Tumgik
dimspm · 3 years
Photo
Tumblr media
Irreplaceable.
2 notes · View notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
17 Mei 2018, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM.
0 notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Orang-orang yang kucintai dengan sepenuh babi. di Warung Tubruk, dalam rangka merayakan ulang tahun keduapuluhku, 28 Maret 2018.
2 notes · View notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Alam nashrah laka sadraq. 1 Mei 2018, di toko burung depan indekos Hajri.
0 notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Saat sedang menikmati masa libur pengujung tahun, Wildhan menyuruhku (baca: memaksa) untuk menyusulnya ke Sukoharjo, Solo. Sebenarnya udah dari dulu banget diajakin, tapi nggak pernah kesampaian. Aku yang sebenarnya masih ada proyek yang bisa saja kukerjakan di Jogja, memilih mengiyakan ajakannya itu. “Awak sedih, lho, kalo kau nggak jadi ke sini :(” (pesannya yang membuatku luluh). Ais. Luluh, Bah!
Dikarenakan pesan paksaan dari Wildhan, Hajri yang sedang minggu tenang sebelum ujian, dan keinginan menyusuri Solo, akhirnya pada Jumat siang, 29 Desember 2017, aku dan Hajri berangkat ke Solo menggunakan kereta api. Niatnya mau ngantre Pramex biar dapat tiket murah, tapi karena antrean yang mengular; maka kami putuskan untuk mengambil kelas eksekutif aja. Nggak apa, lah. Cuma beda 12.000. Senangnya karena ini menjadi perjalanan pertamaku menggunakan kereta api! Nyaman, sih. Pengen lagi.
Kayanya ada sekitaran 3 hari 3 malam kami di sana. Nah, pada malam tahun baru, kami dan keluarga Wildhan menyusuri Solo Kota dan memilih The Park sebagai tempat makan malam. Sayang seribu sayang, tak dinyana kalau restoran di sana udah pada mau tutup. Alhasil, kami melipir ke warung tenda yang aku lupa di jalan apa. Om Yohatam memang paling tau tempat makan yang enak, terjangkau, dan mengenyangkan! Oh, iya. Sebelum melipir, kami cekrek-cekrek hengpong jadul dulu di salah satu pohon Natal terbesar yang ada di mal tersebut. Tapi kayanya nggak terlalu kelihatan, ya, kalau itu pohon Natal hehe. 
Sebenarnya udah bertahun-tahun aku tidak lagi merayakan Tahun Baru Masehi. Bukan karena persoalan halal atau haramnya, tetapi bagiku memang tidak perlu dirayakan. Terlebih, di 2018 ini aku memasuki kepala dua; sepertiga dari tahun-tahun terberat yang harus kulewati (kata orang-orang, sih, gitu). Tapi nggak ada salahnya juga melihat kebahagiaan orang-orang yang menyambut 2018 dengan sukacita dan berkumpul di tengah-tengah kota Solo Baru malam itu, kan. Namun, aku sungguh mengutuk orang-orang yang mengakibatkan kemacetan dan mengotori jalanan. Sumpah, kotor banget. Kesadaran membuang sampah memang masih minim sekali, ya.
P.s.:
- Teruntuk yang mengagumi Hajri dan bilang kalo dia itu ganteng, silakan. Tapi bilangnya jangan melalui awak, ya.
- Teruntuk yang mau marah karena pernah disakiti dan di-PHP-in sama Wildhan, silakan. Tapi marahnya jangan ke awak, ya.
- Selamat menjalani 2018, Teman-Teman! Semoga dia sebaik tahun-tahun kemarin−atau bahkan lebih. 
di pengujung 2017,
The Park Solo Baru.
1 note · View note
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Kami dipertemukan di salah satu acara seni terbesar yang ada di Jogja (ART|JOG|10), di divisi yang sama pula. Ternyata intensitas pertemuan selama 32 hari membuat kami enggan berpisah walaupun kepanitiaannya udah kelar. Latar belakang kami ini berbeda-beda, loh. Ada anak Informatika, TV dan Film, Desain Interior, Filsafat, Pendidikan Bahasa Inggris, Akuntansi, Psikologi, dan Sastra Inggris − tapi kami beririsan dalam satu hal, yaitu penikmat seni rupa. Maka, selepas Artjog, kami sering mengunjungi studio maupun pameran seni rupa bersama-sama.
Akan kusebut nama mereka satu per satu dari yang paling kiri, ya (sesuai dengan pandangan kalian ke layar):
Pertama ada Kepin. Kepin ini kaptennya Gallery Sitter; apa-apa pasti laporannya ke dia. Awalnya aku ngerasa kalo dia that-kind-of-bossy, ternyata awak salah! Apa lagi pas mabuk AM malam penutupan, mukanya itu, lho. Wkwk. Dia paling sering gantiin posisiku kalau aku istirahat buka puasa dan Magriban.
Kedua itu Kak Galuh. Yang ini adiknya Kak Agni (seniman seni rupa) yang karyanya bagus-bagus! Kami sering menghabiskan tengah malam dengan percakapan-percakapan filsafati. Padahal kami berdua tidak ahli di bidang ini. Wkwk. Sampai sekarang dia masih setia datang ke pameran yang ada awaknya sambil bawain makanan hehe.
Ketiga adalah Kak Fala. Dia ini udah sering banget dapat proyek ngedesain. Sebagai anak yang suka desain, tapi nggak bisa ngedesain − jujur aku iri bet huhu. Kalau di lantai 1 kami biasanya jaga bareng di Farhan Siki atau nggak Angki. Wkwk.
Keempat ada...Puput! Yah, teman-teman Artjog sudah paham betul siapa Putra ini bagi saya. Loh? Putra ini teman “terdekatku” selama di Artjog. Dia ini anak teater yang juga jago gambar. Awak pernah digambarin, walau nggak mirip-mirip amat, sih. Setelah melalui berbagai drama, kami nggak pernah ketemu lagi hehe. 
Kelima itu Kak Desita. Dia ini teman sekasurnya Kak Fala−lengket amat sampe nggak bisa lepas haha. Dia paling suka ngeeksplor awul-awul yang ada di Jogja. Baginya, pakaian ucul cukup didapat dengan harga yang sehat bagi mahasiswa. Alhasil, gayanya jadi artsy magebs.
Keenam itu Pipod! Kawan awak yang satu ini mah udah “dipake” di mana-mana. Artjog iye, FKY iye, Bienalle iye, Ngayogjazz juge. Mantap bener, kan! Dia ini paling enak diajak ke mana-mana. Pembahasan nggak pernah habis karena (syukurnya) kami mengenal banyak orang yang kami sama-sama kenali. Ribet ya nulisnya, pokonya begitulah. Selain hobi bikin instastories sampe titik-titik (WKWK), dia juga sering nulis. Bagus pula tulisannya.
Ketujuh adalah Kak Oci. Teman paling enak diajak cerita se-Artjog dan Wirobrajan mah dia ini! Mungkin karena latar belakangnya psikologi, kali, ya. Jadi bawaannya lega kalau udah cerita sama dia. Ternyata kemampuannya untuk ngebikin orang lain lega nggak cukup ampuh bagi dirinya sendiri. Semangat, Kak Oci!
Dan yang kedelapan sekaligus terakhir adalah Andre. Dia ini cem-cemannya Kak Oci. Ya walau pada awalnya terjadi beberapa drama, akhirnya mereka masih bisa bertahan sampe sekarang. Awak iri kali sama si Andre kalau dia udah nulis puisi pake bahasa Inggris. Makjleb, bah, pas dibaca! Sederhana tapi ngena. 
Aku menikmati pertemuan kami yang cukup intens (selama sebulanan) dan pembicaraan-pembicaraan di dalamnya. Mereka pernah menjadi bantal dan guling yang membuatku tidak berpikir harus menjamahi kasurku ketika kantuk datang. Namun ternyata, sesuatu yang terlalu intens tidaklah baik. Mungkin karena seringkali berinteraksi, kami sampai “muak” dan nggak tau mau bahas apa lagi. Ditambah beberapa (sebut aja cuma awak hehe) yang memulai drama dan memperkeruh suasana. Sekarang aku nggak tahu lagi bagaimana kabar grup LINE yang pernah kami bikin. 
Terlepas dari itu, aku menyenangi kebersamaan kami. Dibanding yang lain, aku adalah yang termuda. Tapi, nggak pernah ada tingkat maupun sekat di antara. Aku belajar banyak dari bagaimana mereka berpikir, bagaimana mereka merespons atau menanggap, bagaimana mereka bergibah (masya Allah!), bagaimana mereka mencintai apa yang sedang mereka tekuni, serta bagaimana mereka tetap bersemangat dengan status mahasiswa tua (yang tentunya akan kudapat juga). 
Lantai Bumi,
29 Juni 2017.
3 notes · View notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Aih, sebenarnya udah lama kali Kopi Hitam nggak kongkow atau main ke mana gitu bareng-bareng. Yang masih intens main paling aku, Wildhan, Tutik (Cris), sama Sani. Kadang aku juga jarang gabung, sih, kalau lagi ada kegiatan. Namun itu bukan berarti relasi pertemanan di antara kami putus. Dalam beberapa hal − entah untuk belajar Filsafat Ilmu II, nugas take-home UAS, atau makan di Bonbin − masih sering kami lakukan. 
Bernasib baik, fakultas kami memberikan liburan gratis bagi mahasiswa-mahasiswa berprestasi. Oleh karena itu, kami mendapatkan tiket gratis PP Jogja−Lombok, akomodasi selama di sana, dan dibawa jalan-jalan ke berbagai tempat wisata. Asyik bener, bukan? Ternyata kami bukan mahasiswa berprestasi − satu angkatan diajak sama fakultas buat belajar kearifan lokal (edisi jalan-jalan) ini rupanya. Huf, sedih, ya. Kami semua berpikir: kapan lagi main bareng sama anak satu angkatan? Ke Lombok pula. Dan tentunya gratis!
Pada hari kedua kami di Lombok, kami berangkat menuju Pantai Senggigi (kalau nggak salah namanya) untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Ya, Gili Trawangan! Salah satu destinasi wisata terbaik yang dimiliki Pulau Lombok yang sedang menggalakkan “Wisata Halal” bagi para wisatawan yang melancong ke sini. Jalur air memang satu-satunya akses ke Gili Trawangan, maka (mau nggak mau) aku yang sangat takut dengan air juga laut, memberanikan diri untuk ikut. Daripada cuma diam doang di hotel, nyesek liat unggahan teman-teman pas lagi main ke sini. Sani pun bilang: “Santai aja, Pek Dims. Nggak bakal tebalek, kok, botnya” sembari menepuk halus pundakku, membuat aku optimis dapat mengarungi lautan ini.
Kata Abang-Abang yang punya speadbot, perjalanan ke Gili Trawangan menghabiskan waktu 30 menit jika dengan kecepatan normal. Tentunya aku berharap kami melaju dengan normal agar tidak menantang debur ombak yang cukup ganas saat itu. Pikirku, kalau nggak cepat-cepat kali, kita nggak bakal digoyang sama ombak. Awal perjalanan ombak terlihat polos nan manja, namun ketika mulai di tengah pejalanan...dugaanku salah besar! Ombak Gili Trawangan menunjukkan keperkasaannya. Aku berlindung di lengan Pak Budi (Dosen Filsafat Cina dan Nusantara) dan pundak Buk Lifty (petugas administrasi fakultas)  − padahal kami bertiga sama-sama takut laut. Kondisi kami bertiga berbeda dengan teman-temanku yang lain: mereka tampak riang dan berbahagia. Berjoget mengikuti riak gelombang sembari teriak “Wuhuuu! Lagi dong lagi” di setiap gelombang meninggi. Sumpah. Habis kata-kata awak buat kelen saat itu!
Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat,
22 Oktober 2017.
0 notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Sirkelku yang ini namanya Pengharum Ruangan (PH). Jangan tanya artinya apa, karena nama ini terlintas aja di batok kepalaku saat membuat group chat di Whatsapp. Bisa jadi saat itu aku sedang berada di ruangan yang wangi, sehingga aku berterima kasih kepada pengharum di ruangan tersebut − atau malah karena aku sedang berada di kubus kerumunan banyak orang yang bau badan, sehingga membutuhkan pengharum ruangan di setiap sudutnya. 
Sirkel ini terbentuk karena...kami ingin menunjukkan pruralisme di Indonesia. Engga ding, memang terbentuk dengan sendirinya. Ada Okta (yang pake switer kuning) yang menjadi teman dekatku di Filsub sejak semester satu; Cris (yang paling berisi [baca: gembrot] di antara kami) yaitu teman mikir jorok dari awal semester dan bersama-sama menghidupi Kopi Hitam; dan Kak Nanda (yang berkerudung sembari memantikkan jemarinya yang tidak lentik) itu teman sekaligus kakak yang selama setahunan belakangan jadi dekat banget denganku. Dia ini mantannya mantanku. Loh! Cemmana ne maksudnyo?
Biasanya yang berinteraksi rutin itu cuma aku, Okta, dan Kak Nanda. Tapi kalau lagi mau main baru ngajakin Cris. Jadi, si Cris ini kami butuhkan kalau jok belakang sepeda motor Okta lagi kosong aja. Selebihnya, nehi! Sebenarnya kami selalu berbahagia dengan kehadiran Cris karena dia satu-satunya yang bersedia dan lapang dada kalau dirisak (bukan risak yang jahat-jahat, loh). Dia juga paling jago dalam urusan hibur-menghibur soale. Memang lelaki penghibur.
Nah, pada Rabu di minggu terakhir ujian, selepas ujian Filsafat Ketuhanan (cuma aku, sih, yang ujian ini hehe; merekanya yang nunggu), kami merealisasikan rencana yang telah kami bahas seminggu sebelumnya. Pokoknya harus kongkow sebelum Okta balik ke Bali, Cris balik ke Jakarta (dan ke Taruntung), serta Kak Nanda yang semingguan lebih bakal ke Bogor. 
Titik kumpul kami di selasar fakultasku (iya, dong. Filsafat juga punya selasar), namun sialnya (atau untungnya?) sore itu cuaca cukup buruk; hujan turun deras tiada henti. Jadinya, Kak Nanda terlambat datang dan Cris juga ogah-ogahan menunggu. Tidak hanya itu, Okta juga mulai nggak enak badan. Alhasil kami bimbang: jadi nggak, nih? Tetap harus jadi! Karena aku dan Kak Nanda udah berencana ngasih kue ulang tahun buat Okta (yang ulang tahunnya udah dari kapan tahu). Akhirnya, bermodal GO-PAY yang masih aku miliki, kami berangkat ke kafe terdekat, yaitu Kedai Zapiekanka.
Kedai ini cukup asyik memang untuk dijadiin tempat kongkow. Menunya variatif dan enak (walau agak mahal, sih), juga tersedia berbagai mainan. Pas lagi nunggu makanan, kami langsung aja ngasih kue buat Okta. Dianya (berpura-pura) terharu sampai tidak bisa berkata apa-apa. Kayanya memang udah nggak sabar mau makan kuenya, makanya nggak banyak ngomong si kawan itu. Hal yang paling menyedihkan adalah: Cris yang nggak urunan buat beli kue, tapi dia tersemangat makan kuenya. Cukup tau aja, ya, Cris!
Setelah bosan bermain (padahal nggak enak lama-lama karena nggak pesan apa-apa lagi), kami melipir ke Movie Box (samping banget dari kedai ini). Kebetulan, Kak Nanda lagi punya kupon gratis nonton dua jam di sana. Maka, kami memilih film yang durasinya tidak lebih dari seratus dua puluh menit (lewat semenit aja langsung dihitung tiga jam soalnya, Wak) dan memutuskan menonton film yang cukup mind blowing berjudul “Happy Death Day” (2017). Seriusan, sampe sekarang ada bagian yang belum kami mengerti. Huft.
Pukul sebelas lebih kami balik ke kampus untuk mengambil sepeda motor Kak Nanda. Apa yang terjadi selanjutnya, cukup kami saja yang tahu. Oh tidak, bulir-bulir air dari langit dan jalanan yang basah pun juga. 
P.S.: Selamat ulang tahun yang ke-21, Oktaria Asmarani! Jangan sering-sering merasa ada yang salah dalam kepalamu, karena ko udah ngelakuin banyak hal-hal keren yang sebenarnya udah ko sadari. Kecup!
Kedai Zapiekanka,
20 Desember 2017. 
5 notes · View notes
dimspm · 6 years
Photo
Tumblr media
Setelah memiliki relasi selama hampir enam tahun, jumlah foto kami berdua bisa dihitung menggunakan jari. Padahal dari dulu sering kali berinteraksi; dari kepanitiaan sekolah sampai dengan kongkow ke berbagai kafe di Banda Aceh menggunakan Avanza BL 877 JU. Namun, pada pertengahan 2014, interaksi kami semakin sedikit karena ia memilih untuk berkuliah di (mantan) kampus idolaku. 
Namanya Fania Putri Alifa, yang biasa kupanggil Fan. Orang-orang terdekat biasanya memanggil Fan dengan sebutan “Nin”. Bukan Nen, loh, ya. Awalnya aku juga manggilnya Kak Ninin, namun setelah proses adik-kakak yang dirasa terlalu rigid, maka kuhilangkan “Kak”-nya. Lalu karena dia memanggilku dengan sebutan yang tidak lazim kudengar (baca: Mas), maka kuubah juga dari Ninin menjadi Fan. Kalau menurut awak ini nggak penting-penting kali untuk ditulis kan, Fan? Wkwk.
Fania ini udah kuanggap seperti kakak kandungku sendiri. Terserah, sih, dia mau anggap aku adiknya atau nggak − aku berusaha untuk tidak peduli hehe. Seingatku, pertama kali kami berinteraksi di Twitter. Saat itu aku kelas sepuluh dan sering membuka profil akun Twitter abang dan kakak kelas. Dengan itikad untuk memperluas jaringan di Labschool, maka kuikuti akunnya Fania di @faniakentanggg (yang sekarang udah nggak aktif lagi). Sedikit informasi, dia berambisi menjadi figur publik dan berusaha mencitrakan dirinya dengan nama yang kupingable, maka lahirlah faniakentanggg dengan 3 huruf “G” di akhirnya.
Selama di Labschool, 
(Duh mager nulis. Nanti lagi disambung, ya. Wkwk).
0 notes
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Ketika masih di Aceh dulu, sekitaran 2015-an, aku mulai sering mencari informasi terkait festival-festival yang ada di Pulau Jawa. Tidak bisa dipungkiri, berbagai festival seperti pertunjukan, film, musik, dan seni lainnya berkempang pesat di pulau ini; berbeda dengan pulauku, atau mungkin daerahku saja. Dengan harapan dapat berkuliah di Pulau Jawa (harapannya di UI, tapi nggak dapat. Hihi), aku ingin mendatangi festival-festival tersebut. Salah satunya festival-festival yang ada di Yogyakarta. Bagai kembang yang baru mekar (awak nggak tahu peribahasa apa yang pas), diterimanya aku di salah satu universitas terbaik di Yogyakarta, tentunya tidak boleh ku sia-siakan. Kesempatan untuk menempah diri selama empat tahun di kota ini harus kugunakan sebaik mungkin. Mulai dari akhir tahun pertama, aku giat mendaftarkan diri menjadi relawan atau staf di beberapa acara. Salah satunya: ART|JOG|10! Dengan berbekal kepercayaan diri yang setengah-setengah, aku mendaftarkan diri di hari terakhir rekrutmen terbukanya. Tak lama setelah itu, aku mendapatkan konfirmasi panggilan untuk wawancara. (BTW mau pergi dulu ada janjian. Nanti aku lanjut tulis, ya. Wkwk). Sebagai individu yang sangat ingin berkecimpung di dunia seni, ART|JOG|10 memperkenalkanku dengan banyak seniman dan calon seniman hebat pula.
1 note · View note
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Kalau ada yang nanya, “Siapa yang tahu luar-dalamnya ko?”, aku bakal langsung menjawab: Qamara! Dengan segala persamaan dan perbedaan yang ada, kami menjalin hubungan (hubungan, Njir) selama empat tahun dan kuharap sampai berpuluh-puluh tahun ke depan.
Pertemuan pertamaku dengannya... kapan, ya. Aku lupa. Tetapi aku ingat: Qamara ahli TIK. Setiap praktik informatika pasti dia dapat nilai sempurna. Nah, suatu hari aku mengikuti praktik susulan di ruang guru pada Sabtu siang. Karena aku nggak ahli dan ngelihat ada Qamara di ruang itu, langsung saja kusodorkan laptopku ke dia.
“Halo, Qamara. Boleh minta tolong, nggak? Bantuin kerja latihan TIK”, sambil memelas. Dia hanya mengangguk dan segera mengerjakan. Hehe terima kasih, ya, Wak! Ko terbaek la memang. Semenjak itu, setiap berjumpa di sekolah kami sering bertegur sapa. Dia juga yang pertama mengikuti akun Twitterku, sambil mention “Folback, Dims :v”.
Menginjak kelas sebelas, kami bertemu lagi di kelas yang sama, yaitu kelas sosial. Aku termasuk salah satu orang yang selalu menyarankannya untuk memilih kelas sosial. Dia awalnya labil, sih. Sains bisa, sosial juga bisa. Tetapi pengen kerja di bidang Ekonomi (Dan baru ko sadari kalau ko nggak mau terjun lebih dalam di Ekonomi kan, Wak!)
Lalu kami dipersatukan saat menjadi penanggung jawab lomba mading untuk memperingati NasionaLABSme (perayaan hari kemerdekaan RI di sekolahku). Selama persiapan pembuatan mading, hampir setiap pagi dan malam aku bareng dia. Beli alat dan bahan, mikirin konsep, sampai yang nalangin berbagai kebutuhan dananya (sampai sekarang belum lunas, loh). Dari situ dia mulai banyak cerita sama aku. Udah mulai pakai “awak-ko awak-ko” (walau sekarang kalau nge-chat pakai “aku” [DIH!]), mulai lebih terbuka tentang diri dan keluarga. Begitu juga aku. Semacam menemukan orang yang bisa mengerti, menemani, mendengar, dan membantuku. Kalau disuruh ceritain hal-hal yang tidak terlupakan dengan dia, nggak cukup untuk dijelaskan dengan hitungan jari.
Beberapa hal yang tidak bisa kulupakan: teman yang mau jemput-antar kalau berpergian (bahkan pernah ngantarin pukul 1 malam dari Lingke ‒ Kajhu); teman yang selalu mau bayarin makanan kalau aku lagi nggak punya uang (begitu sebaliknya); teman yang selalu bilang “Otw, siap-siap ros, jalan kita”, ketika aku lagi butuh pendengar bagi masalah-masalahku; teman yang berusaha memperbaiki hubunganku dengan Hajri, Mufti, dan Ghalieb; teman yang selalu nyemangatin dan “nampar” ketika aku merasa lemah tidak mampu menghadapi kenyataan (DIH!); teman yang benar-benar teman. Eh, aku ralat, ya. Qamara lebih dari sekadar teman. Teman hidup, mungkin.
Kini ia menghidupi hidupnya sebagai Selebgram. Walaupun kini pertambahan pengikutnya di Instagram tidak secepat dulu, ia masih konsisten untuk mengunggah dan mempertahankan kualitas foto-fotonya (tidak seperti selebgram lain yang fotonya, hm, biasa-biasa saja, tetapi pengikutinya melejit dalam hitungan hari). Dari situ, ia mulai bisa membeli barang dengan uangnya sendiri; mulai bisa berlibur dengan uangnya sendiri; dan mulai membantu perekonomianku (kalau lagi seret, kan, hehe) dengan uangnya sendiri. Aku bangga, di usia yang belum genap dua puluh (kemarin-kemarin), ia sudah bisa seperti itu.
Setahun delapan bulan sudah kami dipisahkan oleh jarak. Tetapi itu tidak “membekukan” hubunganku dengannya. Kami masih sering berkomunikasi melalui LINE, mengomentari setiap foto yang kami unggah, bahkan bercerita tentang kehidupan kami sekarang ini melalui telepon. Benar memang, kebersamaan tidak hanya ketika kita sedang berada di tempat yang sama, tetapi ketika kita “merasa” bersama. Walau aku dan dia telah memiliki banyak teman baru di lingkungan kami masing-masing, kami masih tahu ke mana harus berpulang untuk menumpahkan segala keluh dan kesah. Anjir, romantis kali, kan, Wak.
Semoga kita dapat merealisasikan harapan-harapan kita yang tertunda, ya, Wak. Semoga kedekatan (awak nggak suka pake kata persahabatan, terlalu mlew) kita semakin merekat dan mengakar. Saling memupuk bukan memupus; saling mengerti bukan membatasi. Selamanya.
Suatu siang di Candi Prambanan,
saat “kunjungan” sebulan Qamara ke Jogja.
3 notes · View notes
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Pertemuanku dengan dua perempuan di samping kiri dan kananku ini adalah di saat keikutsertaanku menjadi relawan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 11. Aku dan Nisa (berkerudung) sama-sama di divisi Front Desk & Ticketing, sedangkan Aldilla (selanjutnya akan kutulis Ay) masuk ke dalam divisi Screening.
Usut punya usut, kami berkuliah di universitas yang sama, namun di fakultas yang berbeda. Keduanya anak Ilmu Komunikasi 2014. Tetapi tidak ada ‘Adik Dims’, ‘Kak Nisa’, dan ‘Kak Ay’ di antara kami. Panggilan “saru” atau “aak”-lah yang biasanya kami gunakan sehari-hari.
Omong-omong, coba, deh, perhatikan wajahnya Ay. Berdasarkan survei yang dilakukan di FISIPOL UGM, 89% mahasiswa menganggap bahwa Ay mirip dengan Gritte Agatha (aktris yang berperan sebagai Mae di “Get Married The Series”). Mungkin agak kurang mirip ketika kita melihat tampak samping seperti foto di atas, tetapi kalau tampak depan. Beh. Aslilah.
Ay mengecil dan membesar di Bekasi, salah satu kota besar di Indonesia yang dikabarkan jaraknya jauh melebihi Mars. Masih sekadar kabar loh, ya. Dia paling sering menggunakan masker mulut saat berpergian. Bukan berniat untuk menghindari debu dan kuman-kuman yang menempel, tetapi untuk menahan gairahnya agar tidak menyumpahi dan memaki pengendara kendaraan bermotor yang terkadang membuatnya kesal. Seperti tadi, misalnya. Ada yang menyalakan lampu sen persis sedetik sebelum belok, ada yang memotong jalan dari sebelah kiri, juga geber-geber sepeda motor ala anak gaul 80-an.
Perempuan satunya lagi adalah Nisa. Waknis (panggilanku untuknya) ini tidak usah diragukan lagi ketenaran dan keahliannya dalam membuat laki-laki di sekitarnya jatuh hati. Termasuk aku. Loh. Ketertarikannya terhadap dunia perfilman dimulai ketika ia menjabat sebagai Ketua Kine Club Komunikasi UGM. Dari situ ia mulai memahami cara-cara praproduksi, produksi, dan pascaproduksi film. Di samping itu, ia memiliki jaringan yang lumayan banyak dengan komunitas-komunitas film yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suatu saat kalau mau bikin film layar lebar, ajak awak, ya, Nis!
Waknis ini paling cepat adaptasi bahasa. Kalau lagi sama aku, ngomongnya awak-ko awak-ko. Kalau lagi bareng temannya yang anak Jekardah, ngomongnya gua-lo gua-lo. Kalau lagi bareng temannya yang anak Jawa, ngomongnya bisa medok banget. Kalau ngomong sama orang Eropa, ngomongnya bisa seperti mereka juga. Jadi iri dengan kemampuan berbahasanya. Haish.
Oh iya. Aku berharap Waknis sering-sering pulang ke Salatiga. Karena kalau balik ke Jogja, biasanya ibunya nitipin makaroni persegi ukuran 25 cm x 25 cm yang rasanya Mak Nyus!
Sekarang keduanya tengah sibuk mengurusi persiapan KKN. Yang satu ke Talaud, yang satu ke (lupa awak). Keduanya pun sama-sama mengurusi bagian media dan dokumentasi tim. Semoga bisa bikin video yang bagus, ya! Nggak dipungkiri keharusan mengabdi ini menjadi kesempatan berliburan, kan. Hehe.
Nah, hari ini kami baru saja memulai proyek pertama kami, sebut saja Malas Gerak Project! Malas Gerak Project (MGP) akan berisikan film-film pendek dan dokumenter perjalanan kami dalam mengeksplorasi Jogja. Doakan, ya, semoga proyek ini bukan sekadar wacana atau ‘panas-panas tahi ayam’. Haish. Ya, kalaupun tidak berhasil menghasilkan karya yang patut disebarluaskan, setidaknya bisa menjadi bukti kebersamaan kami bertiga. Ya, nggak, Wak?
Omong-omong lagi, terima kasih kepada Mas-Mas (yang tidak diketahui namanya) tadi sore yang telah bersedia mengabadikan momen ini (foto di atas), walaupun hasil foto tidak mendekati harapan. Hehe.
16 April 2017,
Pantai Parangtritis, Yogyakarta.
3 notes · View notes
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Dari kecil, aku telah berkeinginan untuk memiliki rambut hitam yang panjang, setidaknya sejajar dengan pinggang. Namun, institusi pendidikan tempatku menuntut ilmu selama dua belas tahun tidak menghendaki siswa laki-lakinya berambut panjang. Maka, pupuslah harapan itu.
1 Maret 2017,
di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
3 notes · View notes
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Demi apa, butuh keberanian untuk memublikasikan foto ini. Kenapa? Ya, tepat sekali: karena wajahku masih terlalu polos dan senyum di wajah Khairil yang menggelikan.
Selama di SMA, bisa dibilang kalau Keril (panggilanku untuknya) adalah teman yang paling pintar semiotika. Dia sering mengantarku pulang ke kontrakan kalau aku lagi nggak bawa kendaraan (memang jarang bawa kendaraan, karena harus rebutan sama abang). Sehabis kelas, biasanya aku ke depan sekolah untuk membeli es pop NutriSari yang ditaburi choco chip dan bakso bakar/ goreng. Terus masuk lagi ke dalam sekolah, duduk di depan RB 2 (tempat paling nyaman untuk duduk-duduk; markasnya leting enam) sambil bikin tugas atau ngobrol-ngobrol (bukan gibah) sembari memerhatikan seantero Labschool. Sedangkan Keril biasanya selesai salat Asar langsung menuju lapangan futsal. Kadang-kadang memang suka nunjukin keterampilannya dalam memainkan bola, padahal nggak ada adik kelas yang merhatiin. Kasihan ko, Wak!
Nah, sekitaran pukul 18.30 biasanya dia rebahan di koridor RB 2. Cukup manggil namanya dan nunjukkin muka kesusahan, dia pasti langsung ngerespons “Oke, bentar lagi e.” Dia memang pembaca tanda yang baik.
Selain mengantar pulang, dia sering juga menjemput. “Lingke - Kajhu jaoh, Kimak! Besok-besok naek labi-labi aja, Ko.” Sebagai bentuk apresiasi, aku nggak marah. Lagipula setelah ngomong kaya gitu, pasti dia ketawa. Padahal Lingke - Kajhu nggak sampe lima menit pun.
Sering juga kalau malam-malam di kontrakan, aku nge-chat “Wak, pangsit yang di Blower tu apa namanya?”. Dia langsung membalas, “Otw”. Lagi-lagi memang pembaca tanda yang baik.
Terus, kalau lagi bulan puasa, kami sering salat tarawih bareng. Biasanya dia yang ngejemput aku. Kadang kalau lagi malas, kami selalu membelokkan arah sepeda motor menjauhi mesjid (Ya Allah Keril kok nakal kali). Seringnya, sih, aku yang ngehasut untuk nggak tarawih. Kadang dia nggak mau, kadang dia juga yang tergoda. Labil, kan?
Keril ini paling suka sama segala sesuatu yang gratis. Kalau dikabarin ada makanan gratis atau semacamnya, secepat kilat dia kemudikan sepeda motor Bladenya (satu-satunya yang kaya gitu di Labschool).
Dari itu semua, Keril ini memang setia. Sebenarnya nggak cuma sama teman, ke pacarnya juga. Tapi kesetiaannya disia-siakan adik itu, wkwk.
Secepatnya kita makan Pangsit Flamboyan lagi, duduk-duduk ganteng di Krueng Aceh lagi, dan mutar-mutarin Banda Aceh sampai ke pelosok-pelosok yang nggak ada penerangan lagi, ya, Wak!
Bukit Ie Rah,
suatu hari di 2014.
1 note · View note
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Pada bulan Ramadan 2014, aku dan beberapa teman di Labschool (masing-masing duduk di kelas yang berbeda) sering menghabiskan waktu tarawih kami di salah satu sungai cantik yang menenangkan (baca: subjektif) bernama Krueng Aceh (Aceh River). Krueng Aceh ini terletak di Peunayong, sekitaran Kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Titik poin yang sering kami datangi adalah yang di seberang Bank Indonesia cabang Banda Aceh. Sebenarnya aku juga tidak bisa memastikan nama resmi dari sungai ini, tapi kami menyebutnya itu. 
Saat itu BBM masih cukup mengasyikkan untuk digunakan, maka kami membentuk sebuah grup BBM bernama KAG (Krueng Aceh Group). Dipastikan dengan jelas nama tersebut diambil dari tempat kami “beribadah” di bulan puasa. Awalnya, keanggotaan dari grup ini hanya sekitar tujuh orang. Aku, Irfan, Khairil, Gamal, Arip, Cunyuk, dan Cucok. Berbagai isu terkait sekolah, adik-adik leting yang menarik dan bisa diolah, rencana liburan naik gunung atau menyelam lautan, sampai isu remeh-temeh tentang soal ulangan yang seringnya duluan bocor adalah yang sering kami bahas.
Sebelum sering ngumpul di Krueng Aceh, kami juga sering ngumpul bareng di sekolah, sih. Teman-temanku di atas ini rutin ibadah futsal setiap hari saat istirahat dan ishoma di sekolah. Sedangkan aku memilih untuk mengamati mereka dari pinggiran lapangan sembari berdoa tidak ada adu jotos yang terjadi. Ya, pahamlah: akumulasi suhu 30 derajat, keringat, hentakan jantung yang lebih cepat dari biasanya, dan adu kaki akan menghasilkan emosi yang seringnya tidak dapat dijinakkan. Paling dorong-dorongan sekali-dua kali, ntar juga baikan. Hahaha.
Pulang sekolah selesai bermain futsal, biasanya kami markirin sepeda motor di dekat gerbang sekolah. Sembari cari angin, ngelihatin labi-labi yang mondar-mandir, kadang juga ngajak ngobrol adik-adik leting yang belum dijemput, dan beberapa dari kami sering menawarkan antar-pulang-gratis ke beberapa adik leting. Sedih, ya. Jok belakang selalu kosong tak ada penghuni.
Nah, foto ini diambil saat kami mendaki bukit (aku lupa namanya, padahal pernah hits tempatnya). Nggak semua KAG ada di foto. Beberapa ada yang nggak bisa ikut, ada yang sembunyi di belakang (kayak si Sange; takut kelihatan gemuk), ada juga yang entah di mana.
Senangnya sama mereka ini: jarang wacana. Biasanya kalau rencana pengen pergi ke sini, ke sana, ke situ, minggu depan, bulan depan, atau bahkan sekarang: pasti langsung gas!
Duh, udah setahun setengah nggak main ke Krueng Aceh lagi. Semoga Ramadan tahun ini bisa main ke sana dan “tarawih” berjamaah lagi dengan mereka.
Bukit Lupa Namanya,
lupa tanggal dan tahun berapa di 2014.
1 note · View note
dimspm · 7 years
Photo
Tumblr media
Sebenarnya nggak mau foto bareng Si Kawan Tengah yang di atas. Tapi dia bersikukuh memaksa. “Kapan lagi ko foto sama atlet sepakbola, Njeng?”, katanya dengan nada memelas sedikit menggelikan.
Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan dan senyum yang dibuat-buat (coba perhatiin foto, senyum awak nggak ikhlas, kan?). Foto ini diambil saat istirahat setelah wisuda perpisahan sekolahku. Beberapa dari kami masih betah menggunakan toga sewaan ini. Ya, mungkin kebanyakan dari kami berpikir: kapan lagi bisa pake toga? Empat tahun lagi? Kalau iya cepat tamat kuliah...
Orang yang di tengah (lihat kembali foto) itu namanya Khairil. Sering dipanggil Keril, Itam, Tidak Tampak, Wor, dan sebutan-sebutan kasat mata lainnya. Oh, terakhir kali aku memanggilnya Darsum! Wkwk. Kenapa dipanggil Darsum? Nggak perlu dijelaskan lah ya. 
Sedangkan yang di sebelah kanan itu namanya Fathan. Sering dipanggil Fathan juga, tetapi kami sering menggunakan “Beb” untuk panggilan. Dih. Kalau dia ini anaknya pendiam dan terkesan agak introvert. Padahal kalau udah kenal, banyak hal yang bisa dibicarakan. Apalagi perihal cerita dan film dewasa, ribuan situs sudah dihapalnya di dalam kepala. Seingatku, dia jago di beberapa mata pelajaran saintek. Kalau di buku tahunan (butah) angkatanku, dia masuk nominasi TER-Ganteng. Manjiw.
AAC Dayan Dawood Lantai 1,
22 Mei 2015.
0 notes