Tumgik
alvineworld · 5 months
Text
Menyembuhkan Luka,
atau justru sedang berjalan mengukir yang baru?
Banyak ekspektasi, yang ternyata menciderai diri sendiri. Mengikat erat, sebab meronta ingin lepas tapi sulit sekali rasanya. Semakin lama, semakin erat mengikat.
Bertanya-tanya pada malam yang sendu, yang diguyur air berkah dari atas sana, "Apakah ini sebuah langkah yang tepat? Atau hanya secuplik pilihan yang impulsif?"
Angin semakin liar, malam tidak menjawab, membuatku tertidur dalam rasa penasaran dan gundah gulana. Paginya terbangun karena terengah keluar dari petualangan mimpi.
Menghela dan membuang napas, berkali-kali. Melegakan hati, menenangkan pikir, mencoba menyeimbangkan logika dan perasaan yang sedang dominan salah satunya.
Oh Allah, it's hard. Aku tidak tau dan tidak pernah menyangka bahwa ternyata akan seberat ini. Terus aku berbisik, melantunkan Asma-Mu. Menangis dalam sendu.
Menghela dan membuang napas, lagi dan lagi. Hanya ingin tenang, tertidur nyenyak, tanpa harus berlarian dalam petualangan mimpi yang seakan tiada habisnya.
Oh Allah, aku hanya ingin tenang, dan mendapat jawaban,
Apakah aku sedang mengukir luka yang baru?
Bagaimana caranya agar terbebas dari luka ini?
Yogyakarta; tigapuluh dalam sebelas, 2023.
1 note · View note
alvineworld · 5 months
Text
Hampa; dan Mengisi Kehampaan
Hari ini aku baru menyadari,
Ternyata langkah-langkah kecilku yang tertatih itu sudah berjalan sampai sejauh ini. Menembus luka yang begitu besar, bahkan mendarah daging, melekat dalam diri.
Luka yang tidak pernah sedikitpun ada yang menginginkan keberadaannya, tapi ia bersemai dalam tubuhku, berbulan-bulan, bertahun-tahun.
Aku tidak pernah memilih, untuk menjadi siapa dan bagaimana di dunia ini, tapi aku belajar bahwa memang semua ada masanya.
Pola yang berulang, menimbulkan masalah-masalah yang terulang, tak rampung-rampung berputar pada sesuatu yang hampa dan rumpang.
Kadang, kalau boleh saja hanya ingin berteriak, mengapa harus begini dan begitu, mengapa aku yang begitu dan begini. Menyalahkan sesuatu yang tak ada.
Luka yang sembuhnya tidak bisa satu atau dua hari, tiga atau empat bulan, lima atau enam tahun. Bertahun-tahun dan menahun dalam konsistensi.
Sedangkan manusia? Bukankah konsisten adalah salah satu hal sulit untuk dilakukan bagi sebagian besar orang?
Lantas bagaimana sebagiannya terlihat baik-baik saja?
Kita tidak pernah merasa cukup, ataupun dicukupkan oleh kehadiran orang lain di kehidupan kita. Kita juga tidak akan pernah cukup, mengisi ruang hampa milik lainnya.
Ada ruang-ruang kecil tak terjamah di baliknya. Ada serpihan luka yang tersisa, yang tak mampu ditemukan. Ada sebagiannya yang tetap mengendap.
Terkadang, ruang itu membesar dan serpihan itu merobek, yang mungkin menorehkan luka baru, yang hanya bisa disembuhkan oleh kita dan pertolongan dari Sang Pencipta.
Tidak ada orang lain.
Hanya kita, diri sendiri, dan Pemilik Diri.
Ruang itu tersembunyi. Namun sewaktu-waktu muncul menampakkan diri, diinginkan atau tidak.
Kita, dan diri kita, pun Sang Pencipta;
yang benar-benar hanya bisa mengisi kehampaan diri.
Yogyakarta; tujuhbelas dalam sebelas, 2023.
4 notes · View notes
alvineworld · 9 months
Text
Agustus, ya?
Haha. Sudah setahun semenjak kejadian itu.
Kejadian yang selalu ingin dilupakan. Ikhlas, sudah. Rela, sudah. Namun belum benar-benar lupa. Sekelebat memori menyakitkan. Berbayang luka yang ternyata masih membekas rasanya.
Ketakutan tersendiri akan pertengahan Agustus. Bulan yang sudah seharusnya sebagai rakyat Indonesia, kita bergembira. Justru bermuram durja, khawatir akan kejadian yang sudah berlalu lama.
Survive untuk menyembuhkan luka? Jangan ditanya. Berapa ratus sudah menumpahkan air mata, berapa puluh sudah bercerita pada ruang hampa, berapa ribu kali sudah menghela napas panjang, hanya untuk melegakan hati ketika mengingat kejadian itu.
Beratus ribu keluar dari dompet yang semakin menipis. Hanya untuk mengeluarkan tangis yang sesak dan menumpahkan beragam rasa. Mencoba untuk sembuh dan menyembuhkan endapan lara.
Mencoba percaya bahwa ke depannya tidak akan terulang kembali. Meski was-was. Meski akhirnya berapa kali sudah yang kulakukan justru berbuat salah dan memancing amarah. Tuhan, sungguh aku lelah.
Tapi tidak apa,
aku pasti bisa melewatinya,
seperti yang sudah-sudah. Aku pasti bisa.
Yogyakarta; dua dalam delapan, 2023.
7 notes · View notes
alvineworld · 1 year
Text
Semakin ke sini, ego manusia semakin tinggi
Sini bicara begini, sana bicara begitu.
Sebelah sini 'ngoceh' begini, sana 'grundel' begitu.
Yang ini bilangnya begitu, yang itu bilangnya begini.
Benteng ego itu semakin tinggi, menutup, gelap mata. Terpaku pada sudut pandang diri, abai terhadap empati. Inginnya selalu dimengerti, tapi mengabaikan soal simpati.
Kesalahan orang lain terus-menerus dicari, masalah diri sendiri begitu saja dilewati. Untaian kata penuh provokasi, lainnya lagi dibumbui. Kalimat mana yang dipercayai?
Ego yang tinggi membuat manusianya sulit berempati. Sekadar meletakkan sejenak gengsi demi melihat sudut pandang dari lain sisi, seperti terkesan jatuhkan harga diri.
Haha. Manusia itu lucu.
Manusia mana yang mau disalahkan? Manusia mana yang tidak mempertahankan diri ketika ia merasa benar? Manusia mana yang bisa begitu saja mengalah daripada membuat masalah? Manusia mana yang tidak terpacu ketika egonya tersentil barang sedikitpun?
Ada, tapi sebagian (kecil)nya saja.
Coba saja, sedikit ego diturunkan. Mencoba melihat titik masalah dari sudut pandang yang berlawanan. Mencari solusi sebagai fokusnya, bukan mencari kesalahan.
Bukan tidak mungkin, keadaan akan sedikit lebih tenang.
Mengerem sejenak, berhenti sementara, berpikir sebelum berbicara. Ego manusia memang tinggi, tapi bukan berarti tidak dalam kendali diri.
Ada yang lebih utama, yaitu keseimbangan.
Sepertinya benar orang bilang, "Kita punya dua tangan bukan untuk membungkam mulut orang lain. Dua tangan kita cukuplah untuk menutup telinga sendiri."
Menjadi manusia yang bodoamat sepertinya mengasyikkan.
Yogyakarta; limabelas dalam lima, 2023.
8 notes · View notes
alvineworld · 1 year
Text
Orang Bilang, Ini Malam Minggu
Ini Sabtu malam, kataku.
Entah mengapa, rasa-rasanya tak ada beda dengan hari-hari biasanya. Hari-hari penuh tanda tanya atas segala jawab yang tak kunjung bersua dengan titik temu. Hari-hari penuh kesah dan keluh yang tiada berujung. Hari-hari yang mungkin kelabu, terkadang juga biru.
Draft tugas akhir yang menumpuk dalam folder laptop. Segelintir surat-surat persyaratan. Lampiran-lampiran yang belum dipadu-padankan. Ah, kurasa lika-liku mahasiswa akhir yang sudah terlewat masa studi normalnya memang penuh dengan kerisauan. Ambigu.
Tidur tak nyenyak. Makan hanya untuk isi ulang tenaga. Jalan ke sana kemari terasa sempoyongan, punggung seakan berat beban. Merasa bersalah ketika berleha-leha namun gravitasi kasur terlalu kuat menarik tubuh agar tetap berada di tempatnya. Tatapan mata semakin sayu.
Tidak semua begini, hanya sebagiannya. Sebagian yang banyak. Sebagian yang memberontak, ingin cepat lulus namun ada-ada saja kendalanya. Ada saja sederet alasan yang menyatakan kemalasan secara halus. Ada saja kegiatan-kegiatan penting-tidak penting yang (dipaksakan) mendesak.
Ini hanya menggambarkan tentangku, tentangmu aku tak peduli. Jangan tersinggung, aku tak berniat menyindirmu.
Yogyakarta; duapuluh enam dalam sebelas, 2022.
5 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Tuhan, mengapa terasa sulit?
Karena itulah yang dinamakan berusaha.
Tidak akan terasa manisnya jika tak kenal pahit di awalnya.
Tidak akan merasa bahagia jika tak kenal kecewa.
Tidak akan ada suka jika tak pernah merasakan duka.
Belajar bersyukur dan mengendalikan.
Mungkin itu cukup.
3 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Tuhan,
Penuh. Sesak. Tertahan.
Aku hanya.. manusia biasa.
Aku hanya.. ingin kuat, tangguh.
Aku hanya.. ingin dan harus terbebas,
dari segala hal yang membuatku berputar,
pada isi kepala sendiri, pada rumitnya pikiranku.
Aku ingin, menjadi manusia sewajarnya, seperti lainnya.
4 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Masih Tentangmu
Buku hijau itu, tertata rapi di jajaran buku-buku, di rak sudut kamarku. Buku hijau adalah buku tentangmu. Tentang segala rasa yang pernah ada, muncul, dan kunikmati selama hampir satu tahun mengenalmu hingga saat ini. Lucu rasanya, kalau kuingat-ingat kembali. Unbelievable kalau kubilang.
Tertarik hanya karena namamu yang unik. Namun entah mengapa terasa familiar di telingaku, di pikiranku, dan hatiku. Memunculkan secercah perasaan berbunga meski belum tau rupa wajahmu seperti apa dan bagaimana sifatmu. Hanya nama, dua kata waktu itu yang kutahu. Namun nyatanya, setelah kucari lebih jauh, namamu terdiri dari tiga kata dengan tujuh suku kata.
Kupikir-pikir, lucu juga. Bagaimana bisa aku tertarik pada seseorang yang wajahnya pun aku tak tau. Bagaimana bisa aku tertarik sebegitu dalam perasaannya pada seseorang yang hanya berbekal nama saja. Bagaimana bisa, bukannya memudar justru menguat perasaan itu kala bersua? Bagaimana bisa, perasaan itu lebih dulu muncul?
Ternyata kita ada foto bersama, meski aku tak tau kau yang mana. Aku tak tau bahwa dirimulah yang cenderung menjauh dari keramaian dan bermain dengan seorang anak kecil bernama Yahya; yang ternyata ada fotomu bersamanya di galeri fotoku. Entah siapa yang memotretnya, tapi aku sungguh berterima kasih padanya. Karenanya, aku jadi punya fotomu yang langka. Hehe.
Aneh ya?
Tapi, kupikir tidak.
Banyak hal yang kupertimbangkan sebelum akhirnya kuputuskan ambil langkah pertama untuk mendekatimu. Haha iya, aku yang mendekatimu lebih dulu, dengan cara yang tidak begitu terlihat jika aku mendekatimu walaupun tetap terlihat sebegitu mencoloknya. Haha entah deh. Orang bilang, langkahku terlalu grasa-grusu. Orang bilang, perempuan tak boleh maju lebih dulu.
Tapi aku ingin, aku mau, dan aku punya tekad pun pertimbangan khusus untuk itu. Jadi, kuputuskan untuk mendekatimu dengan segala risiko yang mau tidak mau harus siap kutanggung sendiri. Hanya berbekal ketertarikan pada namamu yang akhirnya membuatku tertarik akan duniamu.
Langkah pertamaku; kumulai dari masa laluku yang harus segera kuselesaikan. Selepas itu, memastikan banyak sekali tentangmu yang sempat kutanyakan pada beberapa orang yang sekiranya mengenalmu.
Pendiam, cuek, acuh tak acuh. Menghindari keramaian.
Hal pertama yang sekilas kutangkap dari gerak-gerikmu. Beberapa orang yang pernah kutanyai, mengiyakan itu semua. Namun entah mengapa, aku justru menangkap hal yang berbeda. Dari awal aku tidak mengiyakan jikalau kau begitu. Ada hal-hal dalam duniamu yang kau sembunyikan rapat-rapat dan tidak ingin diketahui khalayak ramai. Duniamu ramai, tapi terlihat sepi.
Langkah keduaku; berencana memulai obrolan di ruang hijau WhatsApp denganmu, tapi berulang kali aku mengurungkan niat untuk itu. Mungkin aku terlalu takut akan responmu. Mungkin juga aku tidak ingin mengusik ketenanganmu. Atau mungkin juga belum cukup keberanianku. Kurasa alasan terakhir lebih tepat.
Sampai pada suatu ketika, ada momen di mana mau-tidak-mau aku harus menghubungi anggota organisasi satu persatu, termasuk dirimu. Haha, senang bukan kepalang. Meski dihantui rasa gelisah pula. Hari itu, kumulai interaksi denganmu melalui percakapan WhatsApp. Aku tak menunggu, namun harap-harap cemas. Waktu itu, foto profilmu duduk sendiri di tepi pantai. Nuansa biru gelap. Selang berapa lama, kau menjawab pesanku. Girang bukan main rasanya, meski hanya berisi percakapan terkait organisasi.
Usai sudah percakapan kita pada hari itu. Aku berterima kasih dan kau ucap sama-sama.
Kupikir tidak akan ada lagi percakapan denganmu. Ternyata hari berikutnya justru kau yang memulainya. Menanyakan terkait informasi rental kamera, yang sebenarnya bisa kau tanyakan ke rekan organisasi lainnya atau temanmu yang lain.
Sebulan yang lalu baru kutahu dari pengakuanmu bahwa itu kali pertamanya kau modus ke perempuan dengan memulai obrolan. “Hahaha, tau nggak Dek, itu pertama kalinya aku modus,” ujarmu sambil tertawa di atas motor saat kita berboncengan di sore hari. Kubalas dengan memeluk erat tubuhmu dari jok penumpang. Oh Tuhan, aku sayang sekali dengan manusia satu ini.
Langkah ketigaku; mengajakmu mengobrol secara langsung. Langkah kali ini bisa dibilang aku cukup nekat. Dulu kita bertemu setidaknya dua kali dalam satu pekan di basecamp organisasi, entah di basecamp awal maupun basecamp saat ini. Lebih tepatnya aku datang setiap hari dan kau yang datang hanya saat jadwal piket. Pertama kalinya kita duduk bersebelahan, pada malam di mana aku bertambah usia ke-22.
Lalu kepindahan ke basecamp baru dan aku yang tak jemu mengajakmu berbicara. Tentang apapun. Aku mencoba mencari tau tentangmu, waktu itu isi Instagram-mu dipenuhi oleh foto kucing-kucing lucu. Kebetulan sekali. Waktu itu kucingku sakit di rumah, kujadikan bahan awal mengobrol denganmu. Aku tahu kau membuat benteng yang tinggi, menanggapiku dengan ramah dan cuek pada saat yang bersamaan. Ada intonasi ramah dalam suaramu, meski terlihat cuek dalam sikapmu. Sungguh, aku menikmati proses itu.
•••
Banyak hal yang terjadi selama hampir satu tahun ini. Usaha dalam mendekatimu yang sempat dua kali terhenti. Namun entah mengapa selalu ada saja jalannya untuk bisa saling sapa lagi, hingga pada akhirnya kita memutuskan untuk saling mengikat janji. Orang menyebutnya dengan 'Komitmen'.
Ada kalanya kita bertukar cerita seru, melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama, bercanda tawa, mengobrolkan hal-hal yang amat-sangat tidak penting sampai penting banget, mengomentari apapun yang terlintas di depan mata, berdiskusi perihal isu-isu terkini, bercengkerama di bawah sepoi-sepoinya pohon rindang atau semilirnya angin di bawah atap gazebo, dan berbagai aktivitas menyenangkan lainnya yang pernah kita lalui bersama.
Sederhana, simpel, namun seru dan berkesan ketika bersamamu.
Pun ada kalanya kita yang tak saling bertegur sapa, bertengkar karena suatu hal, beradu argumen, kesalahpahaman dalam berkomunikasi, bersilat lidah mempertahankan pendapat masing-masing, ego yang sama-sama sedang berada di puncaknya, dan kita yang acap kali bertengkar karena rindu.
Orang bilang, hubungan tanpa pertengkaran itu tidak seru.
Bukan berarti selamanya harus bertengkar selalu. Hanya saja memang ada kalanya masa itu tiba. Pertengkaran yang membuat semakin dekat, adu pendapat yang semakin membuat erat, cekcok yang semakin membuat satu sama lain saling mengenal lebih jauh lagi. Itu yang kutemukan dalam kita,
Ketenangan dan keramaian yang menjadi satu.
Terlepas dari itu semua, aku mengagumimu, menghormatimu, menyayangimu, dan mencintaimu, tentu saja kuusahakan untuk selalu. Aku mengagumimu, ketika kau berbicara kepadaku, padu-padan kalimat yang terasa merdu. Aku menghormatimu, ketika kau menjelaskan berbagai hal yang seharusnya dan tidak seharusnya kulakukan, tutur kata yang indah masuk ke telinga dan relung hati. Meski terkadang butuh waktu bagiku untuk menerimanya.
Aku menyayangimu, ketika pundakmu siap sedia menampung air mataku, ketika jemarimu mengusap wajah dan pipiku gemas, ketika tatapanmu meneduhkanku, ketika genggaman tanganmu menguatkanku, ketika anggukan kepalamu meyakinkanku, ketika pertanyaan, “Kenapa, Dek?” dan tatapan penuh cintamu terasa menghangatkan hatiku.
Aku mencintaimu, tanpa harus kujelaskan panjang lebarnya, tanpa harus merangkai kata-kata gombalan untuk menjelaskan padamu, tanpa harus berbusa mengatakan “I love you” satu jam sekali.
Aku mencintaimu dan aku tau kau pun begitu.
Satu lagi, aku suka memandangimu, dari jarak dekat maupun jauh. Aku suka melihatmu tersenyum dan tertawa, memperlihatkan dua lesung pipimu yang menggemaskan. Ganteng. Aku akan tetap mengatakan itu pada dunia meski kau justru bersikeras tak setuju.
Ini kali pertamanya aku menulis panjang menceritakan tentang seseorang di laman Tumblr-ku. Sekian dan terima kasih!
Yogyakarta; duapuluh sembilan dalam sembilan, 2022.
5 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Journaling; still about you.
Dini hari kali ini entah mengapa terasa riuh sekali isi kepala. Ingin membaginya denganmu tapi apa daya, emosi sedang penuhi ruang kepala dan kita yang mungkin sedang tidak baik-baik saja. Meski aku acap kali berdo'a agar kau sehat selalu dan harap untuk kita bisa berbincang mesra lagi.
Dini hari, diiringi dengan lagu Fiersa Besari dan Prinsa Mandagie yang berjudul Melawan Hati, yang cukup hanya tiga baris pertamanya saja.
Jam dua pagi dan aku masih terjaga
Ingin menghubungimu tapi tidak tahu
Harus berkata apa?
Jemariku selalu mengetik di ruang pesan pribadi kepadamu. Mengetik, hapus, mengetik lagi, hapus kembali. Begitu selama beberapa kali. Tanda centang satu masih tertera pada pesan yang kukirim sebelumnya. Pun centang dua tanpa balas pada dua pesan yang kukirim sore harinya.
Menilik ruang galeri, terus menggulirkan ke bawah pada kenangan kita yang terabadikan dalam foto. Setiap foto yang memiliki kisahnya tersendiri. Manis untuk dikenang, lucu untuk ditertawakan, terkadang pun menjadi bahan ledekan, lalu akhirnya terciptalah obrolan menyenangkan.
Kala bertemu, di keramaian, kau selalu bisa menemukanku, begitupun aku padamu. Kala bertemu, dalam kerumunan orang, kita selalu punya kode tertentu ketika membicarakan sesuatu. Kala bertemu, dalam hening sunyi senyap, kau dan aku menjadi kita pada abstraknya tanpa suara.
Orang melihatnya ambigu, tapi begitulah kau kepadaku. Orang melihatnya kaku, tapi begitulah aku padamu. Pun, orang melihatnya sebuah satu, tapi begitulah kita.
Saling menemukan, meski tak pernah saling mencari.
Bagaimana bisa semua ini tentangku, realitasnya isi kepalaku adalah kamu, masa depanku, dan skripsiku. Bagaimana bisa tak pernah berpikir tentangmu, kalau pada kenyataannya 24/7-ku hanya seputar kamu dan kita. Bagaimana bisa aku tak ingat padamu, jika do'a yang kupanjatkan adalah nama indahmu.
"Jam dua pagi dan aku masih terjaga,"
ingin tertidur, dengan memeluk erat namamu.
Bumi Yogyakarta; duapuluh satu dalam delapan, 2022
6 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Memberanikan Diri untuk Menulis (Kembali)
Tumblr media
Aku kembali,
dengan riuh rendah sorak-sorai isi kepala, dengan derai tawa pun derasnya air mata, dengan pening dan samarnya tatapan mata, dengan dengungan kalimat-kalimat yang tiada habisnya berputar di telinga, berulang-ulang melantangkan hal serupa. Sesak, tak berdaya.
Aku kembali,
bukan untuk mengisi dengan bahagia maupun kecewa, senang maupun sedih, lega maupun khawatir. Aku ingin mengisinya dengan sejumput rindu yang tiada habis.
Aku kembali,
hanya untuk berbagi riuhnya isi kepala, ramainya dengung suara di telinga, hiruk-pikuknya semesta yang kupunya. Ribuan kata yang menjejali pikiran sehari-hari.
Aku kembali,
membawa luka, penyesalan, dan perasaan istimewa yang entah sejak kapan sudah bertumbuh menjadi sebesar ini. Mempelajari bagaimana caranya percaya dan dipercaya.
Aku kembali,
ingin menyapamu lagi, melihat senyumanmu kembali, gelak tawa yang kurindu setiap malamnya dalam komunikasi via suara, lembutnya tutur katamu tatkala menasehatiku.
Things I wanted to say but never did.
Banyak yang ingin kuceritakan, banyak yang kupendam, banyak yang terjadi dan ingin sekali kubagikan hanya denganmu, di bawah rindangnya pepohonan, atau berteman dengan deru ombak lautan, atau sekadar duduk berdua menikmati senja dan cemilan sederhana.
Aku ingin bercerita pada teduh tatapmu, pada manis senyummu, pada lembut sikapmu. Aku ingin mendengarkan dan menyimak seksama setiap kata yang teruntai indah dari bibirmu. Aku ingin menjadi pendengarmu yang nomor satu. Aku ingin menjadi tempatmu pulang, sebuah rumah, lagi.
Meski terakhir bersua, amarah memenuhi sorot mata. Segala keluh kau ucapkan, segala kesah kau sebutkan satu persatu, dengan emosi yang menggebu. Aku terdiam, menatap matamu lama, menunduk dalam-dalam. Air mata tertahan. Hati seperti teriris pisau. Betul, sakit sekali.
Meski jauh lebih sakit segala hal yang kau rasakan.
Kuharap masih ada waktu untuk mengatakannya kepadamu, meski lidahku kelu, bibirku bungkam, suaraku tercekat, yang ada hanyalah air mata menderas tak terbendung. Betapa mengatakan "aku sayang padamu dan tak pernah ingin kehilanganmu" adalah sesuatu yang berat untuk terucap.
Bukan karena tak ingin, aku yang tak terbiasa mengungkapkan cinta, aku yang tak pernah tau bagaimana menunjukkan rasa suka, aku yang masih gagu dan lugu dalam menyayangimu. Benar aku mencintaimu. Benar aku menyayangimu. Benar aku menyukaimu.
Hampir pukul dua dini hari, libur,
dalam pikiranku hanya ada kamu,
dalam hati hanya terisi penyesalan,
linglung, tanpa harap, tapi hidup.
Dalam garis waktuku, aku hanya ingin kamu.
Bumi Yogyakarta; duapuluh satu dalam delapan, 2022
10 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
day #2; wacana self-love yang harus segera terealisasi
Beberapa waktu lalu, perihal self-love menjadi perbincangan serius-tapi-asik dengan seseorang. Bermula dari kegelisahanku menghadapi berbagai to-do-lists yang seabrek. Kegiatan Ramadhan berkaitan dengan anak-anak maupun remaja yang ku-handle, jadwal-jadwal, undangan, input data masyarakat kalurahan, belum lagi revisi proposal skripsweet, ditambah ekspektasi orang-orang di sekitar.
Tumblr media
Deep talk malam-malam, diwarnai tangis sesenggukanku tentu saja. I had to recharge my energy. Waktu itu kepikirannya cerita ya ke orang ini, orang yang pernah mengalami hal yang sama denganku, bahkan mungkin dengan kadar tanggung jawab yang lebih besar. Meskipun masih dalam konteks lingkup tempat yang sama.
"Belajar buat nolak, Dek. Kamu orangnya nggak enakan sih ya. Jangan semuanya kamu iyain. Kalo kamunya nggak enakan gini, orang-orang bakalan seenaknya sama kamu. Coba sekali-kali kamu tolak dan usulin orang lain aja buat ngerjain. Pasti mereka pelan-pelan juga bisa kok. Jangan trus mikirnya 'Kalo orang lain yang ngerjain pasti nggak akan sebaik apa yang kukerjain', saya dulu kayak gitu dan jadinya capek sendiri,"
"Udah, sekarang gini aja, kamu tuntasin semua yang udah kamu iya-in, jangan nge-iya-in yang lainnya dulu sebelum itu selesai. Dituntasin dulu yang ada."
Tetiba keinget satu baris liriknya Bang Tulus, "Begitu banyak yang sama, latarmu dan latarku". Can relate, tapi semoga ending kisahnya berbeda dengan lirik lainnya dalam lagu yang sama. Memang begitu banyak yang sama perihal latar, mungkin itu juga yang membuatnya begitu memahamiku.
Sehari setelahnya, ia mengirim satu pesan di Instagram, postingan dari sebuah akun, mengenai self-love.
Tumblr media
Memberikan dirimu sendiri apa yang kamu harapkan orang lain berikan padamu.
Ternyata sulit juga. Dulu aku sempat merasa sudah cukup dalam proses mencintai diri sendiri ketika aku bisa beristirahat cukup, melakukan hal-hal yang kuinginkan, bahagia dengan keadaan saat ini yang kupunya, membahagiakan orang di sekitar kita, bermanfaat bagi orang lain, dan banyak lainnya. Namun ternyata ada satu yang terlupa, tidak memperhatikan kesanggupan diri sendiri.
Kurasa, kertas kedua yang kuambil acak pada pagi tadi cukup mewakili perasaanku hari ini.
Tumblr media
Jadilah baik, tapi jangan biarkan orang lain memanfaatkanmu. Percaya, tapi jangan sampai tertipu. Merasa puaslah, tapi jangan pernah berhenti untuk meningkatkan (kemampuan) dirimu sendiri.
Seperti judulnya, wacana self-love harus segera terealisasi.
Mrincingan; duabelas dalam empat, 2022
13 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
day #1: duapuluh dalam empat, yang semakin dekat
Bulan April, entah kenapa muncul sedikit rasa khawatir. Mungkin perihal perskripsian duniawi dan ekspektasi orang tua, mungkin perihal tanggung jawab-tanggung jawab yang diamanahkan dan ekspektasi masyarakat, mungkin perihal keberlangsungan hidup sepasang manusia yang merasa yakin-ragu pada saat bersamaan dan ekspektasi darinya.
Mungkin juga tentang target-target yang tertunda pencapaiannya karena suatu dan lain hal yang mendesak-tidak mendesak, penting-tidak penting. Atau mungkin juga tentang riuhnya isi kepala yang masih tidak tau harus ditumpahkan ke mana, mungkin pada udara pagi di persawahan, atau semilir angin di pegunungan, atau debur ombak di pesisir pantai dan lautan.
Aku dan jiwaku lelah, tapi ragaku mencoba kuat.
Pagi tadi, kudapati secarik kertas dari sebuah kotak berwarna merah bermotifkan love, sebuah makna tersirat darinya bahwa itu adalah tanda cinta untuk diri sendiri sepertinya. Saat pertama kali kubuka, ada secarik post-it berisi pesan terkait isi kotak tersebut, berlembar kertas berisi quotes yang belum digunting, dan udara.
"Sebenere ngge kotak motivasi, tapi mergo langgek dikirim proposal, dadi ra sempet nugeli. Wes tak printke, guntingi dewe yo."
"Sebenernya ini buat kotak motivasi, tapi karena (sore) baru dikirim proposal(ku), jadinya nggak sempat motongin (kertas-kertasnya). Udah aku cetakkan, digunting sendiri ya."
Kotak motivasi. Betul, kotak berisikan gulungan atau lipatan kertas berisi kumpulan kalimat motivasi, diambil setiap paginya untuk memulai hari. Aku tertarik dengan hal ini, sewaktu beberapa pekan lalu main ke kosnya. Lalu ia berjanji memberikan kotak motivasi kepadaku. Tadaaa, empat hari lalu kubawa pulang.
Dini hari tadi kusempatkan diri menggunting kertas-kertas itu dan menggulungnya. Paginya, kuambil satu secara acak untuk memulai hari.
Here we go!
Tumblr media
Oke, ini pas banget sama kondisiku saat ini. Kubaca berulang-ulang agar merasuk ke dalam tubuhku.
Sepertinya, berbagai kekhawatiran itu kurasa tidak perlu dipikirkan mendalam. Betul seperti yang tertulis, akan sampai pada fase yang dituju sesuai dengan timeline. Bisa jadi sesuai dengan timeline kita juga, bisa jadi sesuai dengan timeline-Nya saja. Kita hanya bisa bersiap menerima.
Terkait judul pada postingan ini, duapuluh dalam empat, tanggal yang setiap tahunnya selalu kukenang. Hari kelahiran malaikat kehidupanku, salah satu pondasi utamaku, iya betul, hari lahirnya Ibu.
Mrincingan; sebelas dalam empat, 2022
7 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
22; semua ada waktunya.
Melihat kehidupan orang lain;
22 tahun ada yang sudah menikah, ada yang sedang hamil, ada juga yang sudah punya anak. 22 tahun lainnya ada yang sedang berusaha remedi mata kuliah, ada yang sedang berjuang seminar proposal, ada yang berproses dalam skripsi, ada juga yang kelar sidang, menunggu wisuda.
22 tahun di tempat lain ada yang sedang berpusing ria dihadapkan pada job-nya, ada yang sedang menangis kehilangan pekerjaan, ada yang sedang tertatih mencari lowongan kerja, ada pula yang sedang menunggu slip gaji yang lama tak sampai.
Pun, ada juga 22 tahun lainnya, yang sudah berbeda alam dengan kita, menjemput keabadiannya di alam sana.
Betul, semua ada waktunya. Jalan setiap orang berbeda. Kalau terus-menerus terpaku pada keberhasilan orang lain, habislah kita. Don't compare urself to others. Cukup bandingkan dirimu yang sekarang, dengan dirimu yang lalu, progress apa yang sudah dilakukan, dan target-target apa yang harus segera kamu capai.
It's okay. Kamu hanya harus, tetap berprogress.
Mrincingan; duapuluh delapan dalam dua, 2022
7 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Kecewa
Kenapa ada perasaan kecewa?
Karena kamu (terlalu) berharap.
Terkadang harapan yang kemudian beralih menjadi ekspektasi akan lebih tajam menukik jatuh ketika realitas yang terjadi ternyata tidak sesuai. Mungkin saja, berharap itu perlu. Harapan itu bisa membangun diri untuk semakin lebih baik di masa depan. Namun segala hal yang 'terlalu', lebih sering berakhir menyakitkan, bukan?
Tidak ada yang ingin merasakan kecewa. Tidak aku, tidak juga kamu. Tidak ada yang ingin merasakannya.
Namun seperti perasaan lain pada umumnya. Kita tidak bisa merasakan arti bahagia jika tidak tahu rasanya bersedih. Sama halnya dengan, kita tidak bisa merasakan kepuasan, jika tidak tahu rasanya kecewa. Meskipun ada pepatah, manusia tidak pernah mengenal kata puas. Selalu ingin lagi dan lagi, mencapai hal yang lebih dan lebih.
Tidak apa. Perlahan rasa kecewa akan mereda.
Mrincingan; duabelas dalam duabelas, 2021
3 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Dipaksa menyerah, sebelum perasaan utuh merekah.
Dipaksa untuk patah, sebelum meluas rasa bungah.
Terpaksa menjauh, agar hati kembali utuh.
Kalimat itu, kembali terngiang. Aku kembali patah, bahkan saat belum kusempat untuk bertumbuh. Aku kembali hancur, melebur, bahkan saat kubelum sempat menikmati euforia itu. Euforia mengenal orang baru, bercengkerama seru, membahas ini-itu tanpa kenal waktu, yang ternyata..
sementara; tidak lama.
Beberapa hari saja. Hampir dua pekan, perasaan tak bertuan ini kandas di rerumputan. Perasaan yang aku sama sekali tidak tahu-menahu asal-muasalnya. Perasaan nyaman yang tak terdefinisikan. Haha. Bukan jatuh cinta, sepertinya. Mungkin hanya kagum belaka, tetapi mengapa rasanya se-menyenangkan ini?
Sudahlah, sudah pula jadi abu. Teronggok, tersapu, jauh terbawa angin yang entah ke mana rimbanya. Kuharap, aku tidak lagi punya harap.
Aku masih ingin mengagumimu,
tetapi kau memintaku untuk tutup buku.
Pergilah, mengendaplah, dan jangan bangkit ketika aku masih belum cukup siap, wahai Perasaan.
3 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
Terjebak
Pikiranku, yang begini adanya, tapi membuat sakit kepala. Aku yang masih tidak tahu-menahu, harus mengurai bagian mana dulu yang berkecamuk dalam pikiranku. Penuh, iya penuh. Buntu. Tanpa rasa takut, tanpa rasa gelisah, tanpa rasa khawatir. Hanya hampa. Mungkin, mati rasa.
Aku.. hanya bimbang, terhadap banyak pilihan, yang pada salah satunya adalah pilihan untuk tidak memilih.
Tuhan, aku terjebak dalam labirin pikiranku.
5 notes · View notes
alvineworld · 2 years
Text
22; pada 22,
Sebuah Refleksi Diri
Usia memang hanya perihal angka dan semakin tua. Namun di balik itu semua ada hal-hal samar yang tidak semua orang menyadarinya. Semakin bertambahnya angka pada usia, sama halnya dengan berkurangnya jatah waktu pada kehidupan kita di dunia. Meskipun tak ada yang tau kapan waktu itu akan tiba.
Semakin ke sini, ada suatu hal besar yang baru kusadari. Berkaca pada pengalaman kehilangan yang menjadi titik balik kehidupan, hingga peristiwa menyenangkan yang menjadi titik awal keberhasilan. Semua itu sama adanya. Semanis maupun sepahit apapun kejadian yang sedang kita alami, kehidupan akan terus berjalan.
Merasakan kehilangan mendalam;
Apakah lantas hal tersebut membuat roda kehidupan berhenti? Bagi diri sendiri, mungkin bisa jadi demikian, tapi tidak dengan kehidupan orang lain. Boleh jadi kita menangis akan kesedihan yang mendalam, sedang di luar sana orang-orang tetap bercanda tawa, tanpa pernah terpikirkan peristiwa-peristiwa orang lain yang kelam.
Merasakan kebahagiaan tak terhingga;
Jangan senang dulu, tidak sembarang orang bisa dan mau menerima kebahagiaanmu. Boleh jadi kita tertawa bahagia, sedang di luar sana seorang anak kecil menangis tersedu menatap tubuh kaku ibunya. Atau seorang remaja yang melamun di depan jendela karena putus cinta. Atau seorang istri yang tersedu di balik bantalnya setelah mendengar kabar perselingkuhan suaminya. Atau kisah menyedihkan lainnya yang seakan berlomba-lomba menjadi hal yang paling mengena.
Refleksi diri,
Menangis dan tertawa itu ada masanya, hanya perlu mengendalikan agar tetap sewajarnya. Tidak perlu lah membahas hingga seputar cinta, kalau mencintai diri sendiri saja masih kerap alpa, dibutakan oleh rasa yang mungkin hanya sementara; kagum pada awalnya, menemui fakta yang tidak dapat diterima, lagi-lagi kembali pada perasaan yang tidak bertahan lama. Menguap dan hancur begitu saja.
Duapuluh dua? Haha, aku tidak lagi banyak maunya.
Cukup untuk mencukupi diri sendiri, itu target utama. Cukup untuk mencintai diri sendiri, itu mimpi istimewa. Pun tentu saja, cukup untuk memantaskan diri, menjadi versi terbaik dari diri sendiri, menerima baik buruknya diri, mengenali lebih dalam terhadap diri sendiri, itu semua harus menjadi strategi yang harus segera dilaksanakan.
Twenty two~
We're happy, free, confused and lonely in the best way
It's miserable and magical, oh yeah
Tonight's the night when we forget about the heartbreaks
• Taylor Swift — Twenty Two •
Mrincingan; duapuluh tiga dalam sebelas, 2021
9 notes · View notes