Tumgik
#pilpres 2019
far2008 · 2 years
Text
Polisi Tangkap Pengendara yang Pukul Anak Politisi PDIP
Polisi Tangkap Pengendara yang Pukul Anak Politisi PDIP
Pengemudi X-Trail berpelat RFH yang menganiaya Justin Frederick, putra dari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Indah Kurnia, akhirnya diamankan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Sabtu (4/6/2022) malam. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi membenarkan penangkapan tersebut. “Benar sudah kami amankan, saat ini sedang kami…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
wwwintinewscoid · 3 months
Text
Praktik Politik Dinasti Melukai Rakyat
INTINEWS.CO.ID, DAERAH – Jawa Timur, PDI Perjuangan Jawa Timur melalui web situsnya “ajak masyarakat jaga demokrasi, Ganjar: Kita mesti lawan politik dinasti” judul yang diposting tertanggal 5 Februari 2024, 06:24, by goekpri. Apakah praktik politik dinasti melukai rakyat? Ilustrasi, oleh Ogi “Jhengghot”, (6/2). Pemilihan Presiden (Pilpres) di Pemilihan umum (Pemilu) 2024 tinggal hitungan hari.…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
kbanews · 7 months
Text
Pengamat politik: Suara AMIN Bisa Dirampok Seperti Kejadian Pilpres 2019
JAKARTA | KBA – Pengamat politik yang juga pegiat demokrasi senior Salim Hutajulu menyambut gembira atas tercapainya kesepakatan di antara tiga partai, yaitu Partai NasDem, PKS dan PKB, pendukung koalisi Perubahan untuk Persatuan yang menjagokan Pasangan Calon Presiden (Paslonpres) Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN). Dia menyatakan hal itu kepada KBA News, Sabtu, 16 September…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
titoadiyatma16 · 8 months
Text
MENGENAL POLITIKUS MUDA
Tito Adiyatma Dwiyanto (20652060, 7C) 21 Agustus 2023
Tumblr media
Mengenal lebih dekat dengan Faldo Maldini,
Faldo Maldini sejak 14 Juli 2021 merupakan staf khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) bidang komunikasi dan media. Sebelumnya, laki-laki kelahiran 9 Juli 1980 ini adalah politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pada 2019 saat kampanye pemilihan presiden, Faldo Maldini dipercaya sebagai juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Pada tahun yang sama, Faldo Maldini pernah maju sebagai calon anggota DPR RI pada 2019 serta bakal calon Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Pesisir Selatan pada 2020.
Faldo Maldini dikenal sebagai sosok vokal organisasi sejak di bangku kuliah. Selepas menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 3 Padang, Faldo Maldini melanjutkan studi di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia. Faldo Maldini menjadi kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Faldo Maldini juga pernah menjabat posisi penting dalam organisasi mahasiswa, mulai dari Ketua Himpunan Mahasiswa Departemen Fisika UI (2002), Ketua BEM FMIPA UI (2003), hingga Ketua BEM UI (2004).
Karir politiknya dimulai Setelah menyelesaikan studi sarjana di UI pada 2013, Faldo berencana bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tetapi urung. Ia merasa PKS tidak memberinya "tempat" dan melihat peluang ada di Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, ia mengaku mendapat tawaran bergabung dengan PAN dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan melalui Ray. Faldo diberi jabatan sebagai kepala departemen dalam struktur kepengurusan PAN.
Pada 2017, dalam waktu relatif singkat, Faldo menduduki jabatan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PAN. Dalam posisi itu, ia bertanggung jawab berkoordinasi dengan DPW dan DPC di daerah, membangun sistem pengkaderan yang sistematis, hingga mengupayakan Zulkifli Hasan untuk ikut dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Dalam ajang pemilihan umum legislatif 2019, Faldo maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PAN daerah pemilihan Jawa Barat V, tetapi tidak terpilih.[6] Pada Oktober 2019, ia mengundurkan diri dari PAN dan bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Di PSI, ia mendapat posisi sebagai Ketua DPW PSI Sumatra Barat.
Selaku politikus PSI, Faldo menyatakan dukungannya terhadap Perda Syariah, yang bertentangan dengan sikap PSI di pusat. Pernyataan ini ia sampaikan dalam pidato politik pencalonan dirinya di ajang Pemilihan umum Gubernur Sumatra Barat 2020.
Sejak 14 Juli 2021, Faldo menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara bidang Komunikasi dan Media
Selain aktif di dunia politik, Faldo Maldini juga merupakan seorang pebisnis. Faldo Maldini adalah manajer pengelola dari Longgar Group. Pada 2015, Faldo Maldini bekerja sebagai anggota Komite Pengembangan Usaha dan Pemantauan Risiko PT Garuda Indonesia.
2 notes · View notes
ligapediaslot · 4 days
Text
Nyaris Mustahil Putusan MK Diskualifikasi Gibran
Tumblr media
Ligapedia.news - Semua pihak menanti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) Tahun 2024 yang rencananya dibacakan Senin (22/04/2024). Ada 2 perkara yang akan diputus Mahkamah. Pertama, perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang dimohonkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar. Kedua, perkara No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang dimohonkan pasangan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD. Berbagai pakar dan ahli memprediksi arah putusan MK. Mengacu Pasal 77 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ada 3 jenis putusan PHPU yakni ‘permohonan tidak dapat diterima’, ‘permohonan dikabulkan’, atau ‘permohonan ditolak’. Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan putusan MK tentang PHPU Pilpres Tahun 2024 ini nyaris mustahil mendiskualifikasi Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka. “Ada kemungkinan diskualifikasi Gibran seperti permohonan? Kemungkinan MK diskualifikasi Gibran, saya secara realistis menyatakan nyaris mustahil,” katanya dikonfirmasi, Senin (22/04/2024). Zainal menyebut setidaknya ada 3 indikasi yang membuat MK berat untuk mendiskualifikasi putra Sulung Presiden Joko Widodo itu dari statusnya sebagai peserta Pilpres 2024. Pertama, hukum acara PHPU Pilpres sangat dibatasi misalnya penanganan hanya 14 hari kerja. Pembatasan waktu itu mempengaruhi sempitnya kesempatan yang diberikan untuk pembuktian. Sekalipun para pihak bisa memberikan bukti secara tertulis, tapi apakah hakim konstitusi akan membaca semuanya? “Secara hukum acara ini agak sulit berharap banyak, sekarang tergantung kualitas hakim apakah mau baca dan analisis detail dan lainnya,” ujar Zainal. Kedua, paradigma hakim konstitusi. Zainal menyebut ada 2 paradigma yakni progresif dan konservatif. Untuk kewenangan menangani PHPU, MK sudah progresif dengan menegaskan dirinya bukan Mahkamah Kalkulator, tapi juga menilai substansi. Tapi lain hal untuk progresifitas dalam menilai materi atau substansi. Berkaca dari PHPU Pilpres 2004-2009-2014-2019, MK tidak pernah progresif membedah substansi permohonan. Misalnya, PHPU Pilpres 2019 MK bilang ada kecurangan tapi tidak signifikan mengubah perolehan suara, ada kecurangan tapi tidak terverifikasi, semua orang bisa diuntungkan dengan kecurangan itu dan sebagainya. Selain itu terkait juga pendekatan judicial activism dan judicial restraint. Ketika berhadapan dengan perkara yang berbau politik, Zainal mencatat sikap MK kadang progresif atau konservatif. Dalam putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 MK cukup ‘progresif’ karena berani mengatur hal yang selama ini open legal policy. Pertanyaannya, apakah judicial activism dalam perkara itu bermanfaat?, MK melakukan kekeliruan besar dalam putusan ini. “MK kadang melakukan judicial activism atau judicial restraint dalam konteks yang tidak tepat. Maka dugaan saya MK tidak akan berani untuk progresif (dalam memutus PHPU Pilpres 2024,-red),” bebernya. Ketiga, kualitas hakim di hadapan politik. Zainal membagi hakim MK dalam 3 poros ketika berhadapan dengan perkara politik yakni hakim yang bisa mengedepankan ‘judicial heroes’, ‘terafiliasi kepentingan politik’, dan hakim yang sikapnya ‘mengambang’. Pada praktiknya dalam pengambilan putusan, hakim yang posisinya ‘mengambang’ ini jadi rebutan poros hakim lainnya. Putusan MK yang berkaitan dengan politik sangat dipengaruhi oleh kemampuan hakim dari poros ‘judicial heroes’ atau “terafiliasi kepentingan politik” untuk membujuk hakim konstitusi ‘mengambang’. Contohnya dalam perkara pengujian UU terkait hak angket untuk KPK. Zainal mengatakan putusannya tergolong moderat atau tengah karena DPR bisa menggunakan hak angket terhadap KPK tapi tidak untuk penegakan hukumnya. “Jadi ini titik tengah antara melarang keseluruhan hak angket untuk KPK atau tidak,” imbuhnya. Mengingat permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sangat tinggi yakni meminta diskualifikasi untuk salah satu pasangan calon dan pemilihan suara ulang (PSU), Zainal menyebut kemungkinannya poros hakim ‘judicial heroes’ sikapnya bergeser ke tengah. Sebelumnya, Program Manager Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan putusan PHPU Pilpres 2024 sepenuhnya ada di tangan hakim konstitusi. Melihat proses persidangan yang berlangsung, Fadli yakin peluang perkara PHPU Pilpres 2024 untuk dikabulkan lebih besar ketimbang perkara PHPU Pilpres sebelumnya yakni 2014 dan 2019. Sedikitnya ada 3 variabel yang menunjukan peluang tersebut. Pertama, dalil pemohon baik Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 serta pembuktiannya lebih kuat ketimbang 2 kali PHPU Pilpres sebelumnya. “Fokus pembuktian soal tidak sahnya pencalonan yang berpengaruh pada hasil pemilu. Politisasi bansos yang dinihilkan penegakan hukum oleh bawaslu dan minim manajemen pungut, hitung, dan rekapitulasi suara,” kata Fadli dalam diskusi Headline talks Hukumonline bertema ‘Ujian Kenegarawanan Hakim MK:Memprediksi Arah Putusan Sengketa Pilpres 2024’, Jumat (19/4/2024). Kedua, konfigurasi hakim konstitusi yang menangani PHPU Pilpres 2024 berbeda dengan komposisi majelis dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023. Sebab putusan yang berkaitan dengan persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi variabel penting PHPU Pilpres 2024. Sekarang, terdapat 2 hakim baru, yakni Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dengan demikian terbuka peluang MK mengkritik putusannya sendiri. Yakni putusan No.90/PUU-XXI/2023 dan mengaitkan apakah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres bermasalah. Ketiga, sekalipun pernyataan yang diberikan saksi dan ahli di persidangan dibatasi waktu, tapi Fadli melihat hakim konstitusi bisa menangkap fokus keterangan tersebut. Misalnya soal pencalonan Gibran, politisasi bansos dan pengaruhnya terhadap perolehan suara dan KPU tidak profesional. “Jika dilihat dalam persidangan semua itu terbukti. Sekarang tinggal bagaimana hakim MK yakin permohonan dikabulkan, bagaimana batasan dikabulkan itu berapa jauh dan besar,” ujarnya. Read the full article
0 notes
theartismi · 1 month
Text
PSEUDO-IDEOLOGI PANCASILA DALAM PUSARAN LIBERALISME DAN KOMUNISME
Pancasila, jika dihitung sejak tahun 1945--tepatnya tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari kelahirannya--hingga tahun ini, berarti sudah memasuki usia 74 tahun. Sudah beranjak tua bahkan jompo jika diasosiasikan dengan manusia.
Tentu menarik jika Pancasila dikaitkan dengan isu kekinian. Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini Pancasila dikaitkan kembali dengan isu anti kebhinekaan, anti NKRI, radikalisme, syariah Islam, termasuk isu Negara Islam atau Khilafah Islam. Belakangan isu ini makin menguat sejak Aksi Bela Islam 212. Termasuk kini menjelang Pilpres 2019. Tidak lain, karena isu-isu tersebut dianggap sebagai antitesis terhadap Pancasila yang telah lama diklaim sebagai dasar negara.
Pertanyaannya:
Mengapa isu Pancasila tidak dimunculkan saat maraknya kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara dan anggota parlemen dari tingkat daerah hingga tingkat pusat?
Hal ini penting mengingat Pancasila saat ini bukan hanya berada di tengah arus besar ideologi-ideologi besar dimaksud. Pancasila bahkan hanyut dan tenggelam ditelan arus besar ideologi-ideologi besar tersebut.
Tegasnya, tulisan ini sekadar ingin memaparkan kembali realitas ideologi-ideologi di dunia, termasuk posisi Pancasila di dalamnya, yang sebetulnya lebih layak dikategorikan sebagai "pseudo-ideologi ketimbang sebuah ideologi hakiki.
Secara umum, ideologi (Arab: mabda’) adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya (M. Muhammad Ismail, 1958).
Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda’) dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.
Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan "minuman keras" spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972: 83-87).
Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan, bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam dan sarana kehidupan (alat-alat produksi).
Dari sini muncullah ideologi Sosialisme-komunis. Ideologi ini didasarkan pada akidah materialisme. Ideologi ini berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dll); tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas manusia yang telah dia ingkari.
Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca: memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara historis, sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir pada Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan.
Dengan demikian para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan bahwa manusialah—melalui mekanisme demokrasi—yang berwenang secara mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur tangan Tuhan (agama).
Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia.
Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam.
Ideologi ini juga berisi seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan manusia (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dll); termasuk tentu saja yang menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang menyangkut agama.
Dalam sejarah, ideologi Islam diterapkan oleh Rasulullah saw. sejak beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah dan oleh para khalifah sesudah beliau dalam sejarah panjang Kekhilafahan Islam selama lebih dari 13 abad.
Sayangnya, sejak Khilafah Islam terakhir di Turki (Kekhilafahan Turki Utsmani) diruntuhkan oleh Inggris melalui anteknya Mustafa Kamal Attaturk tanggal 3 Maret 1924, ideologi Islam belum pernah diterapkan lagi hingga hari ini.
Menimbang Ideologi Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular dan Islam
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia?
Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya:
(a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas. Itulah Pencipta, Tuhan.
(b) Manusia dan alam semesta memiliki keseimbangan, keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua itu tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan mengendalikannya.
Adapun secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau tidak; baik yang mereka agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau "Tuhan" palsu.
Pada faktanya, orang-orang ateis hanya mengalihkan pengagungan itu—yang seharusnya kepada Tuhan—menjadi kepada manusia.
(a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah SWT. Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri, apalagi membuat aturan yang terbaik bagi dirinya.
(b) Tuhan—dalam hal ini Allah SWT—telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan (Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran dapat dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu, menjauhkan otoritas Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia adalah tidak rasional.
Adapun secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan, pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia.
(a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa.
(b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
Adapun secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain.
Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada faktanya membuktikan bahwa manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi kehidupannya yang tidak berasal dari dirinya, tetapi bersumber dari al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.
Secara filosofis, jika kita sepakat dengan paparan tentang konsep ideologi di atas, nyata sekali bahwa Pancasila hanyalah sebuah falsafah atau sekumpulan nilai yang bersifat normatif karena tidak melahirkan sistem atau seperangkat aturan apapun. Buktinya, sampai hari ini tidak ada seorang ilmuwan, pakar atau cendekiawan di negeri ini yang mampu merumuskan, misalnya, bagaimana wujud sistem ekonomi Pancasila; bagaimana wujud sistem politik Pancasila; bagaimana wujud sistem hukum Pancasila; atau bagaimana wujud sistem sosial dan sistem pendidikan Pancasila?
Adapun secara praktis, faktanya pengelola negara ini sejak zaman Soekarno—sebagai perumus Pancasila—hingga rezim yang tegak saat ini malah merujuk pada ideologi Sosialisme ataupun Kapitalisme dalam mengelola negara ini.
Dari sisi ekonomi, misalnya, zaman Soekarno lebih bercorak sosialis—jika tidak dikatakan campuran sosialis dan kapitalis; zaman Soeharto bercorak kapitalistik-liberal. Adapun pasca Orde Baru negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal.
Sementara itu, secara politik, yang diterapkan di negeri ini adalah sistem demokrasi; dari mulai “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno di zaman Orde Lama, “Demokrasi Pancasila” di zaman Orde Baru hingga “Demokrasi Liberal” di zaman Orde Reformasi kini. Padahal demokrasi—meski diembel-embeli Pancasila—tetaplah merupakan sistem politik yang merupakan subsistem dari ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme
Dengan kata lain, Pancasila hanyut bahkan tenggelam oleh arus besar ideologi Kapitalisme-sekular saat ini, yang bercorak sangat liberal.
Alhasil, tidak aneh jika Pancasila akan selalu tergerus dan terlindas justru oleh bangsanya sendiri, khususnya oleh para penguasanya. Ini karena Pancasila lebih merupakan pseudo-ideologi ketimbang ideologi secara hakiki.
*Islam: Satu-satunya Ideologi yang Sahih*
Jika memang para penguasa negeri ini pada faktanya selalu merujuk pada ideologi di luar Pancasila, mengapa mereka tidak pernah tertarik apalagi mau merujuk pada ideologi Islam?
Mengapa selama bertahun-tahun mereka selalu merujuk pada ideologi Kapitalisme-sekular?
Padahal bukankah Kapitalisme-sekular telah gagal bahkan di negeri Barat sendiri sebagai tempat kelahirannya? Bukankah secara nalar (rasio, akal) maupun fitrah, juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia?
Sebaliknya, bukankah Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular adalah ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah manusia; di samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan?
Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan kehidupan umat manusia.
Keengganan manusia untuk diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah merupakan bukti kesombongan, kelancangan dan kekurangajaran dirinya di hadapan Penciptanya, Allah SWT, Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu.
Jika kita tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah SWT. berikut:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Apakah hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular—yang notabene buatan manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah—yang lebih baik ataukah hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Wama tawfiqi illa billah! []
Arief B. Iskandar adalah penulis buku Tetralogi Dasar Islam dan editor buku Ilusi Negara Demokrasi. Keduanya diterbitkan oleh Al-Azhar Press.
Daftar Bacaan:‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqd al-Isytirâkiyah al-Marksiyah, t.p., Al-Quds.Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut. An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.Iskandar, Arief B., 2010. Tetralogi Dasar Islam, Al-Azhar Press, Bogor._______________, 2009. Ilusi Negara Demokrasi, Al-Azhar Press, Bogor.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
0 notes
klobt · 2 months
Text
Berita tahun 2019. Tidak terlalu menarik perhatian pada masa tsb., termasuk saya yang baru tahu dari hasil pencarian Google hari ini. Sekarang bermunculan isu Sirekap, salah satunya viral video tentang kerja sama KPU-ITB yang dipertanyakan. Loh, memang kenapa?
Malah ada yang menjadikan kerja sama tsb. sebagai bahan untuk laporan ke Bareskrim. Lah!
0 notes
hargo-news · 2 months
Text
Pemilu Telah Usai, Saatnya Kembali Genjot Kinerja
Hargo.co.id, GORONTALO – Usai perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024, DPRD Kabupaten Gorontalo periode 2019-2024 yang masa tugasnya masih tersisa beberapa bulan ke depan akan kembali menggenjot kinerja. “Atas selesainya pilpres dan pileg, kami yang incumbent ini yang memang masih masa tugasnya akan melanjutkan kewajiban-kewajiban selaku anggota DPRD untuk…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
jurnalweli · 2 months
Text
Jejak Kampanye Capres 2024
Usai pemilu aku kembali melihat jejak kampanye calon presiden dan calon wakil presiden 2024 di aku youtube Najwa Shihab berjudul "Jejak Kampanye Capres 2024". Mba Nana merangkum jejak kampanye dengan durasi 1 jam secara padat dan menyentuh menurutku. Berikut review dari sudut padangku. Ambil baiknya buang buruknya.
youtube
Calon Presiden No. 1 : Anies Baswedan
Kampanye Pak Anies adalah sebuah gerakan baru yang berbeda dengan metode kampanye tahun-tahun sebelumnya. Pak Anies mengajak komunikasi 2 arah kepada seluruh warga melalui programnya yaitu Desak Anies. Dalam Desak Anies Pak Anies sangat mempersilahkan siapapun untuk bertanya apapun. Rakyat bertanya, Pak Anies menjawab. Maka, dari komunikasi 2 arah ini Pak Anies mendapatkan hal-hal baru yang terjadi di lapangan. Desak Anies dilakukan di banyak kota di Indonesia sehingga baginya ada hal baru yang didapatkan di setiap kota tergantung latar belakang dan kondisinya. Desak Anies juga mengusung tema tertentu sehingga pembahasan di satu daerah dengan daerah yang lain bisa berbeda. Misalnya, Desak Anies Yogyakarta mengusung tema pendidikan sejalan dengan banyaknya kampus di Jogja dan julukannya sebagai kota pelajar. Berbeda lagi dengan di Samarinda, pertanyaan yang banyak ditanyakan adalah mengenai pertambangan, IKN, dan sumber daya alam. Desak Anies bukan sekedar menjawab alakadarnya, tentunya Pak Anies tetap belajar sebagai persiapannya.
Bagiku, dengan Desak Anies aku jadi melihat sosok pemimpin yang cerdas, cara menjawab dengan tenang, public speaking yang tidak diragukan, visi misi yang jelas, tetap bisa bercanda dan tidak selalu serius, menerima saran dan kritik. Bagiku, sejak kampanye Pak Anies telah menunjukkan gerakan perubahan dengan adanya Desak Anies.
Dengan Desak Anies kita jadi memiliki gambaran bagaimana jika nantinya Pak Anies menjadi presiden sehingga kita bisa membandingkan ide pikiran dari setiap pasangan calon. Kampanye ini merepresentasikan bagaimana sikap Pak Anies nantinya.
Tentu tidak semua jawaban Pak Anies akan sesuai dengan penanya namun dari sini Pak Anies mengajarkan bahwa
pemilih memiliki kesempatan membandingkan calon dengan dirinya karena pemilih akan mencari mana yang lebih sesuai dengan dirinya.
Benar, sesuai dengan pendapatku yang tidak sejalan dengan ide pencegahan stunting pasangan calon sebelah.
Oiya, menariknya lagi banyak relawan yang bermunculan dengan karya-karya keren, unik dan kreatif mereka demi perubahan yang lebih baik.
Calon Presiden No. 2 : Prabowo Subianto
Ini adalah kali keempat Pak Prabowo mengikuti pilpres di tahun 2009, 2014, 2019, 2024. Pada pilpres 2009 Pak Prabowo menggandeng Megawati Soekarno Putri. 2014 bersama Hatta Radjasa. 2019 maju lagi menggandeng Sandiaga Uno dan 2024 seolah mencoba peruntungan lagi maju bersama Gibran Rakabuming Raka. Menariknya, Gibran adalah cawapres termuda pertama. Ia merupakan anak dari presiden ke-7, Joko Widodo. Gaya kampanye Pak Prabowo seperti pada umumnya namun dalam kampanyenya seringkali ia mengundang tokoh politik ternama dan atau artis atau influencer papan atas. Pak Prabowo yang tumbuh sebagai pejuang militer dan dikenal tegas dalam berorasi, dalam kampanyenya kali ini tak jarang ia menunjukkan gaya bergoyangnya di atas panggung. Pak Prabowo membawa visi misi melanjutkan dan menyempurnakan program di era Pak Jokowi.
Pada bagian Pak Prabowo aku menyoroti bahwa sedikit sekali wawancara Mba Nana dengan beliau. Berbeda dengan Pak Anies sebelumnya. Bagaimana dengan Pak Ganjar? Nanti aku ulas. Ternyata bukan aku yang merasakan demikian, dalam komentar juga tak sedikit yang berpendapat demikian bahkan merasa resah apabila sosok pemimpin ini tidak cukup dekat dengan rakyat kecil, bagaimana ia mampu menyejahterakan mereka?
Calon Presiden No. 3 : Ganjar Pranowo
Jujur aku baru benar-benar tahu model kampanye Pak Ganjar dari sini. Bukan sekedar blusukan biasa, namun seringkali ia menginap di rumah salah seorang warga. Ia meminta timnya untuk mencarikan rumah di desa, itu syarat utamanya. Warga desa tentu tidak ada yang membayangkan bahwa akan kehadiran mantan gubernur Jawa Tengah ini di rumahnya. Dengan menginap ini, ia seolah melakukan open house dengan warga sekitar sehingga terjadi komunikasi dan interaksi 2 arah yang memunculkan problem warga. Mengikuti kampanye Pak Ganjar, Mba Nana juga mendapatkan kesempatan untuk mewawancarainya.
Aku setuju dengan pendapat beberapa orang di kolom komentar,
"Jika dalam kampanye saja jarang melakukan diskusi terhadap warga negara atau dalam hal ini rakyat kecil bagaimana mungkin ia akan mengajak diskusi dan mendengarkan rakyat setelah menjadi presiden?"
Aku tidak ingin menyudutkan, tapi ada dalam pikiran,
"Lantas apa yang memotivasi untuk pantang menyerah maju lagi keempat kalinya dalam pilpres, Pak? Apakah benar-benar ingin menyerahkan harta, jiwa, raga untuk bangsa seperti yang sering Bapak katakan?"
Ah, entahlah.
Sampai hari ini, perolehan presentase terbesar ada pada pasangan nomor urut 2 yaitu Prabowo dan Gibran. Mudah-mudahan Indonesia bisa lebih baik untuk seluruh rakyat, bisa membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar. Allah, bersamai kami.
1 note · View note
rezaadipraya · 2 months
Text
Sejak pertama kali dapat mengikuti pemilihan umum/pemilu (pemilihan presiden/pilpres) pada tahun 2009; saya hanya sekali merasakan berada pada kubu pemenang yakni pada tahun 2009 tersebut, sisanya saya berada pada kubu yang kalah, termasuk sekarang.* Dan sudah tentu ketika menemukan hasil pemilu yang tidak sesuai harapan timbul rasa sakit. Tetapi buat saya, hal itu lebih baik daripada berada pada sisi yang buruk dalam Demokrasi di Indonesia.
Pada pemilu tahun 2014 dan 2019, pada pilpres saya mendukung bapak Prabowo. Apa alasannya? Apa karena beliau seorang patriot, gemoy? Tidak! Jawabannya sekali lagi, karena Saya tidak ingin berada dalam sisi buruk Demokrasi di Indonesia. Sebab bagi saya pemilu (pilpres) seharusnya menjadi ajang adu gagasan, adu program. Bukan pertarungan kebaikan melawan kejahatan atau pahlawan versus penjahat.
Saya mengenal sosok bapak Joko Widodo (Jokowi) dari kawan seangkatan sewaktu kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Kawan saya ini merupakan duta wisata Solo ketika itu. Kawan ini bercerita bahwa Walikotanya berhasil "memindahkan" pedagang kaki lima ke sebuah pasar tanpa kekerasan. Hal itu tentu menarik perhatian saya, apalagi saya tinggal dan besar di Jakarta, yang mahfum dengan penggusuran dan pengusiran, baik pemukiman maupun pedagang kaki lima.
Tahun 2008, majalah Tempo memuat 10 Pemimpin Daerah dengan kinerja inovatifnya, salah satunya Jokowi; sisanya ada mantan Bupati Sragen bapak Untung dengan kebijakan yang mirip PTSP sekarang, Herry Zudianto (Walikota Jogja), Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar), Djarot Saiful Hidayat (Walikota Blitar), Awang Faroek (Bupati Kutai...) dsbnya. Dan...semua cerita soal kesuksesan Jokowi menemukan pencerahan tatkala saya mencuri dengar diskusi dosen fisipol Undip. Salah satu dari dosen ini berkata bahwa kesuksesan Jokowi di Solo tidak dapat dilepaskan dari sosok pendampingnya, siapa? Dialah FX. Rudy (Wakil Walikota Solo). Oiya, diskusi ini muncul sebab kala itu mendekati momen pemilihan walikota Solo, dan Jokowi akan maju kembali sebagai calon walikota/cawali berpasangan dengan FX.Rudy sebagai calon wakil walikota/cawawali. Kembali menyoal FX.Rudy, beliau dikenal sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) cabang Solo. FX. Rudy sebagai kader PDIP yang tumbuh dari bawah, menurut dosen tersebut; tanpa campur tangannya untuk "mengkondisikan" para preman, maka usaha memindahkan pedagang kaki lima (PKL) ini tidak akan berhasil, sehingga kredit seharusnya ada pada Pak Rudy. Apapun itu, pasangan Jokowi dan Rudy berhasil menang pada pilwalkot Solo 2010 dengan persentase kemenangan sebesar 90%!
Semua terlihat normal sampai ketika negara api menyerang; yaitu, Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2012. Pilgub 2012 membuka krisis demokrasi sampai hari ini. Apakah Jokowi tidak boleh menjadi Gubernur? Tentu boleh, karena haknya dijamin oleh hukum. Namun, tidak etis rasanya, seorang yang terpilih kembali untuk periode kedua sebesar 90% ditarik menjadi Gubernur Jakarta. Selain itu, PDIP sebagai partai pengusung tentu memiliki kader-kader yang mumpuni. Dan, kejanggalan soal Esemka.
0 notes
sekotakcokelat · 2 months
Text
LIKA-LIKU PEMILU
Ada dua kali pemilu yang saya cukup inget peran saya di dalamnya selain nyoblos. 2014, waktu masih kerja di ahensi, dan 2024, waktu udah kerja di tempat lain yang 'mengharuskan pekerjanya bijak berpolitik'.
2014 sebagai anak ahensi, pekerjaan saya sebenernya nggak berhubungan sama politik. Nggak megang klien di bidang itu. Tapi karena satu dan lain hal, nyaris kami semua sekantor diminta terjun. Nggak eksplisit diminta mendukung paslon tertentu sih, tapi ya.... paham aja lah ya 😌.
Kenapa saya ingat dan peduli, karena di pilpres 2014 itu cukup memberikan pengaruh secara langsung untuk kehidupan saya. Gara-gara harus nontonin debat capres dan membuat report insightnya, saya jadi harus pulang melewati tengah malam! Naik taksi sih dan bisa direimburse... tapi horornya itu loh 😭 Horor selain jurig.
Pilpres 2014 juga yang membuka mata saya bahwa agenda setting itu juga ternyata berlaku untuk media sosial. Kirain untuk media massa resmi aja ada begituan.
10 tahun kemudian, alias tahun ini, pilpresnya rame lagi. Ada 3 paslon dan untungnya udah bisa nonton debat sambil leyeh-leyeh di rumah.
Tapi, di tahun ini, justru tingkat gereget mengarah ke muak semakin bertambah. Kayak..yaampuuunnnnn segitunya banget sih pengen berkuasa ('lagi')! Mau 'kritik' terbuka di socmed, tapi sieun 'ditegur' heu.
Saya lupa 2014 ada nyoblos lagi selain capres nggak, tapi di tahun ini ada 5 kertas suara. 2019 udah banyak juga sih kalo nggak salah.
Nggak penting sih seberapa banyak atau 'perwakilan' apa aja yang harus dipilih, melainkan informasinya.
2024, selain capres, kita diminta memilih perwakilan untuk di DPR RI, DPRD Prov, DPRD Kota/Kab, dan DPD. Meski media kampanyenya bikin sampah visual di mana-mana, itu nggak informatif! Ada siih..web bikinan sukarelawan (?) yang memuat data caleg-caleg berbagai tingkat tadi untuk se-Indonesia Raya. Tapi untuk di kota tempat saya tinggal....
...nggak ada info apa-apa tentang calegnya. Selain nama partai sama nomor urutnya.
Sehingga malam sebelum pencoblosan, saya gugling sendiri beberapa nama caleg yang 'kayaknya pernah denger'. Ada nama caleg yang dikenal tapi track recordnya nggak bagus, atau track record bagus tapi ngasih 'serangan tumblr', skip.
Hasil gugling ini lumayan mengejutkan karena emang saya ambilnya dari hasil pencarian berupa 'berita'. Ada yang ternyata pernah berkasus karena dianggap nyerobot lahan tambang, ada yang berkasus karena menggunakan lahan ilegal, bahkan ada yang keluar hasilnya sebagai 'mantan napi korupsi'. Mantan napi. Korupsi. Terus bisa nyaleg lagi? Yakin udah tobat tuh nggak akan korupsi lagi? Nggak korupsi tapi kolusi atau nepotisme, pret!
Saya yakin, hasil pemilu tahun ini nggak 'penuh kecurangan' seperti 5 tahun sebelumnya. Kan kerja kerasnya udah lama banget, ngelibatin banyak pihak lagi. Masa gagal 😌 Masa curang, selisihnya jauh kok 😌.
Supaya nggak nyinyir-nyinyir amat, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan lesson learned yang didapat dari proses 'pesta demokrasi' ini.
1. Kalo pengen sesuatu, usaha terus. Pantang mundur. Gimana caranya sampai dapet pokoknya. Tapi ya kalo masih waras, harusnya pakai cara-cara yang halal, nggak melanggar hukum (atau maksa bikin hukum baru), dan nggak melanggar etika. Dan kalo masih waras juga, yaudah sih legowo aja kalo nggak dapet yang diinginkan. Siapa tau diganti sama yang lebih baik. Atau lagi dijauhkan dari keburukan.
2. Kalo udah dikasih satu tanggung jawab, kerjain dengan baik. Sampai masa tanggung jawabnya selesai. Dinyinyirin? Biarin. Nggak diapresiasi? Nggak papa. Yang penting tetep di koridornya, tidak melanggar hukum dan kalo bisa tidak melanggae etika juga. Mencari win win solution. Pada akhirnya, suatu saat akan ada yang sukarela menceritakan kinerja kita.
3. Tetep jadi orang baik, tetep memegang integritas, dan tetep (berusaha) positive thinking.
Sekian.
0 notes
bogorexpose · 3 months
Text
Ganjar Tampil Sempurna Saat Debat, TPC Kota Bogor Yakin Nomor 3 Menang Pilpres
BOGOR – Ketua TPC Ganjar-Mahfud Kota Bogor Andri Saleh Amarald mengatakan, debat Capres kelima Pilpres 2024, Minggu malam, 4 Februari 2024, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo lebih agresif dibanding dengan capres lainnya. Ganjar bahkan menyinggung dinasti politik demokrasi di Indonesia. Selain itu, Ganjar juga mengungkit debat capres 2019 lalu, yang di mana Jokowi mengingatkan jangan pilih…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
seagull98 · 3 months
Text
Pilpres.
Bukan timses makanya nilai paslon capres & cawapres se-lalaunan itu skrang. Gk seperti 2019 karna yg ikut itu pertahanan vs oposisi. Tahun ini semua baru, terkecuali program/visi/misi-nya ada yg memihak kepada keberlanjutan dengan perbaikan untuk menjadi lebih baik dan juga perubahan untuk menjadi lebih baik.
Belajar dari 2019, ngerasa apapun yg jelek dari paslon yg di dukung selalu di gubris tanpa di cari tahu terlebih dahulu, karna mungkin sudah merasa pilihannya yg terbaik pada saat itu. Tpi skrang, karna sudah ada kurang sreg dengan ketiga-nya makanya semua baik buruknya bisa diterima. Dari proses nyortir itu banyak yg bikin ketawa karna, ohh politik emang bener selucu ini. Gk ada tuh yg gk makan ludahnya sendiri di dunia itu, semua demi hausnya mereka sama kekuasaan.
0 notes
kbanews · 1 year
Text
Jadi Ikon Perubahan, Sang Alang #2019 Ganti Presiden Dukung Duet Anies-AHY di Pilpres 2024
JAKARTA | KBA – Penyanyi #2019 Ganti Presiden, R Mardi Hardjopno atau akrab dikenal dengan panggilan Sang Alang menilai duet Anies Rasyid Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai pasangan ideal di Pilpres 2024. Dia melihat kedua figur ini mewakili jargon perubahan dan perbaikan yang diusung Partai Demokrat, salah satu partai pengusung Anies di Koalisi Perubahan. “Sosok perubahan adalah Anies…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
ridloaulia · 3 months
Text
On Presidential Debate, On Democracy, and On Ethics
Suatu hari di tahun 2018, salah satu dosen saya, Pak Luthfi, masuk kelas lalu berdiri sambil menyandarkan badannya ke meja, menghadap kami, lalu beliau misuh-misuh soal penyelenggaraan debat pilpres 2019:
“Ngapain debat pilpres ada iklan-iklan segala. Pembukaannya panjang banget. Debat pilpres itu harusnya satset. Bukan malah ajang dapetin sponsor dan iklan.”
Pak Luthfi lalu melanjutkannya dengan cerita debat pilpres di Amerika dan Inggris. Bagaimana penyelenggaraannya full non-stop 3 jam tanpa iklan, tanpa pembukaan bertele-tele, dan saling serang argumen. Saya mulai membayangkan juga seharusnya debat itu seperti apa.
Bagian 1: On Presidential Debate
Selalu, di kepala saya, debat itu seperti di dalam program Mata Najwa. Tidak kaku, saling bantah argumen, bahkan saling tunjuk-menunjuk. Memberikan posisi jelas dan memberikan logika hebat tentang kesalahan lawan. Moderator bukan hanya melempar pertanyaan, tapi ikut memanaskan suasana dengan berulang-ulang melakukan re-check, klarifikasi, bahkan bisa sampai memberikan bantahan kepada jawaban peserta. Bayangkan, bahkan moderator membawa data sendiri! Kenapa? karena, kita harus sama-sama setuju, bahwa fungsi debat adalah “menguji” argumen. Poin 1: Debat bukan hanya ajang kampanye. Kalau cuma ingin “menyampaikan gagasan”, di baliho saja cukup, satu arah. Tapi fungsi debat justru, yaa, debate. 
Sampai debat 2024 ini, saya masih bingung untuk apa fungsi moderator debat. Saya membaca di salah satu komentar sosmed, “Kalau cuma bacain soal, tukang becak pun bisa.”. Mungkin ada yang bilang, fungsi moderator untuk menjadi pengatur suasana supaya tetap tertib. Betul, memang ada tata tertib acara. Betul juga, memang moderator berkali-kali menjadi penenang suasana, mengangkat tangan lalu bilang “tolong supporter untuk tetap tenang”. Tetapi saya bertanya, lalu apa? jika sudah ada tata tertib, lalu dilanggar, lalu apa? akan lebih “beneran” jika moderator sampai berkata “ok silakan anda yang baju hijau di pojok sebelah situ untuk meninggalkan ruangan ini karena saya anggap berisik dan mengganggu.”, walau saya yakin mustahil bagi moderator kita melakukan hal tersebut. Poin 2: Kalau moderator hanya membacakan pertanyaan, mending Mehdi Hairi saja, kawan saya yang juga seorang jurnalis. Saya juga setuju jika debat pilpres lebih baik tidak dihadiri penonton. Kehadiran penonton di lokasi debat bukan hanya mengganggu acara debat secara keseluruhan karena riuhnya dukungan (dan ejekan), tapi juga mengganggu capres karena, dengan sendirinya, para capres akan merespon kondisi debat sebagai “ajang pertunjukan”. Mereka berlagak seperti penari sirkus di bawah lampu sorot. Mereka akan menyadari bahwa gerak-gerik, dan bahasa mereka either membangkitkan semangat pendukung di lokasi, atau mengejek pendukung lawan. Acara ini jadi ajang seru-seruan untuk dapat riuh tepuk tangan pendukung, bukan lagi fokus gagasan. Sebagai juri demokrasi, kita seharusnya merasa dilecehkan dengan gelagat capres yang menjadikan debat sebagai panggung tari. Nasib hidup mati kita ada pada ide, visi, gagasan, dan janji mereka, sementara mereka beretorika dan bergoyang untuk mendapatkan tepuk tangan massa. Poin 3: Debat bukan acara sirkus.
Sama seperti kebingungan saya kepada fungsi moderator, fungsi panelis pun membuat saya bingung. Dibacakannya setiap nama panelis. Saya kira nama besar mereka akan menjadi “penguji” atas besarnya gagasan para capres. Sayangnya mereka hanya dijadikan asisten sulap untuk mengambil bola undian saja. Betul, mereka yang membuat pertanyaan, namun pengujiannya di mana? disebut panelis bukannya justru untuk menguji? sangat disayangkan kita memiliki nama-nama besar sebagai panelis, namun “pengujiannya” hanya dilakukan di dalam hati masing-masing panelis. Kita tidak akan pernah tahu “jawaban ideal” yang ada di kepala para ahli tersebut sebagaimana mereka merumuskan pertanyaan untuk capres. Lagi-lagi, akhirnya panelis ini hanya menjadi asisten cantik pesulap yang tugasnya hanya menambah bumbu formalitas dan elegansi di panggung pertunjukan semata.
Bagian 2: On Democracy
Ini sudah menjadi keresahan saya sejak pilpres tahun 2019. Bahwa dari dulu, kita terjebak di dalam Procedural Democracy. Kita pikir, hanya dengan ajang pemilu setiap tahun menjadikan kita negara yang demokratis. Awalnya saya selalu berusaha memaklumi kondisi ini karena “kita adalah negara muda” jika dibandingkan dengan demokrasi Amerika Serikat yang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Namun mungkin kali ini saya harus berhenti memakluminya. Karena, jangan-jangan, elit kita sudah bertransformasi untuk, justru, menjadikan “demokrasi” sebagai alat hegemoni agar bisa terus melanggengkan kekuasaan. Lihat saja bagaimana jawaban Prabowo ketika ditanya soal politik dinasti, “ya kita kembalikan ke rakyat, jika rakyat tidak setuju, tidak perlu pilih kami.”. Begitulah bagaimana demokrasi kita diolok-olok. Yang penting “rakyat yang memilih” itu satu-satunya tolak ukur demokrasi bagi mereka.
Sudah bosan juga saya memikirkan bagaimana pluralitas ide tidak berhasil tercermin dalam partai politik kita. Bagaimana antarsatu partai dengan partai yang lainnya, gagasannya sama-sama saja. Tahun 2019 saya pernah bertanya di acara forum bersama salah satu partai, mempertanyakan mengapa dari banyaknya partai politik kita, “ideologinya” hanya itu-itu saja, antara Nasionalisme atau Islamisme. padahal, makna demokrasi adalah kebebasan dalam bergagasan. Jika melihat politik di Amerika atau Inggris, kita akan menemukan bahwa antarpartai bukan hanya beda gagasan, namun juga beda pemahaman, sampai berbeda ideologi. Mereka yang ingin konservatif akan bertarung habis-habisan dengan progresif. Mereka yang ingin ideologi kristen habis-habisan bertarung dengan ideologi sekularisme. Mereka yang pro lingkungan akan bertarung habis-habisan dengan yang pro-industrialisme. Karena itu adalah substansi dari demokrasi. Demokrasi adalah “Arena”, bukan hanya prosedur. Dari Chantal Mouffe, ketika “arena perbedaan gagasan” itu tercipta dan berkontestasi, maka dengan sendirinya kita akan mencapai hasil terbaik. Senada dengan teori dialektika Hegel. Namun jika dari awal semuanya sudah homogen, sepakat, maka kita tidak akan bisa kemana-mana lagi. Saya masih tepok jidat dengan capres yang “saya setuju dengan pendapat anda”, lalu untuk apa saya harus memilih jika antarcapresnya memiliki ide yang sama. 
Itulah mengapa, fenomena merapatnya Prabowo ke pemerintah pasca pilpres, berkoalisinya partai-partai yang dulu bersebrangan, menunjukan betapa buruknya kualitas demokrasi kita. Ini menunjukan bahwa mereka bukan membawa “gagasan”, tapi mereka berkompromi untuk mencapai kekuasaan. Karena jika memang betul membawa gagasan, mereka seharusnya berani mati untuk gagasan itu pula. Terdengar sangat idealis, namun cukuplah bagi kita untuk memaklumi semua omong-kosong soal politik yang fluid. 
Bagian 3: On Ethics
Kita terlalu takut untuk berbeda. Mungkin ada yang berpendapat bahwa “lebih baik sama saja, lebih adem, lebih tentram.”, atau “kalau memang bagus, kenapa harus berbeda”. Saya kira ini adalah mentalitas kita saat ini. Terlihat “baik” karena memang budaya kita seperti ini. Maka harusnya kita jujur kepada diri kita sendiri, bahwa kita belum siap menjadi negara demokratis. Bagaimana bisa kita menamai diri kita demokratis tetapi alergi terhadap perbedaan. Lihat saja, betapa alerginya masyarakat kita terhadap “ideologi lain”. Padahal, dalam demokrasi, keterbukaan sebesar-besarnya atas perbedaan justru menjadi amunisi atas terciptanya dialog yang berkualitas. Kenapa? karena ketika kita membuka ruang perbedaan, justru di situ kita akan mampu memilih, berdebat, memutuskan, yang mengasah pola pikir individu kita agar lebih tajam dan kritis. Kita bisa melihat bagaimana FPI dilarang, buku karl marx diberangus, dan dialog-dialog mahasiswa dibubarkan. Sudah, jujur saja, memang kita secara sistemik (yang akhirnya memengaruhi pola pikir individual kita) menolak adanya perbedaan. (begini saja, jika dalam pikiran kita masih alergi ketika mendengar “komunisme”, maka kita masih anti terhadap perbedaan. Padahal dalam demokrasi, semua diperbolehkan memilih. Jika tidak setuju, silakan berdebat, pertajam data dan fakta, lalu tunjukan bahwa ideologi saya yang terbaik. selesai. bukan “komunisme”nya diberangus oleh aparat)
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Tan Malaka dalam Madilognya. Harusnya kita menyampingkan terlebih dahulu nilai-nilai baik-buruk. Melainkan kita uji dengan dialog rasional-materialistik. Sudah cukup bagi kita menjadikan istilah “kita adalah masyarakat yang memiliki budaya timur” sebagai tameng atas ketidakmampuan kita berdialektika. Masyarakat yang maju bukan yang berdiam diri, tapi yang berani mengambil langkah progresif, menantang perbedaan dengan gagasan rasionalnya.
Berbicara tentang pilpres, dari dulu sampai sekarang, ya kita begini-begini saja. maka tidak aneh jika ada yang berpendapat “siapapun presidennya, hidup kita ya begini begini saja.” Karena, menurut saya, kita tidak berani mengambil langkah yang berbeda. Bahkan dari gagasan presiden, semuanya hampir sama-sama saja. yang membedakan adalah prioritasnya saja. Ketidakberanian kita melakukan bid pada perbedaan membuat kita tidak beranjak ke mana-mana. Coba kita lihat dari perbedaan Biden dan Trump. Bagaimana setelah banyaknya perang di zaman Obama, trump yang berseberangan dengan Obama langsung menyetop segala jenis perang fisik di luar Amerika. Ia menarik tentara-tentaranya di timur tengah setelah puluhan tahun berada di zona perang. Lalu memberikan gagasan kontroversial soal perbatasan Amerika-Mexico. Ketika Biden terpilih, yang juga kontras dengan Trump, Amerika kembali melakukan agresi militer. Konflik polandia-rusia, palestina-israel tidak terelakan. Lihatlah bagaimana perbedaan presiden membawa perbedaan yang sangat besar. Namun yang perlu kita lihat, keberanian melakukan Bid atas perbedaan itu justru membawa Amerika Serikat menjadi yang seperti sekarang kita lihat, leading. Selalu, High Risk-High Return. Jika kita masih menjadi negara yang bermain aman, selamanya kita hanya akan di sini-sini saja. 
ps: perbedaan pandangan soal IKN pada pilpres perlu diapresiasi. itu yang sebenarnya ingin saya lihat dari capres kita. berani berbeda. 
0 notes
soedagoeng · 4 months
Text
Ada Sahabat yang bilang, "padahal menunggu review dari ente kayak Pilpres 2019 lalu." Kali ini saye lagi di fase mengamati saja dulu. Energi dan fokus perhatian lagi ke momen 2024 yang lain. Untungnya Sahabat itu mengisi kekosongan itu. Selamat melanjutkan estafet membumikan HI!
Wien, 10.01.2024
0 notes