Tumgik
ceritacintacita · 1 year
Text
Bukan berarti lukaku kering seketika saat akhirnya aku memberi maaf, lantas kau minta aku untuk bersahabat dengan perempuan itu.
Aku memintamu untuk berhenti berhubungan dengannya. Tapi kamu tidak mau.
Aku ingin berbicara dan sekadar menasihatinya. Tapi kamu melarangku. Lebih baik aku menyembunyikan darinya bahwa aku tahu kebenarannya.
Lantas kamu menambahkan, menuntut kerelaanku untuk aku dan perempuan itu tinggal satu atap denganmu sebab begitulah janjimu. Ia jauh-jauh kemari tak ada sanak saudara. Kasihan.
Kamu tidak perlu memintaku untuk menahan diri mengata-ngatai perempuan itu, aku sudah tahu. Aku ini masih punya iman yang menahanku berkata tidak baik dan memanduku untuk lebih baik diam. Tapi permintaanmu melewati batas untuk aku memaklumi segala situasi ini.
Aku tidak akan pernah masuk dalam prioritas hidupmu. Lima teratas pun aku takkan menang.
Jujur. hatiku menolak. Aku tidak suka, aku tidak mau. Tapi kamu menuntutku untuk patuh. Aku bahkan menangisi ini, dan menyampaikan perasaanku dengan jelas kepadamu. Ini sulit untukku. Tapi kamu hanya menenangkanku, tidak peduli perasaanku. Kamu hanya peduli agar aku setuju. Kamu tidak ingin kehilangan apapun, kemewahan hidup dari wanita itu, dan aku untuk menjaga nama baik keluargamu.
Ya Rabb, apakah keikhlasan seperti ini yang menjadikan hamba istri shalehah dalam pandanganMu?
Jika iya, selamatkan hamba. Dekatkan hamba dengan keridhaanMu
8 notes · View notes
ceritacintacita · 1 year
Text
Hidupku sangat baik-baik saja sebelum ini. Hanya sendiri dan aku tidak ada masalah dengan kesendirian.
Sampai kamu datang, menyampaikan keseriusan. Aku yang saat itu sedang menyiapkan diri menyambut pernikahan, juga menyiapkan samudra cinta yang selama ini dengan rapi aku simpan. Sengaja, untuk imam masa depan.
Kenyataannya, belum lama usia pernikahan kita, kamu meluluhlantakkan samuderaku hingga kering kerontang. Apa yang akan aku berikan padamu setelah ini?
Tuhan, bolehkah aku memilih pergi? Bagaimana dengan anakku nanti?
0 notes
ceritacintacita · 1 year
Text
Beberapa bulan usia anakku, kamu mengundang kami mengunjungimu. Sudah rindu, katamu. Aku ingin itu untukku, tapi sepertinya tidak begitu.
Berangkatlah aku ditemani Bapak Ibuku. Menujumu.
Keberuntunganku selanjutnya adalah tanpa sengaja melihat percakapan sosialmu dengan perempuan lain yang mengisi hari-hari 10 bulan terakhirmu. Perempuan yang karena perasaan sayangnya padamu rela menyusulmu jauh ke sini. Perempuan yang rela memberikan segalanya untukmu. Barang mahal, branded, nyaman dari luaran hingga privasi. Segala sesuatu yang kamu nikmati, dan patutnya disyukuri, ucapmu mengajarkanku. Toh kamu tidak pernah memintanya, begitu kamu menambahkan. Dan dengan perempuan itu, kamu memenuhi kebutuhan matamu, lagi dan lagi. Seolah kamu tidak beristri. Aku tidak pernah cukup untukmu.
Pikirmu, bagaimana aku mampu berdiri hingga kini? Energiku sudah kau habisi. Aku tidak punya nyali untuk melanjutkan pernikahan ini. Tapi kamu memohon, kamu ingin bersama kami. Kamu bilang, kamu mengundang kami lebih cepat ke sini agar kamu tidak terjerumus terlalu dalam lagi.
Dalam hati, aku bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa Tuhan mengaruniaiku ilmu yang membuatku berada dalam kebimbangan. Jikalau tidak ada iman tersisa dalam hatiku, sudah pasti kamu kutinggalkan. Maka aku maafkan kamu sebab imanku.
1 note · View note
ceritacintacita · 1 year
Text
Kamu pergi sementara sebab ilmu memang utama.
Sepuluh bulan, tidak sebentar! Terutama sebab aku sedang menjaga kandungan - sendiri. Tidak terlalu berat, sebab selama ini pun di dekatmu, toh aku menjaganya sendiri. Tapi sebagai istri sesekali ada aku memelas kasih dan perhatian.
Keberuntunganku, dengan harapan itu justru yang aku dapatkan adalah kemarahan. “Aku terlalu menuntut” ucapmu. Kamu sibuk dengan pekerjaan dan perkuliahan. Lalu, kalau begitu, aku juga akan sibuk memaklumi keadaan.
Satu-satunya peganganku adalah pesan Ayahmu dan Bapakku. “Jangan mengeluh ya Nak. Tunjukkan bahagiamu dan kekuatanmu selama kalian jauh. Suamimu pasti juga tidak tenang meninggalkan istri dan anaknya”. Aku mendengarkan nasihat itu dan aku mentaatinya.
0 notes
ceritacintacita · 2 years
Text
Bertahan
Siapa sangka, tak lama berselang satu kita, kenyataan terbuka. Sebelumnya, dengan dia kamu masih memiliki cerita. Padanya kamu bilang dipertemukan. Padahal saat itu orang tuamu telah menemui orang tuaku untuk -aku yang masih berpikir sebab kamu- meminta. Walau memang bukan setelah ikrar kita, tapi aku cukup tahu kita tidak senada rupayanya. Langkah kita tidak berdetak sama.
Tak ada hormatmu pada proses menyatunya kita.
Benarlah kiranya kita tidak bertemu sebab perasaan. Kamu memang membuktikan bahwa kita tak lebih dari sekedar dipertemukan tanpa sedikitpun kamu berkontribusi dalam niatan. Telak mematahkan pikirku bahwa kita bertemu memang sebab keyakinan perasaan untuk melangkah halal dalam naungan Tuhan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku bahagia karena ekspektasi pribadi - yang tidak kamu amini.
Biar kutanya, apakah kamu yakin tidak menerimaku karena paksaan? Lantas sebab apa sampai Bapak dan Ibumu menyampaikan keinginan? Kita bahkan tidak cukup kenal, kan?
Lantas sebab apa? Aku hanya kandidat terbaik untuk menghidupi martabat dan kehormatanmu, kan?
Masa lalu untuk dikubur mati? Tapi kini aku dihantui. Haruskah aku bertahan? Setiap malam sejak hari itu, tak henti aku memohon pada Tuhan agar dikuatkan.
0 notes
ceritacintacita · 2 years
Text
Yakin
Jalannya tidak semulus itu, mendekati hari janji aku mendengar kabar tak mengenakkan hati. Tentang masa lalu dan tentang hidupmu sebelum ini. Bukan hal baru di telinga ini, di suatu kesempatanpun kamu pernah mengakui - sekadarnya.
Namun, haruskah aku undur diri saat aku telah meneguhkan hati untuk menjalankan ibadah ini? Masa lalu biar terkubur mati, aku akan menjalankan hidup untuk kini dan masa depan nanti.
Tak henti aku hayati, Tuhan arahkan jalan ini. Maka kini, aku hadir dengan kekuatan hati menghitung hari
0 notes
ceritacintacita · 2 years
Text
Bekal
Kita tidak terlalu mengenal untuk memulai sebuah hubungan.
Aku yang memang sudah dikejar waktu, tepat dengan -pikirku kamu yang ingin- Ibumu menggapaiku lewat guru. Selama proses itu lewat percakapan dengan ibumu aku tahu ia amat sayang dan amat mengandalkanmu. Kuartikan itu sebagai mampumu mempertanggungjawabkan hidupku. Bekalku cukup itu. Aku melangkah tanpa ragu.
Apakah jalan kita satu?
0 notes
ceritacintacita · 2 years
Text
Ikrar
Namun hari itu, kamu dengan lantang mengucap ikrar penuh keyakinan, tidak ragu pun lidahmu tak kelu.
Bolehkah aku menyimpulkan bahwa itu adalah wujud sebenar perasaanmu padaku? Atau sekedar sebab kecakapan hafalan memang ahlimu?
Tapi setelahnya kembali,
Tanganmu malu-malu menyemat cincin di jari, sementara tanganku telah kaku menanti. Aku tidak mengerti saat itu situasi apa yang sedang terjadi. Sebab potongan cerita itu, Bapak mengomentari kalau aku kurang arif meletakkan harga diri dan itu sangat menggangguku hingga kini.
Mengapa kamu ragu menggenggam jemari yang telah halal ini?
Pura-pura lupa. Bukankah kamu telah mengkhianati diri?
0 notes
ceritacintacita · 2 years
Text
Mula
Menurutmu, kita dipertemukan.
Menurutku, kita bertemu sebab perasaan.
Apa aku harus menyimpulkan bahwa sejak awal, kamu memang tidak berniat kita menjadi satu tujuan? Ataukah anggapan itu hanya sebab kamu yang malu mengakui perasaan?
Pada akhirnya, dalam kebersamaan ini aku terjebak! Sekedar hendak memastikan apakah kita sepemikiran? Atau selama ini, aku saja yang kege-eran?
0 notes