Tumgik
giansa-blog · 12 years
Text
Warna Kelabu(i)
Pagi itu Saya merasa sedikit limbung saat mendengar kabar bahwa ada seorang kawan Saya yang meninggal. Kejadian itu sudah cukup lama sewaktu Saya masih duduk dibangku kelas menegah atas (SMA), tidak bermaksud membuka luka lama tapi hanya ingin berkisah mengenai pendidikan dan kondisi masyarakat di Indonesia saat ini.
Seorang guru bercerita kepada Saya bahwa sehari sebelum Dia meninggal sempat mendatangi guru perempuan tersebut. "Bu, Saya mau bayar tunggakkan LKS", ucap Ibu guru menirukan kawan Saya. Kemudian dimintalah kawan Saya untuk mengikuti guru Saya ke koperasi sekolah, duduklah mereka disana.
"Bu, berapa lagi tunggakkan LKS yang harus Saya lunasi?". tirunya kembali.
"Sebentar...", mengulang ucapannya waktu itu.
Sambil melihat catatan tunggakkan LKS siswa, guru Saya berkata "Sisa tunggakkan kamu tinggal dua puluh lima ribu lagi".
Guru Saya kemudian bercerita, dari dalam tas Dia mengambil kantong plastik hitam yang ternyata isinya adalah uang receh pacahan seratus rupiah.
Dihitungnya uang receh pecahan seratus rupiah dengan teliti. " ini Bu, maaf bayarnya pake receh. Saya baru pecahin celengan semalam." (kata guru Saya).
"Ibu terima nih uangnya (sambil digenggam). Tapi, uang ini mau Ibu kembalikan. Ibu mau nyumbang, itung-itung zakat. Dan, tunggakkan LKS kamu lunas." jelasnya.
"Terima kasih, Bu. Bu, besok Saya boleh mampir ke rumah Ibu? Saya ingin menceritakan kondisi keluarga Saya." (paparnya).
"Boleh, asal tidak lewat dari jam 8 malam karena Ibu biasanya sudah tidur".
Namun, esok pagi, sekolah Saya mendapat kabar yang cukup menggemparkan. Kawan Saya meninggal dengan cara bunuh diri (gantung diri).
                                                 ***
Jika ditelisik kehidupan kawan Saya, Dia adalah seorang yang pintar, rajin, tak mudah menyerah, bahkan Saya tak pernah mendengarnya mengeluh. Seorang perempuan yang kuat dan tangguh, itulah kesan saya jika harus menggambarkannya. Tapi, siapa sangka dari pribadi yang ditunjukan kepada kawan-kawannya dibelakang itu Dia menanggung beban yang berat.
Beasiswa yang didapatnya di sekolah rupanya tidak cukup untuk menutupi biaya pendidikannya. Tak segan kawan Saya berdagang donat di sekolah. Tapi, mungkin kondisi ekonomi kaluarganya saat itu dalam keadaan yang sangat memprihatinkan atau entah bagai mana, Saya mendapat kabar bahwa kawan Saya diminta untuk menikah agar beban keluarga berkurang dan tidak lagi melanjutkan pendidikan.
Sebagai perempuan dalam kondisi saat ini sangat terasa lemahnya. Perempuan adalah masyarakat kelas dua, bukan Saya membenarkan istilah itu, tapi kondisi itu dirasakan oleh kawan Saya. Kawan Saya tak bisa (dan tak mungkin) menolak keinginan orang tuanya, yang tentunya bertentangan dengan harapannya untuk tetap melanjutkan pendidikan (yang semakin mahal).
Beban hidup semakin tinggi, biaya pendidikan semakin mahal, ditambah lagi bebannya sebagai perempuan yang tak bisa berkata "tidak". Beban ini yang harus kawan Saya tanggung, sebagai seorang anak perempuan yang masih duduk dibangku kelas tiga sekolah menengah atas (SMA). Kondisi ini mungkin terlalu berat baginya, dan tak ada lagi jalan keluar (mungkin itu yang dirasakan kawan Saya). Dan, pada pagi hari, kawan Saya ditemukan dalam kondisi tergantung dengan tali yang mengikat dilehernya.
Kawan Saya adalah seorang yang dilahirkan dari keluarga buruh tani (tak berlahan), kakak tertua dari beberapa orang adik.
                                                 ***
Dari kasus tersebut apa saja yang dapat dipelajari? Dan, masih menjadi pembahasan yang "sexy" saat ini.
Kondisi budaya patriarki, di era yang katanya serba moderen saat ini tak menjadikan kondisi perempuan berubah, perempuan tetap menjadi golongan masyarakat kelas dua; tak perlu berpendidikan tinggi, sebagai buruh dianggap bukan tulang punggung keluarga sehingga diupah rendah, dilingkungan keluarga dan masyarakat tak dapat bebas mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya.
Di pertanian, Indonesia dikenal sebagai negara yang besar, lahan pertanian yang luas, tanah subur. Tapi, kondisi ini berbanding terbalik dengan realita masyarakat Indonesia; miskin, tak punya tanah. Bekerja dari pagi hingga sore menggarap tanah, tapi tanah siapa? Menyemai padi di sawah, tapi sawah siapa? "Mereka hanya dijadikan kuli di rumah sendiri", begitu sebagian kutipan yang Saya ambil dari kawan Saya (M. Jazuly_GIANSA).
Kemudian, disektor pendidikan, program wajib belajar sembilan tahun masih sekedar wacana pemerintah, terbukti dengan tanggungan biaya pendidikan semakin mahal, dan dibebankan kepada siswa; seragam, buku acuan, LKS, ada lagi biaya ekstrakulikuler yang wajib diikuti siswa, dan lain sebagainya. Dengan demikian, sebagian besar masyarakat yang memiliki harapan agar anak mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi hanya menjadi mimpi dengan kondisi saat ini dan lahirnya UUPT. Pemerintah telah berhasil melahirkan kasta baru. Kasta Pendidikan.
2 notes · View notes