Tumgik
bombtimer · 2 years
Text
On (almost) one year work reflection
Setelah sekian lama bekerja untuk institusi di bawah supervisi orang lain, sekarang saya sadar bahwa saya bekerja untuk institusi di mana di samping diengkuk-engkuk oleh Prodi, tentu saja saya cuma bertanggungjawab kepada Direktorat SDM langsung. Masih amazed dengan kapasitas saya untuk berkata tidak, terutama hal-hal yang prinsipil seperti bekerja di luar jam kerja. Hal ini tentu berseberangan dengan kejadian di beberapa pekerjaan sebelumnya. Dulu bahkan ada PNS yang tidak tahu definisi job desc dan hanya peduli pada “kesetaraan”. Hal ini termanifestasi dengan lembur di hari Sabtu untuk uang lembur sementara saya dan teman saya tidak dapat uang lembur. Sementara saat ada tunjangan untuk saya dan teman saya, harus dibagi rata agar tidak menimbulkan rasa iri. Dulu sih reaksi saya cuma bilang “makan sampah”. Tapi sebelum berangkat S2, saya buka keburukan atasan saya di grup WA kantor sebelum saya left grup tanpa pamit. Beliaunya panik dan telepon serta japri saya, yang tidak saya respon. Selang beberapa lama, kepala kantor yang sealmamater (dan selalu membela saya dan teman saya) akhirnya merombak jabatan di kantor tersebut.
Oh how I’d love to burn the bridges.
Setelah menavigasi jadi dosen baru beserta diklat-diklatnya selama hampir setahun, saya kerap mendengar bahwa seorang dosen harus melakukan Catur Dharma Perguruan Tinggi. Awalnya saya bingung, poin keempat itu apa? Ternyata poin terakhir adalah pengembangan institusi. Dari keempat Catur Dharma tersebut, mungkin yang paling saya tonjolkan adalah riset. Apalagi untuk keluar dari masa probation dan literally menjadi dosen tetap, butuh satu buah artikel yang diterbitkan di jurnal nasional. Bare minimum sih, tapi ya butuh adjustment kalau di kasus saya. Tetapi kenyataannya, selama setahun ini, banyak sekali beban mengajar dan juga pengembangan institusi (well no thanks to Mas Menteri). Sering saya lembur untuk baca jurnal dan membuat presentasi kuliah. Belum lagi kalau cranky yang mana Rosda sering kena imbasnya. Walau seringkali Rosda bilang bahwa selama setahun ini saya sudah lewati dengan baik dan penuh kesabaran, saya kasihan sekali bahwa kehidupan pernikahan kami juga seringkali tidak terasa. Sesimpel saya tidak meluangkan waktu untuk betul-betul present. Seakan istri dosen itu ya hanya untuk pelengkap saja; memenuhi “tanggung jawab” dari kolega dosen lain untuk membuat dosen lajang segera menikah (sebuah konsep yang menggelikan, jika bukan [redacted]). Dari sini saya mulai merasa bahwa kerjaan itu hanya kerjaan. Lagian juga saya baru tahu ada profesor di kampus saya dulu yang kecolongan karena saya keterima mendaftar di kampus saya sekarang. Yah, terkadang jadi manusia tidak perlu mendendam karena ada Yang Di Atas yang siap membalas. 
Kembali lagi ke riset, saya juga makin kehilangan arah, kalau yang dimaksud kehilangan arah adalah bertambah luas scope bidang pekerjaan atau riset. Sudah ada book chapter yang siap dipublikasikan oleh Routledge (*still cannot hide my excitement* *yay*) tapi kata Marwa tidak bisa jadi syarat keluar masa probation. Untung ada Albert dan siap kolaborasi untuk membahas kota ramah HAM. Pun mengambil Wonosobo jadi setting tempatnya. Semoga dalam sebulan ke depan, surat kelaikan etik penelitian sudah keluar ya dan bisa mulai wawancara. Sebelum mulai menulis dan mengemis ke jurnal minta publikasi. Inshaa Allah tahun depan banyak publikasi lah.
Tumblr media
Sudah jelas bahwa Catur Dharma yang paling saya hindari adalah pengabdian masyarakat. Dulu di kampus saya sebelumnya, jarang sekali saya mendengar pengabdian masyarakat dilakukan oleh dosen di Prodi saya. KKN juga tidak wajib, di mana mahasiswa hanya diwajibkan kerja praktik saja. Banyak dosen di kampus saya juga mencantumkan proyek sampingan sebagai pengabdian masyarakat, yang mana menurut saya pribadi juga tidak tepat. Bapak saya tuh yang suka pengabdian masyarakat. Beliau ini sering membuat mesin-mesin yang mempermudah produksi UMKM. Entah mesin pemecah kemiri. Atau mesin pencacah jarak. Tapi ya beliau ini konsisten dari dulu. Tidak suka menulis, tapi selalu ada dalam garda terdepan dalam advokasi mahasiswa terhadap dosen yang berkelakuan aneh. Tapi saat mendengar rencana pengabdian masyarakat tim saya, Bapak saya komentar, “Kok aneh?”
Rencana tim saya adalah membuat food garden skala rumah untuk ketahanan pangan di masa pandemi dan ancaman erupsi gunung Merapi. Di tengah keterbatasan dana (sepuluh juta rupiah), ya terpaksa hanya bisa mengajari ibu-ibu PKK untuk membuat kolam lele dengan kangkung hidroponik dalam ember, menanam stroberi dengan baik dan benar, dan membuat pupuk dari limbah dapur. Setelah 3 kali pertemuan, ya sudah selesai saja. Exit strategy-nya dibilang kalau ada waktu luang (yang mana saya juga yakin anggota tim lain punya keluarga dan kesibukan lainnya), nanti akan dijenguk. Belum lagi saat acara, para warga hanya difoto saja. Saat praktik menanam kangkung. Saat memotong-motong limbah dapur untuk dimasukkan ke pengomposan. Saat sedang rapat. Ya seperti objek saja.
Tapi ya sudah lah. Pengabdian masyarakat versi tempat kerja saya jauh dengan apa yang saya maknai selama ini. Pun bukan game saya ke depannya. Semoga bukunya Brooks kembali diresapi lagi untuk tahu bahwa pengabdian masyarakat yang dilakukan selama ini masih belum tepat.
Walaupun komitmen seumur hidup lebih menakutkan daripada memberikan nilai E bagi mahasiswa yang mencontek, rasa-rasanya mulai menemukan zona nyaman setelah satu tahun menjadi dosen. Bagaimana bernegosiasi dalam pembagian mata kuliah. Bagaimana belajar merespon jika ditawari ikut proyek. Bagaimana cari panggung. Dan yang paling penting, bagaimana membagi waktu untuk keluarga dan menulis proposal PhD. 
Semoga lancar semuanya ya. Terima kasih sudah memberikan tempat dan kesempatan bagi saya untuk berkembang.
Tumblr media
5 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
Tidak sabar
Tumblr media
2 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
Hey, you.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
Penyegaran Timeline
Jadi diajarin Maria buat bikin folder isinya segala hal yang bodoh yang dilakukan orang. “Iya beb kalo gua lagi sedih gua buka folder itu buat ketawa-ketiwi aja”, ceunah. Yah ini beberapa aja ya karena banyak yang bodohnya relatif.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
bombtimer · 3 years
Video
Di tengah ketidakjelasan masa depan, bersyukur masih sehat, bahagia, dan dicintai. Alhamdulillah ya Allah masih mudah menangis dikasih hadiah video ini dan dikirimi makanan ini.
P.S. Sal Priadi lagunya enakeun ya buat cinta-cintaan.
Tumblr media
0 notes
bombtimer · 3 years
Conversation
Prince Zuko: This city is a prison. I don't want to make a life here.
Uncle Iroh: Life happens wherever you are, whether you make it or not.
Jujur menangis mendengar Paman Iroh menyanyi Leaves from The Vines
3 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Photo
Tumblr media
All hail curug and other clean water sources that effectively cool down one’s body and mind. 
Mau mengingatkan ancaman krisis air bersih di Jawa kurang dari 20 tahun lagi: https://environment-indonesia.com/krisis-air-jawa-kehabisan-air-di-tahun-2040/
1 note · View note
bombtimer · 3 years
Text
Tumblr media
Been dreaming to join this think tank since 2017, particularly after getting ‘exiled’ from ‘home’. It came full circle today when I finally got the privilege and courage to apply there. 
Mari fafifuwasweswos di bidang digital dan perkotaan.
0 notes
bombtimer · 3 years
Text
Note-taking, diagram, dan urbanisasi
Beberapa hari ini saya sedang mengumpulkan niat untuk mulai studi independen. Sudah direncanakan sebelum Lebaran bahwa waktu kosong tanpa ngajar selama seminggu ke depan adalah masa membuat proposal PhD (lagi). Setelah dua kali ditolak dan sekali digantung, rasanya kembali lagi saat cari sekolah buat Master: ketar-ketir yang banyak tidak perlunya. Untung saja sekarang sudah lebih sadar bahwa selain rejeki itu nggak ke mana, pun sudah punya bargaining power yang lebih tinggi ketimbang dulu. Kemarin Ayahanda juga bertanya kapan artikel jurnal yang baru lagi akan terbit. Kek mana.
Kemarin membuka catatan kuliah Master. Sesaat sebelum Lebaran saya sempat skimming sebentar dan teringat hal-hal yang menarik. Tentang materi di kelas Urban System Theory apa Smart Cities: Context, Policy, and Governance yang terasa coming full circle. Tentang PPI UK. Tentang upaya mencatat dengan grammar ngasal. Tentang keinginan membeli Moleskine tapi daya beli masih setara Front. Pun tentang gatra-gatra yang tercatat sebagai pengingat pernah tinggal sejenak di London. Tapi ada yang menggelitik: sebuah halaman yang menggambarkan upaya saya memahami pemikiran Edward Soja dalam merumuskan dialektik sosial dan spasial. Masih jauh dari sederhana sih karena baru baca sekali langsung dicoba buat diagramnya.
Tumblr media
Beberapa saat yang lalu saya juga stumbled upon twit-nya Neil tentang urbanisasi. Beliau ini baru saja menerbitkan baru berjudul New Urban Spaces. Dilihat dari cover-nya sih saya langsung membayangkan graph theory dan scaling law. Memang perspektif Neil ini menjadi sangat menarik dalam melihat urbanisasi sebagai upaya pelanggengan hegemoni kapitalisme. Yah saya juga belum terlalu paham, jadi mungkin substansi saya baru tiba sampai di sini. Tetapi hal yang sangat relatable bagi saya adalah bagaimana teknik visualisasi digunakan untuk menyampaikan argumen. Neil bercerita bagaimana dia menyederhanakan argumennya dengan diagram alir yang menunjukkan hubungan sebab akibat. Satu halaman dari catatan kuliah beliau ini menggambarkan proses pemikirannya itu: apa sih sebenarnya teori authority dari Max Weber itu.
Tumblr media
Nilai yang bisa dipetik di sini tentu saja adalah do at your own pace. Neil saja belajar perlahan. Kenapa saya harus kemrungsung nggak jelas dan lupa bahwa sejatinya proses itu jauh lebih penting?
Oh ya, saya juga nemu definisi urban planning di catatan kuliah yang mengingatkan saya untuk terus mempertanyakan apa yang saya inginkan.
Urban planning is a tool of state, serving dominant classes by organizing and reorganizing space for capital accumulation and crisis management - Soja (1980)
Sangat relevan dengan kasus di manapun. Dari okupasi tanah Palestina hingga berbagai kebijakan agraria di Indonesia. Termasuk resistensi masyarakat Wadas untuk menolak kebijakan Pemprov untuk mendirikan tambang. Gila ya memang  kelas berkuasa jiwa opresor no-mercy sekarang. 
Dari refleksi singkat itu, sempat pula ingin S3 berbasis teori saja bukan seperti keinginan untuk jadi spatial data maverick yang diidamkan selama ini. Apalagi Umar baru saja dapat kesempatan S3 di King’s College dengan jalur undangan. Tapi keinget lagi ejekan Maria “If not us, who? If not now, when?”
Yah, pelan-pelan ber-progress saja ya.
1 note · View note
bombtimer · 3 years
Text
On food prep and cooking meals
 Saya suka makan enak. Tapi ada kesenangan lebih saat bisa masak sendiri. Ibu saya bilang untuk masakan itu bumbu utamanya adalah bumbu sop. Garam, merica, bawang putih. Biar gurih bawangnya dibanyakin. Nanti baru belajar yang lain. Memasak sendiri pun sudah mulai dilatih sejak berangkat studi Master. Terlepas dulu menghabiskan kurang lebih 400 ribu untuk belanja bumbu instan merek Bamboe dan printilannya, di sana juga belajar untuk memperkuat rasa. Untuk rendang, bumbu instan dari Malaysia lebih nendang daripada bumbu Bamboe walau ya begitu. Terus belajar juga kalau nambah desiccated coconut alias kelapa sangrai membuat kuahnya bertekstur.
Ada kebanggaan sendiri ketika pagi-pagi bisa bangun dan langsung food prep dan memasak untuk sarapan dan bekal makan siang. Mandi baru dilaksanakan setelah kenyang. Terus jalan deh 2.4 km selama 25 menit. Pas saja gitu secara timeline. Pulangnya jalan lagi dan suka sok ide belanja sayur mayur di supermarket dekat kampus. Padahal masih ada 2.4 km untuk dilalui sambil nenteng totebag lusuh saya khusus untuk belanjaan. Malamnya baru agak lega untuk food prep yang agak kompleks. Bikin grilled cheesy broccoli misalnya. Atau Angus sirloin steak dengan side dish antara bowtie pasta salad atau kentang panggang. Terakhir-terakhir side dish-nya jasmine rice hahaha. Terus bikin teh peppermint Twinnings yang cukup £1.5 saja sekotak. Dilanjut nonton sambil selimutan. 
Nyaman.
Semenjak menikah, makin tinggi rasa ingin tahu saya untuk memasak. Premisnya kembali lagi pada prinsip bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak mengenal jenis kelamin, meski terus terang saya suka dengan pekerjaan berbau air daripada menyapu dan menyetrika. Tetapi kondisi saat ini membuat memasak menjadi kemewahan di tengah kesibukan kroco pembangunan dosen baru ini. Perlu waktu untuk food prep ketika ingin masak ala-ala. Terus karena keterbatasan ruang, kompornya juga hanya bisa satu. Kulkasnya pun terbatas, jadi belanja mingguan dengan berbagai macam perintilan boks makanan dan pembuatan jadwal masak mingguan rasanya masih jauh di awang-awang. Sekarang-sekarang sih baru menabung bumbu dapur sih. Sudah stok gochujang dan Sprite jika mau marinasi ayam siap goreng walau ada aja alasannya buat mulai. Dari Rosda saya belajar bahwa Totole itu enak dan (katanya) lebih sehat dari MSG biasa. Juga teknik blanching untuk mempertahankan warna dan tekstur sayur. Kemudian dari salah satu akun vlogger, garlic powder juga sangat praktis ketika butuh a bump in the taste. Atau kalo mau, goreng bawang putih jadi renyah dan diproses lewat food processor sebagai stok pengganti bawang putih biasa biar rasanya lebih tajam. Kemudian, kalo dari learning by doing, jangan masak kepala cumi kalo ga mau masakannya item. Pun harus beli termometer daging biar saat pan fry ayam itu matang sampe tulang.
Dalam rangka menimba ilmu juga, seneng banget sekarang mantengin vlognya June dari Delish. Konsep memasak under budget (US$ 25 untuk dua orang selama seminggu) sangat menarik. Dirata-rata sekali masak di bawah US$ 2 kan bingung yak. Tapi kembali lagi asumsinya bumbunya sudah ada jadi weh gampang. Meski banyak banget bahan makanan yang tidak aksesibel di Indonesia tapi ada di London, konsep budget cooking ala Mbak June ini juga memanfaatkan bahan makanan yang mungkin tidak terpikirkan. Misalnya beli salmon scrap. Atau saat beli labu kuning, bijinya di-roast untuk garnish. Atau chickpea dijadikan tepung lalu buat pancake. Atau kacang tanah dibuat jadi susu. Mbak June ini juga suka mengubah bentuk bahan makanan sehingga ada tekstur lain yang muncul, meski secara umum makanannya jadi mirip makanan bayi. Misalnya biji durum diblender dan dijadikan tepung. Tetap saja sih kreativitasnya dalam memasak tumpah-tumpah. Vlog berikutnya adalah vlog mahasiswa-mahasiswa, mostly London-based undergrads. Agak tidak relate karena kebanyakan vegan, juga karena saya harus makan nasi. Jadi ya sudah.
youtube
Yah tapi jelas Rosda jauh lebih jago dari saya. Selain sudah pernah sekolah masak, daya dugo-kiro dia jauh lebih tajam dari saya. Opor ayam, semur, bahkan nugget dengan mayo Kewpie (haha). Paling kari saya saja yang dipuji lebih dari sekali. 
Yah memang memasak untuk orang tercinta itu menyenangkan dan therapeutic sih.
5 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
Prof Dar
Saat wawancara kerja kemarin, beliau ini memberikan pertanyaan yang menurut saya spesial. Spesial dalam arti saya merasa terhormat bisa diberi pertanyaan tersebut. Pun spesial karena saya punya kesempatan untuk meluruskan beberapa buzzwords yang beliau lontarkan. Ditambah penampilan beliau yang relatif intimidatif, saya juga merasa makin disudutkan. Untung saya bisa menjawab dengan lumayan lancar.
Tumblr media
Saat rapat pertama departemen, justru beliau yang pertama menyapa saya. Pun ingat mi ongklok. Saat saya mengirim undangan akad, beliau juga menyampaikan pesan yang hangat. Di rapat pagi ini, Prof Dar mengingatkan bahwa kegiatan kuliah di kelas merupakan sebuah kegiatan kemanusiaan; bahwa mahasiswa juga sedang menyerap apapun yang dosen katakan maupun lakukan.
Mungkin klise ya nasihat beliau. Tapi saya sadar bahwa beliau ini adalah salah satu greater fools yang menyepi dari keramaian. Terima kasih Prof Dar atas bimbingannya.
0 notes
bombtimer · 3 years
Text
Berkah pagi
Di tengah-tengah jiwa ribet dan segala hal, pagi tadi dapet kesempatan buat kerja di kafe karena sadar bahwa kalo tidak diawasi Rosda, pasti akan gas males-malesan karena ga ada jadwal ngajar di hari Senin. Berhubung beliaunya ingin zumba, jadilah jalan santai di sekitar Demangan. Jam 8 ternyata kepagian karena rata-rata kafe di situ buka jam 9. Untung nemu 1, namanya Esco Coffee. Pas disamperin ternyata semi bar, untungnya jadi pelanggan pertama. Walau ada kecenderungan tinggi terhadap cappucino, tadi di menu ada yang menarik: es kopi Gayo dengan buah leci. Jujur sebelumnya Ami pernah bikin kopi Toraja yang di-brew sama kulit jeruk. Kecut banget walau unik. Di Two Cents dulu Ishi juga demen banget kopi dengan orange zest. Reviunya tetep sama. Walau menantang, menu tadi ga pernah jadi pertimbangan.
Tumblr media
Untungnya tadi mengambil leap of faith dan nyoba menu namanya Galyco ini (which I’m 99% sure stands for Gayo-lychee coffee). Enak banget. Pun fungsional buat nendang pikiran dan bikin rubrik penilaian studio.
Memang segelas kopi bisa menentukan mood seharian ya.
2 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
Pak Roos
Dari dulu kayaknya belum pernah menulis obituari untuk alm. Pak Roos. Dulu juga ada yang minta ijin untuk tidak melihat beliau dalam perspektif yang sama karena beliau memang terkenal ‘mendominasi’ dalam pekerjaan, kuliah, atau juga kehidupan sehari-hari. Tapi saya dapat privilese untuk tidak melihat beliau lewat jalur itu. 
Saya diberi kebebasan untuk menentukan sendiri metode penelitian walaupun yah nilai risetnya juga nggak besar-besar amat. Saya juga seakan diberi kesempatan untuk membantu Naufal dalam mengerjakan tugas akhir; terlebih dalam mematahkan teori bahwa anak bimbingan Pak Roos pasti lulus 6 tahun. Saya juga diberi dana untuk berangkat konferensi di Malaysia dan pada akhirnya dapat penghargaan Best Paper Award; sesuatu yang dibangga-banggakan beliau ke koleganya yang lain. Saya juga diberi surat rekomendasi oleh beliau untuk daftar beasiswa. Walau di akhir tahun saya keluar dari lab dan pergi mencari uang di tempat lain, saya pun meluangkan waktu untuk pamit ke beliau sebelum berangkat ke London.
Saat pulang, sayangnya, saya tidak berusaha untuk meluangkan waktu untuk sowan ke beliau. Kata dosen-dosen lain, beliau bangga sudah karena berat badannya sudah turun drastis. Saya juga kurang tahu apakah beliau operasi jantung lagi. Pertemuan saya hanya sekedar mengantarkan oleh-oleh untuk beliau, pun disambut ramah tapi ya udah begitu saja. Saat berpapasan di lift beberapa bulan kemudian, saya tidak menyapa beliau. Entah karena saya merasa tidak diingat oleh beliau sehingga why bother? Entah pula karena saya buru-buru ingin segera meninggalkan kampus setelah mengisi kelas. Atau entah juga karena saya selalu sadar bahwa relasi kami hanya transaksional belaka.
Tetapi beberapa bulan setelah kepergian beliau, saya tidak sengaja menemukan akun beliau di metrik performa riset nasional. Selain ada nama saya di laman beliau, ada juga rasa penyesalan karena belum secara tulus mengucapkan terima kasih atas berbagai kesempatan yang beliau berikan kepada saya.
Tumblr media
Matur nuwun, Prof. Semoga tenang di alam sana.
0 notes
bombtimer · 3 years
Text
Refleksi singkat
Ketika dulu masih ketar-ketir meraba-raba masa depan, diri ini sudah yakin. Jika menjadi superior dengan gaji yang lebih tinggi daripada bawahan, sudah pasti wajib mengambil porsi tanggung jawab yang lebih besar. Kemudian jika nanti menjadi dosen, haram hukumnya nge-hire asisten riset tapi menempatkan beliau sebagai ghostwriter. Pun haram memandang asisten mata kuliah sebagai pesuruh serbabisa. Setelah kuliah di London, makin mantap bahwa selain hal yang sifatnya darurat, menggunakan nomor pribadi sebagai jalur komunikasi itu makruh hukumnya. Sudah ada alamat surel dengan embel-embel institusi. Kurang apa coba.
Dengan hirarki tempat kerja yang ada, tentu saya akan jadi pemarah seumur hidup. Buat apa ada course management system (a.k.a. Moodle di tempat saya) jika tidak digunakan dengan maksimal? Buat apa japri saya jika email institusi saya aktif (sudah saya aplikasikan ke anak bimbingan Kerja Praktik)? Buat apa sok ide tapi minim aksi? Di proyek sampingan, buat apa menghabiskan waktu memperbaiki sistem menahun dan cenderung merugikan diri sendiri? Toh sekarang daya tawarnya sudah meningkat. Sesimpel tidak reaktif di saat ada keribetan yang tidak perlu. 
Satu lagi, buat apa menghabiskan waktu istirahat dan akhir minggu yang mana jelas-jelas itu untuk personal dan keluarga? Suka heran dengan glorifikasi overworking di bidang saya padahal toh selain jika ada apa-apa ditanggung sendiri, juga preseden-preseden saat ini juga kualitasnya B saja. Saya sudah berusaha tidak membalas pesan WA di malam hari dan akhir minggu. Santai saja lah yang namanya bekerja mah. Saya yang menilai diri saya ambisius juga santai. Rejeki juga sudah diatur. Meski oversimplifikasi, tentunya bekerja itu aman asal tidak selingkuh (bagi yang sudah menikah), tidak korupsi, dan tidak menggunakan miras dan narkoba. 
Semoga saya selalu berpegang pada prinsip ini. Dan juga berkurang rasa marah-marah tidak perlu supaya lekas berangkat sekolah lagi.
1 note · View note
bombtimer · 3 years
Photo
Tumblr media
Baru saja menyadari bahwa sekarang fasilitas misuh-misuh menjadi terbatas. Akun Twitter saya buat menjadi lebih pansos ilmiah walau bukan berarti minim opini. Saya mau menaruh opini terlebih nyinyiran di sini saja, karena saya tak punya kapasitas memori dan metode seperti Charles Augustus Magnussen, walaupun beliau juga tidak punya Rosda.
Oh ya ini Edinburgh di Desember 2018, difoto dengan kamera hadiah Ishi.
1 note · View note
bombtimer · 3 years
Text
Rumah
Mungkin dalam perjalanan hidup yang makin ke sini makin terasa singkat, mencari rumah itu sebuah privilese. Tak terasa sudah 9 tahun sejak masuk S1. Masih ingat saya saat diantar keluarga untuk daftar ulang kuliah. Kata Bapak, Ibu saya menangis menuju mobil. Pun di malam-malam berikutnya, Ibu sering minta keluar malam-malam, hanya untuk mengitari kota saja. Saya pun baru tahu di tingkat 3 atau 4. Pun agak sedih saja, malah lebih banyak senangnya. Senang karena tinggal di sepetak kamar sekian kali sekian. Dua induk semang sama-sama baik, pun almarhum Bapak kosan pernah mengantar ke Borromeus saat saya kena GERD. Makin naik tingkat, makin senang dengan independensi. Apalagi saat bekerja. Notasi ‘rumah’ pun bergeser maknanya: Wonosobo itu tempat berlibur dari tugas dan deadline, Bandung itu rumah. Meski sejak 2017 sudah bosan karena ingin segera beranjak kuliah lagi. 
Walau asing dan jauh dari tanah air, untung London dengan segala hal di dalamnya menawarkan konsep rumah yang aksesibel. Meski tidak di tempat yang hipster dengan industri kreatif di sekitarnya, toh lokasi flat saya dekat ke mana-mana. Ada Albert juga di kamar atas. Belum lagi banyak sahabat yang berkunjung untuk mencicipi masakan saya, yang mana saya suka kurang yakin kalau rasanya enak. Saya menikmati sekali mengerjakan 3 tugas saat liburan musim dingin, ditemani playlist Marwa tentang Yogyakarta. Belum lagi pojok memasak saya. Sering saya lupa akan memasak tapi sudah menyalakan kompor listrik dan tetiba muncul asap hingga alarm berbunyi. 
Kembali ke Wonosobo selama lebih dari setahun kemarin ini agak berat bagi saya, karena ada berbagai macam aturan yang tidak saya aplikasikan di rumah Bandung dan London. Apalagi saya resmi tidak punya kamar ketika saya mulai kuliah di Bandung. Makanya saat diterima kerja di Bandung, pikiran saya sudah sampai di tahap “Enak juga ya tinggal di apartemen habis menikah”. Rosda juga ketagihan tinggal di perumahan vertikal, apalagi di Bandung. Tapi pikir-pikir juga karena hidup saya berbasis kontrak kerja dengan gaji masih di bawah standar yang saya inginkan. 
Saat isolasi mandiri di salah satu rumah Budhe selama sebulan kemarin, ada beberapa waktu saya menutup diri bahkan dari orang-orang terdekat. Totalnya 10 hari mungkin. Saya hapus Whatsapp dan Instagram. Saya habiskan waktu memandang dunia luar dari jendela kamar yang dibuka. Meski gejala saya ringan - hanya batuk dan tidak bisa sustain nada panjang saat menyanyi - tetap saja saya juga mengisolasi perasaan saya hingga ke titik saya ikhlas kalau mati dalam waktu dekat. Toh tidak terasa sakit juga. Belum lagi banyak drama coping mechanism yang berbeda. Di saat membereskan rumah Budhe sebelum pergi, saya memanggil adik saya dan menangis di kamar. Sedih karena rumah itu sangat berjasa dalam mengingatkan saya untuk tidak usah berlebihan. Pun juga dalam menemukan makna beristirahat dan kembali menjadi baru. Lucu ya.
Tumblr media
Lalu Yogyakarta resmi menjadi rumah saya berikutnya. Dengan UMR yang rendah. Dengan bapak-bapak sebelah rumah Budhe yang menyapa saat saya berdiri dan bermain Pokemon Go di depan rumahnya. Dengan jalan khas kabupaten: sempit dan tanpa trotoar. Dengan kebingungan memikirkan akan makan apa setelah ini. Dengan bayang-bayang berpindah ke rumah berikutnya untuk menuntut ilmu lagi.
Saya juga diingatkan bahwa rumah itu bisa berwujud seseorang. Seperti lagu Edward Sharpe and the Magnetic Zeroes. Yang lalu dijadikan versi orkestra di pernikahan Mitch dan Cam. Boleh saja seharian kita menghabiskan suara di Dufan. Namun, di penghujung hari kita pasti ingin pulang ke rumah. Sekadar rebahan sambil bercerita. Bahwa harapan dan mimpi itu susah sekali bertemu dengan realita, walau tak jarang juga bisa terjadi. Bahwa kita lelah dan butuh gagal. Mungkin itu sebabnya saya ikut patah hati menonton ending Fleabag Season 2. Bayangan ‘rumah akan selalu ada’ itu acapkali kontekstual dan banyak berujung kecewa. Cuma, harapan itu kan buah simalakama khusus untuk manusia.
Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
bombtimer · 3 years
Text
On pièce de résistance
One of my main weaknesses now is the difficulty in keeping track of time and allocating it for reading books. I think this disadvantageous quality has started since my Bachelor thesis writing, where I dedicated a clearly-plotted section of my bibliography to academic articles from journals. Mostly in English. It progressed during Master study where I got an (arguably) easy A for a research proposal-slash-essay. While the interesting fact remains that I neglected all the reading materials, which of course included books, and selected articles from my own Zotero library, the practice itself feels a bit arrogant. Like I just started to study in a specialised topic and in a really different place yet my confidence seemed unnecessarily boosted up. Notwithstanding the good mark, I was still possessed and dissatisfied by the fact that there were fewer students getting A+. In the next term, I almost did the same thing and remembered to include five minimum articles required by the module tutor. I ended up only 2 points away from A+, but the satisfaction actually stemmed from the fact that the solutions I proposed for the betterment of Montreal's smart city project were considered prominent and innovative. The solutions were based on how to measure the quality of economic growth in the city, considering its past glories and path dependency. But I think, that might be the start of the feeling. The need to do something important, and to never settle for the less.
Some of my friends, consciously or not, have already made their magnum opus. It can be a poem, song - or rendition, or photograph. Or even a well-curated Spotify playlist. Some also created one that produces many thought-provoking articles, while others advocate and practice their idealism. In my case, I know that my singing skill (despite efforts to butcher every song possible) is not adequate to proceed in the music industry. I also left my wordsmith skill as I forgot where my book of poetry has gone missing. But one thing I know for sure is I love to ask and do a set of analyses to answer that. And then writing it. And then revising and finally publishing it. There is some kind of cathartic feeling knowing that I have contributed to the development of my knowledge field, despite it might be only a tiny bit. And maybe it kinda feels huge since I come from Global South, where the literature from this region is yet to be extensive. Particularly in my hometown, where I argued that for its really under representativeness in Indonesian urban planning literature, my article should be accepted as a forthcoming book chapter. For all my articles, I always use this card - as a friend put it - to signify my research. I once read a magazine article about the helicopter research perspective where researchers from Global North only use Global South countries as the sampling location. They do not involve the researchers from the latter in the analysis and contextualisation, and infer the results. The chain reaction can be easily guessed, as the keyword would always be "development". Maybe this piece also sparks the curiosity to solve this challenge: how we should spread the knowledge put and produced by Global South.
My lecturer back in ITB once said that writing is important in his religion, as his Prophet said that the followers should convey from him even a word. Amidst the Master and Doctoral students whom the event was intended for, my devil's advocate side thought that is it safe to conclude that preparing an academic article and submitting it in a respected journal is a way of following a religious suggestion? I mean, we follow the same Prophet and I cannot catch up to his thinking up till now. It is really humbling to read my friend's Master thesis where he prayed at the end of his Acknowledgement: "For God, I offer this seeking of knowledge as my worship." I interpret that this saying should lead not only to seek, but also build the knowledge, particularly the literature based on our nation. Not only the ground-breaking approach that he chose, the writing style is way above par. The remainder of his thesis, in my opinion, clearly is the representation of his study as long as he lives, hence I want to say that it might be his magnum opus so far.
Currently I am working on energy governance research, steering away from what I studied and worked on during my Bachelor and Master study. Yet I find the nitty-gritty to be interesting, particularly if I put the spatial and complexity perspectives to it. Although it is highly impactful, due to it being funded by a Global North country and the top-level connection with several Indonesian ministries, I am still fighting my way to leave my touch there. I feel like I am overrated; simply because I learnt in England does not mean my writing skill is that good for report. And I learnt the hard way to not question the authority when it comes to writing skill vs. ethics, although I really know my place in the latter. I am also preparing an academic article of my Year 1 work, and got really annoyed when someone questioned the novelty like I might easily forget. But I think since I'm still in recovery, I can leave this work for a while.
But I cannot help feeling hopeful knowing that my abstract for the paper of Wonosobo is accepted to be published as a book chapter. I work with a brilliant young person currently building his planning consultancy in the town. Other authors are mostly researchers working in or having a background from ITB, although another person is the one who I cited once and interviewed me. The title of my piece is kinda misleading, but I am sure that someone will see the resemblance of what they are doing. It is really helping that many of my friends have gone back to Wonosobo and started their careers there, particularly creating positive impacts for the people, and this is what I want to capture in this writing project. It will be published next year though, yet I believe it might also be one of the culminations of what I have experienced in doing research, what I learnt both in ITB and UCL, and the trails of an imagined pathway for an early career researcher, and of course, the joy of presenting research based on my hometown to the global discourse of bottom-up planning.
1 note · View note