Tumgik
#paling kelarnya berapa taun lagi BUT STILL!!!!
bluelokk · 3 years
Text
sebenernya mau nuntasin sebelom ngepos tapi eh fuck it *posts it anyway*
empat hari telah berlalu sejak mouri kogoro tergesa-gesa naik ke mobil seorang detektif, lima hari sejak anaknya dan edogawa conan tidak pulang ke rumah, dan azusa tidak lagi menghitung berapa hari sejak amuro tooru meninggalkan pekerjaannya—ketika sebuah mobil putih yang dikenalnya diparkir di depan kafe.
azusa setengah berlari mengitari meja untuk menuntut alasan yang lebih baik daripada 'ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan' ketika dilihatnya satu mobil lagi berhenti di seberang jalan, dan sosok seorang pria yang seingatnya bernama hida melangkah keluar. amuro dan rekannya saling melempar tatapan sebelum hida membukakan pintu untuknya.
ia berkata dengan suara kecil yang penuh rasa hormat, "furuya-san."
amuro membalas dengan suara yang lebih pelan lagi, dan kali ini azusa benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dikatakannya.
"tapi..."
amuro berjalan masuk, melayangkan tatapan sedetik pada azusa yang berdiri dengan mulutnya yang masih menganga, sampai kemudian berbelok ke arah meja di pojok kafe yang paling dekat dengan jendela. "lakukan saja," ucapnya, cukup lantang hingga azusa mendengarnya. ia tak duduk.
hida mengutarakan sebuah 'baik' sebelum perhatiannya teralihkan pada azusa yang masih menatap amuro dengan kernyitan di dahinya. "mari," katanya seraya menarik sebuah kursi untuk azusa.
azusa menurut. dilihatnya dua pria berpakaian formal memasuki kafe dan berdiri di belakang hida, dan ada dua lagi berdiri di luar setelah keluar dari mobil ketiga. tidak ada bagian kecil pun dari situasi ini yang bisa membuatnya duduk dengan nyaman.
"begini, enomoto-san," ujar pria itu tegas, "ada masalah penting yang sangat mendesak."
ucapannya nyaris sama seperti apa yang dituturkan amuro dua hari yang lalu, sampai-sampai azusa curiga ada skrip skenario untuk kejadian ini.
"kami akan menaruh anda dalam perlindungan sampai... masalah ini selesai," lanjutnya.
kedua tangan azusa bergerak cemas. ia menatap amuro yang kini berbicara dengan seseorang lewat teleponnya, setengah berharap ia dapat melihat senyumannya sebelum meyakinkan diri untuk menjawab kalimat-kalimat hida.
azusa tak mendapatkannya.
ragu-ragu ia bertanya, "ada apa ini sebenarnya, hida-san?"
pria jangkung itu membenarkan letak kacamatanya dan menjawab datar, "semakin sedikit yang anda ketahui, semakin baik."
kening azusa berkerut tak suka. rasa herannya berkembang menjadi keingintahuan—dan bukankah bekerja di bawah kantor seorang detektif ternama menjadikannya seseorang yang luar biasa ingin tahu? ia menarik napas dalam-dalam. dilihatnya sekali lagi amuro yang pandangannya jatuh pada jalanan di sekitar. ia masih berdiri tegak dan tak lagi berbicara di teleponnya. ia masih ada, tetapi azusa rasa pikirannya terpecah ke mana-mana.
rasa ingin tahunya bermetamorfosis menjadi kekhawatiran.
"baik, kalau begitu," jawab azusa. menyetujui seseorang untuk membawanya pergi tanpa penjelasan atas ke mana dan bagaimana dan siapa mereka, bisa dibilang, adalah keputusan paling gila yang pernah dibuatnya. tapi ia percaya pada amuro, pada hida, bahwa seseorang yang jahat tidak mungkin menyempatkan waktu untuk bertanding bisbol dengan klub setempat atau membuat kue dengan susah payah untuk menghibur seorang pelanggan setia. "apa yang harus saya lakukan?"
"kami akan mengantar anda kembali ke rumah untuk berkemas. setelah itu, beberapa personel kami akan membawa anda ke tempat tinggal sementara," ucap hida seraya berdiri dari kursinya. "mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, enomoto-san."
azusa turut berdiri dan melipat apronnya asal. "saya mengerti."
ia berjalan menuju pintu dengan hida berjalan di depannya dan dua pria dengan setelan rapi lainnya di belakangnya. mereka berhenti sejenak sebelum keluar seakan meminta izin pada amuro untuk melanjutkan tugas, dan boleh jadi memang itulah yang terjadi.
"fu—amuro-san," kata hida.
amuro memandang ketiga orangnya tajam, sebelum mengalihkan perhatiannya pada azusa yang berdiri kaku di tempat. mata mereka bertemu.
meski ia berdiri tegap dan mengenakan jas abu-abu serta dasi dengan rapi, azusa dapat melihat kelelahan dibalik determinasi di matanya. orang bisa berbohong sekena mereka kalau mereka mau, kata sang pemilik kafe yang sudah menganggap azusa anaknya sendiri itu pada suatu waktu, tapi kedua mata mereka jarang sekali menyokong kebohongan itu. saat ini azusa belajar dua hal: amuro adalah pembohong ulung, dan azusa mendapati dirinya ketakutan akan kebenaran yang tersembunyi di balik matanya.
"hati-hati," kata pria itu, tak jelas mengarahkannya pada hida dan yang lainnya ataukah pada azusa.
"katakan hal itu pada dirimu sendiri, amuro-san," sahut azusa ketika ketiga orang itu tak bergerak sedikit pun. sorot mata amuro berubah. azusa menaruh sebuah senyum kecil di wajahnya, "jangan mati."
ketika pintu sedan itu telah ditutup dan mesinnya dinyalakan kembali, azusa memilih untuk memaku pandanganya pada jalan raya di depan daripada menoleh kembali ke arah kafe dan rambut pirang amuro tooru. tangannya meremas lutut dengan gugup, sebab bagaimanapun kepercayaannya pada amuro menguap dalam hitungan detik, azusa tidak begitu ingin kebohongan yang merenggut kepercayaan itu darinya, juga akan merenggut nyawanya...
10 notes · View notes