Tumgik
imafadiel · 3 years
Text
Rukun Qira'ah Shahihah
Ibnul Jazary dalam Tayyibatun Nasyr menyebutkan standar bacaan yang disepakati para ulama Qurra :
فَكُلُّ مَاوَافَقَ وَجۡهَ نَحۡوِ
"dan setiap yang sesuai dengan kaidah nahwu"
وَكَانَ لِلرَّسۡمِ احۡتِمَالًايَحۡوِی
"Juga sesuai dengan rasm (Ustmani) walau dari salah satu sisinya
وَصَحَّ إِسۡنَادًهُوَالۡقُرۡءَانُ
"Serta shahih (bersambung) sanadnya itulah Al Quran"
فَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ الۡأَرۡكَانُ
"Maka inilah tiga rukun"
وَحَيۡثُمَايَخۡتَلُّ رُكۡنٌ أثۡبِتِ
"Dan kapan saja salah satunya tidak terpenuhi rukunnya"
شُذُوۡذَهُ لَوۡأَنَّهُ فِی السَّبۡعَةِ
"Maka syadz (salah) walaupun termasuk dalam qira'ah sab'ah"
Sesuai dg Syair tersebut, maka bacaan Al Quran yang benar harus memenuhi tiga rukun, yaitu :
1. Sesuai dg salah satu sisi bahasa arab (nahwu).
Contoh : Ada beberapa kata dalam AlQuran yang memiliki 2 wajah cara membacanya, misalnya pada QS Ar Ruum Ayat 56
ضَعُفَ ⬅️⬅️dapat dibaca ⬅️⬅️ ضُعُفَ
2. Sesuai dg Rasm Ustmani walaupun scr ihtimal
✒️Rasm Ustmani adalah suatu kaidah/tata cara penulisan Al Quran scr resmi/baku yang diatur mulai zaman Khalifah Ustman bin Affan Ra.
✒️Ihtimal artinya dapat dilihat/diperkirakan walaupun dari satu sisi saja.
Contoh sesuai dg rasm ustmani:
☑️ kata مَلِكِ dalam surat Alfatihah ⏭️ Imam Hafs membacanya dengan memanjangkan huruf mim مٰلِكِ , bacaan ini dianggap sah dengan penulisan demikian. cara penulisan ini masyhur dikalangan orang arab, alif setelah mim tidak ditulis untuk meringkas.
☑️ Penulisan ت (tak ta'nits/tak maftuhah/tak mabsutha) vs ة (tak marbuthah).
🔹tak marbuthah (ة) pada kata جنّة ⁦⏭️⁩ menunjukkan kata tunggal
🔹sedangkan tak maftuhah (ت) pada kata جنّت ⁦⏭️⁩ menunjukkan kata jamak
namun demikian, ada beberapa kata semacam dalam Al Quran yg secara riwayat seharusnya menggunakan tak marbuthah (ة), tetapi tertulis menggunakan tak maftuhah (ت) atau sebaliknya. dan hal ini dianggap sah karena sesuai dg rasm ustmani.
3. Sanadnya shahih bersambung kepada Rasulullah ﷺ secara mutawatir
➡️sanad adalah sandaran/bukti yg dapat dipercaya, menurut istilah sanad adalah rantai yg menghubungkan pembawa berita (rawi/periwayat) sebuah matn atau teks (lafadz) kepada pembicara (bila berupa perkataan) atau penulisnya (bila berupa tulisan)
➡️mutawatir artinya periwayatnya banyak
➡️sanad/periwayatan Al Quran tidak hanya berkaitan erat dg penjagaan terhadap lafadz/teks tetapi juga berkaitan dg qiraat (variasi lafadz) & tajwid (cara memhaca lafadz).
➡️Para perawi (orang yg meriwayatkan) dituntut bisa melafadzkan ayat-ayat Al Qur'an dg bahasa paling fashih, serta kaidah2 yg telah disepakati para ulama ahli qiraat & tajwid. minimal telah melampaui standar minimal bacaan yg benar serta terhindar dari lahn (kesalahan).
➡️ Hati - hati dengan jual beli ijazah sanad. ada kaidah dan standar tertentu yang harus ditempuh untuk mendapatkan ijazah sanad.
6 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Setelah sekian tahun menikah, saya baru menyadari satu kesamaan "kecil" saya dan suami. Saking "kecilnya", saya jadi baru terpikir untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang esensial dalam hubungan pernikahan saya.
Kesamaan itu adalah: Kami sama-sama senang menikmati hal-hal kecil yang bagi orang tertentu mungkin biasa-biasa saja, atau bahkan norak. Dengan kata lain, standar kesenangan kami rendah.
Sering kali, kami duduk-duduk di teras hanya untuk melihat awan bergerak begitu cepat dan kami merasa senang dengan itu. Kami saling mengirim meme dan terkekeh-kekeh karenanya.
Hal kecil itu jadi tidak kecil karena berdampak besar dalam pernikahan kami. Bagi saya, kesamaan itu membuat hubungan ini tidak membosankan—yang tidak perlu kubuktikan dengan banyaknya foto atau Instastory berdua.
Saat baru menikah, mungkin kita dan pasangan punya tujuan-tujuan pernikahan yang visioner dan ideal. Tujuan itu mampu menyatukan kita dan pasangan untuk beberapa waktu. Namun, setelah beberapa tahun, tujuan-tujuan itu terdengar terlalu besar, bahkan jadi menakutkan dan membuat kering pernikahan.
Maksudku, memang sampai usia pernikahan yang ke berapa kita masih membicarakan tujuan itu di pillow talk kita dengan pasangan?
Bukan berarti tujuan dalam pernikahan itu tidak penting. Hanya saja, memiliki tujuan yang benar dan besar tidak cukup untuk membuat sebuah hubungan bertahan.
Mungkin institusi pernikahan sudah terpengaruh cara berpikir industri yang senang menggegas hasil dan tujuan, kita lupa bahwa yang kita jalani sehari-hari lebih penting daripada yang masih menjadi misteri di masa depan.
Setelah semakin banyak tahun berlalu, kita bertahan bukan sekadar karena tujuan lagi, tetapi karena rasa nyaman. Setinggi dan semulia apa pun tujuan kita saat menikah dengan seseorang, pada kenyataannya kita akan cenderung mementingkan kenyamanan.
Dan, kenyamanan itu sering kali lebih dipengaruhi oleh hal-hal yang terlihat kecil dan remeh, tetapi terjadi berulang-ulang, seperti cara berbicara, cara menghibur, cara menyimak cerita, cara menghabiskan waktu bersama, daripada hal-hal yang besar seperti ideologi dan visi misi pernikahan.
Jadi, jangan anggap remeh hal-hal yang terlihat "kecil" dalam hubungan pernikahan kita. Mungkin hal remeh itulah yang jadi penentu apakah kita bisa terus bersama ... atau tidak.
286 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
PILIH MANA : HAFAL CEPAT ATAU KUAT ?
Ada seseorang menyampaikan kepadaku, “Aku ingin menghafal al Qur'an dalam tempo waktu 6 bulan.”
Aku bertanya, “Bagaimana caranya?”
Dia menjawab, “Aku mampu menghafal dalam sehari lebih dari seperempat Hizib.”
Aku katakan, “Aku tidak heran dengan pola seperti ini… tetapi pola kita adalah hafalan yang kuat walaupun setelah masa yang lama… yang terpenting adalah kekuatan hafalan… bukan hanya sekedar engkau digelar seorang Hafizh…
(Coba renungkan benar-benar tentang hal ini)
Jika engkau ditanya tentang suatu Ayat, terus kamu terdiam dan tidak menjawab…
Jika engkau diminta membaca suatu Surah, engkau mengatakan, ”(Sebentar) Beri aku kesempatan untuk Muraja'ah sesaat, baru aku bacakan untukmu…“
Lur…
Kapan saja engkau memulai menghafal al Qur'an, Jangan sesekali berfikir kapan aku selesai dan kapan aku Khatam dan menjadi seorang Hafizh…
Jangan dan jangan…
Fikirkanlah bahwa engkau akan menjadi keluarga Allah dan orang orang istimewaNya (pilihan) …
Engkau adalah orang yang sangat pantas menempati kedudukan yang agung ini…
Berfikirlah untuk menguatkan hafalan… Bukan berfikir kapan aku Khatam dan Kapan aku selesai…
Usia akan pergi… Tetapkan langkahmu di atas al Haq…
Jika kamu mati, In syaa Allah kamu akan dibangkitkan sesuai dengan niatmu.
(Sebab) Allah Dzat yang paling mulia.
26 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Tips Menghafal Al Qur’an
Maasyaa Allah, ini 8 tips dari pria yang hafal 30 juz Al-Qur'an hanya dalam 56 hari.
JAKARTA (Arrahmah.com) – Nikmatnya bermesraan dengan Al-Qur’an, begitu perasaan yang diungkapkan Ustadz Deden Mukhyaruddin yang Allah Ta’ala taqdirkan sukses menghafal 30 juz dalam tempo hanya 56 hari.
Hal tersebut terungkap dalam Kajian Indahnya hidup dengan Menghafal dan Mentadabburi Al-Qur’an bersama Ustadz Bachtiar Nashir dan Ustadz Deden Mukhyaruddin di Masjid Al Falah, Jum’at (7/6/2015), bersama Ustadzuna Alfan Syulukh, S.Psi., Al Hafidz.
Berikut Arrahmah sajikan delapan hal yang Isya Allah membuat kita merasa nikmat menghafal Al-Qur’an. Tips ini merupakan cara jitu Ustadz Deden Makhyaruddin yang menghafal 30 juz dalam 56 hari (setoran) dan 19 hari untuk melancarkan. Tapi uniknya, ia mengajak kita untuk berlama-lama dalam menghafal, sebagaimana dilansir Al-Qur’an Ikrar. Bismillah.
Suatu hari Ustadz Deden pernah menerima telepon dari seseorang yang ingin memondokkan anaknya di pesantrennya.
“Ustadz, menghafal di tempat antum tu berapa lama untuk bisa khatam?”
“SEUMUR HIDUP”, jawab Ustadz. Deden santai.
Meski bingung, Ibu itu tanya lagi, “Targetnya, Ustadz?”
“Targetnya HUSNUL KHOTIMAH, MATI DALAM KEADAAN PUNYA HAFALAN.”
“Mmm…kalo pencapaiannya, Ustadz?”, Ibu itu terus bertanya.
“Pencapaiannya adalah DEKAT DENGAN ALLAH”, kata Ustadz Deden tegas.
Menggelitik, tapi sarat makna. Ustadz Deden berprinsip: CEPAT HAFAL itu datangnya dari ALLAH, INGIN CEPAT HAFAL (bisa jadi) datangnya dari SYETAN.
Sebelum membaca lebih jauh, saya harap anda punya komitmen terlebih dahulu untuk meluangkan waktu satu jam per hari khusus untuk qur’an. Kapanpun itu, yang penting durasi satu jam.
Berikut delapan prinsip yang diterapkan Ustadz Deden beserta sedikit penjelasan dari redakturAI.
1. Menghafal tidak harus hafal. Allah memberi kemampuan menghafal dan mengingat yang berbeda-beda pada tiap orang. Bahkan imam besar dalam ilmu qiroat, guru dari Hafs -yang mana bacaan kita merujuk pada riwayatnya- yaitu Imam Asim menghafal Al-Quran dalam kurun waktu 20 tahun. Target menghafal kita bukanlah ‘ujung ayat’ tapi bagaimana kita menghabiskan waktu (durasi) yang sudah kita agendakan HANYA untuk menghafal.
2. Bukan untuk diburu-buru, bukan untuk ditunda-tunda. Kalau kita sudah menetapkan durasi, bahwa dari jam 6 sampe jam 7 adalah WAKTU KHUSUS untuk menghafal misalnya, maka berapapun ayat yang dapat kita hafal tidak jadi masalah. Jangan buru-buru pindah ke ayat ke-2 jika ayat pertama belum benar-benar kita hafal. Nikmati saja saat-saat ini. Saat dimana kita bercengkrama dengan Allah. satu jam lho. Masak untuk urusan duniawi delapan jam betah, hehe. Inget, satu huruf melahirkan sepuluh pahala bukan? So, jangan buru-buru. Tapi ingat, juga bukan untuk ditunda-tunda. Habiskan saja durasi menghafal secara ‘PAS’.
3. Menghafal bukan untuk khatam, tapi untuk setia bersama Qur’an. Kondisi HATI yang tepat dalam menghafal adalah BERSYUKUR bukan BERSABAR. Tapi kita sering mendengar kalimat “Menghafal emang kudu sabar”, ya kan? Sebenarnya gak salah, hanya kurang pas saja. Kesannya ayat-ayat itu adalah sekarung batu di punggung kita, yang cepat-cepat kita pindahkan agar segera terbebas dari beban (khatam). Bukankah di awal surat Thoha Allah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan BUKAN SEBAGAI BEBAN. Untuk apa khatam jika tidak pernah diulang? Setialah bersama Al-Qur’an.
4. Senang dirindukan ayat. Ayat-ayat yang sudah kita baca berulang-ulang namun belum juga nyantol di memory, sebenarnya ayat itu lagi kangen sama kita. Maka katakanlah pada ayat tersebut “I miss you too…” hehe. Coba dibaca arti dan tafsirnya. Bisa jadi ayat itu adalah ‘jawaban’ dari ‘pertanyaan’ kita. Jangan buru-buru suntuk dan sumpek ketika gak hafal-hafal. Senanglah jadi orang yang dirindukan ayat.
5. Menghafal sesuap-sesuap. Nikmatnya suatu makanan itu terasa ketika kita sedang memakannya, bukan sebelum makan bukan pula setelahnya. Nikmatnya menghafal adalah ketika membaca berulang-ulang. Dan besarnya suapan juga harus pas di volume mulut kita agar makan terasa nikmat. Makan pake sendok teh
gak nikmat karena terlalu sedikit, makan pake centong nasi bikin muntah karena terlalu banyak. Menghafal-pun demikian. Jika “‘amma yatasa alun” terlalu panjang, maka cukuplah “‘amma” diulang-ulang. Jika terlalu pendek maka lanjutkanlah sampai “‘anin nabail ‘adzhim” kemudian diulang-ulang. Sesuaikan dengan kemampuan ‘mengunyah’ masing-masing anda.
6. Fokus pada perbedaan, baikan persamaan “Fabi ayyi alaa’i rabbikuma tukadz dziban” jika kita hafal 1 ayat ini, 1 saja!Mmaka sebenarnya kita sudah hafal 31 ayat dari 78 ayat yg ada di surat Ar-Rahman. Sudah hampir separuh surat kita hafal. Maka ayat ini dihafal satu kali saja, fokuslah pada ayat sesudahnya dan sebelumnya yang merangkai ayat tersebut.
7. Mengutamakan durasi Seperti yang dijelaskan di atas, komitmenlah pada DURASI bukan pada jumlah ayat yang akan dihafal. Ibarat argo taxi, keadaan macet ataupun di tol dia berjalan dengan tempo yang tetap. Serahkan satu jam kita pada Allah.. syukur-syukur bisa lebih dari satu jam. Satu jam itu gak sampe 5 persen dari total waktu kita dalam sehari loh! Lima persen untuk Al-Quran, harus bisa dong ah…
8. Pastikan ayatnya bertajwid Cari guru yang bisa mengoreksi bacaan kita. Bacaan tidak bertajwid yang ‘terlanjur’ kita hafal akan sulit dirubah/diperbaiki di kemudian hari (setelah kita tahu hukum bacaan yang sebenarnya). Jangan dibiasakan otodidak dalam hal apapun yang berkaitan dengan Al-Qur’an; membaca, mempelajari, mentadabburi, apalagi mengambil hukum dari Al-Quran.
Catatan: Setiap point dari 1 – 8 saling terkait.
Semoga bermanfaat, niat kami hanya ingin berbagi. Mungkin ini bisa jadi solusi bagi teman-teman yang merasa tertekan, bosan, bahkan capek dalam menghafal.
Kami yakin ada yang tidak setuju dengan uraian di atas. Pro-kontra hal yang wajar karena setiap kepala punya pikiran dan setiap hati punya perasaan. Oh ya, bagi penghafal pemula jangan lama-lama berkutat dalam mencari metode menghafal yang cocok dan pas. Dewasa ini banyak buku ataupun modul tentang menghafal Al-Qur’an dengan beragam judulnya yang marketable. Percayalah, satu metode itu untuk satu orang. Si A cocok dengan metode X, belum tentu demikian dengan si B, karena si B cocok dengan metode Y. Yakini saja sepenuhnya dalam hati bahwa menghafal itu PENELADANAN PADA SUNNAH NABI BUKAN PENERAPAN PADA SUATU METODE.
Satu lagi seringkali teman kita menakut-nakuti, “Jangan ngafal. Awas lho, kalo lupa dosa besar”. Hey, yang dosa itu MELUPAKAN, bukan LUPA. Imam masjidil Harom pernah lupa sehingga dia salah ketika membaca ayat, apakah dia berdosa besar?
Semoga kita masuk syurga dengan jalan menghafal Qur’an. Aamiin. Selamat menghafal.
43 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Photo
Tumblr media
Bersyukurlah Wahai Pencinta Al-Quran … Bila kita telah memulai dan bertekad utk menghafalkan Kitab Allah SWT, harus ketahui bahwasanya Allah telah memilih kita. Menghafal Alquran telah dimudahkan oleh Allah SWT, walaupun mungkin dalam perjalanan menghafalnya kita akan menemukan rintangan-rintangan, kesulitan-kesulitan, tapi apa yg akan kita dapatkan setelah bersabar menerpa badai kesulitan tersebut? Keutamaan yg agung; Kita akan menjadi ahlullah!! Kita akan terus naik di derajat surga nanti, setinggi banyaknya hafalan kita.
Ketika kita mengingat pahala-pahala ini, kita akan melupakan segala kesulitan-kesulitan. Ibarat seorang dokter, ketika dia dulu menempuh pendidikan kedokteran, dia tahu bahwa studi kedokteran membutuhkan waktu yg cukup lama, dan dia pun harus menemui segala kesulitan dan ujian, tp dia yakin akan tujuannya bahwa kelak nanti dg studinya ini dia akan mendapatkan kehidupan yg makmur, bi idznillah. Demikian juga dengan Alquran, merupakan proyek kehidupan kita yg sangat penting, AMBILLAH KEPUTUSAN, IKHLASKAN NIAT KARENA ALLAH SWT, dan HAFALKAN ALQURAN yg merupakan nikmat terbesar yg Allah SWT karuniakan kepada kita sebagai Orang iman.
By. Syekh Fahd Al Kandary
29 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Berpendidikan, atau hafidz qur'an?
Aku ingin menyampaikan keresahanku pada semesta perihal keinginan para orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang pendidikan tertinggi demi sebuah gengsi. Iya, gensi.
_
Kuliah itu keren katanya. Nanti bisa kerja di kantor, dan tak perlu susah-susah lagi karena jaminan hari tua akan terus ada. Miris. Aqidah orangtua kita tergantikan dengan adanya Tuhan-Tuhan baru dalam hidup mereka. Uanglah, jabatanlah, kedudukanlah. Sekarang aku tanya, bisakah itu semua menolong di akhirat kelak? Apakah ketika di hari perhitungan nanti, ada jalur khusus untuk yang berpangkat? Atau ada jalur vip untuk yang punya jabatan tinggi?
_
Sayangnya, semua itu tidak berarti apa-apa pada kehidupan setelah kematian. Dan sangat disayangkan sebab orang-orang yang mati-matian menyekolahkan anaknya demi jaminan di hari tua adalah orang-orang yang memiliki status sosial dibawah rata-rata. Sayang sekali tidak menggantungkan semuanya kepada Pemilik alam semesta.
_
Aku termasuk salah satu yang mengikuti perkuliahan sampai D3 saja. Alhamdulillah tidak sampai beberapa tahun. Aku baru menyadari betapa banyak waktuku terbuang demi sebuah titel yang tak berarti apa-apa di mata Allah. Sisanya, hanya banyak belajar dari pengalaman hidup. Bisa saja pendidikan membawa kita ke surga. Menjadi Bidan, yang hapal qur'an misalnya. Menjadi polisi, yang hapal qur'an misalnya. Bukankah itu jauh lebih keren?
_
Tidak ada salahnya kuliah sampai 4 tahun. Jika itu semakin mendekatkan hatimu kepada Pemiliknya. Yang kutakutkan, semua itu menjadikan kau lupa diri. Seakan kau yang paling hebat karena statusmu yang sudah menjadi mahasiswi. Hingga dunia bukan lagi digenggaman, melainkan di hati. Hingga pendidikan yang tinggi tidak membuat hidupmu jauh lebih baik.
_
Betapa ruginya orangtua yang berpayah-payah dalam berjuang demi anak-yang tak bisa menjadi syafaat bagi mereka.
_
Dunia hanya sesaat. Sekejap mata bisa hilang digenggaman. Bukankah begitu yang kita lihat pada bencana akhir-akhir ini? Sayangnya tak banyak yang memahami. Bahwa hapalan al-qur'an jauh lebih penting daripada sebuah titel demi gengsi. -
195 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
30 : Hingga Akhirnya Purna
Semasa dulu menghafal Qur'an, salah satu momen yang melelahkan adalah ketika sampai di juz-juz belasan. Ada banyak kekhawatiran. Saat melihat ke depan, ternyata masih ada banyak juz yang belum dihafal. Saat menoleh ke belakang, ternyata yang sudah dihafal belum mutqin-mutqin amat.
Benarlah pesan ustadz ketika menasehati kami, agar jangan melupakan yang sudah dihafal, agar tetap mengulang walau sedikit, agar tetap istiqomah walau terasa payah. Pelan-pelan maju, nanti juga akan terlewati. Dan hamdalah, pada akhirnya Allah yang menyampaikan kita pada tujuan.
Sama halnya yang kurasa ketika di 2 tahun lalu mencoba untuk menulis setiap hari di bulan Ramadhan. Di hari-hari pertama semua terasa mudah dan menyenangkan, atensi publik bagus, penerimaannya teman-teman baik. Tapi begitu masuk sepertiga bulan kedua, rasa lelah menghantui. Kadang-kadang pengen buat beralasan dan menunda barang sejenak, ingin melewatkan barang semalam saja. Toh masih bisa menulis pada pagi harinya.
Kemudian kita sadar, banyak dari target-target kita berakhir wacana bersebab kita yang menyepelekan yang kecil. Kita tak mau bersusah payah, kita tak mau berusaha disiplin. Ketika kita lalai sehari, akhirnya muncul alasan yang sama di hari berikutnya. Ketika kita mulai ada bolongnya, akhirnya kita jadi mulai malas karena merasa sudah tak lagi sempurna apa yang kita upayakan.
Hidup kadang bukanlah lomba lari sprint, tapi bisa jadi seperti lari marathon. Kita tak dituntut buat jadi yang tercepat, meskipun yang pertama memulai kebaikan tetaplah yang baik. Tetapi yang jauh lebih diharapkan adalah bagaimana kita bisa terus bertahan dalam kebaikan.
Di masa quarter life crisis ini, mungkin kita juga merasakan hal yang sama. Melihat mimpi kita masih jauh, melihat pencapaian kita tak bagus-bagus amat. Tapi semoga kita tetap tegar walau berat, semoga kita tetap berusaha walau susah, semoga kita tetap istiqomah walau sulit. Hingga akhirnya tanpa sadar berpuluh tahun lagi kita berterima kasih pada diri kita yang sekarang, karena mau untuk berjuang, karena mau untuk tidak membuat alasan-alasan.
Terima kasih telah membersamai #NgasoBakdaTaraweh di Ramadhan ini. Semoga Allah terima ibadah kita, semoga Allah pertemukan kita dengan Ramadhan berikutnya, semoga kita dipertemukan lagi dalam kesempatan-kesempatan baik lainnya.
68 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Keluar dari Persembunyian
Aku menyukai hal-hal yang sunyi. Seperti makan seorang diri waktu ke restoran, menikmati suasana perpustakaan yang hening, me time sewaktu di toko buku, juga tak lupa berdiam diri di masjid.
Tetapi, ada kalanya aku merasa aku harus keluar, melakukan sesuatu yang berbeda dan tidak membuatku nyaman. Semisal saat aku harus berada dalam keramaian acara, aku berusaha menyesuaikan diri, berusaha untuk ramah dan menyapa lebih dulu. Hal-hal seperti itu, menguras tenagaku. Kadang, aku berpikir untuk apa aku harus bersusah payah seperti itu bila aku bisa nyaman dengan diriku sendiri.
Waktu berlalu.
Aku akan menjalani peran-peran baru yang mungkin tidak pernah ku sangka. Menjadi orang tua adalah salah satunya. Hidup sebagai bagian dari masyarakat, bertetangga, dsb. Aku tidak bisa terus menerus bersembunyi di bilik kamar. Segala sesuatunya, memang seringkali baru kita pahami setelah bertahun terlewati.
Aku masih menyukai kesunyian. Seperti saat aku bisa merebahkan badanku, bermimpi bahwa aku bisa menjadi sagalanya, seperti saat anak-anak. Saat aku hanya mau berbicara dengan ibu dan ayah, tidak semua orang. Saat aku bisa membaca buku seharian dan hidup dalam duniaku.
Tapi, dunia ini meminta kehadiranku untuk berperan. Aku membuka pintu, dunia yang riuh ini benar-benar sesuatu yang selama ini kuhindari, tapi aku tahu menghindari masalah tidak akan menyelesaikan apapun :)
Hai, dunia. Aku tahu kamu tidak akan berbaik hati kepadaku, maka aku akan keras terhadap diriku sendiri sebelum kamu bersikap keras terhadapku. 
©kurniawangunadi
1K notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
9: Baik itu Benar
"Kalau antum sudah belajar tajwid, nantinya antum akan merasakan bagaimana nyamannya mendengarkan orang yang membaca dengan makhorijul huruf yang benar. Meskipun terkadang nadanya biasa aja pun, antum akan tetap merasakan kenyamanannya", nasehat salah satu ustadzku di mahad tempo dulu.
Pertama kali mendengar nasehat itu aku tidak percaya, bagaimana bisa kok orang yang nada bacaan Qurannya biasa aja lebih nyaman didengar dibanding mereka yang bersuara merdu. Gak mungkin lah. Halah, paling ustadz mengatakan hal seperti itu hanya untuk memotivasi kita supaya rajin memperbaiki bacaan saja.
Rupanya aku salah. Seringkali kudapati para imam yang suaranya merdu, tapi ketika panjang pendeknya salah, ketika hukum bacaan berubah demi menyesuaikan nada bacanya, justru malah terasa tidak nyaman didengarkan. Dan pasca sholat malah terkadang jadi terbesit hasrat ingin julid. Astaghfirullah.
Beda cerita ketika mendengarkan suara imam yang nada bacanya biasa aja, tapi makhorijul hurufnya tepat, tetapi penempatan waqafnya sesuai, tetapi panjang pendeknya tidak tumpang tindih. Alih-alih julid justru kita kagum dengan kefasihan bacaannya, dan kalaupun nada baca atau suaranya biasa aja kita akan maklum, karena suara bagus itu merupakan karunia yang tak semua orang memilikinya, tapi bacaan yang benar itu adalah buah dari usaha untuk melantunkan bacaan dengan sebenar-benarnya.
Maka benarlah kemudian pesan asatidz dulu bahwa bacaan yang bagus bukan hanya sekedar merdu dan indah lagunya, tetapi juga sesuai dengan kaidah hukum tajwidnya. Maka kubelajar lagi, bahwa yang baik itu tidak selalu bagus, tapi yang benar itu selalu yang paling baik.
Mungkin bacaan kita masih belum sesempurna itu, tapi setidaknya kita berusaha belajar dan terus memperbaiki. Mungkin bacaan kita belumlah bagus, tapi semoga kita selalu berusaha untuk mendekat pada yang benar.
129 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Makin nambah umur, saya makin ngerti, ga semua orang bisa menjadi teman dekat kita. Ada yg sebatas rekan bisnis/kerja, temen medsos, atau murni orang asing. Sudah jadi mekanisme alamiah, sebagaimana berlaku pada kawanan serigala, domba, singa, atau burung camar. Setiap orang punya kliknya sendiri-sendiri.
Pasti akan selalu ada orang yg ngontak kita pas ada perlunya saja. Tiba-tiba minta tolong ini itu. Ya, memang kadang kita itu saling bersikap menyebalkan satu sama lain. Kita semua menyebalkan bagi sebagian yg lain. Hanya berbeda saja cara dan tingkatnya.
Tapi, manusia kan memang ga mungkin berteman dgn semua orang. Ada lapisan-lapisan relasi yang memisahkan kita. Sadari lapisan itu biar engga mudah baper atau terlalu terikat.
Meski demikian, ada lapisan terluar yg menyatukan kita semua, yaitu persaudaraan atas nama kemanusiaan. Jadi, entah teman atau bukan, menolong orang lain dengan alasan sesederhana 'karena kita sesama manusia' tetaplah nilai yang mestinya kita pertahankan*.
*Syarat dan ketentuan dapat berlaku pada kondisi tertentu.
986 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Perempuan yang Seharusnya
Suatu ketika, seorang pria mengatakan bahwa perempuan itu harus berada di dalam rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Urusan mencari nafkah biar menjadi tugas sang suami saja.
Di lain waktu, seorang pria lain berkata bahwa perempuan itu harus punya penghasilan sendiri agar tidak bergantung sepenuhnya kepada nafkah suami. Toh, akan lebih banyak manfaat yang bisa perempuan berikan jika ia punya penghasilan sendiri.
Dua nasihat itu berseberangan, tetapi punya satu kesamaan: Sama-sama disampaikan oleh seorang laki-laki (meski saya tidak menyebut nama, keduanya benar-benar terjadi). Dan, menurut saya itu menarik, sih. Apakah perempuan tidak punya pikiran dan penghayatan terhadap hidupnya sendiri sehingga dua laki-laki itu merasa perlu memberi "keharusan" pada perempuan? Akan tetapi, itu bukan poin utama dari tulisan ini.
Sebagai perempuan, saya tidak sedang menjadikan salah satu nasihat itu sebagai pemuas ego saya untuk merasa lebih benar dari orang lain—meskipun dorongan untuk melakukannya akan selalu ada.
"Tuh, kan, saya yang benar karena jadi IRT."
"Nih, udah bener saya jadi wanita yang punya penghasilan sendiri."
Saya hanya tergelitik untuk mengungkapkan isi hati saya dengan jujur:
Kenapa ada banyak sekali tuntutan terhadap perempuan—termasuk tuntutan dari sesama perempuan dan perempuan itu sendiri? Sejujurnya, standar-standar tentang "perempuan yang seharusnya" sudah ada di level yang memuakkan.
Dan, saya yakin, saya bukan satu-satunya yang merasa muak. Kebanyakan perempuan sudah dididik sedari dini untuk menjadi "perempuan yang seharusnya": harus cekatan, harus bisa multitasking, harus tahu cara mengurus rumah, dsb. Saat perempuan sudah berkeluarga, keharusan-keharusan itu semakin beranak pinak.
Saya enggak bicara ideologi. Kubu "kanan" maupun "kiri" sama-sama membuat standar "perempuan yang seharusnya" dengan ego yang besar. Kenapa saya menggarisbawahi pada ego yang besar? Karena sering kali keduanya hanya ingin menunjukkan kekuatan ideologinya masing-masing saja, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata yang ada di depan mata.
Saya rasa kita perlu menyadari bahwa tuntutan pada perempuan sudah terlalu bising, kecuali kita memang sedang mewajarkan budaya perfeksionisme menjangkiti kepala setiap perempuan dan menjadikannya rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Ya, kecuali kita memang sedang melakukan audisi untuk mencari para superwoman untuk menyelamatkan dunia, saya rasa kita perlu mengurangi tuntutan dan perasaan bahwa diri kita dituntut untuk menjadi seorang wanita serbabisa, super, bahkan kalau bisa sempurna: tampil aduhai sebagai seorang istri, hebat sebagai ibu, jago masak, jago atur duit, cekatan dalam beberes rumah, punya gaji besar, bermanfaat secara sosial, dan selalu terlihat glowing.
Perempuan bukan manusia super yang bisa melakukan semua yang dilakukan laki-laki, ditambah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, perempuan juga bukan manusia lemah yang tidak boleh punya pilihan, pikiran, dan keinginan. Kita tak butuh berkubu-kubu untuk membicarakan perempuan, kita hanya butuh memanusiakan perempuan.
Ia bisa kuat, ia bisa lemah. Ia bisa berhasil, ia bisa gagal. Ia bisa hebat, ia bisa tumbang. Ia bisa tersenyum, ia bisa menangis. Ia yang sederhana dalam kerumitannya, ia yang rumit dalam kesederhanaannya. Ia yang bisa berpikir dan mengenali dirinya sendiri, ia yang bisa bingung dan kehilangan dirinya sendiri.
Sebagai gantinya, marilah kita para perempuan lebih banyak menelaah diri kita masing-masing (bukan menelaah orang lain). Mari kita hayati keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Nilai apa yang kita utamakan, keyakinan apa yang kita percayai, hidup seperti apa yang kita cintai, hal apa yang paling penting untuk kita. Dari situ kita akan menemukan standar kita sendiri. Pilihan apa pun yang kita ambil, selama itu lahir dari penghayatan kita terhadap diri kita sendiri, bukan karena dipaksa atau dituntut orang lain, itu layak kita perjuangkan.
Jikalau ada satu keharusan, maka itu adalah: perempuan harus tahu bahwa tidak semua keharusan yang dikatakan orang lain padanya harus ia anggap sebagai tuntutan yang serius. Jika itu tiba-tiba mengusik hidup yang berjalan damai, biarkan suara itu tenggelam. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke danau, ia hanya memberi riak-riak sejenak, sebelum tenggelam ke dasar danau. Dan, danau itu lambat laun menjadi tenang kembali seperti sediakala.
796 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
“Adab”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya “Madariju As Salikin”,
“Adab seseorang menjadi tanda kebahagiaan dan keberuntungannya. Kurangnya adab adalah tanda kesengsaraan dan kerugiannya. Tidak ada yang setara dengan adab dalam hal mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan sebab terbesar yang dapat menghalangi seseorang dari kebahagiaan dunia dan akhirat adalah sedikitnya adab.”
“Dan manusia tak akan tinggi tanpa adab .. sekalipun tinggi nasab dan hasabnya.”
Orang yang menerapkan nilai-nilai adab dalam urusan pribadinya, pelajarannya, kepada guru dan temannya, ilmu pun akan ia dapatkan.
Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan adab, engkau akan memahami ilmu.”
Hal ini karena orang yang beradab akan dipandang sebagai orang yang layak membawa ilmu, sehingga ilmu itu akan diberikan kepadanya. Sementara orang yang kurang adab, ilmu terlalu berharga untuk menjadi sia-sia disisinya.
Karena itu dahulu orang-orang salaf rahimahullah sangat memberi perhatian terhadap pengajaran adab sebagaimana mereka memberi perhatian terhadap pengajaran ilmu.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Dahulu mereka mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”
Bahkan banyak dari mereka mendahulukan pengajaran adab sebelum pengajaran ilmu.
Malik bin Anas berkata kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai keponakanku, belajarlah adab sebelum engkau belajar ilmu.”
Mereka benar-benar menunjukkan butuhnya mereka kepada adab.
Suatu hari, Makhlad bin al Husain berkata kepada Ibnul Mubarak, “Kita lebih banyak membutuhkan adab daripada butuhnya kita kepada banyaknya ilmu.”
Mereka selalu memberi nasihat dan pengajaran tentang adab.
Malik berkata, “Dulu ibuku memakaikanku sorban, lalu berkata kepadaku, “Pergilah kepada Rabi’ah –maksudnya Ibnu Abi Abdirrahman, ahli fiqih kota Madinah di zamannya-, lalu pelajarilah adabnya sebelum engkau mempelajari ilmunya.”
Banyak para penuntut ilmu zaman sekarang yang gagal meraih ilmu disebabkan karena menelantarkan adab.
Apa gerangan yang akan dikatakan Laits andai ia melihat kondisi para penuntut ilmu di masa sekarang?
Laits bin Sa’ad pernah mendatangi sekelompok ahli hadits, lalu ia melihat sesuatu dari mereka yang kurang disukainya, kemudian ia berkata, “Apa ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyaknya ilmu.”
[Khulashah Ta’dzim al Ilmi, hal. 30 - 32, Syaikh Shaleh bin Abdillah al ‘Ushaimy semoga Allah menjaganya]
87 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Khawatirmu Tentang Masa Depan
@edgarhamas
Jujur saja, sebenarnya apa hal yang lebih membuatmu khawatir dibanding ketakutanmu pada masa depan?
Itulah yang membuat manusia yang kamu lihat —dan barangkali kita sendiri— belajar mati-matian demi ijazah, katanya agar di ‘hari depan’ diterima di universitas ternama. Sibuk kuliah dan ingin cepat lulus, demi ‘masa depan’ yang cerah di perusahaan besar. Kerja lembur bagai kuda dengan misi menciptakan 'masa depan’ karir yang gemilang.
Kekhawatiran kita akan masa depan itu seperti kita berlari mengejar bayang-bayang kita sendiri. Tak pernah berakhir, dan selalu membuat hati gelisah. Menghidupkan hari ini demi esok hari. Sebuah cara hidup paling menyiksa yang pernah ada. Dibayang-bayangi esok akan jadi apa dan akan makan apa. Cara pandang seperti itulah yang melahirkan hamba dunia.
Untungnya, kita punya iman. Dengan iman, kita seperti punya obor yang menuntun kita menyusuri hari-hari ke depan yang gelap temaram. Iman membuat kita tahu bahwa selalu ada jalan bagi mereka yang yakin bahwa segala sesuatu —rizki, cinta dan pencapaian hidup— ada di tangan Allah. Maka mereka tenang, namun tak juga berpaku tangan. Mereka tenteram, tapi justru berkarya makin melesat!
Perkara rezeki dan karunia di esok hari, Allah bilang padamu dengan terang, “Kamilah yang membagi-bagi penghidupan mereka dalam kehidupan dunia” (Az Zukhruf 32) Semua sudah ada jatahnya, sudah ada pembagian seadil-adilnya.
Allah tak pinta kita untuk sibuk menghabiskan waktu demi karir. Justru Allah ingin karir kita hidup untuk menyelamatkan waktu kita yang sempit ini; menghidupkannya menjadi ibadah yang bernilai berat di timbangan akhirat.
Bahkan sejatinya, kerja kita, belajar kita, kegiatan kita, koneksi yang kita bangun, relasi yang kita kumpulkan; hakikatnya bukan untuk mencari penghidupan, tapi untuk bersyukur pada Allah. Unik kan? Kerja bukan demi rezeki, tapi sebagai tanda syukur.
Tapi memang begitulah aslinya. Dan itulah yang Allah ajarkan pada Nabi Daud dan keluarganya, “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ 13)
Dan kamu pasti tahu, keluarga Nabi Daud justru menjadi keluarga paling kaya sepanjang sejarah manusia. Ia menjadi raja dan anaknya menjadi raja. Bukan sembarang raja.
Yang kamu khawatirkan tentang masa depanmu, sudah Allah cover.
Bersyukurlah dengan menjalani hidup yang bermanfaat bagi dakwah dan umat, itulah cara kita mencover waktu menjadi bulir-bulir pahala yang berat di timbangan amal.
3K notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
MENGOBATI LAHN DALAM TILAWAH ALQURAN
Ilmu tajwid merupakan ilmu yang paling ringkas apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Pembahasan inti dalam tajwid hanya membicarakan permasalahan makharijul huruf (tempat-tempat keluar huruf) dan shifatul huruf (sifat-sifat huruf). Baik itu sifat huruf lazimah, yakni sifat-sifat yang selalu menyertai huruf, seperti Syiddah, Rakhawah, Hams, Jahr, Qalqalah, Shafir, Tafasysyi dan lain sebagainya. Atau berupa sifat-sifat aridhah, yakni sifat-sifat yang kadang menyertai huruf dan kadang tidak menyertainya, seperti tafkhim, tarqiq, idgham, ikhfa, atau madd.
Oleh karena itu, cara mengobati lahn (kekeliruan lisan) dalam tilawah Alquran, maka mesti dikembalikan kepada poin makhraj atau sifat huruf. Kemudian selain itu, juga penguasaan atas bahasa Arab dasar yang dapat mencegah kita dari kekeliruan dalam memberikan harakat.
Namun demikian, kami seringkali menemukan di antara para pembelajar bahkan pengajar Alquran di sekitar kita belum memahami perbedaan yang mendasar antara permasalahan makhraj dan sifat-sifat huruf. Sehingga tidak jarang di antara mereka mengira bahwa kefasihan pengucapan lisan selalu bergantung pada makhraj, dan sering mengesampingkan bab sifat.
Mungkin di antara kita sering mendengar seseorang yang berkata, “makhrajnya sangat baik”, “makhrajnya sangat jelas”, “makhrajnya kurang tampak”, “makhrajnya sempurna”, “makhrajnya kurang sempurna”, “makhrajnya fasih”, “makhrajnya kurang fasih”, serta berbagai perkataan lain yang selalu dikaitkan dengan makhraj. Seakan-akan seluruh permasalahan kefasihan pelafalan Alquran hanya kembali kepada makhraj.
Padahal, kenyataan di lapangan yang kami temukan, justru kekeliruan pada makhraj saat membaca Alquran ini persentasenya kecil, dan kebanyakannya terjadi pada para pemula atau anak-anak saja. Sedangkan sebagian besar kekeliruan dalam melafalkan Alquran terjadi dalam persoalan kesempurnaan sifat-sifat huruf. Porsi yang paling besar yang sering kami temui adalah dalam permasalahan Tafkhim dan Tarqiq. Tidak heran apabila para ulama, termasuk juga guru-guru kami seringkali mengingatkan bahwa kemahiran membaca Alquran sangat bergantung pada penguasaan Tafkhim dan Tarqiq, baik secara teori, dan tentu saja praktik.
Ketahuilah bahwa permasalahan makhraj hanya membicarakan dimana huruf dikeluarkan. Hanya menunjukkan letak-letaknya saja. Teori dan praktiknya insyaallaah cukup ringan dan mudah diamalkan.
Berbeda dengan sifat-sifat huruf yang membicarakan bagaimana huruf dikeluarkan. Bukan hanya membicarakan dimana letaknya, tapi bagaimana mengucapkannya, apakah suaranya tebal atau tipis, apakah disertai udara yang mengalir atau tertahan, apakah suaranya mengalir atau tertahan, apakah disertai kekhasan suara tertentu atau tidak, dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan inilah yang seringkali luput dan butuh perbaikan, bukan permasalahan makhraj. Hal inilah yang kurang dipahami oleh para pembelajar dan pengajar Alquran di sekitar kita.
Mungkin di antara kita ada yang akan mengatakan bahwa perkataan-perkataan di atas yang selalu dikaitkan dengan makhraj, sebetulnya hanya kiasan saja. Bisa jadi maksudnya ya makhraj dan sifat.
Kami katakan, “Ya, bisa jadi…”
Namun demikian, permasalahannya baru muncul saat perbaikan dan koreksi dilakukan. Karena kalimat yang sering dikeluarkan adalah makhraj, makhraj, dan makhraj, serta seringkali mengesampingkan permasalahan sifat, maka pada saat memperbaiki dan mengoreksi para pembelajar ataupun pengajar akhirnya hanya fokus pada teori dan praktik makhraj, serta kurang perhatian terhadap pengamalan sifat-sifat huruf. Kenyataannya, pemahaman terhadap sifat-sifat huruf juga kurang tepat dan detail, sehingga pengamalannya pun kurang sempurna.
Oleh karena itu, tidak jarang di antara para pembelajar, bahkan pengajar Alquran yang masih kebingungan bagaimana melafalkan huruf demi huruf hijaiyyah yang fasih, padahal mereka sudah memahami makhraj dengan baik. Karena memang kesempurnaan kefasihan pelafalan tidak dibahas secara rinci pada bab makhraj, melainkan pada bab sifat.
Di sinilah dibutuhkan kejelian para pengajar dalam mengoreksi bacaan murid-muridnya. Apabila kekeliruannya memang berkaitan dengan permasalahan makhraj, yakni tepat atau tidak posisi lidah atau bibir, atau tepat atau tidak huruf tersebut dibunyikan, misalnya yang seharusnya di aqshal halq (pangkal tenggorokan) malah diucapkan di wasthul halq (tengah tenggorokan) atau sebaliknya maka cara mengobatinya adalah dengan memindahkan suara dan mengembalikan ke asalnya, yakni makhrajnya yang tepat.
Namun apabila kekeliruannya berkaitan dengan kekurangsempurnaan huruf, kekurangfasihan huruf, apakah kurang jelas, atau tidak tepat dalam menebalkan dan menipiskan, atau justru berlebihan padanya, atau tidak tepat dalam masalah kekhasan suara setiap huruf, maka jelas sekali semua ini bukanlah kekeliruan dalam makhraj, akan tetapi merupakan kekeliruan dalam sifat-sifat huruf. Tentu saja, cara menanggulanginya pun adalah dengan memberikan pemahaman yang tepat berkaitan dengan sifat-sifat huruf. Pahami dengan baik apa itu Syiddah dan Rakhawah. Apa itu Hams dan Jahr. Apa itu Isti'la dan Istifal, juga Ithbaq dan Infitah. Sebagaimana kita juga penting untuk memahami dengan baik permasalahan qalqalah, shafir, tafasysi, takrir, istithalah, ghunnah, dan khafa.
Jangan sampai sebagai pengajar kita sendiri masih kebingungan untuk memahami keterkaitan sifat-sifat tersebut sehingga mencampuradukkan satu sifat dengan sifat yang lain. Bingung dalam mempraktikkan huruf-huruf yang syiddah sekaligus hams, atau yang jahr sekaligus rakhawah. Atau mungkin juga di antara kita masih kebingungan membedakan antara shafir, rakhawah, hams, dan tafasysyi, sehingga huruf-huruf diucapkan tidak sesuai hak dan mustahaknya.
Kemudian setelah kita memahami semua itu, maka kita wajib berlatih mempraktikannya sampai fasih. Yang paling baio tentu saja mempraktikkannya di hadapan seorang guru yang mutqin, sehingga standar kefasihannya jelas, bukan sekadar perkiraan semata.
Demikianlah cara mengobati lahn dalam membaca Alquran. Ibarat seorang dokter yang mengobati pasien. Ia harus bisa melakukan diagnosis dimana sumber penyakitnya, dan apa kelemahannya. Maka pengajar tajwid mesti jeli dalam melihat hal tersebut. Huruf-huruf apa saja yang terdengar belum sempurna, kemudian diteliti kekeliruannya pada makhraj atau pada sifat-sifatnya. Dengan itu, ia bisa memberikan pengobatan yang tepat dan baik.
Catatan tambahan: Kami tidak memungkiri bahwa setiap Ustadz atau Syaikh kadang memiliki standar kefasihan yang sedikit berbeda. Namun, selama Ustadz atau Syaikh tersebut memiliki sandaran yang shahih, maka pendapatnya tidak bisa ditolak. Adapun kita mau mengamalkan yang mana  maka dikembalikan kepada individu masing-masing. Sedangkan yang terbaik dan paling utama adalah mengamalkan apa yang diajarkan oleh guru, sebagaimana sampai kepada kita riwayat:
اقرءوا القران كما علمتم
“Bacalah oleh kalian Alquran sebagaimana kalian telah diajarkan.” (HR. Ahmad. Riwayat ini memiliki beberapa syawahid, di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al-Ajurriy, Al-Bazzar, dan Ath-Thabariy dengan beberapa variasi lafazh yang sedikit berbeda)
Wallaahu a'lam (Oleh: Ust Laili Al Fadhli)
19 notes · View notes
imafadiel · 3 years
Text
Bukan sekedar keberuntungan berpihak padaku. Tapi semua atas kehendak Allah.
Aku bukan orang pandai dan jenius. Aku hanya orang biasa-biasa saja. Tapi Allah seringkali memberiku kejutan-kejutan yang membuatku jadi beban.
Aku bukan orang pandai dan jenius, Aku hanya orang biasa-biasa saja. Tapi aku kedua orangtuaku seorang guru, yang selalu mengawasiku saat aku harus belajar. Mengharuskan aku untuk mengerjakan contoh soal yang ia bawakan untukku. Jadilah aku bisa ranking satu, yang sebenarnya ranking tak penting buatku.
Aku bukan orang pandai dan jenius, Aku hanya orang biasa-biasa saja. Nilai kelulusanku saat SD terbilang biasa saja. Bahkan lebih rendah dari juara kelas di tahun-tahun sebelumnya. Tapi entah mengapa di tahun itu nilai kelulusan SD menurun, sehingga aku bisa menjuarai nilai kelulusan tertinggi tidak hanya sekedar terti nggi di sekolah tapi juga tertinggi di daerahku.
Aku bukan orang pandai dan jenius, Aku hanya orang biasa-biasa saja. Saat SMP nilaiku naik turun dan itu biasa terjadi pada semua siswa. Saat aku duduk dibangku kelas 2, entah mengapa Allah membuat sekenario aneh, seorang teman dari kelas lain yang menjadi langganan juara paralel nilainya turun, begitu juga teman sekelasku yang sering mendapatkan ranking satu. Akupun tak hanya sekedar ranking satu tapi juga ranking satu paralel di sekolah. Dan akhirnya aku dikirim untuk mengikuti seleksi siswa teladan. Padahal aku sebenarnya bukan sosok yang layak mendapatkannya.
Dan masih banyak lagi bentuk karunia Allah yang menurutku adalah sebuah istidraj. Karena aku sadar aku tak layak mendapatkannya. Namun begitu aku tetap bersyukur dapat belajar dari itu semua. Bahwa Segalanya Mudah bagi Allah.
2 notes · View notes