Pijak Pijar Pudar
Bagian satu : Kembali ke Hulu
Kereta api Wijayakusuma seakan membelah terik matahari di tengah sawah dan ladang yang begitu luas di sudut kabupaten Jawa Timur. Sebuah kota kecamatan kecil yang menyepi sejak beberapa jam lalu setelah adzan dzuhur dikumandangkan. Panas siang itu begitu membakar kulit, membuat semua orang sejenak berteduh di bale-bale. Namun tak butuh waktu lama untuk membuat mereka kembali turun ke sawah dan ladang, melawan kemalasan, demi mengisi perut mereka dan anak-anak mereka. Sesulit apapun cuaca tidak akan menghentikan langkah mereka karena tersemat sebuah tanggung jawab untuk menghidupi keluarga.
Padma semula termenung menyaksikan pemandangan para petani yang beristirahat di bale-bale tepi sawah. Tangannya menarik turun roller blind jendela, lalu menghempaskan punggungnya ke kursi kereta yang dingin. Sudah beberapa jam matanya enggan terpejam padahal perjalanan masih belasan jam lagi.. Ia gusar. Pikirannya melayang kesana kemari membayangkan apa yang akan terjadi ketika ia menjejakkan kaki di rumah.
Di dalam ranselnya tersimpan rapi beberapa surat yang membayarkan jerih payahnya selama setahun ke belakang. Surat tanda registrasi, surat tanda selesai internsip, dan banyak lagi lembar-lembar lain yang sudah digandakan menjadi beberapa salinan dan dimasukkan rapi ke dalam amplop coklat. Padma tinggal menuliskan surat lamaran kerja kemanapun tempat kerja yang dia inginkan.
Padma, seperti ratusan dokter baru lulus lainnya, baru saja menyelesaikan kewajibannya untuk melaksanakan program internship. Program mengabdi, menyumbangkan waktu dan tenaga untuk membantu mengurangi carut marut sistem kesehatan di Indonesia. Tapi baginya, program ini bagai wahana yang penuh kemelut dan huru-hara sebuah fase pendewasaan; belajar bekerja.
Pemikiran-pemikiran teoritis dan idealismenya dimentahkan dengan kenyataan pahit yang ia temukan di lapangan. Sehari-hari ia bergelut dengan keluh kesah pasien, dosis obat-obatan, serta istilah medis dalam kata-kata sederhana yang sekuat tenaga ia pelajari sambil menjaga kewarasan. Rasanya sulit sekali bagi Padma untuk meneruskan pekerjaan. Ia tidak membayangkan seumur hidup harus bergelut dengan hal yang sama, dari pagi hingga petang.
“Sudah nak, pulang dulu saja. Kita bicarakan di rumah ya. Kalo dari telepon ndak enak dengernya. “ Suara lembut ibu yang berusaha menenangkan Padma terngiang di telinganya. Percakapan yang terjadi beberapa minggu lalu sukses membuat Padma terjaga sepanjang perjalanan.
“Mbak, nanti kalo udah selesai ishipnya mbalik ke rumah ya. Bapak udah telepon temen bapak di UGM biar nanti gampang pas kamu ndaftar.”
“Pak, kalo Padma nggak lanjut PPDS gimana?”
“Lho maksudmu piye?”
“Padma mau kerja dulu aja pak.”
“Kerja gimana maksudmu? Wes to, nggak usah pake kerja nggak papa. Nanti kalo lama kerja jadi males sekolah. Mumpung masih muda segera sekolah, cepat lulus, nanti nerusin klinik bapak“ Nada bicara bapak di telepon meninggi begitu mendengar Padma menolak keinginannya. Padma sudah tahu pola keinginan bapak yang menginginkan anak semata wayangnya kembali ke kota T untuk menyiapkan diri dan meneruskan pendidikan spesialis di UGM, almamaternya. Persis seperti dirinya dulu.
“Tapi pak,Padma masih mau nyari pengalaman dulu.”
“Halah pengalaman opo to. Nggak ada gunanya. Nanti malah susah sekolah kamu, liat aja. Wes pokoke pulang dulu.”
“Nggih pak.”
Padma terdiam. Ia memutar otak mencari cara untuk menghindari amarah bapak jika tahu anaknya tidak ingin lanjut PPDS. Hari hari terakhirnya ia gunakan untuk memikirkan segala kemungkinan yang bisa ia lakukan dan menyiapkan kata-kata untuk menjawab bapaknya.
Tapi hingga kini, isi kepalanya masih kusut masai. Ia belum juga menemukan cara.
Beberapa jam lagi, kereta WIjayakusuma akan berhenti di stasiun Jogjakarta. Bapak dan ibu sudah menunggu di parkiran mobil, menunggu anak semata wayangnya.
…..
*ppds : program pendidikan dokter spesialis
Bagian kedua : Wahana Pertama. Selamat bermain!
Tring!
Sebuah notifikasi email masuk ke dalam gawai Padma. Keringat sebesar bulir jagung mengalir dari dahinya ketika ia melihat header undangan interview di sebuah perusahaan asuransi swasta. Entah bagaimana ia meminta izin ke orang tuanya untuk melangkah ke ibukota. Padahal baru beberapa bulan lalu dia kembali ke rumah setelah setengah tahun mencoba menapak karir sebagai asisten penelitian.
Padma teringat waktu yang ia habiskan untuk mendaftar berbagai pekerjaan dan perusahaan yang ia lamar. Beberapa lowongan grup pencari kerja, aplikasi dan iklan yang tersebar di internet menyesaki daftarnya. beberapa sudah dicoret dari daftar. beberapa digarisbawahi.
“Lah kamu juga sih, ngapain sih pakai kerja segala. kan enak tinggal ikut ayahmu. Latihan di klinikmu sendiri, tahun depan daftar sekolah. Selesai.” Utari mengomel ketika Padma curhat melalui telepon tentang kebingungannya yang ingin pergi ke Jakarta.
“Nggak mau aku jadi spesialis. Capek. Liat bapak kerja kayak gitu ga pernah istirahat”
“Nggak ada kerja yang ga capek lah gila. Udah harusnya kamu tuh bersyukur.”
“Aku jadi dokter aja nggak ngikutin kata hati. nyesel aku sekarang ga ada bahagia-bahagianya. Ngikutin kata bapak tok. Capek.”
“Ya Allah bocah. kamu tuh jalannya udah terang, jelas, tinggal ngikut. Dikira gampang apa sekolah spesialis. Orang-orang rebutan mau jadi darah biru nyari koneksi segala macam demi bisa masuk, ini malah nolak. Asli ga waras.” Nada bicara Utari bersungut. Padma tahu betul kesulitan yang dialami sebagai anak orang biasa, muggle. Ia bekerja banting tulang lebih dari 40 jam perminggu untuk menabung pundi bekal pendidikan spesialis, sekaligus mencari rekomendasi.
“Kemarin magang apa kabar tuh? Resign juga kan?”
Enam bulan lalu ia habiskan di bawah bimbingan dr Mawar, dosen spesialis mata di Kota S. Ayahnya mengizinkan pekerjaan pertamanya sebagai asisten penelitian karena dianggap bisa memberikan rekomendasi dan pengalaman ilmiah untuk Padma.
Berhari hari ia terkurung di dalam lab memelototi mikroskop dan data di layar laptop, lalu menyajikannya dalam bentuk kalimat yang enak dibaca. Padma bagai dikejar deadline setiap waktu untuk membaca dan mengedit jurnal serta artikel, yang kemudian dipublikasikan. Dokter Mawar tidak ada ampun. Artikel miliknya harus selalu siap disajikan sebelum akhirnya dicoret dengan berbagai revisi dari beliau. namun Padma hanya bisa bertahan beberapa bulan. Lama kelamaan kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang setiap keluar lab. Ia mulai muak setiap melihat coretan garis garis besar di naskah artikelnya yang harus diperbaiki. Ritme kerja dokter Mawar yang disiplin membuat ia kesulitan untuk istirahat dan mengambil jeda.
“Iya resign. Nggak kuat aku. dokter Mawar demanding banget.”
“Terus sekarang kamu mau kerja kantoran? yakin? Hahahaha.” Tawa sinis Utari terdengar dari seberang telepon.
“Harusnya kamu bantu aku nyari cara gimana ngomong ke bapak.”
“Satu saranku, udah, ikuti aja kata bapakmu.”
“Nggak mau. Udah ya kalo nggak bisa ngasih saran. Pokoknya yang penting udah puas aku cerita. Bye.” Padma menutup telepon, menghela nafas panjang, sebelum melangkah ke meja makan.
Di meja makan, ibu sibuk menata piring dan lauk pauknya. Bapak belum sampai ke rumah. nampaknya makan malam akan mundur menjadi jam 8 malam kali ini.
“Bu, aku mau wawancara kerja di jakarta.”
Ibu berhenti menyendokkan nasi ke piring Padma dan menoleh.
“Buat apa nduk?” Ekspresi kecewa tidak bisa hilang dari wajah ibu. Dia tidak habis pikir mengapa anak semata wayangnya begitu nekat untuk mencoba berbagai pekerjaan yang tidak jelas ujungnya.
“Ya nyoba kerja bu. Nanti Padma di perusahaan asuransi gitu. Kantoran. Bantu ngomong sama bapak ya bu.”
“Kan ibu sudah bilang, manut bapakmu aja. Kerja itu nggak gampang. Yakin kamu bisa betah kerja di Jakarta?”
“Kan ibu tau sendiri kalo aku nggak mau spesialis.”
“Wes bilang sendiri sama bapak. Nanti ibu bantu pas ngobrol.”
Tak lama bapak pulang dari praktik sore dan bergabung dengan Padma di meja makan. Tanpa banyak bicara bapak melahap nasi yang disajikan ibu. Kelihatan sekali bapak begitu lelah dan kelaparan setelah bekerja. Sedangkan Padma sibuk menyusun kata-kata dan mencari momen yang tepat untuk berbicara ke bapak. Ibukota selalu terlihat seram dan menakutkan untuk orang-orang yang tinggal di daerah. Baik persaingannya, lingkungan kerja, ataupun pergaulannya. Ia yakin sekali bapak tidak akan mengijinkan dia untuk melangkah ke Jakarta.
“Bapak. Kalo aku kerja di Jakarta boleh kah?”
Seketika bapak langsung meletakkan sendok dan garpu, berhenti mengunyah dan menolehkan wajah ke arah padma.
“Nggak. Nggak boleh.”
.....
Bagian ketiga : Melawan
Jakarta memiliki kilau cahaya sore yang berbeda dengan kota-kota lainnya. Entah bagaimana caranya ribuan partikel polusi yang memadati langit membuat warnanya berubah dari hari ke hari.Ribuan manusia seakan tidak beranjak dari kesibukan dan tempatnya masing-masing meskipun langit semakin muram. Usia mereka perlahan disedot oleh kesibukan, macet dan polusi ibukota.
Begitupun dengan Padma. Setelah melihat dari dekat, ibukota yang awalnya berkilau dan menyenangkan perlahan menunjukkan gelap dan suramnya. Antusiasme yang awalnya menyertai setiap langkahnya semakin lama semakin menghilang. Setiap hari selalu ada saja hal baru yang membuat ia mengeluh. Ia tidak tahu apalagi yang bisa membuat ia bertahan.
Padma menghela nafas sambil memberesi ice box berisi beberapa vial vaksin yang sudah kosong. Pasien dan ibunya baru saja mengorder layanan vaksin home care dari startup tempat Padma bekerja sekarang. Sambil menanti gojeknya datang, Padma menghubungi beberapa orang dan mengakses aplikasinya untuk menandai bahwa ia sudah menyelesaikan tugasnya.
Jadi maumu apa?
Bahkan masa probation di perusahaan asuransi kemarin tidak bisa diselesaikan karena merasa tidak cocok dengan desk job - pekerjaan di balik meja. Padma bisa mati kebosanan jika harus menghabiskan waktu sembilan pagi hingga lima sore untuk bertahan di depan komputer untuk mengecek dan verifikasi segala klaim yang masuk. Perasaan seru dan tertantang hanya muncul di dua minggu pertama probation, sedangkan sisanya harus dia selesaikan dengan susah payah.
Hidup itu bukan trial and error
Padma tidak bisa terus menerus hidup dalam Trial and error seperti ini
Semua langkah yang Padma ambil setahun belakangan benar-benar muncul dari keinginannya sendiri. Tetapi entah mengapa akhirnya selalu menyedihkan dan tidak sesuai ekspektasinya. Rasanya hidupnya kini benar-benar tidak menentu. Kegagalan yang terjadi di langkah-langkah sebelumnya membuat ia semakin banyak berpikir dan takut melanjutkan karirnya.
Jadi apa sih yang dikejar?
“Dadi bocah kok sak karepe dewe!” Lagi, perkataan bapak terngiang di telinga Padma. Secuil rasa sesal diam diam menyelinap ke dalam hatinya. Jangan-jangan perkataan bapak memang benar. Jadi apakah ia harus mengikuti apa kata bapak? Ia teringat kata-kata ibunya yang susah payah meyakinkan bapak ketika menguping di balik pintu. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa melunakkan keras kepala dan ego bapak hingga akhirnya mau melepas Padma hidup di Jakarta. dengan satu syarat, jika gagal lagi, maka ia harus kembali ke rumah.
Setelah resign dari perusahaan asuransi, Padma bekerja sebagai vaksinator homecare untuk mengisi waktu luang. Beberapa bulan bekerja pun ia mulai merasa bosan dan tidak bisa maju. Beberapa kali ia berusaha mengambil seminar dan workshop kedokteran untuk memperkaya CV. Ia masih tidak tahu apa yang dia mau. Kepercayaan diri untuk membangun karir sendiri perlahan pupus ketika satu persatu langkahnya menemui kesulitan.
CV yang disusun demikian indah itu dikirimkan Padma ke beberapa perusahaan. Ia melihat beberapa temannya yang sukses menapaki karir sebagai dokter perusahaan. Hanya bermodalkan sertifikat hiperkes, mereka dapat menabung hingga cukup lumayan untuk melanjutkan studi selanjutnya. Kehidupan yang nampak menyenangkan itu menarik hati Padma untuk berjalan di jalur yang sama.
Dua, tiga bulan berlalu, masih belum ada yang memanggilnya untuk interview. List perusahaan yang membuka lowongan dokter mulai berkurang. Surel penolakan mulai menumpuk di kotak surat Padma. Ia mulai bosan dan lelah menunggu kepastian. Nampaknya, ia kembali menapak jalan yang salah.
“Soalnya pengalaman kerjamu jelek.” Lagi-lagi perkataan tajam Utari membuyarkan lamunan Padma.
“Ya siapa juga yang mau punya pegawai yang resign di setiap kerjanya setelah 3-6 bulan. Kutu loncat mah kalo kata anak sekarang.”
“Terus aku harus gimana sekarang?”
“Udahlah ikutin kata bapakmu aja.”
“Iya ya?”
“Udah dibilangin dari dulu kok. Kerasa kan sekarang?”
“Tapi aku nggak mau jadi klinisi.”
“Sak karepmu wes”
Sayangnya kepala Padma begitu keras seperti batu. Keras kepala Padma tidak lain menurun dari bapaknya. Semakin keras bapaknya memintanya untuk kembali, semakin keras pula ia menolak. Padahal terang sekali Padma menemukan kesulitan. Dan Ibunya pun sudah berkali-kali memintanya untuk kembali ke rumah karena tidak tega melihat anak semata wayangnya kesulitan. Meskipun putus asa, pantang buatnya untuk menjilat ludah sendiri.
Ibarat batu bertemu dengan batu, sama sama keras. Tinggal menunggu salah satu pecah duluan. Entah itu Padma, atau bapaknya.
.......
Bagian keempat : Membentuk Batu
Siapa yang tidak kenal dokter Wiguna. Dia adalah spesialis mata satu satunya di kota T. Sudah lebih dari 20 tahun ia menetap di kota T untuk membaktikan seluruh energi dan ilmunya di kota kecil yang diapit pegunungan itu. Pagi harinya dihabiskan untuk menangani semua pasien mata di RSUD setempat. Sore dan malam harinya dibagi di dua tempat, sebuah RS swasta dan klinik di rumah. Sebuah klinik spesialis kecil dibuka di sebelah rumah untuk membantu beberapa orang yang tidak sempat ke RS. Kadang, ia menggratiskan pengobatan untuk orang-orang tidak mampu. Bahkan menerima bayaran dalam bentuk apapun. Hal ini membuatnya dikenal dan dihormati oleh penduduk kota T.
Ia dilahirkan di keluarga petani di kota kecil yang suram. Seperti klise keluarga petani kebanyakan, beranak banyak, miskin, tidak berpendidikan dan menggantungkan hidup pada hasil bumi. Sebagai sulung dari tujuh bersaudara ia terbiasa mengalah untuk adik-adiknya. dari sesepele potongan telur terkecil hingga peralatan sekolah, selalu ia berikan ke adik-adiknya. tetapi kehidupan keras itulah yang menempanya menjadi seorang yang tidak mau menyerah.
Agaknya sifat keras kepala dan tidak mudah menyerah yang membawanya ke nasib baik.Setelah diasuh oleh saudara jauh yang berada, Wiguna dapat bersekolah di salah satu universitas terbaik saat itu, dengan beasiswa pula. Ia lulus tepat waktu dan menjadi tangan kanan seorang spesialis terkenal di universitas itu. Lagi-lagi dengan keberuntungan yang sama, Wiguna berhasil lanjut ke pendidikan spesialis dan melanjutkan bekerja di kota kelahirannya. Ia bertekad untuk membawa nasib yang lebih baik ke keluarga kecilnya dan tidak akan membiarkan mereka menderita.
Sifat keras kepala itu terang saja diturunkan ke anaknya, Padma. Tetapi sesungguhnya Padma kecil bukanlah anak yang pemberontak. Ia manis, penurut dan tidak pernah membantah kata-kata orangtuanya. Tipikal anak impian yang bisa dibanggakan di pertemuan keluarga manapun. Sebagai anak tunggal, Padma selalu berusaha memenuhi apapun keinginan orang tuanya karena tidak ada lagi yang bisa melakukannya.
Untung saja ia dilahirkan dengan otak yang cukup mumpuni. Ia bisa tembus ke berbagai sekolah favorit di kotanya tanpa banyak usaha. Lama-lama, menjadi yang terbaik adalah sebuah keharusan baginya. Segala perintah dan didikan disiplin Wiguna dengan patuh dilakoni oleh Padma. Tetapi tentu saja dengan reward yang pantas di setiap pencapaiannya, Padma tidak pernah berkekurangan. Tidak ada satu alasan pun yang cukup membuat Padma melawan bapaknya.
Kelembutan ibu menjadi satu-satunya penawar lelah Padma. Kata-kata bapak yang selalu tegas dan keras, berhasil diterjemahkan menjadi lebih lembut oleh ibu. Ibulah yang menjadi perantara keras kepala Padma dan Bapak. Ibu selalu ingin Padma menjadi wanita yang lembut dan penurut. Segala watak keras Padma dinetralkan oleh ibu. Sehingga yang muncul di permukaan adalah diri Padma yang begitu penurut.
Manis, penurut, pintar, dan berprestasi ; sebuah citra diri sempurna yang dibentuk Padma di mata bapak, keluarga, dan teman-temannya. Ekspektasi tertinggi orang tuanya selalu bisa ia penuhi.
Padahal tekanan besar itu perlahan membuat retakan di hati dan mental Padma.
.....
Bagian kelima : Langkah awal kebebasan
Ratih mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur di meja nakas. Di sampingnya Wiguna masih menggulir gawainya, membalas beberapa pesan konsul dari RSUD tempatnya bekerja. Ratih menyelipkan diri diantara selimut tebal untuk melawan dinginnya hawa malam kota T.
“Pak, gimana kabar Padma ya?” Ratih menerawang ke langit-langit kamar.
“Mbuh, salahe dewe ngeyel..” Wiguna tidak mengalihkan pandangannya dari gawainya.
“Terakhir katanya lamaran kerjanya ditolak lagi.”
“Ben. Biar dia belajar kalo kerja itu susah.”
“Masih punya uang buat makan kan dia. Pasti stress banget dia.”
“Kan aku udah bilang Bu, dia bisa kapan aja mbalik ke rumah kok.”
“Uwes to pak. Anak itu nggak usah dipaksa.”
“Orang tua mau yang terbaik buat anaknya lak yo wajar to bu. Kurang opo sih sakjane. Padma tinggal nglakoni aja to?”
“Ya tapi kan anak juga punya keinginannya sendiri to pak.”
“Padahal anaknya dulu manut, nggak pernah ngeyel. Kok bisa sekarang membangkang begitu.”
Pikiran Wiguna melayang ke beberapa tahun lalu ketika Padma meminta ia untuk diijinkan kuliah di kota S. Hari itu adalah pertama kalinya putri semata wayangnya yang cerdas dan penurut itu mengajukan keinginannya untuk kuliah di tempat yang jauh. Jauh, lebih dari 10 jam perjalanan dari rumahnya.
“Boleh ya pak?” Padma menunduk dan menggigit bibir. Pertama kali dalam hidupnya ia mengajukan permintaan seberat itu. Pikirannya kacau dan ruwet. Ia sibuk mengatur kata-katanya agar tidak membuat bapaknya marah. Sejujurnya kuliah jauh hanyalah muslihat Padma agar lepas dari pengaruh dan pengawasan bapaknya.
Tentu saja Wiguna akan meminta Padma untuk kuliah kedokteran. Siapa lagi yang akan mewariskan posisi spesialis di RSUD dan klinik pratama kalau bukan dia. Wiguna sudah beberapa kali menolak spesialis-spesialis baru itu untuk memberikan tempat buat anaknya.
Dalam beberapa tahun ke depan Padma digadang akan menggantikan posisi bapaknya. Tentu dengan kemampuan yang mumpuni, karena Padma begitu cerdas.
“Aku tetap milih kedokteran kok pak.” Ujar Padma singkat untuk menghapus keraguan bapaknya.
Sedikit perasaan kecewa muncul di hati Wiguna karena Padma tidak mau melanjutkan kuliah di almamaternya dulu. Tetapi untungnya universitas di kota S juga memiliki kualitas yang bagus. Mungkin belajar di tempat yang jauh akan melatih kemandirian putrinya.
“Boleh.” Hanya sepatah kata tegas yang muncul dari Wiguna. Singkat, tapi cukup memberi pengertian ke Padma. Tentu saja ia menyambut keputusan ayahnya dengan gembira.
Artinya mulai besok Padma akan bebas. bebas menentukan jalan sendiri. Kebebasan yang begitu mahal buat Padma.
Kebebasan untuk mengambil langkah.
.....
Bagian keenam : Jatuh
Padma menghempaskan badannya di kasur kos-kosannya yang sempit. Dari jendela, nampak langit Jakarta mulai berubah kemerahan dengan sorot cahaya yang menguning. Ditiliknya lagi surelnya, berharap satu undangan interview muncul agar dia bisa melanjutkan karirnya dan resign dari pekerjaan vaksinator yang memuakkan ini.
Nihil.
Yang muncul malah permintaan vaksin lain dari keluarga yang rumahnya beberapa belas kilometer dari kos-kosan Padma. Dia tahu bekerja itu melelahkan. Tetapi tidak ada jalan keluar yang muncul di hadapannya saat ini.
Hal paling menyebalkan dari proses menjadi dewasa adalah bertanggung jawab. Bertanggung jawab terhadap pilihanmu, maupun terhadap ekspektasi orang lain. Ketika kita tumbuh dewasa, kita selalu dihadapkan oleh berbagai pilihan untuk menjalani hidup. semua orang berharap kita memilih opsi paling baik dan paling sempurna. Ketika kita memilih jalan yang salah dan akhirnya terjatuh, semua orang akan menyalahkan kita. Tetapi ketika kita memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang, muncul orang-orang yang akan menyalahkan kita karena menjadi terlalu berbeda dan tidak memenuhi ekspektasi mereka.
Saat ini satu-satunya harapan Padma untuk melanjutkan karir hanyalah interview pekerjaan. Jalan satunya, adalah menempuh jalan milik bapaknya. Sebenarnya jalan yang diberikan oleh bapak adalah tipikal jalan karir anak spesialis kebanyakan. Sama seperti Padma, mereka menanggung ekspektasi yang begitu besar di pundak mereka untuk meneruskan nama dan profesi keluarga. Padma melihat banyak teman senasib dengannya ketika berkuliah. Darah biru, begitu orang orang menyebutnya. Terutama darah keturunan profesor atau staff yang turun temurun mengajar dan memimpin universitas. Anak, menantu, sepupu maupun cucu, semuanya memiliki profesi yang sama. Beberapa teman sekelas Padma benar-benar mewarisi otak encer jenius keluarganya dan menjadi bintang di angkatan. Sedangkan beberapa nampak keberatan dengan segala tekanan yang ada di pundak mereka. Beberapa sering gagal di ujian, bahkan terlambat lulus.
Sesungguhnya Padma bukan membenci aktivitas sebagai klinisi. Ia hanya tidak ingin menjadi seperti Bapak. Sejak kecil ia memandang bapak sebagai dokter terhormat dan disegani. Tetapi saking sibuknya, waktu yang dihabiskan keluarga menjadi semakin sedikit. Jam makan malam di keluarga mereka harus diundur sampai jam 8 malam demi menunggu bapak selesai praktek. Bahkan terkadang Padma dan ibu harus makan duluan karena bapak baru pulang jam 10 malam. Kesempatan untuk berlibur bersama keluarga harus dibabat habis karena tidak ada dokter yang bisa menggantikan bapak. Waktu istirahat beliau kadang terganggu karena sering sekali menerima telepon konsulan. Tetapi karena dedikasi dan tangan dingin bapak, segala masalah kesehatan mata di kota T menjadi baik. Jarang sekali ada warga kota T sampai harus ke ibukota provinsi untuk berobat. Akibat terburuknya tentu saja keluarga yang dinomorduakan setelah pasien. Padma menjadi tidak dekat dengan bapaknya.
Tiba-tiba gawai Padma bergetar menampilkan kontak ibu di layar
Dari seberang telepon, terdengar isak dan sengal ibu. Bahkan ibu tidak menjawab salam Padma.
“Nak, pulang sekarang ya…”
“Kenapa bu?”
“Bapak terserang stroke.”
Kaki-kaki dan tangan Padma seketika seperti kesemutan. Kepalanya melayang, pandangannya menjadi buram. Kontrol terhadap gerak badan dan tubuhnya hilang.
Rasanya seperti jatuh dari ketinggian.
......
Bagian ketujuh : Ia menyuruhmu kembali
Bus malam yang melaju di tol trans jawa mengembunkan dinginnya AC di kaca jendela. Seluruh penumpang bus yang hanya 6 orang sudah terlelap, kecuali Padma. Matanya seakan menolak untuk terpejam. Dipeluknya ransel hijau kesayangannya untuk menghilangkan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Segala skenario terburuk sekaan dimainkan berulang kali di kepalanya.
Bagaimana kondisi bapak? Apakah bapak sudah sadar?
Bagaimana dengan ibu?
Bagaimana kalau bapak meninggal dunia? Apa yang harus aku dilakukan?
Ibu! bagaimana kondisi ibu? Pasti beliau panik.
Bunga mawar merah putih bercampur dengan wangi kenanga yang menusuk ditaburkan di atas tanah merah yang masih basah. Nisan kayu dengan nama dokter Wiguna tertancap di kedua ujungnya. Padma menatap nanar seluruh pelayat yang berpakaian serba gelap. Dilihatnya wajah ibu yang menangis di pinggiran makam. Tidak bergeming dari posisinya sejak setengah jam lalu. saudara-saudara ibu menepuk pundaknya dan membujuknya untuk pulang. Di jalan, Padma melihat berbagai papan karangan bunga dari orang-orang penting memadati jalan pinggir rumah. Sinar matahari yang mulai terik memaksa mata Padma untuk terpicing.
Padma terbangun ketika sinar matahari yang menembus kaca jendela memaksanya untuk membuka mata.
Ah, mimpi.
Pak Darno, perawat kepercayaan bapak menjemput Padma di terminal. Perjalanan dari terminal menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Di bangsal naratama, dokter Wiguna terbujur di brankar, tertidur pulas. Beberapa alat dan selang infus terpasang di lengannya. Padma melihat ibunya, dengan mata merah dan rambut kusut masai, menggenggam tangan bapak di samping tempat tidur. Beberapa kali ibu mengangkat telepon kerabat dan teman bapak yang mengucapkan keprihatinannya. Para spesialis RSUD kota T menjenguk beberapa kali. Padma, tentu saja termenung di kursi pengunjung, sibuk mencerna apa yang terjadi.
“Dokter Wiguna tiba-tiba pingsan di rumah ketika selesai praktik. Untung bu Ratih segera membawa beliau ke rumah sakit.”
Tengkuk Padma berdesir ketika mendengar cerita Pak Darno di perjalanan menuju rumah sakit.
“Ada pembuluh darah otak yang pecah. Kayaknya karena tensinya tinggi. Kamu tahu kan, pak Wiguna punya darah tinggi?” Tidak. Batin Padma. Ia sama sekali tidak tahu kalau bapaknya sudah lama menderita hipertensi.
“Untung perdarahannya tidak banyak, jadi tidak perlu operasi. Cuma pak Wiguna lumpuh total badan sebelah kanannya.”
“ya Allah…” hanya satu kata yang bisa keluar dari bibir Padma. Ia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Jadi aku harus bagaimana?
Kalut. Padma bingung. Otak dan perasaan bagai ruwet tak beraturan saling memaksa untuk diperhatikan terlebih dahulu. Pandangannya kosong tetapi otaknya riuh dan gemuruh. Padma tidak sanggup mengucapkan apapun yang ada di kepala. Takut melukai ibu, takut air matanya menetes. Mimpi-mimpi buruknya terputar ulang dalam ingatannya. Sejak awal sebenarnya pikirannya sudah semrawut tentang karir. Ditambah lagi tentang keluarga. Rasanya sungguh melelahkan jika tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal itu.
Tangan hangat ibu memeluk pundak Padma yang masih mematung di ruang tunggu.
Pelukan memiliki sebuah energi magis yang bisa meredam semua emosi yang meluap-luap sekaligus menghilangkan kekhawatiran. Sebuah gestur sederhana yang bisa memaksa otak untuk mengeluarkan hormon cinta dan melepas stress. Seperti saat ini, segala emosi dan kesedihan ibu langsung tersampaikan ke Padma. Setitik air mata jatuh ke pundaknya.
“Udah nak, di rumah aja ya. Ibu takut kehilangan bapak. Ibu takut kehilangan kamu..”
Tiba-tiba sebuah perasaan berat menghantam dada Padma. Air matanya berderai. Perasaan sakit dan takut ibunya seperti godam yang memaksanya untuk sadar dan membuka mata lebar-lebar. Cita-cita, keinginan, dan egonya yang begitu keras dan kaku dengan mudah rontok menjadi pecahan yang jatuh di kaki-kakinya.
Padma adalah anak tunggal. Di pundaknya tersangga sebuah harapan besar untuk meneruskan keluarga dan membawa nama baiknya, beserta harapan dan kebahagiaan keluarga. Harapan satu-satunya. Cita-cita satu-satunya.
Tapi di lubuk hati paling dalam, Padma takut kehilangan bapaknya.
Bagian Kedelapan : Kusut Masai.
Proses rehabilitasi pasca stroke selalu membutuhkan waktu yang lama. Vonis dokter mengatakan jika dokter Wiguna tidak mungkin lagi mengangkat scalpel. Untuk berdiri, makan dan beraktivitas saja beliau perlu dibantu. Sedangkan operasi mata membutuhkan kelincahan dan kestabilan tangan. Untung saja dia masih bisa berbicara dan mengobrol meskipun pelan-pelan. Padma harus bolak balik rumah sakit untuk mengurus kelengkapan pengobatan bapak. Sedangkan ibu tidak pernah sekalipun meninggalkan sisi bapaknya sambil menenangkan hatinya.
Dalam sekejap karir dokter Wiguna hancur. Pelayanan kesehatan mata di kota T menjadi kacau. Poli mata RSUD yang awalnya ramai oleh pasien mendadak sepi dan pasien harus dialihkan ke kota sebelah untuk berobat. RS swasta pontang-panting mencari pengganti dokter Wiguna untuk mengisi jadwal poli dan melakukan operasi. Klinik di rumah terpaksa ditutup.
Padma sedang menempelkan sebuah kertas pengumuman di kaca depan klinik di rumah ketika sebuah kendaraan bermotor memasuki halaman klinik. Seorang ibu membonceng anaknya yang menangis kencang di jok belakang sambil memegang matanya yang ditutup sebuah kain.
“Ibu ngapunten prakteknya pak dokter buka?”
“Mboten bu, pak dokter sakit. Sementara klinik tutup dulu sampai dokter Wiguna sembuh. Pripun bu sinten sing sakit?” Padma mengintip kain yang menutupi mata anak 9 tahun tersebut. Anak itu menangis kesakitan dan menepis tangan Padma. Ketika berhasil dibujuk oleh ibunya, perlahan ia melepas penutup matanya.
Sebuah kail pancing tersangkut di permukaan bola matanya.
Pak Darno yang semula sibuk merapikan dan membersihkan alat-alat di poli ikut melihat dan memeriksa anak itu.
“Ibu ngapunten, pak dokter masih sakit. Sebenarnya darurat dan harus diambil itu kailnya, kalau tidak diambil bisa infeksi. Sepertinya harus operasi. Tapi njenengan harus ke kota sebelah bu.”
“YaAllah pak, ini nggak papa kan tapi?”
“Ini saya bantu bersihkan sekitar luka sama saya tutup kasa steril bu, tapi njenengan tetap harus ke IGD kota sebelah.”
Sambil menunggu pak Darno mengeluarkan set alat dan membersihkan luka, Padma mencari obat anti nyeri di gudang belakang. Paling tidak, obat itu akan menahan rasa sakit sampai anak itu mendapatkan pertolongan.
“Kalo sama pak Wiguna langsung dikerjakan ini mbak Padma. Kasus seperti ini sering sebenarnya di sini.” Pak Darno melepas pasien tadi setelah menolak uang yang diberikan oleh ibu pasien. Ia menghela nafas panjang dan membereskan peralatan yang digunakan. Padma menghitung seberapa banyak masyarakat yang akan kehilangan pertolongan ayahnya di situasi sulit seperti ini.
“Banyak sekali petani yang kesini karena kelilipan damen. Kadang kena kulit kayu. Bukan cuma pasien refraksi dan katarak saja.”
“Mbah-mbah sepuh yang kesini kadang nggak kuat mbayar. Pak dokter menggratiskan bahkan beberapa ada yang dibantu biaya biar bisa dioperasi.”
Di kepala Padma, image bapak yang keras dan disiplin bertabrakan dengan cerita yang disampaikan oleh pak Darno. Meskipun keras, banyak sekali pasien yang tertolong dan mendapat kebaikan dokter Wiguna. Seperti dua sisi koin, Padma sejak kecil hanya melihat ayahnya yang keras, disiplin dan sibuk sampai tidak punya waktu untuk keluarga. Di sisi lainnya, bapak adalah seorang dokter yang lembut, ikhlas menolong dan mau membantu yang tidak mampu.
“Mbak Padma tahu alasan kenapa pak Wiguna jadi spesialis mata dan menetap di sini?”
“Mboten pak.”
“Memang mata itu organ yang kecil, jauh dari nyawa. Tetapi begitu hilang, kualitas hidup orang bisa begitu menurun. Orang desa kadang nggak punya akses ke rumah sakit dan pasrah ketika sakit mata. Pak Wiguna mau membuat mereka bisa melihat lagi, lancar bekerja, dan bisa beribadah dengan baik. Senang sekali lho mendengar mbah-mbah sepuh bisa kembali membaca Al Quran. Padahal awalnya tidak bisa melihat sama sekali.”
Padma membayangkan begitu banyak pahala dan doa yang mengalir dari setiap pasien yang bisa kembali melihat dan beribadah dengan baik. Sebuah perasaan aneh mengaliri sekujur tubuh Padma. Ia merinding mendengar tujuan mulia bapaknya. Sekarang terang sekali alasan mengapa bapak memintanya untuk meneruskan cita-cita bapak.
Seperti mendapat cahaya penerang, Padma yang awalnya begitu galau dan bingung tentang kelanjutan karirnya kini sudah mengerti. Kebingungannya sirna.
Ia tahu apa yang harus dilakukan
Bagian ke 9 : Jalan tengah
Sisi cantik dari kota T yang selalu dirindukan oleh Padma adalah kualitas udaranya. Tidak perlu perjalanan jauh dan liburan ke kota lain untuk mendapatkan hawa segar dan sejuk. Cukup membuka jendela lebar-lebar di pagi dan sore hari. Pemandangan pegunungan dan sawah hijau di kaki-kakinya menjadi pelengkap satu scene indah yang menentramkan jiwa.
Padma menutup laptopnya dan membereskan print out tugas kuliah. Esok jumat ia harus melanjutkan perjalanan kembali ke rumah setelah menghabiskan hari-hari kerja di kota Y untuk menyelesaikan thesis S2nya. Tidak lupa sebuah pesan singkat dikirimkan ke ibu, mengabarkan kepulangannya. Tak sabar rasanya menghirup segar udara rumah yang mendinginkan pikiran dan hatinya.
Dokter Wiguna sudah mulai pulih. Meskipun tidak bekerja di rumah sakit lagi, beliau masih mengisi praktek di klinik bersama beberapa dokter spesialis yang lain. Klinik sederhana di depan rumahnya berubah menjadi rumah sakit kecil dengan jumlah pasien yang jauh lebih banyak. Ia menghabiskan masa tuanya tanpa perlu khawatir tentang nasib putrinya.
….
“Bapak ibu, Padma mau bicara.” Sore itu ibu dan bapak sibuk bercengkrama di teras rumah sambil menikmati teh hangat.
“Ya nak?”
“Padma mau kuliah S2 saja. Manajemen RS pak. Nanti biar Padma yang urus klinik bapak. Bisa sambil kerja di RS sini juga.”
“Remeh memang pak, tidak sehebat menjadi spesialis. Padma tidak mau jadi klinisi kalau harus mengorbankan waktu Padma bersama keluarga.”
Dokter Wiguna tidak bergeming. Sejak terserang stroke, ia tidak lagi mengharapkan banyak hal. Ia hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarganya di masa senjanya. Tidak lagi memaksa Padma untuk mengambil alih jalannya yang membuat Padma makin menjauh. Ia sadar, jarak antara dirinya dengan putrinya sudah begitu jauh karena kesibukannya.
Air mata ibu menetes. Di hadapannya, dua orang dengan ego yang sama sama tinggi malah berlomba menurunkan dan memecah ego masing-masing. Ibu sadar betapa banyak keinginan Padma yang harus dikalahkan demi menemani orangtuanya.
Padma menunduk dalam-dalam. Segala rencana yang dia siapkan untuk melanjutkan karir di rumah siap dimuntahkan ke depan orangtuanya. Ia bertekad untuk membangun klinik menjadi lebih besar lagi dan menggandeng beberapa spesialis lain. Tujuan mulia dokter Wiguna tidak boleh berhenti begitu saja ketika dia terserang stroke. Harus ada yang memikulnya dan membawanya ke tempat lebih tinggi.
Selain karir ada satu hal lagi yang menjadi pembelajaran besar buat Padma. Ia adalah tumpuan keluarga. Masa depan dan cita-cita keluarga. Kebanggan. Keluarganya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Bapak ibunya adalah rumah. Sejauh mana dan setinggi apa dia terbang, akhirnya adalah rumah. Padma lah yang menjadi satu-satunya penerus yang wajib merawat rumahnya. Merawat bapak dan ibunya di masa tuanya tanpa harus mengabaikan mimpi-mimpinya.
Di jalan tengah itu Padma tidak harus memilih antara keluarga atau karirnya. Keduanya berpijar terang, memandu Padma untuk berjalan tanpa harus takut dan tersesat. Ujung jalannya nampak begitu jelas dan indah. Jalan berliku yang gelap sudah ia lewati dengan penuh air mata. Ketakutannya pudar.
Dan kini, kakinya mantap melangkah.
2 notes
·
View notes