Tumgik
#merantau
scottinaussie · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Iko Uwais
Workout with Chicco Jerikho (November 2022)
31 notes · View notes
diarialiya · 2 years
Text
Kesediaan Merantau
Satu hal yang baru kusadari belakangan adalah "merantau merupakan sebuah privilege yang tak semua orang bisa mendapatkannya dan mau melakukannya."
Tak jarang banyak yang terhalang keinginannya karena tak mendapat restu orang tua untuk pergi jauh dari rumah; entah untuk kuliah, kerja, bahkan menikah pun disarankan dengan yang dekat-dekat saja.
Aku pun sempat menanyakan kenapa orang tuaku sama sekali tidak keberatan ketika tahu aku akan ikut suami merantau ke pulau seberang? Tentu mereka tak masalah, karena kami sekeluarga pun sudah merantau dari kampung halaman sejak aku masih bayi.
Seorang teman pun pernah menyampaikan, kalau ia jadi aku mungkin ia tidak mau jika harus diajak tinggal di tempat jauh yang sebelumnya tidak ia ketahui. Hal yang kupikir bukan suatu kendala ternyata bisa jadi pantangan bagi orang lain.
Kita mungkin sering mendengar nasihat Imam Syafi'i;
"Merantaulah,
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Merantaulah,
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)."
Tulisan ini tentu bukan untuk berbangga diri dan merasa menjadi "si paling merantau" haha karena merantau pun belum tentu mendapatkan hidup yang lebih baik, akan selalu ada tantangan dimanapun kita berada.
Saat ini aku merantau ke daerah yang jauh berbeda dari tempat tinggalku sebelumnya. Tidak banyak teman, tidak banyak pilihan kegiatan, bahkan makanan untuk sekedar memenuhi keinginan. Pekerjaan yang kadang terasa menjemukan, tidak banyak hal baru yang kudapatkan. Hm terasa membosankan ya?
Namun, jika ditanya apakah aku betah tinggal di sini? Ya, betah betah saja, kurasa aku cukup baik dalam beradaptasi. Hanya saja lama-lama aku merasa telah membangun zona nyaman yang rawan melalaikan. Tak banyak hal baru yang kudapati karena aku melewati rute yang sama dengan kegiatan serupa tiap hari.
Lantas bukan hanya kesediaan merantau saja yang diperlukan, namun semangat untuk terus belajar, merasa kurang dalam ilmu, miskin dalam pengalaman jadi modal utama agar terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri dimanapun kita berada. Terakhir, selamat merawat semangat :)
Tumblr media
ANS | Manado, 12 Oktober 2022
23 notes · View notes
fajarrpriyambada · 1 year
Text
MERANTAU, CARA TUHAN MENJAWAB DO’A – DO’AKU
Tumblr media
Merantau, sebuah keputusan yang cukup berat karena harus meninggalkan keluarga. Berjuang sendiri di daerah yang berbeda adat budaya, hingga bahasa sehari-harinya. Tapi percayalah, dengan merantau, Allah akan membuka mata kita, memperluas wawasan dan pergaulan kita.
Saya sendiri mulai merasakan merantau sejak lulus SMA. Saya terlahir di keluarga yang ekonominya menengah ke bawah, keinginan untuk kuliah harus dihadapkan dengan kemampuan ekonomi yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai anak sulung, mau tak mau harus berpikir keras bagaimana bisa kuliah, tapi tidak menjadi beban bagi orang tua. Saya mulai mencari informasi kampus – kampus yang membebaskan biaya kuliah. Berkali – kali mencoba jalur Beasiswa untuk siswa dari keluarga yang tidak mampu pun gagal.
Dari kegagalan itu orang tua memberi nasihat yang sangat menenangkan bagiku “Khusnudzon saja, berarti Allah tidak menganggap kita sebagai keluarga yang tidak mampu.. ”
Aku pun menjawab, “Nggih ya bu, Aamiin”
Toh mampu atau tidak, tak selalu diukur dari banyaknya harta yang kita miliki, masih ada Allah yang akan memberi jalan bagi hamba-hambaNya yang tidak pernah menyerah.
Dalam masa pencarian itu, aku teringat pesan guruku “Mintalah sama Allah, Yang Maha Kaya dan Maha Memberi. Mintanya yang sungguh – sungguh, kalau perlu secara spesifik juga boleh”.
Sejak saat itu, dalam setiap sujud, tak lupa ku sampaikan keinginanku sama Allah, terkadang sampai tak terasa meneteskan air mata. Alhamdulillah, Allah memberikan ku rejeki untuk kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan, sudah bebas biaya kuliah, dapat uang saku juga tiap bulan, lulus langsung diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara. Namun disitu juga, aku diharuskan merantau, karena kampus tersebut berada di Jakarta Selatan, sedangkan orang tua di Sidoarjo.
Di awal perantauanku, beratnya ospek, lingkungan yang juga asing, membuatku ingin pulang saja. Tapi ketika ku ingat-ingat lagi janjiku “Aku sudah sejauh ini, kalau aku tak bisa membawa kesuksesan, malu rasanya untuk ketemu keluarga”. Dari situ aku bertekad sungguh-sungguh menjalani semua ini.
Meski berat diawal, ternyata selama masa perantauanku, Allah juga menjawab do’a – do’aku yang lain. Dulu punya keinginan untuk berkeliling ke beberapa wilayah di Indonesia, Allah pun menjawabnya dengan cara memberikanku penempatan ke wilayah NTT dan sekarang ke Bali.
Namanya manusia, keinginan terus ada, pernah punya keinginan untuk tinggal di lingkungan yang religius, karena terakhir belajar Ngaji itu jaman SD, Allah memberikanku lingkungan kampus yang sangat peduli dengan hal-hal religius, mempunyai teman-teman yang sangat peduli tentang hal ini.
Kini aku tahu, mungkin jika dulu aku tidak berani mengambil resiko mengambil kampus yang jauh dari rumah, ku tak akan bisa seperti ini. Manusia paling berpengaruh dan paling mulia bagi umat muslim (Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam) pun, kesuksesannya diraih setelah beliau hijrah ke Madinah. Bahkan Imam Syafi’I rela merantau, berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah dan Madinah seorang diri, karena ingin menuntut ilmu. Dampaknya, sekarang ilmu beliau sangat bermanfaat untuk kita.
Teringat salah satu pesan Imam Syafi’I :
“Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan)…. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Kini aku mengetahui maksud perkataan itu, Jangan jadikan dirimu bagaikan Katak dalam tempurung, yang membatasi dirinya untuk berkembang. Namun terbanglah layaknya burung yang bisa menikmati luasnya Bumi Allah, yang mensyukuri Nikmat-Nya, Maka kelak Allah pasti akan membalas do’a bagi hamba – hambaNya yang mau bersungguh – sungguh dan selalu Khusnudzon kepadaNya. Dan satu lagi yang pasti, mintalah do’a restu langsung dari Orang Tua, Insya Allah semuanya akan dimudahkan.
(C) Fajar R. Priyambada
10 notes · View notes
alexthebez · 1 year
Text
Thinking about being elsewhere.
2 notes · View notes
syofarahals · 1 year
Text
10 Bulan
sudah aku berada di negeri perantauan. Rasanya gak berasa, cepet banget?Hampir mau satu tahun! Rasanya semua seperti baru kemarin. Melihat-lihat isi galery foto kadang membuatku mellow (emang dasar gampang mellow anaknya), beberapa kali terbangun dan mimpi kalau seperti sedang di rumah ibu bapak. Rumah di mana 25 tahun aku tinggal. Ya, dua puluh lima tahun. Aku tak pernah merantau sebelum 25 tahun itu. (duh kok nulis ini nangis...) Entahlah, apa karena aku anak bontot ya makannya masih “berasa banget” meski udah berkeluarga. Gak cuma soal rumah, tapi juga orang tua. Kalau pas lagi video call, kok lama-lama kerutan ibu dan bapak makin banyak dan terlihat nyata.. Pernah satu kali dg angle yg entah gimana, ibu terlihat tua banget dan saat itu juga aku gak bisa nahan air mata. Walau diam-diam nangisnya dan buru2 langsung usap mata. Buatku yang sekolahnya selalu gak pernah jauh-jauh, merantau jauh gini jujur bikin senang. Jiwa eksplorku meluap-luap, dari jaman sekolah sering banget jalan kaki sendirian melanglang buana. Kebayang kan betapa senangnya jiwa yang seperti ini bisa mendiami wilayah lain yang berbeda jauh dengan tempat kelahiran? 
Semoga langkah kaki ini senantiasa dilindungiNya begitu juga dengan kedua orang tua di rumah, semoga Allah jaga mereka selalu.
4 notes · View notes
mannyblacque · 2 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Source
The first film from Gareth Evans Indonesian trilogy, MERANTAU. Featuring Iko Uwais, Yayan Ruhian, Alex Abbad.
9 notes · View notes
mibeau · 4 months
Text
[Santai] From East to West: A Glimpse of My Life
Tumblr media
Marie was originally from WP Labuan. She first moved to West Malaysia to pursue her tertiary education, back in 2010. Follow her journey as she shares her observations and experiences.
Living in Nilai as a student.
When she first arrived in West Malaysia on her own, she was more nervous than excited. A bit worried as well, since it was her first time away from her family. Coming from a diverse and integrated ethnicity in East Malaysia, the first thing she noticed during her first month in Nilai(Negeri Sembilan), was that people here tend to stay within the group of their race. It was a bit awkward for her to make new friends. She doesn’t feel quite fit into any specific groups due to her Sino-Kadazan background. Then, she observed, that when it comes to food and drinks, there are differences in terminologies. For example; “ais kosong” is “air sejuk”, and “Wantan Mee” is known as “Kon Loo Mee” in Sabah.
Months passed, and she settled down. She no longer feels out of place. In her words, “I'm happy to learn new things and culture. All my university friends are friendly. I mingled with locals & internationals. So, learning about their food and culture was quite exciting! Since I am food-motivated. Haha~” Today, whenever she reflected on her days in Nilai, her fondest memories revolved around the joy of forming meaningful friendships. She said, “I'm grateful for the friend I met, who is now one of my trusted people in life. She would stay by my side through thick and thin. However, the Organic Chemistry class is another story. I was frustrated, despite my best efforts, I still didn't understand anything. That was a first for me.”
On one fine day, she went out to Kuala Lumpur with her friends. It was completely different from Nilai. She was surprised! Her first impression was,
“There are so many people and cars! Nilai, back in the day, was a small town. We only have “Giant” with “Sushi King” and “Tutti Frutti” to look forward to. One day, my friends and I decided to go to Berjaya Times Square. Imagine how shocked I was, to see a theme park in a mall! Wow!”
Internship in Melaka
Fast-forward to 2012, Marie did her “hospital placement”(Industrial Training) in Melaka for a few months. She rented a place in Rembia, with two of her close friends. She visited many historical places in Melaka. She also learnt to tolerate spicy food even better. Of course generally, for a Sabahan palate, cuisines in West Malaysia are always spicier in comparison to the ones in East Malaysia. But, in Melaka, it was on another level. In every eatery she visited, it was always at least, slightly peppery. However, although she often needs to wait in a queue to dine in, it is worth the time. She said, “The food, anywhere in Melaka, is amazing!”
Interning in a government hospital, she interacted more closely with the locals from different walks of life here. According to Marie, people in Melaka are very friendly, if you are an introvert, you can be intimidated at first. After some time, she noticed that the people here(not limited to Melaka but she first experienced this in Melaka) do not know much about Sabah, except for Kota Kinabalu. She said,
“You can see their faces light up when they find out you are from Sabah. They will approach you randomly to learn more about Sabah. Some older generation would ask you, “Dah berapa lama datang Malaysia?” (How long have you been in Malaysia?) And in my head, I was like, “Ain’t Sabah also Malaysia?”” She then added, “Haha… But, it’s all good, that was just a linguistic issue, the generation gap. You must understand that people are generally insensitive because they don’t know. So, we shouldn’t be too sensitive, and address their curiosity happily.”
Working in the Klang Valley
Following her 2013 Diploma Graduation Ceremony, Marie moved overseas to further her studies and returned to Malaysia in 2018. Then, since 2019, she has been residing in the Klang Valley area, where she now serves as a clinic manager in the private sector.
After many years of living away from Labuan and spending most of her adult life in West Malaysia, she saw a few changes in herself and her perspectives on life. The most mature thing she needs to master is the art of managing personal finances. Two years back, she bought her first car. Initially, she underestimated how much the expenses were for the fuel and touch N go. Since she now
commutes to work daily by car, she tried to be as frugal as she could. Because the highways with tolls are a very foreign concept in Sabah!
Her messages to those who are about to embark on a new journey or path:
Differences are inevitable in any new environment. Adapt while staying true to your identity, and maintain a positive outlook by focusing on the good rather than anticipating the worst.
---
Photos credited to: Malaysia Asia , ExpatGo , Elvisitsan.
0 notes
lsm-penjara1 · 8 months
Text
Merantau dari Jakarta ke Yogyakarta (UGM)
0 notes
chillinaris · 10 months
Text
Tumblr media
Realita...
1 note · View note
unfreethinker · 10 months
Text
Putri Salju
 Dari balik dinding kayu yang mulai lapuk dimakan rayap, aku berdiskusi dengan bapak yang masih mengenakan pakaian dinas, duduk di ruang tamu sempit sebuah rumah kontrakan tua. Malam itu aku bertanya apakah dia mampu jika aku ingin lanjut kuliah. “Terserah mau kuliah di mana. Biaya kuliah itu bukan urusanmu. Tetapi kau harus bertanggung jawab dengan pilihanmu itu”. Kepalaku penuh dengan ketakutan akan dunia luar, tetapi teman- teman sudah mulai meninggalkan kampung halaman, berlomba- lomba keluar kota, ingin lanjut kuliah katanya. Setahun ditinggal kakak ke Bandung, aku berangan- angan segera bisa terbang dengan pesawat dan nongkrong di kedai kopi ternama, seperti yang aku sering lihat di media sosial dan tayangan televisi. Sehari- hari kami bertukar cerita seru dan sedih. Katanya, di Bandung semua ada. Katanya, lebih baik ke Bandung saja, karena Jakarta terlalu keras. “Mau jadi apa, itu urusan belakangan. Sekarang pertanyaannya, mau sekolah atau tidak?”. 
      Minggu itu adalah minggu tenang,- istilah yang digunakan untuk seminggu penuh hari libur sebelum memasuki masa ujian akhir. Seharian aku sibuk berselancar di Opera Mini,  mencari informasi apa saja tentang Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Pada masa SMA aku termasuk siswa yang aktif di kelas, ikut paduan suara, tim basket, napak tilas, gerak jalan, dan lain sebagainya. Tetapi untuk urusan berteman, aku sangat payah. Tidak banyak ngumpul dengan teman- teman sekelas, tidak juga ikut komunitas lain. Tetapi aku ingat, siang itu beberapa teman berkumpul di sudut ruangan, berbicara tentang rencana kuliah mereka. Aku mendengar UPI sering kali disebut. Tidak punya teman untuk berdiskusi, aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri saja. 
Bukan merupakan siswa cemerlang di sekolah, tetapi aku juga tidak masuk ke dalam kelompok remaja nakal dan bodoh. Masa- masa ujian tidak begitu sulit rasanya, meskipun setelahnya aku tahu UPI bukan lagi sebuah pilihan. Bersama beberapa teman sekelas, kami berdiskusi tentang bimbingan belajar. Bimbel adalah sebuah keharusan, bagi yang mampu, sebagai persiapan selama 3 bulan penuh sebelum memilih universitas impian. Berssykurnya aku, Bapak menyanggupi. Aku dan beberapa teman pun berangkat ke Medan, tidak lama setelah informasi kelulusan diberitahukan. 
      Sejak lahir tinggal di kampung, mataku terbuka setelah tiba di Medan. Betapa kecilnya kampung halamanku. “Pantas saja banyak teman sekolah yang pindah kemari”, pikirku. Selama bimbingan, aku belajar hidup bersama orang lain (teman- teman semasa sekolah), belajar bergaul, belajar bertanya, belajar menerima realitas, bahwa aku punya banyak sekali kekurangan. Selama tiga bulan di Medan, aku makin memahami kalau kehidupan di Bandung dan di Jakarta akan jauh lebih sulit daripada sekarang, namun di sisi lain aku percaya kehidupan sebenarnya ada di kota- kota besar itu. Aku harus bisa seperti kakakku, meninggalkan kampung halaman dan bersaing dengan orang- orang kota. 
Awal 2006, aku diterima di Universitas Sumatra Utara untuk program studi S1 Biologi. Tetapi sejak SMA aku gemar belajar bahasa, itu sebabnya memasuki kelas 3 SMA aku memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Bahasa yang kemudian dipindahkan ke Ilmu Pengetahuan Alam oleh pihak sekolah dengan alasan peminat IPB sangat sedikit, hanya ada 11 siswa! Kemudian aku mencoba ujian masuk Universitas Negeri Medan, jurusan Pendidikan Bahasa Asing, program studi Bahasa Jerman. Aku memilih UNIMED, berharap bisa memperdalam pengetahuanku berbahasa. 
      Masa kuliahku lebih berkesan jika dibandingkan dengan masa SMA. Selama kuliah, aku menjadi mahasiswi yang selalu terdepan, aku aktif di berbagai kelas, memiliki kemampuan akademis yang baik, disenangi teman dan dosen- dosen. Hari- hariku selalu bahagia, karena aku dikelilingi orang baik dan pintar. Aku sangat menikmati kehidupanku di Medan. Jika harus menyesalkan satu hal, aku tidak lulus tepat waktu,- 4 tahun seperti harapanku. Aku menyandang gelar sarjana pendidikan setelah melewati masa 4.5 tahun perkuliahan. Alasannya? Rasanya aku tidak ingin berbagi di tulisan kali ini, yang pasti, aku yakin tidak pernah melakukan kesalahan selama proses bimbingan skripsi. Aku adalah mahasiswa yang patuh terhadap peraturan universitas dan program studi, temasuk juga ketentuan- ketentuan dari dosen pembimbing skripsi dan akademik. Karenanya, menjadi sarjana telat 1 semester bukan menjadi beban dan kedukaan bagiku. Sejak awal aku paham peran dan value-ku sebagai mahasiswa. 
Tumblr media
“Ke Bandung saja dulu. Sembari istirahat, main, sambil cari kerja dari sini”.  Perutku rasanya penuh dengan kupu- kupu terbang ke sana kemari. Akhirnya aku akan ke Bandung! Sekarang aku harus memikirkan cara menyampaikan niatan ini ke Bapak. Ketika itu 2011, adikku masih duduk di kelas 3 SMA dan yang paling bungsu kelas 3 SMP. Ada rasa khawatir aku tidak akan mendapatkan izin pergi, mengingat kami hidup tanpa mamak sejak pertengahan 2006. Segala pekerjaan rumah adalah tanggungjawabku sejak kakak pergi melanjutkan studi ke Bandung. Kalau aku juga pergi, rumah siapa yang mengurus? Adek- adek gimana? Tetapi Bapak bilang aku tidak perlu khawatir, kan? Egoku bilang, aku sudah menyelesaikan kuliah dan menjadi seorang sarjana seperti yang dikehendaki oleh Bapak, sekarang tidak ada alasan baginya untuk menolak keinginanku bertolak ke Bandung. Aku kan ingin kerja. Meski dalam kepala penuh rasa cemas, aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi sebentar lagi. 
      Seperti dapat ditebak, aku sudah di Bandung! Semua hal yang selama ini hanya ada di bayanganku, sekarang nyata di depan mata! Pertama kali memasuki tol Pasteur, dalam hati aku mikir “Sama aja kayaknya sama Medan. Medan justru lebih banyak bangunan tinggi besar. Sebentar aku aku pahami bahwa Medan memang lebih luas dari segi wilayah dibandingkan Bandung, tetapi jumlah populasi Bandung jauh lebih banyak daripada Medan. Begitupun dengan indeks kualitas pendidikan dan pekerjaan, belakangan ku ketahui bahwa Bandung lebih unggul. Itu sebabnya orang- orang kampungku banyak yang memilih Bandung sebagai tempat merantau baru setelah Medan. Sepanjang hari aku tinggal di kamar kost kecil kakakku di daerah Sarijadi. Berjam- jam aku habiskan duduk di depan komputer ditemani suara bising dari CPU di sebelah kanan monitor, sesekali aku mengganti lagu- lagu yang terputar secara acak di Winamp. Tiba- tiba sebuah pesan masuk ke ponselku “Jangan lupa perbaiki CV, sambil- sambil apply”. Aku segera log in  ke JobStreet, dan memasukkan kata kunci “Guru Bahasa Jerman” di kolom pencarian. Setelah membaca keterangan di kolom deskripsi pekerjaan dengan sangat hati- hati, aku mengunggah CV, surat lamaran kerja, dan begitu banyak sertifikat. Sambil menunggu feedback dari beberapa perusahaan yang sudah aku lamar, aku iseng mencari “Admin Assistant” di sebuah iklan lowongan kerja yang sudah dipost sejak sebulan sebelumnya. Sore datang, aku bersiap seperti biasa, karena aku akan diajak jalan- jalan oleh kakakku. Setiap kali keluar dari kamar kost, aku merasa sangat bahagia. Banyak sekali hal baru yang bisa ku nikmati termasuk jajanan pinggir jalan yang sulit aku temukan di kampung halamanku. Berpapasan dan berinteraksi dengan orang- orang di Bandung rasanya sungguh jauh berbeda, lembut dan sangat sopan. Bersyukurnya aku bisa menikmati masa- masa itu.
      Aku ingat betul hari itu sekitar pkl 2 siang, aku sedang bermalasan di atas kasur tipis di kamar ketika tiba- tiba kakakku menelepon “Ada panggilan interview! Untuk lowongan admin assistant itu. Besok berangkat ya ke Jakarta, jam 4 subuh biar ga terlambat. Nanti aku jelaskan detailnya”. Pada saat apply pekerjaan, nomor yang kami lampirkan di CV adalah nomor kakakku, karena khawatir aku tidak paham cara menjawab panggilan interview. Kepalaku berputar, wajahku panas, dan jantungku berdegup kencang. Interview itu apa? Nanti ditanyain apa? Pekerjaan apa itu admin assistant? Hari rasanya berlalu sangat lambat, aku menunggu kakakku pulang kerja, meluapkan semua kecemasanku. Sembari menunggu, aku mengambil beberapa pakaian dari almari, aku susun di ranselku dengan semua dokumen penting yang akan kubawa besok ke Jakarta. Terakhir aku ke Jakarta ketika aku duduk di kelas 3 SD, pas usia 8 tahun. Sudah lupa bagaimana rasanya Jakarta seperti apa. 
      Mengetahui aku akan berangkat sendiri, rasa cemasku makin besar, sambil mandi aku menangis, berusaha mengalahkan rasa takut berlebihan. Kan ini yang aku mau, kerja jauh dari rumah. Kenapa takut? Aku gagal memahami bahwa besok adalah panggilan wawancara, bukan hari pertama bekerja. Rasa takutku mengalahkan akal sehat. Malam itu kami tidak menyusuri jalanan kota Bandung seperti biasa. Kami menghabiskan waktu di dalam kamar sempit itu, berlatih wawancara, mempelajari perusahaan yang aku akan tuju, cara naik travel, cara naik busway, cara bertanya kepada receptionist,cara memperkenalkan diri.
Berhenti di halte Tosari, aku berjalan menuju gedung Sequis, tempat yang aku tuju untuk wawancara pagi itu. Tiba- tiba seorang pria muda menepuk pundakku sambil berkata “Mba, itu ranselnya terbuka”. Sontak aku kaget dan memeriksa ranselku. Ponsel Nokia ku yang sudah tua hilang. Aku bahkan tidak merasa ada yang membuka kantung ranselku. Bodohnya aku, tidak memindahkan ransel ke depan ketika di tengah keramaian. Sambil menahan tangis, aku memasuki gedung tinggi yang berada di kawasan Sudirman itu. Aku dijadwalkan wawancara pkl 8.30 dan aku sudah tiba di lobby kantor jauh lebih awal. Orang pertama yang kutemui adalah perempuan cantik berperawakan sedang, kulit putih bersih, senyum ramah “Mau ketemu siapa Mba?” tanyanya sambil mematikan rokoknya dan meletakkannya di asbak yang terletak di meja receptionist. Setelah aku menjelaskan tujuanku, aku diminta untuk menunggu beberapa saat. Aku bisa merasakan jantungku berdegup sangat kencang. Ditambah rasa sedihku karena baru kehilangan ponsel. Untung aku masih punya ponsel baru satu lagi. Ponsel yang dicuri adalah ponsel tua yang sudah aku ikat dengan karet supaya baterainya tidak lepas. 
      Ternyata perempuan baik yang menyambutku tadi adalah calon managerku! Aku ingat betul duduk di sebuah ruangan kecil, berhadapan dengan dua orang yang tidak berhenti menanyaiku. “Oh, kamu bisa bahasa Jerman dong! Nanti coba ya ngobrol dengan Pak Andre, beliau dulu lama tinggal di Jerman”. Sebentar kemudian, seorang pria tinggi besar dengan rambut sedikit gondrong memasuki ruangan dan langsung menyalamiku. “Orang Batak jago nyanyi ya, coba kamu nyanyi deh”. Tidak terlintas sedikit pun di benakku bahwa pria ini adalah seorang warga negara Malaysia, karena tidak terdengat logat Melayu kental seperti pada umumnya. Wawancara pertamaku sangat berkesan. Semua rasa khawatirku hilang seketika. Ternyata wawancara kerja tidak mengerikan seperti kata orang- orang di media sosial. “Nanti dikabarin lagi ya! Secepatnya kita hubungi kamu lagi”.
      Perjalanan pkl 4 subuh dari Bandung untuk wawancara 30 menit. Di depan pintu kantor aku bernapas lega, akhirnya selesai. Segera aku menghubungi seorang teman. Teman sekelas waktu SMA. Dia sudah lebih dahulu diterima bekerja di Jakarta, berbeda denganku yang menghabiskan berminggu- minggu bersantai di Bandung. Temanku bekerja di Gedung BNI 46 dan mengajakku makan siang di Gedung Indofood, masih satu kawasan dengan gedung tempatku berdiri saat itu. Sambil menunggu waktu makan siang, aku memberi tahu kakakku bahwa aku kehilangan ponsel, dan bahwa aku sudah selesai wawancara. “Ok Gapapa. Nanti jangan kesorean pulang biar ga terlalu malam sampai kost”, jawabnya. 
      Pertemuan singkat dengan teman semasa SMA rasanya menyenangkan. Bangga rasanya bisa duduk berdua di kota Jakarta, sama- sama berangkat dari kampung halaman yang berada jauh di pulau seberang. “Semoga diterima ya, Bridz”, katanya saat memberangkatkanku di pool Day Trans sore itu. Jakarta seru juga. Ramai dan semuanya indah di pandang mata. Kiri dan kanan gedung- gedung tinggi. Aku ingin bekerja di gedung yang tinggi, supaya bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari meja kerjaku. Aku ingin pakai baju kerja yang bagus seperti orang- orang, ingin makan siang di foodcourt  juga, seperti tadi siang. Sepanjang jalan kembali menuju Bandung, mataku tidak bisa terpejam barang sesaat. Aku terlalu bahagia, baru pulang dari Jakarta. Berragam rencana ada di kepalaku. Entah aku akan diterima bekerja atau tidak, urusan belakangan. Sesampainya di kost, aku bercerita tanpa henti, dan dengan bangga aku beritahu, aku bisa menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Inggris. Tidak ada pertanyaan yang tidak mampu ku jawab, dan aku menyanggupi dipanggil kapan pun. 
      Ketika keesokan harinya belum ada kabar, aku risau. Seperti pagi- pagi sebelumnya, aku duduk di depan layar komputer dan kembali mencari- cari pekerjaan lain. Sepertinya karena aku seorang sarjana pendidikan, kurang cocok dengan perusahaan itu. Menjelang sore kakakku menghubungiku “Lolos Mel! Ditanya kapan bisa join! Bentar ya, aku pulang sekarang ke kost”. 
Tumblr media
Pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah adalah sebagai Junior Executive di Talent Acquisition Department. Ternyata aku tidak akan menjadi seorang guru. Ini berbeda dari yang ada di bayanganku beberapa bulan lalu. Lalu kemampuanku berbahasa Jerman akan aku kemanakan? Apakah bahasa Inggrisku cukup untuk pekerjaan ini? Apa kata teman- teman kampus nanti? Apakah Bapak akan senang? Karena aku senang! Aku senang akan bekerja di Jakarta. Di Jakarta! Gapapa salah jurusan (salju) yang penting aku diterima kerja! 
0 notes
radarduaempatnews · 1 year
Text
1 note · View note
senandungdalamdiam · 1 year
Text
Ada tidak yang paling menyesakkan selain tidak pulang dari perantauan di lebaran kali ini, mana takbirannya 2x :')
1 note · View note
triasih-gamadi · 1 year
Text
Bagian Sebuah Perjalanan Bagian 5 (Orang Lama)
Disini saya akan bercerita tentang orang lama yang sangat saya cintai di dua waktu yang berbeda. Ya waktu itu di masa sma dan sekarang saya dipertemukan lagi untuk saya cintai lagi. Dia adalah hidayah, dia adalah alasanku semangat untung pulang untuk pertama kalinya saat hidup diperantauan. Dia adalah pendengar yang baik ketika diriku kesepian disini, dia adalah orang yang bisa di andalkan,…
View On WordPress
0 notes
bahtiar · 1 year
Photo
Tumblr media
Dulu . Setiap ditanya . Jawaban pasti: . " Kayak eMas - Pokok'e kayak eMas " . Sekarang, . Setelah eMas kebanggaan nya #merantau ke salah satu padepokan di Jawa Timur sana. . Alhamdulillah, . Dia mulai percaya diri dengan gaya, tipe dan cara-caranya sendiri. . Aamiin 🙏🙏👍 . #koLaseLawas : #cakrawaLa01th #cakrawaLa02th #cakrawaLa03th #cakrawaLa04th #cakrawaLa05th #cakrawaLa06th #cakrawaLa07th #cakrawaLa08th https://www.instagram.com/p/ClZx4DtBYsf/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Text
Pilihan.
Memilih untuk melangkahkan kaki ke tempat yang tidak pernah dikunjungi dan meninggalkan semua yang ada ditempat kelahirannya hanya demi masa depan yang selalu diharapkan dan impikan. Hingga akhirnya kita sadar, kalau dunia bukan itu-itu saja.
0 notes
sergejbiohazardov · 2 years
Photo
Tumblr media
Merantau. Быстрый обзор. Для тех кто соскучился по кунг-фу боевикам. Онг Бак на минималках. Молодой мастер харимату силат (вид боевого искусства Индонезии) отправляется в город для новой жизни и попадает в замес с бандитами, заступившись за проститутку. Махачи постановочные, но смотрятся хорошо. Антураж простоватый и явно не хватает разнообразия. Хронометраж затянут и вначале очень много скучных сцен. Сюжет простейший. Глянуть с перемоткой можно ради драк. #Merantau #kinopreview #cinema #movie #film #быстрыйобзор #sergejbiohazardov #sergejbiohazardovMovie https://www.instagram.com/p/CdK5RowMSNs/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes