Tumgik
#misa abadeer art
rainbowxmisa · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media
Tiny Shouto and tiny Izuku becoming childhood friends is probably one of my favorite headcanons 🥺🤲🏻💙💚
BONUS: Keigo and Touya are there to film everything so Rei, Natsuo and Fuyumi can also watch that precious moment later 😭💛😭💛😭
55 notes · View notes
sinemeter · 3 years
Text
portrait of a lady on fire
Tumblr media
“If you look at me, who do I look at?”
Marianne datang ke Brittany untuk melukis Heloise. Sebenarnya ini tugas yang cukup sederhana; ia hanya tinggal memberdirikan kanvas lalu menyapukan kuas ke atasnya dalam warna-warna. Tapi masalahnya, Heloise tak pernah mau berpose untuk dilukis.
Tatapan
Tempat yang didatangi Marianne (Noemi Merlant) terletak di pesisir pantai. Ia harus menumpang sebuah perahu dayung untuk sampai ke sana. Bangunan kastil dari abad ke-18 Prancis berdiri gagah di atas tebing berbatu yang agak terjal dan tentunya cukup luas untuk dihuni oleh tiga orang saja: nyonya rumah, anak perempuannya, dan seorang pelayan. Kedatangan Marianne memenuhi undangan sang nyonya rumah yang meminta khusus agar dirinya membuat lukisan anak perempuannya, Heloise (Adele Haenel). Lukisan itu nantinya akan dikirim kepada calon suami Heloise di Milan, Italia, sebagai bentuk perkenalan awal karena keduanya belum pernah bertemu secara langsung.
Namun, tugas melukis itu ternyata bukan hal yang mudah. Marianne setidaknya bisa mencium gelagat yang problematik saat ia menyingkap sebuah lukisan potret seorang wanita di gudang. Lukisan itu menggambarkan pose seorang wanita bergaun hijau yang duduk dengan tangan tersilang di pangkuannya. Bahunya tegak, gaun hijaunya pun tampak elegan, semua itu mencitrakan rupa seorang bangsawan terhormat yang siap memukau mata. Namun wajah dari sosok wanita tersebut terhapus. Bukan hilang di atas kanvas tapi pudar, luber, akibat gosokan kain kasar yang dilakukan berkali-kali. Jejak gosokannya merekam satu upaya penghapusan yang terjadi secara paksa, penuh amarah, juga mengandung kesedihan. Tersimpan di ruang gudang yang gelap dan tertutup kain putih, lukisan itu seolah-olah adalah memori yang telah dilupakan pemiliknya.
Wanita di dalam lukisan adalah saudari kandung Heloise. Ia dilukis di dalam kastil beberapa bulan yang lalu. Setelah lukisannya rampung ia bunuh diri dengan meloncat dari tebing menuju permukaan berbatu di pinggir pantai. Dalam surat terakhirnya ia meminta maaf kepada Heloise karena dengan kematiannya itu berarti Heloise yang akan menggantikan posisi perjodohannya.
Heloise tentu saja menolak dijodohkan dengan pria yang belum ia kenal sama sekali, apalagi pria itu berasal dari satu negeri di seberang lautan yang juga sangat asing baginya. Sayangnya, satu-satunya hal logis yang bisa dilakukan Heloise untuk membatalkan pernikahan tersebut adalah kematian. Maka untuk mengekspresikan penolakannya, ia pun menolak berpose di depan kanvas. Pelukis yang sebelumnya disewa menyerah di tengah jalan karena hal itu. Tapi bagaimanapun juga perjodohan tetap akan berjalan sesuai prosedur yang sudah disepakati kedua pihak keluarga. Bagaimanapun caranya Heloise tetap harus dilukis di atas kanvas.
Maka tugas Marianne sebenarnya adalah untuk melukis Heloise secara diam-diam. Heloise tak boleh tahu kalau Marianne adalah seorang pelukis sewaan. Ia hanya tahu Marianne diutus ibunya untuk menemaninya jalan-jalan di tebing. Setelah insiden yang menimpa kakaknya tentu Heloise tak akan curiga jika ada orang yang disuruh menemaninya dari jarak dekat setiap kali ia butuh menghirup udara segar di luar. Dan sebagai pelukis berpengalaman, Marianne memanfaatkan setiap kesempatan yang ia miliki saat berada di dekat Heloise untuk menangkap segala detail dari penampakannya. Marianne pun memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sendirian di dalam kamar untuk menggoreskan segala detail itu ke atas kanvasnya.
Marianne hanya punya waktu kurang dari seminggu. Aktivitasnya menemani Heloise menyisir pantai, duduk di atas pasir menyaksikan ombak berdebur, atau mengawasinya berenang telah cukup memberinya wawasan tentang penampilan luar Heloise. Lukisan itu selesai tepat pada waktunya. Namun sebelum menyerahkan karyanya ia meminta izin kepada nyonya rumah untuk memperlihatkannya dulu kepada Heloise; sekaligus juga mengakui secara blak-blakan siapa dia sebenarnya. Pengakuan itu tentu membuat Heloise kecewa. Tapi yang lebih mengecewakannya lagi adalah hasil lukisan Marianne atas dirinya.
Dalam kacamata awam, itu sebenarnya lukisan yang sempurna: Heloise mengenakan gaun hijau terang; duduk sambil menyilangkan kedua pergelangan tangan di atas paha; menatap lurus ke depan dengan anggun. Warna kulitnya dicat agak pucat; semburat rona merah muncul di pipinya; permukaan bibirnya dipulas merah muda; lalu kuning rambutnya yang terikat terlihat bagai mahkota yang menambah terang nuansa lukisan tersebut, Bisa dibilang sebuah mahakarya yang mahal dan jenius mengingat Marianne melukisnya hanya berdasarkan pengamatan sembunyi-sembunyi. Tapi Heloise tak terkesan sama sekali; ia bahkan mengonfirmasi apakah yang di dalam lukisan itu benar adalah dirinya. Jika benar, maka masalah utamanya adalah sosok itu tampak tak memiliki jiwa; tanpa aura kehidupan, tanpa pesona, mati seperti kanvasnya sendiri. Tak ada sesuatu di sana yang menyiratkan seorang wanita, apalagi seorang lady, yang utuh dan punya kepribadian. Perpaduan warna yang awalnya memikat itu jadi seakan tak cukup menguatkan nyawa.
Heloise: “Is that me? Is that how you see me?”
Marianne: “It’s not only me.”
Heloise: “What do you mean, not only you?”
Marianne: “There are rules, conventions, ideas.”
Heloise: “You mean there’s no life? No presence?”
Marianne: “Your presence is made up of fleeting moments that may lack truth.”
Heloise: “Not everything is fleeting. Some feelings are deep. The fact it isn’t close to me, that I can understand. But I find it sad it isn’t close to you.”
Marianne: “How do you know it isn’t close to me? I didn’t know you were an art critic.”
Heloise: “I didn’t know you were a painter.”
Tak siap menerima kritikan yang begitu menohok jiwa kreatifnya, Marianne dengan kesalnya menggosok bagian wajah Heloise di lukisan. Merusaknya dengan kesadaran penuh─dan penuh penyesalan. Ia mengakui kesalahannya, kekalahannya. Di depan si nyonya rumah ia tertunduk, menunjukkan lukisan yang ia rusak sendiri sebagai hasil kerja yang ia janjikan. Semua upayanya terlihat sangat sia-sia. Si nyonya rumah tentu langsung meradang, menyebut Marianne tak becus dan mempersilakannya angkat kaki.
Tapi di luar dugaan, Heloise malah meminta Marianne tetap tinggal agar ia bisa membuat lukisan yang baru. Dan yang lebih di luar dugaan lagi, kali ini Heloise bersedia berpose untuknya … tanpa syarat apa-apa. 
Seharusnya pada titik ini Marianne menyadari ada benih-benih cinta yang ditanamkan Heloise lewat perubahan sikapnya itu. Seharusnya Marianne juga menyadari bahwa dalam pengamatannya yang sembunyi-sembunyi selama ini si objek pun mengamati balik dirinya lewat tatapan yang menyembunyikan arti. Marianne terlalu sibuk mengerahkan pikiran untuk tujuan melukis, menangkap detail-detail Heloise dari ujung rambut sampai kaki─fitur, bentuk, warna, lekuk─dan ia luput merasakan aura lain di setiap situasi kebersamaan mereka. Tak heran kalau lukisannya dibilang tak memiliki nyawa karena hanya menampilkan lapisan permukaan dari sosok Heloise saja. Kritik Heloise tersebut bisa jadi adalah caranya untuk menyampaikan bahwa Marianne tidak peka membalas tatapannya selama ini.
Dengan berposenya Heloise di hadapan Marianne maka kedua perempuan itu pun akan saling menatap dalam waktu yang lama. Heloise mematung sebagai model, Marianne terpaku menerjemahkan kehadiran perempuan itu di kanvas, sementara waktu seakan membekukan momen bagi mereka berdua. Ya, Heloise kini tidak bisa lagi dimaknai sebatas keberadaan yang mengandung aspek luarannya saja, tapi sebagai kehadiran, yang lebih dalam lagi menelusuri esensi subjektif Heloise bagi Marianne. Maka pada prosesnya Marianne pun pelan-pelan mengartikan siapa Heloise bagi dirinya, dan begitu pula sebaliknya. Keduanya saling melukiskan diri masing-masing dengan kuas perasaan mereka.
Tatapan jadi jalan masuk yang menyerahkan diri masing-masing lewat perkenalan yang lebih jauh dari sekadar salam basa-basi (“When you don’t know what to say, you touch your forehead. When you lose control, you raise your eyebrows. And when you’re troubled, you breathe through your mouth”). Tatapan demi tatapan yang terus memaknai kehadiran satu sama lain itu berujung pada cinta─yang terasa, yang terungkap, yang kemudian terekspresikan dalam bentuk-bentuk yang tak cukup direkam oleh lukisan.
Tumblr media
Pengalaman
Atas permintaan Heloise si nyonya rumah memberikan Marianne kesempatan kedua, dengan syarat sekembalinya dinas ke luar kota Marianne harus sudah menyelesaikan lukisan revisinya. Kepergian nyonya rumah itu memberi ruang bagi Marianna dan Heloise untuk jadi lebih dekat lagi, saling memperkaya perasaan di antara keduanya tanpa harus terhalang oleh keberadaan pihak ketiga. Pemaknaan kehadiran jadi jalan bagi perasaan mereka menelusuri momen yang lebih dalam lagi.
Heloise mungkin lebih dulu menyadari pentingnya kehadiran Marianne dalam hidupnya. Itu terjadi ketika di suatu hari Heloise mengikuti misa di sebuah gereja sendirian, dan betapa ia sangat merasakan ketiadaan Marianne di sisinya (“In solitude, I felt the liberty you spoke of. But I also felt your absence”). Ia bermaksud mencicipi kebebasan di luar rumah akan tetapi kebebasan itu seolah tak berarti ketika sebenarnya yang ia butuhkan adalah seorang teman yang memahami keadaannya.  Itulah sebabnya ia meminta Marianne tetap tinggal untuk melukisknya lagi walaupun itu juga menciptakan semacam kontradiksi batin, karena hasil lukisan tersebut akan mengantarnya ke pernikahan yang tak ia inginkan.
Kehadiran lalu berbuah jadi pengalaman-pengalaman yang saling mengisi bab baru kehidupan. Heloise tak sekadar diam berpose tetapi juga sesekali menebar senyumnya dan mengundang Marianne bercakap-cakap. Ditemani remang cahaya lilin di ruang makan mereka bermain kartu diselingi gelak tawa yang mungkin sebelumnya tak pernah terdengar di dalam rumah. Mereka pergi ke festival api unggun di desa, menikmati sajian nyanyian akapela dari sekelompok perempuan lokal yang sangat mengharu-biru. Di malam yang larut Heloise pun ketiduran di atas bangku dapur, dan Marianne dengan sigap menggambar sketsanya di buku catatan sambil menatap syahdu sosok yang tak lama kemudian menatapnya balik diiringi senyum tipis. Pengalaman yang terus mereka tumpuk itu membawanya ke balik bebatuan di pinggir pantai, yang membentuk semacam istana rahasia tempat mereka menyembunyikan diri dari kehadiran dunia luar, yang di dalamnya, untuk pertama kalinya, mereka berbagi ciuman mesra.
Pengalaman selalu menentukan bagaimana perasaan cinta dinyatakan. Bukan logika yang membentuk perasaan tersebut, bahkan seringkali bukan pula moral yang merancang aksinya. Ketika cinta bersambut, dunia memang serasa hanya milik berdua, dan bagi Heloise dan Marianne dunia yang mereka miliki tak mesti megah atau leluasa tapi cukup menjadikan mereka perempuan yang seutuhnya. Di tengah logika dan moral dunia yang patriarkis pencapaian tersebut adalah kesempurnaan yang patut dirayakan.
Heloise bukan satu-satunya perempuan yang terjebak dalam kompleksitas gender di rumah itu. Ada pula Sophie si pelayan yang perutnya telah dihamili seseorang dan kini merencanakan aborsi. Kepergian nyonya rumah dimanfaatkan Sophie untuk menjalani proses pengguguran kandungan secara tradisional. Ia mengunjungi dukun beranak di desa dan melakukan beberapa prosedur tradisional seperti lari bolak-balik untuk menurunkan posisi janin ke dekat pintu Rahim. Tak jelas siapa laki-laki yang telah menghamilinya itu tapi yang jelas ia harus menghadapi implikasi seks di luar nikahnya sendirian. Di hari H saat proses pengguguran itu dilakukan secara manual oleh si dukun, tanpa alat bantu dan obat bius, Sophie sendirilah yang menanggung rasa sakit, kesedihan, dan mungkin pula dosanya. Ia melewati semua itu sebagai seorang perempuan yang menancapkan otoritas terhadap tubuhnya sendiri. Sebagai pelayan ia boleh saja dimiliki oleh majikannya tetapi sebagai perempuan ia adalah tuan bagi martabatnya sendiri.  
Ketiga perempuan dewasa itu mengalami keutuhan mereka sebagai perempuan. Identitas gender mereka menimbulkan kekuatan yang juga saling menguatkan satu sama lain. Namun di balik situasi itu mereka juga tak bisa lepas dari tajamnya penghakiman sosial terhadap apa yang dimaknai sebagai kebebasan milik perempuan. Di rumah itu para perempuan adalah pelaku cinta sesama jenis dan pelaku aborsi, di mana keduanya merupakan wujud ekspresi kebebasan feminin yang tak mungkin hanya mengandung sisi liar tetapi juga sisi manusiawi. Di rumah itu laki-laki adalah momok; wujudnya memang tak terlihat tapi secara konkrit telah memberikan rasa sakit yang besar kepada mereka baik secara psikis (Heloise) maupun secara fisik (Sophie). Sedangkan mata patriarki sudah pasti akan menempatkan ketiga perempuan itu sebatas objek pengamatan yang dengan mudahnya disudutkan lewat dalih-dalih besar yang mengatasnamakan kehormatan, moral, atau etika sosial.  
Dalam mengaplikasikan kebebasannya “memerankan” perempuan, mereka coba mendiskusikan tentang cinta lewat medium kisah legenda tragis Orpheus dan Eurydice.  Sehabis makan malam Heloise membacakan kisah tersebut: tentang Orpheus yang berupaya menghidupkan kembali istrinya, Eurydice, dengan mendatangi alam kematian di dasar dunia. Ia berhasil menemukan arwahnya lalu menuntunnya melewati pekatnya gua kegelapan. Sebelumnya, ia sudah membuat perjanjian dengan Dewa Kematian yaitu tak akan menoleh ke belakang untuk menatap wajah istrinya sampai ia mencapai ujung gua. Tapi seperti yang kita tahu, Orpheus tak sabar, lalu menoleh ke belakang saat tinggal beberapa langkah lagi keluar gua, dan Eurydice seketika pun terhisap lagi ke kedalaman untuk selama-lamanya.
Heloise: “’They were nearing the surface, approaching the threshold, when, fearing losing Eurydice and impatient to see her, her loving spouse turned.’”
Sophie: “No, he can’t look at her for fear of losing her. That’s no reason. He was told not to do that.”
Heloise: “He’s madly in love. He can’t resist.”
Marianne: “I think Sophie has a point. He could resist. His reasons aren’t serious. Perhaps he makes a choice.”
Heloise: “What choice?”
Marianne: “He chooses the memory of her. That’s why he turns. He doesn’t make the lover’s choice, but the poet’s.”
Heloise: “Perhaps she was the one who said, ‘Turn around.’”
Berdasarkan pengalaman masing-masing ketiganya coba menginterpretasikan wujud cinta dari kisah tersebut sesuai dengan apa yang mereka percayai. Bagi Sophie, aksi Orpheus menoleh menunjukkan pengkhianatan; tidak ada alasan yang masuk akal selain bahwa Orpheus sengaja melakukannya karena ia memang ingin melepaskan Eurydice pergi. Cintanya telah memudar di tengah perjalanan gelap yang mereka tempuh itu.
Bagi Heloise, aksi Orpheus menoleh justru didorong oleh ketakutan yang teramat besar akan kehilangan Eurydice. Baginya cinta memang tak harus logis, kadang cinta bisa mengarahkan kepada paradoks yang aneh, tapi di atas segalanya adalah perasaan tersebut harus berani ditunjukkan, sebesar apa pun risikonya nanti. Senada dengan apa yang dilakukan Heloise kepada Marianne. Ia tak bisa membohongi perasaannya, dan ia tahu bagaimana cintanya terhadap Marianne punya risiko sosial yang cukup besar. Ia pasti akan kehilangan Marianne, maka sisa waktu yang dimiliki jadi kesempatannya untuk menunjukkan cinta.
Sementara Marianne memaknai aksi Orpheus dalam bentuk yang lebih puitis. Di pintu gua Orpheus memilih untuk mengenang Eurydice, menaruhnya di dalam ingatan, dan memilikinya untuk selamanya di sana. Laki-laki itu seakan melihat bahwa hidup bersama Eurydice di dunia berpotensi mengikis cintanya seiring waktu. Maka ia pun memilih untuk mengenang cintanya selagi perasaan itu masih membumbung tinggi. Bagi Marianne, hanya dalam ingatanlah rasa itu bisa diawetkan. Hanya dalam ingatanlah rasa itu terlukiskan dalam warna-warni yang terus menetap, dan takkan pudar selama ingatan itu terpelihara.  
Ingatan
Dari sejak awal Marianne sudah memaknai Heloise sebagai ingatan. Ketika ia masih melukisnya secara diam-diam, mau tidak mau ia menangkap sosok Heloise ke dalam ingatannya di setiap kesempatan. Namun ingatan tersebut memang belum lengkap sampai ia mengenal Heloise lebih jauh, mengalami cinta yang bersemi di antara kecupan bibir keduanya, mendekapnya dalam pelukan asmara di malam-malam yang hangat. Ia tahu bahwa Heloise tak bisa ia miliki terus, jalinan takdir mereka hanya bertemu di satu titik periode yang sementara, oleh karena itulah kenangan jadi satu-satunya alat yang bisa mereka miliki sampai kapan pun.  
Marianne: “I’ll remember when you fell asleep in the kitchen.”
Heloise: “I’ll remember your dark look when I beat you at cards.”
Marianne: “I’ll remember the first time you laughed.”
Heloise: “You took your time being funny.”
Marianne: “That’s true. I wasted time.”
Heloise: “I wasted time too. I’ll remember the first time I wanted to kiss you.”
Marianne: “When was that?”
Heloise: “You didn’t notice?”
Marianne: “At the feast around bonfire?”
Heloise: “I wanted to, yes. But that wasn’t the first time.”
Marianne: “Tell me.”
Heloise: “No, you tell me.”
Marianne: “When you asked if I had known love. I could tell the answer was yes. And that it was now.”
Heloise: “I remember.”
Sosok Heloise yang sudah tergambar dengan begitu kuat di memori Marianne terkadang juga menyiksa perasaannya. Ia tak bisa mengelak realita bahwa begitu lukisannya selesai nanti Heloise harus ia “relakan” jatuh ke pelukan seorang laki-laki. Kecemasan Marianne sesekali mewujud dalam sekelibat bayangan Heloise yang muncul di depannya sambil mengenakan pakaian pengantin yang putih bersinar. Sosok “hantu” itu terbit sebentar di tengah lorong yang gelap menjelang hari-hari terakhir kebersamaan mereka, dan Marianne hanya bisa memandangnya, tak kuasa mengusirnya, karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk membatalkan perjodohan tersebut (“Imagine me happy or unhappy if that reassures you. But do not imagine me guilty”). Bayangan itu seperti pengingat akan akhir dari petualangan cinta mereka.
Namun keputusan Marianne untuk mengabadikan Heloise dalam ingatannya memang sudah final. Rasa yang bermula dari tatapan lalu bertaut dalam rentetan pengalaman itu pada akhirnya akan dihidupkan terus dalam ingatan. Buku sketsanya dipenuhi gambar-gambar Heloise, di studio lukisnya pun ia membuat dan menyimpan beberapa lukisan tentang Heloise, salah satunya yang ia beri judul Portrait of A Lady on Fire, yang merekam kejadian di festival api unggun saat bagian bawah rok gaun Heloise tak sengaja disambar api. Ia pun menghadiahi Heloise sebuah kenang-kenangan yaitu sketsa bergambar dirinya yang ia buat di kertas halaman 28 buku cerita kesayangan Heloise.
Ketika sampai di hari H mereka harus berpisah, tak ada salam atau pelukan dramatis yang terjadi. Marianne menyerahkan lukisannya kepada nyonya rumah dan telah menunaikan tugasnya karena kali ini Heloise menyukai hasil tersebut. Nyonya rumah mempersilakannya pulang dengan sikap yang ramah. Sementara pelukan perpisahannya dengan Heloise hanya berlangsung singkat, setelah itu Marianne bergegas menuruni anak tangga menuju ke pintu keluar; ia tak mau berlama-lama melakukan seremoni perpisahan yang ia tahu pasti akan semakin memberatkan kaki dan hatinya. Maka ia pun mempercepat langkahnya menuju pintu.
Tapi begitu selangkah lagi Marianne melewati pintu, Heloise berseru kepadanya untuk menoleh ke belakang. Langsung ia melihat sosok Heloise berbalut baju pengantin putih di ujung anak tangga, dan seperti Orpheus versinya sendiri Marianne menatapnya untuk terakhir kali, menyimpannya sebagai memori sekaligus juga berarti melepaskan Heloise pergi dari kehidupannya. Ia memilih jalan cinta seorang penyair, bukan cinta yang dimiliki fisiknya, bukan pula yang dekat secara fisik, melainkan cinta yang terus memberinya alasan untuk tetap hidup, untuk mengkreasikan bentuk-bentuk yang dimilikinya dalam berbagai wujud.
Cintanya itu untungnya bersambut karena Heloise pun tetap mengingatnya. Beberapa tahun berselang di sebuah pameran seni lukis di satu galeri, Marianne menemukan Heloise di dalam sebuah lukisan. Heloise mengenakan gaun putih yang anggun berdiri bersama sesosok anak kecil di sampingnya. Anak itu bisa jadi anak kandungnya hasil dari pernikahannya di Milan. Wajah Heloise masih sama dengan apa yang terus teringat di dalam kepala Marianne. Belum banyak yang berubah. Dan Marianne pun tersenyum bahagia saat menelusuri tangan kanan Heloise yang sedang memegang sebuah buku. Di lukisan itu, telunjuk kanan Heloise diselipkan ke dalam buku yang ujung lembarannya menunjukkan halaman 28, halaman di mana sketsa Marianne yang berbaring telanjang tergambar di atasnya.  
Rasa itu, sekali lagi, hanya mereka yang tahu. Hanya mereka yang bisa terus mengingatnya, mengunjunginya lagi sendiri-sendiri tanpa ada yang memergoki. Dalam keutamaannya cinta memang bukan hanya perihal rasa yang terawat abadi, tapi tentang sifat khususnya yang hanya bisa dimiliki oleh dua insan saja dan akan terus demikian sampai salah satu di antaranya memilih untuk melupakan.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
1 note · View note
coolanimetrending · 4 years
Text
Film Anime Terbaik Jepang yang Menjadi Tontonan Banyak Orang yang Terkenal di Dunia
Tumblr media
Pernahkah Anda menonton animasi atau anime Jepang? Jika ya, apakah menurut Anda itu menarik? Sebenarnya sebagian besar anime di Jepang menampilkan cerita-cerita fantastis dan biasanya tentang kekuatan supranatural. Karena itu, mereka benar-benar layak untuk ditonton dan mereka benar-benar menghibur. Jika Anda benar-benar pecinta anime Jepang, jangan lewatkan 14 anime terpopuler di Jepang yang disebutkan di blog ini. Apakah anda anime yang paling anda gemari?
Doraemon
Doraemon adalah anime yang cukup tua dimana Jepang dan juga banyak orang di dunia tumbuh bersama. Ini pertama kali keluar pada 1960-an dan cerita berputar di sekitar Doraemon, kucing robot biru yang melakukan perjalanan mundur dari abad ke-22 untuk membantu seorang anak lelaki bernama Nobita Nobi. Nobita selalu mendapat nilai buruk di sekolah dan menderita pengganggu dari teman-teman sekelasnya. Dengan alat ajaib Doraemon, baik Doraemon dan Nobita serta teman-temannya yang Xuka, Xeko dan Chaien memiliki banyak pengalaman yang menyenangkan bersama, tetapi kadang-kadang mereka menyebabkan masalah dengan alat-alat itu. Doraemon adalah perjalanan panjang yang penuh dengan emosi dan pengalaman dua teman dekat dan juga memberikan banyak pelajaran yang berarti bagi pemirsa. Itulah sebabnya Doraemon adalah salah satu anime paling populer di Jepang dan Anda harus menontonnya setidaknya sekali dalam hidup Anda.
Detektif Conan
Anime top Jepang lainnya adalah Detective Conan, yaitu tentang Shinichi Kudou yang memiliki bakat luar biasa untuk menyelesaikan semua kasus kriminal, bahkan yang paling menantang untuk mengetahui pembunuhan yang sebenarnya. Hal yang menarik perhatianmu tentang Shinichi adalah dia memiliki kemampuan yang luar biasa walaupun usianya baru 17 tahun. Sayangnya, insiden yang tidak menyenangkan tiba-tiba terjadi padanya. Suatu malam benar-benar mengubah hidupnya. Itu adalah malam ketika detektif muda itu menyaksikan dua pria yang mencurigakan di sebuah taman hiburan. Mereka memperhatikannya dan memberinya obat percobaan. Dia selamat, tetapi tubuhnya menyusut hingga seukuran bocah tujuh tahun. Sejak saat itu, ia mulai menjalani kehidupan seorang anak dan selalu berusaha menyembunyikan identitas aslinya untuk menyelidiki organisasi aneh yang telah membuat perubahan dramatis pada tubuhnya.
One Piece
One Piece adalah anime yang hebat yang bisa membuat Anda mudah jatuh cinta. Di awal anime, Raja Bajak Laut mengungkapkan keberadaan One Piece, harta yang dapat memberi pemiliknya kekayaan dan ketenaran tanpa batas sebelum eksekusi. Kisah ini menjadi lebih menarik ketika mengikuti Monkey D. Luffy, seorang remaja pria yang membentuk krunya dan melakukan perjalanan melintasi Grand Line. Selama perjalanan mereka untuk mencapai harta terbesar, mereka harus bertarung dengan banyak musuh yang kuat dan mengalami banyak hal dalam petualangan mereka. Setiap karakter dalam One Piece dikembangkan dengan baik dan unik dengan kesenangan dan karakteristik yang berbeda sehingga Anda pasti akan menyukainya. Meskipun anime sebagian besar berfokus pada pengenalan karakter di awal, Anda akan selalu menemukan beberapa aksi di setiap episode. Ketika kru Luffy mencapai tujuan mereka, Anda akan terjun ke petualangan tanpa akhir.
Naruto
Naruto adalah anime populer di Jepang yang berkisah tentang bocah lelaki bernama Naruto dengan banyak petualangannya. Bertahun-tahun yang lalu, salah satu desa di Negara-negara Shinobi diserang oleh rubah yang kuat yang disebut Sembilan-ekor. Monster ini membuat pemimpin desa mengorbankan hidupnya dan dia harus menyegelnya di dalam putranya yang baru lahir yang adalah Naruto. Karena itu, Naruto harus menjalani kehidupan dengan daftar hidup di dalam dirinya dan ia harus berjuang untuk menemukan tempatnya di dunianya pada waktu itu. Suatu hari, ia menjadi ninja dan membentuk timnya sendiri untuk melakukan semua misi yang diminta oleh penduduk desa. Sepanjang petualangannya, dia tidak hanya bertemu teman-teman hebat tetapi juga musuh yang berbahaya.
Crayon Shin-Chan
Crayon Shin-Chan adalah anime lucu yang menampilkan seorang anak laki-laki muda dan kreatif yang namanya Shinnosuke atau Shin-chan. Dia tinggal bersama orang tuanya yang eksentrik, Misae dan Hiroshi, dan adik perempuannya bernama Prima Donna. Dia juga punya banyak teman unik di sekitarnya. Kehidupan sehari-hari Shin-chan kecil selalu penuh dengan momen-momen lucu dan bahkan mengejutkan, yang sebagian besar berasal dari bahasanya yang tidak wajar dan kadang-kadang profan serta tindakan konstan dari perilaku yang tidak pantas. Salah satu momen paling menentukan di Crayon Shin-Chan adalah lelucon "gajah" terkenal Shin-chan. Itu adalah contoh sempurna dari komedi kasar dan salah satu tema inti dari seri ini. Crayon Shin-Chan adalah salah satu anime paling populer di Jepang yang harus Anda coba. Itu adalah anime, tetapi ini benar-benar menangkap kejanggalan dalam tumbuh dewasa dan juga keindahan bersikap jujur ​​pada diri sendiri dengan cara yang realistis.
Pokemon
Pokemon adalah acara yang menyenangkan yang tidak hanya memiliki petualangan dan aksi tetapi juga mengajarkan banyak pelajaran moral kepada anak-anak karena anime juga ditujukan untuk anak-anak. Karakter utama anime ini adalah Satoshi, bocah lelaki berusia 10 tahun yang selalu bermimpi menjadi pelatih Pokemon. Mimpinya akan menjadi kenyataan, tetapi ketiga Pokemon untuk pemula telah diambil. Hanya Pokemon listrik pemberontak bernama Pikachu yang tersisa. Satoshi dan Pikachu memulai perjalanan bersama untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Saat itulah petualangan mereka dimulai! anime paling populer di Jepang. Pokemon adalah anime yang sangat populer di kalangan anak-anak dan sangat bagus untuk mereka karena mengajarkan mereka pelajaran moral.
Dragon Ball
Dragon Ball berpusat pada Son Goku, seorang bocah lelaki yang tinggal di hutan dan tidak memiliki teman. Dia hidup sendirian sampai seorang gadis tersandung padanya. Dia mencari satu set Bola Naga yang ajaib dan dapat memberi siapa saja yang mengumpulkan ketujuh dari mereka. Gadis itu benar-benar ingin menemukan mereka semua dan membuat keinginan untuk pacar yang baik. Meskipun Goku memiliki satu bola naga, dia tidak mau memberikannya. Serial ini wajib ditonton oleh siapa pun yang suka anime. Itu dapat memenuhi semua harapan Anda akan anime dengan banyak perkelahian dan humor. Animasi dan seni bukan yang terbaik dibandingkan dengan anime modern, tetapi anime klasik Dragon Ball luar biasa.
Sailor Moon
Jika Anda mencari anime yang menampilkan keseimbangan antara romansa dan komedi dengan beberapa momen lucu, Sailor Moon harus menjadi pilihan Anda. Karakter-karakter anime ini sangat imut, menyenangkan, dan dapat diterima dalam banyak hal. Suara-suara dalam versi yang dijuluki Sailor Moon membuat acara itu tampak kekanak-kanakan, tetapi sebenarnya mencakup banyak masalah seperti seksualitas, kekerasan, dan banyak masalah hubungan. Sailor Moon berfokus pada seorang gadis remaja biasa yang hidupnya berubah secara berbeda setelah dia mengetahui nasibnya. Dia ditakdirkan untuk menjadi penjaga planet dan melindungi planet ini, jadi sejak saat itu ia menjadi prajurit Sailor Moon. Dia harus bekerja sama dengan Prajurit Pelaut lainnya untuk menyelamatkan Bumi.
Attack On Titan
Attack On Titan adalah salah satu animasi paling populer di Jepang yang penuh dengan adegan pertarungan epik dan momen sedih. Jika Anda menemukan anime epik dan dramatis dengan cerita yang menarik, Attack On Titan adalah untuk Anda. Serial ini dapat membuat mata Anda dipenuhi dengan air mata atau bahkan menghancurkan hati Anda karena banyak karakter harus mengorbankan hidup mereka untuk melindungi manusia. Anime ini membawa kita ke dunia di mana umat manusia berada di ambang kepunahan dan mengikuti Eren Yeager dan dua sekutunya yang mendedikasikan hidup mereka untuk mengalahkan makhluk pemakan manusia yang mengerikan dan luar biasa yang disebut titans. Makhluk-makhluk ini telah memaksa manusia untuk bersembunyi di balik tembok raksasa selama 100 tahun. Namun, kehidupan manusia yang tenang berakhir ketika titan menembus dinding luar.
Sword Art Online
Sword Art Online mengikuti seorang bocah remaja yang bernama Kirito. Dia menjadi salah satu penggemar game yang beruntung untuk pertama kali mendapatkan akses ke game bernama Sword Art Online, tetapi sayangnya, dia terjebak di dalamnya. Gim ini penuh dengan senjata abad pertengahan dan monster berbahaya, yang terdengar menarik bagi para gamer. Namun, ketika dia masuk ke dalamnya, dia menyadari bahwa dia harus menyelesaikan semua seratus level atau dia tidak bisa keluar dari permainan. Permainan sekarang tidak menyenangkan lagi, tetapi ternyata berbahaya. Jika para pemain mati di dunia virtual, mereka mati dalam kenyataan. Tidak mungkin, jadi Kirito dan sekutunya memutuskan untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk bertahan hidup.
Mr. Osomatsu
Mr. Osomatsu pertama kali muncul pada 1960-an, sekitar waktu yang sama dengan Doraemon dan ini adalah pertunjukan yang sangat populer dengan ribuan anak-anak di negara asalnya. Anime ini adalah komedi tentang sextuplets Matsuno dan petualangan mereka dalam menyebabkan kerusakan untuk orang lain. Meskipun mereka semua identik dalam penampilan, berbagi cinta untuk kesalahan dan memperhatikan gadis tetangga yang sama bernama Totoko, mereka memiliki kepribadian yang berbeda.
Akira
Akira (ア キ ラ) yang terkenal di dunia awalnya dibuat sebagai manga yang ditulis oleh Katsuhiro Otomo dan adaptasi film anime dirilis pada tahun 1988. Seri manga belum selesai pada waktu itu, jadi film anime didasarkan pada 3 volume yang telah telah diterbitkan pada tahun 1988 dengan kisah klimaks yang persis berbeda dari manga. Pengaturannya adalah Neo Tokyo pada 2019, di mana Tokyo hancur karena pecahnya Perang Dunia II. Ada dua karakter utama di Akira: seorang pemimpin kelompok Bosozoku (geng motor Jepang) bernama Shotaro Kaneda dan teman masa kecilnya Tetsuo Shima. Kisah itu terungkap pertama kali ketika Tetsuo mendapatkan kekuatan supranatural setelah kecelakaan sepeda motor.
My Neighbor Totoro
My Neighbor Totoro (と な り の ト ト ロ) adalah salah satu film Studio Ghibli paling populer di kalangan keluarga di seluruh dunia. Anime fantasi, disutradarai oleh Hayao Miyazaki dirilis di teater pada tahun 1988 sebagai bagian dari fitur ganda dengan Grave of the Fireflies (火 垂 る の 墓), yang disutradarai oleh pemimpin lain Studio Ghibli Isao Takahata. Pengaturan My Neighbor Totoro adalah Tokorozawa di Prefektur Saitama pada 1950-an. Sebuah keluarga pindah ke desa pedesaan, yang terdiri dari seorang siswa sekolah dasar Satsuki, adik perempuannya Mei dan ayah mereka Tatsuo. Ibunya tinggal di rumah sakit yang terletak di dekat desa. Suatu hari, anak-anak bertemu makhluk mistik bernama Totoro. Jika Anda belum menonton film Studio Ghibli, disarankan untuk memulai dengan ini.
Perang Musim Panas
Summer Wars (サ マ ー ウ ォ ー ズ) adalah salah satu film anime Mamoru Hosoda yang memiliki reputasi tertinggi, dirilis pada tahun 2009. Seorang siswa SMA Kenji dan Senpai-nya bernama Natsuki yang satu tahun ke depan mengunjungi rumah keluarganya. Ada perbedaan yang jelas dalam Summer Wars. Budaya tradisional Jepang dan adat istiadat dengan alam pedesaan yang kaya digambarkan di sana. Pada saat yang sama, cerita berlanjut dengan masalah di dunia realitas virtual bernama OZ.
1 note · View note
Photo
Tumblr media
HISTORIA UNIVERSAL – REINAS – MARIA ANTONIETA –
María Antonia Josefa Juana de Habsburgo-Lorena, nació en Viena el 2 de noviembre de 1755 y falleció ajusticiada en París, 16 de octubre de 1793, más conocida bajo el nombre de María Antonieta de Austria, fue una archiduquesa de Austria y reina consorte de Francia y de Navarra.
Decimoquinta y penúltima hija de Francisco I del Sacro Imperio Romano Germánico y de la emperatriz María Teresa I de Austria, se casó en 1770, a los catorce años con el entonces delfín y futuro Luis XVI de Francia, en un intento por estrechar los lazos entre dos enemigos históricos.
Detestada por la corte francesa, donde la llamaban la austriaca o la «otra perra»), María Antonieta también se ganó gradualmente la antipatía del pueblo, que la acusaba de manirrota y promiscua y de influir a su marido en pro de los intereses austriacos. No en vano se ganó los apelativos de «Madame Déficit» y «loba austriaca».​
Tras la fuga de Varennes, Luis XVI fue depuesto, la monarquía abolida el 21 de septiembre de 1792 y la familia real encarcelada en la torre del Temple. Nueve meses después de la ejecución de su marido, María Antonieta fue juzgada, condenada por traición y guillotinada el 16 de octubre de 1793.
Tras su muerte, María Antonieta se convirtió en parte de la cultura popular y en una figura histórica importante. Algunos académicos y estudiosos piensan que su comportamiento considerado como frívolo y superficial ayudó a aumentar la agitación durante el inicio de la Revolución francesa, sin embargo, otros historiadores alegan que ha sido injustamente retratada y que las opiniones hacia ella deberían ser más benévolas.
Hija del emperador del Sacro Imperio Romano Germánico Francisco I, gran duque de Toscana y de su esposa María Teresa I, archiduquesa de Austria, reina de Hungría y reina de Bohemia, nació el 2 de noviembre de 1755. Es la decimoquinta y penúltima hija de la pareja imperial.
De ella se encargan las ayas, gobernantas de la familia real (Mme de Brandeiss y la severa Mme de Lerchenfeld), bajo la estricta supervisión de la Emperatriz, que tiene ideas muy básicas sobre la educación de los hijos: higiene severa, régimen estricto y fortalecimiento del cuerpo. Pasa su infancia entre los palacios de Hofburg y Schönbrunn, en Viena.
La emperatriz ya se esfuerza por casar a su hija con el mayor de los nietos del rey Luis XV, el delfín Luis Augusto y futuro Luis XVI, que tiene más o menos la misma edad que ella. Al mismo tiempo María Teresa acaricia la idea de unir a otra de sus hijas, Isabel, con el viejo Luis XV. Se trata de sellar la alianza franco-austríaca nacida de la famosa «caída de las alianzas» concretada en 1756 por el tratado de Versalles, con el fin de neutralizar la ascensión de Prusia y la expansión de Inglaterra.
Cuando María Antonieta tiene 13 años, la emperatriz, vieja dama y viuda, se interesa más por su educación con el fin de casarla. La archiduquesa toma lecciones de clave con Gluck y de baile francés con Noverre. Cuando su madre elige, además, a dos actores para darle clases de dicción y de canto, el embajador francés protesta oficialmente (los actores pasan entonces por ser personajes poco recomendables). María Teresa I le pide entonces que nombre a un preceptor aceptado por la corona de Francia. Será el abad de Vermond, admirador del Siglo de las luces y aficionado a las bellas artes quien, enviado a la corte imperial, iba a reparar las lagunas en la educación de la joven archiduquesa y comenzar a prepararla para sus futuras funciones.
El 13 de junio de 1769, el marqués de Durfort, embajador de Francia en Viena, realiza la petición de mano para el delfín. María Teresa I acepta de inmediato. En Francia el partido devoto, hostil por la caída de las alianzas llevada a cabo por el duque de Choiseul en favor del enemigo sempiterno, llama ya a la futura delfina «la Austríaca», sobrenombre que le había sido dado por las hijas del rey Luis XV.
El 17 de abril de 1770, María Antonieta renuncia, oficialmente, a sus derechos sobre el trono austríaco4​ y el 16 de mayo se casa con el Delfín en Versalles. ​ El mismo día de la boda se produce un escándalo de protocolo: las princesas de Lorena, alegando su parentesco con la nueva delfina, se permitieron bailar antes que las duquesas, grandes damas de la nobleza, que murmuran ya contra «la Austríaca». Esa misma tarde 132 personas mueren como consecuencia de un incendio causado por los fuegos artificiales desplegados en la ceremonia de casamiento.
Joven, bella, inteligente, heredera de Habsburgo y con un árbol genealógico impresionante, su llegada aviva también los celos del pequeño mundo de la nobleza versallesca y de las múltiples y dudosas alianzas; pero la joven delfina tiene miedo de no acostumbrarse a su nueva vida. Su espíritu se pliega mal a la complejidad y a la astucia de la «vieja corte» y al libertinaje del rey Luis XV y de su amante Madame du Barry. Su marido, tímido y reservado, la evita (el matrimonio no se consuma hasta julio de 1777), trata de amoldarse al protocolo y a la ceremonia francesa pero aborrece tener su corte.
El 10 de mayo de 1774, Luis XVI y María Antonieta se convierten en los reyes de Francia y de Navarra, pero su comportamiento no cambia mucho. Desde el verano de 1777 las primeras canciones hostiles, como «Pequeña reina de veinte años», empiezan a circular. María Antonieta se rodea de una pequeña corte de favoritos (la princesa de Lamballe, el barón de Besenval, el duque de Coigny, la condesa de Polignac) suscitando las envidias de otros cortesanos, multiplica su vestuario y las fiestas, organiza partidas de cartas en las que se realizan grandes apuestas.
En 1789 la situación de la reina es insostenible. Corre el rumor de que Monsieur (futuro Luis XVIII) habría depositado en la asamblea de los notables de 1787 un dossier que probaba la ilegitimidad de los infantes reales. El rumor menciona un retiro de la reina en Val-de-Grâce. El abad Soulavie, en sus Mémoires historiques y politiques del reinado de Luis XVI, escribe que se pensaba que María Antonieta «se llevaría con ella todas las maldiciones del pueblo y que la autoridad real sería, por este motivo, total y súbitamente regenerada y restaurada».
El 4 de mayo de 1789 se abren los Estados Generales. Después de la misa de apertura sube al púlpito monseñor de la Fare que, con duras palabras, ataca a María Antonieta denunciando el lujo desenfrenado de la Corte y de los que, hastiados de este lujo, buscan el placer en «una imitación pueril de la naturaleza» alusión evidente al Pequeño Trianón y continua el drama de la reina Maria Antonieta hasta la guillotina.
Al mediodía del día siguiente María Antonieta es guillotinada, sin haber querido confesarse con el sacerdote constitucional que le habían propuesto. El día de su ejecución, mientras el pueblo entero la abucheaba e insultaba, María Antonieta se tropezó subiendo al cadalso y pisó al verdugo que estaba a punto de guillotinarla. Ella le dijo: «Disculpe, señor, no lo hice a propósito.»
Fue enterrada en el cementerio de la Madeleine, calle de Anjou-Saint-Honoré, con la cabeza entre las piernas. Su cuerpo fue exhumado posteriormente el 18 de enero de 1815 y transportado el 21 a Saint-Denis.
En su descargo y por lo que se deduce de una carta escrita a su hermano, parece ser que ella no tuvo nunca ninguna influencia acerca de las decisiones políticas tomadas por el rey. Revista Historia Universal - [email protected]
0 notes
praza-teatro · 7 years
Text
COMO CONTINUA A VIDA, EN RESACA, DE ILMAQUINARIO TEATRO. Por Ana Abad de Larriva
Tumblr media
Resaca, de ilMaquinario Teatro, presentouse o venres 17 de marzo de 2017 no Auditorio Municipal de Vigo. A peza, dirixida por Tito Asorey, e con dramaturxia del e de Ana Carreira, a partir dun proceso de creación colaborativa cos intérpretes, encádrase dentro das dramaturxias performativas posdramáticas e destaca por unha hibridación de xéneros moi ben artellada que, á súa vez, axuda a reconstruír un relato a partir de retallos. Resaca incorpora a música en directo, interpretada polos propios actores (Fer, Fran, Laura e Melania, acompañados e dirixidos musicalmente por Vadim Yukhnevich); a narración oral; o teatro dixital; a danza; a iluminación, fermosísima, a cargo de José Manuel Faro, Coti, que apoia a acción e o relato que, de xeito fragmentado, van empregando os actores para reconstruír os recordos arredor da vida dunha persoa que xa non está e do seu pasado…
A peza encádrase dentro dun xogo metateatral mediante o que se fan alusións ao proceso de preparación e de ensaios por parte da compañía. Tamén é presentada por Fran como “outra peza sobre o amor, pero a nosa”. Hai unha capacidade moi interesante de conseguir crear e remitir a unha gran cantidade de espazos, tanto no escenario, así como fóra del; físicos, por exemplo, cando Laura aparece no patio de butacas, e interactúa con Fer, que está no escenario, e sensitivos. A relación activa co público é continua ao longo de toda a peza, xa dende antes de que este sexa convidado a ler dunha pantalla unha conversa de whatsapp que é a que desencadea toda a procura posterior arredor dunha resaca de información e de lembranzas que van esvaecendo. Esa resaca está conformada por unha serie de recordos fragmentados que fican ancorados en cadernos, en fotografías, en palabras manuscritas…, desenterrados dunha montaña de terra en forma de túmulo, e que se van presentando de xeito progresivo, para rescatar a memoria de Álex a través do seu pasado e o da súa familia.
Recursos como a parodia, no simulacro da misa; a aceleración do tempo e o corte abrupto –na interpretación deles da canción Ob-la-di, Ob-la-da, de The Beatles, a diverxencia, cando Melania baila como se fose Álex, a persoa que xa non está; a alusión continua a referentes sociais e políticos compartidos co público… axudan ao mantemento do ritmo dramatúrxico. Os intérpretes ofrecen momentos e secuencias que teñen moita forza: a aparición de Laura dende o público e o cruce dialéctico entre ela e Fer; o momento en que están a lembrar cousas de Álex, a persoa que xa non está, e os recordos comezan a esvaecerse, cando Melania baila por todas as mulleres que non puideron facelo, cando Fer conduce o simulacro da misa, cando Fran toca a trompeta…
Resaca é unha peza que atinxe a cerna das relacións humanas e o que acontece co paso do tempo, coas lembranzas, e como estas comezan a disiparse… É unha obra que fala da vida e as resacas de información, de sentimentos, de relacións, de discusións, de momentos fermosos compartidos… que forman parte dela.
Resaca vén de ser seleccionada para ser estreada internacionalmente no Festival Chantiers d’Europe, dentro da programación do Théâtre de la Ville de París, o 11 de maio de 2017, aínda que traducido o texto orixinal en galego ao castelán e subtitulada en francés.
Tumblr media
Ficha artística:
Dirección: Tito Asorey.
Dramaturxia: Tito Asorey, Ana Carreira.
Elenco: Melania Cruz, Fernando González, Fran Lareu, Laura Míguez, Vadim Yukhnevich.
Deseño de escenografía: Laura Iturralde e Montse Piñeiro.
Construción da maqueta: Fran Lareu.
Iluminación: José Manuel Faro, Coti.
Audiovisuais: Diego Blanco e Laura Iturralde.
Vesitiario: ilMaquinario Teatro.
Fotografía e vídeo: Aitor Uve.
Deseño gráfico: José Lameiras.
Deseño de espazo sonoro: Vadim Yukhnevich.
Dirección musical: Vadim Yukhnevich.
Unidade didáctica: Melania Cruz.
Produción: Fran Lareu.
Axudantía de dirección: María Peinado.
Textos: Tito Asorey, Ana Carreira, Melania Cruz, Fernando González, Fran Lareu, Álex López, Laura Míguez, María Peinado, Vadim Yukhnevich.
Presentación: venres, 17 de marzo de 2017, ás 21.00 horas, no Auditorio do Concello de Vigo.
As fotografías son de ilMaquinario Teatro.
 * Ana Abad de Larriva, estudou xornalismo. Actualmente é alumna da Escola Superior de Arte Dramática de Galicia.
 Supervisión e coordinación: Afonso Becerra de Becerreá.
0 notes
uncorazonvigilante · 7 years
Text
Teología monástica y teología escolástica
BENEDICTO XVI
AUDIENCIA GENERAL
Miércoles 28 de octubre de 2009
Teología monástica y teología escolástica
Queridos hermanos y hermanas:
Hoy me detengo en una interesante página de la historia, que atañe al florecimiento de la teología latina en el siglo XII, gracias a una serie providencial de coincidencias. En los países de Europa occidental reinaba por aquel entonces una paz relativa, que aseguraba a la sociedad el desarrollo económico y la consolidación de las estructuras políticas, y favorecía una intensa actividad cultural, entre otras causas gracias a los contactos con Oriente. En la Iglesia se advertían los beneficios de la vasta acción conocida como "reforma gregoriana", promovida vigorosamente en el siglo anterior, que había aportado una mayor pureza evangélica a la vida de la comunidad eclesial, sobre todo en el clero, y había restituido a la Iglesia y al Papado una auténtica libertad de acción. Además, se iba difundiendo una amplia renovación espiritual, sostenida por un fuerte crecimiento de la vida consagrada:  nacían y se expandían nuevas Órdenes religiosas, mientras que las ya existentes vivían una prometedora recuperación.
La teología también volvió a florecer y adquirió una mayor conciencia de su naturaleza:  afinó el método, afrontó problemas nuevos, avanzó en la contemplación de los misterios de Dios, produjo obras fundamentales, inspiró iniciativas importantes en la cultura, desde el arte hasta la literatura, y preparó las obras maestras del siglo sucesivo, el siglo de santo Tomás de Aquino y de san Buenaventura de Bagnoregio. Los ambientes en los que tuvo lugar esta intensa actividad teológica fueron dos:  los monasterios y las escuelas de la ciudad, las scholae, algunas de las cuales muy pronto darían vida a las universidades, que constituyen uno de los típicos "inventos" de la Edad Media cristiana. Precisamente a partir de estos dos ambientes, los monasterios y las scholae, se puede hablar de dos modelos diferentes de teología:  la "teología monástica" y la "teología escolástica". Los representantes de la teología monástica eran monjes, por lo general abades, dotados de sabiduría y de fervor evangélico, que se dedicaban esencialmente a suscitar y a alimentar el deseo amoroso de Dios. Los representantes de la teología escolástica eran hombres cultos, apasionados por la investigación; magistri deseosos de mostrar la racionabilidad y la autenticidad de los misterios de Dios y del hombre, en los que ciertamente se cree por la fe, pero que también se comprenden con la razón. La distinta finalidad explica la diferencia de su método y de su manera de hacer teología.
En los monasterios del siglo XII el método teológico estaba vinculado principalmente a la explicación de la Sagrada Escritura, de la página sagrada, como decían los autores de ese periodo; se practicaba especialmente la teología bíblica. Todos los monjes escuchaban y leían devotamente las Sagradas Escrituras, y una de sus principales ocupaciones consistía en la lectio divina, es decir, en la lectura orante de la Biblia. Para ellos la simple lectura del texto sagrado no era suficiente para percibir su sentido profundo, su unidad interior y su mensaje trascendente. Por tanto, era necesario practicar una "lectura espiritual", llevada a cabo en docilidad al Espíritu Santo. En la escuela de los Padres, la Biblia se interpretaba alegóricamente, para descubrir en cada página, tanto del Antiguo como del Nuevo Testamento, lo que dice de Cristo y de su obra de salvación.
El Sínodo de los obispos del año pasado sobre la "Palabra de Dios en la vida y en la misión de la Iglesia" recordó la importancia del enfoque espiritual de las Sagradas Escrituras. En este sentido, es útil tomar en consideración la herencia de la teología monástica, una ininterrumpida exégesis bíblica, como también las obras realizadas por sus representantes, valiosos comentarios ascéticos a los libros de la Biblia. A la preparación literaria la teología monástica unía la espiritual; es decir, era consciente de que no bastaba con una lectura puramente teórica y profana:  para entrar en el corazón de la Sagrada Escritura, hay que leerla identificándose con el espíritu con el que fue escrita y creada. La preparación literaria era necesaria para conocer el significado exacto de las palabras y facilitar la comprensión del texto, afinando la sensibilidad gramatical y filológica. El estudioso benedictino del siglo pasado Jean Leclercq tituló así el ensayo con el que presenta las características de la teología monástica:  L'amour des lettres et le désir de Dieu (El amor por las palabras y el deseo de Dios). Efectivamente, el deseo de conocer y de amar a Dios, que nos sale al encuentro a través de su Palabra que debemos acoger, meditar y practicar, lleva a intentar profundizar los textos bíblicos en todas sus dimensiones.
Hay otra actitud en la que insisten quienes practican la teología monástica:  una íntima actitud orante, que debe preceder, acompañar y completar el estudio de la Sagrada Escritura. Puesto que, en resumidas cuentas, la teología monástica es escucha de la Palabra de Dios, no se puede dejar de purificar el corazón para acogerla y, sobre todo, no se puede dejar de encenderlo de fervor para encontrar al Señor. Por consiguiente, la teología se convierte en meditación, oración y canto de alabanza, e incita a una sincera conversión. No pocos representantes de la teología monástica alcanzaron, por este camino, las más altas metas de la experiencia mística, y constituyen una invitación también para nosotros a alimentar nuestra existencia con la Palabra de Dios, por ejemplo, mediante una escucha más atenta de las lecturas y del Evangelio, especialmente en la misa dominical. Es importante también reservar cada día cierto tiempo para la meditación de la Biblia, a fin de que la Palabra de Dios sea lámpara que ilumine nuestro camino cotidiano en la tierra.
La teología escolástica, en cambio —como decía—, se practicaba en las scholae, que surgieron junto a las grandes catedrales de la época, para la preparación del clero, o alrededor de un maestro de teología y de sus discípulos, para formar profesionales de la cultura, en una época en la que el saber era cada vez más apreciado. En el método de los escolásticos era central la quaestio, es decir, el problema que se plantea al lector a la hora de afrontar las palabras de la Escritura y de la Tradición. Ante el problema que estos textos autorizados plantean, surgen preguntas y nace el debate entre el maestro y los alumnos. En ese debate aparecen, por una parte, los temas de la autoridad; y, por otra, los de la razón, y el debate se orienta a encontrar, al final, una síntesis entre autoridad y razón para alcanzar una comprensión más profunda de la Palabra de Dios. San Buenaventura dice al respecto que la teología es "per additionem" (cf. Commentaria in quatuor libros sententiarum, i, proem., q. 1, concl.), es decir, la teología añade la dimensión de la razón a la Palabra de Dios y de este modo crea una fe más profunda, más personal y, por tanto, también más concreta en la vida del hombre. En este sentido, se encontraban distintas soluciones y se formaban conclusiones que comenzaban a construir un sistema de teología. La organización de las quaestiones llevaba a la elaboración de síntesis cada vez más extensas, pues se componían las diversas quaestiones con las respuestas encontradas, creando así una síntesis, las denominadas summae, que eran en realidad amplios tratados teológico-dogmáticos nacidos de la confrontación entre la razón humana y la Palabra de Dios. La teología escolástica tenía como objetivo presentar la unidad y la armonía de la Revelación cristiana con un método, llamado precisamente "escolástico", de la escuela, que confía en la razón humana:  la gramática y la filología están al servicio del saber teológico, pero con mayor motivo lo está la lógica, es decir, la disciplina que estudia el "funcionamiento" del razonamiento humano, de manera que resulte evidente la verdad de una proposición. Todavía hoy, leyendo las summae escolásticas sorprende el orden, la claridad, la concatenación lógica de los argumentos, y la profundidad de algunas intuiciones. Con lenguaje técnico se atribuye a cada palabra un significado preciso, y entre el creer y el comprender se establece un movimiento recíproco de clarificación.
Queridos hermanos y hermanas, retomando la invitación de la primera carta de san Pedro, la teología escolástica nos estimula a estar siempre dispuestos a dar respuesta a todo el que nos pida razón de nuestra esperanza (cf. 1 P 3, 15). Sentir nuestras las preguntas y de ese modo ser capaces de dar también una respuesta. Nos recuerda que entre fe y razón existe una amistad natural, fundada en el orden mismo de la creación. El siervo de Dios Juan Pablo II, al comienzo de la encíclica Fides et ratioescribe:  "La fe y la razón son como las dos alas con las cuales el espíritu humano se eleva hacia la contemplación de la verdad". La fe está abierta al esfuerzo de comprensión por parte de la razón; la razón, a su vez, reconoce que la fe no la mortifica, sino que la lanza hacia horizontes más amplios y elevados. Aquí se introduce la perenne lección de la teología monástica. Fe y razón, en diálogo recíproco, vibran de alegría cuando ambas están animadas por la búsqueda de la unión íntima con Dios. Cuando el amor vivifica la dimensión orante de la teología, el conocimiento que adquiere la razón se ensancha. La verdad se busca con humildad, se acoge con estupor y gratitud:  en una palabra, el conocimiento sólo crece si ama la verdad. El amor se convierte en inteligencia y la teología en auténtica sabiduría del corazón, que orienta y sostiene la fe y la vida de los creyentes. Oremos, pues, para que el camino del conocimiento y de la profundización de los misterios de Dios siempre esté iluminado por el amor divino.
Saludos
(En castellano)
Saludo a los fieles de lengua española, procedentes de España y Latinoamérica. En particular, a los miembros de la Cofradía de la Vera Cruz, de Caravaca; a los fieles de la parroquia Los Santos, de Torreón, Coahuila; al grupo del Colegio salesiano de San Juan y a los peregrinos provenientes de Bolivia. A todos os invito a acrecentar el deseo y la búsqueda de una íntima unión con Dios, que anime y sostenga vuestra fe y vuestra vida como creyentes. Muchas gracias.
Fuente: https://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/es/audiences/2009/documents/hf_ben-xvi_aud_20091028.html#
0 notes
rainbowxmisa · 2 years
Text
RengaWeek2022 Day 7: crossover 🌺❄️/⚙️💥
Tumblr media Tumblr media
Bakugou is teaching Langa how to be a feral gremlin, while Reki and Kirishima are the best and most supportive boyfriends ever 😌💛 (Langa is so confused why Bakugou screams the D word all the time, but he supposes it's very effective against villains (?) 😂😂😂)
95 notes · View notes
rainbowxmisa · 2 years
Text
krbk month 2022 day 3: photographs 📸❤️🧡
Tumblr media
21 notes · View notes
rainbowxmisa · 2 years
Text
krbk month 2022 day 20: baby-sitting 🍎❤️🧡
Eri loves to do little ponytails to Kiri and Bakugou 🥺🤲🏻💛
Tumblr media
14 notes · View notes
rainbowxmisa · 2 years
Text
SK8TEMBER 2022 SERIES
Day 2: Seasons ☀️🍁❄️🌸
“Through the seasons with you.”
Summary:
“The first time we kissed was on an autumn night when we were sixteen.
We were on a sleepover at my parent’s house like we did almost all weekends. We were watching a movie that I don’t even remember, because I was too distracted with Kaoru’s beauty.”
· 1k
· Rated G
· matchablossom
· first meetings, first kiss, getting together, friends to lovers, fluff
Tumblr media Tumblr media
6 notes · View notes
rainbowxmisa · 3 years
Text
Birthday wishes 🎂❤️🧡
(DO NOT REPOST)
Tumblr media Tumblr media
Happy birthday to our precious sunshine boy!! (And also Tetsutetsu! 🥺) I really hope they're receiving all the love they deserve ❤️❤️❤️❤️
You can find more of my art on my Instagram! 🥺🤲🏻💛
109 notes · View notes
rainbowxmisa · 5 years
Text
Tumblr media Tumblr media
“YOU STUPID YELLOW FRUIT! WHAT'S YOUR DEAL? DO YOU THINK YOU'RE RICHER IN POTASSIUM THAN ME?!”
👿🍌
Remember when Damien bullied a banana? I think about that really often 🤣
My submission for this month #monsterpromchallenge 💛
@btflglitch
12 notes · View notes
rainbowxmisa · 5 years
Text
Tumblr media
I like to see that something that never changes year after year, is that my first illustration of the year since a while ago it's always a portrait of the wonderful Marzia 💛✨
If you're interested to see more of my illustrations here's my art account on Instagram: https://instagram.com/misaabadeerart
6 notes · View notes
rainbowxmisa · 6 years
Photo
Tumblr media
Maaaaybe I'm having a crush for Damien more harder than I thought 🙄♥️😈
11 notes · View notes