Tumgik
herewearebells · 2 years
Quote
It’s funny how life works
Me, 7th Nov 2022
9 notes · View notes
herewearebells · 2 years
Text
Lari
Kadang-kadang, di hari yang biasa saja, saya punya keinginan untuk lari sejauh mungkin. Lari, dari hal-hal menjemukan yang bermekaran bak bunga-bunga liar dengan kelopak bunga mungil berbulu yang terus menggelitik kewarasan. 
Belakangan saya punya kebiasaan baru, selain tidur jauh lebih pagi dan termangu pada potret ayah-ibu; berbicara di dalam batin, soal apa saja. Perkara meminta umur panjang untuk orang-orang terdekat saya, kehidupan yang dipenuhi terang benderang dari-Nya, keberuntungan, atau hal-hal yang masih kerap membuat saya mencelos tiap mengingat.
Lorong hotel dengan dinding tipis dipenuhi tawa dan kalimat-kalimat yang menyebut nama saya, atau kata ‘empati’ yang buat saya suka mendengus. Beberapa kali saya mengingat suara yang buat saya menghela nafas lewat bibir, soal hidup ke depan dan apakah hidup yang katanya serba ada ini, bisa saya cicip juga kalau sampai salah pilihan.
Hidup dan pilihan-pilihan, seakan penelitian kuantitatif yang bisa ditarik jadi data. Menjengkelkan sekali. Padahal hidup jauh lebih kompleks dari angka dan kolom pilihan abcd.
Saya ingat pernah punya mimpi untuk pergi ke satu benua di sana, dengan bahasa inggris pas-pasan. Waktu itu umur saya baru mau tujuh belas tahun. Ayah saya yang paling semangat mengiyakan, dengan kondisi keluarga kacau-balau. Mungkin, kalau saya mengamini untuk pindah, tanpa mengindahkan ibu saya, sekarang saya punya hidup di sana. Alih-alih pergi, saya tetap di kota membosankan ini, memaksakan diri untuk jadi manusia yang benar dengan segala peran yang selintaspun nihil terbayang.
Tadi malam saya lihat rekening tabungan, lalu membatin kalau saya mau berusaha sama kerasnya, persis saat ngotot menerbangkan bos-bos saya, mungkin saya bisa ke sana dengan usaha saya sendiri.
Mungkin, saya bisa lari dan berlaku bodo amat, kayak orang-orang yang meninggalkan kota membosankan ini. Mengejar hidup dan menemukan diri saya yang lain dalam dunia baru. Lari dan punya hidup. Lari dan meninggalkan sekarung suara-suara yang kerap membawa kristal bening mengucur. Mungkin, saya bisa lari. Mungkin...
1 note · View note
herewearebells · 2 years
Text
Jan 2021 to Aug 2022
Seminggu ini saya melulu dihadapkan pada hal yang bikin saya ketawa karena merasa wah, wah, wah, saya berproses sebagai manusia nih; terkait respon saya atas kasus pelecehan seksual 2021 lalu, yang saya gaungkan di sosial media pada 2022. Tiba-tiba saya dapat pesan dari satu teman baik yang (gemas amat!) mengabarkan kalau dia lagi makan di satu tempat yang punya hubungan sama pelaku, atau ketika ditengah sesi obrolan ngalur-ngidul, tiba-tiba sebuah kalimat menyempil pada interaksi kami, saya dan satu teman lama (ini orang yang berbeda). Bahkan, baru-baru ini saya bekerja dengan orang yang saya sama sekali nggak tahu latar belakangnya, tapi entah kenapa selama bekerja, dan membicarakan hal-hal yang lalu, saya bisa percaya bahwa orang ini nggak punya tendensi apapun ke saya selain menanyakan keadaan saya setelah ramai-ramai Januari 2022.
Ternyata setelah lihat kalender, ini sudah pertengahan tahun 2022, sisa empat bulan lagi, lantas tahun jadi 2023. Tahun ini banyak hal ajaib, meski 2021 dan beragam polemik timpang tindih itu juga selalu membuat saya mendengus. Tapi..., yah, kalau bukan karena 2021, mana bisa saya lebih tegas dan tahu apa namanya kacamata kuda. 
Kapan lalu saya lewat depan Bethesda, satu rumah sakit yang jadi langganan---kayaknya---sejak saya lahir. Saya lihat ke sisi bagian loket tiket parkir mobil, lantas mendengus tertawa pelan lantaran ingat sesuatu. Kapan hari di tahun 2021, di antara rupa-rupa hidup saya yang penuh dengan kerja, kerja, kerja di agensi, dan memaksakan diri ‘normal’, saya jongkok dengan badan lemas di salah satu lahan parkir, persis dekat loket tiket parkir yang sekarang sudah seratus persen pakai mesin, nggak memerlukan pengawasan manusia. Saya jadi ingat tahun 2012 waktu ayah saya tertatih-tatih jalan dari ruang konsultasi dokter ke parkiran. Seluruh tubuhnya seakan agar-agar, mudah doyong kanan-kiri. Adik saya menahan badan ayah susah-susah, sedang saya sibuk melihat hasil scan dokter dan obat setumpuk juga rujukan rumah sakit yang asing dalam ingatan saya. Waktu itu saya pikir Papa bercanda. Mana ada badan lemas sampai kayak agar-agar, alias nggak punya tulang untuk menopang badan. Selepas ia cerita soal hipotesa dokter menyoal benda asing di tubuhnya, juga hitungan bulan yang bisa dipakainya untuk hidup di dunia, saya bisa merasakan sensasi tubuh serupa agar-agar.
Hari itu selepas saya keluar dari badan bangunan Bethesda, saya lemas. Lemas karena melihat obat saya tambah, alih-alih dikurangi dosis obat yang sudah tiga butir (waktu itu saya jadi harus konsumsi lima butir jenis obat yang berbeda) dan rasanya semua lingkaran setan perkara kepala yang terus berdenyut dengan pilihan-pilihan bertolak belakang dengan apa yang saya rasakan, kesulitan tidur melulu, atau terbangun di jam-jam yang sama (seringnya beberapa menit sebelum adzan subuh), juga pernyataan laki-laki berjubah putih dengan kacamata kotak yang selalu kedodoran di cuping hidung serupa buah jambu masak, bahwa stress berat bisa membuat saya ke stage lebih serius, jauh diatas dosis yang bertambah; kehilangan kesadaran sepenuhnya, lupa entitas saya sebagai diri sendiri, atau orang bisa memberi label sebagai pengidap gangguan kejiwaan, bikin hati saya pecah berkeping-keping persis kaca. 
Lemas. Saya merasa tubuh saya serupa agar-agar, tanpa ada adik saya yang menopang macam kejadian ayah. Saya sesenggukan sambil memegang handle pintu mobil. Kacau dan rasanya dunia kayak kiamat, tentu saja dunia milik saya. Takut bukan main, dan rasanya saya benci lihat kotak obat putih-pink yang selalu saya bawa kemana-mana, meski saya senang gonta-ganti tas pergi. 
Waktu pulang dari rumah sakit, saya ingat betul saya harus segera meeting salah satu brand alkohol. Event yang dibuat soal program awareness terkait kemampuan setiap orang mengonsumsi alkohol, juga apa saja yang harusnya dilakukan oleh orang-orang yang lihat orang mabuk tak sadarkan diri. Rasanya lihat semua teori tetek bengek berbau kebaikan itu, amarah saya meletup-letup. Saya nangis lagi, sesenggukan di kamar. Marah sama siapapun yang bikin program omong kosong ini. Secara sadar semua orang macam paham harus melakukan apa dan bagaimana. Padahal praktiknya, yang begini ini---di mata saya waktu itu---suka tak digubris orang-orang. Kalau semua orang paham aturan main siapa jadi emergency call buat mereka yang mabuk berat, kenapa masih ada orang-orang sialan yang secara sadar melakukan hal-hal bejat, brengsek?
Kenapa?
Lalu dari kenapa itu bergulir ke pertanyaan-pertanyaan marah lainnya.
Kenapa ada ya orang sehat mental, fisik, malah nyoba-nyoba obat yang kayak saya konsumsi? Kok orang tuh bisa ya hidup udah tenang, adem, ayem, nyari perkara nelen obat beginian tanpa resep dokter? Saya aja udah kayak ngerasa ngeri tiap lihat kotak obat saya isinya penuh obat dan vitamin. Khawatir bukan main kalau panjang waktu konsumsinya akan berdurasi lama, memakan waktu berbelas, atau puluhan bulan, misalnya? Bikin saya nggak merasa tenang, juga saling susul tanya lainnya.
Nggak jarang saya jadi kesal, atau malah marah karena orang-orang yang enteng bicara ini, tahu saya konsumsi obat, tapi malah bercanda dengan entengnya: ‘Bagi satu dong!’ sementara saya tiap menelan obat-obat itu kerap merasa tak mengenali diri saya sendiri, dan terluka pada tiap tegukan saliva?
Sungguh, saya jadi lebih sensitif dan mudah tersinggung. Semata-mata karena jengah dengan proses menemukan kewarasan utuh ini yang melumat diri saya.
Saya ingat 2022 awal adalah genderang perang yang saya bunyikan gaduh dengan sadar. Sadar, karena saya sudah tidak dalam posisi bolak-balik rumah sakit (sudah tuntas beberapa bulan sebelum 2021 berakhir minum obat, dan nyatakan dapat rapor hijau! Alias, tinggal monitoring! Yeaaaaay!). Saya muak. Muak dengan bagaimana manusia itu bisa menjadi-jadi dan bertingkah seenaknya atas cerita yang dibuatnya. Paling marah sesungguhnya waktu dengar dia mengaku-aku hal yang bahkan nggak masuk akal di kepala saya yang sudah bisa berpikir dengan jenak, dan disampaikan pada sahabat saya. Ini manusia sakit pikir, atau…., gimana, sih?
Perasaan, saya sudah sabar karena dia berupaya masuk di kehidupan saya lewat ibu saya yang waktu itu belum tahu kasus ini. Sudah berulang kali bilang nggak usah mengusik hidup saya. Saya bahkan masih sabar, kalau ini disebut sabar, dengan membalas email panjang lebarnya yang nggak masuk akal. Satu kalimat kepunyaannya yang bikin saya nggak berhentik membelalakan mata adalah: ‘Aku mau hidup dengan baik tanpa perasaan bersalah.’ Juga, penutupnya yang masih bisa bilang kalau punya intensi khusus.
Saya menyadari kalau saya marah, setelah setahun kebelakang mencoba untuk waras di tengah obat-obat yang ditelan dan ketakutan berpendar dimana-mana. Entah untuk rekaman panggilan telepon makhluk ini dengan sahabat saya yang direkam dan didengarkan ke saya, untuk pesan-pesan di email yang muncul di kotak masuk, juga pesan-pesan lain pada iMessage pakai akun lain (karena kontaknya sudah blocked). Postingan feed Instagram milik satu kenalan yang menyatakan bahwa dia berdiri untuk korban, atas kasus pelecehan seksual seorang penulis naskah (yang kok ya kebetulan teman pelaku juga) pada hari itu, benar-benar jadi bensin paling ampuh untuk membakar saya.
Setelah semua ribut-ribut yang terjadi di awal tahun itu, saya lantas memutuskan pergi konsultasi lagi, takut kalau pilihan saya obong-obong ini akan membawa saya bolak-balik lagi ke rumah sakit. Padahal mengingat bolak-balik ke tempat itu di tahun 2021 dengan jarak Jakarta-Jogja, juga merampungkan semuanya dengan berpegang teguh pada kemauan untuk tidak kehilangan diri, tetap membuat hantu-hantu berupa vonis entah apalagi, atau obat macam apa yang harus saya tebus muncul berseliweran mengerikan di kepala.
Hari itu saya sudah pasang badan, padahal kepala saya isinya skenario A-Z repetitif. Saya membayangkan bakal menahan tangis keluar dari ruangan, dan jongkok lagi di samping mobil saya yang terparkir, kayak kemarin dulu. Saya membayangkan bakalan mendengarkan lagu korea favorit saya yang nadanya bersemangat penuh hore-hore, sedang saya menangis dan teriak frustasi di belakang setir mobil. Tapi, Tuhan dengar---kayaknya---doa saya melulu sebelum tidur sejak 2021, bahwa genre hidup yang saya mau romantic-comedy, jadi kalau ada action, atau drama aneh-aneh tolong langsung dipencet tombol ‘batalkan’ atau ‘stop’ aja.
Hasil dari saya pergi konsultasi malah kepala mengangguk dan senyum tipis dari laki-laki berjubah putih itu. Katanya, saya malah buat progress yang baik dengan bisa berpikir secara logis atas emosi yang saya rasakan, kebetulan waktu itu yang muncul adalah amarah. 
Bingung, nggak?
Saya jujur saja bingung, karena saya pikir bakal dapat obat, mengingat saya beberapa hari sebelumnya (tiga hari, kayaknya), susah makan, dan jatungnya berdebar melulu setelah membakar genderang perang.
Mengingat itu semua (sambil nyolong-nyolong baca jurnal), saya menyadari bahwa benar saya ternyata benar-benar berproses. Genre saya nggak masuk ke hal-hal mengerikan, yang antipati saya minta buat jangan ada di hidup saya, dan menyisakan romantic-comedy saja. Tuhan baik sekali, semua skenario di kepala saya disapu tuntas dan pernyataan itu bikin saya melongo. Meski saya nggak begitu ingat saya yang dulu bagaimana dengan spesifik diri saya (selain nggak enakan, dan nggak bisa menolak), tapi saya menemukan hal yang baru dari gadis satu ini; yang bisa melepaskan orang-orang di sekitar saya, jika memang ternyata garis finish kami hanya sampai situ saja untuk berelasi akrab. Membiarkan orang-orang untuk bicara soal apa saja, tanpa repot-repot menyuapi ego mereka dengan hal yang saya rasa benar. Dan juga, memberi batasan tanpa harus merasa tak enak hati. Ketika saya lelah buat bertemu orang, saya bisa bilang jujur, tanpa harus berpikir dua kali. Saya jadi kenalan lagi sama diri saya sendiri.
Paling penting adalah, ketika saya scroll foto di galeri gawai, saya merasa bersedih pada diri saya yang lalu, dan pingin memeluk erat-erat. Saya melihat betapa lelahnya jadi gadis satu itu dan usahanya untuk menyenangkan semua orang tanpa henti, mencoba untuk memberi kesempatan ke orang untuk bicara hal-hal yang bahkan sejak dari awal insting-nya saja sudah pasang bendera merah.
Ini hal besar menurut saya... Jujur, saya sama sekali nggak pernah kepikiran akan ada di situasi begini, tapi nyatanya di sinilah saya sekarang. Dulu, saya kira saya nggak bakalan bisa melalui hal yang beberapa kali diucapkan atau dipandang orang yang dengar cerita saya dengan: ‘kan cuman digrepe’. Karena kata ‘cuman’ itu sialannya kok malah kayak bola salju yang melesat dari tebing curam menuju jurang tanpa batas buat saya. Saya yang mencoba menerima permintaan maaf pelaku, karena saya mau memaafkan diri saya yang linglung dan merasa jijik pada diri sendiri, saya yang mendengar semua saran orang-orang, bahkan mereka yang nggak kenal-kenal amat sama saya, saya yang mencoba menepis perasaan marah saya dengan mencoba membuka ruang lagi bagi pelaku, saya yang rasanya berulang ingin lari menabrakan diri ke tengah jalan Kuningan waktu merasa sesak dengar kalau kota baru yang saya huni, harus dibagi dengan pelaku padahal saya sudah berusaha minggat dari kota kelahiran saya, juga, saya yang melulu dihantui perasaan ngilu kalau-kalau ibu saya tahu cerita ini. Luar-dalam saya kayak habis. Benar-benar habis sampai tak menyisakan apapun. Saya serasa dikuliti sampai ke tulang.
Sahabat saya yang bisa dihitung pakai sepuluh jari, melulu memberi validasi kalau saya harus hidup, dan pasti bisa hidup lagi. Mereka datang untuk memastikan saya bangun dari tempat tidur dan makan. Besoknya, mereka datang lagi. Bergantian, seakan saya adalah pasien usus buntu mondok yang harus dijenguk tiap hari. Setelah diingat lagi, itu hal yang besar, dan benar-benar berarti. Partner saya tidak berhenti mengirim pesan tiap berapa jam sekali, dan awas tiap kami video call, padahal isinya melulu tangis dan rasa benci saya pada diri sendiri. Berulang saya bilang kalau saya mual lihat diri sendiri di screen terang.
Saya yang dulu suka ngobrol santai dan menyapa orang entah siapa saja itu, lalu begitu saja jadi bisa berteman, di 2021-2022 macam anak empat tahun tetah soal tata cara bersosialisasi. Saya merasa mundur banyak sebagai diri sendiri. Saya merasa kayak nggak tahu saya siapa karena terus gemetar ketika jumpa dengan orang baru, dan berulang marah ketika jantung saya berdebar ngeri ketika berada keramaian tanpa ada satu orang yang saya bisa percaya ada di dekat saya. Badan saya kayak agar-agar, bisa tetiba limbung saking mualnya. Saya jadi lebih canggung, dan lidah saya suka kelu tiba-tiba, karena nggak tahu mau bicara apa saking merasa jantung saya berdebar ngeri berulang. Takut. Sekarang? Saya bisa bawa mobil sendirian tanpa harus was-was, saya bisa ngobrol dengan orang baru tanpa gemetar dan berinteraksi dengan perasaan riang. Saya bisa memaknai ketika saya ketawa, karena saya benar-benar merasa perlu tertawa, bukan tawa yang dibuat-buat agar selaras dengan orang di sekitar. Saya ada di sini karena dibantu oleh orang terdekat saya; diyakinkan, dan berulang mereka menunjukan bahwa saya berarti. Juga, karena saya mau buat sembuh. Walaupun lucu juga bilang ini sembuh, seakan ini luka. Padahal tidak banyak orang benar-benar melihat kasus pelecehan seksual dan trauma korban sebagai luka. 
PTSD with ons yang dilabelkan ke saya, hal yang berulang bikin saya merasa kecil dan kesulitan menjalani hidup setahun belakangan, sesederhana bangun dari tempat tidur dan mandi, lalu bertemu orang, bisa dilalui pelan-pelan. Meski rasanya lebih lambat daripada kura-kura yang berjalan, tapi ada di titik ini, saya sudah bersyukur. Saya bersyukur karena ibu saya tetap sehat dan malah jadi tempat aman buat saya, juga sahabat-sahabat saya, partner saya, dan adik-adik saya. Paling tidak, saya selalu punya rumah di diri mereka. Saya nggak perlu validasi satu juta orang kalau saya mengalami hal berat, kalau saya jadi korban, atau apapun itu. Lagipula, nggak semua orang benar-benar menaruh atensi pada hal-hal begini karena pelecehan seksual yang melibatkan orang terdekat sebagai pelaku, seakan dongeng—nggak benar-benar riil, atau sesederhana menganggap hal macam ini sebagai topik ringan pembicaraan di tongkrongan. Benar? 
Pun, saya belajar soal kasus-kasus pelecehan seksual juga bagaimana hukum yang berlaku untuk para pelaku. Korban yang mengungkapkan kasus pelecehan seksual tanpa pihak ketiga, riskan kena kasus UU ITE dan pelecehan nama baik. Orang-orang yang membantu memviralkan, juga bisa dipanggil (untungnya sih dipanggil aja, ya) buat dimintai keterangan. Begitu deh, rumit dan perlu strategi kalau urusannya sudah begini. Menarik, karena meski kita punya lembaga hukum, tapi mereka juga akan berpegangan pada sosok-sosok yang terlibat akan mencantumkan siapa saja. Kalau nggak punya kepentingan besar, nggak akan diproses.
Ini menjawab pertanyaan orang-orang yang penasaran apakah saya melaporkan pelaku ke polisi. Jawabannya tentu saja orang-orang di sekitar saya yang malah ditakut-takuti kalau mereka bisa kena UU ITE dan pasal pencemaran nama baik, karena membela saya. Memang Sambo ada di sekitar kita dalam banyak wujud, guys. Maka, jawabannya nggak. Waktu itu saya lebih sibuk memastikan teman-teman terdekat saya aman dan dapat perlindungan hukum dengan dibantu menghubungi LBH.
Juga, kalau ada yang tanya, apakah saya memaafkan manusia yang saya udah nggak tahu mau dikasih label apa itu karena sekarang dia sudah hidup dengan normal (punya penghidupan dan tempat yang aman juga nyaman), jawabannya tentu saja nggak! TAPI, saya bisa apalagi, sih? Toh, kemudian semuanya kembali seperti semula. Tuntutan saya yang totalnya empat butir tidak terpenuhi sama sekali. Kemudian, karena ini sudah bergulir dan banyak manusia yang punya cerita-ceritanya sendiri, saya memutuskan lebih ke tebal telinga terhitung bulan Februari 2022. Semisal nanti di masa depan ada kabar lelayu soal orang ini juga saya nggak peduli. Bukan urusan saya. 
JADI, yang saya lakukan sampai hari ini adalah terus hidup dengan baik (semoga ke depan juga bisa terus begini. Amiiin), dan mengutip kata salah satu teman saya, karena hidup ini cuman sekali, daripada saya bergelung di lubang nestapa, menghabiskan hari-hari saya dalam lumpur hisap kemarahan tak berakhir, dan pengharapan balasan setimpal ke pelaku, saya mending fokus pada hidup saya, juga orang-orang yang saya sayangi. Mumpung saya punya waktu bareng mereka. Lagipula, meski saya nggak setaat itu (maaf ya Allah), tapi saya yakin kalau Tuhan saya nggak tidur, dan pasti punya cara terbaik untuk memberi ganjaran sepantas yang dilakukan manusia bejat itu.
Apapun kehendak-Nya, bukan hal yang bisa saya buru-buru. Sudah urusan-Nya, alias atur aja deh ya Allah, saya pokoknya cuman minta yang adil paling adil versi Yang Punya Jagad Raya aja. Oke? Oke. Sip.
Buat saya sekarang, nggak ada yang lebih baik dari orang-orang terdekat saya. Punya pekerjaan yang membuat saya bersemangat buat mengulik banyak hal baru, juga sudah nggak tiba-tiba jadi agar-agar kalau bertemu orang baru, atau berada di keramaian, rasanya sudah lebih dari cukup. Dan---yah, begitu ternyata rekap pertengahan tahun 2022 ini.
Saya jadi ingat waktu saya obong-obong kasus pelecehan ini via Twitter dan Instagram, ada satu kolega yang kenal baik pelaku, juga satu lingkar pertemanan di Ibu Kota, menawarkan diri untuk jadi mediator. Saya jawab dengan mantab kalau satu-satunya mediator yang saya mau, hanya Beliau, Allah. Karena saya nggak tahu ketika di sesi-sesi blacked out itu apa yang saya katakan (apakah iya serupa pernyataan pelaku). Saya nggak tahu, karena saya banyak kehilangan memori, sedangkan ingatan yang ada di kepala saya yang melulu digaungkan ke orang terdekat adalah minta diantar pulang, mau muntah, mau ke kamar mandi, tolong diantar ke rumah sahabat saya yang ini itu, tapi, lagi-lagi, bagi mereka yang nggak kenal dan melihat proses saya nyaris kayak orang kehilangan akal, semua ini seakan episode-episode yang harus diisi berbagai macam bumbu. Memergoki satu di antara obrolan soal kasus ini langsung pakai kuping saya, di salah satu kamar hotel karena diundang ke acara perayaan saja sudah cukup membuat saya menghela nafas dan tersenyum masam, kayaknya kalau dengar versi lainnya, saya bisa mendengus tertawa saking epiknya, atau malah terpingkal-pingkal. Maka, kembali ke pembahasan mediator, buat saya nggak akan ada yang bisa seadil Allah.
Saya sekarang setuju, kalau manusia itu bisa berubah. Kadang-kadang, kita lupa bahwa manusia itu sendiri pada tiap waktunya mengalami, atau menemukan hal yang bikin inangnya belajar atas ragam perkara kehidupan. Kepunyaan saya berupa boundaries dan fitur baru: kacamata kuda, juga wireless earbuds tak kasat mata. Oh, satu lagi adalah dengus tawa yang dibarengi dengan celetuk: ‘Bodo amat, lah’ kalau sudah menyoal pandangan manusia-manusia soal hidup saya.
Nggak ada yang lebih baik dari hidup macam ini, rasa-rasanya.
Tambahan, semisal nanti di masa depan manusia ini berubah jadi orang yang diamini sebagai standar manusia baik, atau power ranger pembasmi kejahatan yang berhasil menangkap seribu pejabat korup ratusan milyar, ingatan saya atas makhluk ini nggak akan pernah berubah sebagai: pecundang brengsek. Kalau kemudian manusia ini akan jadi orang baik di hidup orang lain, saya nggak akan peduli. Silakan jadi orang yang benar, dan baik, tapi nggak perlu di kehidupan saya. Hidup saya sudah habis kapan tahun, dan saya nggak memerlukan apapun selain manusia ini enyah dari hidup saya, juga orang-orang terdekat saya. Titik.
2 notes · View notes
herewearebells · 2 years
Quote
Hidup cuma sekali Bell, daripada nestapa mending bahagia
Yuniarta
0 notes
herewearebells · 3 years
Text
Being Young
'All Too Well’ milik Taylor Swift, berikut satu film pendek yang berhasil membuat satu jagad raya mencoba menerka siapa laki-laki yang membuat seorang Taytay bermuram durja, menjadi sorotan. bahkan buat gadis ini. Tapi, dari lagu yang berdurasi 10 menit dan total waktu yang harus dihabiskan untuk menonton film pendek sejumlah 14 menit 55 detik, juga interview Taylor Swift di Tonight Show, saya memahami beberapa emosi yang ditukarkan.
Ketika berada di usia 19 atau 20, rasanya satu kaki masih terus berpijak di atas perasaan-perasaan sebagai remaja tanggung, sedangkan kaki sebelah sudah menapaki babak baru sebagai seorang yang diasumsikan bisa bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya; d e w a s a.
 Nggak jarang kisaran usia itu membawa hal-hal asing; keinginan untuk bekerja diluar ranah kuliah yang diambil, menemukan kegiatan baru yang menyenangkan sampai jantung berdebar heboh, atau hal-hal lain seperti kehilangan yang bikin air mata nggak berhenti mengalir untuk dua sampai empat hari.
Bahkan nggak jarang saya merasa bahwa di usia ini, semua orang mencari dirinya sendiri. Yah, pada dasarnya semua orang selalu bersama dirinya, tapi mengenal diri sendiri seakan dimulainya di usia-usia ini. Saya ingat waktu memutuskan untuk bekerja di salah satu toko pakaian di daerah Demangan sana, lalu setelah hampir lima bulan memutuskan untuk keluar karena kepingin mencoba kegiatan di kampus. Atau, hari-hari dimana saya menyesali diri karena mengambil banyak kegiatan di kampus dan mendedikasikan diri ke band---kalau diingat, saya nggak tahu waktu itu punya kekuatan darimana biar bisa punya nilai kuliah yang stabil dan ikut kegiatan band yang ekstra luar biasa---mungkin karena muda, jadi semua rasanya ingin dicoba.
Atau, karena muda, saya takut kalau-kalau saya kelihatan menyedihkan, jadi saya mengisi hari-hari dengan kegiatan ini-itu. Karena takut terlihat menyedihkan, saya selalu berupaya untuk membeo dan terus berupaya senang. Ketika saya punya waktu untuk diam di rumah, saya lebih sering kuras kamar mandi, atau ngobrol banyak dengan Mama soal sesuatu yang menyenangkan---apapun, asal dia nggak perlu kepikiran soal hal yang nggak enak. Nggak jarang harapan untuk bikin Mamah senang, berakhir dengan kami adu mulut juga. Kalau sudah begini, biasanya saya memilih tidur sendiri. Rasanya dongkol sekali.
Jadi muda juga membuat mimpi-mimpi tinggi mudah dicapai. Buat saya sendiri, mimpi saya---waktu itu---terlihat sederhana: punya pasangan yang paling nggak punya seperkian persen, nol koma sekian juga nggak papa, dari mendiang ayah saya. Kalau diingat sekarang, saya ketawa sendiri. Nggak mungkin, tentu saja. 
Ketika saya menelan usia 22 dengan pergi ke psikolog---untuk pertama kalinya---saya ingat betul sebelumnya saya pergi ke dokter umum keluarga kami, saya mengisi form panjang dengan empat kotak di bagian kanan. Kuantitatif betul. kehidupan ini, pikir saya Suara di dalam kepala saya terus berbunyi, persis lagu sumbang yang membawa air mata saling susul. Setelah itu, hari-hari saya diisi dengan banyak tulisan-tulisan di buku dan beberapa kali menyambangi orang asing baru di hidup saya; psikolog.
Muda dan harapan. Muda dan mimpi-mimpi. Muda dan cita-cita.  Tapi nggak ada satupun orang dewasa yang pernah menyeru soal muda dan luka, muda dan rupa-rupa lara yang berhimpitan. Seakan tumbuh terus adalah hal yang harus dilalui dengan senang-senang melulu. Paling hanya lagu soal lebih baik sakit hati daripada sakit gigi yang kerap didendangkan para orang dewasa, padahal bisa merasakan sakit gigi dengan benar juga kalau sudah umur 23 ke atas karena gigi dewasa baru tumbuh, jadi---ya, tetap nggak kebayang juga sakitnya kaya apa kalau patah hati.
Kalau mengingat diri saya yang lebih muda daripada hari ini, saya jadi ingat bahwa muda juga membuat kita tidak melihat sesuatu secara penuh. Ketika menyukai orang, dan punya kesempatan untuk bersama, saya begitu senang. Raasanya seperti... Wah, ini menyenangkan banget sampai rasanya yang begini cuman ada di cerita-cerita novel, atau film-film khas Barat sana. Ketika saya dihadapkan beberapa masalah, saya merasa dunia yang penuh dengan warna-warni cerah, berubah muram. Sekarang, ketika saya menulis semua ini, saya bisa bilang bahwa orang yang saya suka itu tidak pernah ada. Secara fisik, dia ada, kami bersama, saya kenal teman-temannya, begitu juga sebaliknya. Tapi, apa yang dia lakukan, bagaimana dia hidup dan memperlakukan hubungan kami, semuanya cuman ada di dalam kepala saya; sejatinya dia tidak ada. Maka, ketika kami bertengkar, atau berdebat perkara sepele, rasanya jantung saya dihujam.
Muda dan---hm, apa bahasa yang lebih tepat di sini?---menyembunyikan hal-hal dari orang dewasa, juga adalah hal yang saya, dan teman-teman dekat saya lakukan. Kami punya rahasia kami sendiri. Kepunyaan saya adalah jago menangis dan tidur di dalam lemari. OH, pergi ke psikolog di usia 22 juga rahasia yang saya sembunyikan dari orang dewasa di sekitar saya.
Muda dan ingin menjelajah segala rupa, atau muda dan ingin melarikan diri dari segala macam hal yang terbayang mengerikan, juga perlu disertakan dalam tulisan ini.
OH.muda dan menelan rasa manis sakarin, alias kebohongan dan kebodohan juga perlu ditambahkan di sini. Hahaha.
Kembali ke ‘All Too Well’, sebuah kutipan dari salah satu interview Taylor Swift menggambarkan dengan jelas bagaimana kondisinya keika menulis lagu ini:
"It was a day when I was just, like, a broken human, walking into rehearsal just feeling terrible about what was going on in my personal life,"
Dari ‘All Too Well’ saya memahami bahwa tulisan-tulisan yang kuat dibuat karena luka, juga beragam kumpulan perasaan lain yang tak pernah sampai ke manusia yang harusnya mendengar ini semua.
Lalu, ketika Taylor Swift dalam sebuah interview mendapat pertanyaan apakah dia masih merasakan ‘sesuatu’ dari lagu /All Too Well? Dan jawabannya ‘tidak’, saya seakan paham.
Karena sudah menemukan closure yang tepat---dengan menuliskannya jadi sebuah lagu, misal?---maka ketika harus dihadapkan dengan memori-memori itu kembali, perasaan yang hadir sudah bukan sakit yang menusuk-nusuk. Dia bisa cerita dengan santai saja, dan bahkan membuatkan satu film pendek yang bagus. 
Tapi apakah saya menyesal karena melewati masa muda saya dengan demikian? Nggak juga. Saya bersyukur bisa melaluinya, dan belajar banyak. Saya jadi bisa lebih jujur dengan diri saya, dan orang-orang di sekitar saya. Tentu saja punya keberanian untuk jujur adalah satu hal yang saya syukuri dari berbagai macam kehidupan kemarin-kemarin. Selain itu, saya bisa tertawa---entah sendiri atau bareng orang-orang terdekat saya---soal kebodohan-kebodohan atau memori-memori yang ketika dilalui rasanya berasa apes atau sedih bukan main, tapi ketika diingat bikin ketawa bukan main.
Catatan paling penting dari ‘All Too Well’ - Taylor’s Version adalah kutipan pembuka di film pendeknya:
"Love is so short, forgetting is so long,"
1 note · View note
herewearebells · 3 years
Text
“Aku bodoh, ya?”
“Seringnya begitu, sih.”
“Aku tidak tahu kau bagaimana, tapi... Hng, kadang-kadang, kepalaku punya suara-suara ini dan itu.”
“Misalnya?”
“Mati.”
“Mau mati betulan memang?”
“Yah...”
Suara mobil-motor berlalu di ujung jalan jadi pengalih atas diskusi yang dilakoni dua manusia dengan trotoar sebagai alas duduk.
“Kadang-kadang.”
“Kadang-kadang kalau mabuk?”
“Haha.”
“Jangan mabuk berarti.”
“Ya.”
“Jangan mabuk itu maksudnya bisa banyak sekali, loh.”
“Kok?”
“Yah, susah, deh.”
“Haduh. Bicara lengkap apa susahnya, sih?”
“Tapi, ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu kok. Nggak p mabuk, kadang rasanya..., hilang saja apa, ya?”
“Tinggal liburan, ‘kan?”
“Wah. Betul-betul bodoh ya sekarang?”
“Hahaha.”
“Mungkin—semua orang, dibeberapa tingkat hidupnya, pernah terpikir hal yang sama. ‘Mati. Mau mati.’ Berulang bilang hal yang sama dengan wajah basah air mata, atau raut putus asa.”
“Kau juga?”
“Hm... Iya, dulu.”
“Sekarang sudah tidak?”
“Belum. Mungkin karena sudah tahu mau jadi apa di hidup ini.”
“Jadi apa? Manager? Jadi pemilik usaha?”
“Wah, betulan bodoh ternyata.”
“Aku benar-benar tanya padahal!”
“Kau sendiri kenapa mau mati?”
“Yah...”
“Giliran ditanya betulan malah ‘yah’.”
“Mhmp... Ada satu malam yang rasanya panjang, padahal ketika bangun, aku baru tidur tiga atau empat jam. Lalu sesak. Seperti terhimpit dinding-dinding, tapi tak kasat mata. Sesak.”
“Lalu mau mati?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Aku pergi ke sana, ke sini karena perasaan ini betulan tidak enak. Awalnya aku hanya bisa menangis, meraung-raung.”
“Jelek sekali pasti wajahmu.”
“Pergi saja sana.”
“Hahaha hah! Kenapa marah?”
“Sudah, ah.”
“Bercanda. Cepat selesaikan.”
“Ya, begitu. Menangis, lalu rasanya nyawaku tinggal segini.” Kulit telunjuk dan ibu jarinya hampir mengapit. Menunjukan seberapa tipis keinginannya hidup.
“Gila. Tipis betul, tuh!”
“Benar! Tapi sekarang sudah lebih besar, lah.”
“Lalu?”
“Aku pikir aku sudah baik-baik saja. Karena—ya, aku makan dengan baik, sudah tertawa, bekerja dengan semangat, bisa merasakan pusing pekerjaan, senang bertemu dengan Ibu, dan teman-teman.”
“Menarik.”
“Tapi ketika aku menyelesaikan botol terakhir, tangisku pecah. Atau, bisa jadi aku mendadak jadi rapper. Kau tahu rapper tidak?”
“Maksudmu Dewa Penyabut Nyawa?”
“Kenapa jadi seram ya....?”
“HAHAHA. Oke, oke, lalu maksudmu kau menyanyi?”
“Sebenarnya tugas rapper bukan bernyanyi, tapi melantunkan sebait lirik disamakan temponya dengan nada. Ah, sudahlah.”
“Mudah putus asa ya ternyata.”
“Ya begitu sajalah pokoknya.”
“Apanya yang begitu?”
“Mau aku pergi ke rumah sakit berapa kali, atau sudah tidak merasakan apapun, seperti tidak ada akhirnya. Membeo ke siapapun, sampai rasanya aku tahu bahwa bercerita juga tidak membuat keadaan lebih baik, pun perasaan. Semuanya seperti berputar saja di sini.”
“Makanya kau capek?”
“Begitulah.”
“Capek atau mau mati, nih?”
“Capek. Tapi capek yang... Ya ampun, capek sekali. Mau ambil nafas sampai susah.”
“Padahal oksigen masih gratis ya. Kasihan sekali sampai harus merasa sesusah itu.”
“Nah.”
“Jadi sekarang kau mau mati?”
Suara riuh rendah terdengar samar-samar.
“Heh!”
“Sebentar, aku sedang berpikir.”
“Sebenarnya, kalau kau mau mati, ya itu urusanmu juga. Mungkin akan jadi sayang karena kau jadi batal membuktikan bisa membeli bagian yang bukan jadi milikmu pakai uangmu. Oh, dan olahagamu selama ini juga sia-sia, tidak sih?”
“Hah....... Apa hubungannya?”
“Aku pikir organmu akan disumbangkan?”
“Ya kan tinggal ambil saja.”
“Wah.”
“Apa sih?”
“Kau harus tandatangan nota kesepakatan dululah. Bodoh betul.”
“Yah...”
“Aku bukan penjual aplikasi yang suka menajajakan sesuatu di toko-toko kelontong, jadi ayo kita percepat saja.”
“Apanya?”
“Ya keputusanmu.”
“Keputusan apa?”
“Capek atau benar-benar mau mati.”
Suara klakson panjang dan sirine membelah langit hampir petang.
“Kau, manusia yang di sana,” telunjuknya mengarah pada satu papan besar dengan wajah-wajah rupawan tersenyum sempurna. Papan iklan.
“..., semuanya sama. Suka bilang mau mati. Padahal baru sekali , dua kali, dua puluh kali, empat puluh tujuh kali tersungkur.”
“Memang harusnya kalau mau mati harus tersungkur berapa kali dulu?”
“BUKAN ITU MAKSUDKU!”
“......oke.”
“Begini, dengar baik-baik.”
“.......”
“Kau mau jadi apa di kehidupan setelah ini?”
“Katanya dulu aku penari, dan putri. Hm... Harus jadi manusia lagi atau bisa benda?”
“Ya terserah. Mau jadi batu juga boleh.”
“Aku mau jadi ikan.”
“Ikan apa?”
“Ya pokoknya ikan. Ikan yang tidak perlu melakukan apapun dan bernafas, makan plankton, tidur-tiduran di kapal karam dasar laut. Ikan.”
“Oke, misalnya kau mau jadi ikan dan merasakan hidup yang baik, kau harus menyelesaikan segala hal di dunia ini.”
“Begitu?”
“Ya.”
“..........”
“Aduh!”
“Apa!”
“Sudah hampir habis waktunya.”
“Waktu apa sih?”
“Cepat jawab, kalau kau mau menolong satu lusin temanmu, apa yang kau lakukan pertama?”
“Mengajak berbicara.”
“Bagus! Lalu?”
“Memberi makan....?”
“Aneh juga memberi makan, tapi ya sudah. Terus?”
“Memastikan dia hidup dengan baik.”
“Bagaimana caranya?”
“Mengajak berbicara...?”
“Betul.”
“Hah?”
“Kok hah! Ya itu sudah betul! Makanya sekarang, kau coba ajak bicara dirimu sendiri lebih sering. Jangan terbuai mau mati mau mati. Itu bukan kemauanmu. Kau tahu tidak kalau kau itu harus bertanggung jawab atas dirimu sendiri?”
“Lalu?”
“Lalu kalau kau mati sekarang kita akan menyebutnya sebagai jalan pintas.”
“Kok?”
“Proses nyawa meninggalkan dunia tidak semudah itu. Kalau waktumu belum selesai, ya... harus kembali.”
“Ke badannya?”
“Mungkin. Atau jadi arwah. Atau batu”
“Lah.”
“Kok malah lah!”
“Kenapa jadi arwah?”
“Ya karena waktumu belum selesai tapi ambil jalan pintas.”
“..............................”
“Jadi bagaimana ini waktuku sudah mepet betulan.”
“..........................................”
“HEH BODOH!”
“IYA!”
“Iya apa?!”
“Nggak mau mati!”
“Bagus!”
Suara roda menyentuh aspal jalanan dan riuh suara manusia mengalahkan lalu lalang motor dan mobil.
“Terakhir 2016 bukan?” Ia melipat sapu tangannya, bangkit berdiri.
“.... hah?” Sedang lawan bicaranya memandang bingung.
“Kita bertemu tahun 2016, ‘kan?”
“Tidak ingat.”
“Bagus!”
“Apanya yang bagus?!”
“Setelah ini kau pasti kesakitan betul. Tapi, yah, semoga kita bertemu lebih lama lagi. Puluhan tahun lagi.”
“Kenapa memangnya?”
“Karena pekerjaan rumahmu itu banyak sekali, hei!”
“Hahaha.”
“Malah tertawa! Aku betulan, tahu.”
“Jadi sudah? Kita berpisah, nih? Kau akan kemana?”
“Sana.” Ia menunjuk seberang jalan.
“Wah....”
“Ramai, ya?” Ia tertawa kecil.
“Iya....”
“Lihat! Siapa dia?”
“Wah.”
“Kau harus di sini dulu. Nanti kita bertemu lagi.”
“.... mereka hidup dengan baik di sana?”
“Tentu!”
“Karena sudah selesai di sini?”
“Benar.”
“... cantiknya.”
“Nah! Hiduplah dengan baik juga, kalau sudah nanti aku akan datang lagi. Akan aku bawakan orang-orang yang paling kau sayang juga.”
“Boleh minta dibawakan siapa saja memang?”
“Siapapun yang kau mau.”
“Sekarang, boleh?”
“Aduh! Ya tidak bolehlah. Kau kan kritis, bukan mati. Katanya mau hidup?”
“—yah.”
“Selamat tidur ya. Dah!”
Hidup dengan baik. Hidup dengan baik. Hidup dengan baik.
 Jangan sekarang. Jangan.
4 notes · View notes
herewearebells · 3 years
Text
Like Dancing in the Haze
Pulang ke rumah, setelah dari Maret kerjaannya bolak-balik stasiun atau bandara buat bisa tidur di kamar 3.5 x 4 m2, ternyata menyenangkan juga. Dari yang awalnya setiap pulang bawa koper warna tosca, jadi bawa satu travel bag, sampai hanya bawa tas laptop pernah dilakoni. Setelah tujuh bulan kerja, pilihan untuk rehat jadi hal epik lain yang dipilih. Ya nangis di kereta, kerja di kereta, buru-buru pesan pesawat biar bisa sampai rumah, sampai kecapekan pulang kerja lalu lelap di kursi kereta, semuanya dilahap.
Kalau kata dokterku di sesi terakhir kami: ‘Hidup itu berkali-kali, mati yang cuman sekali. Jadi kalau masih bisa melek dan nafas, tanda ada hal yang harus dihadapi.’
Iya, mati cuman sekali, setelah itu, urusan di dunia sudah nggak bisa diurus. Sedang hidup di dunia ini bisa berkali-kali—tiap bangun tidur, masih ada hari baru, masih bisa menyelesaikan yang kemarin belum selesai, masih boleh jumpa dengan orang-orang yang disayang, masih bisa mengubah pikiran sebelumnya.
Ingat betul beberapa bulan yang lalu menulis di sini soal Papah dan satu nama gadis. Waktu itu rasanya semua kejadian di akhir Januari—oh, ya, di tanggal 30 Januari pergantian hari ke 31 Januari saya mendapat pelecehan seksual dari orang yang saya pikir saya kenal baik—adalah karma dari perbuatan Papah. Memang menyalahkan itu paling bikin perasaan nggak enak keangkat, ya? Hahaha.
Belakangan, setelah selesai dengan bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, Rubina-Bethesda, saya tahu nggak ada itu yang namanya karma. Apa yang saya dapatkan kemarin, murni dilakukan oleh orang sadar yang tidak bisa menempatkan diri. Tentu saja seribu persen perbuatannya salah, nggak perlu ada embel-embel x, y, z. Lebih lagi nggak ada hubungannya juga dengan karma siapapun; entah saya di kehidupan sebelumnya, Papah saya, atau Mamah. Nggak ada.
Ada satu gereja dengan bangunan terbuka, dan sudut yang punya puluhan tempat lilin dengan ragam ukuran lilin menyala yang cantik dilihat saat petang. Dari kuliah—karena jenjang setelah sekolah menengah atas saya adalah sebuah universitas yang dibawahi oleh yayasan keagamaan katolik—saya senang ikut teman-teman saya datang ke tempat itu. Bahkan di hari-hari besar macam takut harus operasi dan lasik mata, sehari sebelumnya saya memaksa satu teman (terima kasih lho Hadi!) untuk mengantar ke sana. Pun di satu hari paling berat setelah kejadian Januari, kalau nggak salah tanggal belasan di bulan Februari lalu, saya ke sana. Setelah menaruh lilin, saya diam lama. Lalu, ambil kursi plastik dan duduk menghadap ke candi. Kepala saya menengadah. Langit cerah betul, tidak ada awan. Saya tidak menangis waktu sepasang kelopak mata saya menutup, hanya membatin pada angin sembribit sebelum adzan maghrib berkumandang, bahwa saya ingin sekali pergi yang jauh, sejauh-jauhnya, ke Singapura kalau perlu. Saya nggak mau di sini, biar tempat ini buat dia saja. Saya nggak mau harus tiba-tiba menangis karena memoar memori. Saya nggak mau harus susah bangun dari tempat tidur dan menangis seharian. Saya nggak mau teman-teman saya khawatir terus-terusan. Saya nggak mau harus tidur di dalam lemari berhari-hari karena ngeri dengar suara adzan. Dan, saya nggak mau lihat kuku-kuku saya menancap di punggung tangan dan bikin luka kecil-kecil yang perih sekali tiap kena air. Saya nggak mau merasakan perasaan ini terus-terusan. Nggak mau.
Saya mau pergi dari kota ini secepat mungkin.
Tolong, Tuhan.
Seingat saya bilang begitu. Dan mengulangnya persis mantra disetiap selesai shalat.
Ajaibnya, nggak lama saya betul-betul dapat tawaran untuk bekerja di Jakarta. Saya nggak tahu apakah karena tempa-tempat ibadah memang magis—layaknya rumah-rumah Tuhan yang lain, jadi sering disambangi malaikat—atau memang garisnya untuk bisa pindah kota dengan jalan begini. Kalau iya yang terakhir, betul-betul bikin susah saja.
Proses pindahnya betul-betul nggak wajar; nggak ada perpisahan sama teman-teman dekat, bahkan CEO kantor saya sebelumnya memberi waktu lebih cepat—kurang dari sebulan—untuk bisa resign. Semuanya serba mudah, cepat. Saya pergi ke Jakarta, mengutip kata Akib Aryo, lebih mirip orang minggat. Bawa baju cuman berapa helai, lupa bawa skincare, nggak bawa make up. Definisi minggat sungguhan.
Sejak pindah ke Jakarta, saya selalu ringan bicara bahwa saya memaafkan orang ini, melulu bilang bahwa saya sudah biasa saja. Kenyataannya kami juga sudah bisa ketemu—iya, beberapa kali bertemu—ngobrol, dan hahahihi juga. Sayangnya, setiap saya cerita progress ke dokter kejiwaan, saya tetap menangis, tuh. Padahal komat-kamit bilang sudah baikan ke semua orang terdekat, tapi melulu air matanya meluncur juga.
Betul-betul membingungkan sekali memang. Rasanya kayak kepingin menganggap yang kemarin terjadi tuh sebagai luka jatuh yang dialami anak umur lima tahun karena nggak sengaja ditubruk teman mainnya. Setelah maafan, lalu selesai, bisa berteman lagi. Betul, waktu itu saya terus berharap bisa menganggap kejadian lalu sebagai luka nggak seberapa di lutut anak kecil umur 5 tahun. Itu yang membawa saya untuk mencoba cerita memori menyenangkan yang pernah saya lakukan dengan orang ini (iya, sosok yang melakukan pelecehan seksual ini), di depan tiga teman saya di salah satu tempat makan di Bali. Setiap kata yang keluar selalu dibarengi dengan tawa tipis. Teman saya dan kekasihnya tertawa. Tapi rasanya aneh. Karena ini bukan cerita kebodohan Bella Antika yang ditimpali Gilang Chandra dan bisa ditertwakan, atau kejadian sial yang konyol. Setiap saya cerita satu kalimat hati saya selalu mencelos, persis mesiu murahan yang dimainkan segerombolan anak laki-laki sebelum shalat tarawih di bulan puasa, ngilu. Satu teman saya—yang juga adalah teman dari orang-yang-saya-kira-kenal-baik—angkat bicara. Dia bersuara dengan lugas bahwa itu bukan hal yang lucu, sahabatnya terluka betul waktu itu, lalu dia izin ke kamar mandi.
Semua orang di meja bergeming.
Setelah malam itu, saya masih harus menghadapi amarah orang itu lewat pesan yang dikirimkan ke sahabat saya. Padahal terakhir sebelum berangkat ke Bali saya bilang orang itu untuk sudah saja jangan lari-larian lagi di hidup satu sama lain biar nggak perlu lagi ada salah paham. Sepagian setelah baca pesan sahabat saya, sarapan lezat saya di Monsieur Spoon rasanya berubah jadi sekepal pasir yang terpaksa dilumat. Sejak saat itu saya tahu bahwa obat-obat yang tersusun dengan rapi di kotak persegi putih-merah muda dan harus diminum tiap sebelum tidur, atau ketika badan bergetar hebat itu, bukan rangkuman dari kata ‘aku udah biasa saja’. Betul yang dibilangnya, bisa berteman lagi buat kami berdua adalah hal utopis.
Sejak pulang dari Bali, saya jadi jauh lebih was-was. Nggak lama, saya pergi ke Bandung untuk bekerja, lalu sepulangnya ke Jakarta, saya mendapati orang ini di Jakarta. Hari itu yang terlintas di kepala saya cuman mau pulang ke rumah.
Beberapa kali saya bilang ke diri sendiri, apa saya pindah ke kota lain saja, ya? Biar Jakarta buat dia saja.
Marsya, teman di kantor sebelumnya dan juga pemilik rumah yang saya tinggali selama merantau, sempat bilang bahwa semakin saya bisa cerita ke orang tentang hal yang selalu bikin badan bergetar dan jantung ngilu, adalah pertanda baik. Saya nggak tahu persis rasanya, waktu itu saya cuman bilang ‘iya’ dan ketawa seadanya.
Sekarang saya paham kalimat milik Marsya. Ibu saya adalah satu dari dua orang yang akan menyahut cerita dengan cepat, dan memberi suara ‘Hmmm,’ untuk berpikir atas cerita yang didengarnya. Dua orangtua saya adalah orang yang saya contoh karena selalu mendengarkan, dan memberi respons ketika lawan bicaranya butuh diberi masukan. Karena itu dari kecil, kehidupan kucing-kucingan dengan ibu adalah hal paling melelahkan. Perkaranya pasti tertangkap basah dan malah jadi kena ceramah semacam: ‘Kenapa harus ditutupi? Kenapa harus bohong? Kan nggak dimarahin juga kalau jujur.’ Dan, memang benar. Sudah berapa kali coba saya jatuhin motor, atau menyembunyikan coretan di dinding kamar dengan dilapis kertas kado bergambar karakter Disney favorit saya? Padahal di baliknya penuh dengan kerak lilin mengeras bertuliskan sumpah serapah. Ibu saya adalah orang yang paling irit soal marah—kalau ngomel, keduanya jago—karena tumbuh dari dua orang manusia yang selalu merespon sesuatu dengan mendengarkan lebih dahulu, berbohong atas hal besar sama saja dengan main Benteng Takeshi tanpa persiapan, alias melelahkan sekali dan pasti kalah. Saya pikir seumur hidup saya akan bungkam soal kejadian pelecehan seksual ini dari Mamah dan dua adik saya—apalagi dua adik saya ini kan berkromosom XY juga, saya takut banget mereka akan balas menimpali dengan: ‘Hadeh cuman digrepe ini.’—yang mana ternyata nggak.
Ibu saya adalah orang paling ramah, rasional, dan tegas atas pilihan-pilihannya. Dia juga nggak suka membagikan perasaan emosional di depan orang lain. Apa ya..., kalau kata orang sekarang, dia itu introvert. Beda betul sama Papah yang extrovert kepolen. Salah satu alasan paling besar saya takut buat cerita ke Mamah karena trauma yang bisa saja turut menghantui. Makanya saya banyak diam kalau sewaktu-waktu dia nanya kenapa saya nggak pernah main lagi sama orang itu, atau kalau ditanya lagi berantem etc, dsb, dkk, dll.
Setiap dia tanya-tanya, rasanya saya mau teriak kalau saya hampir gila karena orang itu, atau pingin banting pintu saja. Tapi nggak, saya nggak pernah melakukannya. Sampai satu hari adik saya yang tengah kena covid-19, dan semua orang harus isolasi. Buat Mamah yang pemula perkara isolasi, jadi hal yang berat. Belum lagi kami pisah kamar, pergerakan obrolannya hanya lewat chat saja. Setelah isolasi selesai, saya tahu kalau ibu saya yang ramah ini berinteraksi dengan orang itu.
Ya saya biasa aja, memangnya saya bisa apa?
Lalu, tiba-tiba saya diberitahu ada rumor nggak enak soal nama saya, dan lalalalili cepat sekali, kemudian ibu saya bilang kalau orang ini akan ke rumah buat bantu-bantu foto barang-barang antik di rumah. Wah, rasanya saya mau meledak.
Untungnya nggak.
Kemudian kami ketemu dan ngobrol seperlunya, lalu ada hari dimana kami ketemu lagi karena alasan apalah inilah itulah, dan setiap bertemu hening jadi karib saya kalau sudah harus berhadapan dengan orang ini. Ada satu momen dimana mulut saya terus mengoceh perkara kenapa kami harus ketemu lagi ini alasannya hanya ada dua: pertama perkara temannya, kedua karena ibu saya yang clueless soal kondisi saya dan menganggap dia sebagai bagian dari teman saya. 
Ternyata betul, sebutan ‘teman’ dalam kasus ini memang tidak bisa disandingkan lagi. Kelewat kacau. Memang baiknya sudah dikubur saja. 
Begitu saja, setelahnya semua kejadian di bulan Januari dicertakan dengan santai ke satu-satunya ibu dalam hidup saya, yang dibalas dengan dahi mengernyit—karena ceritanya nggak pakai nama orang itu—lalu, ibu saja menebak dengan benar, dan suara jarum jam yang bernyawa di ruang tidurnya jadi latar belakang cerita. Berulang ibu saya tanya saya masih marah nggak. Jujur, ketika menulis semua ini, sama seperti saya cerita ke Mamah, nggak ada perasaan marah. Wong sudah selesai.
Padahal dulu saya takut sekali. Takut kalau saya nggak punya value di mata orang. Takut kalau orang akan bicara ini dan itu. Rasanya ingin hilang saja. Kepala saya rasanya perlu dibenturkan ke dinding tiap adzan berkumandang, dan kuku-kuku akan menancap ke punggung tangan setiap isi kepala penuh dengan bayangan-bayangan lalu. Kemudian, semuanya jadi potongan-potongan memori di dalam kepala. Sudah selesai. 
Seminggu setelahnya, tiap hari saya dengar ibu saya bilang kepalanya sakit. Vertigo, katanya. Berulang bilang begitu terus. Sampai dokter keluarga kami, yang rangkap sahabat bapak-ibu saya, bilang kalau baiknya ibu saya disuruh berhenti minum obat dulu. Vertigo lebih dari seminggu kemungkinannya bukan vertigo, bisa jadi pikiran atau hal lain.
Selang beberapa hari, wanita yang punya bentuk wajah oriental itu mengajak saya tidur di kamarnya. Malam itu saya yakin betul bahwa vertigo atau apalah itu penyakit yang bikin kepalanya sakit, sudah hilang. Sembuh total. Usil saya tanya apa obat mujarabnya bisa sembuh cepat begitu, dijawabnya dengan senyum lebar sambil membentangkan selimut dijawab: “Sudah aku chat orangnya. Sudah lega aku.”
Waktu itu, saya syok berat. Maksud dan tujuan ke wanita satu itu murni agar ibu saya paham memposisikan diri bahwa perkara saya dengan orang itu sudah bukan ribut macam ke Gilang Chandra, atau Airlangga. Kompleks dan rumit betul. Tapi, ya sudah. Reaksi ibu saya bukan hal yang bisa saya kendalikan juga, jadi saya iya iya saja waktu dia menimpali bilang mau ngomel dan uring-uringan soal kejadian itu entah sampai kapan. Wajar. Saya paham bagaimana reaksi Putri setelah saya selesai telepon. Sekarang ibu saya sudah tidak membicarakan soal kejadian itu, atau orang itu lagi. Dia sudah sibuk lagi dengan rancangan rumah entah yang akan dibangunnya kapan.
Kalau Bella Antika bulan Maret bisa bilang nggak papa, dan sudah baikan tapi masih pakai acara menangis, Bella Antika bulan September akan bilang bahwa mengingat memoar memori perkara itu selalu bikin nggak enak, tapi sudah nggak ada jantung berdebar, atau badan bergetar karena takut dan khawatir. Sesekali mimpi dan kembali merasakan jadi gadis yang terkapar dengan kepala sakit karena alkohol, terbaring di ruangan gelap, dengan perasaan kaget karena merasakan sesuatu di bagian dalam belakang celananya—sesuatu sedang menyentuh pantat—lalu bangun dan nafas rasanya memburu. Nggak enak sama sekali. Bedanya, sekarang sudah bisa menghadapi. Sampai besok-besok, memori ini nggak akan pernah hilang, tapi paling tidak, Bella Antika yang sekarang tahu bahwa semua yang muncul di mimpi, sudah selesai.
Saya bisa hidup lagi dengan baik; bisa merasakan makanan, nggak punya ketakutan tiap ketemu teman-teman lawan jenis saya, dan kuku-kuku saya bisa sedikit lebih panjang. Tentunya, tidak lagi harus tidur di dalam lemari dan menutup telinga karena suara adzan. Setelah menengok lagi ke belakang, ada banyak sekali hal yang sudah saya lalui dengan dibantu orang-orang terdekat, dan terapi yang memakan waktu panjang.
Sekarang saya mengubah pikiran saya: bahwa saya dan orang ini, tidak perlu menjadi apapun; teman, kolega, kenalan. Saya sudah tidak marah, tidak juga takut kayak kemarin di Jakarta semisal di masa depan harus berpapasan—saya harap tidak akan pernah terjadi. Membangun batasan yang jelas adalah satu cara paling baik untuk menyayangi diri saya sendiri yang sudah melalui banyak hal gila dari awal tahun 2021. Pun, kalau nanti saya tidak sengaja harus satu kota, saya nggak perlu merasa khawatir.
Kalau kata Airlangga: “Itu bukan aib, jadi buat apa malu?”
Betul, itu bukan aib. Saya akan cerita ke orang-orang terdekat saya, ke remaja-remaja tanggung, dan siapapun yang perlu mendengar ini, supaya nggak perlu ada yang masuk ke kabut pekat itu.
Rasanya lega sekali, seperti berhasil keluar dari kabut petang. Sekarang, kalau saya harus cerita soal rasanya berlari dari kabut petang itu, saya akan menceritakannya seolah menari di dalam kabut dan keluar dengan confetti di akhir pertunjukan, karena semua yang ada di atas, sudah bukan apa-apa buat saya. Saya sudah selesai dengan semua itu. Saya berhasil hidup lagi, dan bisa bertemu dengan semua orang yang saya sayang tanpa memandang diri saya kerdil karena kejadian itu.
Saya sudah selesai.
1 note · View note
herewearebells · 3 years
Text
Surat: Selamat Ulang Tahun
Yogyakarta, 12 Februari, 2021
11:52 PM
Mr. Know It All
Hari ini tanggal 12 Februari, dan perayaan imlek. Tahun sebelum Papa pergi, tahun baru model begini jatuh di ulang tahunku (...kayaknya, waktu aku SMP), lalu sekarang di ulang tahun Papa. Selamat ulang tahun! Kalau Papa berhasil melawan kanker dan komplikasi penyakit, tahun ini Papa resmi 61 tahun! Mungkin, tahun 2020 lalu bakal tegang, karena Papa harus berjuang lebih banyak. Ingat waktu aku bilang sedang kerja untuk---sebut saja---BEKRAF Lithuania? Para bos-bosku itu sudah kasih kabar bahwa kemungkinan besar dunia akan block Indonesia karena ancaman wabah besar---yang katanya---berawal dari Cina. Satu spesies dengan SARS, karena---ya, ini keluarga corona juga. Namanya, Covid-19. 
Semua orang berupaya agar bisa jaga kesehatan, kebersihan.
Awal-awal, aku parno sendiri, sedang Mama, dan Landa, jauh lebih santai. Sebal bukan main. Mungkin, kalau ada Papa, kita team up; kayak biasanya. 
Papa inget kita pernah pulang dari Superindo yang jadi satu sama bangunan BCA di Jl. Solo kelewat malam, terus makan sate kambing di Lapangan Karang sambil dengar musik? Waktu itu, Papa bilang bahwa punya anak gadis---karena aku satu-satunya anak gadis yang sama Papa terus menerus---rasanya senang, dan takut. Aku hampir tujuh belas tahun waktu itu, dan Mama pergi naik haji, sendiri. Jadi, kita berdua benar-benar harus kerjasama; kadang, Papa jalan ke depan buat antar laundry orang serumah, atau bikin telur mata sapi setengah matang keasinan. Belum lagi aku kecelakaan, padahal Papa baru keluar sama teman-temannya yang banyak itu. Waktu datang ke RS PKU di Kota Gede, aku kaget sendiri; ada Cherokee merah, dan jeep, juga beberapa mobil lain. 
Daripada dijemput ayah, ini lebih mirip scene gangster datang ke Rumah Sakit kecil; Om Om brewok semua isinya.
Kita; karena ada Pak Han, dan beberapa teman Papa---entah lima, atau enam orang---pindah dari PKU Muhammadiyah, ke RS Hidayatullah. Lalu, Papa telfon di luar lama, sedang Pak Han---yang aku baru tahu sekarang kalau notaris, dan bukannya pengacara---tanya-tanya aku mau makan apa. Seingatku, ngga ada satupun yang tanya kakiku bagaimana, atau kepalaku pusing. Semuanya tanya aku mau makan apa. Ngga berapa lama, dokter Kelik datang, lalu aku pindah, untuk kedua kalinya, ke Bethesda. Baru aku tahu ternyata perkara pindah-pindah rumah sakit ini karena seorang ‘Den Didiet insecure dengan rumah sakit warna hijau. Belum lagi support group yang selalu sama tunggal putra Muryatmo ada di sekelilingnya. Tambah menjadi-jadilah.
Tambahan-tambahan scene Pak Han minta aku dirawat aja full mondok di Bethesda, dan suara-suara dokter Kelik bilang bahwa rawat jalan bakalan lebih baik, lalu RM Didiet Murpriyanto hela nafas dan keluar dari ruangan. Sedang aku kepingin tidur. tapi malah dengar orang-orang debat.
Akhirnya diputuskan bahwa aku dirawat di rumah, dan kita mendadak punya tiga ART; kiriman teman-teman Papa.
Tiga hari pertama aku tidur di kamar, lalu setelah satu hari Mama telfon subuh-subuh, aku pindah ke kamar Papa. Lalu, nangis sesenggukan; ngga inget karena kakiku linu, atau rindu suara Mama. Semalaman Papa usap-usap kepalaku.
Aku benci diperlakukan kaya anak lima tahun yang harus tidur siang. Tapi, waktu dipeluk satu-satunya manusia yang badannya besar di hidupku, aku tahu kalau aku lebih benci jadi anak umur tujuh tahun yang lihat ayahnya dalam keadaan mabuk, berlinang air mata, habis bertengkar hebat dan dilihat ketiga anaknya, dan dua ARTnya. Aku lebih benci jadi anak umur tujuh tahun itu, Pa.
Setiap ulang tahun, aku suka kulkas rumah penuh kue ulang tahun. Minggu pertama isinya punyaku, lalu minggu depannya punya Papa, dan di akhir Februari ada nama ‘Mira’. Rasanya, sampai Maret kita bisa makan kue ulang tahun beda-beda rasa. Sekarang, kue ulang tahun ngga bertahan begitu lama, soalnya bisa langsung dopotong dan dikasih ke penghuni kos. Iya, dari 2013 setelah Papa di Karanganyar, rumah dialihfungsikan juga jadi kos lagi. Antik sepi, walaupun kadang-kadang Babah belanja, atau Ahmad Dhani datang ke rumah, juga buyer-buyer lain, tapi kan ngga seaktif dulu. Aku suka membatin, Papa ini hidupnya banyak beruntung; apa yang dimau, bisa didapat. Pun, punya istri juga Mamaku; yang ulet, dan tangannya dingin.
Bulan depan, Bella pindah rumah, lho. 
Sayangnya, belum ke Jakarta, tapi ke daerah di Jalan Kaliurang sana. Kalau Papa ada, orang pertama yang akan mengerutkan dahi, sambil protes adalah ayahku sendiri. Lalu, rentetan alasan agar bisa ikut ke rumah baru, atau Bella Antika tetap di Dirgantara, akan disuarakan. Biasanya, Mama akan memutar mata, lalu bilang; ‘Papanya Bella mana bisa ditinggal anak wedhoknya.’ 
Dulu, aku suka merasa kalau sayangnya ayahku itu kelewat besar, walaupun suka kesulitan datang di acara-acara besar hidupku; ambil rapor, dan antar-jemput seumur-umur cuman 20x, belum lagi waktu aku karate menang, Papa malah lupa jamnya. Jadi, waktu datang ke GOR, lebih tepat disebut sebagai jemput anak pulang kejuaraan, ketimbang mau lihat putrinya tanding. Karena ini Papa, jadi aku akan dengar suara minta maaf rendah, dan tangan terulur mengusap kepalaku yang basah keringat. Ada juga momen waktu aku sakit demam tinggi waktu kemah kelas 1 SMP, lalu Papa datang sama Yu---sebutan mba ART yang paling aku sayang, mengingat waktu itu masih ada 3 ART---lalu, minta aku dibawa pulang sekarang. Padahal, aku sakit karena lupa makan siang dan malam, gara-gara sibuk bikin tugas kelompok buat dilombakan. Atau, Papa yang wajahnya pucat pasi habis lihat Bella Antika umur lima tahun jalan tertatih-tatih dari bangunan depan; kaki kananku berdarah ngga berhenti, dihias pecahan bohlam silinder yang menancap. Wajah pucat dan tangis tertahan itu muncul lagi waktu pulang sekolah aku bukan dijemput sopir rumah, tapi malah sekretaris Papa yang muncul pakai sepeda. Di tengah jalan, kakiku kesenggol motor, persis di depan Atma Jaya Kampus 3, lalu kaki sebelah kiriku masuk ruji sepeda.
Semua operasi yang muncul di hidupku, selalu ketinggalan dihadiri ayahku; waktu aku lahir, waktu kakiku dihisai bohlam lampu, dan harus operasi karena masuk ruji sepeda.
Aku suka bilang ‘Ngga apa-apa, kok’ karena kalau bilang sakit, ayahku pasti hela nafas panjang, dan mendadak jadi memenuhi ranjang tidurku. Kulit kuning langsat itu akan merah, dan tangan besar itu akan memegang jemari-jemariku, sambil bertasbih ‘maaf’ pelan, sampai tertidur.
 Sempat dokter salah diagnosis. Katanya, kaki kiriku yang dijahit tiga belas ini kemungkinan memakan proses sembuh lama. Aku mungkin baru bisa jalan dan bisa lari dengan benar paling cepat setahun. Papaku bodo amat---walaupun marah-marah dan memaki---lalu, seperti biasa, telfon dokter Kelik dan minta rujukan ke Jakarta, atau operasi ulang---orang gila memang---di Singapura aja. Aku mana tahu soal perkara itu. Aku cuman tahu tiga bulan pertama, aku belajar merangkak lagi, karena kaki kiriku rasanya persis agar-agar tiap dipakai melangkah; aku pasti jatuh. Lalu, bulan kelima aku sudah bisa jalan lagi karena tiap sore dokter Kelik datang; seingatku juga bukan melatih jalan. Tapi tiap dokter yang juga sahabat ayahku itu datang, aku jadi harus susah payah gerak dan turun dari kasur angin---yang sekarang aku pakai. Ayahku shock, lagi, sedang Ibuku bersorak dan melempar tos kencang. Aku senang, Papaku menangis; padahal aku ngga lihat Papaku menangis waktu Ayah-Ibunya meninggal. Tapi, dia selalu nangis, nangis, nangis, tiap Bella Antika operasi. Manis sekali.
Makanya, waktu dengar aku akan ditransfer ke tempat Budhe Titiek jaman SMA, hatiku rasanya persis cermin dibanting ke lantai. Ayahku itu mana mungkin mengirim aku jauh-jauh, aku pulang jalan kaki dari Kota Baru sampai rumah saja, dia pernah membuntuti pakai mobil. Kalau bukan kepalanya terbentur sesuatu, dan berupaya menutupi sesuatu, pasti ngga akan kepikiran. Setelah diingat, hubungan kita naik-turun sejak aku SMP sampai SMA, ya? Dan, bertengkar paling hebat waktu Papa seenaknya datang ke BK buat minta berkas-berkas sekolahku ditarik. Hari itu, aku benci bukan main karena ayahku egois; adik-adikku boleh tinggal bareng ibuku, tapi aku harus selalu ada di sisi ayahku. Hari itu, aku benar-benar capek, dan nangis di depan kelas, lalu dipeluk Pipip. Satu-satunya orang yang tahu aku bakal pindah cuman Pipip.
Aku bersyukur karena semuanya gagal; jadi aku bisa terus ada di samping Papa, lihat Barcelona menang lagi---terakhir kita sorak-sorai bareng waktu 2010 nonton FIFA 2010 dan Spanyol menang!---tanggal 2 Juni 2013. Setelah itu, Papa tidur sambil megang erat tangan Landa sambil tersenyum.
Aku punya dua luka yang akan selalu bikin aku senyum, dan meringis; di kaki kiriku, karena ruji sepeda, dan bagian dekat pusar segaris; sobek entah karena kedorong mundur lalu membentur pinggir mesin cuci, atau apa. Aku pikir, aku akan menangis waktu menulis ini, ternyata tangisku malah mengucur di paragraf keempat atau kelima.
Ada banyak kejadian sih, Pa. Kalau Papa ada, kayanya roof top Ambarukmo, pop corn Empire, dan Starbucks yang menurut Papa rasanya meh---ya, soalnya Bapak rajinnya ke Excelso---juga, J.co, ngga akan jadi perhatian Papa. Taruhan. Ceritaku bakal lebih menarik; entah aku putus lagi sama Elrepyan. Oh, itu anak laki-laki yang pernah Papa tanya sambil lalu waktu aku pacaran awal-awal di mimpi. Seingatku, Papa bilang kalau Bella boleh ajak Elrepyan makan bareng Papa. Ingat betul kemeja sutera ungu gelap, dan topi kabaret hitam, jadi visual paling jelas dari Papa. Iya, putus. Waktu itu masalahnya karena obrolan kami mentok. Lagi, lagi. Tapi, selang beberapa bulan (...Januari 2021, tepatnya) ternyata ya ngga. Sebenarnya masih bisa dibenahi, tapi memang baiknya kami sendiri-sendiri. Elrepyan punya hal yang harus diurus. Walaupun, ya, kami tetap baik. Papa tahu kan kalau kita bicara soal Mama? Nah, iya, jadi kami benar-benar baik meski putus; Mama dan ibunya Elrepyan tetap berhubungan baik, pun kami serumah ke keluarga Elrepyan. Adiknya El pintar, dan menyenangkan. Kalau Papa masih ada, pasti ikut ketawa-ketawa.
Selain ribut perkara diminta nikah---waktu itu, permintaan ibunya El demikian, dan itu masalah yang kami berdua lihat---Bella sempat dapat drunk chat dari satu kakak tingkat di kuliah. Kalau Papa masih ada, taruhan satu juta, Papa pasti mendengus tertawa; karena  manusia ini jebolan dari sekolah yang sama dengan Pak Han, Pak Roni, dan teman-teman dekat Papa itu. Belum lagi, dia juga punya teman-teman yang aku yakin dua puluh tahun dari sekarang kelakuannya ngga berbeda jauh dengan geng Papa.
Seingatku, manusia ini baru muncul di kehidupanku secara signifikan di semester tiga, empat, atau lima, ya? Pokoknya, waktu itu mata kuliah Komunikasi Internasional, apa ya? Dosenku mba mba muda yang punya suami, dan satu putri super cerdas. Namanya Mba Hayu. Waktu itu Mba Hayu menunjukan ke kami---seantero kelas---perkara satu senior kami yang izin karena ban motornya sobek di perjalanan menuju ke Kampus. Aku kira, ini cuman akal-akal kakak tingkat yang mengulang kelas, biar ‘nyawa’ kelasnya yang cuman tiga, masih bisa dipakai. Ternyata, memang betulan. Setahuku minggu depannya, Mba Hayu bahas lagi perkara ini di kelas, dan Seniorku yang minggu lalu izin karena bannya sobek itu menjawab dengan serius. Duduknya selalu di belakang, atau, ya, baris nomor dua dari belakang. 
Dari situ, aku tahu bahwa ada makhluk satu ini. Setelahnya, aku sadar kalau dia muncul lagi karena ngga berapa lama Mba Hayu memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri karena mau menyusul suaminya yang kuliah di Eropa. Hari itu, aku lihat manusia satu itu berlari turun dari lobi Tata Usaha, ke parkiran mobil. Menyapa kasual dosen yang aku idam-idamkan bakal jadi dosen pembimbing skripsiku.
Tapi, kami ngga pernah ngobrol. Cuman tahu satu sama lain aja---sepenangkapanku sih begitu, ya. Lalu, aku salah ambil mata kuliah anak iklan---kalau Papa lupa, aku ambil mayor public relations---dan kajian media. Semiotika Iklan, namanya. Pengajarnya horor, dan dikenal pelit nilai. Waktu Beliau masuk kelas dan memperkenalkan diri, rasanya aku cuman mau ‘huweeeeee’. Jangankan aku, teman-teman iklanku, bahkan pengajarku yang horor ini aja sempat ketawa dan bertanya-tanya ‘Ngapain anak PR masuk ke kelas iklan, kamed?’
Tapi, kalau bukan karena kelas satu itu, Bella ngga bakalan dapat panggilan ‘kardus’---kerudung dusta---asal sebut dari Haryo, yang diikuti Senior---Ban---Bocor. Padahal, kalau dipikir di kelas ada tiga manusia pakai jilbab, tapi yang berulang disebut kardus cuman aku. Wah, memang sialan. Belum lagi waktu selesai kelas, aku pergi ke mall depan---iya, sekarang Sahid punya mall namanya J-Walk. Sejujurnya, ini lebih cocok jadi kampus 5 universitasku. Soalnya, mata kuliah Kewirausahaan anak manajemen aja praktiknya dilakuin di J-Walk---jajan es krim sebelum latihan marching bareng Hubertus, di depan mall ada segerombolan senior-seniorku. Hubertus bilang ngga usah disapa, soalnya mereka semua kelihatan teler.
Tahu-tahu, aku diteriaki kardus.
Lalu, ada suarah riuh-rendah tawa. 
Aku ingat betul dahiku penuh kernyit, dan jengkel minta ampun. Tanpa pikir panjang, aku cari sumber suara---yang adalah manusia yang memanggilku ‘kardus’---dan bicara pakai nada kalau aku protes ke Papa; rendah, tapi tajam. Hubertus diam, manusia di sekitar seniorku ini juga hening sepersekian detik, lalu canggung.
Bodo amatlah. 
Setelah kejadian itu, aku ngga begitu peduli lagi sama manusia ini. Dia juga ngga inget bagian itu. Menyebalkan. Kami baru ngobrol lagi setelah aku pulang dari KKL, dan dirawat di Bethesda karena usus buntu. 2016. Kemudian, interaksi lagi di tahun 2017, itu juga bisa dihitung jari. Paling intens karena kejadian banjir di kawasan Yogyakarta bagian Selatan. Setelahnya, di tahun 2018 kami ngobrol sedikit lebih banyak karena sama-sama ambil skripsi. Baru benar-benar kerja bareng di tahun 2019 pertengahan setelah selesai dari kantor lama. Itu juga untuk beberapa project, sisanya paling buat ketemu ngobrol ini-itu, kayak kalau ketemu Adek---Wisnua Agastya---tapi, ternyata, buat manusia ini, ngga demikian.
Jadi, setelah Desember 2019 aku bilang terima kasih panjang lebar, di tahun 2020 Juli atau September, aku dapat drunk chat di direct message Instagram. Rasanya, aku jadi ikut sedih, padahal ‘pelaku’-nya aku---meski, ngga bisa dibilang demikian juga karena aku ngga melakukan apapun. Sumpah, Pa. Dari drunk call itu aku jadi melakukan hal-hal biasa; kayak kalau Papa mabuk berat, Landa mabuk berat, Richaz pusing hebat karena mabuk, atau teman-temanku yang lain, dengan tanya apa orang ini udah makan atau belum. Karena, seingatku hal kaya gini yang dilakuin Mama kalau Papa tepar berat dan kepalanya ditaruh di meja kantor, dengan tangan meluk diri sendiri. Ada tiga jam aku mendengar manusia ini bicara ngalur-ngidul; dari perasaan sedih, menyebut bahwa berbulan-bulan menelan perasaan demikian, amarah meletup-letup, lalu berubah jadi suara memelas. Sedang di satu sisi, aku sibuk pesan baso, dan kirim ke tempatnya mabuk.
Tsk.
Karena ini aku, maka aku bilang apa dia mau diajak ketemu buat bicara? Biar lega; mengingat sebelum-sebelumnya dia menyampaikan hal serupa via chat. 
Sorenya---karena dengar orang drunk call tiga jam itu dari jam 1 sampai 3 pagi, kayanya---kami ketemu, dan ngobrol. Aku bersyukur karena aku disayang manusia sebesar itu, dan berterima kasih, kayak apa yang selalu diajarkan ibuku. Aku pikir, hubungan kami sudah baik sejak saat itu---dan memang demikian---meski, kemudian ngga sebaik itu. Lalu, hari-hari berikutnya hubunganku hening panjang, tambah parah waktu Bella Antika sakit demam hampir 40′ derajat celcius, dan ucapan cepat sembuh canggung melayang dari Elrepyan. Setelah itu, seminggu, atau dua minggu kemudian, waktu hari Sabtu, ponselku diisi suara berat sulung Jatikalimasada. Mimpi buruk, sebenarnya, karena Dio---nama kecil Elrepyan---memutuskan untuk menyudahi hubungan. Rasanya, bercanda. Masa setiap tahun putus? Katanya, kalau hubungan kami cuman memberatkan, baiknya disudahi; jadi Bella Antika bisa fokus dengan dirinya sendiri, dan demikian juga Jatikalimasada satu itu. 
Aku kira hubungan ini akan membaik. Ternyata, satu demi satu terjadi juga; foto berdua kami hilang dari galeri Instagram Elrepyan. Berupaya betul sulung Murpriyanto ini untuk biasa saja; target kerjaannya dikejar, pulang malam, senang-senang, dan mencoba untuk baik-baik saja. Berikut, aku masih punya teman-temanku komplit; Renaldi masih mengerjakan skripsi di satu kota yang sama denganku, dan aku punya undangan untuk datang main ke rumah Anton, nama seniorku yang sedaritadi kita bicarakan. Jadi, tanpa pikir panjang aku angkut saja Praninta, dan mendesak Renaldi ikut. Sampai sana, kami main di sungai, lalu makan-makan di pondok punya seniorku ini; Summer House, sebutnya.
Lokasi Summer House dekat rumah Yve yang baru. Papa pasti menikmati kalau bisa ikut ke sini. Sampai di Summer House, matahari sudah hilang ditelan langit gelap. Aku mabuk berat, jadi yang aku ingat cuman muntah-muntah di closet, dan wastafel. Sadar betul waktu mobil melaju membelah Ring Road daerah UPN. Sampai rumah tengah malam, dan Praninta memutuskan tidur rumah. Untuk. Pertama. Kali.
Ingat waktu aku tetap baik-baik saja walaupun meneguk satu botol red wine, dan satu botol white wine? Tapi, aku bisa mabuk berat waktu Papa minum-minum bareng Pakdhe Bambang? Berakhir cranky, dan besok paginya Papa bilang---karena Mama marah berat lihat putrinya muntah-muntah di pagi hari---kalau sulungnya ngga boleh minum selain wine daripada bikin repot satu Indonesia Raya? Lepas Papa pergi, tiap Bella minum yang bukan wine, atau malah campuran; vodka, whisky, soju, atau apalah itu, pasti ada-ada saja; marah-marah ke orang lewat telfon sambil mengingat dosanya, kalem dan tenang persis biksu-biksu di Wihara, atau, nempel-nempel; yang satu ini Papa suka, soalnya Bella Antika jadi kaya anak usia lima tahun, katanya.
Tapi, yang demikian ternyata bahaya. Aku berulang diingatkan Swastati---gadis manis yang sempat dekat dengan Gilang. Gil. Papa masih ingat Gil yang Bella kenalin di Resto Ko Ivan?---buat minum sama teman-teman yang dipercaya. Aku juga selalu melakukan hal yang demikian, makanya ngga pernah sekalipun waktu kuliah minum-minum karena tahu diri. Belakangan, aku jadi kacau minta ampun. Setelah kejadian di Summer House, dan Landa beberapa kali bawa minuman, kadang aku telepon teman-teman terdekatku, atau nempel-nempel Bu Mira. Ngga jarang, bikin Anton turut kenapa-napa karena Bella bisa aja telepon tiba-tiba dan meracau entah apa.
Setelah putus, rasanya hidup jadi diisi orang-orang baru; Bella punya kesempatan buat kenal Anton, dan juga teman-temannya. Beberapa kali di satu, dua momen, aku ketawa dan merasa hangat. Yang demikian dulu suka terjadi waktu lihat Papa kumpul bareng Wolter, Franco, atau teman-teman JB-nya Papa. Aku juga jadi kenal lagi satu anak teman Papa, Om Agung, gara-gara bos di kantor ngide buat kenal-kenalin manusia di hidupnya. Ngga cuman itu, Bella juga jadi punya kesempatan kenal sama manusia-manusia baru di ranah film. Seru! 
Ada momen-momen yang aku bisa terhenyak lama karena... Ya ampun, manusia bisa begini, ya? Papa ingat dulu Bella suka kasih hadiah Mama kalau hari ibu dan ulang tahun? Sedang buat Papa, biasanya Bella peluk-peluk aja. Lalu, di satu waktu Papa kelihatan sedih---yang betul-betul sedih---karena merasa ngga punya Bella Antika. Ternyata, perkaranya kado hadiah ulang tahun; katanya, ngga dapat hadiah dari putrinya sama dengan mimpi buruk. Jadi, sejak umur enam tahun, aku akan giat mengumpulkan uang jajan---yang ternyata di tahun segitu banyak juga---buat beli hadiah di bulan Februari dua buah. Biasanya, hadiah Papa akan diganti (...aneh betul memang ayahku ini) karena yang dicari ternyata bukan barang dan nominalnya, tapi suratku. Belakangan setelah Papa pergi, aku sadar bahwa aku ini anaknya Papaku; karena semua surat-surat orang yang paling kita sayang, pasti disimpan di satu wadah. 
Anton memperlakukan surat-suratku--sebenarnya notes--persis Papa memperlakukan surat-suratku. Kalau boleh jujur, dibeberapa bagian, aku menyadari bahwa aku senang punya orang ini. Tapi, rasa sayangku---setelah terus ditelisik---bukan hal yang berbau romansa. Tetap, aku senang, dan sayang dengan manusia ini. 
Sejujurnya, dia orang yang baik, dan apa adanya, juga tulus. Ya, beberapa orang bilang ini dan itu, tapi, karena aku lihat dan tahu kelakuannya kalau bertemu, aku tetap yakin bahwa orang ini baik. Kadang memang kelakuannya kaya Landa waktu mempertanyakan kenapa dunia begini, begitu, jaman TK nol kecil dan ngga mau sekolah. Sebenarnya, cuman butuh diberi pengertian, lalu sudah. Intinya, dia baik. Bahkan sampai akhir kami bertemu, aku tahu orang ini---jauh di dalam---adalah orang baik yang aku lihat di hari-hari lalu.
Senang awalnya punya berbagai orang-orang baru, dan sadar bahwa aku disayang. Lama-lama, rasanya berat, dan capek. Kayak lari dari perasaan patah hati dan sedih yang ditunda. Lalu, ya, persis surat sebelum ini yang bukan ditujukan buat Papa, sulungnya Papa ini kaya butuh waktu buat nafas; karena ternyata melibatkan manusia-manusia baru di hidupku adalah hal yang ngga bisa aku terima. Aku malah semakin kenapa-napa, dan merasa bersalah. Perasaan sedih jadi ngga terelakan. Segala hal aku upayakan; memberi pengertian, mengajak bicara, sampai kadang aku merasa lelah bukan main dengan Bella Antika. Meski, bangga juga karena gadis satu ini bisa lebih mendengar hatinya; ngga mencari ‘shelter’, menyelesaikan sendiri.
Belakangan, banyak hal terjadi; ada Bella Antika yang bangun dari kasurnya ngga bisa, tidur di dalam lemari, sesenggukan di kamar mandi. Kepala yang direndam di dalam bak, berikut tubuh yang tenggelam. Kamar mandi yang dikuras berulang. Pun, aku jadi punya kebiasaan---beberapa kali terjadi sampai sekarang---mengulang pakai sabun lebih dari dua kali, cuci muka berulang, keramas berulang, sikat gigi sampai tiga kali---gusi bagian kiriku sobek beberapa hari---dan, tanpa sadar suka gigit atau menusuk punggung tangan pakai kuku.
Bella pikir, perasaan mengerikan dalam hidup ini adalah lihat Papa melakukan hal-hal di luar nalar. Atau, tanganku yang melepuh karena corat-coret dinding kamar pakai lilin merah leleh. Lari, renang, dan skipping buat mengusir rasa marah berlarut ke Papa. Bella kira, hal kaya gini ngga akan pernah terulang. 
Gila.
Ingatan soal hari Sabtu aku menunggu lebih lambat satu jam---sebelumnya dua jam---bikin aku mendengus tertawa di saat itu; Papa juga selalu telat jemput aku, padahal aku kepalang pamer ke seantero teman-temanku kalau ayahku jemput. Biasanya akan berakhir aku duduk di trotoar sendiri. Semua temanku keburu pulang. Menjengkelkan, tapi kalau diingat, aku jadi tertawa. Atau, tawa-tawa lain yang dihabiskan bersamaan dengan manusia bernama Anton ini, mendadak hilang dilumat habis kalut; ngga ada steak dan wine merah, atau doa di tempat senyap, pun tawa yang mengudara di mobil. Benar-benar hilang. Bahkan, kotak persegi berbalut kertas biru muda dan pita senada langit petang, yang tergantung di lemari, seakan jadi neraka; kalau bisa, aku ingin buang, tapi ngga bisa.
Kamar jadi satu-satunya tempat buat diam berlarut, paling ngga sampai Landa berangkat ke kantor, dan Mama teriak: ‘Mama tinggal ke Jakal, ya.’ Setelah itu, pasti ada tangis hebat, dan rasa sesak luar biasa. Senin dua minggu lalu, satu-satunya manusia yang dengar suara histeris karena guling di kamar kena kulit bagian lutut, hampir dekat paha, adalah bungsu kesayangan Papa. Suara adzan dzuhur, bikin tangisku bercucur dan berulang teriak sambil menyumpal kuping pakai bantal. Kalau diingat, aku paham kenapa Richaz ngeri sendiri; dia angkat telpon entah siapa, lalu setengah jam kemudian kirim pesan di chat kalau beli baso enak langganannya, dan ditaruh di dapur. Lepas satu setengah jam, Pipip---Putri, gadis Padang yang suka Papa bilang kembar sama Aida---datang. Malamnya, ada Airlangga---ingat ngga dulu ada anak laki-laki yang jenguk Papa sama satu temannya. Waktu itu, anak laki-laki yang namanya Angga datang pakai polo putih, dan jeans, lalu diseret keluar Aida dan Sarah. 
Mungkin, aku bisa benar-benar gila kalau aku ngga punya teman-temanku ini.
Berkali-kali aku lihat karbol di ujung lemariku---cermin yang menggantung di kamar, aku turunkan, dan aku balik. Sedang cermin lemari pakaian dan meja rias, aku tutup kain---kepalaku penuh suara-suara buat menegak habis. Jijik bukan main aku lihat diriku sendiri. Setiap ada orang yang berupaya menghubungi dengan video call, aku mual lihat wajahku, atau jantungku nyeri berulang. Tapi, tiap aku kepikiran menegak habis karbol, ponselku bunyi; entah Pipip, Swastati, atau Akib pasti memastikan aku hidup. Pipip berulang ke rumah. 
Aku ingat betul Mira menyebut nama Mahira. Setelah Papa pergi lepas seminggu, aku baru tahu siapa Mahira. Persis Mira dan kekasih pertamanya, ternyata Didiet dan Mahira adalah dua manusia yang dipisahkan persis Mira dan cinta pertamanya; kematian. Tapi, Mahira pergi karena luka yang dihasilkan Didiet; murni laku yang salah. Aku baru paham. Betul-betul baru paham. Aku juga jadi belajar kenapa ibuku beberapa kali cerita setelah menikah dengan suaminya, serasa diteror sekompeni gadis-gadis. Aku jadi paham kenapa ayahku punya tradisi mengajari putri dan putra-putranya soal aturan minum, pergi ke klub malam, bahkan kondom.
Demi Tuhan, meski aku ngga tahu apa yang membuat Mahira kemudian memutuskan untuk meninggalkan dunia di usia itu, rasa ngeri setelah mendapat perasaan ini adalah mimpi buruk di dunia. Jantungku berasa dicongkel; lubangnya penuh perasaan dikhianati---aku benar-benar percaya Anton ada di deretan manusia yang sama dengan Gusti Besar Mahardika, Gilang Chandra, bahkan Noor Binang, kecewa, dan marah betul ke Anton.Berlarut. Sumpah serapah, dan perasaan peduli setan kalau manusia ini dihajar orang, meletup-letup. Ketika semua amarah itu membentur kalimat: ‘Mau dibawa mati perasaan bersalahnya, aku juga ngga akan peduli.’ Sesuatu yang lebih besar, persis balon udara, meledak. Aku mengulang geleng-geleng. Tiga hari aku penuh dengan tangis bercucur, dan amarah membara, lalu kemudian aku memutuskan untuk bergerak; hal yang ngga pernah dilakukan Mahira ke Didiet. 
Aku ngga mau, Pa, harus jadi Mahira yang pergi dan berlarut membuat Didiet merasa bersalah berulang. Bahkan ketika Papa punya keluarga dan putri-putri, perasaan berlarut itu masih penuh. Papa harus cerai, lalu berlarut lagi merasa bahwa dosa itu tak kunjung luntur. Aku ngga mau jadi Mahira yang mati dengan membawa luka menganga. Aku ngga mau harus nangis berulang selama tujuh tahun dengan perasaan kacau; marah, kecewa, duka berlarut, kayak aku ke Papa. Aku ngga mau ada Mira lain yang harus dengar suaminya dipenuhi hujan tangis merasa berdosa dan bersalah, karena membunuh gadis yang disayanginya setengah mati dengan luka. Aku ngga mau.
Hari itu, Rabu sore, aku pergi setelah lihat wajah Papa. Aku pergi ketemu Anton, karena aku mau sembuh. Karena aku mau dia juga sembuh. Karena aku ngga mau ada orang-orang yang harus dan merasa berdiri untuk sisi yang mana. 
Aku mau hidup dengan baik, persis yang dibilang ibuku setiap dengar kelakuan ajaib suaminya.
Jadi ibuku berat minta ampun; memaafkan, dan berulang mencoba paham. Aku berupaya betul memaafkan Anton, sebagaimana aku memaafkan Bella. Tapi, sakit betul, dan berat. Malam setelah ketemu Anton, aku baru sadar punggung tangan, jari-jariku lecet semua. Kamis siang aku dihubungi dokter Kelik. Sahabat Papa yang satu ini memang juaranya menenangkan hatiku, dan membuatku tertawa. Aku tutup lukaku satu-satu, tapi tangisku saling susul dan rasanya... Tuhan, ini lima kali lebih sakit ketimbang usus buntu.
Setelahnya, aku dikirimi satu box P3K dari sahabat Papa yang satu itu.
Hari ini, hampir dua minggu; aku sudah ulang tahun! Juga sudah bisa peluk Mama dengan riang, tangisku sudah ngga saling susul. Aku bisa merasa benar-benar lebih baik. Cuman, kalau tidur ternyata aku masih suka mencengkeram punggung tanganku, jadi lukanya tambah parah. Sempat merasa lemas waktu dengar kolegaku dapat pelecehan, kemudian berangsur bisa atur nafas setelah jongkok sambil pegangan handle pintu mobil. Tapi, aku yakin pasti berangsur membaik.
Harusnya ini ngga memerlukan tujuh tahun ‘kan, Pa? Atau, seumur hidup? 
Aku harap, ulang tahun Papa yang ke-61 menjawab ketakutan Papa waktu kita lihat matahari oranye di parkiran Ambarrukmo. Bahwa, ya, ternyata Mahira mungkin menyumpah serapahi Papa, atau ini cara agar daging seorang Didiet melihat luka milik Mahira. Tapi, karena aku juga darah daging Mira, maka aku pasti hidup dengan baik; sebaik ibuku hidup, dan membesarkan orang-orang tersayangnya. 
Aku harap, Papa bertemu Mahira---selain juga bertemu teman-teman Papa---dan bisa bicara ke Mahira. Semuanya, tanpa terkecuali. Persis yang dibilang Papa ke Mama di kamar Cendrawasih Sardjito waktu itu. Aku harap, Mahira memaafkan Didiet, sebagaimana Bella memaafkan Anton. Aku harap, setelah ini Papa ngga terus dihantui kalut berlarut. 
Aku harap, itu hadiah terbaik Papa di tahun ini.
Dan, Bella berharap semua, iya, semua, perasaan berat, sakit, dan ketakutan, juga kecewa ini perlahan disembuhkan. Demikian juga milik Anton.
Aku benar-benar berharap, ngga perlu ada lagi Didiet, atau Anton, Anton lain, juga Mahira, dan Bella, Bella lain, yang harus merasa dilukai, atau terluka. Seakan segala hal jadi ngga adil, mau dipikir bagaimana juga.
Untuk Mahira, dimanapun kamu berada sekarang---mungkin malah yang membuatku bergerak di hari Rabu, atau memutuskan untuk melempar karbol ke dinding sampai tumpah adalah kau---aku betul-betul berharap bahwa di kehidupan selanjutnya, hidupmu lebih baik... Aku berharap, benar-benar berharap, suatu saat nanti Mahira lekas merasa lebih baik. Aku berharap ketika Mahira bertemu Didiet, perasaannya jauh lebih ringan. Meski, demi apapun, pasti berat. Bukan untuk memperingan Didiet dan rasa bersalahnya, tapi buat Mahira; untukmu sendiri. Benci berlarut ini, akan jadi parasit mengerikan kalau terus bertahan. Aku bisa menjamin, karena aku pernah punya parasit itu. Dan, hampir punya lagi akan membuat hidup berat bukan main...
Aku... Meski ngga tahu persisnya, berharap bahwa setelah ini, kehidupan selanjutnya milikmu betul-betul membuatmu terus terang persis matahari kesukaanku di pukul 02:52 PM. Aku betul-betul berharap, Mahira bertemu Didiet... Ayahku itu... Betul-betul bodoh, dan sayang benar denganmu. Sampai mati juga disebutnya namamu, lalu baru nama ibuku. Jadi..., ya, aku betul-betul berdoa agar hidupmu tenang.
Sekali lagi, selamat ulang tahun, Mr. Know It All. Terima kasih aku sudah diyakinkan untuk datang hari Rabu lalu. Terima kasih, aku sudah dipertemukan dengan buku diary tahun 1983 dideretan album foto dengan judul ‘Satu-satunya Anak Gadisku, Bella’ yang berdebu di laci meja kantor. Selamat ulang tahun, Pa... Hidup dengan tenang di sana. Bella sayang betul sama Papa. Sayang berkali-kali.
___
Tunggal cucu gadis Muryatmo di hidup Murpriyanto,
Antika
1 note · View note
herewearebells · 3 years
Text
Tumblr media
48K notes · View notes
herewearebells · 3 years
Text
Surat #3
Yogyakarta, 24 Januari, 2021
04:22 PM
Satu-satunya Jatikalimasada
Hai, lagi. Tiga kali, surat berbeda.
Kadang-kadang… Ada hari dimana rasanya hidup persis tokoh-tokoh di series, film, atau drama yang aku lihat beberapa kali. Aku ngga begitu suka nonton film, tapi, ya, aku punya beberapa yang aku suka. Sejujurnya, aku lebih suka baca buku, apalagi buku anak-anak, ada gambarnya lebih bagus. Hidup rasanya ringan; segala sesuatu diurai sederhana. Sedang orang dewasa—kebanyakan—hidup melihat semua hal sebagai beban. Buku anak-anak selalu melihat masalah jadi perjalanan, petualangan. Belakangan, kepalaku penuh bukan main. Kalau ini drama, pasti yang bikin orang sini; berbelit, selalu berulang ke situ lagi-situ lagi, dan bikin anak-anak usia 20-30 tahun lebih memilih mematikan televisi. Iya, sebegitunya. Untungnya, aku memutuskan banyak hal—walaupun baru sadar akhir-akhir kemarin, alih-alih waktu bulan September menerima semuanya—karena membaca semua hal di sini: tumblr, dan baca-baca jurnal. Meski rasanya sesak tiap habis baca satu, dua, berlembar-lembar jurnal, atau baca tulisanku di sini, tapi semuanya jadi jelas.
Kalau ini drama, aku yang pilih genre-nya: romantic comedy.
Jadi, aku ngga perlu menangis-nangis sendu hampir setiap ingat hubungan kita, atau merasa dunia berupaya mencabik-cabik aku sampai remuk redam, atau merasa sendirian berlarut. Karena ini ini romantic comedy, walaupun ada bagian-bagian yang mungkin aku menangis juga—lagi, lagi—atau menghela nafas dan kesal, ya ini tetap romantic comedy; jadi aku pasti ketawa, perasaanku ringan. Orang-orang juga bisa turut tertawa. Kalau dipikir lagi, aku bahkan sama sekali ngga cari tahu ada genre lain yang lebih bagus dari romantic comedy. Aku cuman asal bilang, dan yakin kalau romantic comedy akan membawa hal yang baik. Hehehe.
Kembali lagi, karena ini romantic comedy aku melakoni misi yang aku buat untuk ‘pamitan’ ke orang-orang terdekatmu pakai modal yakin, dan…. Ngga tahu apa, yang penting bisa ketemu dulu dan bicara, jadi rasanya tiap nyaliku mendadak kabur, atau aku mempertanyakan: ‘Bella Antika kamu udah gila? Ngapain, sih!’ aku akan tarik nafas, lalu lihat langit biru, atau hal lain; jadi pikiranku bisa lebih tertata. Kalau bertemu ibumu saja aku bisa, harusnya bertemu dengan teman-temanmu juga bisa.
Aku bersyukur karena teman-temanmu baik; entah Ian, ataupun Em. Dua-duanya aku hubungi hari Selasa lalu. Tanpa pikir panjang. Persis waktu aku mengirim pesan ke anak ayam. Tapi, ya, karena aku melakukannya begitu saja, maka ketika diminta untuk menjelaskan apa maksud dan tujuanku sampai mereka berdua harus repot-repot membantuku; entah memberi nomor Laksamana, atau mengirim titik bagian rumah Medelina, tanganku mengetik, lalu menghapus beberapa bagian, dan berakhir mengirim pesan singkat yang intinya aku butuh benar dijembatani untuk paling tidak bisa dapat akses ke kedua manusia terdekatmu. Karena kita bicara Muhammad Rizqi, jadi manusia paling ceria sejagat angkatanmu itu mengirimkan alamat Medelina tanpa banyak tanya. Mungkin, sudah khatam juga mengingat kalau ada apa-apa, sesekali aku telpon manusia satu itu. Cuman satu pertanyaannya waktu itu “Kamu ngga bakalan berangkat besok, to?” yang tentu saja aku jawab cepat dengan bilang ngga. Ibu kota Jawa Tengah itu lumayan juga, belum lagi aku hafal medan ke sana saja ngga. Paling cepat akhir pekan aku ke sana. Waktu itu aku bilang demikian.
Sedang kawanmu yang satu, Ian, butuh diterangkan lebih jauh. Obrolan kami cukup membuatku berkali-kali menghela nafas. Rasanya menjangkau Laksamana jauh lebih sulit ketimbang Medelina. Sampai akhirnya aku bilang ke pemuda tambun dengan kacamata persegi itu bahwa aku akan mengabari Elrepyan soal misi ‘pamitan’ ini setelah pemilik usaha clothing itu dapat izin Laksamana buat kirim nomornya ke aku. Rasanya ini cuman berputar ke siapa yang menunggu dan siapa yang harus bilang. Sebenarnya, kekhawatiran Ian cukup masuk akal. Siapa yang tahu kalau semisal aku berangkat menempuh berkilo-kilo meter ke Semarang, atau datang ke depan Laksamana, tanpa sepengetahuanmu malah membakar api lebih jauh. Siapa yang akan tahu kalau nanti malah aku dengar suaramu meninggi sayup-sayup di ujung ponsel—walaupun seumur-umur kita bersama, yang begituan bisa dihitung kurang dari tiga jari. Singkatnya, aku memutuskan untuk mengirim pesan—bukan lewat chat. Usaha benar aku hati-hati membuat kalimat, takut-takut kalau dapat balasan sedingin kapan hari—kalau diingat juga kan sekarang aku mau melakukan apapun terserah aku, sesuai pesanmu. Harusnya ada kemungkinan lain alih-alih memupuk rasa takut. Karena—hei, ini Elrepyan Upadio, orang harusnya paham bahwa responmu bisa berupa apa saja, bahkan sesederhana mengirim kalimat terima kasih sudah memberi kabar kalau akan pamitan, dan pesan agar aku sehat-sehat. Singkatnya, aku kirim bukti kalau Elrepyan biasa saja dengan misi yang aku buat ke Ian, dan, ya, sesudahnya aku dapat kontak Laksamana.
Tentu saja waktu baca pesanmu, aku nangis juga. Pikirku, wah, enteng ya? Lalu, lekas-lekas aku buang pikiran demikian. Mengingat ini Bella Antika, nanti akan ada tanya saling susul di kepala semacam ‘Kok bisa?’ tiga puluh tiga kali. Jadi aku memilih untuk buka laptop dan belajar. Gila. Rabu pagi aku harus pitching ke salah satu retail minimarket terbesar di Indonesia, dan bisa-bisanya isi kepalaku masih juga memikirkan perkara misi romantic comedy? Gila. Kepalaku masih penuh suara-suara, jadi aku ambil rehat setelah berulang kali menyapa angin—pura-pura kalau ini presentasi. Wow, berat juga ternyata.
Rehatku berakhir dengan menekan layar ponsel; entah meminta tolong satu rekan kantor buat ditemani ke kota yang selalu khas dengan leker, bandeng presto, di akhir pekan, sibuk menyapa dan meminta waktu Laksamana—yang untungnya dijawab dengan baik. Betul kalau segala hal itu harus dengar hati maunya apa, maka waktu manusia yang selalu disebut sebagai ‘Bapak’ alih-alih ‘sahabat’ atau ‘teman akrab’-mu itu menyebut Rabu sebagai waktu bertemu, aku lekas-lekas membalas kalau aku baru bisa bertemu lusa; Kamis.
Besok aku harus ke Semarang.
Buru-buru aku telfon Hubertus. Bodo amat kalau dia tidur atau malah sedang ditengah sesi telfon dengan gadis pertanian. Kalau—lagi, lagi—ini drama (…well, karena kau terus bilang enggan drama, kata-kata itu malah muncul di kepalaku terus. Kalau hidup adalah drama, genre-nya aku yang pilih. Aku juga yang akan memutuskan mauku apa), bagian ini adalah pengenalan karakter-karakter baru yang entah akan terus bermunculan di drama ini, atau guest dari drama sebelah dan sedang mendapat ‘undangan’ dari ‘penulis skenario’, ‘sutradara’, atau ‘produser’. Dewi Fortuna mungkin sedang sayang-sayangnya, jadi telponku diangkat didering ketiga. Aku ingat betul bilang ke Hubertus kalau aku ngga mau dengar dia bilang ‘ngga’, atau tanya-tanya, lebih jauh lagi memberi suara-suara nasihat. Aku lagi ngga butuh. Satu-satunya yang aku butuh adalah jawaban ‘ya’, karena aku harus ke Semarang besok setelah pitching selesai. Tolong aku dibantu. Tolong. Demi Tuhan, tolong aku.
Hubertus itu walaupun suaranya selalu kelihatan lembut dan pengertian, sesungguhnya kalau dia bilang ngga, sekali ngga, mau sampai lebaran bulan Mei 2021 juga jawabannya tetap ngga.
Padahal aku bilang ngga bisa jelasin sama sekali sekarang, tapi air mataku leleh, ranumku terus bersuara; entah bicara apa saja soal tujuanku, dan dasar aku harus pergi. Sedang Hubertus diam. Aku masih bersuara.  Mungkin kalau bukan besok, aku ngga akan punya keberanian dan tekad sebulat ini buat ketemu Medelina. Hubertus bersuara sekali waktu aku memohon; suaranya parau—macam habis menangis—sedang ranumku menyembul. Aku benar-benar gila, demi apapun. Padahal aku dapat izin untuk kerja setengah hari saja belum?
Ternyata, ketika tekad bulat dan keinginan-keinginan luar biasa berapi-api, apa saja bisa terjadi.
Aku coba telfon COO-ku. Berharap diangkat, tapi ngga. Daripada buang waktu, aku hubungi Claudius. Perlu diingat karena ini Claudius Renaldi, jawabannya tentu saja berputar-putar: ‘Mau apa ke Semarang?’, ‘Sama siapa?’ Padahal, pertanyaanku sederhana: ‘Aku harus lewat mana kalau mau ke Pelabuhan?’. Sumbuku yang pendek dan tanganku yang kadung dingin. pilih kontak lain untuk membantu aku memberi arahan jalan mana yang harus aku pilih kalau mau pergi ke Medelina. Mungkin, Tuhan benar-benar sayang aku, atau Semesta sedang baik-baiknya, atau, ya, lagi-lagi karena Dewi Fortuna—yang manapun, aku benar-benar beruntung—aku dibantu Eduardus; entah dari menjelaskan tol mana yang harus aku pilih biar sampai Semarang cepat. Sibuk tanya, aku bahkan tak sadar kalau pesanku dibalas COO-ku di tengah malam. Katanya, aku boleh kerja setengah hari asal pitching besok lolos; gol. Gila.
Padahal tahu ngga? Tahun lalu saja kami pendekatan sudah mati-matian. Darimana coba aku bisa membuat satu perusahaan besar bilang ‘iya’ secara langsung? Tapi, Elrepyan tahu? Aku iya, iya saja. Pokoknya aku harus ke Semarang. Titik. Apapun itu, ayo. Sekalipun bikin presentasi dengan baik di depan manajemen retail. Pokoknya aku harus berangkat.
Rabu subuh aku bangun lebih pagi, mengemas barang buat perjalanan ke Semarang, lalu jam delapan mulai baca-baca materi. Jam sepuluh sampai jam sebelas lewat lima—dengan kejadian-kejadian di luar ekspektasi kaya materi presentasi freezing, atau malah wifi tiba-tiba down—tapi, semuanya berakhir baik. Maksudku, IYA, mereka mau menghubungkan langsung ke pihak IT. YANG MANA KAMI BERHASIL! Aku bisa dengar ponsel kantorku bunyi. Isinya selamat dan semua-semuanya. Tentu saja aku juga senang, tapi jantungku sibuk berdegub karena ini pertama kalinya aku berangkat ke Semarang; dulu ke sana juga denganmu, terakhir juga untuk urusan kantor, itu juga gantian jadi supir, bulak bolak-balik setir sendiri.
Aku harus pergi ke dua bank BCA karena kartu e-toll pertamaku—yang gambar Wonder Woman dan kita beli di stasiun MRT—hilang. Jarum pendek di arlojiku berada di antara romawi dua belas dan satu. Molor, batinku. Padahal aku kira jam dua belas aku sudah akan berada di jalanan aspal melalui candi di Kalasan sana.
Sepanjang perjalanan aku mendengarkan Eduardus berbicara, sambil berharap baterai ponselku ngga mati. Suara radio diputar mati tepat di Boyolali. Sekantong plastik isi roti bantal dua bungkus, dua onigiri, dan satu keripik jadi teman untuk melalui Yogyakarta-Solo-Semarang. Aku banyak diam, dan mendengar temanku berkicau. Beberapa kali aku menelan kalimatnya; entah bagian drama, atau belajar ikhlas.
Aku berupaya ikhlas soal hubungan kita yang sekarang dengan cari closure-ku. Konyol juga mengingat kita pisah di bulan September, dan aku mencari yang demikian—closure—di Januari ini. Empat bulan.
Di tol, hujan badai pakai angin. Nyaliku sempat menciut, takut bukan main kalau tiba-tiba ban mobilku kenapa-napa—padahal sebelum berangkat aku sudah isi bensin penuh dan cek angina ban—tapi, ketakutan-ketakutan macam ini wajar, ‘kan? Belum lagi aku baru sadar kalau aku tuh belum juga menghubungi Medelina. Aku cuman tahu kalau aku harus ke Semarang, hari ini, secepatnya. Benar-benar buta jalan, jadi aku cuman ikut screenshot map Em. Lokasinya di belakang dinas dan sebuah hotel. Tapi, ya, cuman sampai situ. Lalu, aku memutuskan chat Medelina. Jam tiga kurang. Lantas, pergi ke satu tempat makan.
Padahal nafsu makan ada juga ngga.
Setengah empat, dapat balasan juga belum. Eduardus yang sekarang duduk berhadapan dengan Bella Antika; yang matanya tertuju ke layar ponsel, mulai menceramahi hal ini dan itu. ‘Ngapain sih sampai sini?’ persis istighfar, itu terulang-ulang di kepala.
“Kalau sampai jam enam ngga dibalas juga, kamu harus langsung balik.”
“Pulang, Bel. Kowe kudu bali.”
“Ikhlas.”
Rasanya, aku mau beli semua kalimat di atas biar hatiku bisa lapang. Ikhlas. Ikhlas. Ikhlas? Aku mengakui selesai dan tidak perlu meneteskan air mata setelah Mr. Know It All pergi saja makan waktu tujuh tahun. Daripada ikhlas, aku lebih jago melumat tuntas perasaanku dan diam-diam pergi ke sarean, lalu tidur seharian di rumah tamu Pakdhe. Pasang senyum lebar-lebar waktu diajak ngobrol Yu di rumah Eyang. Kalau dipikir, caraku mencari closure adalah dengan terbuka merasakan hal-hal ini. Beberapa orang mungkin punya caranya; berlari ke orang baru, bodo amat, tetap hidup, dan mengejar hal-hal yang diinginkan. Sedang, kepunyaanku bukan yang demikian. Sebelumnya, di surat pertama, aku bilang bahwa aku sudah berupaya; dari mendengar hasil tarot, mencoba untuk hahahihihi dengan selusin manusia. Berharap punya hubungan baru. Tetap saja, yang demikian malah mengobrak-abrik nalarku. Ini bukan aku. Padahal, aku coba juga memenuhi hariku pakai segudang kerjaan. Tahu apa? Aku menangis juga akhirnya, karena semua hal saling tumpuk, menindih kewarasanku.
Ini bukan aku.
Maka, kalau kau tanya si gila ini melakukan apa saja?
Jawabannya adalah: Cucu Muryatmo satu ini melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya seumur hidupnya punya kekasih; mendatangi orang-orang di hidupmu, yang selama ini bisa bicara lamapun tidak. Jangankan bicara, bertemu dengan properpun tak pernah.
Aku benar-benar beruntung, sebelum jam enam—sekitar setengah lima—Medelina balas pesanku. Mobil yang baru mundur, mendadak aku rem. Eduardus yang sekarang secara nyata duduk di sebelahku memaki. Tadinya, kalau aku gagal bertemu Medelina, aku akan meluncur ke bagian bawah Semarang buat beli ini dan itu. Bodo amat kalau ibuku yang kekurangan informasi soal keberadaan anaknya hari itu ngamuk-ngamuk. Aku berupaya mencoba memakan kepentingan ke Semarang untuk bertemu Medelina, berubah jadi liburan dadakan. Kalau-kalau, aku gagal bertemu, paling tidak aku bisa melepas penat. Begitu kata radio hidup di sebelahku; Eduardus. Untungnya, tidak. Aku bisa bertemu Medelina. Katanya dia sedang kerja di luar. Pertama-tama, aku rasa—karena aku hanya bisa baca pesannya—Medelina ngga akan menemui. Mengingat clash yang kerap terjadi dulu waktu kita bersama. Jadi, aku tak heran juga waktu ditanya ada urusan apa ke Semarang. Biasanya, aku akan berkelit, paling ngga orang ngga perlu merasa beban karena aku jauh-jauh ke sini. Tapi, ingat itu juga pikiranku ngga. Jujur lebih baik, pungkasku. Lalu aku bilang kalau aku datang hari itu memang untuk ketemu Medelina, dan mau meminta waktunya sebentar.
Satu sampai sepuluh, mau dibilang niatku sebesar apa juga, rasa takutku bergelayut di angka sebelas. Ini Medelina yang kadang-kadang aku bisa bicara lewat story karena Seventeen, atau Lee Hi. Tapi, akan jadi orang yang berbeda ketika perkaranya Jatikalimasada. Aku juga punya salah, banyak mungkin, makanya waktu mobilku parkir di depan deretan tiga ruko, aku mematung sepersekian detik di balik kemudi sambil lihat langit jam lima sore di kota Semarang. Whatever will be, will be.
Tempat kami janjian ketemu cuman di sebelah co-working space yang sedang dipakai Medelina kerja. Lidahku kelu, karena alih-alih ingin minum atau makan, aku lebih ingin menyandarkan punggung ke kursi kayu di belakang badanku. Buku menu ukuran A4 aku bolak-balik asal. Setelah pesan hojicha panas, aku menyesal karena baru tahu kalau mereka punya teh. Tahu apa? Ngga lama, Medelina datang, kami ngobrol ini dan itu sebentar, lalu aku bilang kalau restaurant ini makanan hangat yang kelihatannya enak, tapi aku habis makan, jadi kalau pesanpun paling cuman satu, dan teh yang menarik untuk dicoba, tapi aku terlanjur pesan hojicha. Untuk pertama kalinya, setelah tiga tahun kenal, aku baru tahu suara asli Medelina, pun aku malah dapat kesempatan untuk minum teh yang aku pingin karena diajak sharing, juga makanan yang aku lirik di menu tadi.
Berangkat dari obrolan kerjaan—iya, Medelina sibuk sekali dia harus buka laptop, dan kadang-kadang ponsel kantornya bergetar—kami mulai bicara soal subjek yang dibawa jauh-jauh dari Yogyakarta; Elrepyan. Aku bilang ke Medelina bahwa aku minta maaf atas hal-hal buruk yang aku lakukan, padahal salah paham itu juga muncul karena aku sendiri. Benar-benar, sore itu isinya hanya maaf, terima kasih, maaf, dan…, aku mau pamit dari hidupnya Elrepyan. Jadi, aku ngga perlu mengingat lagi hal-hal yang lalu; entah salah paham, atau ribut antara aku dan Medelina beberapa kali. Bahkan aku sempat bilang: ‘Wah, ini pertama kali kita ketemu setelah tiga tahun kenal, ya?’ Medelina ketawa, terus dia bilang bahwa ya… Memang ngga ada momen yang pas. Kalau dipikir, iya juga. Setelah Medelina lulus, dia pulang ke Semarang, Elrepyan lebih sering sama aku. Waktu Medelina datang ke Jogja, ketemupun cuman bisa sama kamu, karena aku pergi ke Solo. Ternyata bertemu Medelina ngga semenakutkan itu, sungguh. Lucunya, gadis yang rambutnya sudah ngga pendek itu bilang kalau dia juga sempat merasa takut buat diajak ketemu, yang mana aku sendiri juga mengalami, ‘kan.
Karena ya sebenarnya mau bilang apa, mau jawab apa, siapa juga yang tahu malah bikin kenapa-napa atau efeknya lega?
Aku terus bicara, sampai cerita juga kalau sudah pamit ke ibumu, dan anak ayam. Bahwa ini pamitan, yang bukan on-off macam yang lalu-lalu. Air wajahnya berubah, lalu cepat-cepat entah Medelina melakukan apa, layar laptop dan ponselnya tidak mencuri perhatian lagi. Medelina ganti angkat bicara, sedang aku ganti diam. Meski aku tahu Elrepyan, Medelina lebih tahu, tentu saja. Beberapa bagian aku mengangguk-angguk setuju, dibeberapa bagian lainnya aku tertawa dan mengimbuhi lekas-lekas karena merasakan hal yang sama. Hari itu, aku paham bahwa sama seperti aku yang punya Serigala Kapas dan berbagai hal-hal yang kami bawa secara personal, Medelina dan Elrepyan juga merasa hal yang sama. Maka, ketika Medelina bilang bahwa perasaan sendiri dan selalu ingin lari dari hal-hal serupa milik Elrepyan juga terus meletup di Medelina, aku paham bahwa…. Ada hidup yang bukan melulu dipenuhi suara, macam hidup kepunyaanku. Hidup kamu mungkin kelewat bising, jadi rasanya untuk sekedar bilang ‘aaa’ saja rasanya melelahkan. Betul-betul melelahkan. Medelina juga bilang perkara macam ini juga memengaruhi hubungannya dengan kekasihnya. Kami bicara banyak, dan ditutup dengan Marsela yang datang persis matahari; kami jadi lebih banyak ketawa, apalagi waktu cerita soal pacar-pacar Korea Selatan. Marsela tanya aku ngapain jauh-jauh menempuh puluhan kilometer ke sini? Aku ketawa, lalu bilang kalau sedang menjalankan misi. Lalu, cerita sedikit pakai ketawa kalau sedang jadi lakon utama di drama dengan genre romantic comedy—lihat, betapa seriusnya aku cerita soal hal-hal ini—dan dapat tanggapan yang bikin aku ketawa: “Terus aku jadi apa di sini?” Polos bukan main Marsela, tawa Medelina menyeruak, disusul kepunyaanku.
Ada banyak manusia yang datang-pergi, atau malah jadi tokoh-tokoh yang selalu muncul di hubungan kita. Belakangan, aku juga punya banyak orang baru di hidupku; yang ngga itu lagi, itu lagi. Persis yang aku bilang ke Marsela, keberadaannya Marsela di hubungan ini tentu kalau bukan jadi lakon-lakon yang membuat semuanya baik, adalah guest star episode sekian dari drama genre sebelah. Marsela ketawa, beberapa orang yang aku ceritakan hal serupa juga tertawa dan manggut-manggut. Menurutku, semua orang adalah tokoh utama di hidupnya, jadi kalau ada yang datang di kehidupanku, atau ikut terlibat di hubungan kita, mereka pasti lakon-lakon penting. Bisa jadi character development kita, entah aku, atau Elrepyan, berhasil naik karena keberadaan mereka, ‘kan?
Hari itu, aku pulang ke Semarang tanpa bawa oleh-oleh apapun buat orang rumah, satu-satunya yang aku bawa perasaan ringan.
Aku lega.
Medelina sempat tanya, dan mengulang kalimat ini: “Kamu udah ngga mau ada di hidupnya Elrepyan?” mungkin, kalau aku baca tanya Medelina lewat pesan, pertanyaan itu akan terdengar berbeda. Tapi, sejak bisa ketemu secara langsung, dan bicara banyak, aku paham maksud gadis Pisces satu itu, jadi aku tertawa pelan sambil bilang: “Aku pamit karena kalau semisal hubungan ini selesai dan tutup buku, aku ngga mau mengingat segala hal; entah Elrepyan, atau orang-orang di sekelilingnya dengan perasaan ngga baik. Aku mau mengingat Christy sebagai orang yang bantu aku waktu bikin sertifikat Ajisaka, atau Christy yang aku ganggu karena kya kya Seventeen. Bukan orang yang aku lihat di pesan Elrepyan, atau apapun. Kalau ini drama, aku mau ini genrenya romantic comedy. Aku ngga mau nangis-nangis terus, atau merasa dunia jahat. Aku mau kejar hal yang aku bisa kejar; kerjaan, hidup. Aku ngga mau lari dari apapun. Salah satunya, kalau hubungan ini bisa mulai lagi, aku mau memulai dengan meninggalkan semua perasaan ngga enak dan semu dengan datang ke orang-orang terdekatnya.”
Aku ngga sadar bahwa omongan itu—yang aku ulang kurang lebih sama ke Laksamana—menghasilkan kesimpulan sebagai ‘restu’. Aku ketawa di hari Kamis sore dengan mendung menggelayut di luar. Aku kira karena ya tangisku sudah habis dari kapan hari, dan badanku lelah bukan main menempuh Semarang-Yogyakarta, lalu Kamisnya harus bekerja, tangisku mana mungkin lumer persis kue volcano kesukaanku. Pastilah sudah habis. Ternyata? Tisu yang sedari awal disodorkan Laksamana dan aku tertawakan keberadaannya, aku ambil juga. Aku benar-benar paham, bahwa perasaan sendirian yang terus bermunculan di hidupmu, adalah perasaan yang sama seperti milik ayahku, atau beberapa orang terdekatku. “Kamu kasihan sama dia?” kepalaku geleng-geleng, dan ingatanku menubruk kardus-kardus ingatan yang susah-susah aku tata agar tak perlu dibuka kembali; ada memori dimana aku melaju ke rumah sakit dan melihat ibumu berlinang air mata, atau wajah tertawa ayahmu waktu kita bicara soal putra satu-satunya yang tumbuh jadi manusia paling susah diajak bicara, ada tawa punyamu, atau tangan lebih besar yang mengepal karena isi kepalamu kelewat rasional. Ada suara tawa kepunyaanmu, atau suara lirih karena minta didengar. Aku ngga pernah mengasihani Elrepyan. Bahkan ketika aku menulis ini, mataku berkaca-kaca lagi, dan satu, dua air mata berlinang. Perkara romantic menurutku bukan dua orang yang jatuh cinta, tapi banyak hal rumit yang diurai, atau mimpi-mimpi yang dikejar beriringan. Sederhananya, aku bukannya ngga punya pilihan untuk bertemu banyak orang baru, atau jatuh cinta lagi, aku memang mau di sini karena ya kalau aku, aku maunya manusia yang lebih suka memasak di dapur tapi enggan menyuci peralatan masak, manusia yang lebih senang lihat tempat-tempat indah, alih-alih main bola di lapangan atau basket. Aku tuh maunya tetap di sini.
Semalam bulan sedang cantik-cantiknya. Aku lihat lama-lama, lalu menyimpannya di galeri dan mengunggah ke story sosial media. Perasaan baru tahun lalu aku dapat pesan isinya gambar bulan cantik minta ampun dari Elrepyan. Lingkungan rumahmu kena pemadaman listrik, jadi karena kakak kandung Elfira itu senang dengan hujan, atau langit malam yang terang, dipotret juga bulan hari itu. Sejak tanggal 3 Mei, sampai 8 Mei setiap ponselku nyala ada hasil potret bulan yang direngkuh awan-awan. Setelahnya, ganti dua wajah yang nyengir padahal sedang melaju ke supermarket.
Semalam juga seseorang bilang ke aku apa aku capek terus di sini-sini saja, dan—kesannya—berputar di lingkaran yang sama. Aku merenung sebentar, lalu menghela nafas. Aku ngga di sini-sini saja; karena aku ngga lagi diam dan mendengar kepalaku gaduh. Aku pergi ke ibumu, dan adikmu. Memasang telinga baik-baik. Aku pergi ke teman-temanmu, dan pasang telinga. Aku ngga di sini-sini saja. Pun, aku ngga capek; karena ini hal baru di hidupku. Aku malah punya kesempatan buat bilang selamat tinggal atas hubungan yang lalu-lalu, dan punya kesempatan bicara secara langsung ke Medelina dan Laksamana. 
Walapun terlambat, tapi aku benar-benar belajar, bahwa setahu apapun aku soal sulung Jatikalimasada, orang-orang terdekatmu yang paling tahu. Mereka lebih lama kenal Elrepyan, aku baru berapa tahun, sih? 
Tiga tahun, dan setiap ada hujan, atau badai yang bikin hubungan ini banjir tangis, atau merah penuh amarah, aku melulu lari ke orang-orang terdekatku; ibuku, teman-temanku. Tentu saja, karena mereka kenal aku, mereka akan berdiri dan memihak aku. Beberapa kali aku dinilai salah, tapi tetap saja kan mereka akan ada di sisiku. Sama juga Elrepyan. Aku sempat kepikiran: ‘Coba ya dari dulu begini’, mungkin perkara putus lagi, pisah lagi, cuman cerita lama. Demikian juga Elrepyan, kan. Yang ada, setiap kita bareng, akhirnya orang-orang di sekitar kita yang turut patah hati, dan marah karena luka yang lalu-lalu, jadi punya pandangan menusuk.
Cara orang-orang terdekat kita untuk menunjukan rasa sayang, dan ngga kepingin kita berdua kenapa-napa jelas berbeda. Teman-temanku akan menggoda, setelah sebelumnya memasang wajah dingin bukan main karena aku menangis lagi, menangis lagi. Lama-lama aku dibuatkan waduk saking kerapnya--dulu--menangis. Mereka jadi lebih menjaga aku. Obrolan bareng Pipip Senin lalu bikin aku sadar, bahwa orang-orang terdekatmu ngga kaya di dalam pikiranku; mereka sayang Elrepyan dengan cara yang berbeda. Mungkin, caranya dengan terus menertawakan hal-hal ini, tapi sekalipun, seingatku, mereka ngga pernah membuat Elrepyan memilih aku atau mereka. Pun, mereka juga ada di sisi kamu dalam hal apapun. Aku betul-betul berterima kasih atas hal itu; keberadaan mereka, dan rasa sayang mereka yang ngga pernah berhenti. Meskipun yang mengudara adalah rasa terima kasih karena menerima aku sebagai partner Elrepyan, dan rasa terima kasih karena ngga pernah membuat kamu memilih siapa. Juga, ngga bikin kamu merasa sendirian.
Dulu, aku pernah merasa demikian. Mungkin karena teman-temanku juga capek, tapi ketika itu disuarakan Pipip, aku paham--karena aku sempat merasa demikian juga ke Apristia--bahwa rasa sayang, bentuknya apa saja; kadang-kadang ngga sadar malah membuat orang yang pingin kita lindungi jadi kesakitan. Swastati juga sempat mengalami demikian, aku merasa bersalah bukan main. Dari situ aku belajar, bahwa orang punya cara untuk menyayangi orang-orang di sekelilingnya, ragamnya banyak. Tapi, tetap harus tahu batasnya, Dan, teman-temanmu empat langkah paham soal itu. Aku betul-betul berterima kasih...
Pergi ke Semarang hari Rabu lalu berakhir dengan kartu atm-ku yang tertinggal di meja makan. Hari ini, alih-alih dapat kartu atmku, aku malah dapat kejutan dua ‘kartu’ lainnya dari Medelina. Tentu saja aku senang! Pun, waktu ketemu Laksamana kami keburu diusir—karena sekarang semua tempat makan harus tutup jam tujuh malam—jadi, kami pindah ke rumah Adelia, kekasih Laksamana. Di sana, kami bicara banyak sampai jam sebelas lewat. Aku jadi punya kesempatan buat bicara apa saja; ngga melulu Elrepyan. Mereka punya dua kucing, warnanya putih bersih, dan yang satu lagi oranye-putih. Persis yang dibilang Elrepyan waktu tahun 2017.
Sebelum aku pamit pulang dari rumah Adelia, gadis berkacamata dengan rambut hitam panjang lurus itu menahan. Berulang kali bilang ini bisa ngga ya episodenya dipercepat saja? Aku ketawa getir. Ya, aku juga maunya demikian, jadi tahu-tahu aku sudah punya pekerjaan baru, dan muncul di hidupmu lagi. Tapi, hidup kan ngga melulu soal cepat sampai sana, ada proses panjang; kamu butuh waktu lebih banyak buat berduaan dengan dirimu sendiri—ke terapis, menghabiskan waktu dengan orang baru—dan aku juga punya timeline sendiri. Berulang aku bilang demikian ke Adelia. Tanya Laksamana, kalau ngga percaya. Kegiatan main game bahkan sempat terhenti karena aku terus didorong-dorong untuk memencet kontakmu. Aku ketawa waktu panggilan telponku kunjung diangkatpun tidak; Adelia mengernyitkan pandangannya, Laksamana duduk jauh lebih tegap. Layar ponselku gelap, semua orang hening.
Aku tertawa.
“Ngga apa-apa, memang harusnya ngga usah telpon, Mbak.”
Jawabku tanpa menunggu Adelia tanya apa-apa. Ponselku bunyi, notifikasi suara ‘bounce’ bikin aku melonjak sedikit. Katamu, ponselmu sedang dalam kondisi charging. Sekali lagi, tentu saja atas permintaan kekasih Laksamana, aku tekan nomormu. Kali ini aku lebih yakin diangkat. Ponselku aku sodorkan ke depan wajah Laksamana, dan—benar sajar, diangkat! Suaramu mengudara, dibalas Laksamana. Lututku ditusuk-tusuk jari telunjuk Adelia, katanya aku harus buru-buru memperlihatkan wajahku.
Hening.
Wajahmu merah, dan kelelahan. Canggung benar rasanya. Ngga sampai sepuluh detik, lalu suaramu lenyap. Laksamana melempar kode ke arah Adelia, aku tertawa terbahak. Ya, tentu saja pasti ada sesuatu yang merayap lagi di ujung bagian dalam dadaku, tapi aku masih baik-baik saja, kok. Hanya saja, teman-temanmu ini benar-benar baik, Elrepyan. Ngga cuman Medelina, Laksamana mengatakan hal yang kurang lebih mirip. Aku tersenyum waktu dia bilang hal itu, lantas pamitan pulang.
Banyak hal di luar nalarku misalnya saja kejadian Laksamana dan COO-ku yang ternyata  bersahabat di sekolah dasar, satu meja. Kalau ini kebetulan, rasanya kelewatan betul. Ingat kalau COO-ku pernah berupaya mengenalkan ke sahabatnya? Aku pernah bahas soal bunga buket yang luar biasa tinggi, ‘kan? Nah, ternyata orang yang dikenalkan ke aku itu adalah teman baik COO-ku, sedang Elrepyan adalah teman baiknya Laksamana. Aku tertawa di jalan, ini benar-benar romantic comedy.
Kalau ini series, aku juga ingin tahu kira-kira keras kepalaku kali ini yang memilih untuk tidak beranjak dari ‘rumah’ ini akan menghasilkan apa, ya… Apa aku bisa dengar tawa kepunyaanmu lagi kaya yang dulu-dulu? Atau pergi ke satu tempat tanpa pikir panjang dan jadi liburan singkat kucing-kucingan dari orang rumah?
Tapi, kalau hidup seenak itu; untuk bisa dilihat ke depan akan macam apa, rasanya jadi kehilangan makna. Makanya, aku bilang berulang ngga apa-apa aku di sini—tentu saja aku akan hidup dengan baik, dan melakukan hal yang aku mau, mengejar mimpi pekerjaanku. Aku ngga akan kalah dari Elrepyan—toh, aku ngga kehilang apapun. Satu-satunya kehilangan yang kita sepakati adalah hubungan yang selesai di bulan September lalu. Itu. Sisanya, ngga. 
Orang yang baca surat ini mungkin akan bilang aku luar biasa bebal, keras kepala, orang gila. Apapun. Tapi, ya, aku mau hidup dengan caraku hidup. Kalau aku terus buka telinga, hatiku pasti ngga tenang, dan pikiranku berupaya mencari jawaban paling logis. Beberapa orang mengaku buka surat-suratku, aku tersenyum seadanya. Persis kata anak ayam, ibarat penonton, beberapa diantaranya pasti ada yang ikut patah hati. Hubertus yang ngga pakai acara perlu baca semua surat-surat ini saja, pulang aku dari Semarang dia kirim pesan menyemangati. Di dalamnya dia bilang pasti berat, tapi aku harus tetap semangat. Kurva ‘u’-ku menyeruak, dadaku hangat. Iya, berat, tapi aku ngga berduka kaya minggu-minggu sebelumnya. Aku merasa lebih ringan. Benar-benar ringan. Perasaan lain yang muncul adalah rasa sayang orang-orang di sekitarku. Hangat betul. Karena, ya, kalau ini dirujuk ke drama, ini sama sekali bukan drama. Ngga ada kamus drama Indonesia di kepala orang-orang yang punya hasil ringan begini, ‘kan?
Jadi, ya, sekali lagi, aku sehat dan baik-baik saja. Perasaanku juga jauh lebih ringan, dan aku jadi belajar banyak hal baru. Umurku baru akan dua puluh enam, aku masih bisa belajar banyak hal, bahkan sesederhana melihat beban sebagai petualangan baru untuk dijajaki dan menemukan jawaban-jawaban dengan caraku. Aku belum terlambat buat hidup dengan isi kepala anak-anak yang melihat segala sesuatu jadi sederhana.
Aku berdoa, semoga Elrepyan juga ke depan dapat melihat hal demikian; segala bebannya perlahan berubah jadi puzzle, rubik warna-warni, atau salah satu video game konsolmu yang harus ditemukan jawabanya karena kalau ngga misi kamu akan jalan di tempat, atau diulang.
Jangan lupa istirahat, besok sudah Senin dan Jakarta Utara mungkin melambai-lambai untuk dikunjungi. Sehat-sehat, ya.
__
Antika
3 notes · View notes
herewearebells · 3 years
Text
Surat #2
Yogyakarta, 18 Januari, 2021
10.03 PM
Satu-satunya Jatikalimasada
Sudah makan malam, belum? Kemarin aku dengar hari ini harus kerja dari kantor, ya? Kadang-kadang aku pingin iseng menekan nomor orang bagian human capital di kantormu, biar tahu kalau Jakarta sudah bukan panen covid-19, tapi benar-benar menang banyak perkara virus. Masa masih bisa-bisanya ke kantor? Kadang pergi ke utara sana pula. Kalau nyawamu sembilan masih lebih baik, masalahnya nyawamu satu. Belum lagi kalau sakit fragile-nya minta ampun. Sekalipun minum sari daun kelor, dan yadda, yadda, ketemu banyak manusia kan juga mengerikan, ya. Ganti masker medis tiap 4 jam sekali. Jangan lupa bawa tambahan masker juga. Sebelum masuk kamar, semprot-semprot badan dulu. Dan—ya, oke, oke, sudah tidak usah ngomel dan di-iya-iya-aja karena nanti kalau ngga tambah panjang.
Jadi, sudah makan?
Hari ini aku kerja banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak, dan menelfon satu relasi habis makan siang. Tanya soal kerjaan yang aku antusias buat tahu tetek bengeknya. Senang karena masih bisa dengar cerita soal pekerjaan ini; maksudku, paling ngga aku bisa tahu bahwa--mungkin--masih ada harapan untuk belajar, sekalipun kerja sambilan. Sebelumnya, aku olahraga, jauh lagi sebelumnya aku makan buah naga sisa potongan kapan hari. Selesai olahraga, aku meditasi. Kalau ngga salah empat menit. Pokoknya sampai salah satu lagu original soundtrack Reply 1988 selesai. Setelah itu aku melempar badan ke atas yoga mat warna biru. Lihat langit-langit rumah yang dihias lampu: dari lampu gantung cabang, sampai lampu rantai satuan. Aku lebih tenang ketimbang semalam lepas dengar suaramu. 
Omong-omong, aku tidur lebih cepat dan bangun jauh lebih pagi, lho! Aku tidur jam sepuluh malam lewat beberapa menit, dan bangun pukul tujuh lima puluh enam menit. Lihat, ‘kan? Lebih pagi!
Aku jadi ingat wajah anak ayam yang terpaksa waktu aku merajuk meminta namamu muncul di layar telpon. Demi apa, tertekan bukan main. Aku tertawa, anak ayam mendengus sebal. Mungkin batinnya, buat apa ini dua hari semalam mendengar obrolan banyak-banyak--yah, tapi gadis satu itu kan maha pengertian, jadi mungkin juga tidak berpikir begitu, sih--belum ada 2x24 jam sudah minta-minta ditelfonin kakakku. Tapi, karena adikmu itu juga adikku--memang adikku, sih--nurut-nurut saja dia. Layar telepon genggamnya menunjukan detik yang bergulir; satu, dua, lalu suaramu mengudara. Bukan suara yang biasanya menyapa aku dengan: ‘Dor!’ atau ‘haloooooo’ pakai ‘o’ yang panjang, dan ‘Lagi apa?’ yang manis. Sebenarnya, lagi, lagi, aku juga kaget pun ngga waktu suaramu tegas bilang bahwa pulang adalah pilihan bodoh.
Karena ya ini kan Elrepyan Upadio? Kalau bukan karena kepalanya terbentur, atau alasan-alasan urgent macam kangen, mana mungkin juga pulang? 
Makanya, sekalipun kerja dari rumah, aku juga yakin--jauh sebelum kau bilang--keputusan untuk tetap di Jakarta, alih-alih pulang ke Yogyakarta, akan jadi pilihanmu. Meski sekalipun kau jelaskan perkara nanti kalau pulang tidak punya ruang kerja yang layak; ada air conditioner, dan sejenisnya, tetap saja aku membatin ya karena di sini kan ada aku, jadi pasti kau tetap pilih Jakarta.
Walaupun kalau dilihat pakai nalar, milikmu 101 lebih logis ketimbang punyaku. Ya, lihat saja waktu telfon kemarin aku mengulang ‘Kalau aku ke Jakarta dan tahu-tahu di depan kos, gimana?’ yang tentu saja ya daripada dapat suara riang, malah dapat omel.
Lucunya.
Tahu, ngga? Setelah beberapa hari yang lalu tanya-tanya itu, dan memutuskan menutup akses--karena mau gimana lagi? Karena toh aku diminta pilih sendiri. Kalau aku terus buka jalur, pasti aku tetap di sini pakai harapan besar sekali. Belum lagi nanti ada lagu-lagu sendu yang bikin tangis mengucur. Makanya, aku pikir baiknya ditutup aksesnya. Tanpa bermaksud drama, karena apa yang mau didramain? Bersama dengan perasaan yaudah, yaudah, dan selesai baca jurnal yang lalu-lalu: entah waktu meluncur ke kolam warna-warni, atau lihat langit gelap dengan hujan dan petir melambai, aku tahu bahwa ngga ada untungnya buat aku punya harap-harap lihat Elrepyan duduk di sofa ruang depan, berhadapan sama ibuku. Aku ngga boleh terus-terusan berharap demikian. Jadi, aku mencoba memberanikan diri gitu aja buka kotak pesan ke anak ayam. Beruntung sempat papasan waktu anak ayam parkir ingak-ingik di salah satu supermarket dekat Ring Road, terus aku lihat. Jadi punya bahan pembicaraan. Ya ampun, mau memulai obrolan pakai cari-cari cara, masih kena untung aku dikasih jalan sama Yang Punya Jagad Raya! Lalu, aku kirim pesan intinya tanya tadi yang aku temui di jalan beneran Marchy, bukan? Kan bakal lebih syok lagi kalau anak ayam bilang: “Bukan Mba, tadi yang bawa mobil Mas Refi.”
Ya, ngga mungkin juga. Mon maap.
Dari situ aku coba... Mungkin, aku bisa mulai untuk pamit ke orang terdekatmu: anak ayam, ibumu--Tante. Aku rasa--wow, perasaanku benar!--buka topik ini cuman sejam, dua jam, mana bisa. Orang hubungan ini saja tiga tahun, belum naik-turunnya, belum ada orang A-Z yang turut memeriahkan hubungan. Ya, mana bisa, coba? COBA?! Jadi, aku izin untuk tidur di rumahmu, sehari, untuk pertama kalinya.
Sebelum ke rumahmu, sesiangan kepalaku penuh; nanti kalau ternyata omonganku malah berlabuh ke petaka, aku kehilangan orang-orang yang aku sayang. Aku harus gimana. Dan banyak sekali suara di kepalaku. Penuh luar biasa. Maka, waktu ibuku tanya-tanya--karena kami sedang melaju ke rumah yang entah bulan apa akan aku tempati--suaraku jadi melengking tinggi sekali. Ibuku mengernyitkan dahi. Sudah paham karena putri semata wayangnya pasti penuh pikirannya. Jadi, wanita yang pakai gamis warna hitam dan penutup kepala warna merah itu hanya berdecak sambil geleng kepala, lalu nyanyi ‘Gelas-Gelas Kaca’ bagian reff. Kembali lagi karena ini Bella Antika, sampai di bangunan aku jadi pikir-pikir lagi... Kepingin ngajak ngobrol empat mata, tapi ibuku diajak ke mobil malah melipir nanya spirit yang kapan hari muncul ke Mas Aziz, tukang yang lembur--gila, kan, 2021 tukang bangunan lembur. Kamu pasti baru tahu!--aku jadi serba salah. Lalu,aku bilang gini ke ibuku: "Ma.. Aku lagi pusing kerjaan, mau peluk.” Padahal ya emang pusing kerjaan, juga pusing karena kok jadi gini ya hubunganku tolong. Syukur karena ibuku cepat tanggap dan tahu kalau isi kepala dan hatinya Bella Antika ngga beres. Jadi, aku pamit kalau mau tidur di rumahmu, bilang ke ibuku kalau aku mau pamit... Ibuku cuman tepuk-tepuk bahuku. Ya, dia bilang satu, dua kali soal Elrepyan, kaya yang sudah-sudah. Tambahannya paling bagian ini: “Semangat.” yang bikin aku senyum getir.
Mana ada orang patah hati bisa semangat?
Sebelum ke rumahmu, aku mampir ke cucian mobil di kiri jalan. Aku pikir itu langgananmu, tapi ternyata bukan. Aku lihat mobil, motor, sepeda, sesekali bapak/mas-mas jualan bakwan kawi lalu-lalang, sambil kepalaku dipenuhi pertimbangan jadi menginap, atau bertamu aja, ya? Bawa mobil sendiri, bawa buah tangan kaya yang dulu-dulu tiap ke rumah. Ngga perlu pakai menginap. 
Ada kan perasaan ingin membatalkan semua-semuanya di detik-detik terakhir?
Lalu aku lihat bayangku di kaca samar tempat cucian; aku bisa lihat wajahku yang ketutupan masker, setelan cokelat atasan-bawahan, sandal putih yang aku beli di teman kerjaku, tas hitam kesukaanku, dan yang paling aku bisa lihat adalah sepasang mataku yang lihat bayanganku. ‘Kalau bukan hari ini, mungkin ngga ada hari-hari lain.’ kayanya, kurang lebih aku membatin demikian. Selesai cuci mobil, aku tancap gas cepat-cepat--karena anak ayam bilang sudah lepas landas menuju Dirgantara--ternyata sampai depan rumah, belum juga sampai. Aku ketawa pelan, ingat kalau gadis satu itu kan baru lanyah bawa mobil berapa bulan, masa iya kecepatannya sama kaya kalau kau bawa mobil.
Aku bawa piyama garis-garis, skincare, udah. Ngga ada pikiran bawa baju ganti pergi karena... Ya, kan aku ke rumah untuk pamit, buat apa bawa baju ganti pergi? Paling habis bangun tidur, sarapan, mandi, terus pulang. Itu juga aku pikir paling siang aku pulang sampai rumah jam satu siang.
Anak ayam datang, cengar-cengir. Pintu dibuka dan... wow, here we go again aroma laut yang tahun lalu aku tertawakan dan bikin kernyit di dahi dan ranummu mengerucut saking aku mengulang-ulang bilang bahwa aromanya asing bukan main dan... aneh baunya. Tapi, hari itu aku tertawa; entah karena ingat Elrepyan, atau ingat obrolan kita soal pengharum mobil satu itu. Kalau bukan karena Elfira di sebelahku, tangisku mungkin sudah di pelupuk mata lagi. Untung, tidak.
Kami beli jajan kesukaanku. Betul! Taigeroarsprung! Mereka punya ceker yang enak betul, besok kalau pulang wajib coba. Ada wotie juga, isinya ayam cacah dan entah apa, lalu beli hakau isi udang, bapao telur asin--yang kata anak ayam mirip selai apa ya lupa. Srikaya? Eh, apa, ya? Aku lupa. Pokoknya punya tekstur--dan cakwe udang--yang ya sekali lagi--gosong. Untungnya, Tante, dan anak ayam makan lahap-lahap saja.
Ternyata ya, aku kangen juga dengan suasana rumah yang penuh dengan tanaman entah di taman belakang, depan, atau lorong bagian tempat jemur. Aku kangen suara heboh Tante waktu buka tudung makan dan... beneran, ada banyak banget makanan! Tante masak rawon, ada telur asin yang udah masak dan dipotong jadi dua, ayam-ayam fillet tepung, tempe goreng, sayur jipang enak, kolak--yang aku kira isinya bakal ada duriannya. ‘Kan, lumayan ngga ada Elrepyan jadi aku bisa makan durian yang banyak--dan ini dia andalan Ibu Hadijah: jahe rebusan pakai empon-empon satu hektar, jangan lupa madu--untung punyaku diisi madu anak ayam--atau gula batu, dalam kondisi panas. Anti covid, kata ibumu.
Kami makan bertiga sambil ngobrol ini-itu. Lanjut ibadah, kali ini satu jajar, karena biasanya kan yang di depan kau. Selesai itu, aku tanya ke anak ayam kalau bagian lantai dua--yang adalah kamarmu--sering dibersihkan atau keluputan? Tentu saja itu akal-akalanku, karena aku juga rindu lihat-lihat lantai dua. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku lihat lama-lama. Jadi kami, aku, anak ayam, dan ngga berapa lama disusul Tante, lihat-lihat kamarmu. Lagakku persis pengunjung pameran seni; badan membungkuk ke depan, coba buka kotak penuh debu bekas menaruh hadiah tiga tahun yang lalu--instalasi seni kan ada yang boleh dipegang atau dibuka-buka, jadi anggap saja demikian--tapi ternyata isinya cuman satu box hitam. Mataku melesat ke bagian atas rak, dan--YES! Aku dapat satu harta karun yang dibalas senyam-senyum anak ayam. Yah, pokoknya adalah aku dapat satu harta karun di kamarmu yang bisa aku genggam sampai turun ke lantai bawah, aku tutup tisu, lalu aku masukan kantong tasku. Untung, Tante ngga lihat. 
Kalau ketahuan, malu juga. Walaupun tetap akan aku bawa pulang juga.
Setelah sesi cemal-cemil ronde satu, Tante pamit ke kamar karena katanya kerjaannya segunung. Di dapur, aku update hidup sama anak ayam sampai lewat jam sebelas lebih; soal tempat makan sushi langganan kita yang dikudeta, temanku si S, temanku yang baru punya pacar dan pacarnya ajaib minta ampun, soal banyak sekali. Sampai akhirnya kami pindah kamar habis selesai makan malam--Tante ngga ikut soalnya udah dalam mode curl up into a maguro mentai roll, alias tidur bergelung pakai selimut di atas kasur--ganti baju tidur, pakai skincare--masa aku pakai ampoule anak ayam jerawatku langsung pada kalem. Whoa! Should I buy?--terus lanjut cerita-cerita soal update kehidupan Elfira. Ternyata, ya, bahkan gadis yang selalu aku kira ketawanya paling renyah dan polos ini, punya juga ketakutan-ketakutan. Aku bersyukur dibagian Elfira punya teman-teman yang baik; jadi dia ngga merasa sendirian. Bisa melalui pelan-pelan ketakutannya bareng orang-orang yang dia sayang. Bagian itu, aku benar-benar bersyukur.
Titik dimana aku mencoba memberanikan diri buat bicara perkara Elrepyan dan Bella Antika--yang rasanya selalu didengar Elfira--kali ini rasanya... sedikit berbeda; aku ngga tersenyum kaya yang lalu-lalu kalau kita bertengkar soal ini-itu. Aku sibuk komat-kamit bilang terima kasih ke anak ayam; gadis SMA yang sekarang udah besar dan punya tanggungan tugas akhir. Padahal perasaan baru kemarin aku check website buat make sure kalau bungsu Pak Dosen ini lolos masuk jalur mandiri (...bentar, aku pikir kali ini aku ngga bakalan nangis, tapi bagian ini bikin aku mulai berkaca-kaca), tapi ternyata udah sebesar ini. Bolak-balik dengar hubungan kita; dari di depan es pisang ijo Mandala, di tempat ibadah rumahmu, sampai sekarang di kamarnya. Aku pikir juga, karena tangisku berulang kali bercucuran beberapa hari terakhir, malam itu suaraku bakal konstan, bisa menyampaikan apapun dengan tenang, ternyata tetap bergetar dibanyak bagian. Aku pikir anak ayam juga akan baik-baik saja, ternyata tangis kami saling susul. Elrepyan benar-benar punya adik yang baik, dan pengertian. Pun, bisa menyikapi banyak hal dengan tenang. Dia ini ya sudah macam jembatan penghubung kemauanmu dan ibumu, tahu. Coba sekali-kali ditanya juga bungsu ini mau disayang pakai apa. 
Jam tiga lewat lampu kamarnya baru dimatikan, tapi aku susah tidur, jadi aku lihat pintu kaca yang tembus ke kamar mandi, lalu mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar. Usai adzan subuh mataku terpejam, kalau tidak salah. Padahal aku bertekad bulat untuk bangun subuh, jadi bisa bicara banyak sama Tante.
Jujur, bangun-bangun aku kaget karena kamar anak ayam dingin minta ampun. Buru-buru cek handphone ternyata jam sembilan pagi. Lalu cepat-cepat cuci muka, sikat gigi, dan jinjit keluar kamar anak ayam--anaknya tidur tanpa berubah posisi untungnya. Aku kira Tante masih tidur, soalnya jam satu pagi Tante bangun dan katanya mau bikin tugas segunung setelah tidur dua jam. Tapi, ternyata ngga ada di kamar. Ternyata di taman belakang lagi asik duduk sambil potong bonsai. Waktu aku susul duduk, tanganku malah digandeng masuk. Katanya, di luar dingin, nanti kalau aku masuk angin bisa diomelin dari Jakarta. Aku ketawa, padahal mencelos juga hatiku.
Tante bikin pisang goreng--kemarin pisangnya juga ada di kolak. Manis banget pisangnya omg--katanya beli di mall sebelah alias depan stadion. Sekarang daerah situ isinya orang jualan. Kayanya comeback Sunmor UGM bakalan kalah mengingat tenant di sekitar Stadion lebih banyak. Kata Tante, harga pisang kepoknya dua puluh ribu aja, padahal biasanya beli pisang di pasar tani harganya tiga puluh ribu. Mau nyari apa aja sekarang enak, tinggal ke mall sebelah. Bahkan, katanya ada tenant Nevada Gardena jualan di situ. Aku udah ngga tahu mau amazed atau kasihan sama tim pemasarannya Nevada.
Kangen Eyang Putri, ngga? Tante cerita kalau pingin banget bawa Eyang ke sini lagi aja. Solo dan segudang hal bikin Eyang jadi kesulitan untuk senang-senang, gitu kata Tante. Aku jadi ikut kepikiran. Apalagi, hari Kamisnya aku sempat mimpi Om. Kami duduk di ruang tunggu rumah sakit, persis waktu pertama antar Om. Sebelum ada tie dye ramai-ramai, Om udah pakai itu duluan; biru-putih. Kami duduk sebelahan, di depan dan di belakang ada orang duduk juga. Harusnya aku ngerasa canggung kaya waktu nemenin Om ke Rumah Sakit pertama--siapa yang ngga canggung dan grogi pergi sama ayah pacarnya?--tapi di mimpi itu, aku malah nangis. Kepalaku nunduk, dan mataku lihat ubin kotak-kotak putih yang bersih dihujani air mata. Aku ingat betul, aku bilang maaf berulang ke sosok di sebelah kiriku, Konteksnya tentu saja sulung kebanggaan bapak umur lima puluhan di sebelah kiri. Padahal, aku sama sekali ngga sebut nama kamu.
Kalau dipikir-pikir, scene aslinya memang demikian, tapi obrolannya jelas beda bukan main. Mana ada aku nangis, ada juga aku ketawa-ketawa kikuk, dan Om cerita soal Jatikalimasada yang keras kepala, susah bicara, tapi punya prestasi serenteng. Belum lagi tanya Om soal: “Refi mungkin kelihatannya dingin, mungkin salah saya didik Refi, tapi Refi orang baik... Bella sudah sama Refi ya berarti?” yang selalu bikin aku ketawa, bahkan sekarang, kalau ingat momen itu. Mungkin, ada satu, dua, atau beberapa hal yang bikin hati kepunyaanmu masih biru-biru karena memar soal rumah atau satu dari dua orang ini; entah Tante, atau Om, tapi yang harus Elrepyan tahu, sependengaranku, dan penglihatanku, laki-laki yang selalu bawa duo El melipir ke Texas waktu selesai belanja itu sayangnya minta ampun. Ingat ngga waktu sebelum berangkat ke Thailand? Aku sempat ketemu Om juga sore-sore. Om duduk di kursi yang tembusnya ke garasi, sedang aku duduk di sofa panjang. Aku sepersekian detik iri sama Elrepyan. Iri sekali. Om cerita sambil ketawa lirih, tapi matanya berkaca-kaca. Upadio satu itu nakalnya bukan main pernah kabur les dan pergi main game online. Bapak dua anak itu juga bilang, putranya suka gambar. Waktu kuliah mendadak suka fotografi. Lalu, aku ditanya pernah difoto putranya ngga? Aku cuman ketawa, tapi mataku berkaca-kaca. Belum lagi, aku lancang tepuk-tepuk punggung tangan Om karena kita ketawa tapi matanya banjir air mata.
Besok kalau aku ke sarean Om, aku mau bilang hasil foto Elrepyan selalu kabur, atau aku ngga siap. Sekalinya bagus, Elrepyan ngga bakalan kasih lihat ke aku cepat-cepat, lebih sibuk teasing sampai aku sebal sendiri. 
Kadang, aku masih suka tanya sama diri sendiri, apa iya ada orang yang kecil dan besar terus-terusan disuapi edukasi, target, dan hal-hal yang menurutku cuman ada di ftv, atau telenovela. Ternyata, memang betulan ada; Elrepyan, Elfira. Dari obrolan sama Om di ruang tamu, aku jadi tahu bahwa kalau Jatikalimasada satu ini mendadak diam, kemungkinannya dia kesulitan bilang apa maunya, atau marahnya kepalang batas. 
Aku pikir aku khatam, sama khatamnya ibuku kalau suaraku melengking, ternyata aku masih remidi juga soal yang satu itu.
Pun, kalau kau dingin tetiba soal hidup orang di sekitar, aku juga masih remidi. 
Omong-omong, menu sarapanku cukup ekstrim, lho. Bukan karena capcay, atau pisang goreng. Bukan juga fillet ayam goreng, atau jahe hangat di pagi hari; Tante masak ikan nila besar-besar empat ekor. Aku makan nasi dan ambil rawon yang diangetin, pakai fillet, tempe, dan capcay. Kayanya kalau aku ngga buru-buru bilang “Tante, ikannya ronde dua aja!” aku yakin ikannya mendarat epik di atas piringku. Padahal, selama ini makan ikan modal tangannya punyamu, aku tinggal bilang ‘aaaa’ panjang sambil senyam-senyum.
Kami cerita banyak hal. Beberapa kesempatan Tante sempat bilang: “Ngga mau pikiran, nanti jadi sakit atau stress.” karena bahas soal beberapa kejadian di kantornya. Hari itu aku baru tahu, kalau Mama kamu itu pintar bukan main, lho. Terus aku jadi ingat pernah baca jurnal kalau ibu itu pasti akan menurunkan kecerdasan dan banyak hal ke anaknya. Aku jadi ngga heran kalau Elrepyan dan Elfira bisa keep up sesuai dengan mimpi orang-orang: SD, SMP, SMA, kuliah bagus semua. Ada momen dimana aku suka tanya ke ibuku kenapa aku dari kecil ngga dibikinin timeline biar bisa masuk ke sekolah yang negeri. Sebagai satu-satunya manusia yang suaranya paling besar di rumah, ayahku bilang kalau aku ngga harus pintar akademi, aku boleh pintar dimana saja, jadi nanti aku bisa punya banyak ‘keluarga’, dan malah buka les-lesan biar bisa gantian ngajarin orang yang ngga bisa ngobrol ke orang di sekitarnya. Aku kira ayahku cuci tangan, ternyata yang begituan beneran ada. Lihat Elrepyan yang lingkaran pertemanannya bisa dihitung jari, atau cara Elrepyan lihat langit mendung, aku jadi paham bahwa ngga semua orang hidup di lingkungan yang sama kaya aku. 
Kalau dipikir, aku juga belajar banyak selama kenal Elrepyan...
Jujur, aku jadi pikir-pikir lagi mau bilang ke Tante buat pamit sebagai salah satu lakon dihubungan putus, nyambung, putus, nyambung, putus lagi... Karena rasanya Tante lagi berapi-api cerita soal si A yang ini dan itu, belum lagi berulang bilang kangen minta ampun sama anak lanangnya yang jauh. Maunya disuruh pulang, tapi yang disuruh pulang iya-iya aja. Ada satu momen Tante kangen dikali seratus pangkat tiga, kali dua belas. Pokoknya banyak! Telpon berulang ke nomormu, ngga juga kunjung diangkat. Akhirnya nangis kejer di kamar dan nelfon anak ayam. Kebetulan, anak ayam kebanggaanku ini kan VP di salah satu kegiatan kampus, jadi waktu dia lagi mau presentasi di forum besar, dan pencet layar, suara ibunya menggelegar ke seantero ruangan; nangis sesenggukan. Waktu dengar, aku ketawa dan mataku berkaca. Ya ampun, ternyata memang jagonya ya kamu ini buat bikin dua orang wanita nangis salah paham sama maksudmu? Hhhhh, sebal. 
Aku ketawa, lalu mataku berkaca, Tante bolak-balik ambil tisu. Tante ketawa, lalu aku ditanya pernah ngerasa gitu juga, ngga? Kepalaku ngangguk-ngangguk, persis burung pelatuk. Kita ketawa, hampir berbarengan. Tanganku mendarat di jemari tangan ibumu. Aku rasa, itu suara paling lirih yang pernah mengudara dari katupku. Pelan-pelan aku bilang terima kasih ke wanita yang sekarang sudah jago untuk mengatasi banyak masalah di hidupnya; dari bisa bawa motor, sampai paham bagian mana di rumah yang bocor. Dua ribu sembilan belas cukup buat aku belajar mendorong jauh semua orang yang ada di sekitar kamu; Tante, anak ayam, teman-temanmu, termasuk Elrepyan. Aku dan pikiran-pikiran di kepalaku yang semu, atau perasaan sedih kalau lihat anak ayam muncul di story atau teman-teman terdekat kamu. Aku ngga mau melihat mereka sebagai bagian dari Elrepyan dan bikin aku menerka-nerka, makanya aku memutuskan buat pamit. Jadi, ketika aku lihat Tante, aku lihat Tante sebagai Bu Hadidjah. Pun, demikian ketika lihat anak ayam, atau teman-teman kamu. 
Satu sampai sepuluh, aku berupaya ngga nangis di angka 17. Tapi, yah, ternyata Tante nangis, aku jadi nangis. Semua orang nangis. Kami baik-baik aja habis itu, malah cerita soal kamu yang kabur dari anjing naik sepeda, padahal anak ayam di belakang kamu lari-larian minta dibonceng. Tante berspekulasi, mungkin putranya lagi gila kerja, dan masuk level satu stress kerjaan. Gimana kalau sekarang atur strategi biar sulungnya bisa di rumah. Aku ketawa, benar-benar ketawa. Lalu obrolan berlanjut ke soal penutup kepala... Aku pikir sebenarnya obrolan ini ngga  perlu, tapi ibumu itu kan ceplas-ceplos. Jadi dia cerita, sambil ambil tisu kalau ngga pernah bermaksud melukai aku. Aku jadi nangis lagi. Rasanya kaya kalau ngobrol sama Bu Mira, ringan.
Satu lagi. Ingat perkara bulan Agustus-September yang jawabannya ngga ada dan berujung kita kuat-kuatan diam? Tahu apa jawabannya? Ternyata, ibumu itu ngga mau kalau putranya jadi manusia yang ditinggalkan karena kalah cepat. Mengingat ibumu punya pacar enam tahun, tapi kalah cepat waktu datang bawa lamaran. Aku sesenggukan waktu dengar itu, Tante hela nafas panjang. 
Kadang-kadang, Elrepyan, ada hal-hal yang perlu dibicarakan dengan suara pelan setelah diam... Bukannya iya iya iya atau terserah terserah terserah.
Waktu mau pulan buat jadi ‘dosen tamu’ alias guru les setir anak ayam dimedan baru, Tante peluk aku erat banget. Ngga bilang apa-apa. Terus, kaya selesai biasa kita ibadah, pipi kanan-kiri, dan keningku dicium Tante.
Detik setelah menulis paragraf di atas, aku merasa... kenapa ya ngga dari kemarin aku kaya gini? Kenapa ya, aku ngga ke rumah kamu dari Agustus lalu. Kenapa, ya, kamu ngga mau coba buat tanya ke aku soal pengikat apalah yang ternyata bagian dari trauma Tante--meski ngga disebutin gamblang--ke aku? Kenapa, ya? Kenapa.
Lalu beriringan muncul kata: kalau aja, kalau aja, kalau aja. 
Tetap saja, aku bersyukur berhasil melakukan ini semua; hatiku lega. Pun, aku punya bonus tambahan dengar suaramu--walaupun habis itu aku ngga berupaya telpon pakai ponselku sendiri. Tahu telponnya ngga dimatikan waktu suaraku gantian muncul aja, harus banyak bersykur--mengutip kata Tante. Rasanya... Aku kaya selangkah lebih maju. Mungkin belum benar-benar beranjak, ya... Paling ngga tangisnya bukan badai, cuman satu-dua tetes, lalu sudah baikan.
Pipip tadi juga tanya--setelah aku sempat bilang kalau seharusnya daridulu aku ngelakuin ini ya; kalau kenapa-napa sama partnerku, aku tanya ke keluarga dan teman-teman terdekatnya. Jadi ngga perlu ada perasaan orang-orang di sekitar kami ikut sedih, marah, atau patah hati. Karena.., ya, kalau cerita ke orang terdekat, pasti ambil posisinya ke teman sendiri atau putra/putri sendiri. Coba kalau dari awal ceritanya ke ibunya, adiknya, sahabatnya--sekarang gimana perasaanku? Aku bilang, lebih baik, tapi tetap kehilangan. Kami lanjut ngobrol banyak hal setelah itu. Banyak. Januari akhir ini Pipip berangkat ke kaki Tawangmangu sana. Sebelum tutup telpon, aku dengar suaranya bilang maaf. Maaf karena waktu aku dan Elrepyan ngga baik-baik aja, malah membuat aku merasa kaya harus memilih antara teman-temanku atau Elrepyan, dan bukan di sampingku. Tentu saja kelanjutan dari obrolan itu berbuah aku senyum tipis, dan meleleh juga air mataku. 
Setelah sekian lama, aku sadar bahwa patah hati karena pasangan kamu punya orang lain di hidupnya, lebih mudah buat di-cut off dari hidup, ketimbang masalah-masalah begini; kamu sayang orang ini, tapi kamu tahu bahwa satu sama lain ngga juga bisa bareng.
Aku harap, entah kapan, pelan-pelan Elrepyan bisa ‘sembuh’. Kaya Elrepyan belajar pelan-pelan dekat sama Elfira...
Change, like healing, it takes  time.
__
Antika 
1 note · View note
herewearebells · 3 years
Text
Surat #1
Yogyakarta, 15 Januari, 2021
11.30 PM
Satu-satunya Jatikalimasada
__
Apa kabar? Hari ini masuk akhir pekan. Kalau dilihat dari jam di atas, kegiatanmu antara sedang sibuk main permainan konsol lagi, atau lihat YouTube. Omong-omong, view Jepang yang ada jalan-jalan bagus, dinding artsy, belum jadi juga dikirim, lho. Sengaja agar dihubungi, atau bagaimana, sih?
Lepas empat, atau lima hari sejak suaramu mengudara dengan wajah riang Aku pikir, rinduku berbalas. Tentu saja jariku cepat-cepat menyentuh layar telepon genggam, tak karuan ditengah banjir air mata merindu, berbalas dengan riuh telepon yang berdering. Setelah diangkat, sedetik, lima belas detik, kakak kandung anak ayam masih berceloteh soal nastar. Aku senang, karena aku juga habis melahap beberapa butir nastar. Rasa-rasanya, telingamu tak dengar--atau mengabaikan--lalu bercerita perkara kucing yang sekarang sedang Elrepyan sayang-sayang dengan nastar dan susu. Aku susul suaramu pakai kata: “Aku juga habis makan nastar!”
Hening.
“Pakai susu?” tanyamu.
Harusnya hatiku tak perlu mencelos, dan tinggal bilang saja: “Nggaaaaa!” lantas menanyaimu hal lain, tapi detik itu aku tahu bahwa perkara tambal-sulam hubungan kita bukan hanya permintaan hidup serumah sampai tua, seperti yang lalu-lalu aku pikir sebagai masalah utama. Kepalaku serasa dihantam batu beton. Iya, ya, kita masih belum bisa mengapresiasi satu sama lain: entah aku yang kerap merasa bahwa hatiku nyeri karena tanggapan-tanggapanmu, atau Jatikalimasada satu ini yang merasa beban karena melulu dihujani perasaan bersalah.
Suaramu masih berapi-api perkara kucing, nastar, dan susu sapi--padahal aku beberapa kali bilang susu sapi mana boleh dikonsumsi kucing, bisa diare--selongsong tawa polosmu lolos waktu aku panjang lebar bilang. Lalu, rasanya... Aku ingin pamit tidur saja. Karena hatiku tidak hangat sama sekali. Sepertinya aku jadi rajin pamit tidur, tapi tidak tidur sejak hubungan terakhir di 2018 silam.
Alih-alih memompa kasur angin agar lekas bisa memejamkan kelopak mata, tanganku malah sibuk mengacak rak. Mencari buku jurnal hadiah rekan kerja, lalu menulis dengan pena hasil curian dari buku Yogi. Aku menulis panjang, banyak sekali. Berlembar-lembar. Lebih banyak ketimbang halaman awal; isinya kalau tidak salah waktu itu aku menangis di perjalanan pulang dari rumah Akib setelah meeting untuk shoot dini hari. Kalau ingat, waktu itu aku menelpon dan sesenggukan--entah dengar atau tidak--tapi suaramu berapi-api senang bukan kepalang soal konsol permainan videomu. Aku menjawab, dengan suara bergetar, ingin buru-buru pindah ke Jakarta, dapat kerja di sana. Jadi aku bisa menangis sesenggukan di dekatmu. Sambil bilang selamat sudah punya mainan baru. Mau juga ikut main. Tapi, lagi-lagi, tak dengar juga Jatikalimasada itu. Atau, waktu itu aku buru-buru menutup telepon, karena tak tahu harus bilang apalagi. Sejak saat itu, jurnalku penuh tulisan, bahkan sampai di tengah siang bolong aku menangis sesenggukan karena tak juga punya jawaban atas--waktu itu--masalah yang aku kira perkaranya menikah saja. Tapi ini hubungan yang dibangun dengan Yang Dipertuan Upadio, jadi tentu ada gantung yang muncul ke permukaan. Walaupun setelahnya satu tawamu bergemuruh pelan, tetap saja tangisku mengudara tak bersuara jua. 
Lalu, begitu saja. Seperti yang sudah-sudah, kita berpisah, lagi. Walaupun kali ini diiringi kalimat menenangkan kepunyaanmu perkara akan pergi ke terapis, jadi nanti--entah kapan, mungkin dua atau tiga tahun--kita bisa ‘pulang’. Bella Antika bisa fokus dengan mimpi-mimpinya, dan Elrepyan juga. 
Kalau dipikir-pikir, memang selalu demikian; Elrepyan akan mengiyakan untuk tidak bersama begitu saja, dan hidup baik-baik saja selama kita masih bisa saling bicara. Semuanya seperti lingkaran setan. Padahal, aku pikir ‘tambal’ kali ini tak akan bermasalah. Atau, setidaknya kalau bermasalah kita bisa menemukan jawabannya lagi: walaupun naik-turun.
Perkara komitmen kan bukan melulu senang-senang dan baik-baik saja? Ada gemuruh juga, kadang malah bencana luar biasa. 
September 2020, lalu Januari 2021. Beberapa kali dalam seminggu ditiap bulan selepas September akan ada notikasi suara ‘bola’ yang waktu itu dipilih sendiri sebagai dering tiap pesanmu muncul di layar telepon. Tentu saja pelakunya satu-satunya penggila gundam di hidupku. Minggu pertama setelah deklarasi untuk tidak bersama, foto kita hilang di sosial media kepunyaanmu. Waktu itu aku tengah berada dihiruk pikuk kekeh kawan-kawanku. Mati. 
There is no turning back.
Desember jadi bulan paling dinanti... Karena, ya, aku pikir akan ada makhluk besar pulang dari Jakarta. Suaramu memecah hening di bulan Oktober akhir atau November, berkata bahwa batal. Aku harusnya tahu, karena ini Elrepyan Upadio Jatikalimasada, akan ada pilihan-pilihan tidak terduga--yah, lagipula pandemi. Aku iya iya saja, karena ya mau apalagi. Walaupun tentu saja karena ini Bella Antika yang ‘itu’, tangisnya lagi-lagi memenuhi bantal kamarnya. Meski tak bersuara, aku yakin bahwa hatiku remuk redam; aku tak punya kesempatan bertemu. Susah payah aku tutup mulut perkara putus--karena ya masih saja otakku menyuarakan bahwa ini masih bisa, masih bisa--tapi nyatanya gadis yang paling riang diantara kita berdua lepas juga memberitahu bahwa ibumu tahu hubungan ini karam lagi. Kadang-kadang aku tanya juga si bodoh ini--aku, maksudnya--kena gendam apa sih sampai berlarut-larut begini?
Bulan Oktober atau November lalu, setelah telefon darimu berdering, aku mengunjungi satu teman. Rumahnya jauh di Selatan sana. Kalau pulang di atas jam 7, gelapnya bukan main. Di sana, aku dibaca cuma-cuma Tentu saja aku tertawa-tawa, tidak mau ambil pusing. Atau efek anggur merah suguhan yang enak, dan jajan ini-itu. Aku lupa. Tapi, aku tertawa-tawa sembari mengantri di belakang Akib--iya, Akib Aryo yang itu, yang suaranya paling nyaring, dan tawanya paling renyah. Akib Aryo yang dapat janji makan daging, tapi belum  dipenuhi siapa lagi kalau bukan Upadiozilla pelakunya?--padahal, aku tak berniat antri. Memang temanku yang satu itu, namanya Mba Bennet, orangnya pintar sekali. Ingat waktu aku tes buat agensi PR di Jakarta? Aku sempat belajar sama Mba Bennet. Tanya Elfira, deh. Aku telefon di ruang tamu dengan jantung berdegub takut-takut tak paham. Lalu, apa hasil tarotku? Sesungguhnya aku lebih khawatir kalau pekerjaanku yang sekarang kurang sesuai dan sejenisnya, tapi Akib, dan Mba Galuh berisik sekali menyebut kata jodoh. Jadi, bagian punyaku fokus pada percintaan. Satu sampai sepuluh, aku mengambil kartu secara yakin di angka tujuh. Rasanya, kalau hasilnya buruk, aku tak mau dengar saja, ah. Dan, ternyata memang Tuhan Maha Mendengar, dan Semesta Maha Tahu; kartu yang aku dapat pertama bilang bahwa hubungaku (tentu saja pasangannya masih siapa lagi kalau bukan Jatikalimasada yang satu ini?) sudah selesai. Done. Kalau di drama korea mungkin scene ini akan memutar wajahku yang membeku di antara teman-temanku yang tengah karaoke di basecamp. Waktu itu aku tertawa, masih bisa tanya: “Masa, Mba?” Lalu, Mba Bennet angkat bahu sambil bilang: “Ya, mungkin bukan dekat-dekat ini. Kowe sayang banget, po?” Gemuruh suara Akib mengudara, aku tertawa, Mba Galuh penasaran kartu berikutnya.
Tahu apa kartu berikutnya? Kartunya bergambar hati banyak sekali, kalau tak salah ingat. Mba Bennet tertawa, Akib Aryo penasaran, aku khawatir sendiri. Benar saja, arti kartunya akan ada beberapa orang datang di hidupku perkara romantic. Sekali lagi, ruangan dengan dominasi perabot berwarna cokelat kayu dan temaram kuning cahaya lampu, dipenuhi suara riuh-rendah. Kali ini Mba Galuh pakai acara pukul-pukul meja kegirangan. Hari itu aku belajar hal baru: soal eceran, dan grosiran. Katanya, grosiran tuh model yang sekarang aku lakoni; baru bisa skinship kalau sudah ada ijab ‘Yuk, officially jadi partner in romantic, ya.’ Tanpa itu, mana bisa.
Omong-omong aku pulang dari rumah Mba Bennet lepas jam sembilan malam, itu juga Maman--nama mobil putih di rumah--alih-alih menuju lurus sampai ring road yang mengarah ke UPN, malah berbelok. Kepalaku diisi dengan edukasi singkat persis kuliah tujuh menit di ibadah-ibadah jeda antara shalat isya dan terawih. Bedanya, ini perkara romansa. Rasanya, aku lugu benar karena waktu itu tanpa pikir panjang menghampiri seseorang. Aku pikir, aku bisa berlaku demikian enteng saja, lagipula Mas Refi saja bisa sekenanya membatalkan sesuatu, dan tak pikir panjang perkara berbicara di depan ibuku soal kelanjutan hubungan ini akan bagaimana--memang, memang, batu aku ini--atau, setidaknya menyudahi dengan baik-baik di depannya. 
Sekali, dua kali aku coba-coba, sampai hatipun ternyata gagal juga. Wajah yang aku lihat bukan kepunyaanmu. Rasanya, ketimbang ‘lari’ dan berbahagia, aku malah serasa membuka lubang sengsara lain. Perasaan bersalah saling susul. Di dalam mobil, lepas tanggal tujuh Oktober pergantian delapan, aku pulang diiringi hujan sayup-sayup. Bangun tidur, perutku rasanya kaku. Kepalaku dipenuhi suara-suara: entah minta maaf, dan selongsong rindu. Kalau ini Jakarta, mungkin aku akan baik-baik saja. Kalau ini Jakarta dan Sudirman, aku akan dengar suara wajan dan harum aroma masakan: entah telur gulung dan sup jamur, atau daging ayam dengan bumbu entah apa, menggerayangi udara sampai ke kamar. Lalu, nanti ada tangan usil milikmu yang menepuk-nepuk pundakku ringan. Harusnya aku tak begini, kan. Tak perlu merasa bersalah, pun kepikiran berlarut. 
Tapi sulung Jatikalimasada terus saja bermunculan. Paling tidak dua minggu sekali, atau melintas saja lewat sosial media. Kalau diingat, sekali aku bilang rindu berulang ditengah percakapan pakai telepon Bellanita--atau Nathan, aku lupa--tapi yang dirindukan malah asik tertawa seadanya, lalu sibuk menjelaskan permainan--aku suka sekali lihat mata berbinar kepunyaanmu tiap membicarakan sesuatu. Tengah malam, telefonku bunyi. Pelakunya tentu saja Elrepyan Upadio. Akhir pembicaraan jadi ajang aku senyam-senyum karena rinduku berbalas juga--hah, katanya tadi waktu kumpul ngga kepikiran.
Bercanda memang punya perasaan dengan Pisces bulan Februari satu ini. 
Tahu tidak ada yang namanya stages of grief? Ada hari dimana aku menangis luar biasa sesak ketika bilang ingin piknik tapi berakhir minum semua minuman di depan mata. Aku tak ingat betul, tapi pulang rasanya mataku sembab bukan main, dan Aldi, juga Dita enggan pulang juga dari rumah. Ujungnya, Dita tidur di rumah--hal yang mana mungkin dilakukan Dita kalau bukan emergency call. Setelah kejadian minum-minum itu, aku jadi akrab dengan satu orang. Dia punya banyak teman. Aku juga jadi akrab dengan teman-temannya. 
Awal-awal tentu senang, punya banyak teman baru. Aku bisa lari dari pikiran ingin ke Jakarta, atau perasaan kehilangan. Aku serasa senang-senang terus. Belum lagi pekerjaanku selalu membuatku, mau, tak mau, bertemu banyak manusia. Aku senang bertemu orang, tapi selesai itu rasanya badanku lelah. Aku ingin pulang cepat-cepat. Tak jarang lihat lampu jalan dari dalam mobil malah bikin menangis. Semuanya ya ditangisi, Bella Antika. Duh.
Bisa-bisanya aku percaya bahwa ketika aku bersenang-senang dengan memberlakukan aturan, aku akan senang luar-dalam. Nyatanya, tak benar-benar melakoni dengan baik. Bukan begini yang aku ingin: perasaan bersalah selalu menggantung, dan katup berdzikir bilang maaf. Tapi aku masih mencoba untuk, ya, oke, ayo. Jadi, ketika dikenalkan dengan orang baru--Elrepyan juga tahu yang ini, iya, yang kirim bunga warna putih besar sekali--rasa senangnya persis dapat mainan baru. Aku belum pernah dapat bunga sebesar itu. Benar-benar besar! Dari kepala sampai pinggulku tingginya. Waktu aku baca pesanmu kalau jeles, ranumku menyudut.
Dita, sebagai satu-satunya manusia yang paling sering aku temui, kepalang capek juga, mungkin. Jadi usaha saja gadis satu itu biar aku mau coba-coba pakai dating apps. Sejam, dua jam, masih senang. Tak sampai seminggu juga sudah jadi gelap warna aplikasinya. Terakhir main karena karantina? Alih-alih obrolan ringan yang ada kami--aku dan satu orang asal Norway--mengumpat pada pemerintah perkara pandemi.
Lalu, aku tahu bahwa ini semakin tak benar karena banyak manusia yang datang sedangkan aku masih di sini. Aku cuman menyangkal bahwa aku sakit kemarin-kemarin, lupa bahwa aku patah hati. Bertingkah bahwa hidupku luar biasa baik dan aku bersenang-senang, nyatanya nol. Padahal yang harusnya aku lalui dari awal adalah menerima semua perasaan kehilangan.
Tentu saja yang satu itu mengerikan.
Aku benci kehilangan. Aku jauh lebih senang menyimpan, apapun itu. Pernah lemariku penuh dengan kardus, dan bungkus-bungkus. Ibuku bilang dibuang saja, untuk apa juga. Tapi, kardus dan bungkus-bungkus itu punya nyawa. Kalau aku berduka, aku bisa ingat alasan membawa mereka sampai ke kamar. Aku benci melihat sepatu Mr. Know It All dipakai adik ibuku, atau adik Mr. Know It All. Aku mau semuanya disimpan seperti seharusnya, jangan dikasih ke orang, atau dibuang.
Satu sore dengan mendung gelap, Pipip ke rumah. Ya, karena ini Pipip jadi dia akan tidur-tiduran di atas kasur dan bicara soal banyak hal. Aku sedang duduk, menghadap ke lemari dengan banyak bungkus kardus terlipat, dan beberapa berisi barang. Ia bertanya, ringan saja: “Kamu gamau buang atau kasih ke orang aja? Ada Pasar Gratis kalau mau kasih barang buat orang.” Dua puluh lima tahun aku hidup, memberi barang tanpa kenal siapa yang akan jadi empu barunya adalah hal paling mengerikan. Aku mana bisa kasih barang ke orang yang kenalpun tidak--terakhir pacaran saja, aku bisa lega karena pacar barunya adik tingkatku yang aku tahu anaknya baik, jadi aku baik-baik saja--kalau memberi barang ke orang yang aku tidak kenal? Duh.
Anggaplah aku terpersuasi, jadi aku bersih-bersih sesorean itu sampai besoknya, dan besoknya. Ternyata banyak barangku. Ada dua kardus, dan tiga plastik sampah besar. Kamarku jadi terasa lebih luas luar biasa, meski tetap ditanya ibuku kenapa memilah-milih barang lama sekali, sih. Bikin orang pusing lihat kamar kaya kapal pecah--taruhan, ibuku belum pernah lihat kapal pecah. Ya, mau gimana, tiap lihat satu barang, entah tersenyum, atau menghela nafas; ingat momennya.
Aku punya kebiasaan baru karena mencoba bertingkah semauku dalam artian baru: membuat orang punya harapan. Salah besar, ternyata. Jadi, aku mengulang berbicara pada orang-orang yang aku beri--atau kemudian memiliki--harapan. Bilang bahwa aku belum siap karena ya aku masih punya orang yang aku sayang. Sangat aku sayang. Jadi, aku minta maaf, berulang. Merasa jahat bukan main. Seakan melakukan pembunuhan disengaja; aku minta maaf ke orang yang terluka, diulang-ulang persis radio rusak memutar kaset kusut. Minta maaf juga orang-orang terdekatnya--karena kalau semisal orang yang dibikin patah hatinya adalah aku, aku yakin orang-orang terdekatku pasti sedih juga: Ibuku pasti sedih, dan akan peluk aku erat. Teman-teman dekatku akan datang, atau paling tidak, berupaya mencari hal menyenangkan untuk dibagikan. Aku tak mau orang lain harus sedih berlarut. 
Kalau penyuka hujan di siang hari ini kemudian berpikir aku menyesal--apalagi setelah mendapat pesanmu--karena memutuskan untuk menutup akses orang-orang mendekat, jawabannya tidak. Karena kan ya, kalau pada akhirnya aku harus bertemu orang baru, paling tidak bayang-bayangmu harus tuntas dulu.
Entah kapan juga. 
Aku punya kesempatan pergi ke Jakarta, tapi aku sadar, dan mencoba--paling tidak--tahu diri, juga mengingat bahwa perasaan ini satu arah. Jadi aku juga berakhir menolak berangkat ke Jakarta di bulan Desember lalu. Aku tahu bahwa pergi ke Jakarta bukan pilihan yang tepat: alasan utamanya siapa lagi kalau bukan Elrepyan, ‘kan? Ingat betul lepas acara kantor dan antar Akib pulang, aku melaju ke Ganjuran tanpa pikir panjang. Sepi, cuman ada tiga orang termasuk aku. Tidak ada satupun yang tak menangis, entah bicara apa pada Tuhan. Waktu aku cerita ini, Elrepyan menepuki aku dan tersenyum. Bangga dengan Bella Antika yang sudah bisa memilih yang dimau. Aku tersenyum lepas. 
Besoknya, aku secara khusus mengirim surel ke calon kantor mengatakan bahwa belum bisa memenuhi panggilan. Beberapa teman yang aku ajak konsultasi soal jenjang karir menyayangkan, karena kan selalu banyak alasan ke Jakarta. Selalu, katanya.
Sekarang, aku--sedikit--menyesali mengurungkan niat ke Jakarta. Paling tidak, kalau aku di Jakarta saat ini, aku bisa lihat wajahmu sepersekian detik. Tidak ada telepon menggantung dengan jawaban ‘terserah’, atau pesan yang menjawab dengan lugas seakan aku kucing kos milikmu yang terserah bisa datang dan pergi. Bisa Elrepyan sayang kalau sedang bersedia, atau tak diacuhkan. Dipikir lagi, aku selalu membenturkan diri hadir di depan wajahmu padahal tahu bahwa Jatikalimasada satu itu sudi untuk bertemupun tidak.
Salah satu pesanmu yang dikirim kemarin berbunyi kalau aku mau dekat dengan orang, mau pacaran, atau apapun, semua terserah aku. Aku tahu, jauh sebelum Elrepyan bilang juga aku sudah melakoni. Sumpah, sudah! Tapi, berat. Aku malah merasa sekujur tubuhku babak belur dihantam perasaan bersalah. Aku mau di sini, makanya bertanya apa boleh terus tak beranjak. Tapi, seenaknya dijawab lagi terserah. Terserah terus. Beberapa kali aku sempat berpikir Jakarta-Yogyakarta ditempuh pakai pesawat cepat, kok. Mungkin aku bisa bicara sebentar. Mungkin, masih bisa...
Menurutmu, masih bisa? Atau aku memang harusnya dari awal pergi saja. Menutup semua akses. Tak perlu melumat kalimat manis kepunyaanmu. Padahal berulang juga aku sudah selalu Elrepyan suapi janji manis dan berakhir menangis. 
Minggu lalu aku pergi bekerja dari salah satu coffeshop besar bareng Airlangga. Pulangnya  kami mampir makan. Di sana dia bilang bahwa putus kali ini aku terlihat tenang: ngga lari-larian ke sana-sini, jauh lebih tenang. Kapan hari aku juga bilang ke grup yang isinya Swastati dan Akib kalau aku sudah membaik. Sempat juga berkata bahwa punya pacar atau ngga, rasanya juga ngga berbeda-beda amat, Aku pikir aku sudah masuk tahap ‘menerima’, jadi tak perlu berlarut lagi.
Tapi, obrolan soal: do you love me or just stay with the moment?
Merupakan tanya paling besar. Meminta diperjelas; aku harus di sini terus sembari proses terapi, atau bagaimana? Karena kepunyaanku bukan berupa mempertahankan momen-momen yang kemarin, tapi, ya, aku sayang. Aku mau ada di momen-momen hidup kepunyaanmu, bukan cuman senang, tapi juga susah kaya yang lalu-lalu. Aku juga ngga apa-apa untuk menghela nafas lalu putar arah tempat tidur sambil nafas, atau dongkol, lalu bilang maunya apa, dan masalah kita selesai. Betul, kalau perkarang hubungan kan nantinya bukan hanya senang-senang, ada badai juga; bisa berupa merah marah, atau hujan tangis. Sedang, perkara sayang, sekali lagi, urusan masing-masing. Mungkin kepunyaanku perlu ditetah agar bisa berubah bentuknya; bukan buat mengaku-aku keberadaanmu. 
Kenapa ya aku susah sekali bertingkah egois layaknya kepunyaanmu beberapa tahun lalu yang bisa mendeklarasikan untuk tetap tinggal? Kenapa aku punya kesempatan itu pun tidak?
__
Antika 
1 note · View note
herewearebells · 3 years
Quote
Us Millenials and the desensitization of our emotions. Responding to such pessimistic shit by laughing over it.
AA (via alteregosblabs)
1 note · View note
herewearebells · 4 years
Quote
Aku, dan ke-aku-aku-an yang tiada henti berputar persis roda sepeda melaju di turunan bukit, pertanda bahwa segalanya hanya berotasi ke tempat itu-itu saja. Dungu betul.
0 notes
herewearebells · 4 years
Text
The worst feeling ever? I started to questioning my self worth.
I ask universe why do I have to experience the same exact thing, with different person?
Do I really deserve to be treated that way?
Why me.
2 notes · View notes
herewearebells · 4 years
Text
Saya pikir akan melulu senang, atau marah yang tidak akan berlarut-larut jadi air mata. Tapi, ternyata ketika menulis ini saja saya menangis saking kesalnya. Kadang saya bertanya-tanya, sebenarnya kalau saya sedih bukan main karena hal sepele--menurutnya--karena jarak dibentang berpuluh kilometer, itu egois nggak sih?
Padahal yang bersangkutan di sini berbulan-bulan kemarin.
Saya tuh..., apa ya? Punya kecenderungan bakal jadi sangat berang bukan main kalau hal-hal yang sudah disepakati, ditabrak lari begitu saja, alias tidak ada keterangan lebih lanjut, pun pertanggung jawaban minta maaf juga tidak ada. Padahal di kepala saya masih suka terngiang kalau saya gagal buat bisa ketemu ia atau menghabiskan waktu, suara yang bilang; ‘Yaudah, kan konsekuensi kamu. Ditanggung.’ kaya terngiang-ngiang. Rasanya nggak enak banget dengar begitu. 
Patah betul hati saya setiap ingat itu.
Sedang saya rasanya nggak kepingin ia merasa demikian. Kalau bisa dilalui berdua, ya ayo. Kalau masih bisa diupayakan, maju. Dulu, ia demikian. Belakangan belajar banyak juga. Walaupun rasanya gemas sekali karena masih suka luput ini, itu. Lusa contohnya. Atau malah kemarin misalnya. Lalu, sebah saya berlanjut sampai hari Jumat ini. Saking jengkelnya, saya sampai pingin hilang berhari-hari saja biar ia tahu kalau diperlakukan demikian secara tidak sengaja juga tidak enak. Tapi, jangan kan pernah terjadi, mentok saya tidak bisa menahan buat berkirim pesan juga cuman satu hari. Itu paling maksimal.
Saya tahu kalau diantara kami, mungkin lebih besar ia perkara kasih, apalagi sabar. Pun, perkara senang menguji keyakinan saya, ia juga lebih-lebih. 
Kadang saya bertanya-tanya, ada nggak ya di satu spasi ia merenung untuk hal-hal yang dianggapnya remeh dan membuat saya sesenggukan itu sebesar apa? Karena saya sering juga mengandai-andai kalau saya jadi ia; harus menanggapi saya yang bebal ini bagaimana. Makanya, saya suka buru-buru menghubungi karena nggak mau berlarut kalau sedang bersitegang.
Barusan, sekelebat saya kepikiran; ah, apa menarik diri dulu saja, ya? Tentu saja dengan mengajukan ke ia juga, mengingat sudah berkomitmen untuk bersama. Pikiran itu hadir waktu saya sadar kalau tangis saya yang saling susul sudah tanda satu; kelewat berlarut. Bahaya betul jika tidak diatasi. Takutnya kaya dua tahun yang lalu; dipendam, lalu malah merusak diri sendiri. Kelihatan baik-baik saja, nyatanya banyak cabang masalah yang selesai juga belum, sudah lompat ke tempat lain. Berujung pada saya malah jadi suka membahas masalah-masalah itu ketika situasinya baik-baik saja, dan menghasilkan suasana yang nggak menyenangkan. Padahal saya ingat, setiap membahas semua itu, wajah saya pasti reflek tersenyum, sedang ia menatap dengan nanar. Seakan baru disadarkan bahwa kami tidak baik-baik saja.
Amit-amit berada di sana lagi. Saya nggak mau. Mungkin, itu kenapa respon kepala saya menyelipkan kalimat; narik diri dulu, gih. Karena rasanya saya jadi kaya dulu lagi, dan melihat ia jadi berbayang yang dulu pula.
Tadi ia bilang kalau semua suara saya bikin ia sedih. Seketika sautan berupa; ‘Lho, kamu pikir saya dari kemarin bilang baik-baik lalu mengimbuhi kata ‘sedih’ itu apa namanya kalau bukan sedih juga?’ Terus, teringat kalau permintaan maaf ia karena luput perkara kejadian dua hari lalu berakhir dengan; ‘Maaf ya aku forget.’ 
Waktu baca pesan itu, saya merasa ucapan maaf-nya jadi hanya sambil lalu. Tidak masuk keperasaan bersalah. Patah lah hati saya. Iya, patah lagi.
Lihat, dalam satu post ini saja saya sudah bahas dua kali merasa patah hati. Lubang lagi, lubang lagi. 
Makanya, saya kepikiran apa ambil jarak dulu saja... Daripada masalah begini hanya di-yaudah-in lalu jadi bom waktu lagi. Untuk keempat kali.
Dipikir-pikir, segala hal kompleks betul. Hebat ya orang-orang itu; yang bisa terus bersama meski hatinya sudah carut marut.
Duh, Gusti. Saya benci sekali berjarak begini.
0 notes
herewearebells · 4 years
Text
Lepas Tujuh Tahun
Pernah tidak ya orang kesulitan memaafkan hal-hal sama seperti saya? Atau, di satu momen terbangun dari mimpi dengan air mata membasahi sekitar mata? Saya kira ketika saya tahu ada yang tidak beres dengan diri sendiri dan pergi ke profesional, masalah saya selesai. Hilang begitu saja, kaya kalau kena masuk angin atau radang tenggorokan. Ternyata, ia hilang-timbul. 
Saya didiagnosis punya trauma di masa kecil, dan hal-hal yang saling tumpang tindih. Dulu saya merasa--karena hanya bisa dirasa-rasa--kalau saya benci, walaupun juga sayang, ke ayah saya sendiri. Di bekas kamar saya, tepat di dindingnya ada lilin merah mengerak tertulis pakai bahasa inggris yang hancur. Saya lupa apa tepatnya, tapi kalimatnya berisi kemarahan saya setelah tahu ayah saya punya orang lain lagi, dan lagi-lagi ibu tutup telinga. 
Saya punya kebiasaan dari kecil, tepatnya sejak lebih sering berduaan dengan ayah setiap mereka--ayah dan ibu--bertengkar, menyumpah dalam batin. Wajah kepayahan dengan air mata mengalir, serta mulut meracau mengatakan ‘maaf’ berulang adalah tontonan ngilu buat saya. Beberapa hari yang lalu, ingatan yang lama tertindih memori-memori menyenangkan lainnya itu muncul lagi. Persis. Bedanya saya melihat wajah saya umur tujuh tahun, duduk dengan memeluk lutut dan mata berlinang air mata. Sedang di seberang saya ada seorang laki-laki yang berulang kali mengusap wajahnya yang basah.
Saya selalu bilang; ‘Kenapa nggak mati aja.’
Ketika saya pinjam telepon genggam ayah waktu kelas enam, buat tanya kira-kira UN minggu depan butuh materi apa saja, saya berakhir melihat kotak masuk dan kotak terkirim. Hari itu saya merasa sesuatu meledak di dalam dada saya. 
Berangsur selalu demikian; bertengkar, tiada hari tanpa amarah meledak dari ayah ke seisi orang di rumah. Saya cuman tertawa kalau ayah minta dicium di pipi sama ibu. Atau, merajuk minta ibu bilang ‘i love you’ di depan kami bertiga. Sesungguhnya, ayah bukan orang yang seratus persen jahat. Toh, saya sayang juga padanya. Ketika saya dan ibu berkunjung ke rumah Pakdhe--kakak dari ibu--dan dengar Pakdhe bilang hal buruk soal ayah, saya bilang kalau begitu juga dia ayah saya. Mau dikata apa.
Memusingkan, karena di sisi lain rasanya saya selalu marah; kenapa harus saya yang tahu tindak belang ayah? Bukan adik saya saja? Atau, kenapa sejak umur tujuh tahun itu saya ‘yang harus terjebak’ dengan obrolan berdua, sedangkan adik-adik saya bisa tidur dengan ibu yang menangis. Dan, menerima, juga mengasihi ayah sekonyong-konyongnya.
Ketika umur saya enam belas hampir tujuh belas, saya sadar bahwa orangtua saya bisa saja bercerai--walaupun ibu selalu bilang jangan sampai, kasihan kami--dan, ya, saya dengan jahatnya bilang ke ibu buat apa hidup dengan orang yang menghargai ibu saja tidak? Tahu apa, mereka hampir bercerai; karena ibu datang ke ruang kerja ayah, setelah sempat melihat dengan mata kepalanya sendiri soal perselingkuhan, dan meminta untuk pisah saja. 
Saya pikir, hari itu saya akan senang. Ini kan mau saya... Ibu jadi bisa merdeka, seperti dulu jauh sebelum bertemu ayah dan punya kami. Tapi? Tidak juga. Kaki saya lemas bukan main, kepala saya sakit. Besoknya saya tidak sekolah. Dan, jadi lebih sering tidak berangkat ke sekolah. Teman-teman saya cuman tahu kalau saya suka sakit, tanpa pernah ada yang tahu saya sakit apa. Walaupun pada akhirnya mereka nggak juga berpisah--karena ayah membeku, antara kaget dan takut kehilangan ibu, lalu meminta maaf sejadi-jadinya--kalimat ‘Kenapa nggak mati aja’, terus berputar.
Dulu, ayah senang mengumbar kata cerai, dan ibu lebih sering pura-pura tidak dengar. Atau, ketika ada saya atau adik-adik--seringnya saya--ibu bilang kalau cerai itu cuman ada dua; cerai mati, atau cerai hidup.
Suatu hari, saking marahnya saya di umur delapan belas tahun, sambil menangis tengah malam saya menulis sesuatu di tumblr sebelah. Judulnya azab, kalau tidak salah. Isinya soal kekecewaan saya dan sumpah serapah. Setelah itu saya tidur dengan mata bengkak. Beberapa minggu kemudian, sepulang saya dari mall dengan senang karena ingin dibelikan kemeja di salah satu tenant, semua orang; Mbok yang kerja di rumah, ibu, dan adik saya yang paling besar, duduk dengan wajah tegang di ruang kerja ayah. Katanya, ada benda asing di organ ayah.
Kondisi ayah semakin buruk, apalagi sejak ia tak mau juga operasi. Sampai disuatu siang ayah pingsan--sadar--pingsan. Ibu menyuruh supir di rumah mengeluarkan mobil dari garasi. Tukang kayu senior yang ikut ayah sudah puluhan tahun, cekatan mengangkat ayah ke mobil. Hari itu kacau sekali. Ayah baru dapat kamar di malam hari, dan ibu tidak menangis sama sekali. Ia masih bisa ke sana-sini cari makan untuk ayah, saya, dan semua orang yang menemani ayah.
Saya jadi lebih sering sama ayah--karena kalau siang ibu pulang dulu, masak buat rumah dan melakukan banyak hal lain--dalam banyak situasi. Waktu itu langit cerah, mungkin pukul dua atau tiga. Kamar ayah yang paling ujung dan punya jendela lebar, bikin cahaya matahari leluasa masuk. saya baca buku di kursi, tepat di sebelah ranjang ayah. Saya kira ayah tidur, ternyata Beliau baca sinopsis di belakang buku novel series saya. Beliau tanya apa itu Harry Potter? Saya tertawa, lalu cerita sekenanya. Ayah tertawa, lalu bilang--hal yang paling saya ingat; “Besok kita ke Singapur bareng-bareng, ya? Lihat Harry Potter-mu di Universal Studio. Berdua aja ke sananya. Pacaran kita. Bella sama Papa aja.”
Saya ingat pernah kesiangan ke sekolah karena hujan deras. Akhirnya, diantar ayah pakai mobil. Padahal ayah lebih sering bangun siang, seringnya belum tentu mau bangun pagi. Ibu sedang naik haji, dan motor saya remuk karena kecelakaan beberapa minggu sebelumnya. Di jalan, cuman ada suara radio. Lewat depan JEC, saya ingat ayah bilang ingin lihat saya tumbuh dewasa. Ayah ngomong ngalur-ngidul saya kalo kuliah kaya apa, saya akan gimana. Saya masih mau atau nggak berduaan sama Beliau kaya kalau saya habis pergi facial dan Beliau nungguin di Excelso. Saya lihat keluar jendela, hujannya masih deras. Ayah saya bilang; “Terus nanti kamu nikah, ya. Papa yang gendong.” Bisa-bisanya ayah tertawa, tapi hati saya mencelos dan air mata saya turun.
Ayah suka seenaknya membuat janji, lalu membatalkan. Seakan masih ada hari besok. Ayah suka sesumbar kalimat manis, lalu realitanya bikin orang sedih. Saya sampai bingung sendiri waktu pertama ke psikolog cerita soal semua ini--kurang lebih kaya yang di atas--soal hubungan saya dan sepasang manusia itu bagaimana.
Selepas ayah meninggal, rasanya saya sering bersitegang dengan diri sendiri; saya rindu ayah, tapi juga marah. Tidak jarang saya merasa jangan-jangan saya yang membunuh ayah dengan doa-doa dan sumpah serapah saya?
Semuanya selalu saling susul muncul di dalam kepala. Sesak bukan main. Ketika saya dengar orang meneriaki saya, jantung saya berdebar, dan kaki saya lemas bukan main. Ingatan saya seperti dipaksa untuk dibenturkan dengan memori di dapur ketika ayah hampir memukul ibu, dan saya berteriak. Ketika saya sadar, badan saya sudah terpelanting menubruk mesin cuci; didorong dan kena pukul ayah.
Badan saya jadi jauh lebih sensitif, rasanya lihat darah pelan-pelan keluar di pergelangan tangan adalah suka cita buat saya. Sekali saja waktu itu. Rasanya saya hidup. Rasanya, saya masih hidup.
Setelah itu, saya pergi ke psikolog karena kepala saya penuh bukan main dan air mata saya senang saling susul membasahi wajah. Cerita dengan teman sudah bukan penenang saya kala itu.
Lelaki setengah baya itu melihat saya dengan cermat. Suara air conditioner tuanya tidak membuat ia berbalik. Setelah saya menyelesaikan berbagai tes, ia berujar dengan suara berat. Katanya, saya sebaiknya belajar memaafkan diri saya sendiri. Semua rangkaian dari saya di berbagai momen. Saya yang terjebak di kamar orangtua saya dan melihat ayah saya mengusap wajahnya dengan air mata, sembari terus berujar ‘maaf’, saya yang berteriak waktu mereka bertengkar, saya yang mencorat-coret dinding kamar dengan lelehan lilin warna merah, saya yang menangis di kolam renang karena merasa kewalahan, saya yang menangis di barisan shalat keluarga teman saya dan merutuk karena tidak pernah mengalami hal yang demikian di rumah, ayah saya dan semua kenangannya yang membuat saya terluka.
Atau kalau tidak, saya yang malah jadi menjelma jadi ayah, sadar tidak sadar; saya jadi murah marah. Pun, ketika janji-janji dibatalkan sepihak, dan tidak sesuai maunya saya, rasanya dunia mendadak menjadi merah. Wow, rasanya berat juga mengakui dua hal itu. 
Ketika menulis ini tangan saya dingin luar biasa, dan tangis saya saling susul. Beberapa hari ini saya mimpi hal yang tidak saya duga; saya sedang duduk di trotoar kampus dua, rasanya seperti lepas pulang marching band. Saya melihat lapangan teater lilin dan hiruk-pikuk anak teknik yang kerja kelompok. Saya sedang menangis, sesenggukan, dengan seseorang di sebelah saya. Rasanya berat sekali menjalani hari waktu itu tanpa ayah. Semua orang di rumah, khususnya adik-adik saya, saling susul mengejar rasa sabar dan waktu saya. 
Mimpi itu menampar saya. Seharian badan saya lelah bukan main, dan tangis saya berangsur saling susul tiap beberapa jam sekali. Sore tadi juga demikian, kali ini yang muncul dua anak ayah dari istri sebelumnya. Ketika ada hal yang dasarnya adalah ayah, saya selalu menghela nafas dan bertanya-tanya. ‘Kenapa sih tetap berat sih, Pah?’
Saya nggak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan orang yang wujudnya saja sudah tidak ada. Atau, memaafkan dan mengakui kesalahan saya juga ke ayah. Tapi, ya, saya minta maaf ya, Pah... Karena banyak sekali salah yang dilakukan. Atau, amanah Papa yang waktu itu juga gagal dilakukan. Baik-baik di sana, sebaik mungkin. Setelah tulisan ini, semoga tidak ada lagi beban menggantung yang membuat trauma ini terus menggerogoti. Bella memaafkan Papa... Apapun itu; perkara janji, amarah, tangan yang melayang ke pipi, kata ‘pelacur’, hadirnya dua anak Papa yang tiba-tiba meminta rumah, apapun itu. 
Semoga lewat tulisa ini bisa jadi panasea buat Bella. Semoga setelah ini nggak perlu lagi mengingat luka-luka di atas, dan bisa hidup dengan lebih baik. Semoga setelah ini, ketakutan yang bergelayut di relung dada bisa lepas satu-satu, persis balon udara. 
Ya?
0 notes