dewasa Tapi aku tahu, lewat mata hati kami yang bertemu Ternyata cintanya juga tak kalah besar seperti cinta ibu Aku tahu, bapak tak ingin terlihat air matanya jatuh di hadapan anaknya Sebab ia takut tak lagi dianggap kuat karenanya
Bapak, adalah sosok yang mengajarkanku tentang bagaimana cara lelaki mencintai Bahwa cinta tak perlu banyak kata Tapi lakukan dengan aksi nyata sebagai buktinya
Bapak, yang selalu berusaha membuat anak isterinya bahagia dengan cara yang ia bisa Meski kadang dianggap tak berharga Sedikit pun tak pernah kulihat gurat kecewa di matanya
Bapak, yang mengajarkanku banyak hal dengan kelakuannya Meski kadang aku kesal karena keroyalannya Pasalnya, terkadang ia memberi saat kami sendiri sedang membutuhkannya Tapi ia selalu berhasil menjelaskan dengan makna terbaik yang dapat aku cerna Seperti katanya suatu ketika "Ne, pemberian yang kita lakukan kepada orang lain akan kembali kepada kita dalam bentuk yang berbeda. Meski bukan kita yang merasakannya, tapi ketahuilah bahwa orang-orang di sekitar kita yang dapat merasakan dampaknya."
Bapak, hanyalah lelaki tua yang tak pernah mengenyam pendidikan sempurna Bahkan sekolah dasar pun ia tak sampai habis pada ujungnya Namun bapak tetaplah bijaksana di mataku Sebab pengalaman hidup yang telah mengajarkan banyak hal kepadanya Bapak, laki-laki pertama yang akan selalu membuatku jatuh cinta Meski kini tubuhnya telah renta Namun ia tetaplah lelaki perkasa, selamanya
@isnahidayatifauziah
Terima Kasih Ayah
Terima kasih sebab dulu kau membiarkanku terjatuh, kini aku mengerti bagaimana caranya bangkit kembali.
Terima kasih sudah menjaga radius pertemananku, kini kau nyaman berada di lingkaran pertemanan yang mendekatkan pada kebaikan.
Terima kasih sebab tidak pernah lelah mengingatkanku agar selalu menjaga mahkota diri. Kini aku memahami betapa pentingnya penjagaan ini.
Terima kasih sudah melarangku untuk mengunjungi tempat-tempat yang tidak bermanfaat. Kini aku mengerti, Tempat-tempat itu hanya akan meliarkan syahwat.
Terima kasih sudah melarangku mengikuti trend-trend kawan-kawan seusiaku. Kini aku mengerti bahwa mengikuti setiap trend hanya akan membuat diri berlelah dalam payah.
Terima kasih untuk ruang-ruang diskusi yang selalu kau sediakan. Kuakui dari sana aku sedikit mencuri bijakmu dalam mengurai masalah.
Terima kasih untuk setiap lelah yang bahkan dengan seumur hidupku tak mungkin dapat kubalas. Untuk untaian doa-doamu yang tak kudengar, tapi terbukti membawaku hingga ke titik kuseksesan ini.
Maaf dulu seringnya kusambut segala sayangmu dengan kemarahan, bahkan kuakui maki pernah terkata di hati.
Sekarang aku paham, aku paham betapa perjuangan serta penjagaanmu begitu luar bisa untukku.
Kepadamu lelaki yang mengejawentahkan cinta dalam senandung perjuangan, aku minta maaf juga berterima kasih.
106 notes · View notes
badaipuantelahberlalu · 8 months
Text
Perihal luka sebab pengkhianatan tidak akan pernah menjadi perkara mudah untuk disembuhkan. Ada hari-hari yang harus dilewati dengan rasa rendah diri dengan suara dalam kepala yang terus bertanya "Apa salahku?". Ada malam-malam panjang yang harus dihadapi dengan penuh ketakutan dan isak tangis, menyalahkan diri sendiri tiada habis.
Perlahan aku mengerti, bahwa hati manusia akan semakin sulit menerima jika tidak menyertakan keyakinan bahwa segala hal yang terjadi di hidup ini merupakan kehendak-Nya. Kendali atas jalan takdir manusia sepenuhnya ada pada-Nya.
Maka, sembuhkan dengan hati lapang. Maafkan yang sudah menyakiti. Perlahan kembali bangkit dan percaya, tidak ada badai yang selamanya. Sebab dunia adalah tempatnya rasa lelah, namun jangan pernah menyerah.
14 notes · View notes
rembulansenja1997 · 1 month
Text
Semenjak menjadi ketua tim komunitas, aku menyadari bahwa aku harus tetap survive dan kuat. Menjalani setiap hari dengan stay calm dan teratur walau banyak hal yang mengecewakan dan menyakitkan di luar sana. Bagaimana supaya diri ini 'tidak roboh' di atas tanaman-tanaman tanggung jawab. Ya, pekerjaan baruku ini yang katanya orang bersifat 'tepi jurang' memanglah tidak mudah namun aku sangat menyukainya.
Di sini aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa ada embel-embel takut dijudge. Tanpa juga ada tatapan sinis orang-orang yang meremehkan mimpiku dan menganggap tidak penting. Sungguh, aku lebih takut jika justeru pekerjaanku tidak membuat impact positif bagi orang-orang; ketimbang itu hanya sekedar dihargai dengan formalitas berkedok uang dan dry text basa-basi atasan.
Sungguh, menjadi pemimpin itu tidak mudah. Apalagi perempuan yang rentan dengan perasaan-perasaan. Ketakutan pastilah ada, keraguan, dan hal-hal kebaperan lain. Namun aku mengingat satu lagi--ketika rasa tak becus itu hadir. Aku memulainya karena siapa? Jika bukan sekarang kapan lagi? Ya, aku bisa bangkit lagi ketika bangunan tanggung jawab itu menyapaku, anak-anak yang berharap mimpinya dipeluk, dihargai, dan dihormati; Bayangan yang menjadi motivasiku dan juga penguatku. Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan warna dengan kehadiran mereka!
Tumblr media
4 notes · View notes
iradatira · 1 year
Text
Menjelang dua puluh lima
Dulu, saat masih di tahun terakhir bangku sma, aku pernah menuliskan target capaian hidupku dari masuk kuliah hingga 20-30 tahun kedepan. Kenapa aku masih ingat dengan hal tersebut? Karena aku memotretnya, dan tidak sengaja aku melihat foto tersebut, kubaca ulang beberapa bulan ini. Tentu saja aku tertawa geli melihat roadmap hidupku yang dirancang oleh gadis belia umur 18 tahun itu.. sisi lain, aku salut dengannya karena dia sangat berani bermimpi, walau pengetahuannya tentang dunia pasca kampus sangat terbatas.
Berikut target yang ditulis gadis lugu itu saat usia 18 tahun: Lulus kuliah 3,5 tahun IPK di atas 3,5 cumlaude Skripsi A Setelah S1 langsung S2 di UI atau UGM dan lulus cumlaude Di umur 24 menikah
Bagaimana? Mbanyol bukan? Wkwkwkw Tentu saja yang terjadi kenyataan hidupku tidak semulus demikian. Banyak sekali ketakutan, kegagalan, dan plot twist kehidupan yang terjadi.
Kenyataannya aku justru mengalami: -aku lulus 4 tahun 3 bulan -lulus dengan IPK ngepres 3,5 wkwkw -skripsi tetap A tapi ini dengan penuh perjuangan, karena harus wawancara berbagai stakeholder saat karantina wilayah (PSBB) pandemi covid19 yang sedang tinggi. -ada beberapa kali sesi patah hati yang menguras energi wkwkkw, tapi juga membuatku bangkit dan sadar bahwa aku bisa membahagiakan diriku sendiri. Aku tetap bisa bersinar dengan atau tanpa orang lain. -sebelum lulus sempat merasa hampa dan hilang arah apakah ingin menjadi pekerja sektor publik, bekerja di bidang swasta, menjadi peneliti kebijakan publik, atau bekerja di bidang lembaga swadaya masyarakat/yayasan. -setelah lulus aku sempat merasa hopeless karena NGO atau perusahaan incaranku menolakku berkali-kali, mentok hanya sampai sesi wawancara. selama mengalami masa penolakan pekerjaan inilah sebenarnya mentalku sedang di posisi terendah.
Aku berusaha keras membangun rasa berharga diriku bukan dari pekerjaan dan gajiku, tapi apa yang bisa kulakukan untuk sekitarku dan bagaimana diriku bisa tetap memaksimalkan potensi. Saat itulah aku mengisi waktuku dengan mengajar les, mengikuti berbagai kelas online dan offline, aktif di berbagai komunitas, semata agar aku bisa menemukan rasa cukup dalam diri, perasaan bahwa aku berharga dan layak untuk menggapai mimpi-mimpiku meski jalanku terjal sekalipun.
Sekarang usiaku mendekati 25, belum menikah, belum S2, sedang menjalankan tugas sebagai relawan guru Indonesia Mengajar (biasa disebut Pengajar Muda) di ujung Kalimantan Barat selama satu tahun. Dann, di tengah penugasan ini ternyata aku mengalami kecelakaan, yang membuatku harus meninggalkan kabupaten penempatanku beberapa saat dan kembali ke kota asalku untuk operasi dan pemulihan…
Bagaimana rasanya? Tanyaku pada diri sendiri… Bagaimana memperjuangkan mimpi yang ternyata banyak likunya, banyak nangisnya. Berkali-kali merasa insecure dan ga berharga karena merasa banyak banget menghadapi kegagalan dan penolakan.
Bukan, bukan maksudku mendramatisir merasa jadi manusia paling berjuang, yang ingin kubagikan adalah, perjalanan hidup seseorang itu sangat personal, bisa jadi lintasanku tidak seterjal lintasanmu, begitupun sebaliknya. Namun tidak menjadikan apa-apa yang telah kita perjuangkan tidak berharga, tidak layak untuk dihargai. Kita bisa berbagi cerita satu sama lain atas apa yang telah kita lalui, bukan untuk dinilai siapa yang lebih berjuang. Melainkan agar kita bisa saling menguatkan, saling memberi petunjuk dengan empati.
Hal berharga yang kupelajari setelah 7 tahun lulus dari SMA; dunia ga harus berjalan sesuai dengan apa yang ada di kepalaku, dan itu bukanlah hal yang buruk. Aku belajar memberikan ruang penerimaan untuk mengalami kegagalan dan kesedihan atas apa-apa yang tidak berjalan sesuai harapan, meski aku sudah memberikan yang terbaik atas usahaku.
Perlahan rasa cukup itu mulai menghampiri, aku ga harus buru-buru untuk mengejar pencapaian. Karena definisi kesuksesanku sekarang tidak hanya pencapaian, melainkan perjalanan belajar itu sendiri. Bagaimana perjalanan ini membentuk diriku yang lebih tangguh, lebih tenang, lebih mawas diri, dan fokus pada memberikan dampak sekecil apapun itu..
22 notes · View notes
fadiladeen · 11 days
Text
Ketakutan
"Mana yang katanya orang *S (menyebut nama suatu daerah) mau nikah sama kamu? "
Wkwk... Berasa kena ulti ditanyakan seperti itu didepan keluarga besar. Padahal dulu cuman becanda, aku bilang belum pasti dan gak tau juga apakah dianya punya plan nikah atau gak dan maunya sama aku atau bukan haha.
Doaku akhir-akhir ini makin kencang karena sangat merasa bahwa diri ini Fitnah apalagi sejak kejadian orang dewasa masuk dalam rumah disaat aku tak memakai hijab. Kaget luar biasa dan takut kalau dilecehkan. Untung saja dia hanya mengantar barang karena kami menumpang di rumahnya.
Aku semakin dilema. Aku sangat ingin suatu saat bisa membangun rumah yang bagus untuk Ibu dan keluarga supaya tidak menumpang terus.
Aku berharap juga ditemani pasangan halal yang menjagaku dimana saja. Aku takut akan dosa-dosa. Aku takut jadi fitnah. Aku hanya ingin bangkit dari kehidupan yang fakir ini.
Semoga Allah mengabulkan hajat baik ku dengan cara terbaikNya. Aamiin
2 notes · View notes
kooyumii · 1 year
Text
Iri
Sebagai manusia, pasti kita tidak luput dari rasa iri. Terlebih lagi ketika sedang jauh-jauhnya dengan yang maha pencipta, Allah. Entah itu iri dengan harta atau pencapaian duniawi orang lain. iri mengantarkan kita pada rasa tidak tenang, dan senantiasa berpikir tertinggal dari standar-standar yang diciptakan dunia. Standar kecantikan, trend, fashion, pendidikan, dan bahkan pekerjaan. Apakah mereka yang menghamba pada dunia selalu merasa cukup dan tenang? Tentu saja tidak. Rasa iri membuat kita selalu haus. Dan akan menjalar ke sifat-sifat buruk yang menghantarkan pada kebuntuan dan minim solusi, bahkan kemaksiatan. Tentu saja hal terdekat dari rasa iri adalah insecure. Merasa rendah diri, tidak mampu, tidak memiliki motivasi, dan paling terburuknya adalah menyalahkan diri sendiri. Semua itu adalah akar dari penyakit hati dan akar dari dosa.
Tahukah kamu kalau iri adalah dosa pertama yang dilakukan iblis. Dari sifat iri tersebut, iblis merasa dirinya lebih baik daripada adam. Merasa bahwa api lebih baik daripada tanah. Dan tentu saja itu tidak benar. Iblis senantiasa mencari alasan untuk menjatuhkan adam, bahkan dengan memutarbalikkan fakta dan kebenaran setipis mungkin. Jika sifat iri iblis menuju pada sifat sombong, angkuh dan dengki. Maka kini iblis sudah bertransformasi, dengan memanfaatkan jiwa-jiwa yang sedang lemah dan jauh dari Allah, menyudutkan manusia dengan rasa insecure, kamudian menggoyahkan kestabilan hati dan pikiran, sehingga manusia merasa hina dan menyalahkan diri. Lalu iri yang tidak berkesudahan itu membuat manusia tidak mau melakukan action dan hanya ingin pasrah, mengurung diri, dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan berujung pada sifat individualis. Semuanya serba buntu, bahkan tidak ada solusi, sifat iri akan membuat siklus yang tidak berkesudahan.
Solusinya adalah dengan kembali ke rumah, yaitu kepada Allah. Karena Allah memberikan bonus spesial pada manusia yang mau bertobat, yaitu dengan menghapus dosa-dosanya. Sifat iri hanya bisa dilawan dengan rasa syukur yang akan menghantarkan pada ketenangan. Karena Allah adalah sumber dari ketenangan. Sedangkan orang yang iri, tidak akan pernah merasa tenang, selalu khawatir, cemas, dan ketakutan. Bahkan kini rasa insecure tersebut dijadikan isu hangat, dan mewajarkan tanpa ada perubahan. Ratusan bahkan ribuan pemuda masuk ke jurang ke-iri-an, dan enggan untuk berubah, sulit untuk bangkit. Maka bersyukurlah dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan jangan takut untuk bertaubat. Karena sesungguhanya Allah berfirman pada hadis Qudsi, ''Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati- Ku satu jengkal, Aku akan mendekatinya satu hasta.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Tapi ada juga sifat iri yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu iri dengan dua tipe orang. Pertama adalah orang yang dikaruniai Allah untuk bisa rajin membaca Al-Qur'an, serta mengajarkan ilmu kepada orang lain. Kedua adalah tipe orang yang diberikan harta lalu bersedekah . Sifat iri tersebut menjadikan motivasi untuk ikhlas berbuat kebaikan. Amalan kedua tipe orang itu InsyaAllah menjadi obat dari penyakit iri.
23 notes · View notes
tyanara · 2 months
Text
Apa yang Dicari Kalau Bukan Ketenangan?
Sebuah refleksi.
Memang ya, momentum saat ada di titik terendah itu bisa membangunkan semangat kita untuk berdekatan dengan Tuhan. Yang tadinya jarang sekali bisa khusyuk, saat sedih berusaha untuk bisa khusyuk. Yang tadinya jarang baca Quran, tapi kalau sedih bisa meluangkan waktu buat sekalian baca artinya. Sampai ketemu ayat ini:
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”, (QS. Al-Baqarah: Ayat 155).
Beberapa bulan terakhir sedang merasa ada di tahap lelah dan ingin berhenti berharap dengan sesuatu yang sudah diperjuangkan sedari lama. Tapi, setelah aku coba menjelaskan ke diri sendiri dengan menulis tentang apa masalahnya, akhirnya menemukan beberapa poin yang harus aku pegang untuk waktu yang lama. Kenapa untuk waktu yang lama? Karena aku sadar yang sebenarnya aku cari bukan hal-hal eksternal yang biasanya akan singgah hanya dengan rentang waktu sebentar, melainkan sesuatu yang aku dapatkan secara internal dan bertahan cukup lama, yaitu ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Dan ini akan sulit didapat kalau tidak berdekatan dengan Tuhan.
Jadi poin-poin apa yang harus dipegang dalam kurun waktu yang lama?
Lakukan semua hal karena Allah mulai dari niat, cara kita ambil keputusan, cara mengeksekusi keputusan tersebut, sampai solusi yang kita pilih apabila keputusan yang diambil keliru.
Setiap waktu yang kita habiskan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka setiap detik yang dilewatkan akan selalu dihisab.
Semua hal (apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang diucapkan, dan apa yang dilakukan) harus berorientasi ke Allah.
Pahami betul tentang apa yang Allah suka dan tidak. Biasanya yang Allah suka itu jauh lebih sulit daripada yang Allah nggak suka. Contohnya, bersyukur ketika ditimpa musibah besar, bangkit dan optimis setelah berpuluh-puluh kali jatuh di lubang yang sama, tetap terhubung baik ke Allah setelah dikasih nikmat dan musibah bergantian, etc.
Jalan hidup itu adalah pilihan. Dan yang harus diingat, setiap jalan yang diambil tidak ada yang tidak sulit, semua punya kesulitan masing-masing. Tugas kita adalah mengambil keputusan untuk memilih jalan mana yang akan dipilih, lalu bekerja keras dan berpikir cerdaslah untuk bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil dalam mengerjakan prosesnya. Kemudian pasrahkan semua hasilnya ke Rabbul’alamin. Kalau sesuai harapan ya bersyukur, kalau nggak sesuai ya sabar juga berlapang dada.
Jika ada kesulitan di tengah jalan, selalu minta tolonglah ke Allah. Pertolongan Allah itu selalu ada, tapi penting dipahami bahwa pertolongan tersebut tidak selalu datang dalam bentuk yang kita harapkan.
Kalau lelah, berhenti sebentar ingat lagi tujuan (Allah). Jangan pernah kehilangan harapan apapun situasinya karena Allah nggak ridho sama orang yang berputus asa, tapi juga jangan bersembunyi dari realitas situasi saat ini. Jangan berpura-pura atau berpegang pada delusi positif. Terimalah kenyataan dari situasi sekarang (sabar), sementara pada saat yang sama jangan pernah kehilangan harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik.
Dunia dan semua urusan di dalamnya yang kita kesulitan menghadapinya ini ternyata kecil di mata Allah. Bagi Allah, nikmat dunia itu ibarat tetesan air dari jari yang kita celupkan di laut, sedangkan seluruh air dalam lautan itu adalah nikmat akhirat. Jadi, mau sekaya raya apapun atau sefakir miskin apapun kalau nggak ada iman dan ketauhidan dalam diri ya sama saja, ujung-ujungnya neraka akan jadi rumah singgah. Kehormatan, jabatan, kedudukan, status, uang, karir, bisnis, keluarga, jodoh, pertemanan, dll itu boleh kita kejar dan kadang memang harus dikejar, asalkan tetap di dalam koridor iman dan menjadi alasan bertambahnya ketaatan.
Kebaikan itu harus dipaksakan. Allah sudah berbaik hati beri kita kesempatan nafas sampai detik ini, artinya ada kebaikan yang masih perlu kita kerjakan. Masih ada ruang untuk kita mohon ampun atas kesalahan masa lalu dan masih ada ruang untuk melakukan hal-hal baik. Kalau sedang diproses berjuang, lanjutkan! Kalau sedang bahagia, tularkan ke orang lain! Kalau sedang dikondisi lapang, bantulah yang sedang dikondisi sempit! Kalau sedang dikondisi sempit, berjuanglah untuk keluar dari kesempitan! Semua tidak ada yang sederhana, karena butuh melibatkan Allah dalam prosesnya. Ini nggak mudah, tapi tetap harus dikerjakan karena kesempatan bisa berakhir kapan saja.
Pahami mana yang menjadi ranah kendali kita dan mana yang bukan. Apa yang kita lakukan atau sikap kita ke diri sendiri maupun orang lain merupakan suatu hal yang bisa kita kendalikan. Tapi tentang respon mereka, sikap mereka, ataupun hasil dari sebuah ujian sudah bukan menjadi ranah kendali kita. Berjuanglah, bekerja dan berpikir keraslah untuk sesuatu yang bisa kita kontrol sepenuhnya, selain itu pasrahkan sesuatu yang bukan menjadi ranah kita ke Rabbul’alamin.
Aku tahu ini nggak akan mudah, tapi aku yakin kalau kita berhasil terapin ini semua kita akan dimampukan untuk tenang dan bahagia dalam waktu yang lama.
4 notes · View notes
kuumiw · 3 months
Text
#ceritadulu
Kalo memang hidup itu misteri, kayaknya gak papa. Gak akan aku permasalahkan karena dengan itu aku jadi bisa membuat rencana- Miw.
Aku kira dengan banyaknya misteri dalam hidup itu bikin aku jadi perempuan yang akan banyak berusahanya. Ternyata tidak! saat aku dengar kalimat, "Hidup itu, ya ngalir aja Neng! biar aja, gak usah terburu-buru, santai.." penggalan kalimat yang masih aku ingat saat aku cerita tentang beberapa momen dan fase hidup yang saat itu sedang penuh rencana. Rasanya gak setuju, rasanya aneh! kenapa hidup gak boleh punya rencana?? kata mereka, aku ini ribet anaknya wkwk. Sedikit-dikit rencana, sedikit-dikit nanya kenapa A kenapa B, selalu banyak bertanya dan merencanakan sebelum mulai, soal pergi ke supermatket di akhir pekan saja selalu aku perhitungkan, akan beli apa nanti, berapa perkiraan harganya, berapa yang harus dibeli, dan apa aja yang sekiranya cuma soal keinginan doang -bukan yang aku butuhin. (loh emang kalo begitu ribet, ya?)
Setelah dengar kalimat di atas aku malah menjadi perempuan yang lebih santai karena merasa ditipu dengan usaha sendiri yang banyak gagal. :( disini adalah momen aku kecewa dengan diri sendiri. Kenapa aku harus menjadi bodoh karena ucapan itu?? Akhirnya aku bangkit dan belajar percaya diri lagi dengan mimpi juga ambisi yang aku punya soal mimpi dan hidup.
Mungkin untuk sebagaian teman yang uangnya banyak dan tidak seminimalis aku wkwk ini bisa di bilang ribet, apa-apa kudu perhitungan dan memperkirakan haha. Sampai pernah waktu itu aku hampir nangis saat sesi telpon bareng Ibuk, aku cerita tentang penggalan kalimat yang aku denger dari beberapa teman, soal aku yang kurang santai karena harus selalu merencanakan sesuatu, soal aku yang sudah mulai mikirin skripsi padahal masih semester 5, soal aku yang mulai mikirin lulus mau jadi apa dan harus sudah dapat apa sebelum wisuda tiba. "Kata mereka aku ribet, Buk!! tapi bukanya emang itu ya tugas manusia?? perlu merencanakan! bukan cuma pasrah dan berujung nangis di depan bahkan kelimpungan karena nanti bingung mau ngapain dan jadi apa:(" aku mengadu saat itu, hampir saja air mata yang paling tak suka aku perlihatkan jatuh wkwkw. Gengsi rasanya anak perempuan pertama ini menangis di depan ibunya HAHA ..
Apa yang Ibu jawab saat itu? Ibu membenarkan pembelaanku. Ibu bilang jika hidup memang perlu rencana untuk bisa bertahan. Hidup memang perlu kekhawatiran, ketakutan, bahkan bising dikepala yang mencemaskan masa depan. Supaya kita bisa berjaga, berikhtiar soal hidup yang kita punya. Ibu juga bilang jika merencanakan adalah buah dari rasa syukur terhadap akal dan perasaan yang kita punya.
Soal temanku yang berbicara demikian, aku hanya ingin berpesan; bahwa hidup itu memang tentang ambisi, dan ambisi adalah gambaran dari hati yang hidup dan percaya kepada Tuhannya. Bukan soal keegoisan untuk terus menang dan tidak mempedulikan orang lain.
Menurutku juga hidup memang adalah soal pilihan dan merencanakan. Aku memilih mengejar dan akan aku dapatkan buahnya. Maka jika kamu memilih untuk diam bahkan mengalir seperti air, kamu juga akan mendapatkan buahnya. Hidup ini adalah bagian dari perjalanan tentang memilih apa yang kita miliki saat ini.
Maka suatu saat, aku yakin bisa membuktikan buah dari perencaan aku sekarang. Kamu, biarlah jika hanya ingin menyaksikan :)
Di depan pintu kamar, di rumah yang hanya ada Ayah. Majalengka 31 Januari 2024. 13.42
4 notes · View notes
syarifahsw · 4 months
Text
Perjalanan panjang membawaku pergi menjadi seorang yang sangat mandiri. Entah saat sekolah hingga lulus kuliah dan kini usaha mendapatkan pekerjaan masih saja banyak kekurangan yang belum puas aku capai.
Ingin rasanya mengatakan kepada beliau. Aku berhasil menyelesaikan beberapa misiku yang pernah beliau harapkan. Sejenak pernah sekali patah namun ada saja yang mengembalikannya dengan segenap semangat menjadi manusia yang berguna. Aku masih menjadi sosok dewasa yang sedang mencari jati diri.
Siapa aku sebenarnya? Apa mauku? Bagaimana dengan sejuta cemoohan orang-orang tentang masa laluku yang berantakan?
Waktu berjalan dan berlalu begitu cepat. Aku ingin menberi jeda pada waktu untuk meminta diriku berubah menjauh atas segala keraguan, kecemasan, ketakutan, bahkan kepedihan yang akan terjadi selanjutnya.
"Gk boleh nyerah gitu, ah.. optimis dong! Semangat...", ujar seorang lelaki yang usianya seumuran denganku akan tetapi aku akan hargai dirinya sebagai kakak kelasku.
Permintaanku yang sederhana, tidak berlebihan. Aku mengagumi dia sejak 2019. Tapi aku malu, mengungkapkan segalanya. Tapi waktu, memintaku untuk berkata jujur padanya. Sontak dia begitu kaget saat mendengar perkataanku. Bahkan anehnya dia tidak merasakan apapun tentang rasa kagumku padanya.
2023 bisa dibilang ini adalah tahun terakhir aku bermain kesana kemari. Berkenalan dengan teman baru atau bahkan bermain. Cukup sudah rasanya. Jatuh cinta untuk pertama kalinya terjadi di tahun ini tapi dengan orang yang salah. Cinta pertamaku hilang entah kemana perginya. Ia meninggalkanku saat aku akan mendaftar wisuda. Kehilangan cinta dan notifikasi setiap 24/7 membuatku menangis hingga jatuh sakit. Akan tetapi, aku tidak ingin berada di zona sakit. Pada akhirnya aku mencoba bangkit dan memulai hal baru dengan kembali bersama orang yang pernah ku kagumi sejak 2019 yang lalu.
Pertemuan yang singkat, mengajakku untuk mengingat semua tentang hal yang telah terjadi sebelumnya. Kami bertemu saat Roadshow organisasi daerah. Saling cuek, saling tidak ingin menyapa, dan geram sekali jika dia melakukan kesalahan. Suatu ketika dalam acara, dia datang terlambat bersama seorang sahabatnya. Entah apapun alasannya aku sebagai anggota sosialisasi tidak peduli. Hanya saja aku ingin tingkatkan disiplin waktu, jangan membebani orang lain jika pekerjaan itu terasa mudah untuk dilakukan sendiri. Oleh sebab itu, Amarahku sudah diujung tanduk. Ingin rasa hati memarahinya, tapi aku sadar, aku hanya seorang adik kelas yang sepenuhnya tidak ada hak untuk menegurnya.
Kami baru saling akrab dan mengenal sejak Akhir Oktober 2023. tepat pada sehari setelah tanggal sumpah pemuda dan berbarengan dengan acara wisuda. Dunia baru mulai tercipta bersamanya, aku mulai nyaman saat bersamanya.
2 notes · View notes
hallofmess · 1 year
Text
Eye for Eye
Tumblr media
UMUR ERNAR ADALAH SATU ABAD ketika ia memutuskan untuk membunuh ayahnya. Ayahnya, seorang Duke Roncheron, sudah terlalu tua untuk memimpin, terlalu sakit untuk bertahan. Ia membunuhnya atas kutukan keabadian yang menghantui tiap-tiap iblis tingkat atas seperti mereka. Kematian terasa dingin dan senyap, keabadian juga begitu. Namun, ketimbang mengakhiri penderitaan dengan mati tenang, keabadian membiarkannya tetap hidup. Kemudian menyiksanya dengan berat penyesalan yang akan ia bawa sampai penerusnya menghunuskan pedang ke dadanya.
Hidupnya begitu gelap dan sepi, dengan ialah satu-satunya Roncheron yang tersisa di kastil. Semenjak keputusannya membunuh sang ayah, tidak hanya keluarganya yang perlahan menjauhinya, tetapi juga rakyatnya. Mereka mencintai Roncheron sebelumnya tanpa memberikan sedikitpun kesempatan untuk Ernar. Bukan urusan Ernar merubah pendapat seseorang tentangnya. Apa pun yang terjadi, mereka tetap akan ketakutan dengannya. Satu-satunya darah asli Roncheron yang tersisa, satu-satunya iblis berdarah hitam yang mampu membunuh hanya dengan tatapan.
Dan dirinya sedang menahan diri untuk tidak menatap—membunuh Yang Mulia Cardin yang tengah duduk di sofa seberangnya. 
Kehadiran siapapun tidak lebih dari pengganggu ketenangan di mata Ernar, apa pun statusnya. Meski begitu ia berusaha tetap tenang, memilih mengabaikan kesunyian yang dibuat tamu dengan mengepang rambut pirang seorang gadis di pangkuannya. 
“Papa, Sofi mau ke kamar mandi.”
Ernar terhenti sejenak, memandang gadis kecil tidak ada takutnya dengannya. Ia menelengkan leher, dan memanggil pelayan wanita untuk mendekat. “Urus dia. Nanti kembalikan lagi.”
Ernar mengarahkan tangan Sofi pada tangan pelayan ketika gadis kecil itu kebingungan mencari sumber suara. Kedua tangannya menggenggam tangan pelayannya, lantas bangkit dan tanpa sengaja membuat kakinya tersangkut kaki Ernar. Ia bisa saja tersentak jatuh jika Ernar tidak menangkap perutnya. 
“Terima kasih, Nyonya Os!”
“Itu Greta,” koreksi Ernar. Mengabaikan bahwa Sofi sudah salah berterima kasih.
Tangan gadis itu mencari sesuatu di tangan sang pelayan. Tidak lama dia mengangguk, “Eh, benar. Tidak ada cincin! Papa seharusnya tidak usah bilang! Sofi jadi malu!”
Pelayan tersebut lantas membawa pergi Sofi dengan cekikikan, sementara Ernar dan Cadin hanya menonton keduanya berlalu. Sekarang, dengan perginya kedua orang tersebut, sudah waktunya ajang tatap menatap ini berakhir. 
“Kau jadi baby sitter, huh? Ernar.” Cardin menghela napas, lalu mengambil cangkir teh yang sudah dingin.
Ernar tidak berkomentar. Sepasang mata rubinya terus menatap lurus pangeran mahkota di hadapannya, “Kepentingan apa yang membawa Anda kemari, Yang Mulia?”
Cardin tersedak, nyaris menyembur tehnya. “Apa-apaan dengan kekakuan itu? Hampir setengah abad kita bersahabat. Mendengarmu memanggilku Yang Mulia sungguh terdengar salah.”
“Kau pikir aku bodoh?” cercah Ernar, kali ini benar-benar menatap Cardin di hadapannya, “Kau kemari untuk mengembalikan Sofi.”
Tentunya, dan seharusnya Ernar tidak perlu bertanya. Keberadaan Sofi di kastilnya tidak pernah lepas dari penolakan kalangan yang lebih tinggi dan tentunya, berani melawannya. Ia agak terkagum, sarkastiknya, terhadap Cardin. Ernar hanya menunggu alasan apa yang sebenarnya membawa kerajaan menentangnya mengambil Sofi dari pelelangan manusia, yang sebenarnya, diselenggarakan oleh kerajaan itu sendiri.
“Kau begitu mengenalku, Ernar.” senyuman tipis Cardin tertarik. Tidak berlangsung lama karena sekarang kedua mata emas itu sudah menajam, menatapnya absolut. “Dan kau tahu juga bahwa aku tidak suka dilawan, bukan?”
“Tentunya.”
Ernar melipat kaki di atas kaki yang lain. Ia sengaja mencondongkan tubuhnya, “Kita dengar alasanmu sebelum aku bisa membandingkannya dengan wanita manusia yang kau punya di rumah.”
Cardin melebarkan matanya, barulah dia melepaskan kekehan panjang. “Ah, dia? Tunggu, siapa namanya? Maksudku, siapa peduli? Dia—”
“Apa yang kau takutkan dari manusia buta berumur lima tahun?” Ernar memotong tanpa sedikitpun teralih dari cangkir tehnya. Barulah ketika Cardin tidak menjawab hampir semenit penuh, ia baru mendongak.
Cardin menatapnya dalam, dan menjawab tanpa berkedip, “Kekuasaanmu.”
Ernar mengangguk sambil menelengkan wajahnya ke arah suara langkah yang terdengar. Greta dan Sofi sudah kembali, lengkap dengan cekikikan kecil yang keluar dari gadis kecil entah apa yang mereka bicarakan. 
Pemandangan gadis bermata kelabu itu entah mengapa selalu menjadi pemandangan menyejukkan untuknya. Terlepas dari rasnya, anak itu sungguh berhasil menyentuh hatinya. Jika melepaskannya sama dengan mengabaikan himbauan kerajaan ...
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Maugre.”
Kepala pelayan Maugre muncul dari balik pintu, lantas memberi tunduk hormat. “Memanggil saya, Tuan?”
“Tunjukkan jalan keluar untuk Yang Mulia Cardin. Sudah larut.”
Tanpa salam bahkan tanpa tundukan hormat, Ernar pun beranjak dari ruangan dengan Sofi di gendongan. Andai dia tahu, ayah iblisnya baru mengusir seorang pangeran yang juga seorang iblis, mungkin dia tidak akan melambaikan tangan ke arahnya. Beruntung, instingnya benar dan dia melambai ke arah yang benar.
Sofi ia temukan  di pelelangan budak manusia sekiranya dua bulan lalu. Ernar tidak biasanya menyukai pertemuan yang mengharuskannya mengenakan pakaian rapi dan menyesap wine sambil berbincang. Ia tidak senang berinteraksi dengan banyak orang dan apalagi, seorang manusia. Untuk pelelangan kemarin, ia mau tidak mau hadir dan ia berterima kasih kepada Cardin karena sudah memaksanya. 
Cardin, selayaknya seorang putra mahkota tahta iblis, tiap tahun bisa membeli dua orang manusia. Soal apa yang dia lakukan pada manusia tersebut Ernar tidak mau tahu. Dan ia harap Sofi juga tidak tahu. Pelelangan biasanya hanya berisi para manusia dewasa, dan kehadiran Sofi, Ernar kira adalah sebuah kesalahan.
Dia tidak memiliki harga, dia bahkan berjalan semaunya di lantai utama. Tubuhnya yang mungil membuatnya tidak terdeteksi, dan Ernar, mungkin tidak akan pernah menoleh jika saja anak itu tidak menarik ujung jubahnya dan menyebutnya: 'Papa'.
“Teman Papa pulangnya cepat?”
“Kenapa memangnya?”
Manusia kecil ini menduganya adalah ayahnya. Awalnya Ernar mengira dia hanya salah menarik dan akan langsung berubah pikiran, tetapi tidak, anak itu bertahan sambil mengerjab-kerjabkan kedua matanya yang mati. 
“Sofi mau ngobrol sama pangeran.”
“Bicara denganku.”
Sofi menggeleng, “Enggak. Bosen!”
Ernar menghentikan langkahnya, “Sofi bosen ngobrol sama Papa?”
“Iya! Sofi mau punya teman!”
Singkat cerita, Ernar jadi ayah dari seorang manusia kecil yang bahkan umurnya tidak sampai sepersepuluh dari umur Ernar. 
“Bisa diatur. Kamu ngobrol sama Greta dan Tuan Maugre mulai besok.”
Sofi menjatuhkan setengah badannya kecewa. “Yang lain dong, yang lain!”
Tawaan kecil lepas dari bibir Tuan Roncheron, pemandangan langka yang sayangnya satu-satunya saksi mata adalah gadis kecil dengan cacat penglihatan. Bisa jadi itulah yang membuat Ernar dapat dengan mudah membuka hati untuknya. Dia tidak menilai, dia tidak ketakutan. Jiwa mudanya terlalu polos untuk mengkhawatirkan siapa yang sebenarnya ia panggil sebagai 'Papa'. 
Jauh di dalam benaknya, ada kekhawatiran tumbuh. Bukan kekhawatiran yang sama seperti yang dikatakan Cardin tentunya, Ernar berpikir untuk hidup selamanya. Bentuk kekhawatirannya sederhana, dan semua itu bermula dari ucapan dokter yang setiap seminggu sekali bertandang.
“Omong-omong, Tuanku Rancheron, teman baikku bisa membuka mata batin Nona Sofi jika Anda tertarik.”
Ernar tidak tertarik, tetapi Sofi berkata lain. Gadis itu mendengar dari balik pintu, kepalanya menyembul, bisa jadi dia tidak tahu kalau dia tidak begitu tersembunyi. Melihatnya, Ernar menghela napas.
“Dia tidak ingin melihat hantu.”
Dokter bertanduk lurus dengan cepat mengibaskan tangan, “Tidak, tidak. Maksudku, dia bisa mengembalikan penglihatan dengan aura. Nona Sofi akan diimbuhi aura dengan konsentrasi tinggi yang … memaksa sel di matanya untuk aktif kembali. Kasarnya seperti itu.”
“Tapi …” dokter itu melanjutkan sambil menurunkan kacamatanya, “Ada ‘harga’ yang harus Anda bayar, Tuanku.”
Ernar membiarkan kemejanya kembali dikenakan oleh Maugre selagi dia menimbang-nimbang perkataan barusan. Hingga detik ini ia meyakini Sofi tidak tahu kalau dia diadopsi oleh iblis. Kebanyakan anak manusia ketakutan dengan sosok mereka yang menjulang, berkulit gelap hingga ke pucat, bertaring dengan tanduk beragam. Ernar bukan pengecualian, pastinya. 
Ernar menggeleng membuang pemikiran tersebut. Tatapannya kembali ke sang dokter, yang sudah menaikkan kedua alis menunggu respon. Sayang sekali satu-satunya respon yang bisa terucap hanyalah, “Kau bisa pergi sekarang.”
Sang dokter agaknya terkejut, tetapi ia mengabdi cukup lama sampai-sampai memaksakan diri untuk memahami tuan Roncheron. Kepalanya ia tundukkan sesaat, sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Ernar yang memilih duduk bersandar di sofanya. 
Sofi yang sekarang sudah sepenuhnya sempurna untuk Ernar, dan entah mengapa fakta tersebut selalu menakutinya. Pertumbuhan umur manusia dan iblis sungguh berbeda berkali-kali lipat. Umur enam tahun Sofi bisa bicara bahkan berlarian semetara iblis pada umur demikian masih berupa bayi yang belum bisa membuka matanya. Ia khawatir dengan itu, ia khawatir Sofi akan tumbuh begitu cepat untuk mengira bahwa selama ini ia diculik oleh seorang iblis di pelelangan budak. Sofi gadis yang pintar dengan segala keterbatasannya. Penglihatan akan menyempurnakannya sekaligus menyibak kebenaran yang selama ini dihalangi oleh inderanya yang terbatas. 
Hari semakin gelap, Ernar baru menyadarinya sekarang. Pemeriksaan kesehatan semakin hari semakin lama untuknya. Terkadang, sehabis pemeriksaan ini dadanya akan terasa begitu sakit. Kadang kala kepalanya begitu berat sampai-sampai ia tidak bisa bangkit dari sofanya semalaman. Untuk kali ini ia mampu berdiri. Tidak cukup bertahan lama begitu tubuhnya kembali terjatuh berkat nyeri mengerikan yang bertahan di dadanya. 
Suara langkah kaki terdengar dari koridor, dan sesaat berhenti. “Tu, Tuan Ernar?” kemudian berlanjut menjadi lari kecil yang segera mendekat. 
Ernar mengangkat tangannya, “Aku tidak apa, Maugre.”
Tangannya bergetar, tetapi sakit pada dadanya kian mereda. Bersamaan dengan itu, sebuah rasa panas terbangun di dalam dadanya. Saling bergerumul, seakan memaksakan untuk keluar. Sensasi panas tersebut menekan dadanya begitu kuat, mendorong kerongkongannya dan sebelum ia tahu …
Ia sudah memuntahkan segenggam darah.
Dan sejak saat itu ada sesuatu yang lebih Ernar takutkan dari melihat Sofi yang beranjak dewasa terlalu cepat.
***
Ini pertama kalinya musim dingin terasa begitu mengerikan untuk Ernar. Hanya berselang beberapa bulan dari kejadian muntahan darah tersebut, dan seluruh tubuhnya mendadak begitu renta. Tulang-tulangnya bergetar, selera makannya menguap, bahkan ia merasa tanduknya kian hari semakin memendek. Ia sudah menanyakan ini pada Maugre, persoalan tanduknya yang memendek. Maugre tentu saja menyanggah, berkata semua itu hanya pikiran buruk Ernar. Namun seorang yang paling bisa merasakan perubahan dirinya tentu adalah dirinya sendiri. Dan Ernar tidak dapat memungkiri, dua tanduk pada tulang pipinya yang semula hampir menyentuh dagu, kini hanya sampai menyentuh hidungnya saja. 
Sebuah tanda-tanda sederhana yang mencegahnya berpikir jernih. 
Kedua mata rubinya menatap lurus ke arah perapian yang mulai redup. Ernar ingin sekali bangkit dari sofa panjangnya dan memasukkan beberapa potongan kayu lagi, tetapi tubuhnya tidak mengijinkan. Tanpa bantuan siapapun ia tidak akan bisa menegakkan punggung, apalagi meraih kayu perapian. 
“Maugre! Maugre!”
Percuma saja, ini masih pukul empat pagi. Baru satu jam dari waktu istirahat orang tua itu setelah tubuh Ernar jatuh sakit. Ernar merutuk. Menjadi tua dan sakit sungguh menjengkelkan. Bagian paling menjengkelkannya adalah umurnya bahkan tidak sampai setengah dari umur Maugre. 
Sebuah deritan pintu yang terbuka mengagetkannya. Ernar menunggu Maugre yang berjalan tergopo-gopoh dan segera bertanya keadaannya. Kenyataannya, sosok yang muncul bukanlah Maugre. Bahkan, orang itu sama sekali bukan pelayannya.
“Sofi?”
Anak itu menoleh begitu mendengar sumber suara. Jalannya perlahan tetapi pasti. Ia tahu benar terlalu bersemangat hanya akan membuatnya tersangkut perabotan bermacam rupa yang ada di sekitarnya. Tapi bukan itu yang seharusnya ia khawatirkan sekarang.
“Kenapa kamu bangun jam segini?”
“Sofi tidur di kasur Papa tadi.”
Ernar melebarkan kedua matanya. Ia tidak sadar. Ia tidak menyadari hal tersebut?
“Apinya kecil ya, Pa? Sebentar, di mana kayunya …”
Rasa ngeri seketika memuncak, belum lagi ketika gadis kecil itu mulai merangkak dan meraba sekeliling. Ini lebih menakutkan dari apapun yang selalu menghantui Ernar. Api tersebut memang sudah redup, tapi siapa yang tahu dia akan masuk ke sana?!
“Sofi!”
“Oh, ini pasti kayunya!”
Memang benar, tapi, “Kamu berhenti di situ.”
Ernar mengatakannya tepat waktu. Tepat ketika anak itu hampir merangkak masuk menuju perapian dan menyentuh bara api dengan tangannya yang kecil. Sesaat gadis itu berdiri, menoleh ke arahnya dengan wajah kebingungan. Apa yang menjadi pemandangan selanjutnya menyita setengah napas yang tersisa untuk Ernar.
Karena sekarang Sofi sudah berbalik ke arah perapian, dan melempar kayu-kayu tersebut dengan sempurna.
Seakan, dia melihatnya.
“Kelihatan kok, Pa!”
Ernar berkedip tidak paham, dan ia buru-buru mengeluarkan tangan untuk dipeluk oleh Sofi. Ia tidak mengerti, tetapi bibirnya terlalu lemah berkat serangan jantung kecil barusan. 
“Kalau cahaya masih kelihatan kok, Pa!”
Ernar menelan ludah, “Ka, kamu … tidak sepenuhnya buta?”
Sofi menggeleng, lantas menyandarkan kepalanya ke pundak Ernar. “Enggak.”
“Papa …” Ernar meneguk ludahnya sekali lagi, “Sofi, bisa lihat Papa?”
Sofi mengedipkan kedua matanya, seakan kebingungan dengan pertanyaan tersebut. “Bisa.”
“Tapi buram banget ….”
“Kamu tahu Papa punya tanduk?”
“Tahu.”
“Kamu tahu Papa adalah iblis?”
“Papa kenapa nanya-nanya gitu sih? Sofi tahu!”
Tidak ada satupun kata dapat menjelaskan betapa inginnya Ernar untuk menangis sekarang. Salah satu hal yang amat menakutinya, ternyata selama ini mengetahuinya. 
Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh dan menepuk kepala pirangnya yang terlihat menyengat bagai singa. Selama ini ia salah, seharusnya ia bertanya juga pada Sofi. Tingkahnya yang salah menarik dan menyebut Papa pada iblis asing sudah meyakinkan Ernar bahwa anak ini buta sepenuhnya. Siapa yang tahu bahwa selama ini ia melihatnya, meski dengan keburaman yang mungkin baru ia sadari belakangan setelah melihat Ernar dari dekat. Meski begitu ia tidak ketakutan, ia tidak melarikan diri. Ia bertahan dan dia bersamanya.
Dan Ernar pikir akan selamanya begitu 
***
Musim semi tiba dengan pemandangan baru, cahaya baru, langit baru, dan paling pentingnya: mata baru.
Ernar lebih baik dari sebelumnya, dan hanya duduk menonton Sofi yang untuk kali pertamanya membuka mata setelah diimbuhi aura miliknya. Nyonya Os, Greta, Maugre beserta segenap pelayan yang antusias juga ia ijinkan menonton di baliknya. Hanya dalam beberapa bulan Ernar akui Sofi sangat hebat dalam memikat hati siapapun di sekitarnya. Diam-diam ia agak kagum, beserta sedikit cemburu dengan perhatian berlebihan ini.
Sofi yang duduk di hadapan mereka masih menutup kedua mata dengan tangan. Cekikan sekali lagi keluar selagi dia menunggu dokter mengatur sebuah kalung yang katanya akan ‘membuka mata batinnya’. Ernar awalnya tidak yakin. Memberikan aura pada kalung dapat melengkapi sebuah keterbatasan, hampir terdengar seperti dokter gadungan baginya. 
Prasangka buruk tersebut seketika runtuh begitu dokter rampung memasangkan kalung dan menyingkirkan dirinya ke sisi Sofi. “Silakan, Nona.”
“Sofi hitung ya …?”
Baiklah, ini dia ….
“Satu … dua … tiga!”
Tangan diturunkan, kedua kelopak mata terbuka dan sorakan bahagia segenap karyawan seketika mengisi ruangan tersebut. Kedua mata kelabu itu tiada, digantikan oleh warna yang setiap pegawai di kastil tersebut tidak akan pernah asing melihatnya.
Warna rubi. Warna mata Roncheron. 
Di antara sorakan kebahagiaan tersebut, Ernar dan Sofi sama-sama belum berkutik. Untuk sesaat Ernar pikir anak itu kecewa, dan pikiran buruk segera menyerang benaknya. Bagaimana jika dia ketakutan ketika segalanya terlihat jelas? Bagaimana jika dia kecewa dengan penampilan Papanya? Atau skenario paling buruk yang bisa Ernar bayangkan: bagaimana jika Sofi masih belum bisa melihat—
Rambut pendek pada tengkuk Ernar seketika menegang. Air mata jatuh berlinangan dari pipi Sofi, dan sepertinya ia terlambat menyadarinya pula. Kedua tangannya merentang ke depan, dan dia buru-buru berhamburan memeluk Ernar di sofanya. Tangisannya pecah di pundak Ernar, sesuatu yang masih belum dapat ia terjemahkan maksudnya. 
“Kelihatan …?”
Tangisannya masih berlanjut, tetapi ia berusaha mengangkat wajahnya. Perlahan ia menyebut satu-persatu nama dari para karyawan. Beberapa salah, tetapi kebanyakan benar setelah mereka bersuara. 
“Tuan Maugre.”
“Greta!”
“Nyonya Os ….”
Dan akhirnya dia menunjuk Ernar.
“Papa!”
Ernar tidak tahu, ia tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan sebutan 'Papa' tersebut. Hatinya keras dan pelu. Ia membenci semua orang, orang-orang pun demikian. Di tengah kehidupannya yang sepi dan dingin, Sofi muncul dan menarik ujung pakaiannya. Tangan kecil yang waktu itu sanggup ia hancurkan dengan jentikan tangan, justru ia terima dengan kuku penusuk dagingnya. 
Kehangatannya bagai sulur yang menjalar, mewarnai tiap sudut monokrom dunia Ernar yang sempat mati. Kepolosannya menyadarkan masih banyak yang ia lewatkan, masih lebih banyak waktu untuk dia nikmati. Dan kehangatan tersebut tidak pernah pudar, hingga detik matanya terbuka dengan iris rubi yang terpancar.
Ernar melepaskan senyuman lega yang tak disangkanya justru membuat pelupuk matanya mendadak panas. Jemari ringkih Ernar bergetar, perlahan menyapu lembut pirang keemasan rambut Sofi dari keningnya. 
Gadis kecil menerima tangan tersebut di pipinya, lantas menggenggam tangan kurus Ernar penuh kehangatan. Muka sembab Sofi kembali merengut. Mendadak, tangan kanannya menyentuh pipi Ernar, dan Ernar baru menyadari pipinya telah basah. Air dari mana?
“Papa?!”
Ernar mencoba mengendalikan diri dengan menarik napas. Semuanya akan baik-baik saja, ia tahu itu. Ia bisa merasakannya.
Dan dengan demikian Ernar menarik napas berat, “Sofi.”
“Selamat datang di Rancheron.”
***
8 notes · View notes
rekamdiksi · 6 months
Text
Uji-an Kehidupan
"Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali). Mereka itu mendapat keberkatan dari Tuhannya dan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah : 155-156).
Aku selalu mengingat ayat ini ketika aku sedang di uji oleh Allah. Pasti rasa kecewa, rasa tidak menerima itu akan terpercik dalam diri, karena ya namanya juga kita manusia punya perasaan dan hawa nafsu.
Tapi, kalo kita coba pahami hakikat kita hidup, yaitu setiap apa saja yang kita terima di hidup ini sebenernya hanya pinjeman dari Allah aja, dan sewaktu-waktu bisa saja Allah mengambil hak miliknya. Dari situ juga kita paham kalo kita di dunia ini sebenernya gak pernah memiliki apapun secara kekal.
Di ayat lain, di QS. Al-Anbiya ayat 35, Allah menegaskan juga, setiap manusia akan Allah ujia dengan kebaikan dan keburukan, agar mereka mengambil pelajaran.
Jadi, baik buruk, sedih senang, jatuh bangkit, itu akan selalu kita rasakan di dunia ini.
Dari sini kita paham cara kita memaknai hidup adalah menerima semua ketentuannya, dan bersyukur akan semua pemberian Allah dalam hidup kita.
-rekamdiksi
3 notes · View notes
kilasjejak · 2 years
Note
hai, salam.
aku ingin sedikit kekata untuk menenangkan hatiku.
bagaimana cara untuk melupakan dan merelakan seseorang yang begitu berarti bagi kita, seseorang yang pernah menemani ketika kita dalam keadaan terburuk kita? Bukankah itu tidak mudah.
terimakasih.
Melupakan seseorang
Salam,
Melupakan seseorang adalah dengan tidak melupakannya.
Ini menurutku dan ini yang aku lakukan beberapa waktu lalu saat aku ingin berusaha melupakan seseorang tersebab sakit dqn luka yang teramat. Kamu boleh sepakat ataupun tidak dengan jawabanku ini.
Mengapa tidak melupakan ? Sebab semakin kira berusaha melupakan, akan semakin besar penyangkalan dan itu akan membuat semakin sulit melupakan. Dan itu menyiksa diri sendiri.
Lalu bagaimana ?
Penerimaan
Iya, menerima semua emosi yang hadir. Kekecewaan, ketakutan, kesedihan. Take your time dear..
Bila kamu islam, aku sangat sarankan untuk semakin mendekat ke Allah. Mendekatlah pada Tuhan, baca al qur'an atau kitab lain sesuai agamamu. Hadirkan hati dan itu akan sangat membantu menyembuhkan luka di hatimu. Hadirkan hati disini adalah dengan memaknainya, ajak dirimu berbincang melebur dalam surat cinta-Nya. Minta dalam setiap doa agar hatimu pulih dengan segera.
Melupakan seorang yang pernah menemani masa sulit kita memang tidak mudah. Tapi bukan berati nggak bisa. Akan butuh waktu untuk itu. Time heals. Ada kalanya dua kata itu benar, namun ada hal yang harus kamu upayakan seiring berjalannya waktu, jangan berdiam diri, berusahalah agar bisa bangkit kembali.
Dear Anon...
Aku ingin memelukmu dengan beberapa bait kata yang semoga bisa menenangkanmu.
Gagalmu bukan salahmu.
Air matamu adalah tanda kekuatanmu.
Segala macam yang luput darimu, adalah bentuk cinta Tuhan untukmu, sebab Dia akan gantikan dengan yang lebih baik suatu hari nanti.
Bukan saat ini, tapi nanti. Saat kamu siap.
Dear Anon...
Bila air matamu masih menggenang, dadamu masih terasa sesak. Menangislah... Mengadulah pada Pemilik Kehidupan. Dia yang mempunyai dan menggenggam hatimu. Semoga segera di sembuhkan dari segala rupa lara dan kecewa.
Maaf kalau terlalu panjang dan mungkin agak berantakan. Tulus ku doakan, siapapun kamu, semoga hati dan jiwamu selalu di kuatkan.
🤗🤗
34 notes · View notes
diarysyifa · 8 months
Text
Cinta? Sesungguhnya apa itu cinta? Berkali-kali ku pikir itu cinta, tapi rupanya tak juga bertahan selamanya. Sampai di titik aku merasa lelah dan menyerah, tapi takdir membawaku ke dekapan seseorang yang aku hargai sekaligus aku cintai.
Saking berharganya dia, aku berani mengenalkannya ke keluargaku. Aku juga berani membayangkan masa depan yang indah bersamanya. Aku memberanikan diri membersamai langkah panjangnya, bersedia menunggunya menghampiriku setelah menyelesaikan mimpi hebatnya.
Aku pikir, aku sudah cukup dan merasa amat berterima kasih dengan anugerah yang Tuhan beri kepadaku. Tetapi, aku salah. Sosok-sosok di sekitarku menjadikanku serakah dan menginginkan lebih.
Kau tahu, saat aku masih berjuang menemukan, tidak dihargai, disakiti, dan lalu ditinggalkan, sosok di sekitarku telah menemukan satu yang terbaik dan menetap bersama. Saat aku merasa cukup dengan kehadirannya, rupanya sosok di sekitarku benar-benar telah memutuskan ke jenjang berikutnya. Semuanya. Aku berakhir sendirian.
Tak sekali dua aku mengutuk dunia. Tentang betapa tidak adilnya semua ini. Kebahagiaan orang lain membuatku semakin membenci kehidupan. Aku benci karena sudah hidup.
Kehidupan selalu mewujudkan apa yang paling aku takutkan. Aku tidak begitu menyukai keramaian tapi aku begitu takut kesepian. Aku tidak begitu pandai berteman, tetapi aku takut berakhir sendirian.
Apakah dunia memang setidak adil itu?
Selama ini, aku juga ketakutan. Aku juga selalu sendirian. Aku juga menangis dan kesakitan. Aku juga berjuang. Aku tidak ingin membenci, tapi hatiku sudah rapuh dan menghitam sejak aku masih di bangku sekolah dasar.
Dunia sudah begitu kejam tidak pernah memberikan ibuku cinta selama hidupnya, dan membuatku mengagungkan cinta selama hidupku juga. Tetapi begitu jahatnya membuatku terluka berkali-kali atas nama cinta. Saat aku ingin bersyukur saat mengenalnya, ia membuatku marah lagi karena rupanya hanya aku yang berbeda.
Hanya aku yang selalu salah memilih orang. Hanya aku yang selalu ditinggalkan. Hanya aku yang tidak diinginkan. Hanya aku yang tidak pantas diperjuangkan. Hanya aku yang berbeda.
Tuhan,
Bahkan sejak dahulu kala aku sudah iri dengan keluarga yang dipenuhi cinta, dibanding keluargaku yang utuh tapi sejatinya hancur. Menghancurkan mentalku dan membuatku membenci segalanya.
Tuhan,
Susah payah aku membujuk hatiku menyukai menjadi hidup, namun lagi-lagi hancur. Mengapa hanya mereka yang berbahagia, sedang aku selalu saja menangis sendirian.
Tuhan,
Susah payah aku menenangkan diriku, mengatakan, ayo bangkit, jangan terlalu lama menangis dan bersedih. Ngga apa-apa meski tinggal sendiri. Ngga semua yg tampak indah, itu indah. Lihat kenyataan di keluargamu. Wajar segalanya mudah buat mereka, iyaa itu mereka, kamu beda. Jangan lupa keluargamu, kenyataan keluarga kita aja udah beda. Jangan serakah pengen kayak mereka, takdir kmu dari dulu emang udah beda!
2 notes · View notes
nainajevinka · 9 months
Text
Terjebak di persimpangan.
Ada yang bilang jalani saja dulu, lagi pula hidup ini akan berlalu dengan sendirinya. Biarlah sang waktu yang menjalankan takdir kita. Bagiku tidak, hidup harus berjalan dengan alasan dan tujuan. Sama halnya dengan pernikahan, aku tak bisa memulai hubungan sakral itu tanpa ada alasan kuat dan tujuan yang jelas.
Pernikahan membutuhkan komitmen yang jelas dan kesiapan yang matang. Menikah tidak hanya tentang membangun ikatan yang sah di hadapan hukum dan agama. Ada hal yang perlu ada dan dijadikan kiblat agar bisa kembali bangkit setelah jatuh. Dan harus ada pijakan yang kokoh agar tak mudah roboh dipertengahan jalan. Semua itu harus dipersiapkan sebelum dimulainya pernikahan.
Aku sudah mencoba mengumpulkan beberapa material yang dibutuhkan untuk bisa membangun sebuah rumah impian. Namun, aku terjebak di persimpangan.
Aku kalah sebelum memulai.
Aku gagal mengalahkan ketakutan terbesar dalam diriku. Aku gagal menyingkirkan rasa takut ku pada pernikahan. Dan berujung terjebak di persimpangan antara keinginan dan ketakutan. Di satu sisi aku ingin membangun rumah impian. Namun, di lain sisi aku terjebak pada rasa takut yang berlebihan.
Aku takut kerapuhan di dalam diriku akan menghancurkan rumah impianku.
2 notes · View notes
lamyaasfaraini · 9 months
Text
Tumblr media
That's it, that's the tweet!
Kukira ngga akan ada yg ngalahin menyakitkannya ditinggal ibu, karena traumanya berat dan bertahun-tahun. Alhamdulillah sudah terlewati fase-fase krusial yg bikin hidup terjun bebas tak berujung, eh ada sih ujungnya, ujungnya gmn? Akhirnya ikhlas menerima wlpn ngga mudah. Perlahan bangkit, siap menghadapi tantangan hidup selanjutnya. Ternyata aku terlalu percaya diri, setelah malam itu terjadi malam kehancuran hidupku, aku sampe gabisa gambarin betapa sakit dan dunia runtuh saat itu. Ya, inilah kesakitanku yg melebihi kesakitan ditinggal ibu. Gabisa aku perkirakan sebelumnya, gabisa aku bayangkan sebelumnya. Bagai petir di siang bolong terjadi begitu saja.
Setahun berjalan luka itu masih basah, terlalu basah. Aku usahakan menutup luka itu sekuat tenagaku, namun selalu ada yg bikin luka itu terbuka lagi bahkan sampe bernanah. Ternyata ngga mudah jg hidup penuh trauma, bukannya sebelumnya udah pernah ngalamin fase menyakitkan, ko dpt masalah berat lg harusnya terbiasa dong? Ya mauku begitu, ternyata aku terlalu rapuh untuk menghadapinya. Masalahnya jg terlalu berat untuk kupikul, karena skrg aku udah punya anak, aku punya tanggung jawab besar untuknya di dunia dan utk bekalnya di akhirat. Setelah jadi ibu kekhawatiranku dalam hidup berkali2 lipat, penuh ketakutan melihat dunia dgn segala ketidakpastiannya. Mungkin itu faktornya aku ngga sekuat itu, aku terlalu rapuh. Inner child ku pun menjadi salah satu faktor terbesar sih. Sulit sekali memeranginya, atau harusnya jgn diperangi ya tp di maafkan. Hemmmmmmm.. Terlalu banyak berpikir, kalo dibuka otak ku kaya benang kusut kali yah..
Doaku tiap hari untuk aku yg mengalami kepahitan hidup, semoga pikiranku selalu ditenangkan, hidupku penuh kedamaian, amarahku diminimalisir..
3 notes · View notes