Tumgik
#kyokuteikaren
crimsoninmyth · 4 years
Text
BEINN MHÒR (RAW)
warning: the story contains explicit details of sexual activity, language, and violence. it might be disturbing/inappropriate for some readers. discretion is advised. cast: kyokutei shinku; mala muir; watanabe azuma; shimizu nao; kyokutei karen; yoshida kai. mentioned: kyokutei hiro as uncle (supervisior for kyokutei logistics of europe); nakamura fujio; suzuki hachiko; george muir. words: 6,956 estimated reading time: 34 minutes, 46 seconds language: Indonesian
⠀⠀ 𝐏𝐄𝐑𝐉𝐀𝐋𝐀𝐍𝐀𝐍 𝐌𝐄𝐍𝐔𝐉𝐔 𝐒𝐔𝐑𝐆𝐀 tidak pernah difirmankan sebagai proses tanpa tantangan. Setiap makhluk yang memiliki orientasi kebahagiaan tertinggi harus mampu melewati ujian yang diberikan oleh Tuhan sebagai paramater kelayakkan diri ‘tuk memasukki surga-Nya. Konsep Ketuhanan dan firman-Nya sering kali masih menjadi enigma besar bagi Kyokutei Shinku. Hidupnya yang tak berlandaskan tata aturan atau moral sosial pun agama terkadang saling menghantam satu sama lain ketika ditelisik. Metafisika merupakan cabang keilmuan yang masih berat untuk Shinku pahami. Kendati demikian, ia memiliki iman atas adanya energi yang besar di alam semesta. Di mana akal manusia terbatas untuk memahaminya.  ⠀⠀ Demi memahami sisi spiritualitas yang lebih baik, Shinku menyempatkan waktunya untuk melakukan perjalanan di alam liar. Ia meyakini bahwasannya manusia akan merasa lebih dekat kepada Penciptanya ketika mereka berada di posisi yang mengancam nyawa. Selain itu, alam seperti gunung, dan laut selalu bisa membawa ketenangan untuknya. Kedua hal tersebut adalah anugerah yang paling Shinku syukuri di dunia.  ⠀⠀ “Azu-kun, bisakah kau lihat di sisi barat? Aku yakin melihat seekor rusa merah ketika kita melewati jalan itu,” kata Shinku sembari mengusap dahi yang penuh peluh.  ⠀⠀ “Tentu, Kyokutei-san.”  ⠀⠀ “Kyokutei-san, kita sudah mendaki selama hampir lima jam. Apakah Anda ingin kembali ke penginapan? Pesawat kita akan tiba kurang dari tujuh jam lagi,” ucap Nao di lain sisi.  ⠀⠀ Shinku berkacak pinggang dengan kepala mendongak. Matanya mencermati langit Skotlandia yang bersih dengan tajam. Meski ia tak langsung menjawab pertanyaan, yang lebih terdengar seperti persuasi halus, dari Nao, Shinku memaknai kekhawatiran pria tersebut.  ⠀⠀ “Sarung tangan,” kata Shinku, terdengar seperti perintah.  ⠀⠀ Nao segera menunduk, membuka ransel yang ia taruh beberapa menit lalu, dan menarik sepasang sarung tangan tebal yang pada umumnya digunakan sebagai pelindung dari cakar tajam unggas seperti burung elang. Sarung tangan itu kini dikenakan oleh Shinku dan ia terlihat beberapa kali menarik keras objek tersebut sebagai upaya untuk memastikan mereka melindungi tangannya dengan baik.  ⠀⠀ Di bawah lindungan topi bermerek Adidas yang menaungi rambut serta penglihatannya dari sinar matahari, Shinku kembali mengamati sesuatu di langit. Pria itu terlihat tenang tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dirinya tampak sedang mempersiapkan diri untuk suatu hal yang akan segera tiba.  ⠀⠀ “Lana!” teriak Shinku lantang kemudian diikuti dengan suara siulan melengking yang menggema di seluruh area pegunungan Beinn Mhòr.  ⠀⠀ Pria berkulit pucat itu menaikkan lengannya sambil terus menatap ke arah langit. Samar-samar dari arah timur sesuatu menghampiri Shinku dan Nao dengan cepat. Matanya menatap tajam ke arah lengan Shinku yang dibalut sarung tangan pelindung. Tempat itu adalah landasannya.  ⠀⠀ Lana, seekor elang emas atau yang diketahui pula sebagai aquila chrysaetos memiliki berat sejumlah tujuh kilogram, mendarat dengan tegas di atas lengan seorang Shinku. Kedua sayapnya yang memiliki panjang sebesar seratus tiga sentimeter kini terbuka lebar seolah menunjukkan betapa abadinya seekor elang sebagai simbol yang megah nan perkasa.  ⠀⠀ “Bagaimana rasanya kembali ke rumahmu?” tanya Shinku seraya meneliti seluruh tubuh Lana.   ⠀⠀ Sejak kedatangan mereka ke Beinn Mhòr, Shinku melepaskan binatang peliharaannya itu untuk mengudara selama ia, dan para bawahannya mendaki gunung. Shinku tidak khawatir akan kehilangan Lana di tempat ini. Sebuah teknologi pelacak sesungguhnya sudah tertanam di dalam tubuh Lana. Meski begitu, pada kenyataannya, Shinku jarang menggunakan bantuan alat tersebut untuk mengetahui keberadaan Lana. Mungkin ikatan batin di antara mereka, yang sudah dibina selama sepuluh tahun, bekerja lebih efektif dibandingkan teknologi pelacakkan.  ⠀⠀”Duduklah,” ucap Shinku setelah selesai memeriksa keadaan Lana.   ⠀⠀ Penuh keanggunan, elang emas itu bertengger pada bahu si Kyokutei, dan tampak tidak terusik dengan teriakkan elang-elang lain yang sepertinya memanggil. Lana memiliki rumahnya sendiri meski tak seluas dan sekaya Beinn Mhòr. Kemana pun Shinku berlabuh, Lana akan mengikutinya tanpa syarat.   ⠀⠀ “Kyokutei-san. Saya tidak menemukan rusa merah yang Anda maksud,” ujar Azuma dengan nada lirih. Pria itu terlihat kecewa kepada dirinya sendiri karena tidak berhasil memenuhi permintaan si Tuan.  ⠀⠀ “Mungkin di lain kesempatan,” tukas Shinku lugas.  ⠀⠀ “Kalau begitu, apakah kita pergi sekarang, Kyokutei-san?” tanya Nao kali ini.  ⠀⠀ “Iya, kita kembali ke penginapan sekarang. Azu-kun, tolong kabari pihak kreatif untuk menyiapkan purwarupa. Ketika aku mendarat di Jepang, aku ingin segera mengadakan rapat untuk membahas apa saja yang harus kita siapkan dalam menyambut natal. Kemudian,” Shinku mengelus kepala Lana sembari melangkah ‘tuk menuruni Beinn Mhòr, “beritahu divisi riset untuk menyiapkan data hasil kampanye dua bulan yang lalu. Seharusnya mereka sudah memberikan laporannya kepadaku sejak bulan Oktober. Jika mereka kurang kompeten, maka ganti saja.”  ⠀⠀ Azuma mencatat poin perkataan Shinku melalui personal digital assistant-nya. Gawai tersebut berwarna hitam dengan lukisan bunga sakura pada bagian luarnya. Apabila diamati lebih rinci, terdapat inisial nama Azuma di sana. Benda tersebut adalah hadiah dari Shinku untuk perayaan hari lahir si Adam.   ⠀⠀ “Nao-kun, beritahu Nona Takahashi bahwa aku membatalkan pesanan kue dari toko mereka. Seluruh biaya penggantian akan dibayarkan sesuai dengan kesepakatan harga di awal. Tidak kurang dan tidak lebih. Katakan pula kepadanya untuk segera pergi dari Kyoto untuk sementara waktu atau ibuku akan menghancurkan tokonya.”  ⠀⠀ “Apakah Kyokutei Karen-sama memiliki masalah dengan Takahashi-sama?”  ⠀⠀ “Dengan sepupunya. Aku tidak tahu secara menyeluruh mengenai kasus itu, tetapi, sepertinya cukup parah. Aku yakin Takahashi-sama telah memperkirakan pembatalan pesanan ini.”  ⠀⠀ “Kenapa Anda menyuruh Takahashi-sama untuk menghindari Karen-sama?” tanya Nao sedikit terengah. Energinya mulai habis akibat pendakian ini.  ⠀⠀ “Bukan urusanmu. Lakukan saja apa yang aku perintahkan,” tegas Shinku sambil melirik tajam ke arah Nao.  ⠀⠀ “Mohon maaf, Kyokutei-san. Saya mengerti.”  ⠀⠀ “Aku rasa hanya itu yang harus dibereskan. Sisanya bisa menunggu.”  ⠀⠀ “Ha’i, Kyokutei-san,” sahut Nao dan Azuma dalam kesatuan.  ⠀⠀ Mereka terus menuruni Beinn Mhòr tanpa henti. Nao sebenarnya merasa sungguh lelah dan ingin duduk sejenak. Tapi, mengingat ketidaksukaan Shinku terhadap pertanyaannya beberapa menit yang lalu membuat nyali Nao ciut untuk mengajukan istirahat. Sebenarnya, jalur pendakian Beinn Mhòr tidak terlalu ekstrem. Hanya saja jalannya begitu panjang dan Nao bukan golongan individu luar ruangan. Sepengetahuannya, Azuma pun adalah tipe rumahan serupa dengannya. Bedanya adalah Azuma dilatih secara khusus untuk menjadi pelindung para kaum borjuis sejak belia yang mana menyebabkan ketahanan fisiknya ada di atas rata-rata. Sialan, Nao benar-benar ingin berhenti melangkah.  ⠀⠀ “Nao-kun, langkahmu terdengar seperti kura-kura, apakah ada yang salah?” bisik Azuma, enggan Shinku yang berjalan di depan mendengar pertanyaannya.  ⠀⠀ “Aku rasa energiku sudah habis, Azu-kun.”  ⠀⠀ “Apakah kau ingin berhenti sejenak? Aku akan katakan kepada Kyokutei-san kalau aku butuh istirahat.”  ⠀⠀ “Kau pikir dia akan percaya? Kau dan Nii-sama terbiasa melakukan kegiatan fisik yang ekstrem. Nii-sama mengetahui batas tenagamu lebih baik dari siapa pun.”  ⠀⠀ Nao mengusap keringat di wajahnya menggunakan punggung tangan. Mencoba menjauhkan air alami dari tubuh itu dari matanya yang mulai menunjukkan kunang-kunang.  ⠀⠀ “Kalau begitu, kenapa tidak jujur saja?” saran Azuma.  ⠀⠀ “Apakah kau tidak melihat ekspresi wajahnya kepadaku tadi?”  ⠀⠀ “Jika hanya pada tingkatan waspada, aku rasa tidak masalah untuk bertanya.”  ⠀⠀ “Bagaimana jika pertanyaanku akan memicu tingkat ‘segera-ajukan-surat-pengunduran-diri’?” tanya Nao, wajahnya terlihat pucat.  ⠀⠀ “Apabila seperti itu, kau harus segera menelepon jasa pencari pekerjaan. Suatu kehormatan pernah bekerja denganmu,” tutur Azuma teramat serius.  ⠀⠀ “Sialan!”   ⠀⠀ Shinku menghentikan langkahnya yang kemudian disusul secara serempak oleh kedua pria tersebut. Seketika mereka gugup, terutama Nao, mengenai alasan Shinku berhenti.  ⠀⠀ “Kalian ...”  ⠀⠀ “H-ha’i, Kyokutei-san?” sahut Nao, suaranya terdengar serak.  ⠀⠀ “Lihatlah ke arah jarum jam pukul dua. Di sana ada dua ekor rusa merah,” kata Shinku.  ⠀⠀ Azuma dan Nao segera memandang ke titik yang sama. Dua ekor rusa merah terlihat sedang menikmati makan malam. Bagi Shinku, fenomena tersebut adalah momen yang berharga. Ia memutuskan untuk mengabadikan visual itu dalam bentuk foto yang diambil menggunakan ponsel.   ⠀⠀”Setelah tujuh kali ke Beinn Mhòr, akhirnya aku mendapatkan apa yang aku cari,” kata Shinku.  ⠀⠀Rusa merah merupakan salah satu binatang yang harus dilihat Shinku di alam liar secara langsung. Ia hendak menyaksikan sebesar apa fisik binatang yang dikatakan menempati posisi keempat rusa terbesar di dunia itu.  ⠀⠀ “Azu-kun, senapan,” pinta Shinku.  ⠀⠀ Tanpa membuang waktu, Azuma melepaskan senapan berburu yang menggantung pada punggungnya untuk diserahkan kepada Shinku. Sementara itu, Lana yang menempati bahu Shinku kini terlihat bersiap untuk terbang.   ⠀⠀ “Jangan berisik dan tetap di sini,” perintahnya kepada kedua pria itu.  ⠀⠀ Shinku melepaskan Lana ke udara sembari melangkah pelan ke arah dua ekor rusa merah yang tidak mengetahui bahwa salah satu di antara mereka akan menjadi target buruan. Dengan tenang mereka masih mengunyah daun yang rasanya tidak berbeda dari daun-daun kemarin hari.  ⠀⠀ Kedua mata Shinku memicing pada Lana yang terbang mengitari kedua rusa tersebut; sedangkan tangannya sibuk memasukkan obat bius ke dalam senapan. Beberapa meter di belakang Shinku, Nao duduk pada salah satu batang pohon, dan meneguk air cepat.  ⠀⠀ “Kau harus berterima kasih pada rusa itu,” kata Azuma.  ⠀⠀ Nao melirik Azuma sinis dan memutuskan untuk tidak menanggapi perkataannya. Ia tidak ingin membuat kegaduhan yang lebih panjang atau target buruan Shinku akan berubah menjadi dirinya.  ⠀⠀ Dalam keadaan hening, hanya ada suara alam, Shinku mengarahkan ujung senapannya pada rusa di sisi kanan. Intuisinya berkata ia harus menangkap rusa tersebut dibandingkan yang satunya.  ⠀⠀ Remington dengan sigap digenggam oleh Shinku, napas diatur sedemikian rupa agar hormon adrenalin tidak terlalu kegirangan, dan yang terakhir adalah menarik pelatuk agar mangsa gugur. Kejadian itu terjadi sungguh cepat dan minim suara. Kedua rusa yang diamati berhamburan berlari ke arah yang berbeda dan Shinku bersiul untuk mengarahkan Lana mengikuti rusa yang tertembak obat bius pada tubuhnya.  ⠀⠀ Ini bukanlah pengalaman pertama Shinku dan Lana berburu bersama. Sejak enam tahun yang lalu, mereka sudah sering melakukan perburuan di alam bebas. Untuk mencapai tingkat ini, dibutuhkan latihan selama dua tahun secara intensif sebelum Lana dan Shinku memiliki kualitas komunikasi yang baik antara satu dengan yang lain.  ⠀⠀ Ketika Lana melesat mengikuti kepergian rusa buruan Shinku, Azuma, dan Nao tanpa dikomando turut berlari mengikuti arah terbang Lana. Shinku pun melakukan hal yang sama. Namun, ia lebih rileks dibandingkan kedua pria tersebut. Sembari melemaskan otot-otot tubuhnya yang menegang, Shinku tersenyum puas ketika menemukan target rusanya telah terkapar pada tanah.  ⠀⠀ Lana bertengger pada tanduk rusa dengan tenang; sementara Nao dan Azuma memandangi rusa itu dalam diam. Mereka bertanya-tanya di dalam hati mengenai bagaimanakah caranya membawa rusa ini turun dari Beinn Mhòr. Membawa diri saja sudah sulit, sekarang mereka harus membawa seekor rusa yang beratnya ada di kelas ratusan kilogram.  ⠀⠀ “Sungguh cantik,” komentar Shinku sambil berjongkok di hadapan wajah rusa tersebut. “Tanduknya besar, aku penasaran akan usianya.”  ⠀⠀ Azuma menyentuh tubuh rusa merah itu dan merasakan rambut-rambutnya terasa sedikit kasar. Ia juga memperhatikan lengkuk otot kaki yang jelas pada paha rusa itu. Secara kasar Azuma dapat menyimpulkan bahwa rusa jantan ini memiliki kekuatan yang besar. Dirinya bahkan yakin jika Shinku, Nao, dan ia tak akan mampu melawan kekuatan rusa tersebut apabila harus berkelahi satu lawan satu.  ⠀⠀ “Apakah Anda berniat membawanya ke Jepang, Kyokutei-san?”  ⠀⠀ “Tidak, Azu-kun. Aku hanya ingin memandangi rusa merah ini dari dekat. Terima kasih pada senapan dan obat bius hasil penemuan manusia, aku mampu membuat hal ini terjadi,” ujar Shinku. Ia menyeringai tipis.  ⠀⠀ Azuma pun Nao terbiasa dengan perilaku dan perkataan Shinku. Bagi mereka, Shinku berucap, dan berperangai seperti ini adalah suatu hal yang normal. Mereka memakluminya teramat baik sehingga kadang ketika ironi terjadi, mereka tidak menginterpretasikannya sebagai ironi.  ⠀⠀ Shinku mencabut obat bius yang menempel pada tubuh rusa merah. Dilihatnya jarum itu terbenam cukup dalam. Kekuatan senapan yang baru dibelinya sekitar dua minggu yang lalu ternyata tidak begitu buruk. Selama ini Shinku selalu menggunakan senapan milik kakeknya yang diwariskan untuknya. Setidaknya ada delapan senapan keluaran lama yang diturunkan oleh kakeknya dan Shinku secara bergilir menggunakan mereka untuk berburu. Namun, sekitar satu bulan yang lalu, ketika sedang menginspeksi barang-barang kiriman dari kliennya, Shinku menemukan puluhan senapan berburu yang menarik minatnya. Singkat cerita, Shinku memutuskan untuk membeli satu senapan Remington dari seorang kawan di Amerika.  ⠀⠀ Shinku berdiri untuk mengambil beberapa foto rusa merah yang hilang kesadaran. Tak luput dari perhatiannya Lana yang bertengger manis pada tanduk rusa. Dalam penglihatan Shinku, Lana terlihat menakjubkan.  ⠀⠀ “Ayo,” ajaknya setelah merasa kebutuhannya akan berburu rusa merah sudah terpenuhi.   ⠀⠀ Jika perhitungan Shinku tidak salah, rusa itu akan bangun dalam sepuluh menit lagi. Di dalam masa itu, ia berharap semoga saja tidak ada pemburu lainnya menemukan rusa tersebut dalam keadaan tidak sadar. Meski begitu, sebenarnya Shinku tidak terlalu mengambil ke dalam hati mengenai nasib rusa merah yang kini telah ia tinggalkan.  ⠀⠀ Di penginapan bandara Skotlandia, Shinku mengeringkan badannya setelah berendam cukup lama sembari membaca beberapa laporan yang diberikan oleh Azuma. Sebelumnya ia memang menempatkan permintaan khusus agar tidak diganggu dengan urusan pekerjaan selama di sini. Kendati demikian, Shinku tiba-tiba merasa cemas ketika mereka tiba di penginapan. Ia merasa harus mengecek saham Kyokutei, persiapan kegiatan natal perusahaan, progres tutup buku akhir tahun, dan lainnya.  ⠀⠀ Saat Shinku mengenakan baju, sebuah ketukan terdengar. Rasanya ketika ia masih mandi, sebuah ketukan juga dibuat dari luar pintu kamarnya. Mungkin Azuma dan Nao ingin memeriksa keadaannya. Sekitar tiga jam lagi mereka harus segera naik pesawat untuk kembali ke Jepang.  ⠀⠀ “Masuk,” kata Shinku sembari mengancing bajunya.  ⠀⠀ “Permisi.”  ⠀⠀ Suara wanita. Refleks, Shinku segera membalikkan tubuhnya dan mengalamatkan Heckler dan Poch 30L kepada orang yang masuk ke dalam kamarnya tanpa ragu.   ⠀⠀ “Kau—tidak perlu begitu tegang,” ucap Mala yang berjarak kurang dari lima kaki dari Shinku.  ⠀⠀ Shinku tidak bergetar dan masih menggenggam pistolnya erat. “Apa keperluanmu kemari?”  ⠀⠀ “Tentunya untuk bertemu denganmu sebelum kau pulang.”  ⠀⠀ “Katakan kepada ayahmu jika hendak berbicara perihal bisnis agar menghubungiku secara langsung. Dia belum mati, tidak perlu kau sebagai pengantar pesan.”  ⠀⠀ Mala tertawa kering. Perkataan Shinku benar-benar menyinggung perasaannya.   ⠀⠀ “Orang sepertimu tidak akan mati di ranjang,” ujarnya ketus.  ⠀⠀ “Jika kau ingin membicarakan ajal, orang-orang seperti kita tidak akan mati secara horizontal. Pelajari asalmu dengan baik, Nona Muir.”  ⠀⠀ Mala menggigit daging dinding mulutnya cukup keras untuk menahan rasa sakit hati yang diberikan oleh Shinku. Namun, Mala sudah kebal dan memutuskan untuk meneguk rasa sakit itu. Seperti biasanya.  ⠀⠀ “Benar, kita semua adalah orang yang mencari keuntungan di lembah hitam. Di dunia ini hanya ada hitam dan putih, tidak ada abu-abu atau kau tidak akan dianggap bagian dari masyarakat. Menjadi anomali bukan pilihan, benar?”  ⠀⠀ “Aku tidak ada waktu untuk berdiskusi mengenai falsafah hidupmu. Pergilah dari sini sebelum aku memanggil Watanabe untuk mengantarmu keluar,” kata Shinku.  ⠀⠀ "Panggil saja Watanabe dan dengarkan apa yang akan dia katakan."  ⠀⠀ Garis-garis di antara alis Shinku terbentuk nyata. Matanya menjadi semakin tajam dan sorotnya dipenuhi kemarahan dan sedikit kekhawatiran terhadap para bawahannya di luar sana.  ⠀⠀ "Apa yang kau lakukan kepada mereka?" tanya Shinku dingin.  ⠀⠀ "Aku tidak melakukan apa-apa kepada mereka," jawab Mala begitu tenang.  ⠀⠀ Shinku menurunkan pistolnya dan melangkah penuh amarah menuju Mala. Ia mencengkram leher wanita berambut panjang itu dengan sepertiga tenaganya. Itu sudah cukup membuat Mala mengerang kesakitan.  ⠀⠀ "Aku peringatkan kepadamu untuk jangan pernah menyentuh anak buahku lagi. Cukup Marina yang menjadi korban atas cacatnya rasionalitasmu," kata Shinku setengah berbisik.  ⠀⠀ Mala menepuk lengan Shinku beberapa kali. Ia meminta agar pria itu melepaskan cengkraman di lehernya.   ⠀⠀ "Apakah kau dengar?!" seru Shinku lantang dan menggelegar.  ⠀⠀ "Aku mengerti," sahut Mala terbata-bata di antara tarikkan napasnya.  ⠀⠀ Shinku menjauhkan tangannya dari leher Mala dan menggeram kecil. Di ambang pintu, Azuma, dan Nao tampak sedikit terengah-engah. Mereka berlari masuk dari luar penginapan karena mendengar teriakkan Shinku. ⠀⠀ "Watanabe-san, bawa Nona Muir ke mobilnya," kata Shinku sembari menunjuk Mala menggunakan pistolnya.  ⠀⠀ Azuma memandang anak perempuan George Muir di sana dengan ragu. "Kyokutei-san, kedatangan Nona Muir kemari karena dia akan ikut bersama kita ke Jepang."  ⠀⠀ "Apa maksudmu?" tanya Shinku dalam bahasa Jepang.  ⠀⠀ "Kakek Anda baru saja memberitahukannya ketika Anda sedang mandi. Tampaknya beliau mengundang Nona Muir ke acara ulang tahunnya," jelas Azuma.   ⠀⠀ Shinku menoleh ke arah Mala yang menunduk dan ia melihat wanita itu tersenyum di antara juntaian rambut cokelat yang menutupi wajah cantiknya. Di momen itu, Shinku benar-benar ingin berteriak kepada Azuma bahwa dirinya tidak peduli. Namun, tampaknya kali ini ia harus mengenyampingkan ego demi menghormati keinginan Kakeknya.  ⠀⠀ “Jam berapa kita berangkat?” tanya Shinku, meninggalkan topik sebelumnya.  ⠀⠀ “Sebentar lagi, Kyokutei-san. Apakah Anda ingin menyantap makan malam di sini atau di pesawat? Menu makanan sesuai dengan permintaan Anda,” tutur Nao.  ⠀⠀ “Aku akan makan di pesawat. Siapkan juga laptopku. Aku berencana bekerja hingga kita sampai di Jepang.”  ⠀⠀ “Dimengerti, Kyokutei-san. Nona Muir, saya akan mengantar Anda ke pesawat terlebih dulu.”  ⠀⠀ Nao dan Azuma membuka jalan untuk Mala yang melenggang seolah tak terjadi apa-apa di antara dirinya dan Shinku beberapa menit yang lalu. Wanita itu mengenakan topengnya dengan baik. Dunia panggung sungguh rugi kehilangan seseorang seperti Mala Muir.  ⠀⠀ “Apakah Anda baik-baik saja, Kyokutei-san?” tanya Azuma setelah Nao dan Mala pergi.  ⠀⠀ “Aku ingin rapat di undur sore hari dan dilakukan di rumahku. Hanya staf inti yang boleh hadir. Kemudian, beritahu Ayahmu bahwa aku akan menjenguk Abdul esok sebelum perayaan ulang tahun kakekku. Itu saja.”  ⠀⠀ “Baik, Kyokutei-san. Oh,” Azuma memeriksa gawai asisten pribadi miliknya yang berbunyi, “pesawat sudah siap.”   ⠀⠀ Shinku hanya berdeham tanda mengerti. Ia mengambil jaketnya lalu meninggalkan penginapan bersama Azuma.  ⠀⠀ Ketika mereka memasukki pesawat, Mala, Nao, dan Lana beserta dua orang pramugari yang menyambut telah berada di posisi masing-masing. Shinku menempati kursi kosong di sayap kiri pesawat. Ia tahu itu adalah tempatnya karena terdapat laptop pribadi dan satu botol air mineral Fiji yang merupakan kesukaannya.  ⠀⠀ Suasana di dalam pesawat terasa sedikit tegang dan canggung. Pusat energinya adalah Mala. Nao dan Azuma sungkan untuk berbicara; sedangkan Shinku telah tenggelam di dalam pekerjaan.  ⠀⠀ Layaknya negara-negara yang pernah mereka jelajahi sebelumnya, Azuma selalu merasa takjub dengan pemandangan dari udara di malam hari.   ⠀⠀ “Watanabe-san,” panggil Shinku tiba-tiba.  ⠀⠀ Azuma segera berdiri dari duduknya dan mendekati Shinku. “Ada yang bisa saya bantu, Kyokutei-san?”  ⠀⠀ “Diagram yang dikirimkan pihak gudang terasa sedikit berbeda dibandingkan sebelumnya. Sepertinya mereka salah dalam menentukan rumus di sistem. Tolong beritahu mereka memperbaiki ini. Kemudian, aku menyetujui permintaan pihak pengurus di Asia Tenggara. Katakan kepada mereka aku akan datang tahun depan ke Indonesia, Thailand, dan Singapura untuk meninjau kinerja mereka. Setelah itu, kita akan melakukan uji coba terhadap sistem administrasi terbaru yang sedang dikembangkan oleh bagian informasi dan teknologi. Seharusnya di pertengahan bulan Februari, protokol dapat dicoba.”  ⠀⠀ Azuma memutuskan untuk duduk di depan Shinku dan mencatat seluruh permintaan pria itu di dalam gawai khususnya. Akhir tahun selalu menjadi momen tersibuk di perusaaan mereka. Semua pegawai dituntut untuk bekerja lebih rajin demi menutup buku.   ⠀⠀ “Bagaimana dengan sistem pengamanan gudang untuk para klien? Apakah ada pemberitahuan lebih lanjut dari para pengembang?”  ⠀⠀ Shinku meneguk minumnya setelah bertanya. Ia belum sekali pun menyentuh botol itu sejak naik pesawat.  ⠀⠀ “Mereka bilang sudah ada di tahap penyelesaian. Sistem pengamanan yang terbaru akan satu taraf dengan sistem penjara internasional. Sedikit perubahan pada identifikasi pemilik. Suzuki-san bilang dirinya butuh tanggapan dari Anda mengenai beberapa hal. Dia akan mengirimkan datanya setelah selesai,” kata Azuma.  ⠀⠀ “Bagus. Aku dengar pengiriman barang milik Jimmy mengalami masalah di Republik Ceko. Apakah kau tahu tentang hal itu?”  ⠀⠀ “Tentang itu, sepertinya Kyokutei Hiro-sama ditipu oleh mitra kerjanya. Mereka menjanjikan jalur aman dan meminta bayaran di depan. Hal yang lumrah tapi ternyata mereka mengingkari perjanjian bisnis dengan membawa sabu-sabu dari Jimmy melewati jalur penyelundupan yang sama seperti pengusaha kelas teri lainnya. Tampaknya mereka tidak paham bahwa perusahaan kita selalu mengirimkan barang dalam kuantitas besar,” jelas Azuma.  ⠀⠀ Shinku mengenakan kain makan pada paha kemudian menjauhkan laptop ketika piring berisikan daging bakar yang dimasak medium disajikan oleh seorang pramugari. Waktunya makan sudah tiba.  ⠀⠀ “Begitu,” Shinku memotong makanannya dengan garpu, “polisi mendapatkan sebagian narkoba Jimmy, benar?” tanyanya sebelum mengunyah.  ⠀⠀ Azuma mengangguk. “Dari lima ratus liter sabu-sabu yang dikirim, polisi menyita hampir seratus liter. Kyokutei Hiro-sama sekarang sedang marah besar.”  ⠀⠀ Shinku tersenyum sembari terus makan. Ia enggan berkomentar lebih banyak.  ⠀⠀ “Pamanmu kebakaran jenggot dan kau tersenyum. Apakah kau tidak memiliki simpati kepadanya?” tanya Mala dari seberang sayap kiri.  ⠀⠀ “Aku akan bersimpati ketika hari pemakamannya tiba,” jawab Shinku.  ⠀⠀ Mala mendesis. “Kalian selalu mengutamakan solidaritas keluarga. Namun, pada prakteknya ternyata tidak seimbang.”  ⠀⠀ “Untuk seorang individu yang bukan anggota keluarga Kyokutei, kau berbicara cukup besar,” ucap Shinku lalu membersihkan mulutnya.  ⠀⠀ “Aku tidak perlu menjadi anggota keluarga untuk mengetahui kabar.”  ⠀⠀ “Oh? Kalau begitu, berhati-hatilah terhadap kredibilitas informan Anda, Nona Muir,” sahut Shinku, sarkastik.  ⠀⠀ “Kenapa aku harus khawatir jika informannya adalah anggota keluarga Kyokutei sendiri?”  ⠀⠀ Mala menumpu kedua tangannya pada meja. Wajahnya memancarkan ekspresi yang berkata ‘aku-akan-mendapatkan-perhatianmu’.  ⠀⠀ Di seberang Shinku, Azuma merasa sedikit khawatir dengan respons yang akan dilemparkan oleh Tuannya. Bagaimana dengan Nao? Pria itu didapati sedang berlayar ke alam mimpi di kursinya.  ⠀⠀ “Karena itulah kau harus khawatir. Kau tidak pernah tahu kapan mereka akan menggigitmu. Bahkan sekarang, apakah yang membuatmu berpikir bahwa kau berada di lingkungan yang aman? Pikirkan, Nona Muir. Kau datang tanpa pengawal ke wilayah yang asing. Kyokutei memang sekutu keluargamu, tapi apa yang membuatmu terlalu bangga bahwa kami akan rela mempertaruhkan segalanya jika kompetitor Ayahmu tahu mengenai keberadaanmu di luar Skotlandia?”  ⠀⠀ Seorang pramugari membersihkan meja Shinku dengan cepat lalu kembali ke belakang. Ia tidak ingin berada di tempat itu terlalu lama.  ⠀⠀ “Bagaimana, Nona Muir? Apakah pikiranmu mulai terbuka?” tanya Shinku sembari tersenyum.  ⠀⠀ Penjelasan Shinku masuk akal. Di dunia mereka, banyak kelompok saling menggigit satu sama lain bahkan ketika sudah bersumpah akan setia hingga akhir. Rasanya Mala berpikir terlalu gegabah dan tinggi sebab Kyokutei Asahi secara personal mengundangnya datang. Meski begitu, apakah Mala melewatkan sesuatu di antara keluarganya, dan keluarga Kyokutei? Tampaknya tidak ada percikkan api di antara mereka. Apa yang Shinku ketahui? Mungkinkah dirinya dijadikan tawanan? Tunggu—tidak. Ayahnya sudah memberikan izin dan mempercayakan dirinya sepenuhnya di tangan para Kyokutei untuk satu pekan ini di Jepang. Shinku hanya ingin membuatnya takut dan diam.   ⠀⠀ “Omonganmu ada benarnya. Tapi, merendahkan kemampuan keluargaku adalah kesalahan fatal. Kenapa kau berpikir hanya keluargamu yang menjadi mitra keluargaku di Jepang? Lucu sekali, Shinku. Keluargamu bukan satu-satunya,” kata Mala.  ⠀⠀ “Betul. Namun, bukankah hanya Kyokutei yang diterima George Muir untuk masuk ke dalam istana pribadinya, dan membawa putri kesayangannya seperti ini? Aku rasa itu sudah cukup menggambarkan betapa keluarga kami memiliki dampak yang besar kepada kalian. Terlebih, masih banyak hal yang bisa aku katakan kepadamu untuk menguatkan argumenku. Kau akan mati karena malu. Sekarang tutuplah mulutmu dan jangan ganggu urusanku.”  ⠀⠀ Wajah Mala yang berkilau menjadi kusam dan gelap. Otaknya menangkap dengan jelas apa yang dimaksud oleh Shinku dan itu membuatnya segera patuh. Ia bahkan tidak berani untuk menunjukkan amarah. Namun, sorot sakit hati kembali berbinar pada matanya.   ⠀⠀ “Watanabe-san, antar Nona Muir ke kamar. Aku tidak ingin melihatnya,” kata Shinku.  ⠀⠀ Azuma berdiri lalu menghampiri Mala. Tidak butuh banyak tenaga dan kata bagi Azuma untuk membawa Mala ke kamar yang terletak dekat buntut pesawat.  ⠀⠀ Shinku menghela napas dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia tidak menyangka perjalanan di Beinn Mhòr telah berubah menjadi cukup kurang nyaman.  ⠀⠀ Melewati ratusan bahkan mungkin ribuan pulau kecil, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi kini mendarat di Jepang. Matahari tampak bersinar ketika mereka turun; tiga deret sedan hitam telah menunggu. Sedan pertama bertugas membawa Shinku, Mala, Nao, dan Azuma ke Kyoto. Sedan kedua membawa koper mereka dan sedan ketiga akan membawa Lana ke kediaman keluarga Watanabe.  ⠀⠀ “Jangan membuatnya terkejut,” peringat Shinku kepada salah satu bawahannya yang bertugas mengawasi Lana.  ⠀⠀ “Tentu, Kyokutei-sama.” Dialog itu berlangsung singkat tapi mengandung tanggung jawab yang besar.  ⠀⠀ “Kyokutei-san, ibu Anda,” kata Nao sembari memberikan ponsel kepada Shinku.  ⠀⠀ “Ha’i, Okaa-san?”  ⠀⠀ “Shinku-kun, kenapa ponselmu tidak aktif?” tanya Karen.  ⠀⠀ “Kami baru saja tiba. Aku belum sempat mengaktifkan ponselku. Maafkan aku, Okaa-san. Apakah Okaa-san mengirimkan sesuatu?”  ⠀⠀ Karen menyentuh rambutnya yang sudah ditata rapi sebagai sentuhan terakhir. “Tidak. Tapi, kau bersama Muir-san, benar?”  ⠀⠀ “Ha’i,” sahut Shinku lalu matanya menatap kaca spion tengah di mana Mala dan Nao sedang duduk bersebelahan untuk beberapa saat.  ⠀⠀ “Begitu rupanya. Apakah kau akan ke perusahaan?” tanya Karen kali ini ia tersenyum ke arah seorang pelayanan yang mengangkat piring kotor makan paginya.  ⠀⠀ “Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tapi, nanti sore, aku akan mengadakan rapat di rumahku.”  ⠀⠀ “Terdengar menyenangkan, Shinku-kun. Apakah kau sudah mencoba baju yang akan kau pakai di acara ulang tahun kakekmu?”  ⠀⠀ “Belum, Okaa-san. Aku percaya kepada kemampuan Satō-sama. Pasti kimono yang ia buat akan indah dan sesuai dengan ukuran badanku.”  ⠀⠀ “Baiklah. Kalau begitu aku akan bertemu denganmu besok di acara ulang tahun kakek. Aku percaya kepadamu. Sampai jumpa, Shinku-kun.”  ⠀⠀ “Sampai jumpa, Okaa-san.”  ⠀⠀ Shinku mengembalikan ponsel milik Nao setelah selesai. Gelagat ibunya dan kata-kata yang dilontarkan memberikan suatu pesan tersirat.  ⠀⠀ Seorang Kyokutei Karen bukanlah tipikal wanita yang jalan pemikirannya sederhana. Banyak jalan tikus penuh jebakan di sana. Apa yang diutarakannya secara konotasi bisa jauh berbeda dari denotasi. Shinku sering menghabiskan waktunya untuk mendekonstruksi kode yang sebenarnya dimaksud oleh Karen.  ⠀⠀ Wanita ini, meski ibu biologisnya, adalah jajaran utama Kyokutei yang wajib ditakuti. Perangainya jangan dianggap biasa.   ⠀⠀ Sepanjang perjalanan digunakan Shinku untuk memahami konteks dari perilaku ibunya hingga ia tidak sadar mobil sudah memasukki area parkir rumahnya. Jika bukan karena suara mesin yang tiba-tiba mati, Shinku akan masih terus duduk diam, dan berkontemplasi. Ketika dirinya hendak turun, Shinku masih menemui figur Mala berada di bangku belakang mobil. Di benaknya, Mala akan diantarkan oleh Azuma setelah ini. Tapi ternyata perkiraan Shinku tidak tepat. Mala ikut menuruni mobil bersama Nao dan Azuma. ⠀⠀ "Kenapa kalian turun?" tanya Shinku kepada ketiga orang tersebut. ⠀⠀ Nao menatap Azuma kemudian Shinku secara bergantian dengan raut wajah bingung. "Karena sudah sampai, Kyokutei-san," jawabnya lugu.  ⠀⠀ "Tidak. Nona Muir belum berada di hotelnya. Aku tahu kita lelah. Suruh supir mengantarnya ke hotel," tegas Shinku.  ⠀⠀ "Oh, masalah itu," Nao melirik Azuma sejenak, "Kyokutei Karen-sama yang menyuruh. Beliau bilang Nona Muir akan bermalam di tempat Anda."  ⠀⠀ Rahang Shinku menegang akibat menahan kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Ia sekarang mulai memahami ke mana rencana Karen bermuara.  ⠀⠀ "Terserah," kata Shinku lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.  ⠀⠀ Pada sore harinya, Shinku keluar dari kamar dengan pakaian yang cukup formal. Baju lengan panjang berwarna hitam dipadukan dengan koleksi jaket setelan dari Tom Ford—𝙋𝙧𝙞𝙣𝙘𝙚 𝙤𝙛 𝙒𝙖𝙡𝙚𝙨 𝘾𝙝𝙚𝙘𝙠 𝘼𝙩𝙩𝙞𝙘𝙪𝙨—senada dengan celananya.  ⠀⠀ Perihal sepatu, Shinku menggunakan sepatu yang menjadi penyelamatnya di saat bingung memutuskan apakah yang harus melindungi kakinya, yaitu Christian Loubutin: 𝘼𝙡𝙥𝙝𝙖 𝙈𝙖𝙡𝙚.  ⠀⠀ "Azu-kun," panggil Shinku sembari menggunakan jam tangannya.  ⠀⠀ "Ha'i, Kyokutei-san."  ⠀⠀ "Apakah ruangannya sudah siap?"  ⠀⠀ "Sudah, Kyokutei-san. Beberapa staf inti sudah tiba. Sisanya masih ada pekerjaan di perusahaan dan akan segera menyusul."  ⠀⠀ "Bagus. Rapat akan dimulai dalam sepuluh menit. Jadi, bagi mereka yang belum datang, aku harap segera hadir."  ⠀⠀ "Saya akan segera memberikan informasi tersebut kepada mereka."  ⠀⠀ "Hm. Di mana Nao-kun?" Shinku merapikan kerah bajunya dan menanggalkan satu kancing baju bagian atas.  ⠀⠀ "Nao-kun sedang menemani Muir-san berbelanja baju, Kyokutei-san."  ⠀⠀ "Sekarang dia mengambil asisten pribadiku," kata Shinku sedikit kesal. "Beritahu Nao-kun untuk kembali ke sini. Dia harusnya tahu prioritas."  ⠀⠀ Azuma membungkukkan badan. "Tentu, Kyokutei-san. Saya akan melaksanakan semuanya."  ⠀⠀ Shinku menganggukkan kepalanya kemudian melangkah menuju ruang rapat di dalam rumahnya. Sejatinya bagian rumah itu adalah tempat Shinku bermeditasi. Kendati demikian, demi aktivitas hari ini, segala interiornya diubah. ⠀⠀ "Selama sore, Kyokutei Shinku-sama," ucap seluruh manusia di sana sebelum membungkukkan badan. Setidaknya ada sepuluh orang. ⠀⠀ "Sore. Silakan kembali duduk," kata Shinku setelah mengembalikan salam mereka. ⠀⠀ "Terima kasih sudah hadir di sini. Aku tahu suasananya kurang profesional, tapi aku harap tidak akan mengurangi kualitas substansi diskusi pada hari ini." ⠀⠀ Setelah mengucapkan harapannya, Shinku duduk di kursinya dan membuka beberapa dokumen yang telah disiapkan oleh masing-masing divisi. Selagi ia membaca, beberapa staf inti lainnya mulai memenuhi ruangan. ⠀⠀ "Permisi, Kyokutei-san. Seluruh peserta rapat telah lengkap," bisik Azuma. ⠀⠀ "Tutup tirai dan nyalakan proyektor. Kita akan mulai sekarang." ⠀⠀ Pintu rumah Shinku terbuka dan menunjukkan Mala bersama Nao melangkah ke dalam dengan banyak tas belanjaan di tangan mereka. Sejujurnya Mala tidak perlu membeli baju karena ia sudah memutuskan gaun apa yang akan dirinya gunakan sebelum datang ke Jepang. Tentu saja gaun itu adalah hasil rancangan desainer. Ia tidak akan menggunakan gaun yang dijual di butik biasa. Terlebih ia akan menghadiri acara ulang tahun Kyokutei Asahi. Mala tidak akan mempermalukan dirinya sendiri dengan datang memakai baju kelas menengah. Itu tidak menunjukkan status sosialnya dengan baik. Tapi, pertengkaran dengan Shinku menguras banyak energinya. Ia membutuhkan terapi belanja. ⠀⠀ "Oh, hati-hati di jalan, Nakamura-san, Suzuki-san," kata Nao ketika melihat beberapa staf mulai keluar dari ruang rapat. Wajah mereka tidak begitu cerah. Nao mampu memahami alasannya. ⠀⠀ ".... Perihal itu sudah kami komunikasikan dengan para investor. Dividen akan diterima ketika penutupan buku akhir tahun, Kyokutei-san." ⠀⠀ "Aku harap hampir seratus persen investor kita menerima profit secara serentak. Aku tidak mau kejadian tahun lalu terulang. Para pengusaha di Filipina membuat kepalaku pusing, Yoshida-san. Aku berharap besar pada tim khususmu," kata Shinku kepada seorang pria berkacamata tebal dan rambut kepala yang tipis. ⠀⠀ "Sangat dimengerti, Kyokutei-san. Saya akan mengerjakan seperti yang Anda minta. Apakah Anda ingin membahas perihal lain?" tanya Kai. ⠀⠀ "Tidak ada. Kau boleh pulang." ⠀⠀ "Baik. Terima kasih, Kyokutei-san." ⠀⠀ Kepergian Yoshida Kai berarti tidak ada staf lain yang ada di rumah kecuali Nao, Azuma, dan beberapa pelayanan pribadi Shinku. Hal ini pun dapat dimaknai sebagai kondisi 'apa-yang-kau-lakukan-dengan-asistenku'. ⠀⠀ "Shimizu-san, ikut aku," perintah Shinku sambil berlalu ke dalam ruang rapat. ⠀⠀ Nao bergidik ngeri dan tahu secara akurat dirinya ada di dalam masalah besar. Sebelum masuk ke dalam ruang penghakiman, Nao meneguk air ludah, dan menaruh barang belanjaan milik Mala di atas lantai.  ⠀⠀ "Saya akan membawakannya untuk Anda," kata Azuma menggantikan posisi Nao yang bergegas masuk ke dalam ruang rapat. ⠀⠀ Mala mendengus. Energinya sudah kembali sempurna. ⠀⠀ "Bosmu terlalu kaku," kata Mala ketika dirinya dan Azuma berjalan menuju kamar tamu. ⠀⠀ "Memimpin perusahaan besar dan tidak kaku; saya kurang bisa membayangkan hal tersebut, Nona Muir." ⠀⠀ Mala melirik Azuma sejenak lalu membuang arah pandangnya kembali ke depan. "Kau pun sama sepertinya." ⠀⠀ Azuma memutuskan tidak menjawab sindiran Mala. Di saat seperti ini diam adalah emas. ⠀⠀ Di dalam ruang rapat, Shinku menatap ke luar jendela sembari melepaskan jaket setelannya. Tidak ada motivasi khusus; hanya ingin merasa lebih nyaman. ⠀⠀ "Kyokutei-san, saya benar-benar minta maaf," ucap Nao membuka percakapan. Keadaan di ruangan itu sebenarnya dingin, tapi, Nao tidak bisa berhenti berkeringat. Rasa cemasnya membuat tubuh menjadi terasa lebih panas. ⠀⠀ "Nao-kun, aku mengenalmu sejak kecil. Secara tidak langsung, kita tumbuh besar bersama, benar?" ⠀⠀ "Ha'i, Kyokutei-san." ⠀⠀ "Marina-chan, Azuma-kun, dan Nao-kun, kalian adalah teman-temanku yang berharga. Nao-kun, aku sudah pernah mengatakan kepadamu sebelumnya, jangan bersosialisasi dengan Mala Muir. Apa yang kau tidak pahami dari konteks itu?" tanya Shinku tanpa memandang Nao.  ⠀⠀ Nao menempatkan kedua tangannya di depan badan dan menunduk meski Shinku tidak melihat ke arahnya. Ia merasa bersalah walau sebenarnya bisa saja jika ingin membela diri. ⠀⠀ "Maaf, Kyokutei-san." ⠀⠀ "Ini peringatan terakhir. Jika kau benar-benar ingin membalas jasa ibuku yang sudah merawatmu dan kakakmu, Marina-chan, maka dengarkan perkataanku. Apakah kau paham, Nao-kun?" tanya Shinku seraya membalikkan tubuh untuk menatap yang disebut.   ⠀⠀ Nao mengangguk pelan. Shinku telah mengingatkannya secara rutin mengenai topik yang sedang mereka bicarakan. Meski begitu, Shinku pun Azuma tidak pernah memberikan alasan rinci. Bagi Nao, rasanya ada lubang di cerita mereka yang sengaja ditutupi darinya. Apakah itu? Lalu, apakah ada kaitannya dengan Mala Muir? Sejauh yang Nao pahami, Mala memiliki perhatian khusus kepada Shinku. Layaknya ia, Azuma, dan Marina, Mala merupakan kawan masa kecil Shinku.  ⠀⠀ Orang-orang seperti mereka, Shinku dan Mala, adalah hal yang natural bagi mereka mengenal sejak kecil. Lingkup mereka penuh rahasia dan kenyataan hitam. Diturunkan dari generasi ke generasi untuk diemban. Nao tidak ada hak untuk menghakimi hidup mereka. Apalagi Kyokutei Karen bersedia menampung dirinya dan Marina, kakak perempuannya, sejak kecil di kediaman Kyokutei.   ⠀⠀ “Nii-sama, aku benar-benar meminta maaf,” ucap Nao sembari membungkuk. Kali ini ia akan mencoba menjalankan permintaan, bukan perintah, dari Shinku dengan baik. Nao tidak ingin membuat Shinku kecewa kepadanya.  ⠀⠀ “Bagus kalau kau mengerti. Sekarang, kau bisa pulang ke rumah. Pergilah bersama Azu-kun,” tutup Shinku.  ⠀⠀ “Ha’i. Permisi.”  ⠀⠀ Nao menutup pintu ruangan dan bergegas pergi untuk mencari Azuma. Ia ingin segera merebahkan diri ke kasur dan memakan seluruh makanan ringan yang ia simpan di dalam lemari bajunya sebagai pereda stres. Nao tahu bekerja untuk Kyokutei pasti akan melelahkan. Namun, ia tak tahu bahwa rasa capainya bertubi-tubi tanpa henti dari sisi mental dan fisik. Marina dan Azuma adalah orang-orang yang kuat, pikirnya.  ⠀⠀ Ketika malam tiba, Shinku duduk di atas lantai di dalam kamarnya sembari mengisap pipa hookah. Badannya hanya dibalut kimono tidur yang diikat seadanya. Di bagian bawah ia mengenakan celana panjang berwarna hitam dari bahan sutra.  ⠀⠀ “Sialan,” ucap Shinku.  ⠀⠀ Saat ini kamar pria itu kurang begitu jelas wujudnya. Cahaya kemerahan dari lampu kamar dan asap dari hasil merokok hookah bercampur menjadi satu. Epitome kepedihan dan amarah.  ⠀⠀ Sayup-sayup dari luar, Shinku dapat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Tidak perlu menduga itu adalah Mala dan wanita itu datang di saat yang kurang tepat. Buruk malah.  ⠀⠀ Shinku membuka pintu kamarnya dan mendapati Mala dalam gaun malam yang kelewat erotis. Shinku tak merasakan apa pun dari pemandangan ini. Kemarahannya lebih besar daripada nafsu birahi.   ⠀⠀ “Aku hanya akan memperingatkanmu sekali saja. Kembali ke kamarmu atau kau akan mendapatkan trauma baru di dalam hidupmu,” kata Shinku tanpa emosi.  ⠀⠀ Mala tidak berpakaian seperti ini dan menelan segala harga dirinya untuk menyerah. Berhadapan dengan Kyokutei Shinku tidak pernah mudah dan ia yakin pasti akan menang. Mala Muir tidak pernah kalah kepada siapa pun. “Minggir,” ucapnya sembari masuk ke dalam kamar Shinku dengan santai.  ⠀⠀Kurang dari sehari Shinku membuatnya ketakutan dan diam, Mala sudah kembali ke perilaku normalnya. Wanita ini memiliki masalahnya tersendiri.  ⠀⠀ “Kamarmu tidak berubah. Masih sama seperti satu tahun yang lalu. Jaguar itu juga masih di sana. Oh, koleksi buku-bukumu. Aku sangat merindukan mereka. Apakah kau ingat bahwa kau pernah bilang kepadaku ingin meluncurkan ensiklopedia di usia tiga puluh tahun? Kau memiliki rencana yang sangat tertata di dalam hidup.”  ⠀⠀ Shinku menutup pintu kamar dan menguncinya. Perlahan ia melangkah ke arah kasur; sedangkan matanya mencermati Mala, yang sedang berdiri di sebelah meja hookah, dengan tajam.  ⠀⠀ “Orang dengan tampang, harta, dan otak sepertimu memiliki nilai yang mahal. Banyak orang mengejarmu dan bahkan rela melakukan apa pun agar disentuh olehmu. Oleh karenanya, kau begitu angkuh ketika ada seseorang yang mencintaimu dengan tulus.”  ⠀⠀ Shinku duduk pada pinggiran kasur dan masih memandangi Mala. Dilhatnya wanita bermanik abu-abu itu memegang pipa hookah kemudian mengisapnya dalam waktu yang cukup lama sebelum melepaskan asap dari mulut.  ⠀⠀ “Rempah? Sungguh seleramu,” kata Mala.  ⠀⠀ Ia menempatkan pipa di atas meja kemudian melangkah menuju Shinku. Kurang dari dua kaki jarak mereka, Mala menumpu tubuhnya pada kedua lutut, dan memegang kedua kaki Shinku.  ⠀⠀ Mala mengamati wajah Shinku dari bawah menggunakan kedua matanya yang sayu, memang naturalnya demikian, sembari tersenyum. “Kau tahu, orang seperti kita terikat satu dengan yang lain. Tidak ada yang bisa mengerti dan memahami kenapa kita hidup seperti ini selain kaum kita.”  ⠀⠀ Tangan Mala mengelus lutut Shinku kemudian meluncur ke arah perut dan akhirnya dada kiri Shinku. Ia memandangi bagian itu untuk beberapa saat.  ⠀⠀ “Apa yang salah dari menginginkan ini?”  ⠀⠀ Shinku tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya terus mengikuti pergerakan tangan Mala dan menatap mata anak George Muir di sana.  ⠀⠀ “Tidak akan ada yang bisa mengerti dirimu. Kenapa kau membuat segalanya sulit?” tanya Mala.  ⠀⠀ Tangan Shinku kini digenggam dan ditarik ‘tuk dibawa lebih dalam menuju kasur. Dalam kegelapan yang hanya bercahayakan merah tua, Mala duduk di atas perut Shinku, dan meletakkan tangan pria itu pada dadanya.  ⠀⠀ “Kau tidak perlu mencari lagi. Orang yang bisa mengimbangi dirimu ada di sini,” Mala perlahan menunduk, berusaha mempertipis jarak antara bibirnya dengan bibir Shinku, “bukan Marina atau siapa pun,” ucapnya.  ⠀⠀ Shinku masih terlihat tenang. Namun, tangannya merayap di belakang Mala. Seolah memberikan impresi bahwa ia akan mendekap tubuh wanita berparas cantik tersebut.  ⠀⠀ “Mungkin jika kau mati dan terlahir kembali, aku akan mempertimbangkannya,” bisik Shinku sebelum menarik keras rambut Mala dan menukar posisi mereka.  ⠀⠀ Di bawah Shinku, Mala mengerang kesakitan sembari memegangi tangan Shinku yang menarik rambutnya. Ia menatap pria itu dalam ketakutan.  ⠀⠀ “Apa yang aku katakan mengenai agar kau waspada, Mala? Semua peringatanku kepadamu rupanya hanya kau pahami sebagai gosip harian.”  ⠀⠀ Shinku membalik tubuh Mala hanya dengan satu tangan. Ia kemudian melepaskan tali kimononya dan mengikat kedua tangan Mala dengan cukup keras.  ⠀⠀ “Ini tidak sebanding dengan ketika kau mengikat tangannya menggunakan rantai. Aku yakin saat itu dia memintamu untuk berpikir secara logis, benar?”  ⠀⠀ Shinku menarik rambut Mala agar wajah mereka saling bertemu.  ⠀⠀ “Benar?”  ⠀⠀ “B-benar,” kata Mala mulai terisak.  ⠀⠀ “Apakah kau berpikir secara logis pada saat itu?”  ⠀⠀ “Ti-tidak.”  ⠀⠀ “Apa yang kau lakukan setelah mengikat tangannya?”  ⠀⠀ “Aku menampar wajahnya dan menyuruhnya untuk diam.”  ⠀⠀ Shinku kembali memutar tubuh Mala ke posisi semula. Ia menepuk pelan pipi kanan wanita itu sebelum memberikan tamparan lumayan keras pada wajah.  ⠀⠀ Mala mengerang kesakitan diiringi isak tangis yang memilukan. Rasa perih menjalar di seluruh wajahnya. Entah bagaimana rupanya saat ini, ia tak ingin tahu.  ⠀⠀ “Berapa kali kau menamparnya?”  ⠀⠀ Mala menggeleng.  ⠀⠀ “Aku hanya bertanya. Aku tidak akan merusak wajahmu untuk acara besok,” kata Shinku. “Berapa?”  ⠀⠀ “Aku tidak ingat... banyak... hingga darah keluar dari mulutnya,” ujar Mala kemudian menutup matanya erat; takut akan adegan berikutnya.  ⠀⠀ Shinku menggigit bibir bawahnya untuk menekan rasa sakit di dalam dadanya. Tanpa kata, ia menarik tubuh Mala hingga setengah, kemudian melayangkan beberapa tamparan pada pipi 𝘊𝘭𝘶𝘯𝘪𝘴 yang terekspos.  ⠀⠀ Jeritan dari Mala terdengar beberapa kali ketika Shinku terus memberikan luka pada area yang sama. Pria itu berhenti ketika siluet telapak tangannya tercetak pada masing-masing sisi.  ⠀⠀ “Apa yang kau lakukan setelah menamparnya?” tanya Shinku.  ⠀⠀ Mala mencengkram selimut sembari terus menangis.   ⠀⠀ “Aku bilang dia adalah wanita murahan yang rela melakukan apa pun agar mendapatkan perhatianmu. Aku katakan kepadanya agar terus bermimpi bahkan di alam kematian.”  ⠀⠀ Shinku segera menjauhkan diri dari kasur. “Setelah mengatakan kalimat sialan itu, kau memberikannya tembakkan sebanyak tiga kali. Satu di perut, satu di dada kiri, dan satu di kakinya. Kau hebat, Nona Muir.”  ⠀⠀ Suara laci terbuka dapat didengar oleh Mala. Tak lama diikuti oleh bunyi yang sangat familiar baginya: peluru yang dimasukkan ke dalam pistol.  ⠀⠀ Sejenak, Shinku merenggangkan otot-otot tubuhnya sembari melangkah untuk berdiri di depan kasur. Adegan ini sama seperti ketika dirinya hendak menembakkan obat bius ke arah rusa merah yang menjadi target buruan. Perbedaannya adalah rusa merah menjadi Mala dan obat bius menjadi peluru sungguhan yang bisa menembus jaringan kulit menuju jantung.  ⠀⠀ “Wanita murahan,” kata Shinku sembari menembakkan pistolnya ke arah bantal yang berjarak kurang dari dua puluh sentimeter dari wajah Mala.  ⠀⠀ Pemilik gelar master di bidang komunikasi itu terlalu syok hingga tak bisa berteriak atas serangan mendadak Shinku. Ia benar-benar ketakutan. Otaknya hanya mampu mengulang perkataan Shinku di dalam pesawat. Dirinya benar-benar sendirian tanpa perlindungan.  ⠀⠀ “Aku katakan kepadamu bahwa aku bisa membuatmu mati karena malu. Seharusnya kau kaji hal itu lebih dalam, Mala. Tapi, karena pikiranmu tidak bisa berpikir jernih saat ini, biar aku jelaskan kepadamu. Seorang wanita lulusan Universitas Harvard dan Standford pernah berkata kepadaku bahwa dirinya tidak masalah menjadi wadah untuk mengandung anakku. Ia rela melakukan secara cuma-cuma asalkan aku mau menikahinya. Taruh buah ceri di atasnya, wanita itu mengatakan hal tersebut di depan seorang Kyokutei Karen. Kau benar-benar menghancurkan harga dirimu sendiri.”  ⠀⠀ Mala menggelengkan kepalanya. Ia menolak mengingat momen itu. Ekspresi wajah Karen dan kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat Mala kehilangan akal.  ⠀⠀ “Kau tidak ingin menjual jiwa kotormu kepada Iblis, Mala. Kau tahu konsekuensinya dan tetap melakukan kebodohanmu sehingga dicemooh tanpa henti. Setelahnya, kau mencari objek untuk melampiaskan amarahmu. Poin itu adalah minus terbesar untukmu.”  ⠀⠀ Shinku menaikki kasurnya dan menempatkan tubuh Mala di antara kakinya. Ia kemudian berjongkok sembari menaruh mulut pistol pada dahi Mala.  ⠀⠀ “Marina adalah sahabatku dan kakak biologis Shimizu Nao. Pria yang selalu menemanimu kemana pun kau inginkan saat di Jepang. Nao kerap meladeni celoteh dan sikap kekanakkanmu tanpa mengeluh. Tapi, kau memutuskan untuk mengakhiri hidup keluarga satu-satunya.”  ⠀⠀ Mala bergetar dan menatap Shinku horor. Ia tak berani menggerakkan tubuh dan kepala sebab takut akan memicu jari Shinku menekan pelatuk.  ⠀⠀ “Kau membuang tubuh Marina di Beinn Mhòr. Mengatakan kepada semua orang bahwa kalian diserang dan Marina melindungimu. Mala, alasanku tidak mengatakan kenyataannya kepada ayahmu adalah karena aku menghormati hubungannya dengan Kakekku. Mereka rekan bisnis dan kawan sejak muda. Kau mengerti, maksudku, ‘kan?”  ⠀⠀ “Aku mengerti,” sahut Mala tertatih dengan suara terbata.  ⠀⠀ “Marina adalah anak didik kesayangan Kyokutei Karen. Kau pikir dia tidak tahu bahwa kau yang membunuh Marina? Menurutmu, kenapa wanita itu menyuruhmu menginap di sini?”  ⠀⠀ Semuanya masuk akal sekarang. Alasan Karen menginginkannya bermalam di rumah Shinku. Bukan karena Karen memberikan restu, tetapi, wanita rubah tersebut hendak Mala mendapatkan balas dendam melalui Shinku.  ⠀⠀ Mala yakin jika dirinya tinggal satu malam lebih lama lagi di Jepang, maka Karen sendirilah yang akan mengakhiri hidupnya. Seperti yang dikatakan Shinku sebelumnya, Jepang bukanlah wilayah utama kekuasaan Muir. Ia datang secara sukarela ke sini dan tidak ada jaminan Kyokutei akan melindunginya dari marabahaya apa pun. Termasuk dari seorang Kyokutei sendiri.  ⠀⠀ “Sekarang kau benar-benar paham karakter ibuku?”  ⠀⠀ “Aku paham,” kata Mala serak. “Sangat paham.”  ⠀⠀ “Aku sangat ingin membunuhmu.”  ⠀⠀ “Aku tahu.”  ⠀⠀ “Tidak dengan pistol. Aku ingin menguliti tubuhmu secara perlahan dan memberikanmu rasa sakit yang lebih parah daripada apa yang kau berikan ke Marina,” kata Shinku dengan napas yang menderu dan geraman kecil.  ⠀⠀ Mala hanya bisa mengangguk. Tubuhnya benar-benar lemas. Ia mulai pasrah akan nasibnya.  ⠀⠀ “Tapi, aku, dan ibuku adalah dua entitas yang berbeda. Jika kau ingin tetap hidup, maka ikuti komandoku. Besok, jangan datang ke acara ulang tahun Kakekku. Aku akan katakan kepada mereka bahwa kau sakit. Besok pagi, aku akan membawamu ke kediaman Watanabe. Diam di sana hingga ada perintah lebih lanjut. Aku akan memastikan kau pulang ke Skotlandia hari itu juga. Setelahnya, jangan pernah datang ke Jepang lagi."
0 notes