Tumgik
#mati karmin
mysticplaces · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Marine Mine | salvaged mine furniture by Mati Karmin
210 notes · View notes
i-wish-i-was-a-joke · 2 months
Text
di rumah ini cuma ada pak karmin. kursi dan meja terletak sesuai keinginan pak karmin. besoknya, cangkir kesayangannya jatuh dan pecah. pak karmin tidak sedih, dia menyapu pecahan cangkir itu dan membuangannya di belakang.
di rumah ini cuma ada pak karmin. televisi tua di ruang tengah tidak pernah diperbaiki pak karmin. selembar koran cukup baginya. "toh saya sudah terlalu tua untuk menonton televisi,".
di rumah ini cuma ada pak karmin dan secercah harapan; apakah anakku akan datang ketika aku mati?
0 notes
angusdomo · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Estonian artist Mati Karmin repurposes old naval landmines
0 notes
pesan-pesan · 2 years
Text
Pesan Untuk Karmin (3)
Karmin, pernahkah kau berpikir dengan cara apa dirimu akan mati? tentang bagaimana ruh dan ragamu terpisah secara perlahan, entah di atas ranjang reyot rumah sakit, di tengah aspal panas kota sub urban, atau di pelukan orang terkasih. Semuanya terasa samar bagiku, karena hingga saat ini aku masih meraba-raba ingin mati dengan cara apa.
Sebagian orang ingin mati dalam sholatnya, maka rajin-rajinlah ia dalam ibadahnya. Ada pula yang ingin mati di tanah kelahirannya, maka pulanglah ia setelah selesai memeras keringatnya di ibu kota. Sedangkan aku? entahlah.
Karmin, pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya mati? maksudku, apakah kita akan tetap bisa merasakan sedih, bahagia, atau marah seperti saat kita di dunia? atau semuanya terasa lebih sepi dari di sini? atau bagaimana jika ternyata rasanya sama saja dengan yang kita rasakan saat ini? mungkin kita sudah berada di neraka atau surga itu sendiri.
Tapi bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirmu di dunia?
Entahlah, mungkin aku akan merayakannya dengan keluarga, orang terdekat, para sahabat, dan orang terkasih bersama satu botol anggur untuk mengucapkan terima kasih, karena telah bersedia menjadi bagian dari hidupku dan membuat semuanya dapat dituliskan dengan baik.
Tapi sayangnya aku tidak akan pernah tahu itu kapan.
0 notes
Photo
Tumblr media Tumblr media
Mati Karmin
Isaac Hayes
1 note · View note
martian-night · 3 years
Text
Estonia infodump time:
I present to you the prolific sculptor Mati Karmin, whose works are prominently displayed around Estonia. His range goes from abstract:
Tumblr media
To fine:
Tumblr media Tumblr media
To so bad it's goofy:
Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
peoplearoundyou · 5 years
Text
Dari Jendela Kamar
1940
HAMPIR setiap pagi hari, aku melihat Baskoro dari jendela kamar tidurku, laki-laki berusia 17 tahun, anak dari pribumi setempat, ia hendak berangkat ke sekolah. Di sini hanya ada satu sekolah, Pesantren Al-Bashrah namanya. Terlihat juga bagaimana adegan ia berpamitan dengan kedua orang tuanya, meski tidak dapat kulihat dengan jelas, karena jarak tempatku dengan rumahnya terbentang jarak 2 km. Aku tinggal di sebuah bangunan berlantai 3, markas kolonial Belanda. Bangunan yang menjadi pembatas antara perumahan inlander dengan para penjajah. Setiap ada waktu aku selalu berusaha memantau laki-laki tersebut dari jendela kamarku. Pagi adalah salah satu waktu yang paling sering kugunakan untuk melihatnya dari kamar jendelaku, sisanya aku menghabiskan waktuku di tempat ini untuk bekerja, bekerja untuk penjajah, sebagai babu.
Aku masih melihatnya dari jendela kamarku, punggungnya semakin lenyap ditelan jarak pandangku. "Juminten!" Suara Ny. Lars memecah heningku. Aku segera menghampiri sumber suara. "Nanti siang akan ada tamu istimewa, tolong siapkan pakain terbaikku." Jelas Ny. Lars. Kuanggukkan kepala isyarat patuh pada inginnya. Di ruang hias Ny. Lars aku menyiapkan semuanya, menyetrika pakaian terbaiknya, kusemprotkan juga pengharum pakaian beraroma bunga-bunga, wanginya menenangkan jiwa dan pikiranku, suhu panas setrika yang membuat keringatku sedikit bercucuran, membuat bau tubuhku semakin sempurna. Setelah semua selesai, aku duduk di ujung ruangan, membuka jendela kamar untuk mengusir rasa gerah yang membuat tubuhku semakin bau.
Kuedarkan pandanganku ke luar jendela, sosok Pak Karmin yang sedang berdiri di depan rumahnya mengalihkan pandanganku. Jarak rumah Pak Karmin yang tak jauh dari markas Belanda, hanya berjarak sekitar 1 km. Pak Karmin adalah kepala desa kampung Bashrah, ia juga keturunan alm. Kiyai Wahid, pendiri kampung Bashrah. Kiyai Wahid jugalah yang memberi nama kampung ini dengan nama Bashrah dan pendiri Pesantren Al-Bashrah. Konon, sewaktu Kiyai Wahid merantau ke Mesir untuk belajar Islam, salah satu gurunya memiliki sanad keilmuan yang sampai pada Imam Hasan Al Bashri, salah satu ulama cemerlang di tiga generasi awal Islam, sepulangnya dari Mesir, Kiyai Wahid memberi nama kampung ini dengan nama tempat tinggal Imam Hasan, yakni Bashrah. Menurut Pak Karmin, alasan  Kiyai Wahid memberi nama Bashrah karena nama tersebut dekat pelafalannya dengan Bashirah, yang artinya kemampuan seorang hamba untuk memandang hakikat kebenaran yang telah diajarkan oleh Tuhan. Tujuannya tentu saja agar penduduk setempat tumbuh menjadi generasi Rabbani.
Ah, aku melamun sampai mengobrak-abrik ingatanku tentang cerita masa lalu. Sepertinya aku tidak pantas mengenang ingatan itu lagi, siapa aku sekarang? Perempuan kotor! Pak Karmin adalah salah satu warga kampung Bashrah yang masih menerimaku jika aku bertamu ke rumahnya ataupun hanya sekedar mampir ke kampung Bashrah.
Kulihat jam dinding, tepat pukul 08.00, aku pergi ke dapur, menyiapkan masakan untuk Tuan dan Nyonya Belanda. Setiap pagi hari, para petani kampung Bashrah menyerahkan hasil tanamnya ke petugas markas Belanda untuk dikonsumsi atau diekspor guna mendapat keuntungan. Hari ini pasokan makanan yang datang di markas lebih banyak, karena akan ada acara penjamuan nanti siang di markas ini. "Selamat pagi, Juminten." Suara Tuan Evenhart terdengar dari belakangku. "Pagi, Tuan." Jawabku, sedikit menundukkan tubuhku. "Kuingatkan, hari ini ada tamu istimewa datang, jangan sampai kau membuat masakan yang tidak layak untuk dikonsumsi tamu istimewa." Ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. "Baik, Tuan." Ia pun berlalu. Tuan Evenhart adalah Jendral Belanda tertinggi di wilayah jajahan sekitar sini, jika ada tamu istimewa datang, barangkali pangkat atau derajat tamu tersebut lebih tinggi dari dirinya.
Setelah hampir dua jam berlalu, masakan hampir siap semua. Tubuhku merasa gerah lagi karena panas kompor, bahkan berkali-kali lebih gerah lagi dari menyetrika pakaian Ny. Lars tadi. Bau tubuhku pun menjadi berkali-kali lipat. "Juminten." Ada suara memanggil. Kutengok ke belakang, ternyata salah seorang petugas yang memanggil. "Ada apa?" Tanyaku. "Ada surat untukmu." Ia pun menyerahkan surat itu kepadaku. "Dari Pak Karmin." Terusnya. Aku sedikit terkejut, ada perlu apa Pak Karmin mengirim surat? Kuterima surat tersebut, "Terima kasih." Saat hendak membalikkan tubuhku untuk meneruskan memasak, petugas itu masih saja menatapku. "Meskipun tubuhmu bau, tapi kau masih tetap menawan, Jum. Pantas saja Tuan Evenhart senang memeliharamu." Ia pun berlalu. Aku tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tapi ada satu kata yang mengganjal dihatiku. "Memelihara?" Kau pikir aku hewan, hah?
Salah satu peraturan di sini jika ingin berkomunikasi atau membuat janji dengan orang dalam markas selain petugas jaga di pintu, maka haruslah melalui surat. Tapi ada perlu apa Pak Karmin mengirimiku surat, biasanya dalam seminggu aku yang berkunjung ke rumahnya tiga sampai empat kali saat istirahat sore hari, karena dengan cara itu aku mencoba tetap menjalin hubungan dengan warga kampung Bashrah, meski kebanyakan warga sana tidak lagi dapat menerimaku.
"Jum, datanglah ke rumah sore ini, ada yang ingin saya bicarakan dengan dek Jum. Perihal Baskoro." Tulis Pak Karmin.
Baskoro? Ada apa dengannya?
Pukul 16.00 aku mengunjungi rumah Pak Karmin, memenuhi permintaannya. Untung acara dengan tamu istimewa di markas Belanda selesai pukul 15.30, jadi aku bisa datang sore ini. Setibanya di depan rumah Pak Karmin, ternyata beliau duduk di teras rumahnya, sepertinya Pak Karmin memang sudah menungguku, untung aku bisa datang. Sebelum masuk, kubenahi dulu jilbab yang kukenakan, kumasukkan poni rambutku ke dalam kain pembungkus kepala ini. Orang-orang yang lalu lalang di depan rumah Pak Karmin melihatku dengan tatapan sinis. Sedari perjalanan ke sini pun orang-orang menatapku dengan pandangan yang sama.
Akupun masuk ke teras rumah Pak Karmin dan berdiri tepat di hadapannya. Senyum hangatnya menyapaku, senyum seorang kiyai, meskipun Pak Karmin adalah seorang kiyai sekaligus pengajar di Pesantren Al-Bashrah, ia tetap senang dengan sapaan Pak Karmin bukan Kiyai Karmin. "Ada apa dengan Baskoro, Pak?" Tanyaku. "Duduklah dulu. Kau mau minum apa? Nanti kuambilkan." Jelas Pak Karmin. "Oh. Air putih cukup, Pak." Jawabku. "Kuambilkan teh hangat ya, biar pembicaraan kita lebih hangat." Aku mengangguk sebagai hormatku pada kiyai. Walaupun aku bekerja dengan orang Belanda, tapi aku lebih menghormati Pak Karmin daripada Tuan Evenhart ataupun Ny. Lars.
"Baskoro mendapat tawaran untuk melanjutkan studi di Al-Azhar, Mesir. Bagaimana pendapatmu?" Ucap Pak Karmin. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Pak Karmin. Al-Azhar? Itu adalah tujuan semua santri di Pesantran Al-Bashrah ini. "Kau adalah orang yang harus tahu tentang hal ini." Terus Pak Karmin. Tubuhku semakin bergetar hebat, keringat mulai bercucuran dari dahiku. Baskoro akan jadi ulama seperti Kiyai Wahid? Semenjak kepulangan Kiyai Wahid dari Mesir sampai sekarang terhitung hanya beberapa gelintir santri yang bisa pergi ke Al-Azhar. "A... Aku terkejut dengan berita yang Pak Karmin sampaikan." Jelasku. "Tenangkanlah sejenak dirimu." Baskoro akan menjadi ulama, sedangkan aku?
"Tentu aku senang dengan berita ini, Pak. Aku pun setuju jika ia akan melanjutkan sekolah ke Al-Azhar. Walaupun ada sesuatu yang menambah beban di hatiku." Jelasku. "Tentang statusmu sekarang?" Aku mengangguk. "Kau masih bersikeras ingin menyembunyikan segalanya dari Baskoro, Jum?" Aku mengangguk lagi. "Baskoro tidak perlu tahu, itu akan membuatnya malu. Akupun malu jika harus mengatakan semuanya." Aku menatap wajah Pak Karmin, airmataku tak tertahankan lagi. Aku memang selalu sedih setiap kali membahas Baskoro, tapi baru kali ini perasaanku terasa lebih bercampur-aduk. "Tapi mau sampai kapan kau menyembunyikan semua ini, Jum?" Pak Karmin menatapku tegas. "Barangkali sampai aku mati, sampai aib kampung ini mati baru Pak Karmin kuizinkan untuk mengatakannya pada Baskoro. Atau bahkan Baskoro tidak perlu tahu segalanya selama-lamanya." Jelasku lebih tegas. "Tidak maukah kau jika Baskoro mendoakanmu? Agar semua lebih baik. Bukankah doa orang sholeh itu mustajab? Bukankah doa anak kepada orang tuanya juga mustajab? Aku yakin kau tidak akan pernah lupa dengan pelajaran itu." Jelas Pak Karmin, dengan penekanan pada dua kalimat terakhir.
Aku tahu Pak Karmin selama ini selalu bersikap bijak kepadaku di saat yang lainnya memandangku sinis, karena Pak Karmin ingin aku menjadi Juminten yang dulu. Tapi aku terlanjur kotor. Wajar jika banyak orang yang akan menolakku, berzina di luar nikah adalah  aib yang besar bagi kampung Bashrah ini. Tapi aku begini bukan tanpa alasan, walaupun aku mengerti alasan ini pun salah, tapi aku tidak memiliki jalan lain selain ini.
MALAM harinya, aku duduk di samping jendela kamarku, menatap rumah di mana Baskoro tinggal. Sebelum aku pulang dari rumah Pak Karmin, aku meminta maaf yang sedalam-dalamnya, barangkali ada salah kata dalam pembicaraan tadi sore. Hingga malam ini, rasa gundah gulana menyelimutiku. Sebisa mungkin, aku akan terus menjaga rahasia ini, aku tak akan pernah mengizinkan Pak Karmin menceritakan semua rahasia ini kepada Baskoro selama aku hidup, setalah aku mati terserah padanya, meski aku lebih senang bahwa Baskoro tidak perlu tahu tentang siapa asal-usul ibu kandungnya. Itu akan menjadi aib bagi dirinya, calon mahasiswa Al-Azhar. Aku cukup mendoakannya saja dari sini, meski aku tidak tahu apakah doa seorang pezina sepertiku ini akan dikabulkan.
Semua berawal ketika Belanda menjajah kampung Bashrah dengan sangat kejam, Belanda telah ada semenjak aku masih kanak-kanak. Para penduduk kampung Bashrah harus membayar pajak dengan biaya lebih besar dari penghasilannya sebagai Romusa, beberapa perempuan diperkosa dengan keji dan memberontak sedikit saja ditembak mati. Beberapa perempuan kampung Bashrah yang tak tahan dengan ini semua, iman mereka melemah, mereka menyerahkan diri untuk diperkosa dengan harapan mendapatkan hidup lebih baik di bawah kaki Belanda, tapi setelah diperkosa kebanyakan dari mereka dibunuh, sebagiannya lagi terusir karena malu dengan perbuatannya sebagai warga kampung Bashrah.
Tahun 1910, Kiyai Wahid wafat setelah memimpin pertempuran dengan Belanda, meski setelah pertempuran itu berakhir, Belanda tetap berdiri tegap. Tahun 1915 terjadi pertempuran yang kedua, lagi-lagi penduduk kampung Bashrah kalah, banyak nyawa yang melayang di medan jihad ini. Di tahun 1920, pertempuran ketiga pun pecah, meski hasilnya pun sama saja, kalah. Di tahun 1921, penjajahan Belanda lebih kejam, ketika itu ada pergantian pemerintahan Belanda untuk wilayah Bashrah. Jendral Evenhart yang bertahta paling tinggi ketika itu. Jendral baru ini benar-benar kejam, banyak warga kampung Bashrah yang mati kelaparan, wabah penyakit merajalela. Tahun 1922, tepat satu tahun Jendral Evenhart memimpin, kala itu usiaku 17 tahun dan aku adalah santriwati di Pesantren Al-Bashrah.
Tak lama dari setahun kepemimpinannya di wilayah kampung Bashrah, Jendral Evenhart menawarkan negosiasi. Ia meminta tumbal seorang perempuan sebagai teman tidurnya, sebagai gantinya ia tidak akan berlaku kejam lagi terhadap rakyat kampung Bashrah, bahkan ia menawarkan hidup berdampingan bersama-sama, ia membuat janji. "Tentu sebagai Jendral, aku pun selektif dalam memilih teman tidurku, tidak semua perempuan yang datang padaku akan aku terima. Dan setelah tidur bersamaku, jangan harap menjadi istriku, karena 'haram' bagi jendral sepertiku menikahi inlander seperti kalian." Begitu jelasnya di depan rakyat kampung Bashrah. Setelah mengucapkan kalimat tadi, ia menatapku dengan tatapan tajam, tak lama aku pun menundukkan pandanganku. Saat itu aku tidak mengerti maksud pandangan tajam itu. Haram katanya? Sebagai penjajah ia tahu juga kosakata 'haram', lalu apa yang ia perbuat ini tidak haram? Hatiku bergerutu. Beberapa hari berlalu setelah penawaran dari Jendral Evenhart, beberapa perempuan yang merasa dirinya "menarik" menawarkan diri pada Jendral Evenhart, tapi mereka semua ditolaknya. "Kau pikir aku Jendral murahan mau tidur dengan perempuan sepertimu, hah?"
Situasi semakin sulit, kekejaman pemerintahan Jendral Evenhart semakin menjadi-jadi. Beberapa orang datang kepadaku, memintaku untuk dapat memenuhi syahwat Jendral Evenhart, menurut mereka akulah perempuan yang diinginkan Sang Jendral. "Kamu kan cantik, Jum. Bisa dibilang kamulah perempuan paling cantik di kampung ini, Jum. Tolong kami keluar dari penderitaan ini, Jum." Jelas mereka. Ada juga yang menangis, memohon padaku. Lalu bagaimana dengan imanku? Tanyaku dalam hati. Akupun pergi ke kamarku meninggalkan mereka, sedikit isak tangis mewarnai langkahku menuju kamar. Akupun menangis sejadi-jadinya di kamar. Sebelum situasi memburuk seperti ini, memang banyak warga sini yang memujiku bahwa aku cantik dan menarik, beberapa kali lamaran datang kepadaku, baik pemuda ataupun seorang suami yang ingin berpoligami, tapi tidak satupun lamaran itu kuterima, karena aku belum ingin menikah. Hari ini bukan lamaran yang datang kepadaku, tapi setan bejat yang menjelma menjadi Jendral yang menginginkan tubuhku. Saat itu aku sadar dan mengerti maksud tatapan tajam Jendral Evenhart padaku saat ia memberikan pengumuman. Mungkin itu isyarat bahwa ia menginginkanku.
Hari-hari berlalu, aku masih memikirkan permintaan beberapa warga untuk menjadi tumbal syahwat Jendral Evenhart. Kekejaman pun semakin menjadi, anak-anak tidak diperbolehkan sekolah, mereka dipaksa menjadi "romusa cilik", hatiku pun semakin pilu. Hingga pada suatu hari, bapak pun mati kelaparan saat bekerja, makan hanya pagi hari, itupun hanya beberapa suap sedangkan bapak bekerja tanpa henti. Ibu menangis sejadi-jadinya di hadapan mayat bapak. Aku pun menangis, memeluk lengan ibu. Malam harinya aku telah memutuskan, aku akan datang untuk memenuhi syahwat Jendral Evenhart, meski sebenarnya aku datang pada Jendral Evenhart untuk menghentikan kekejaman ini semua, bukan rela ditiduri setan bejat itu. Keesokan harinya, berita tentang keputusanku ini tersebar di kampung Bashrah, ada yang senang dan juga ada yang menyayangkan keputusanku. Ibu tidak bicara apapun, hanya menangis sambil memelukku. Pak Karmin datang padaku, ia tidak setuju dengan keputusanku. Tapi aku telah membulatkan keputusanku. Aku terus meyakinkan pada diriku sendiri dan pada siapapun yang masih mempercayaiku, bahwa keputusan yang aku ambil ini bukan untuk pasrah pada syahwat Jendral Evenhart, tapi untuk menyelamatkan nasib rakyat kampung Bashrah.
Esok hari aku datang menemui Jendral Evenhart. Kulihat bagaimana ia senang sekali dengan kedatanganku. Benar saja, ia benar-benar menginginkanku. Sepanjang hari aku diperlakukan seperti seorang ratu, diberikan pelayanan terbaik. Saat makan malam sebelum aku menemani tidurnya, kutegaskan padanya bahwa ia harus menepati janjinya. "Tuan harus menepati janji bahwa Tuan harus menghentikan semua kekejaman Tuan pada rakyat kampung Bashrah" Jelasku, bibirku bergetar hebat. Ia pun dengan tegas mengatakan bahwa seorang jendral tak akan mengingkari janjinya. Setelah makan malam usai, aku pun tidur bersamanya.
Esok harinya, sebelum menunaikan shalat subuh, kusadari bahwa aku telah kehilangan kehormatanku. Kehormatanku sebagai perempuan, kehormatanku sebagai muslimah juga kehormatanku sebagai warga kampung Bashrah. Isak tangis mewarnai penyesalanku, barangkali isak tangis penyesalan ini akan abadi di hatiku. Tapi aku tetap memberanikan diri untuk tetap menghadap Allah di waktu subuh. Sepanjang shalat aku menangis, malu sekali kepada Allah. Barangkali ini ada shalat terbaik seumur hidupku.
Pukul 08.00, Jendral Evenhart membuat pengumuman di hadapan pasukan dan inlander kampung Bashrah, bahwa mulai hari ini tidak ada lagi kekejaman. "Para inlander tetap bekerja untuk kita, tapi disesuaikan porsinya. Tidak boleh ada lagi kekejaman, karena tumbal mereka telah memuaskanku." Jelas Jendral Evenhart. Aku melihatnya dari jendela kamarnya, di lantai 3 markas Belanda. Setelah itu, ia menghampiriku yang ke kamar, ia memberitahuku bahwa ia ingin menjadikanku perempuan simpanannya, aku diminta untuk menuruti semua kehendaknya, termasuk soal birahinya, jika aku tidak menurutinya, ia mengancamku akan mengulang kekejamannya kepada rakyat kampung Bashrah. Ini benar-benar di luar dugaan. Aku harus memuaskan nafsu birahinya kapan pun ia mau, karena ia tidak boleh menikahi inlander, ahirnya aku dijadikannya pelayan markas Belanda, hingga ia membuat aturan-aturan yang ketat untukku, kapan aku harus ada dimarkas, kapan aku boleh berkunjung ke kampung Bashrah dan lain sebagainnya. Aku benar-benar terjebak pada situasi sulit, tidak ada pilihan untuk menolak. Aku menangis sejadi-jadinya dihadapan Jendral Evenhart. Sebelum ia pergi dari kamarnya, aku meminta ia untuk mengizinkanku bertemu dengan Pak Karmin dan ibuku, ia pun mengizinkan, dengan catatan sebelum malam aku harus sudah tiba lagi di markas Belanda dan semua peraturan yang ia katakan tadi mulai berlaku esok hari.
Siang harinya aku menemui Pak Karmin dan ibuku di rumahku. Kuceritakan semuanya padanya. "Jendral itu benar-benar setan!" Bentak Pak Karmin. Ibuku memelukku erat, airmatanya tumpah di pipiku. Aku tetap di rumah hingga sore hari, ditemani Pak Karmin dan ibu. Menjelang matahari tenggelam aku kembali lagi ke markas Belanda, kembali ke neraka dunia.
Beberapa bulan kemudian, kuketahui bahwa aku hamil. Tentu ini anak dari Jendral Evenhart. Sudah tentu juga bahwa ia tidak ingin mengadopsinya kelak jika anak ini telah lahir. "Aku tidak akan mengakui anak dari hubungan ranjang dengan inlander!" Ketusnya. Sebulan sebelum aku melahirkan, berita duka datang dari kampung Bashrah, ibuku meninggal dunia karena penyakit, ternyata diam-diam ibu mengidap penyakit berbahaya, tidak seorang pun tahu. Aku berduka sedalam-dalamnya, aku tidak memiliki sanak keluarga lagi, aku anak semata-wayang dari bapak-ibuku. Tadinya aku ingin menitipkan anakku ini kelak pada ibuku, tentu aku tidak akan rela membiarkan anakku tumbuh di dalam neraka.
Tepat di awal tahun 1923, anakku lahir di rumah Pak Karmin, aku meminta izin pada Jendral Evenhart agar diperbolehkan melahirkan di luar markas, agar anakku tidak lahir di neraka. Akupun menitipkan bayi ini kepada Pak Karmin. Kukatakan juga pada Pak Karmin bahwa jangan katakan pada bayi ini bahwa aku ibunya, jangan pula masyarakat tahu bahwa bayi ini adalah anakku, kasihan dia akan menanggung beban yang pahit bahwa ibunya adalah aib di kampung, didik ia juga agar menjadi santri rabbani. Pak Karmin hanya mengangguk. "Kuturuti semua permintaanmu, karena beban yang kau derita sudah terlalu berat, Jum." Aku sangat berterima kasih atas peran Pak Karmin dalam hidupku.
Selang beberapa hari, Pak Karmin mengirimiku surat, ia katakan bahwa ia memberi nama bayiku dengan nama Hasan Baskoro, kelak ia akrab disapa Baskoro. Pak Karmin menitipkan Baskoro pada anaknya yang kebetulan istrinya mandul, karena menurut pertimbangan Pak Karmin, Baskoro akan tumbuh lebih baik bila dibawah asuhan anaknya. "Aku juga tidak menyampaikan pada anakku bila bayi yang kutitipkan adalah bayimu. Untung juga bayimu ini meski seorang laki-laki tapi mirip dengan dirimu, sehingga tidak terlihat ia anak seorang Belanda dan anakku pun tidak curiga kalau bayi ini adalah bayi buangan dari penjajah" Jelas Pak Karmin. Dengan surat ini juga Pak Karmin menyampaikan perihal warga kampung Bashrah, beberapa warga menyangka kau telah menjadi perempuan simpanan Sang Jendral, hidup bahagia di sana dan lupa terhadap statusmu sebagai santriwati Pesantran Al-Bashrah. Mereka pun menyangka kau dengan prasangka buruk. Tapi karena kau ingin ini semua menjadi rahasia, maka aku pun tidak mengatakan banyak, aku hanya mengatakan pada mereka bahwa jangan su'udzon dulu. Jadi jika kau nanti mampir ke kampung Bashrah, harap-harap maklum terhadap sikap beberapa warga kepadamu. Yang penting kau jangan lupa selalu berdo'a dan jangan meninggalkan shalat.
Aku membalas surat Pak Karmin, kukatakan banyak terima kasih atas semua kebaikannya. Kukatakan juga permintaanku kepada Pak Karmin, tolong ajarkan kepada santri Pesantren Al-Bashrah akan nikmatnya hidup damai, bisa beraktivitas dengan tenang dan yang penting dapat beribadah dengan tenang tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, ajarkan juga pada para santri bahwa kehidupan kejam telah menimpa orang-orang sebelum mereka, banyak-banyaklah bersyukur sebelum berkeluh kesah. Aku tidak berharap pengorbananku ini dituliskan ataupun dikenang dalam bentuk apapun, aku hanya berharap bisa bermanfaat untuk lingkunganku hidup, juga untuk generasi berikutnya. Aku tidak memikirkan tentang anggapan buruk orang-orang kampung Bashrah tentang aku, yang lebih kupikirkan adalah Baskoro, aku tidak ingin jika di kehidupannya kelak ia mendapat tekanan jika tersebar kabar bahwa akulah ibu kandungnya, biarlah ia kelak senang menyandang cucu seorang Pak Karmin, keturunan Kiyai Wahid, hingga waktu yang menjawab apakah ia perlu tahu ibu kandungnya ataupun tidak sama sekali.
MALAM semakin larut, ingatanku benar-baner mengobrak-abrik masa lalu. Baskoro, dahulu aku tidak ingin kau tahu kalau aku adalah ibu kandungmu karena kau adalah warga kampung Bashrah, setelah Pak Karmin memberitahuku tentang dirimu yang akan melanjutkan sekolah di Al-Azhar dan menjadi ulama, alasanku untuk tidak memberitahumu tentang siapa aku berubah, bukan hanya karena kau warga kampung Bashrah, tapi karena kau adalah calon ulama. Kelak apa kata orang jika seorang ulama memiliki ibu yang kotor ini macam aku, itu akan menodai keulamaanmu, tentu juga akan menodai nama besar Al-Azhar. Barangkali kau benar-benar tidak perlu tau siapa ibu kandungmu, hingga kapan pun.
Aku pun tak tahu, apakah kau menjadi seperti sekarang ini karena do'a-do'a yang kupanjatkan, do'a yang dipanjatkan oleh perempuan kotor atau do'a-do'a dari orang tua asuhmu yang dikenal dengan kesholehannya.
TAMAT
1 note · View note
Photo
Tumblr media
Interesting chairs such as this broken wooden chair restored with translucent acrylic (by Tatiane Freitas)
Tumblr media
Scorpion chair by designer Vyacheslav Pakhomov 
Tumblr media
Sunflower Chair by He Mu and Zhang Qia
Tumblr media
One with a bag hanger
Tumblr media
Concrete and Leather Rocking Chair by Paulsberg
Tumblr media
This chair can transform into a stepladder
Tumblr media
Eames replica 
Tumblr media
Storytime rocking chair
Tumblr media
LC4, designed by a famous french architect called Le Corbusier in 1929, is still considered today as the most confortable chair in the world.
Tumblr media
Chair made out of 737 jet engine cowling. They are selling these here: http://www.fallenfurniture.com/product/737-cowling-chair/ 
Tumblr media
Tree trunk chair
Tumblr media
The Globe Garden is a re-launch of an iconic chair that shows how norms of sitting nicely and sitting still can be broken. Garden was licensed by the Norwegian company Stokke from 1985 to 2005 and has now been re-launched at the Stockholm Furniture Fair in a new version by Moment AB. The new version of the chair depicts branches of a tree that continues down the legs and become supporting roots.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
"Gentleman's surprise chair" ca. 1880
Tumblr media
Chair made from an old Naval mine shell. This chair is created by Mati Karmin.  The frame of the artpieces is a historical deep-sea mine of AGSB-type, made in Russia in 1942. It was a big galvanic deep-sea mine, equipped with “Blok” device and two contact electro-magnetic antennas. The upper antenna was kept steady by a buoy. The mine was used to fight submarines. It was still manufactured in the 50s. The measures of the original mine are: diameter: 875 mm, weight: 1140 kg, Explosive charge: 240 kg.
Tumblr media
Tulip chairs
132 notes · View notes
gramedia · 7 years
Text
Resensi Pilihan: Kumpulan Budak Setan - Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad
Ditulis oleh Launa Rissadia di https://coretanlauna.wordpress.com/2017/02/18/review-kumpulan-budak-setan/ untuk program #ResensiPilihan di Twitter @Gramedia.
Tumblr media
Sinopsis
Kumpulan Budak Setan, kompilasi cerita horor Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, adalah proyek membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, penulis horor populer yang produktif di era 1970-1980-an. Dua belas cerpen di dalamnya mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap—balas dendam, seks, pembunuhan—serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?”
(“Riwayat Kesendirian”, Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan―lebih mirip terigu menggumpal tersapu air―dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan.
(“Goyang Penasaran”, Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam atau telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana.
(“Hidung Iblis”, Ugoran Prasad)
Resensi
Kumpulan Budak Setan merupakan proyek yang ditulis oleh Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad yang terinspirasi dari karya Abdullah Harahap sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau; penulis horor populer. Di dalamnya terdapat dua belas cerpen dengan masing-masing empat cerita dari setiap penulis. Tujuh dari dua belas cerpen tersebut sebelumnya pernah dimuat di koran dan majalah beberapa tahun yang lalu. Seperti yang disebutkan di belakang kover, kedua belas cerpen tersebut mengolah beragam tema khas Abdullah Harahap, seperti balas dendam, seks, pembunuhan, motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib seperti jimat, dan lain-lain, dan manusia jadi-jadian.
Berikut sedikit tentang kedua belas cerpen tersebut dan kesan-kesan saya:
Penjaga Malam 
“Lalu aku merasa mendengar kesunyian, betapapun anehnya ungkapan itu bagiku. Tapi benar, aku mendengarnya, suatu bunyi yang kosong, yang berbeda dengan apa pun.” (h. 3)
Tentang Aku yang sedang berjaga malam bersama Karmin, Miso, dan seorang anak bernama Hamid. Waktu pun berlalu dan Karmin yang pergi berkeliling kampung tidak kunjung kembali. Kemudian disusul oleh Miso dan Hamid, yang keduanya pun sama seperti Karmin; menghilang dan tak kembali. Penasaran dengan apa yang menimpa teman-temannya, Aku pun akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka. Sayangnya, ia pun bernasib sama seperti Karmin, Miso, dan Hamid.
Cerpen ini tidak membuat bulu kuduk saya berdiri. Tidak berasa horornya. Tetapi, karena cerpen ini saya jadi tahu apa itu bajang.
Taman Patah Hati 
“Pergilah ke Taman Inokashira dengan kekasih atau istrimu, kamu akan segera menemukan hubungan kalian hancur total.” (h. 13)
Tentang seorang lelaki bernama Ajo Kawir yang begitu memercayai takhayul. Hingga ketika mau mengakhiri pernikahannya dengan Mia Mia pun, ia begitu niat melakukan perjalanan ke Tokyo. Setelah gagal mengakhiri pernikahannya di Candi Prambanan dan Bali, ia merasa perlu mencobanya lagi di Taman Patah Hati. Ajo Kawir merasa menyesal dengan perjanjian yang dulu telah ia lakukan dengan si lelaki tua. Perjanjian yang menjadi alasan di balik keinginannya menyudahi hubungannya dengan Mia Mia.
Cerpen ini membuat saya berpikir, apa betul orang yang memercayai takhayul sampai sebegitunya. Selain itu, ceritanya cukup menarik karena ada hal yang mengejutkan tentang Mia Mia dan ending yang tak terduga.
Riwayat Kesendirian 
“Aku sedang sendirian di dalam rumah ketika aku merasa seseorang menepuk pundakku. Seketika aku menoleh ke belakang, tapi aku tak melihat siapa pun.” (h. 21) 
Tentang Aku, seorang lelaki yang bertemu dengan seorang gadis, Ina Mia, dua belas atau tiga belas tahun lalu. Gadis yang dititipkan oleh temannya untuk tinggal sementara di kamar kontrakannya. Waktu berlalu dan cinta pun bersemi di antara mereka. Namun, ada perasaan aneh yang timbul dalam diri Aku. Ia merasa seolah-olah pernah berpacaran dengan Ina Mia. Suatu hari, saat Aku sedang sendirian, ia merasa ada sesuatu yang selalu hadir di sekitarnya. Sesuatu yang dapat ia rasakan keberadaannya, tapi tak bisa dilihatnya.
Cerpen ini meninggalkan sebuah pertanyaan di benak saya. Jadi, siapa sebetulnya sesuatu yang selalu hadir itu? Apakah Ina Mia atau ada sosok lain?
Jimat Sero 
“Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero. Dengan pikiran seperti itu, entah kenapa, aku tetap membawa jimat sero di saku celanaku.” (h. 37) 
Tentang Aku yang sewaktu kecil tidak berani berkelahi atau melawan orang yang mengerjainya. Suatu hari, Rohman yang ragu dengan jawaban Aku, memberikan sebuah jimat padanya. Aku pun penasaran apakah jimat itu benar-benar dapat bekerja seperti yang dikatakan Rohman atau tidak. Akhirnya, Aku mencoba mengujinya dengan memancing kemarahan Nasrudin, salah seorang teman kerjanya. Berkat jimat sero yang ada di saku kiri celananya, ia berhasil membuat Nasrudin babak belur. Namun, karena jimat sero pula Aku mengalami suatu keanehan.
Baca ending cerpen ini membuat saya sebal. Sebal di sini maksudnya itu mengejutkan sekali. Saking tidak dapat ditebak, sampai-sampai saya berulang kali dalam hati bilang, “Gila lah. Juara. Ih, ya ampun, ending-nya.” Maklum, saya suka kesal sendiri kalau baca ending yang tidak tertebak, haha.
Goyang Penasaran 
“Sejak peristiwa tujuh belasan, Salimah, si ratu dangdut yang bikin mesum lelaki sekampung, tak pernah lagi mendapat tawaran manggung. Para lelaki penggemar yang dulu mengelu-elukannya tak sedikitpun membelanya, walaupun mereka masih meliriknya dan bersiul-siul bila ia lewat.” (h. 51) 
Tentang salah seorang penyanyi dangdut idola bernama Salimah. Sejak peristiwa tujuh belasan, ia tak pernah lagi mendapat tawaran manggung. Dua tahun kemudian di kampung muncul seorang perempuan berjilbab dengan wajah kuyu yang ternyata adalah Salimah. Ia pun kemudian menjadi bahan perbincangan orang tentang penampilannya yang tak lagi sama seperti dulu. Ada seorang lelaki bernama Solihin yang dulu rajin memberinya hadiah. Bisa dibilang ia amat tergila-gila pada Salimah. Sampai Salimah telah berubah penampilannya pun, ia masih ingin memperistrinya. Singkat cerita, Salimah memenuhi tawaran dari Solihin yang membawa Haji Ahmad menuju ke kematian. Kejadian tragis yang menimpa ketiganya pun tak terelakkan.
Cerita yang menarik, seru, dan tidak biasa. Saya suka dengan cara penulis menggambarkan setiap kejadian yang dialami para tokohnya. Juga gaya bahasanya yang sederhana, namun mampu menghanyutkan pembaca ke dalam cerita.
Apel dan Pisau 
“Aku menekuni apel Cik Juli yang berada di hadapanku. Merah, bulat, dan ranum. Dan permukaan pisau tajam itu berkilat-kilat memantulkan bayangan. Wajahkukah itu?” (h. 67) 
Bercerita tentang seorang perempuan bernama Cik Juli yang selalu menjadi bahan perbincangan bibi-bibi serta adik iparnya. Suatu ketika muncul berita besar tentang Cik Juli yang ketahuan menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang indekos di rumahnya. Seolah Cik Juli mengetahui seluruh perbincangan di belakangnya, ia mengundang perempuan-perempuan dalam keluarga besar suaminya untuk datang ke rumahnya. Saat itulah kejadian aneh menimpa keluarga suaminya.
Cerpen ini membuat saya berpikir bahwa menakutkan juga bila ada orang seperti Cik Juli; baik, namun diam-diam bisa melakukan hal di luar dugaan tanpa adanya kecurigaan.
Pintu 
“Kamu mungkin perlu ingat satu tip berwisata. Apa pun yang terjadi, jangan pernah jatuh cinta.” (h. 81)
Mengisahkan seorang lelaki bernama Bambang yang mati mengenaskan di mobil kesayangannya sendiri. Kematian tersebut menguak rahasia-rahasia istrinya yang bernama Ratri, pelayan spesial Ratri bernama Jamal yang terus penasaran oleh pintu, dan Bambang sendiri. Rahasia-rahasia tak terduga yang akan mengejutkan pembaca.
Ceritanya tidak dapat diduga sama sekali. Makin ke belakang banyak kejutan yang akan ditemukan. Cerpen ini adalah cerpen ketiga yang jadi favorit saya.
Si Manis dan Lelaki Ketujuh 
“Tepat setelah kububuhkan tanda tanganku, ia memutar kursi hitamnya, menatapku lurus. Sekonyong-konyong kurasakan tulang-tulangku rontok, berserakan tanpa ampun. Di hadapanku tak kujumpai si Manis, melainkan sebuah kekejian yang siap menelanku bulat-bulat.” (h. 93)
Tentang seorang laki-laki yang putus asa karena tak ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai pegawai. Suatu ketika, ia mendengar sebuah kabar di mana ada seorang janda pengusaha kaya yang sedang mencari seseorang yang bisa membantu proyek bisnisnya. Tak disangka, pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan yang tidak umum dan mampu mengoyak-ngoyak harga dirinya. Pekerjaan yang membuat dirinya mengalami perubahan dan malah menikmati pekerjaan tersebut.
Cerpen yang paling seru dan terpanjang dibanding tiga cerpen Intan Paramaditha lainnya. Ceritanya tidak biasa dan baru baca prolognya saja sudah bikin penasaran. Dalam hati, saya sempat beberapa kali berkata-kata kasar saking uniknya cerita yang dipaparkan. Cerpen ini jadi cerpen keempat favorit saya.
Penjaga Bioskop 
“Sejak malam itu Maria selalu terbayang-bayang di kepala Rusdi. Setiap malam Rusdi pasti menunggu, berdiri di depan pintu masuk, menyobek karcis penonton sambil berharap penonton berikut yang menyodorkan tangannya adalah Maria.” (h. 116)
Tentang seorang penjaga bioskop bernama Rusdi yang mengenal seorang wanita bernama Maria ketika di malam pembukaan bioskop. Ia terus-menerus menanti dan mengharapkan Maria datang lagi. Suatu ketika Rusdi ditemukan tewas dengan tidak wajar di kamarnya. Kematian yang akhirnya menguak misteri dari mana burung-burung gereja yang bersarang di bioskop itu berasal.
Cerita menarik dengan ending yang mengejutkan.
Hantu Nancy 
“Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.” (h. 133)
Tentang arwah penasaran seorang pemilik salon di Kebon Sawah bernama Nancy. Ia mati dengan cara keji. Arwahnya pun menjadi penasaran dan memburu orang-orang yang telah membunuhnya, termasuk dalang di balik pembunuhannya.
Dalam cerpen ini pembaca akan menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak terduga dari lurah bernama Sudirja, dan kaki tangan Leman yang bernama Zulfikar. Penggambaran pembantaian yang dialami Nancy betul-betul keji dan bikin merinding.
Topeng Darah 
“Sesuatu memaksa Iskandar untuk memperhatikan topeng itu dengan cermat dan semakin lama ia melihatnya, perlahan-lahan, entah datang dari mana, semakin ia diliputi ngeri.” (h. 137)
Tentang seorang lelaki bernama Iskandar yang membaca sebuah iklan penawaran benda antik di koran. Ia kemudian menyadari bahwa terdapat kejanggalan dalam iklan tersebut. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, ia pun menghubungi pemasang iklan yang mempertemukannya dengan pemilik topeng. Kejadian-kejadian ganjil yang dilakukan Iskandar bermula dari sana, dan pemicunya adalah sepotong pecahan topeng dari abad 9 masehi. Sebuah topeng yang memberikan dampak yang begitu menyeramkan dan mengubah pemakainya menjadi seseorang yang berbeda.
Cerpen paling ‘panas’, buas, dan menegangkan dibanding tiga cerpen Ugoran Prasad lainnya. Penyiksaannya lebih keji daripada pembunuhan dalam cerpen Hantu Nancy. Betapa penggambarannya terasa sangat nyata. Cerpen ini jadi cerpen keenam favorit saya.
Hidung Iblis 
“Mereka, orang-orang yang kubunuh, budak-budak iblis. Seandainya kau bisa melihat tanda iblis di wajah mereka. Kau pasti segera bersepakat pada beberapa hal. Pengusaha, pengacara, birokrat, aparat hukum, mereka sumber kejahatan paling mengerikan di atas bumi.” (h. 163)
Tentang seorang lelaki bernama Sujatmoko yang cinta mati pada perempuan bernama Mirna. Saking cintanya pada Mirna, ia melindungi Mirna dari para lelaki budak iblis dengan caranya sendiri. Suatu ketika ia merasa satu-satunya cara untuk menyelamatkan cintanya pada Mirna adalah dengan memutuskan lingkaran iblis. Sayangnya, ia tak berhasil dan malah menjadi korban dari rencananya sendiri.
Cerpen dengan ending yang tidak mudah ditebak. Saya bisa merasakan betapa besar cinta Sujatmoko pada Mirna. Meski tidak sehoror dua cerpen sebelumnya, namun penulis tetap menyajikan cerita yang seru.
Ada enam cerpen yang menjadi favorit saya, yaitu Taman Patah Hati, Jimat Sero, Pintu, Si Manis dan Lelaki Ketujuh, Hantu Nancy, dan Topeng Darah. Menurut saya, keenam cerpen tersebut adalah cerpen yang paling seru, menarik, membuat saya terkesan, dan terasa horornya. Cukup banyak typo yang saya temukan di beberapa cerpen. Meski begitu, tidak mengurangi kenyamanan saya saat membaca. Membaca keseluruhan cerpen dalam buku ini membuat saya bertanya-tanya tentang kebenaran takhayul, jimat, arwah penasaran, manusia jadi-jadian, dan hal-hal gaib lainnya. Tentunya juga membuat saya kagum dengan ide cerita para penulis yang menakjubkan. Karena menurut saya membuat cerita horor yang tidak biasa dan mampu membuat pembaca ikut merasakan kekejian yang dilakukan para tokohnya tidaklah mudah. Buku ini mampu mengubah pandangan pembaca bahwa horor tidak melulu diidentikkan dengan hantu. Kumpulan Budak Setan adalah bacaan menarik dan seru yang bisa membuat pembaca terheran-heran dan puas dengan ceritanya.
Info Buku:
Judul: Kumpulan Budak Setan Penulis: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad ISBN: 978-602-03-3364-9 Ukuran: 13,5 x 20 cm Halaman: 174 halaman Harga: Rp49.000,00
17 notes · View notes
mysticplaces · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Mati Karmin's mine fireplaces | Gehn's fireplace on Boiler Island in Riven: the Sequel to MYST
207 notes · View notes
pesan-pesan · 2 years
Text
Pesan Untuk Karmin (1)
Entah sudah berapa lama aku tidak memberi kabar padamu. Aku harap kabarmu baik, sebaik aku menuliskan tentangmu di Pesarehan Halimunda. Ternyata aku masih memilihmu untuk menuliskan kisah-kisah yang telah aku lewati.
Karmin, kali ini aku sudah sampai di Jakarta, meninggalkan hari-hari yang indah di Malang untuk dapat memeluk mimpi-mimpiku disini. Manusia selalu berubah nyatanya, entah menjadi lebih baik ataupun sebaliknya. Tidak ada yang salah dari itu, hanya menyebalkan saja ketika manusia mulai merasa harus menjatuhkan orang lain untuk dapat memaafkan dirinya sendiri.
Karmin, semalam aku terlibat perbincangan panjang dengan mantan kekasihku. Tidak ada satupun yang dapat aku cerna dengan benar dari baris-baris panjang yang saling kita lemparkan, yang dapat aku mengerti adalah semuanya sudah benar-benar berakhir untuk kali ini. Kita tidak akan pernah bisa mengenal satu sama lain dengan baik, aku tidak cukup sabar untuknya dan ia tidak dapat memahami pola pikirku.
Akhirnya datang juga hari itu, Karmin
Aku menemukan apa yang selama empat tahun ini aku cari-cari setengah mati. Rasanya seperti kerak-kerak pada relung jantungku diangkat dengan tuntas, tidak menyisakan apapun. Mimpi-mimpi panjang tentang wanita yang akan menghabiskan sisa hidupnya dengan mengendarai motor dari ujung jawa hingga ke pelosok nusa tenggara itu ikut hilang semalam.
Aku telah memilih untuk menyambut apa-apa saja yang akan datang nantinya. Entah ia akan berkulit gelap atau sawo langsat, seorang pribumi atau eropa timur, mengenyam bangku pendidikan atau tidak. Aku tidak peduli, Karmin.
Aku akan mencintainya dengan penuh dan memujanya dengan cukup; tidak terlalu.
Karmin, sampaikan salamku pada pria itu. Aku akan menunggunya di sudut ibu kota, menggenggam satu cangkir kopi panas dan menengadahkan telinga untuk mendengar cerita-ceritanya.
0 notes
rainmakerpost · 11 years
Photo
Tumblr media
Small Business
Mine Furniture
Photo and source courtesy of Marinemine
// <![CDATA[ google_ad_client = "ca-pub-9734240261582779"; /* normal square */ google_ad_slot = "9717857648"; google_ad_width = 250; google_ad_height = 250; // ]]> // <![CDATA[ // ]]>
5 notes · View notes
actegratuit · 11 years
Photo
Tumblr media
Kissing Students [Estonian: Suudlevad Tudengid] has become a symbol of Tartu. Is a fountain and a sculpture in Tartu, Estonia, located at the Tartu Town Hall Square and erected in 1998 and conceived by Mati Karmin 1959, one of Estonia's most renowned contemporary sculptors.
492 notes · View notes