Tinta Hitam
Hamparan pasir yang luas, menerbangkan debu-debu yang tersapu angin. Memedihkan mata. Ribuan manusia dengan pedang di tangan duduk bersila sambil sibuk bercengkrama. Beberapa malah tertidur, mengistirahatkan sisa-sisa tenaga yang telah habis dipakai berjalan jauh.
Tenda besar di atas hamparan pasir itu terdengar riuh.
“Kurang ajar!” teriakan lelaki sipit itu menggelegar. Tangannya menghentak-hentakkan tongkat ke meja. Wajahnya merah padam menahan amarah.
“Maaf, Tuan Hulagu Khan, tapi... Al-Musta’sim benar-benar marah. Dia menolak menyerah dan mengancam kita akan mendapat murka Tuhannya jika tetap menyerang Baghdad. Dia—”
“Berani-beraninya khalifah tua itu melawanku!” lelaki sipit itu menghiraukan penjelasan pemuda di hadapannya.
“Tunggu, Tuan,” pemuda di hadapannya menyela. “Aku bertemu dengan seseorang di Baghdad. Dia menawarkan kerja sama,”
“Kersajama? Kita sudah punya pasukan besar, untuk apa kita bekerja sama dengan orang lain?” Hulagu Khan mendengus. “Siapa orang itu?”
“Dia Mu’ayaduddin, wazir Baghdad.”
***
Perpustakaan Bayt Al-Hikmah, 1258 M
Langit cerah membungkus kota Baghdad hari itu.
Kota bundar dengan gerbang empat penjuru itu terlihat damai. Jalanan lengang. Hari masih pagi, penduduk kota ini masih sibuk di rumah masing-masing. Bercengkrama dengan keluarga, sambil menikmati segelas susu dan kibbeh[2].
Tapi sepagi ini, pemuda tegap dengan serban di kepalanya itu sudah berjalan meninggalkan rumah. Dengan bertumpuk-tumpuk buku di tangan, kakinya ringan melewati jalan setapak. Jalan yang yang sudah ribuan kali ia lewati.
“Yaa Amer!” suara berat penuh wibawa terdengar memanggilnya dari jauh. Pemuda itu, Amer, menoleh bingung. Laki-laki dengan jubah dan serban putih yang memanggilnya. Ia duduk takzim di bawah pohon sambil mengelus janggutnya yang mulai memutih. Wajahnya teduh dan penuh wibawa.
“Kau terlambat, Amer.”
Amer melangkahkan kakinya menghampiri Lelaki Berjubah Putih tersebut. “Aku bahkan belum sampai perpustakaan Syekh[3]. Apanya yang terlambat?”
Lelaki Berjubah Putih itu tertawa. “Langit sudah terang. Kau terlambat menikmati matahari terbit.”
Amer menggaruk tengkuknya. “Kenapa Syekh Mustafa ada disini? Harusnyakita belajar di perpustakaan, kan?”
Lelaki Berjubah Putih itu, Syekh Mustafa, tersenyum. Tertatih-tatih ia berdiri dibantu oleh tongkat kayunya yang tampak lapuk. Semilir angin berhembus perlahan, menggoyangkan dedaunan rindang, menjatuhkan butir-butir embun.
“Tidak semua hal bisa kamu pelajari di dalam ruangan, Amer. Tadinya aku ingin kau melihat matahari terbit, ada salah seorang ilmuwan yang pernah membahas tentang itu.”
“Tsabit bin Qurrah. Aku sudah pernah membaca bukunya, tentang sistem peredaran matahari,” Amer berjalan mendekati Syekh Mustafa, membantunya berdiri.
“Terlalu banyak buku yang sudah kau baca, Amer. Rasanya, kau lebih cocok menjadi guru dibanding muridku,” Syekh Mustafa terkekeh. “Mari ke perpustakaan. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu.”
Jalanan menuju perpustakaan yang tidak pernah sepi. Bayt Al-Hikmah, rumah kebijaksanaan. Rumah untuk manusia-manusia yang haus akan ilmu. Perpustakaan yang didirikan oleh seorang khalifah masyhur, Harun Al-Rashid. Ribuan buku yang tersimpan rapi di atas rak-rak kayu raksasa, juga para murid dan guru yang tak pernah alfa mendatangi perpustakaan untuk berburu ilmu. Cahaya ilmu yang yang terang-benderang menyinari Baghdad, masa keemasan bagi peradaban Islam.
Syekh Mustafa berhenti di depan sebuah rak raksasa, tangan keriputnya meraih sebuah buku bersampul cokelat yang kertasnya tampak kekuningan.
“Kau pasti pernah membaca buku ini. Rancangan kapal terbang, karya Ibnu Firnas,” kata Syekh Mustafa seraya membersihkan butir-butir debu yang menempel.
Amer mengangguk.
“Tapi, apa kau tahu kisah dibalik pembuatan buku ini?” Syekh Mustafa bertanya.
Kini Amer menggeleng.
“Demi membuat kapal terbang ini, Ibnu Firnas rela terjatuh ketika melompat dari menara masjid saat mencoba rancangan pertamanya,” Syekh Mustafa terdiam sejenak, lantas kembali bertanya, “Apa kau tahu, Amer, mengapa Ibnu Firnas begitu gigih membuat kapal terbang ini?”
“Tidak, Syekh.”
Syekh Mustafa berjalan perlahan menuju sisi lain perpustakaan, lantas mengambil sebuah gulungan kertas lalu membukanya di atas meja pualam.
“Peta dunia, buatan Al-Idris,” Amer mendesis
“Benar, Amer. Ini peta dunia, dan kita berada disini,” Syekh Mustafa menunjuk letak Kota Baghdad pada peta. “Jarak kita dengan Mekkah tidak terlampau jauh. Dalam hitungan hari, penduduk Baghdad dapat sampai ke Mekkah dengan menaiki unta untuk beribadah ke Baitullah.”
“Tapi tidak dengan mereka,” jemari Syekh Mustafa bergeser jauh ke timur. “Mereka tinggal jauh dari Mekkah. Ratusan farsakh jaraknya. Terpisahkan oleh hamparan lautan. Butuh waktu nyaris satu tahun bagi penduduknya untuk sampai ke Baitullah dengan menggunakan kapal laut.”
“Lalu, apa hubungannya dengan Ibnu Firnas, Syekh?” Amer bertanya tidak mengerti.
“Inilah tujuan Ibnu Firnas membuat kapal terbang, Amer,” Syekh Mustafa tersenyum, menatap Amer dengan mata berbinar. “Inilah cita-cita Ibnu Firnas. Mendekatkan Baitullah kepada seluruh umat muslim di dunia, agar setiap muslim dapat menjejakan kaki di tanah haram ini,”
“Sayangnya, Amer, hingga akhir hayatnya, Ibnu Firnas belum sempat membuat wujud asli dari kapal terbang ini. Buku ini hanya akan jadi buku bisaa yang dipenuhi oleh gambar-gambar, jika tidak ada yang mau memulai untuk mewujudkannya,”
Syekh Mustafa menghela napas. Mengusap buku di tangannya perlahan, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin sekali mewujudkan cita-cita Ibnu Firnas, Amer. Tapi aku sudah terlalu tua, hidupku tak akan lama lagi. Aku juga mungkin tidak sepintar ilmuwan-ilmuwan lainnya, aku hanya penjaga perpustakaan bisaa. Tapi kau…”
Syekh Mustafa menatap Amer dengan mata berbinr. Tangan tuanya patah-patah meraih tangan Amer, lalu menyerahkan buku tua karya Ibnu Firnas kepadanya. “Aku punya harapan besar padamu, Amer. Aku yakin, kau bisa mewujudkan cita-cita mulia Ibnu Firnas.”
Amer mengerjap. Sebersit keraguan muncul di wajahnya. Ia hanya pelajar bisaa. Manusia yang haus akan ilmu. Ia bukan ilmuwan besar seperti Ibnu Firnas.
Seakan bisa membaca isyarat keraguan di wajah Amer, Syekh Mustafa tersenyum seraya berkata, “Jika Ibnu Firnas tidak membuat buku ini, mungkin sekarang namanya tak akan kita sebut-sebut. Terlupa begitu saja.”
“Tapi tidak, Amer. Ia menghabiskan sisa hidupnya untu membuat rancangan kapal terbang. Ia… membuat karya untuk umat,” Syekh Mustafa menepuk lembut bahu muridnya. “Aku tahu, kau juga bisa membuat karya itu.”
Amer terdiam. Isyarat keraguan masih tersisa pada wajahnya, namun kini disertai dengan binar semangat.
Hari itu, sebuah cita-cita baru saja terdeklarasikan dalam hatinya.
***
Hulagu Khan menatap orang di hadapannya dengan tatapan penuh selidik.
“Apa yang bisa kau berikan kepadaku jika kita bekerja sama?” tanya Hulagu Khan. Seorang penerjemah segera menerjemahkan ucapan Hulagu Khan.
Orang di hadapan Hulagu Khan, Mu’ayaduddin, terkekeh. “Apa saja. Bertahun-tahun aku tinggal di Baghdad, aku tahu apa saja tentang kota ini.”
Hulagu Khan masih memusatkan pandangannya kepada Mu’ayaduddin, seolah tak percaya.
“Bertahun-tahun aku tinggal di sini, bahkan aku diangkat menjadi wazir. Bertahun-tahun pula aku hidup dalam lingkungan Islam, padahal aku bukan seorang muslim. Aku tahu kebisaaan mereka, sejarah mereka, bahkan setiap hari aku bertemu dengan khalifah mereka,” jelas Mu’ayaduddin.
Hulagu Khan mengangguk-ngangguk. “Berarti, kau mengkhianati mereka? Kenapa?”
Mu’ayaduddin tersenyum. “Aku muak hidup dalam lingkungan Islam, mereka sudah terlalu lama Berjaya. Aku ingin mendirikan lingkunganku sendiri.
Tapi aku hanya seorang diri, dan kau memiliki ribuan pasukan. Kita memiliki tujuan yang sama. Menghancurkan Baghdad, menghancurkan khilafah Islam di muka bumi ini.”
“Tapi untuk apa aku bekerja sama denganmu? Ratusan ribu pasukanku sudah cukup untuk meluluh-lantahkan kota ini!” suara Hulagu Khan meninggi.
“Kau tidak bisa meremehkan mereka, Hulagu Khan.” Mu’ayaduddin berjalan mendekati Hulagu Khan. Seringainya mengembang. “Mereka adalah bangsa muslim. Mereka bangsa yang sangat kuat. Mereka ahli bermain pedang dan memanah,”
Suara tawa membahana ke seisi tenda. Hulagu Khan meraih tongkat kayu, lantas memukulkannya ke kepala Mu’ayaduddin. “Hahaha… bodoh! Mereka adalah orang-orang lemah yang kerjanya hanya membaca buku. Pasukanku jelas lebih kuat dari mereka!”
“Ini sungguhan, Hulagu Khan!” suara Mu’ayaduddin meninggi. “Mereka sangat ahli berperang. Ratusan peperangan yang mereka ikuti, tak pernah sekalipun mereka kalah. Perang Badar, perang Khaibar, perang Hunain… mereka selalu menang. Bertahun-tahun lalu, ada seorang khalifah yang berhasil memperluas daerah kekuasaan hingga Damaskus, Suriah, Al-Quds bahkan Persia. Mereka tidak dapat diremehkan…”
Tawa membahana Hulagu Khan seketika berhenti. Wajah jumawanya memerah, tangannya mencabut pedang dari dari pinggang. Seakan siap menebas kepala Mu’ayaduddin kapan saja. “Omong kosong! Yang bisa mereka lakukan hanya membaca dan menulis! Tangan mereka hanya kuat mengangkat pena, bukan pedang apalagi tombak!”
“Justru itu, Hulagu Khan,” Mu’ayaduddin menahan gerakan Hulagu Khan. “Itulah mengapa kau membutuhkanku jika kau ingin menghancurkan Baghdad. Aku tahu dua hal yang membuat mereka menjadi kuat.”
Hulagu Khan menatap Mu’ayaduddin penuh selidik. “Apa?”
“Yang pertama, mereka punya pemimpin. Mungkin Al-Musta’sim hanya pemimpin yang lemah. Tapi seluruh umat muslim patuh padanya,” Mu’ayaduddin terdiam sejenak, menarik napas. “Yang kedua adalah perpustakaan di pusat kota. Mereka punya perpustakaan yang menampung ribuan buku dari berbagai zaman Dari sanalah penduduk Baghdad belajar, hal yang tidak pernah bangsa kita lakukan. Mereka belajar membaca pergerakan matahari, tata negara, hingga strategi perang. Mereka juga bisa membuat senjata, bahkan kapal terbang. Dari perpustakaan ini juga mereka membaca tentang sejarah kemenangan-kemenangan mereka di masa lalu.”
Hulagu Khan terdiam. Menaruh kembali pedangnya ke dalam sarung di pinggagnya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Inilah dua titik Kota Baghdad yang akan kita serang,” Mu’ayaduddin menyeringai senang “Istana dan perpustakaan.”
***
Januari, 1258
Hulagu Khan benar-benar menyerang Baghdad hari itu.
Atas bantuan Mu’ayaduddin, sang pengkhianat, ia dan pasukannya berhasil memasuki Baghdad. Ratusan ribu bala tentara Hulagu Khan mengepung Baghdad dari arah barat dan timur sungai Tigris. Mu’ayaduddin bahkan memberikan jalan kepada Hulagu Khan dan pasukannya untuk memasuki istana.
Mu’ayaduddin menghadirkan seorang penari di istana, membuat Al-Musta’sim sibuk menonton penari cantik di hadapannya menari dengan lihai. Hingga tak menyadari bahwa di luar istana, rakyatnya sedang dibantai habis-habisan.
Maka ketika sebuah anak panah tak sengaja mengenai sang penari, Al-Musta’sim baru menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kotanya.
“Apa yang terjadi? Kenapa ada anak panah masuk ke istanaku?!” Al-Musta’sim bertanya pada wazir-nya, Mu’ayaduddin.
“Baghdad diserang oleh bangsa Mongol,” jawab Mu’ayaduddin, berpura-pura panik.
Mata Al-Musta’sim membelalak. “Bawa aku keluar istana! Aku harus melihat keadaan rakyatku,”
“Tunggu, Tuan!” Mu’ayaduddin menghadang langkah Al-Musta’sim. “Rakyat akan marah jika melihatmu baru datang sekarang. Aku punya saran, agar rakyat tidak melihatmu,”
Tak lama sebuah kereta kuda melintas keluar istana. Membawa seorang wazir pengkhianat dan seorang khalifah yang kini wajahnya tertutupi karung. Agar tidak terlihat oleh rakyatnya.
***
Meja pualam itu kini tampak berantakan. Puluhan buku bertumpuk di atasnya. Beserta pemuda cemerlang yang kini tengah sibuk membaca buku yang dipenuhi gambar-gambar simetris dan angka-angka.
Ia mengusap wajah, membalikkan badannya menghadap Syekh Mustafa yang kini tengah sibuk merapikan buku-buku di rak.
“Kapal terbang yang dibuat Ibnu Firnas hanya untuk satu orang, Syekh,” keluhnya. “Tidak mungkin kita membawa penduduk dari Negeri Kepulauan itu menuju Mekkah dengan kapal terbang satu-satu bukan?”
“Kalau begitu perbesar ukuran kapalnya, Amer,” Syekh Mustafa terkekeh, masih sibuk merapikan buku-buku yang berceceran di atas karpet beludru.
“Aku butuh banyak orang untuk membuat kapal terbang raksasa,”
“Ajaklah teman-temanmu yang lain. Ini akan menjadi sebuah karya besar,” Syekh Mustafa berjalan mendekati Amer.
“Tapi buku ini hanya ada satu. Aku tidak bisa menggandakanya, terlalu banyak gambar,” keluhnya lagi.
“Mungkin, sebelum membuat kapal terbang, kau harus menciptakan alat yang bisa menggandakan kertas, Amer,” Syekh Mustafa terkekeh lagi, menepuk-nepuk bahu Amer lalu kembali merapikan rak buku.
Amer menghela napas. Kembali tenggelam dalam buku-buku.
BRUK!
Pintu perpustakaan dibanting dengan kasar. Seluruh kepala tertoleh, tampak terkejut. Termasuk Amer yang kini malah berdiri karena penasaran. Suara gaduh mulai mengisi seisi perpustakaan. Derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat. Pintu-pintu lain dibuka paksa, dibanting. Kaca-kaca jendela dipecahkan. Ratusan manusia dengan baju besi melekat di tubuhnya bergerombol memasuki perpustakaan.
“Aiii-haah!” teriakan-teriakan komando yang tak jelas artinya. Pedang-pedang yang saling beradu dengan rak-rak kayu. Wajah-wajah bengis yang menyiratkan kemarahan.
“Apa yang terjadi?” Amer bertanya panik. Melihat teman-temannya yang sedang sibuk membaca buku berteriak lalu berlari kalang-kabut mencari jalan keluar. “Syekh, apa yang terjadi?”
Syekh Mustafa tidak menjawab. Wajahnya pucat, sedangkan tangannya cekatan meraih beberapa buku yang dapat dijangkau.
“Aku tahu hari ini akan datang, Amer,” katanya kemudian. Tangannya sudah penuh oleh buku. “Selamatkan sebanyak mungkin buku-buku, kita pergi dari sini!”
Amer bergegas meraih buku apa saja yang berada di atas meja pualam, tak terkecuali buku karya Ibnu Firnas. Peluh mengalir dari pelipisnya. Manusia-manusi berbaju besi semakin banyak memasuki perpustakaan, sekan taka da habisnya. Ayunan pedang merobek lembaran-lembaran buku yang tersimpan rapi di atas rak.
“Apa yang terjadi, Syekh?” Amer masih penasaran bertanya.
“Kita diserang, Amer!” suara Syekh Mustafa meninggi. Kaki tuanya tertatih-tatih melangkah, berusaha untuk berlari. “Aku tahu hari ini akan terjadi. Baghdad adalah kota besar, pusat segala ilmu pengetahuan. Pusat peradaban umat muslim. Ada banyak orang yang ingin menguasai kota ini, ingin menghancurkannya.”
Amer menuntun Syekh Mustafa berlari. Sibuk melindungi gurunya dari lemparan buku dan benda-benda tajam yang melintas. “Siapa yang menyerang kita, Syekh? Siapa mereka?!”
“Bangsa Mongol.”
***
“Habisi mereka! Tak ada ampun!” Hulagu Khan berteriak puas. Pedangnya tersimpan rapi di pinggang, sedang tangannya menggenggam tongkat kayu yang sibuk menunjuk-nunjuk. “Bakar, bakar semua yang kalian lihat! Perpustakaan, toko, bahkan masjid sekalipun!”
Suasana Baghdad yang damai berubah mencekam. Darah menggenang, suara teriakan yang tak putus-putus bersahutan. Wanita-wanita yang diperkosa menangis mencoba melawan, tapi tentara Mongol terlalu biadab untuk dicegah. Toko-toko yang dijarah habis serta kobaran api di berbagai sudut menambah semarak pagelaran kematian di kota ini.
Tentara-tentara bermata sipit itu terus menyerang tanpa ampun. Baghdad sudah terkepung, benteng-bentengnya sudah dikuasai oleh Hulagu Khan beserta pasukannya.
Salah seorang pasukan Mongol menghampiri Hulagu Khan. “Tuan, Al-Musta’sim sudah datang.”
“Bawa dia kemari!”
Sebuah kereta kuda berhenti di hadapan panglima tentara Mongol itu. Mu’ayaduddin turun terlebih dahulu. Lalu dengan wajah puas ia menuntun sang khalifah yang kini wajahnya tertutupi karung.
Pasukan Hulagu Khan segera meringkus Al-Musta’sim. Sebelum sang khalifah dapat mengelak, tangannya telah diikat. Ia didudukkan di tempat yang cukup tinggi.
“Buka karung yang menutupi kepala khalifah tua itu! Biarkan ia melihat rakyat kesayangannya menderita! Hahaha…” tawa Hulagu Khan menggetarkan seisi Baghdad.
Al-Musta’sim menangis dalam diam. Meratapi kotanya dengan penuh rasa sesal dan sesih. Ratusan ribu rakyatnya mati bersimbah darah di tanah sendiri. Disembelih, ditusuk, dibakar. Bahkan anak-anaknya pun ikut terbunuh. Kotanya hancur lebur, dan dirinya hanya menunggu waktu untuk menemui kematian. Sedangkan wazir kesayangannya, ikut tertawa puas bersama Hulagu Khan.
“Bunuh dia!” teriak Hulagu Khan lagi.
Maka sebuah karung besar membungkus tubuh Al-Musta’sim. Ia digulingkan di atas tanah, dan sebilah pedang menusuk menembus karung. Mu’ayaduddin menjadi orang pertama yang menusukkan pedang. Diikuti puluhan tentara Mongol yang lainnya.
Hari itu, 10 Februari 1258.
Cahaya di kota bundar itu meredup. Baghdad resmi menyerah.
***
Tentara Mongol semakin gencar mengepung perpustakaan. Mereka membunuh dan menangkap siapapun orang yang dilihat. Mereka juga mengambil buku-buku dan membawanya keluar perpustakaan.
Amer terus berlari dengan tangan kirinya menuntun Syekh Mustafa, sedang tangan kanannya menggenggam buku-buku yang sebagian besar mulai berjatuhan. Syekh Mustafa bahkan sudah tidak sanggup membawa buku-buku lainnya. Tangannya sudah terlalu tua untuk mengangkat beban berat.
Berkali-kali pedang tentara Mongol nyaris menebas, tapi Amer berhasil menghindar. Demi melihat Syekh Mustafa yang tampak kelelahan, Amer memilih untuk berhenti dan bersembunyi di bawah meja.
“Mereka membawa buku-buku keluar perpustakaan, Syekh. Mau dibawa kemana buku-buku itu?” Amer bertanya dengan napas tersengal. Jantungnya berdegup kencang. Kaki-kaki tentara Mongol berlalu-lalang sekian jengkal di hadapannya.
“Aku tidak tahu, Amer,” Syekh Mustafa menjawab dengan suara lemah. “Yang aku tahu, mereka ingin menghancurkan kita, Amer. Mereka ingin menjauhkan kita dari buku-buku ini…”
Seyd Mustafa mengatur napas, tubuhnya terkulai lemah kelelahan. “Kau pergilah, Amer. Selamatkan dirimu. Tinggalkan aku disini, aku sudah terlalu tua, hanya akan menghambatmu. Pergilah, Amer…”
Amer menggeleng keras. “Tidak, Syekh. Aku lebih baik mati daripada meninggalkanmu disini,”
“Tidak Amer, dengarkan aku…” Syekh Mustafa menggenggam tangan Amer, matanya menatap Amer lekat-lekat. “Ratusan buku di perpustakaan ini sudah habis dirobek dan dirusak. Belum lagi buku-buku lain yang mereka ambil. Tapi kau, kau masih menyimpan ilmu-ilmu yang ada di dalam buku itu dalam kepalamu. Kau harus mewarisi ilmu itu, Amer. Kau dan teman-temanmu yang lain. Jangan sampai ilmu itu hilang…”
“Pergilah, Amer. Bawa buku-buku yang masih tersisa, terutama buku karya Ibnu Firnas. Aku masih menyimpan harapan besar agar kau menjadi pewujud cita-cita mulia itu…”
Amer terdiam, namun tak ada waktu untuk berpikir. Dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, ia mengangguk lalu memeluk Syekh Mustafa yang sudah bertahun-tahun menuntunnya menuntut ilmu. Sebuah langkah kecil yang berat mengantarkannya menuju pintu Perpustakaan Bayt Al-Hikmah.
Amer berlari menerobos kerumunan. Hanya satu buku yang ia bawa; buku karya Ibnu Firnas. Berkali-kali kakinya terantuk kayu dari patahan meja, kursi atau rak buku. Berkali-keli tentara Mongol meneriakinya, berkali-kali pula sabetan pedang mengarah kepadanya.
Hingga tepat satu langkah menuju pintu perpustakaan, sebilah pedang menyayat lengannya. Membuatnya jatuh terjerembab, dan buku yang ia pegang terlempar.
Amer meringis. Darah segar membasahi lengan bajunya yang sudah terkoyak. Patah-patah ia mencoba berdiri untuk mengambil bukunya yang terlempar jauh.
“Aiii-haaah…!” tapi sejurus pedang sudah mengarah padanya.
Maka ia tak punya pilihan. Dengan sigap ia melompat, menghindari sabetan pedang dari tentara Mongol tak beradab itu. Amer berlari menuju pintu dengan dada yang terasa sesak.
Meninggalkan buku karya Ibnu Firnas, sekaligus cita-cita Syekh Mustafa.
Amer berlari tak tentu arah. Keadaan di luar perpustakaan ternyata tak ubahnya dengan yang ia lihat di dalam. Ribuan manusia yang mati bergelimpangan, juga bangunan-bangunan yang hangus terbakar.
Amer menatap sekeliling dengan napas tersengal. Air, ia butuh air untuk membersihkan lukanya dan mengistirahatkan diri. Maka dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkahkan kaki keluar dari gerbang Kota Baghdad menuju Sungai Tigris.
Sungai yang telah ratusan tahun menjadi sumber kehidupan penduduk Baghdad.
Amer menjatuhkan dirinya di pinggiran sungai. Mengatur napas, lantas menciduk air dengan tangannya.
Tapi air sungai itu tak lagi jernih.
Beberapa lembar kertas hanyut mengikuti arus sungai. Amer perlahan meraihnya. Dan pertanyaannya terjawab sudah. Tentara Mongol membuang seluruh buku-buku di perpustakaan ke sungai Tigris. Menjadikan buku-buku itu sebagai jembatan untuk menyebrangi sungai. Menghancurkannya, agar tak ada lagi ilmu untuk umat Islam di masa yang akan datang.
Menyisakan tinta hitam yang luntur mewarnai air jernih sungai Tigris.
TAMAT
Sumber: pelajaran Siroh bersama Pak Maksum
Catatan:
Sumber dari cerita ini adalah pelajaran Siroh dari guru Siroh penulis sewaktu SMA. Sejarah keruntuhan Khilafah Abbasiyyah bisa saja berbeda tergantung dari mana sumbernya.
Cerita ini adalah cerita fiksi sejarah yang mana tidak semua tokoh dalam cerita ini asli (dalam hal ini tokoh Syeikh Mustafa dan Amer adalah tokoh fiktif yang dibuat penulis
Hanya ada sekitar 400.000 buku di perpustakaan Bayt Al-Hikmah yang dapat diselamatkan. Sisanya menghilang atau hanyut di sungai Tigris.
Buku tentang rancangan kapal terbang karya Ibnu Firnas juga termasuk dari sekian ratus ribu buku yang hilang. Ratusan tahun kemudian, pada abad ke-20, Wright Bersaudara menciptakan kapal terbang (pesawat) pertama. Membuat dunia mengenal mereka sebagai Bapak Penerbangan, dan melupakan fakta bahwa ilmuwan muslim lah yang pertama kali membuat rancangan pesawat.
Ditulis sebagai tugas portofolio Bahasa Indonesia XII IPS
1 note
·
View note