Tumgik
helgachan · 7 years
Text
orang-orang yang bertumbuh
ciri-ciri orang yang bertumbuh: 1. bangun pagi, sebab dia memiliki cita-cita untuk dicapai setiap hari. 2. fokus pada tujuan hidupnya, bukan pada jalannya, melainkan pada bagaimana cara menjalaninya. 3. tidak iri dengan pertumbuhan hidup orang lain. alih-alih, ikut senang dan bahagia apabila ada orang lain yang meraih keberhasilan (dan justru terinspirasi untuk menjadi versi diri yang lebih baik). 4. banyak bersedekah, sebab semakin menyadari bahwa apa yang dimiliki (harta, waktu, energi) bukan milik sendiri. 5. semakin bertambah keimanan, ketakwaan, dan semakin bersyukur.
2K notes · View notes
helgachan · 7 years
Quote
Ya, kalau saja kita tumbuh diatas pondasi yang sama, denganmu saja sebenarnya sudah cukup, tidak perlu meminta yang lain lagi.
0 notes
helgachan · 7 years
Text
karena aku sangat mudah untukmu
karena aku sangat mudah untukmu.
kamu tidak perlu lelah-lelah berjuang, sebab aku tidak mungkin sampai hati membiarkan orang yang ingin memperjuangkanku berjuang sendirian.
kamu tidak perlu repot-repot membuat dirimu diterima, sebab aku selalu bersedia mengambil tanggung jawab untuk lebih dari menerima–yaitu memaafkan, melupakan, bahkan melepaskan.
kamu tidak perlu pusing-pusing memikirkanku, sebab aku sungguh selesai dengan diriku sendiri. sebab masa depanku adalah rangkaian rencana yang bisa diganti. sebab ambisiku selalu (hanya) sekeras tangan yang menggenggam pasir, secukupnya mencukupkanku.
kamu tidak perlu khawatir tentang apapun, sebab aku bisa mengikutimu ke mana pun. aku bisa diajak berjalan, berlari, merangkak. aku bisa bertahan pada segala musim dan cuaca, bisa berteman dengan segala rasa dan nuansa.
karena aku sangat mudah untukmu, semoga kamu merasakannya: bahwa yang mudah didapatkan, belum tentu tak berharga.
semoga aku sangat berarti untukmu.
5K notes · View notes
helgachan · 8 years
Text
sukarela
waktu kita masih SMP, menjadi anak OSIS itu hits sekali. saat pendaftaran menjadi anggota OSIS dibuka, yang ikut sangat banyak. pesan-pesan guru dan kakak kelas yang teringat pertama kali adalah–bahwa melakukan sesuatu dengan sukarela itu keren. menjadi panitia bakti sosial, menjadi panitia pensi, menjadi kakak MOS (yang super galak), atau sekadar menjadi pengelola mading.
semakin besar, semakin sering kita diperkenalkan dengan istilah menjadi sukarelawan–melakukan kegiatan secara sukarela. waktu kuliah, kita berbondong-bondong ikut organisasi dan kepanitiaan. sebagian ada yang benar-benar niat membantu. sebagian lagi, berburu tambahan daftar CV.
kata penelitian, orang yang dengan rutin melakukan kegiatan sukarela selama beberapa jam setiap minggunya cenderung lebih bahagia daripada yang tidak. saya rasa, karena ini jugalah, mengikuti kegiatan sukarela menjadi semacam gaya hidup anak muda sekarang–yang menurut saya sih bagus banget!
suatu hari, saya pernah merasa terpanggil untuk ikut kegiatan sukarela yang lumayan ekstrem: mengajar satu tahun di pedalaman–untuk seumur hidup menginspirasi. namun, Ibu saya menolak ide ini sebab menurut Ibu, orang lain bisa menggantikan peran yang ingin saya jalani di entah berantah itu, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan peran saya sebagai saya di rumah dan di perusahaan dan yayasan keluarga kami. tentu saja saat itu saya kesal. padahal, saya yakin bisa belajar banyak sekali dari pengalaman tersebut. terlebih, adalah karena saya bukan anak tunggal. ah, bisa saja kan peran saya diganti Mas Uta, Dek Ute, atau Dek Uto?
sore ini Ibu menelepon. Ibu bercerita sedang di jalan, disetiri Dek Ute. Ibu bercerita bagaimana adik saya kini melakukan semua hal di rumah yang dulu biasa kami lakukan berdua. mengantar Ibu ke mana-mana, membantu apapun yang Ayah dan Ibu perlukan, termasuk, merawat Eyang yang sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur. setiap hari Dek Ute membuatkan bubur untuk Eyang, menyuapi, memandikan, menggantikan popok, merawat luka ulkus dekubitusnya, membersihkan kamarnya, membukakan dan menutupkan jendela, juga menggunting kuku Eyang seminggu sekali.
Dek Ute ini, hampir seratus delapan puluh derajat berseberangan dengan saya. kalau saya ekstrover luar biasa, dia introver luar biasa. kalau saya senangnya main-main di luar, ikut organisasi dan lain sebagainya, Dek Ute senangnya di rumah, memberi makan kucing-kucing liar yang lewat, atau menyikat kamar mandi dan beberes kamar.
sekali lagi Ibu mengingatkan saya tentang kesukarelaan, Dek Ute yang menjadi teladannya. sering kita berpikir bahwa kesukarelaan adalah melakukan sesuatu yang bisa mengubah hidup banyak orang, yang menginspirasi banyak orang, atau kadang–yang harus tersorot. kita lupa bahwa kesukarelaan sejatinya dekat dengan kita, kesempatan melakukannya ada di mana-mana. melakukan pekerjaan yang lebih dari yang diminta atasan di kantor adalah kesukarelaan. memberikan bantuan agar rekan-rekan sejawat lebih mudah bekerja adalah kesukarelaan. membantu mengisi kuisioner teman yang sedang penelitian adalah kesukarelaan–masih banyak lagi bentuk kesukarelaan lain.
kita biasanya senang dengan ukuran-ukuran ini: jauh, besar, banyak. kadang kita lupa, bahwa kesukarelaan bisa juga berarti menjadi bermanfaat bagi yang dekat, kecil, sedikit. sebab sejatinya, manfaat kesukarelaan tidak terletak pada ukurannya, melainkan pada makna bagi mereka yang menerima.
kesukarelaan adalah apa saja yang dengan sangat ikhlas kita lakukan.
348 notes · View notes
helgachan · 8 years
Text
DULU JAWA SEKARANG SUNDA
*Percakapan tahun 2016 Driver: Asli mana Mba? Saya: Jauh Pak, saya orang Padang. (Kurang familiar kalo nyebut orang minang😊) Driver: Oh, orang Padang tapi logatnya Sunda ya. Saya: Hehe (*dalam hati: ya iyalah, secara teman2 kerja rata2 orang Sunda semua😃)
Dan.. Kemudian berandai-andai.. Berharap suatu saat ada yang bilang: Seseorang: Asli mana Mba? Saya: Indonesia Pak/Mas/Bu/Mba Seseorang: Beneran Indonesia? Tapi logatnya Jepang banget ya. Udah lama ya tinggal di Jepang?😅😅😅
Orang Jawa atau Orang Padang?
Dokter: Mba’ Helga asli Jawa ya?
Saya: Bukan Dok..
Dokter: Kalau gitu pasti orang Padang
Saya: Kok Dokter tau??
Dokter: Tadinya pas liat wajahnya, saya udah mikir orang Padang, tapi pas ngomong logatnya Jawa. Temennya banyak orang Jawa ya? Makanya jadi keikutan logat mereka..
Saya: Hehe, iyaa, Dokter tau aja.
–>Inilah akibat suka isengin temen kerja, niru-niruin logat mereka kalo lagi ngomong. Eh ga nyadar kebawa-bawa pas ngomong ama orang laen:D
(FYI: Sebenarnya saya bukan orang Padang, tapi orang Bukittinggi. Kalau di rantau, setiap orang Minang pasti disebut orang Padang. Padahal Minang adalah nama sebuah suku untuk semua orang asli Sumatera Barat sedangkan Padang itu adalah salah satu nama kota yang ada di Sumatera Barat. Mungkin kalau di rantau terkenalnya kota Padang kali ya, contohnya aja nama masakan atau makanan khas Minang rata-rata pakai embel2 Padang: nasi padang, soto padang, sate padang, lontong padang:D)
3 notes · View notes
helgachan · 8 years
Text
Tenang Saja
Hidup ini lucu. Ketika kita sangat menginginkan sesuatu, seringkali yang datang adalah hambatan. Sebelum kesempatan. Semacam Yang Maha Tahu berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari manusia, “Sampai sejauh mana tekadmu?”
Hidup ini memang lucu. Ketika berusaha menjadi benar, selalu ada-ada saja godaan untuk kembali berbuat salah. Diberi iming-iming indah untuk memilih apa yang seharusnya tak dipilih. Sebagaimana bahasa Yang Maha Tinggi, “Jalan-Ku tidak akan mudah, tetapi Aku jelas akan memudahkanmu dengan cara-Ku.”
Tenang saja. Janji-Nya selalu pasti, bukan? Iya, seperti bersama kesulitan ada kemudahan. Bukankah artinya, untuk mendapatkan kemudahan kita harus bertemu kesulitan? Memang begitu cara kerja-Nya.
207 notes · View notes
helgachan · 8 years
Text
Lakukan Saja
Ketika kamu didekatkan dengan orang-orang baik, diajak menuju tempat baik, melakukan hal baik, belajar untuk lebih baik, mengapa kamu masih menahan langkahmu?
Berdalih belum mendapatkan hidayah. Bukankah hidayah itu harus ditemukan? Bukankah Allah sudah memberikan jalan untuk menemukan hidayah tsb?
Kamu yang menutup hatimu sendiri, Kamu yang mempersempit hatimu sendiri, Kamu yang mengeraskan hatimu sendiri, Sehingga sebesar apapun kebaikan yang mendekatimu, kamu sia-siakan begitu saja.
Ayolah, lakukan saja, melangkah saja, walau berat terasa, walau kadang merasa terpaksa. Kalau kamu mau berusaha, nanti Allah sendiri yang akan membukakan hatimu lebih lebar, melapangkan hatimu yang sempit, melunakkan hatimu yang keras. Dan nanti Allah sendiri yang akan menambahkan kelembutan di hatimu.
~Helga~
0 notes
helgachan · 8 years
Quote
SALAH! Tapi tetap rindu:(
0 notes
helgachan · 8 years
Quote
Menikahlah Nak manakala dirimu sudah benar-benar siap. Siap di sini bukan hanya faktor usia, pendidikan dan finansial. Tapi benar-benar siap menerima orang lain untuk menjadi bagian dari diri kita. Seperti daging dengan darah. Ilmu mengenal diri harus benar-benar diamalkan.Kalau kita seorang pencemburu, posesif, sangat mengagungkan privasi, jangan menikah dengan aktifis populer dan relawan yang murah hati lapang segala.Jika kita seseorang yang mau benar sendiri tak mau dibantah, jangan bermimpi punya pasangan cerdas, dan sehat yang pastinya kritis. Banyak orang sesumbar ingin punya pasangan shalih/shalihah, cerdas, sehat, kaya, pemurah, dari keluarga “Intelek” dsb..dsb. Lalu setelah menikah stress sendiri karena tak mampu mengimbangi gaya hidup orang “Intelek” karena masih suka sembarangan. Jadi ya mari mengukur dan memantaskan diri.Pernikahan bukan “Kamar Sakti” yang membuat orang berubah. Jadi jangan bermimpi setelah menikah bisa merubah pasangan. Yang paling bisa kita lakukan hanya penyesuaian, pemaafan, dan pengikhlasan yang tiada akhir Karena nenek moyang kita dari jaman baheula sudah berulang-ulang mengingatkan, bahwa cinta adalah pengorbanan. Terdengar sangat klise. Namun sangat benar adanya.
Bunda Tatty Elmir (Founder Forum Indonesia Muda, ASA Indonesia)
1K notes · View notes
helgachan · 8 years
Quote
Ketika ayah dan ibumu terus menua, jika ia meminta sesuatu, berusahalah memenuhinya. Sebab suatu saat nanti akan datang masa paling getir, dimana mulut mereka benar-benar berhenti meminta sesuatu lagi.
(via laninalathifa)
797 notes · View notes
helgachan · 8 years
Quote
Tetaplah rendah hati. Kita tidak perlu mempromosikan tentang siapa diri kita. Ujian keikhlasan pada hal-hal yang sedang kita lakukan saat ini begitu besar. Kita juga seringkali sempit dalam memandang sesuatu. pikiran yang tidak luas membuat kita menjadi picik, pengetahuan yang sempit membuat kita menjadi tertutup untuk melihat kebenaran, dan agama yang salah dipahami membuat kita menjadi sesat. Tetaplah rendah hati karena ujian keikhlasan itu akan hadir saat kita sedang melakukan hal-hal yang hebat sementara tidak ada orang yang tahu. Semangat!
Kurniawan Gunadi (via kurniawangunadi)
942 notes · View notes
helgachan · 8 years
Text
Tulisan : Tampil Sederhana
Hidup dalam era sekarang ini seolah-olah menuntut setiap orang untuk tampil sebaik mungkin-secantik/setampan mungkin-seWAH mungkin-dan segala sesuatu yang sifatnya artifisial. Semakin sulit menemukan orang yang sederhana kecuali kita benar-benar meletakkan gadget kita kemudian membuka pintu rumah dan jalan kaki menyusuri jalan yang selama ini kamu lewati begitu saja.
Ketika banyak orang terpacu ingin segera kaya, mapan, berkecukupan, dan menampilkan semua itu dengan simbol-simbol barang dengan merk tertentu. Kadang saya sulit memahami bagaimana jalan pikir orang lain dalam mengekspresikan dirinya.
Kita pun mungkin mengalami euforia yang sama. Sama seperti kita dulu lepas SMA dan masuk dunia kuliah. Euforia ketika sudah lulus kemudian memperoleh pekerjaan dengan gaji yang cukup layak untuk meningkatkan kualitas hidup kita yang mungkin lebih tepatnya -meningkatkan gaya hidup kita-.
Untuk bisa bertingkah kaya, orang tidak perlu belajar. Tapi untuk menjadi sederhana, orang harus belajar keras. Di tengah proses dan fase pembuktian kita terhadap dunia disekitar kita, kita kadang salah memilih bentuk pembuktian itu. Bahwa kita sudah mencapai kesuksesan dibuktikan dengan apa-apa yang kita mampu beli dan miliki saat ini. Dengan setelah licin yang rapi dan foto di media sosial yang menampilkan kehidupan kita sehari-hari ditempat-tempat yang keren. Kadang kita keliru melihat dunia ini.
Kita keliru dalam memahami bahwa fase pembuktian diri itu bukan dengan itu. Tapi dengan apa yang kita bisa berikan untuk kebaikan di sekitar kita, untuk orang lain, dan untuk sesuatu yang lebih besar.
Kita perlu memahami dalam 24 jam yang sama, ada orang yang bisa mengatur waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, ada yang bahkan bisa selesai memikirkan dirinya sendiri dan orang lain, ada yang juga bahkan 24 jam tidak selesai mengurus dirinya sendiri. Semakin kita dewasa, semakin kita tumbuh, seharusnya semakin kita bisa memberikan waktu kita semakin banyak untuk orang lain, untuk sesuatu yang lebih luas.
Kita tidak perlu tampil mengagumkan untuk membuat orang lain terkagum. Lakukan segala sesuatu dengan tulus dan sederhana, makanlah dengan sederhana, berpakaianlah dengan sederhana, dan tidak perlu pusing tentang harus tampil seperti apa hari ini dan esok.
Karena hidup ini sesederana yang Allah katakan, bahwa kita hanya seperti sekedar singgah untuk minum, tidak lama-hanya sebentar. Sesederhana itu Allah menjelaskan, tapi kita lupa memahaminya.
Rumah, 9 Desember 2015 | ©kurniawangunadi
835 notes · View notes
helgachan · 8 years
Video
youtube
Lagi suka banget sama lagu Ali Sastra.
0 notes
helgachan · 8 years
Video
youtube
0 notes
helgachan · 8 years
Video
youtube
Tak ada beban tanpa pundak. Tuhan tahu kita mampu..
0 notes
helgachan · 8 years
Text
Lebih
Percayalah, aku hanya ingin kau mencintaiku sesederhana itu aja. Tak ingin berlebih. Kalaupun ada kelebihan yang aku inginkan, adalah bersamamu, cinta kita kepada-Nya semakin memberat dari waktu ke waktu. -HR-
0 notes
helgachan · 8 years
Text
meringankan perasaan
seorang perempuan menyusun pertanyaan untuk meringankan perasaan. dalam benak, ditulisnya tebal-tebal.
ketika harus memilih: 1. yang mana jalannya, yang mana tujuannya? 2. apakah tujuan itu tujuan yang baik? apakah jalan itu jalan yang baik (dan benar)?
ketika ingin kecewa: 1. apakah ini risiko bawaan dari pilihan yang diambil? 2. apakah ada yang bisa diusahakan untuk memperbaiki keadaan?
ketika ingin marah: 1. apakah perlu marah? 2. jika iya, atas apa boleh marah? apakah sesuatu itu layak menjadi objek kemarahan?
ketika takut kalah: 1. siapa musuh yang sebenarnya? siapa lawan yang sebenarnya? siapakah yang akan menang? 2. bagaimana agar kebaikan diri meniadakan keburukan diri?
ketika merasa sendirian: 1. sudahkah bersyukur atas nikmat dan ujian? 2. di mana ada Allah?
ketika ingin menyerah: 1. kalau sudah menyerah, terus mau apa? 2. apakah keadaannya menjadi lebih baik?
ketika harus melepaskan: 1. apakah ini melepaskan ataukah ini menyerah? 2. apa pelajarannya?
ketika memaafkan: 1. apa arti memaafkan? 2. sudahkah memaafkan sepaket dengan melupakan?
baru saja ibunya bilang–penyakit hati kebanyakan datang karena perasaan yang tidak ringan. meringankan perasaan di setiap keadaan adalah perjuangan untuk memiliki hati yang senantiasa lapang.
334 notes · View notes