Tumgik
danindyar · 4 years
Text
Redamancy?
huit.
Akhirnya hari yang aku nantikan tiba. Aku hanya bisa tidur sekitar dua jam tadi malam. Hanya karena aku terlalu excited dan tidak sabar ingin segera berangkat ke Jepang. Rasanya seperti anak di sekolah dasar yang tidak sabar untuk mengunjungi museum bersama teman-temannya untuk kali pertama. Aku merapikan semua file dan menyerahkan beberapa data yang mungkin akan dibutuhkan pada beberapa orang di departemenku. Sore harinya aku berpamitan pada beberapa orang karena seminggu kedepan aku akan menghilang, agar mereka tidak mencariku.
Aku masih sempat mandi dan mengecek ulang semua keran, kompor, serta barang elektronik lain di rumahku setelah pulang kantor. Tepat pukul 19:00 Adam mengatakan kalau ia sudah di lobby, menjemputku. Aku bergegas turun menuju lobby, memasukkan barang ke bagasi dibantu oleh Adam, lalu langsung berangkat menuju bandara.
“Udah siap?” tanya Adam.
“Jelas.” Jawabku sambil merapatkan jaket yang kupakai.
“Masih di Jakarta loh ini belum dingin.”
“Kan mobilnya pake AC jadi dingin? Hahaha.”
Adam tidak menjawab apapun hanya mengacak-acak rambutku.
“Ih Adam!”
*
“Kenapa sih minta cepet-cepet tadi di jalan? Ini masih jam setengah sembilan.” Tanyaku ketika sudah sampai di bandara.
“Kamu emang nggak lapar?. Yuk makan dulu.” Adam menggandeng tanganku menuju sebuah restoran cepat saji.
Kami juga membuat janji untuk bertemu dengan suatu agen penyedia wi-fi untuk nantinya kami gunakan di Jepang sana. Dengan adanya wi-fi portable seperti ini akan memudahkan sekali kami untuk mengakses internet di negeri orang. Kok jadi kayak iklan gini sih? Hahaha tidak, aku hanya ingin menunjukkan betapa teknologi bisa sangat membantu di zaman sekarang ini. Seakan menyulitkan manusia untuk mengeluh, iya kan?
Ini kali pertama aku pergi sangat jauh dan cukup lama bersama Adam. Orang bilang, ajak saja travelling kalau ingin tahu luar-dalamnya seseorang. Jadi, doaku kali ini, selain meminta agar semuanya lancar, adalah semoga Adam memang orang yang tepat untuk menemani aku berkeliling dunia sampai tua.
Setelah makan kami langsung menuju check point yang sudah ditentukan oleh travel agent. Berkenalan dengan beberapa orang yang juga akan berangkat serta menghabiskan waktu bersama di sana. Rasanya aku sulit fokus dengan semua itu dan hanya ingin segera terbang saja. Aku bahkan tidak ingat nama-nama orang yang tadi berkenalan denganku.
*
Akhirnya waktu yang aku nantikan tiba. Pesawat kami take off pukul 23.30 WIB dan aku senang kami berangkat tepat waktu tanpa delay atau apapun itu. Kulihat Adam menutup matanya sambil membisikkan sesuatu, mungkin berdoa, kemudian menggenggam tanganku. Belum pernah perjalananku di pesawat semenyenangkan ini, bahkan tanpa aku harus memilih film untuk membunuh rasa bosan. Bercerita tentang banyak hal, berdebat soal martabak manis atau asin yang lebih enak, sampai berusaha mencari tahu apakah Profesor Agasa benar bagian dari Black Organization atau bukan. Jemari kami terus bertautan sampai akhirnya kami berdua terlelap. Sebelum aku jatuh terlalu dalam pada tidurku, aku merasakan kecupan ringan di puncak kepalaku. Tuhan, indah sekali rasanya jatuh cinta!              
*
Sekitar pukul 08.15 waktu Jepang, kami tiba di Bandar Udara Internasional Kansai kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menuju Kyoto. Perjalanan ini memakan waktu satu jam dengan menggunakan kereta. Sesampainya di Kyoto kami langsung menuju penginapan untuk menyimpan barang bawaan dan makan siang. Tidak ada kesempatan untuk beristirahat karena perjalanan terus berlanjut. Kali ini kembali menggunakan kereta, kereta JR untuk menuju stasiun Inari.
“Seneng ya? Di sini kemana-mana bisa pake kereta.” Adam berbisik padaku saat kami sampai di stasiun Inari.
“Di Jakarta juga kemana-mana pake kereta bisa kok. Kamunya aja yang selalu pengen instan jadi bawa kendaraan sendiri atau ojek online. Makanya, sekali-kali ayo jalan-jalan pake KRL.”
“Ayo. Siapa takut.” Jawab Adam.
Destinasi kami selanjutnya adalah Fushimi Inari Taisha. Begitu sampai ternyata tempat ini sangat padat dan banyak pengunjung. Padahal kata orang, Fushimi Inari biasanya ramai setiap awal tahun karena banyak yang ingin sembahyang di sini. Setelah melewati gate besar yang berwarna oranye itu, terlihat banyaknya penjual makanan, aksesoris, dan oleh-oleh lainnya. Aku sempat tertarik untuk membeli okonomiyaki yang wanginya sangat menggoda, namun kuurungkan karena perutku masih penuh setelah makan siang tadi.
“Kamu tau nggak? Kuil ini tuh dijadiin kuil pusat buat sekitar 40.000 kuil Inari yang memuliakan Inari yang tersebar di seluruh Jepang.” Kata Adam saat kami menelusuri deretan gerbang berwana oranye.
“Dan Inari maksudnyaaa…?” aku bertanya
“Hmm padi. Ya maksudnya semacam untuk kuil yang memuliakan dewa padi gitu.”
“Selama ini aku cuma tau Inari Kani Mayo.” Ucapku menyebutkan salah satu menu di rumah makan Jepang yang biasa kami kunjungi.
“Makanan mulu.” Lagi. Adam menjawabnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Kita biasa liat seluruh kota Kyoto dari sini.” Terdengar suara tour guide kami. “Tapi harus naik ke gunung sana dan perjalanan bulak-balik sekitar empat sampai lima jam.” Sambungnya.
Tentu saja tidak ada satupun dari kami yang mencoba naik ke gunung itu mengingat waktu yang tidak memungkinkan, kami masih ada satu destinasi lagi hari ini. Tour guide kami menjelaskan sejarah dan segala seluk-beluk mengenai Fushimi Inari Taisha ini. Katanya, setiap gerbang oranye atau disebut Torii ini tersimpan harapan dan doa bagi orang atau perusahaan yang menyumbang untuk pemasangan dan perawatan Torii tersebut. Jujur, meskipun ramai suasana di sini tetap terasa tenang dan sejuk.  
*
Kami kembali ke stasiun Kyoto menggunakan kereta JR kemudian berjalan menunggu bus untuk meunuju Arashiyama. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari luar bus karena pemandangan Kyoto terlalu indah untuk dilewatkan. Di sebelahku Adam sedang sibuk dengan telepon genggamnya.
“Kamu ntar nyesel deh nggak liat ini. Kyoto indaaaaah banget Dam.” Aku akhirnya mengalihkan pandanganku pada Adam. Ia hanya tersenyum sekilas namun tetap fokus pada layarnya.
Seketika terbesit perasaan bersalahku karena mengajak Adam berlibur di saat ia sedang sibuk-sibuknya mengurus kepindahan ia ke Singapura.
“Hey?” kataku lagi. “Maafin aku ya?”
“Maaf kenapa La?”
“Yaaaa maaf soalnya aku malah ajak liburan padahal kamu lagi ribet sama urusan kantor kamu.”
Kali ini Adam akhirnya menyimpan telepon genggamnya dan menatapku.
“Nggak La. Aku juga mau ini kok. Capek juga tau terkurung di dalem gedung-gedung tinggi Jakarta tu, sekali-kali harus lah jalan-jalan begini.”
“Beneran nggak apa-apa?”
“Iya sayang. Tuh liat ada kangguru di luar.”
“Hah mana?” aku langsung memalingkan muka, bersemangat untuk melihat kangguru yang tadi disebutkan oleh Adam. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa tidak mungkin ada kangguru iseng yang sedang berjalan-jalan santai di jalanan Kyoto. Aku melirik Adam dengan perlahan dan menemukan ia sedang susah payah menahan tawanya.
*
Saat turun dari bus di titik Arashiyama dekat Sungai Katsura, aku sangat takjub dengan pemandangannya. Kalau kalian punya kata yang lebih hebat dari indah tolong segera kabari aku ya! Kami berjalan dengan santai memasuki Arashiyama yang ternyata sangat luas dan banyak sekali tempat untuk turis. Salah satu yang paling umum adalah Arashiyama Bamboo Groves. Selain itu ada juga berbagai macam kuil dan ada pula Monkey Park, untuk melihat monyet-monyet liar di alam bebas.
Aku membeli es krim matcha sambil berjalan diantara pohon-pohon bambu ini. Sayangnya, ternyata sulit sekali mengambil momen untuk berfoto karena di sini padat sekali. Sebenarnya aku lebih senang menyimpan segala memori dalam kepala saja, namun untuk kali ini rasanya aku ingin sekali mengabadikannya lewat lensa. Akhirnya kami berhasil mengambil foto walaupun seadanya, saling bergantian foto dengan orang lain yang ikut di tour yang sama.
Kami hanya menghabiskan waktu di Arashiyama sampai pukul 16.00. Aku juga sudah tidak sabar untuk segera sampai ke penginapan karena aku mulai merasa kedinginan. Aku menyesal tadi malah membeli es krim matcha padahal ini sedang musim dingin. Saat aku mengeluhkan bahwa aku merasa kedinginan, Adam hanya berkata, “Kan dari awal aku udah bilang ini dingin ngapain kamu beli es krim.”
Hampir kesal dengan jawaban itu namun segera sirna karena Adam menarikku dalam rangkulannya tanpa berkata apapun lagi.
*    
Hari ini diakhiri dengan Ryokan Experience. Kami menginap di sebuah ryokan sederhana namun sangat bersih. Di sana disediakan yukata untuk kami gunakan saat makan dan untuk menuju ke tempat pemandian. Senang sekali akhirnya bisa berendam di air panas setelah seharian lelah berjalan-jalan dalam cuaca dingin. Setelah berendam, kami menikmati makanan yang sudah disiapkan begitu kami selesai berganti pakaian dengan menggunakan yukata. Disediakan nasi, miso soup, tofu, tempura, dan beberapa sajian ikan yang berbeda-beda. Suasana tradisional Jepang sangat terasa terlebih karena kami makan dengan menggunakan yukata. Hari ini sudah menjadi hari yang paling membahagiakan yang bisa aku ingat, semoga besok bahagia itu akan bertambah. Selamat malam dunia!
-tbc-
3 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
sept.
“La itu kan kepala pelaksananya gue.” Kata Rano
“Hah?”
“Iya. Lo nggak merhatiin deh pasti. Nama dan tanda tangan gue terpampang nyata di situ.”
“Ya mana gue merhatiin No. Udah kaget duluan sama isinya.”
“Cuti kemana La?” tanya Tania.
“Hehe niatnya liburan sih Tan. Gue pikir minggu depan masih santai gitu karena training tuh jadwalnya masih satu bulan dari sekarang kan. Lagian kok gue bisa tiba-tiba jadi panitia inti sih No?” aku kembali mengalihkan obrolan pada Rano.
“Ya lo kan dulu pernah bilang pengen pindah HR. Terus kebetulan gue mengajukan diri jadi kepala pelaksana, orang HR approve. Lalu dari hasil meeting-meeting beberapa orang yang berpotensi naik atau pindah HR lebih baik diikutsertakan jadi panitia. Jadi, gue masukin nama lo.” Rano menjelaskan panjang lebar.
Jujur aku senang karena memang benar aku sempat berpikir untuk pindah ke departemen HR, tapi lebih jujur lagi aku kesal dengan sok tahunya Rano ini. Maksudku, aku tidak ingin buru-buru pindah HR, aku juga masih sangat nyaman dengan posisiku sekarang. Selain itu, waktunya sedang tidak memungkinkan untuk aku ikut bergabung di pra-pelatihan ini.
“Bisa cancel nggak sih No?” tanyaku pelan, setelah hening yang cukup panjang.
“Iya, gue mau kok kalo harus gantiin Nala. Yaaa maksudnya kalau posisi Nala harus banget langsung ada yang gantiin.” Raline mencoba membantuku.
“Lo bukannya lagi urus buat pindah PR ya?” tanya Rano
“Iya sih. Nggak masalah lagian, bisa diurus soal itu. Kan nggak gitu aja dengan gabung di inti lo langsung bisa join HR setelahnya?”
“Masalahnya kalo email aja udah disebar, berarti SK juga udah turun.”
“Yaudah nanti gue coba langsung ngomong ke HR. Lain kali coba tanya sama orangnya ya No urusan gini.” Sambil tersenyum aku menyudahi makan siangku lalu mengajak Raline kembali ke kantor.
*    
“Enggak Line. Gue nggak marah kok sama Rano. Cuma gue bingung aja harus bilang apa coba ke HR. Sementara gue nggak mungkin lah batalin ke Jepang.”
“Iya paham…”
“Tar deh sebelum balik gue paksain mampir HR. Siapa tau udah dapet pencerahan harus ngomong apaan.”
Ponselku bergetar dan terlihat sebuah pesan masuk dari Rano.
“Sorry ya La. Ini gue coba urusin deh.” –Rano
“Its okay No. Sama gw aja ntar sore.”      
“Line. Ini Rano chat gue. Katanya mau coba urusin soal pra-pelatihan itu. Tapi gue bilang gue aja yang urus nanti sore. Abis kesel gue.”
“Tadi  katanya nggak marah.” Jawab Raline.
“Hehe kesel doang Raline. Beda ama marah.”
Sekitar satu jam dari pesan Rano tersebut, muncul kembali pesan yang lain.
“Beres ya La. Sorry banget gue kira lo bisa reschedule cutinya.”
“Reschedule palelu.” Aku bergumam pelan, namun ternyata Raline mendengarnya.
“Ngatain siapa sih lo tuuuh?”
“Rano. Hehe.”
“Kenapa? Pra-pelatihannya di-reschedule?”
“Nggak lah. Dia bilang dia kira gue bisa reschedule jadwal cuti gue. Aneh-aneh aja.”
Tapi gimanapun terima kasih ya Rano, urusan ini jadi beres. Ya meskipun ini dimulai gara-gara ulah dia sendiri tapi yang penting liburan gue Jumat nanti bakal tenang. Ada sedikit perasaan sedih sih karena kesempatan ke HR jadi menjauh lagi, tapi nggak apa-apa. Aku tau aku akan lebih menyesal kalau kesempatan ke Jepang bareng Adam yang menjauh.  
*
Aku dan Adam akhirnya memutuskan untuk menggunakan jasa travel agent untuk liburan nanti. Pertimbangannya adalah karena ini kali pertama kami ke Jepang dan agar dijauhkan dari pemikiran yang kurang baik (yang bisa saja muncul dari orang lain) karena kami tidak hanya berdua nanti. Selain itu setelah dihitung untuk biaya menginap saja jadi jauh lebih murah karena sharing kamar dengan orang lain yang menggunakan travel agent tersebut.
Visa juga sudah diurus oleh travel agent tersebut. Sangat memudahkan aku dan Adam yang baru bisa mengurus liburan ini di akhir pekan. Kami tinggal mengisi formulir dan menyiapkan beberapa dokumen seperti foto kopi ktp, tiket pulang dan pergi, paspor, dan dokumen lainnya yang dibutuhkan. Tiket pesawat pulang-pergi juga tentu saja sudah diurus oleh travel agents tersebut. Kami terima beres segala urusan dokumen itu.  
Saat nanti kami sampai ke Jepang, diperkirakan akan disambut oleh udara yang cukup dingin. Karena ini bulan November maka diperkirakan Jepang sudah berada di penghujung musim gugur dan mulai memasuki musim dingin. Maka, aku dan Adam sudah menyiapkan baju-baju yang tebal dan hangat. Tidak lupa membawa koyo pereda nyeri, minyak aromaterapi dan obat herbal untuk masuk angin (sebagai orang Indonesia tulen kami yakin akan membutuhkan barang-barang ini). Beberapa bungkus mie instan juga tidak lupa kami selipkan di koper. Kami sudah sangat siap berangkat ke Jepang!
*
Aku dan Adam menghabiskan hari-hari untuk bekerja ekstra agar tidak dihantui oleh pekerjaan yang belum selesai saat liburan nanti. Seperti malam ini, sampai jam tanganku menunjukkan pukul 21.46 kami masih berada di kantor masing-masing. Berkutat dengan layar komputer dan data-data yang bertebaran di meja.
“Nala?” terdengar suara dari ujung ruangan.
“Eh? Hai No.”
“Lah belum balik?” Rano menghampiriku.
“Kalo udah serem No. Ini siapa yang lo ajak ngobrol?”
“Ssssttt ah. Kemarin Tania baru aja cerita serem soal lorong itu.” Rano menunjuk lorong yang berada di belakangku.
“Cerita apa dia?”
“Ada deh. Gue nggak mau ceritain disini ah.”
“Yeee penakut lo.”
“Jadi, kenapa lo belum balik?” tanya Rano lagi.
“Karenaaaa… masih kerja?” aku balik bertanya.
“Nggak dibawa ke rumah aja?”
“Nggak akan beres No. Gue tuh kalo udah nyampe rumah maunya chill gitu. Nonton film kek atau youtube.”
“Yaudah. Kenapa nggak besok-besok lagi dikerjainnya? Ngerjain apaan sih?”
“Karenaaa… biar beres. Gue ngejar Jumat siang semua kerjaan gue nggak ada yang belum beres.” Kali ini aku berbicara sambil menatap Rano. “Lo sendiri? Nggak balik?”
“Masih ngurus buat pra-pelatihan minggu depan.”
“Serius? Raline juga masih di sini dong?”
“Dia udah balik satu jam yang lalu. Tinggal gue ama Mita doang sih.”
Kali ini aku hanya menganggukkan kepala untuk menanggapinya.
“Liburan kemana sih lo?” tanya Rano lagi
“Nanya mulu lo kayak dosen penguji.” aku tertawa
“Yaudah.” Rano beranjak pergi.
“Dih ngambekan. Mau ke Jepang gue insha Allah. Jumat malem berangkat.”
“Widiih. Liburan keluarga? Solo travelling? Asik sih. Pantes lo nggak bisa reschedule cuti.”
“Ya kali reschedule. Sama Adam gue.”
“Berdua doang?”
“Iya. Yaaa technically nggak berdua banget sih karenaa ikut tour dari travel agent gitu.”
“Okay. Have fun. Gue balik sana dulu ya.” Rano langsung balik badan meninggalkan aku begitu saja.
“Nggg. Okay. Thanks No.” jawabku dengan sedikit berteriak.  
Setelah Rano pergi aku balik badan melihat lorong yang tadi ditunjuk oleh Rano. Menjadi parno karena Rano tiba-tiba saja pergi. Bisa saja kan karena melihat sesuatu disitu? Akhirnya aku memutuskan untuk segera membereskan barang-barang dan pulang sesegera mungkin. Aku pulang sambil mengirimkan pesan pada Rano,
“Kenapa lo tadi buru-buru gitu? Gw jadi parno ada sesuatu di lorong dah.”
Pesan tersebut langsung dibalas dengan hanya dua kata,
“Ye penakut.”  
-tbc-
4 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
six.
“Ketemu dong kita. Kangen banget gila. Berapa lama lo di Jakarta?” aku menjepit ponselku diantara telinga dan bahu, sambil mencari remote televisi yang sering kali menghilang.
“Lama kok, dua minggu kali ya. Awal bulan depan baru balik sana lagi.”
“Yaudah, besok gue jemput ya?” akhirnya aku menemukan remote dan langsung menyalakan televisi.
“Yaudah boleh. Gue punya banyak banget cerita deh buat lo.”
“Gue juga. Yaudah, see you Ghe. Gue jemput jam 11 ya! Rumah lo nggak pindah kan?”
“Nggak lah La hahaha.”
“Okay. Gue tutup ya telfonnya. Bubbye!”  
Aku menghempaskan diri pada sofa. Memindah-mindahkan channel dan akhirnya berhenti pada satu channel yang berisi liputan segala makanan, lalu membiarkan televisi terus menyala sementara pikiranku melayang jauh. Ini hari Jumat, tapi Adam tadi tidak menjemputku. Katanya dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dan kalau aku menunggunya akan cukup lama. Maka, tadi aku pulang kantor pergi bersama Tania dan Rano karena kebetulan aku butuh membeli beberapa barang di mall dan mereka juga memang akan menonton film di mall tersebut.  
Aku masih tertawa jika mengingat kejadian tadi, Rano sudah berusaha menyetir dengan cepat karena mengejar jadwal nonton di bioskop pukul 18.50. Begitu sampai di mall aku dan Tania segera turun untuk menuju mushola sementara Rano harus mencari parkir. Setelah selesai solat, Tania pamit padaku dan langsung bergegas menuju bioskop, begitu juga dengan Rano. Aku berjalan menuju sebuah toko yang menjual peralatan rumah tangga, aku membutuhkan panci berukuran kecil karena pagi tadi aku tidak sengaja menjatuhkan panciku dan menyebabkan gagangnya patah. Saat sedang memilih panci tiba-tiba ponselku berbunyi, Tania meneleponku.
“Ada apa Tan?”
“Lo dimana La?”
“Ace. Kenapa?”
“Gue kesana deh ya.”
Aku tidak mengerti kenapa Tania malah menemui aku padahal seharusnya ia dan Rano sudah mulai menonton filmnya. “Iya, gue di lorong panci wajan gitu ya.”
 Tidak begitu lama Tania dan Rano sudah berada di depanku, “Kalian nggak jadi nonton?” tanyaku. Tania hanya tertawa kecil sementara Rano terlihat kesal.
“Coba ceritain Tan, kenapa kita nggak jadi nonton?” Rano berkata, tangannya masih terlipat di dadanya.
“Bukan nggak jadi ih. Jadi kok nonton, cuma ya gitu.”
“Cumaaa?” tanyaku
“Hehe gue salah La. Bukan 18.50 tapi 20.50. Jam delapan lewat lima puluh, bukan delapan belas lima puluh.”
“Astagaaaaa.” Aku lalu menertawakan Tania dan Rano karena tadi mereka sudah panik takut terlambat.
“Makan deh yuk.” Rano berkata sambil melihat jam di tangannya, “Masih dua jam lagi nih.”
“Yuk. Hehehe.” Tania menyetujui ajakan dari Rano.
“Hmm gue nggak ikut deh. Kayaknya gue abis ini mau langsung pulang.” Jawabku.
“Oh. Janjian sama pacar ya? Dijemput?”
“Engga Nooo, cuma gue tuh kalo pagi masak sekalian buat siang ama malem. Sayang kalo nggak kemakan nanti.”
“Okay. “
Setelah itu aku membayar panci dan beberapa barang lain yang kubeli, lalu langsung pulang sementara Tania dan Rano menuju sebuah tempat makan.
 Pikiranku kembali melayang pada televisi depan mataku dan seketika menyadari bahwa aku lapar. Sebelum beranjak ke dapur, aku kembali melihat layar ponselku. Adam masih belum menghubungi. Mungkin ia masih di kantor, menyelesaikan pekerjaannya.
“Hey, jangan lupa makan.” akhirnya aku mengirimkan pesan singkat untuk Adam.
Tidak lama dari terkirimnya pesanku, ada panggilan masuk dari Adam. Adam mengatakan ia baru saja keluar dari kantornya saat aku mengingatkan untuk makan malam. Kemudian seperti biasa ia memintaku untuk menemaninya selama perjalanan pulang. Adam langsung menuju rumahnya karena sudah menyempatkan makan malam di kantornya tadi. Ketika Adam sampai di rumahnya aku sudah menyelesaikan makan malamku bahkan sudah mencuci alat makan yang aku gunakan.
***
“Ghe? Ini gue udah deket rumah lo.” Aku menelpon Ghea saat sudah memasuki komplek perumahan Ghea.
“Iya gue udah siap kok.”
Aku kemudian memarkirkan mobil tepat di depan rumah berpagar hitam. Tidak lama Ghea sudah sudah keluar dari pagar tersebut dan duduk di samping jok kemudiku.
“Nalaaaa!”
“Ghee! Jadi mau kemana nih kita?”
“Makan aja yuk? Biar enak cerita-ceritanya.” Ghea memberi usul.
“Setuju sih. Mall aja ya?”
“Boleh.”  
*
Setelah menyebutkan pesanan masing-masing, aku mulai membuka pembicaraan dengan Ghea.
“Sooo, gimana update kehidupan? Seneng di sana?”
“Banget Laaa. Deket tau kalau mau ke Bali.”
“Jadi ngiri. Tau deh kapan terakhir aku ke pantai. Terus-terus? Mas Tirta apa kabar?”
“Baik. Cuma kerjaannya lagi padat, jadi nggak bisa ikut kesini padahal pengen banget katanya.”
“I see.” Aku mengangguk sambil mengaduk-aduk minumanku sementara Ghea sudah mulai makan nasi dan sop iga pesanannya.
“Tunggu. Gue mau ke toilet bentar.” Ghea berjalan cepat menuju kamar mandi sambil menutup mulutnya. Aku melihat ke arah makanan Ghea, mencari tahu barangkali ada sesuatu yang aneh. Tidak lama Ghea berjalan kembali dari arah kamar mandi sambil tersenyum.
“Sorry ya La.”
“Lo nggak apa-apa? Nggak enak ya?”
“Enak koook.” Ghea tertawa kali ini . “Baby-nya suka rewel emang.”
“Lo hamiiiil?” aku hampir berteriak kalau Ghea tidak segera menyuruhku untuk diam.
“14 weeks. Belum keliatan ya?”
“Kenapa nggak cerita sih ya ampun. Selamaaaaat!” aku mendekat ke arah Ghea dan memeluknya dari samping.
“Ya ini kan sekarang cerita. Makasih Laaaa.” Jawabnya tersenyum.
“Ini mas Tirta kok ngebolehin lo balik sini sendirian sih?”
“Gue nangis-nangis kangen nyokap La. Bawaan hormon mungkin, sebelumnya nggak pernah padahal. Ya terus dia bingung kali harus gimana. Akhirnya setelah lewat trisemester pertama gue dibolehin ke sini. Dianter ke bandara terus begitu nyampe sini juga langsung dijemput.”
“Serius. Gue ikut seneng. Gue mau punya ponakan.”
“Lo sendiri? Gimana sama Adam? Nggak diapa-apain kan lo sama dia?”
“Nggak lah Gheeeee.” Aku tertawa. Ghea ini awalnya memang teman dekat Adam, tapi seiring berjalannya waktu, malah aku jadi lebih dekat dengan Ghea. Mungkin karena sama-sama perempuan, jadi kami lebih sering bertukar cerita.
“Ya siapa tau kan.”
“Gue sama Adam yaaa gitu. Baik. Sangat baik.” Aku menjawab singkat. “Hmm. Nggak tau lagi harus jawab apa.”
“Udah mau nyusul gue?”
“Buat liburan kesana?” aku sengaja menggodanya.
“Ya bukan lah Laaaaa…”
“Hehe belum Ghe. Ya nggak tau sih, Cuma jujur aja, baik gue maupun dia kayaknya lagi happy keadaan kayak gini. Dia juga mau dipindahin ke Spore dalam waktu dekat.”
“Spore? Really? LDR dong La?”
“I guess.”
“You’ll be okay.”
“I will.”
Kami melanjutkan makan siang yang diselingi oleh curhatan-curhatan yang sudah kami coba kumpulkan. Saat kami menikmati es krim sebagai makanan penutup, Adam datang menyusul.karena kami tidak mempunyai tujuan lagi setelah makan siang, maka akhirnya kami memutuskan untuk ke rumahku dan menonton film di sana saja.
*
“Jadi nanti kalian tinggal di mana kalau udah nikah? Di sini?” tanya Ghea ketika Adam sedang memilih film yang akan kami tonton.
“Hmm?” aku tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Ghea.
“Lo nanti mau namain anak lo siapa?” Adam malah memberi pertanyaan lain untuk Ghea.
“Ya siapa aja deh asal bukan Adam.” Jawab Ghea
“Apalagi kalo anaknya cewek ya.” Aku ikut menjawab.
“Jadi? Tinggal di sini atau Nala bakal dibawa pindah ke Singapur?” Ghea masih belum menyerah akan pertanyaan ini.
“Di Asgard.” Jawab Adam sambil tetap memilih film.  
“Asli garut maksud lo?”
“Jadi ini mau nonton apa? Jadi mau horror? Nggak ada yang rame. Mending Star Wars.”
Tanpa persetujuan dari aku maupun Ghea, Adam langsung memilih salah satu film Star Wars. Aku yang tidak begitu menikmati filmnya, langsung tertidur hanya beberapa menit setelah film diputar. Samar-samar aku masih mendengar suara dari film itu dan percakapan antara Adam dan Ghea. Sampai tiba-tiba aku dibangunkan oleh Adam karena hari sudah sore dan ia mau mengantar Ghea pulang. Ternyata aku tertidur cukup lama padahal rasanya baru beberapa menit saja.
*
“Pokoknya lo harus jagain Nala. Kalau dia kenapa-napa lo yang salah.” Kata Ghea setelah turun dari mobil.
“Iyeee dah. Bawel amat ya bumil.”
“Thanks ya Ghe. Semoga sebelum lo balik sana kita bisa ketemu lagi. Kabar-kabarin yaaa.”  Aku ikut turun dari mobil.
“Ah I miss you already La.”
“Me too.”
Aku memeluknya untuk sekalian berpamitan. Terkadang aku berharap Mas Tirta tiba-tiba ditugaskan ke Jakarta agar Ghea tidak perlu jauh kesana. Yaa tapi kalau ternyata dia bahagia di sana, aku saja yang menyusulnya ke sana, berlibur!
***
Senin ini aku dikejutkan oleh surel yang tiba-tiba muncul saat aku hendak beranjak untuk makan siang. Aku semakin terkejut setelah membuka lampiran surel tersebut yang berisi susunan jadwal suatu kegiatan.
“La? Ayo!” suara Raline membuyarkan pandanganku dari layar komputer.
“Eh iya. Sorry sorry buka email dulu barusan.”
Sesampainya di kantin aku dan Raline memutuskan untuk bergabung bersama Rano dan Tania. Makanan yang kami pesan datang dengan cepat karena ternyata kantin sedang tidak terlalu ramai. Raline dengan segera menyantap baksonya sementara aku menyesal memilih nasi padang yang kalian tahu sendiri porsinya sebanyak apa.
“La? Tu nasi padang mau didiemin sampe ngambek?” Rano bertanya
“Udah ngambek makanya nggak disentuh ama Nala, takut dia. Nggak bisa lebih garing dari ini No?” balas Raline
“Eeehh? Nala ngambek kenapa?” kali ini tentu saja Tania yang bertanya.
“Apa sih Taaaan?!” Rano dan Raline mengeluarkan suaranya bersamaan.
“Hahaha enggak Tan. Nggak ada yang ngambek. Lagi pusing aja gue.”  
“Ya makanya itu makanan dimakan. Biar lo nggak pusing.” Raline terlihat mulai tidak sabar.
“Ini loh guys. Gue baru tau minggu depan ada pra-pelatihan gitu. Laluuu gue baru aja dapet email kalo gue panitia inti. Kok bisa padahal sebelumnya nggak ada omongan apapun dari siapapun. Bingung nggak lo?” akhirnya aku menceritakan isi surel yang membuat aku pusing ini.
“Lah? Minggu depan kan lo cuti?” tanya Raline.
“Tepat.” Jawabku sambil akhirnya mulai menyentuh nasi padangku.
  -tbc-
2 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
cinq.
“Wow! Kenyang bikin kamu mudah memutuskan ya? Padahal barusan banget kayaknya kamu masih bingung mau apa.” Adam terlihat kaget mendengar aku yang akhirnya sudah memiliki keputusan tentang kado ulang tahunku nanti.
“Iya! Aku khawatir juga nih penawaran kadonya jadi batal kalau aku lama jawabnya.” jawabku sambil tertawa.
“Jadi? Mau apa?”
“Jepang… yuk? Disneyland? Disneysea?” ucapku ragu.
Tanpa perlu lama berpikir, Adam menjawab dengan mantap, “Yuk!”
Senyum yang begitu saja mengembang tidak bisa aku hindari.
“Seriuuus? Kamu mau?”
“Mau lah. Kenapa enggak? Cuma waktunya harus diatur… kapan ya?”
“Pastinya harus segera dooong. Sebelum kamu sibuk di Singapore. Sebelum aku mulai training juga karena bakal susah ambil cuti.” Lalu tiba-tiba saja pikiranku sudah melayang jauh ke Negeri Matahari itu. Percayalah, sepanjang jalan pulang aku tidak bisa berhenti tersenyum.
*
Jadi hari ini kami habiskan dengan mencari tanggal yang cocok dengan jadwal kami berdua. Mempertimbangkan berlibur menggunakan trave agent atau ya pergi sendiri saja tanpa panduan. Mencari info tentang pembuatan visa karena aku belum memiliki ­e-paspor. Tentunya juga memilih destinasi.
“Eh, Dam? Jangan salah paham ya soal ini?”
“Apa tuh?”
“Aku nggak minta kamu bayarin trip ini loh. Aku cuma minta kadonya yaaa kamu nemenin aku buat main di sana.”
Adam hanya tersenyum dan lagi-lagi mengacak-acak rambutku.
“Aku seriuuus.” Kali ini aku sampai mengubah posisi duduk tepat di depannya.
“Iya sayang.”
“Kadonya adalah diri kamunya, okay?”
“Iyaaa bawel deh. Eh tapi, ini pasti kadonya nggak bisa tepat waktu dikasihnya.”
“Ya nggak apa-apaaaa. Kan lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.” Lalu aku menjulurkan lidah, mengejeknya, dan kembali sibuk browsing tentang rencana trip kami nanti.
Aku tidak menyangka Adam akan mengabulkan kado yang aku minta untuk ulang tahun ini. Aku tidak yakin karena perjalanan ke Jepang tentu saja membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, aku juga tahu dia sedang sangat sibuk mengurus kepindahannya ke Singapore. Aku juga belum yakin aku bisa dapat cuti panjang dari kantorku. Tapi bagaimanapun, aku sudah terlalu bersemangat jika memikirkan ini. Ugh, I can’t wait!
**
Akhirnya hari ulang tahunku datang. Tidak ada yang spesial, hanya ucapan-ucapan baik dari teman, keluarga, maupun rekan kerja. Hari ini juga berjalan dengan baik. Sangat baik. Namun entah mengapa aku merasa sepi. Terkadang aku merindukan hari ulang tahun saat masih sekolah atau kuliah dulu. Bukan artinya aku ingin diberi kejutan atau ya apalah itu. Hanya saja, aku selalu senang apabila ada moment ulang tahun karena itu adalah waktu dimana aku dan teman-temanku bisa berkumpul.
Adam adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku, selalu, sama seperti empat tahun terakhir. Bahkan empat tahun yang lalu, Adam adalah orang yang tiba-tiba mengetuk pintu rumahku (rumah orang tuaku, lebih tepatnya) pada tengah malam dan menyuruhku meniup lilin yang ia tancapkan pada sebuah cupcake. Padahal saat itu aku masih punya pacar (dan tentunya ini menimbulkan pertengkaran dalam hubunganku dulu).
Tiga tahun yang lalu Adam datang ke kampusku malam-malam. Memaksa aku untuk pulang bersamanya. Aku menolaknya karena aku masih mengerjakan skripsi bersama temanku, kemudian ia tampak kesal dan pergi begitu saja. Temanku menyuruh aku untuk mengejarnya dan pulang saja. Awalnya aku menolak karena rasanya terlalu drama, sinetron abis, iya kan? Ya tapi akhirnya memang aku mengejarnya. Begitu aku berhasil menyamakan langkahku dengan langkah Adam tiba-tiba saja ‘plokkkk’, Adam memecahkan telur di kepalaku. Lalu dengan cepat temanku mengambil tasku dan temanku yang lainnya menyiramkan air yang entah sudah dicampur apa saja karena baunya sangat tidak enak. Kesal dan senang bercampur menjadi satu di malam aku berusia 22 tahun, ya aku tidak bisa protes kan. Sejak saat itu, hubunganku dengan Adam menjadi semakin dekat, lebih dari teman. Memang tidak pernah ada pernyataan langsung bahwa kami berpacaran… tapi ya mungkin bukan zamannya lagi tembak menembak yang ala anak SMA begitu.              
Hari ini, Adam mengajakku untuk makan malam. Birthday dinner karena hadiahku masih belum siap katanya. Masih sekitar dua minggu lagi sampai kita akan berangkat ke Jepang. Hari ini aku sengaja menggunakan dress selutut warna salem yang dipadukan dengan blazer berwarna coklat. Aku sudah memperkirakan bahwa aku tidak akan sempat untuk pulang terlebih dahulu, maka aku sengaja menggunakan dress ini agar aku tinggal merapikan make up saja. Adam tidak bisa menjemputku karena katanya ia masih ada meeting sampai sore.
“Eh, Rano? Ada apa?” tanyaku pada Rano yang tiba-tiba muncul di balik meja kerjaku.
“Mau balik?”
“Enggak sih. Gue ada perlu dulu abis ini.”
“Nggak ada rencana traktir anak kantor nih?” kali ini Rano menarik kursi milik Raline dan mendudukinya.
“Nanti ya. Kalo gue udah besanan ama Raffi Ahmad gue traktir dah lo dan semua orang di kantor ini. Maunya apa tinggal bilang.” Kuakhiri jawabanku dengan tawa. Kenapa pula aku kepikiran untuk besanan dengan Raffi Ahmad.
“Gileee. Gue udah jadi direktur kali pada saat itu.”
“Aamiin.” Kataku dengan kencang sambil mengusapkan telapak tangan ke wajahku. “Bercanda gue, yuk makan-makan. Tar tapi ya abis gue cuti.”
“Lo mau kemana sih? Nggak kurang lama ambil cuti seminggu full?”
“Mau menyiapkan taktik untuk mengakuisisi perusahaan.”
“Wah jadi dong gue naik pangkat, jadi direktur. Rekrut gue jangan lupa.”
“Dah ah. Gue cabut duluan ya No. See you!” aku pergi meninggalkan ruangan, tanganku sibuk memesan kendaraan online untuk menuju restoran tempat aku dan Adam janjian untuk makan malam. Sementara Rano masih duduk di kursi milik Raline, melambaikan tangannya padaku.
“Hati-hati La!”
*
“HAPPY BIRTHDAAAAAAAAY” terdengar teriakan orang-orang saat aku memasuki restoran. Telingaku dipenuhi oleh suara-suara yang mengucapkan selamat ulang tahun dan memanggil namaku. Aku terdiam cukup lama setelah melewati pintu, tidak menyangka kalau bukan hanya Adam yang ada di restoran ini. Ada juga Raline, beberapa teman kuliahku dulu, tetangga kamar depan apartmenku, dan yang paling tidak aku sangka adalah-
“Nalaaaaaa!” panggil seseorang yang menuju ke arahku dan langsung memelukku.
“Ghea?” aku balas memeluknya dengan erat. Sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu dengan Ghea sejak kepindahannya ke ujung Pulau Jawa sana. “Dari kapan di Jakarta?”
“Dua hari lalu.” Jawabnya sambil melepaskan pelukan.
Setelahnya baru aku bisa memperhatikan dekorasi yang telah mereka siapkan untukku. Ada beberapa balon berwarna perak di ujung ruangan, berbagai makanan dan minuman di meja, tentu saja ada juga kue ulang tahun yang berada tepat di bagian tengah meja, dan adanya tulisan yang menempel di dinding.
“HAPPY 25th BIRTHDAY NALA”
“Kok rame-rame gini sih?” aku membisiki Adam yang sudah berada di sampingku.
“Ulang tahun ke-25 kan sekali seumur hidup.” Adam mejawab dengan bisikan juga.
“Tiap tahun juga cuma sekali, alasan anda kurang kuat” aku tertawa sambil menggenggam tangannya erat.
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Bahagia, tentu saja. Haru, sudah jelas. Hanya saja rasanya ini jauh lebih dari itu. Kalau ada emosi yang bisa menjelaskan segala rasa yang bercampur ini, aku akan sangat berterima kasih padanya!
Sebelum aku meniup lilin berbentuk angka dua dan lima, aku memejamkan mata dan mengucap doa. Semoga segalanya selalu berjalan dengan baik. Acara dilanjutkan dengan makan malam, karena katanya kue ini nanti saja dipotongnya, untuk makanan penutup.
“Telat ya gue?” ucap seorang laki-laki yang baru saja memasuki restoran. Ia langsung menuju ke arahku dan menarikku ke dalam pelukan, membuat aku berhenti menyuapkan makanan ke mulutku.
“Orang tersibuk di dunia dateng juga ternyata? Gue kira lupa ulang tahun gue, nggak ada tuh ucapin dari pagi.”
“Nggak boleh jutek kalau lagi ulang tahun.”
“Bodo.” Aku masih kesal dan tidak mau membalas pelukannya.
“Selamat ulang tahun Nalaaa, adikku tersayang. Mau kado apa deh, nanti dibeliin. Udah? Puas?”
“Udah dong!” lalu kali ini aku membalas pelukannya.  
Mas Dewa. Kakakku. Satu-satunya saudara kandung yang aku miliki. Sudah menikah dan tinggal bersama anak serta istrinya di luar planet bumi, Bekasi. Orang tersibuk sedunia, mungkin 24 jam sehari untuknya tidak cukup.
“Makan mas.” Kata Adam pada Mas Dewa.
“Eh bro, sorry banget nih telat.” Mas Dewa menepuk punggung Adam sambil menarik kursi di sebelahnya. “Gue tadi futsal terus lupa kalo acaranya jam tujuh.”
“Nggak usah dimaafin Dam. Kebiasaan emang.” Aku mendahului Adam untuk menjawab permintaan maaf dari Mas Dewa.
“Kan tadi udah dibilang tinggal bilang mau kado apa. Ya udah, nggak usah jadi kadonya.” Lalu setelahnya aku, Adam, dan Mas Dewa tertawa dan melanjutkan makan malam.  
“Mbak Didi nggak ikut mas?” tanyaku setelah kami semua selesai menghabiskan makanan utama.
“Mual-mual dia dari pagi, masuk angin kayaknya.”
“Isi lagi mas itu, bukan masuk angin.” Aku menggodanya.
“Ponakan lo baru umur 6 bulan ya La. Yakali.”
“Yeee siapa tau kebablasan kan hahaha.”
 Malam itu dihabiskan oleh tawa dan tukar cerita. Kalau aku berkuasa atas waktu, aku akan segera menghentikan waktu agar bisa lebih lama bersama orang-orang yang kusayangi ini. Aku merasa sangat hidup di ruangan ini, merasa seperti bocah yang tidak punya beban hidup apapun. Pukul 10 malam kami memutuskan untuk saling berpamitan, saling mengucap doa untuk satu sama lain, dan berharap dapat bertemu di lain waktu. Aku juga akhirnya menemukan rasa yang terus kucari namanya sejak aku menginjakkan kaki di tempat ini, ternyata itu rasa syukur. Aku bersyukur dikelilingi oleh teman, keluarga, dan juga Adam yang bahkan mau menyempatkan hadir di acara sekecil ulang tahunku ini. Aku bahagia.
-tbc-
3 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
quatre.
Malamnya baru kuceritakan tentang Rano pada Adam. Ada jeda cukup panjang sejak aku selesai bercerita sampai Adam akhirnya menjawab dengan helaan napas,
“Ya bilang terima kasih dong La.”
“Yaaa udah Dam kalo terima kasih. Ya kali aku nggak ucapin terima kasih kemarin itu. Yaaa… tapi maksudku bukan itu loh Dam.”
“Terus?”
“Aneh aja nggak sih? Aku jadi nggak enak juga loh Daaam.”
“Hmm, ya dia baik kan berarti? Mau bantuin ngerjain kerjaan kamu gitu, terus dia juga jadi ada temen lembur kan malem itu.”
“Ah kamu mah. Terakhir ada mantan aku ngajak ketemuan, makan lah, minta ditemenin kesana-kesini juga kamu bilang mungkin dia mau bersilaturahmi.”
Terdengar tawa Adam yang jauh disana, “Bener loh bersilaturahmi kan itu?”
“Ya tapiii….”
“Harus husnudzon. Toh waktu itu juga aku akhirnya menyarankan untuk menolak dengan baik kan kalau kamunya nggak nyaman dengan itu? ”
“Mmmm… Iya iyaaa.”
“Sekarang juga sama, La. Kalau kamu kurang nyaman dengan apa yang Rano lakuin buat kamu, kamu boleh menolak dengan baik lain kali.”
Giliran aku yang terdiam cukup lama setelahnya, lalu memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan Adam, “Ya udah deh, aku mau cuci muka dulu terus tidur yaaa.”
Setelah mendengar jawaban dari Adam aku langsung memutuskan sambungan telepon. Untuk hal yang seperti ini, terkadang aku bersyukur dan terkadang aku ingin protes. Bersyukur karena Adam bukan orang yang mudah kesal dan marah kalau aku berinteraksi dengan laki-laki lain, tapi di sisi lain aku bertanya-tanya kenapa Adam tidak cemburu dengan hal yang seperti itu. Sebagai perempuan, kalian juga pasti mengerti maksudku tadi soal Rano kan? Kenapa dia mau bersusah-payah mengerjakan pekerjaan aku sementara dia juga punya pekerjaaan yang harus ia selesaikan.    
“Laaa? Besok ketemu ya? Aku jemput pulang kantor.” Ponselku bergetar tepat sesaat sebelum aku mematikan lampu kamar. Tumben, biasanya aku dan Adam jarang sengaja bertemu jika weekdays. Kecuali jika ada film baru yang rilis dan ia ingin segera menontonnya.
“Mmm. Okay. Nite dear xx.”
**
Sulit untuk berkonsentrasi hari ini, rasanya ajakan Adam untuk bertemu membuat aku ingin segera mengakhiri segala kesibukanku di kantor. Otak dan perasaanku terus berlomba menebak segala kemungkinan dari alasan Adam yang tiba-tiba mengajak untuk bertemu. Rasanya tidak ada hal urgent yang harus segera dibicarakan sampai harus bertemu. Bukan aku tidak ingin bertemu tentu saja, tetapi entah apa yang membuat aku terus memikirkan hal itu.  
“Nala, nanti notulensinya langsung kirim via email aja ya.” Suara Mbak Yola membuyarkan lamunanku.
“Oh oke Mbak. Aku rapiin dulu ya, nanti langsung aku kirim.”
“Oke kalau gitu, meeting hari ini selesai. Next kita ketemu langsung untuk bahas teknis lapangan ya.” Mbak Yola menutup rapat hari ini dan langsung meninggalkan ruangan diikuti oleh beberapa orang lainnya.
“Mampus kan. Bolong-bolong banget ini notulensi.” Aku bergumam pelan, mengutuki kebodohan hari ini dan berdoa semoga Raline bisa sedikit melengkapi catatanku di rapat tadi.
“Raline. Coba liat dong catetan lo. Gila, gue skip banget kayaknya tadi.”
“Gue nggak nyatet semuanya juga sih La. Ini ambil aja, gue keluar duluan ya, mau ke toilet.” Raline keluar ruangan dan meninggalkan aku berdua dengan Rano.  
“Mau liat catetan gue La?”
“Mmm.” Sambil membereskan barang-barang aku belum tahu mau menerima bantuannya lagi atau tidak. Sebenarnya aku butuh, tapi ya aku mencoba berharap banyak dengan catatan Raline.
“Nggak deh No, makasih hehe. Gue liat yang Raline dulu aja, kalau masih ada yang kurang tar gue liat yang lo.”
“Ambil aja yaelah. Gue perhatiin juga lo nggak nyimak meeting barusan.”  
“Hehe. Iya, ngantuk gue.”
“Beda ya antara ngantuk sama ngelamun.”
“Thanks Rano.” Aku tersenyum tipis menanggapinya sambil menerima catatan yang Rano sodorkan.
*
“Irasshaimase” sapaan dari waitress yang saling sahut menyahut mengiringi aku dan Adam memasuki satu rumah makan Jepang di dekat kantorku. Setelah memilih dan memesan beberapa jenis makanan, aku langsung memberi tatapan coba-bilang-ada-apa pada Adam. Adam tidak menjawab apapun, hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Jadi, gimana Rano?” Adam mengeluarkan pertanyaan yang sama sekali di luar dugaanku..
“Hah Rano?”
“Iya. Kan semalem kamu cerita soal Rano?” Adam menjawab sambil mengacak pelan rambutku.
“Ooh… Aku kira kamu nggak tertarik sama topik itu.”
Lagi-lagi Adam tidak menjawab dan kali ini disertai dengan elusan lembut pada pipiku.
“Yaaa gitu Dam. Tadi dia ngasih contekan gitu malah. Padahal aku nggak minta.”
“Contekan? Kayak anak sekolahan ya kantor kamu.” Tawa Adam memecah canggung yang sempat hadir karena bahasan soal Rano, membuat aku ikut tertawa, baru menyadari atas apa yang aku katakan tadi.
“Iya ih kok contekan?” aku balik bertanya pada Adam.
Setelah itu makanan yang kami pesan datang dan obrolan tentang Rano terhenti. Digantikan oleh obrolan mengenai makanan yang kami santap, mengenai tamago yang rasanya berbeda di setiap store, dan tentu saja tentang Jepang yang selalu ingin aku kunjungi. Tuhan, kalau aku pantas meminta, ingin sekali setiap malam, selepas penat tentang pekerjaan aku bisa selalu ada dalam keadaan seperti ini. Damai rasanya.
  “La?” Adam memanggilku setelah ia menghabiskan potongan terakhir salmon nigiri-nya.
“Mmm?”
“Baca ini deh…” kata Adam sambil memperlihatkan surel di ponselnya.
“Mm bentar.”
Aku menyimpan ponselku ke dalam tas. Mengambil ponsel Adam dan membaca surel yang tadi ia sebutkan. Membaca huruf demi huruf dan kata demi kata pada layar lalu terdiam sesudahnya. Aku benar-benar tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Ponselnya masih kugenggam dan aku menyandarkan punggungku pada kursi. Kedamaian yang kurasakan tadi seakan menguap bersamaan dengan berakhirnya pesan yang baru saja kubaca.
“Selamat ya…”
“Selamat tapi kok nggak semangat gitu? Nggak seneng ya?” Tangannya menarik badanku dan merengkuh aku dalam rangkulannya.
“Seneng laah Dam. I’m really happy for you and I’m a proud girlfriend, of course. Cuma ya…”
“Masih sekitar tiga sampe empat bulanan lagi kok aku pindah ke Singapore.”
“Iya…”
“Jangan sedih gitu dong. Singapore kan deket, dua jam juga nyampe kalau terbang dari sini.”
“Berapa lama bakal di sana?”
“Belum pasti sih. Cuma kan pengembangan ke wilayah sana itu baru, setelahnya ya doain bisa juga masuk ke negara lain. Jadi mungkin akan cukup lama sih La. It’s not a big problem, isn’t it? Aku pasti sering ke Jakarta kok.”
Aku hanya mampu tersenyum tanpa bisa menanggapi apapun lagi. Perusahaan tempat Adam bekerja bergerak di bidang fashion. Sebenarnya sudah lama Adam bercerita tentang perusahaannya yang ingin mengembangkan sayap hingga Malaysia, Singapura, Thailand, dan bahkan negara-negara lainnya. Hanya saja aku tidak pernah menyangka bahawa Adam adalah salah satu manusia yang akan ikut menjalankan perusahaan itu di sana. Tidak sekalipun aku membayangkan aku akan tinggal berjauhan dengan Adam. Ya memang hanya Singapore, belum sejauh Cinta dan Rangga yang terpisah oleh benua yang berbeda. Tetap saja, tidak mungkin kan Adam bisa pulang seminggu sekali.
*
Adam mengantar sampai depan pintu rumahku. Tidak mampir karena sudah terlalu malam dan ia masih harus mengerjakan presentasi terkait proyek Singapore-nya. Air mata yang sudah kutahan sejak kurang lebih satu jam lalu akhirnya tumpah juga, bersamaan dengan Adam yang akhirnya memelukku. Sementara aku hanya membeku dalam hangat peluknya. Tanganku terlalu lemah untuk membalas pelukannya. Pamitnya kali ini disertai kecupan singkat pada bibirku yang membuat air mataku menjadi turun semakin deras.
Setelah Adam sudah tidak terlihat di koridor ini, aku baru membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku langsung menuju kamarku, melempar diriku pada kasur. Tidak ada keinginan untuk membersihkan diri termasuk untuk berganti pakaian. Aku mempertanyakan diri ini yang terlalu berlebihan menanggapi berita tersebut. Hanya Singapore Nala, hanya Singapore. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa segalanya nanti akan berjalan baik-baik saja… tapi bagaimanapun tetap saja aku risau. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk aku terbiasa hidup dengan adanya Adam di sisiku. Sejak kami berkenalan di suatu seminar sampai detik ini, aku rasa belum pernah sampai lebih dari satu bulan kita tidak bertemu.          
Hati dan pikiranku tidak bisa bekerja secara selaras malam ini. Pikiranku mengatakan bahwa ini bukan permasalahan yang besar. Dunia sudah modern, ada facetime yang bisa aku gunakan kapan saja. Ada pesawat yang bisa dengan mudah membawaku ke sana. Sementara hatiku mengajak untuk mencemaskan hal ini lebih dalam lagi. Berbagai rasa terus bergantian menyapa. Terlalu banyak yang aku rasakan serta pikirkan sampai aku tidak menyadari akhirnya aku terlelap.  
**
“Tau nggak? Lo tuh harusnya nggak perlu galau kalau Adam ngasih lo kepastian.” Kata Raline setelah aku selesai menceritakan apa yang tadi malam terjadi.
“Ya emang belum pasti dia di sana bakal berapa lama. Belum bisa kebaca gitu loh, tergantung keadaan nanti kan.”
“Bukan itu maksud gue. Kepastian buat mengikat lo selamanya, Nala.”
“Ra…”
“Gue yakin kok La. Sebenernya yang bikin lo berat buat lepas dia kerja di sana tuh ya soal ini.”
“I’m not sure…”
“Gue heran deh. Udah lebih dari dua tahun lo pacaran ama dia, udah hampir empat tahun juga kan kalian saling kenal? Apa sih yang bikin kalian belum ada kepikiran buat nikah aja? Umur lo udah 25 tahun ini. Umur dia udah 26 yaaa udah wajar dong kalau mau nikah. Urusan keuangan, gue yakin kalian udah cukup stabil. Kalian nunggu apa sih?”
Aku tidak dekat dengan siapapun di kantor ini, kecuali Raline. Sejak pertama bertemu aku sudah merasa cocok dan bisa berteman baik dengannya. Pertemanan kita menjadi lebih luas, sering janjian untuk melepas penat kala weekend bahkan kami sempat beberapa kali berlibur bersama. Mungkin itu lah alasan Raline berani menyampaikan pendapatnya dengan segamblang itu. Aku tidak tersinggung namun pertanyaannya harus diakui membuat kepalaku semakin berat. Apakah iya, itu yang aku inginkan dari Adam?
“We just… never talk about that.”
“Really?”
**
“Jadi kamu mau apa buat kado ulang tahun?”
Pagi ini kami berada di suatu tempat makan buffet, all you can eat pastinya. Adam memenuhi janjinya untuk mengajak aku sarapan di luar weekend ini. Bahkan tadi ia sudah menjemput sebelum aku membuka mata. Seharusnya kita bisa sampai lebih pagi andai saja semalam Adam memberi kabar jam berapa ia akan menjemput, sehingga ia tidak perlu menunggu aku mandi dan bersiap-siap.
“Masih dua minggu lagi Dam. Aku juga nggak kepikiran lagi mau apa.”
“Sebentar tau dua minggu tuh.”
“Ya udah, nanti aku kabarin ya kalau udah kepikiran aku mau apa.” Aku menjawab sambil tertawa.
Sepanjang waktu sarapan ini aku terus berpikir kado apa yang mau aku minta dari Adam untuk ulang tahun ke-25 nanti. Aku tidak sedang membutuhkan suatu barang secara spesifik. Kalaupun ada barang itu bisa kubeli sendiri. Omongan Raline tempo hari juga terus-menerus menghantui pikiranku. Apakah hal yang saat ini sedang aku butuhkan adalah itu? Tiba-tiba terlintas suatu ide yang aku yakin jika aku utarakan tidak akan dengan mudah Adam menjawabnya. Aku juga sejujurnya tidak begitu yakin untuk meminta hal tersebut, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba kan?
Setelah mempertimbangkan banyak hal, maka akhirnya di perjalanan pulang aku memberanikan diri untuk berkata,
“Dam. Aku udah tau mau kado apa dari kamu.”
-tbc-  
3 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
trois.
Hari Senin bisa aku pastikan bukan hari yang menyenangkan untuk beberapa orang, tetapi berbeda dengan Raline. Ia datang tidak lama setelah aku membuat teh manis di pantry, menyapaku dengan riang.
“Ada apa sih? Ceria amat.” Tanyaku di balik kepulan asap tipis dari gelasku.
“Dih, perasaan tiap hari juga begini.”
“Pasti ada hubungannya sama gofood yang hari Jumat kemarin.”
“So tauuuu. Engga kook. Yaaa tapi dia emang manis banget sih, baik anaknya.”
“Cie gituu. Anak mana?”
“Anak lantai 29. Lo pasti pernah liat sih sebenernya.” Kali ini Raline mendekatkan kursinya ke arahku.
“Raline, gedung ini ada puluhan lantai yang juga diisi sama banyaaak banget perusahaan. Mana gue bisa tau kalo nggak sekantor.”
“La, kalo kita nggak balik tepat waktu nih, lembur misal. Sekitar jam 9 malem, kita sering turun ke lantai dasar kan, ke café?”
Aku hanya mengangguk, bingung dengan Raline karena ia menjawab dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan.
“Nah, dia yang selalu nyanyi di café itu.”
“Gila! Cowok ganteng, tinggi, charming parah yang nyanyi sambil main gitar itu?!” Aku sering melihat laki-laki yang dimaksud oleh Raline. Pertama, karena aku menikmati suaranya setiap aku ke café itu. Kedua, karena gantengnya cukup bisa membuat orang-orang jadi memperhatikan dia ketika bernyanyi.  
“Beberapa minggu yang lalu gue lembur sendirian. Karena lapar banget dan kalo nunggu gofood gue bakal keburu pingsan, yaudah gue turun aja.” Raline memulai ceritanya, kali ini tanpa aku dahului dengan pertanyaan.
“Ya itu gue udah telat makan banget sih, baru turun jam 10 kalo nggak salah. Sambil nunggu makanan jadi, gue beli slice cake dulu dong karena lapar gila. Eh baru dua atau tiga suap gue muntah-muntah.”
“Artinya lo nggak usah lembur-lembur kalo nggak ada gue. Padahal lo tinggal buka laci gue tau, cari cemilan dulu. Tau maag lo suka kambuh sakitnya.” Aku malah mengomeli Raline.
“Yaaa gitulah. Ada dia disitu. Abis itu dia nanyain gue kenapa dan nawarin nganter balik. Mau gue tolak tapi gue pusing dan mual banget.”
“Lo muntah di meja?”
“Ya enggak lah tolil. Gue lari ke toilet. Si cowok ini pas banget baru beres dari toilet.” Tolil yang Raline maksud adalah tolol sebenarnya, diucapkan begitu agar tidak terdengar kasar, teman-teman. Just in case you do not know, hehe.
“Soooo finally. Raline punya gebetan.” Aku memutar kursiku dan bersiap membuka kembali file yang kutinggal dua hari kemarin.
“Oops, salah. Raline tuh selalu punya gebetan. Semoga aja nih ya, yang kali ini ujungnya jadian, dilanjut nikah deh. Walaupun gue ragu sih, tapi ayo kasih aamiin dong buat doa gue barusan.” Aku meralat ucapanku tanpa memandang Raline dan respon darinya hanya suara tawa.    
*
Rencana hanya tinggal rencana. Manusia memang selalu berencana dan Tuhan yang selalu menentukan. Rencanaku hari ini adalah seharian di kantor karena harus mengerjakan dua laporan yang deadline-nya besok. Apa daya salah satu atasanku tiba-tiba sakit dan meninggalkan tiga meeting sekaligus di hari ini. Jadilah aku sekarang sudah berada di bagian utara Jakarta, menunggu klien yang seharusnya sudah datang sejak pukul 10 tadi. Iya, aku harus menggantikan atasanku untuk meeting hari ini.
“Kopi?”
“No thanks.” Jawabku sambil terus memandangi ponsel. Open instagram, close instagram. Open twitter, close twitter. Open instagram. Begitu terus.
“No, jadwal lo seharian ini dampingin Pak Arya?” tanyaku pada Rano tanpa mengalihkan pandanganku dari layar ponsel.
“Enggak sih. Ke sini doang dibriefingnya minggu lalu.”
“Oh..”
“Tapi kalo lo mau gue temenin nggak apa-apa kok. Gue hari ini kosong.”
“Beneran? Gue ada tiga meeting hari ini gantin Pak Arya, nggak tau bakal beres jam berapa. Masalah lainnya adalah gue ada deadline laporan buat besok. Kayaknya malem ini gue nggak tidur deh.” Kali ini aku berbicara sambil melihat ke arah Rano. 
“Iyaaa. Udah gue temenin aja.”
“Hah iya? Ini serius?” aku masih tidak percaya dengan Rano yang mau berbaik hati menemani aku.
“Serius lah.”
“Baik bangeeeeeeet. Makasih loh sebelumnya.”
“Anytime Laaaa.”
Percakapan terhenti, Rano segera menghabiskan kopinya karena klien yang kami tunggu akhirnya datang.
*
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.46 pada jam digital di mejaku. Kantor sudah kosong, tersisa aku dan Rano di ruangan ini. Sunyi sekali di sini, yang terdengar hanya suara ketukan keyboard komputer yang saling sahut menyahut. Diantara komputerku dan laptop milik Rano.
“You sure you okay with this?” Aku akhirnya memecah kesunyian di malam Selasa ini.
“Apa tuh?”
“Yaaa, nemenin gue sampe jam segini. Plus bantu ngerjain laporan yang harusnya itu adalah laporan gue.”
“Santai aja La. Lagian ini gue kan cuma rapiin kok. Harusnya gue yang nanya kayak gitu.” Rano berkata sambil melirikku.
“Maksudnya?”
“Cowok lo nggak marah? Berduaan begini, malem-malem.”
Aku tersenyum dan melepas kaca mataku.
“He won’t.”
“Why?”
“Yaaa nggak tau No. Dia emang bukan tipe cowok yang suka cemburu urusan gini sih. Walaupun gue tau, dia pasti nggak gitu aja biarin. I mean likeeee dia pasti terus nanya kabar gue dan apakah kerjaan gue udah beres daaan nyuruh gue pulang segera.”
“Ohh, yang gue denger malah cowok lo posesif banget. Sering banget nyuruh-nyuruh pulang cepet.”
Aku kembali tersenyum mendengarnya.
“Bukan pulang cepet sih. Mungkin nyuruh pulang tepat waktu lebih tepatnya. Ya atau misal karena udah kemaleman, pasti nyuruh pulang lah. Cuma, kalo urusan kerjaan gini dia selalu bisa ngerti sih.”
“Ini pasti bentar lagi juga nanyain karena sampe jam segini gue belum pulang.” Tambahku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, panggilan masuk dari Adam.
“Hai”
“Ini masih di kantor?” tebaknya dari ujung sana.
“Iyaa. Kamu dimana?”
“Di rumah. Masih ngapain emang kamu?”
“Masih cari referensi buat lengkapin laporan. Dikit lagi kok.” Aku menjawab, berusaha meyakinkan bahwa aku akan pulang tidak lama lagi.
“Pulang aja. Lanjutin di rumah aja, udah malem banget ini.”
“Tanggung sayang. Beneran dikit lagi banget kok. Dibantu Rano juga soalnya.”
“Yaudah. Kalo lewat jam 11 masih belum beres, nggak mau tau kamu harus pulang ya. Kalo enggak…”
“Apa?” aku menjawab dengan nada menantang.
“Kalo enggak, weekend ini nggak usah jadi cari sarapan di luar.”
“Siap! Aku mau tetep sarapan di luar.” aku tertawa lalu mengangkat tanganku untuk hormat lalu menyadari bahwa Adam tidak akan melihatnya.
“Makan malem udah kan tapi?”
“Udah tadi jam 8.”
“Okay. Aku PUBG dulu kalo gitu. Kasih kabar jangan lupa.”
“Hahaha iya.” Lalu Adam memutus sambungan telepon.
**
Karena semalam aku pulang larut lalu setelahnya masih menyelesaikan pekerjaan di rumah, maka rasanya sulit sekali untuk membuka mata pagi ini. Aku hampir terlambat datang ke kantor, untungnya ojek online menyelamatkan pagiku.
“Baru dateng La?” Tania muncul di hadapanku sambil membawa secangkir kopi.
“Iya. Tumben banget tuh kopi.” Aku menunjuk kopi hitam yang dipegang olehnya.
“Bukan buat gue kok. Si Rano tadi minta ke OB tapi nggak ada yang lagi standby.”
“Baik banget juga lo mau bikinin.”
“Ya kasian La. Tidur baru sejam tadi. Nggak pulang juga katanya semalem ada kerjaan daaaan kerjaannya baru beres pagi. Divisi kita emang lagi ngejar target publikasi banget sih soalnya.”
Tania pergi menuju ruangan divisinya, meninggalkan aku yang dirangkul oleh rasa bersalah.
 -tbc-
4 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
deux.
“Heh!” Aku panik lalu mencubit tangan Adam.    
Bukan apa-apa, jujur apa yang tadi kutanyakan di mobil hanya bercanda. Aku tidak benar-benar serius menanyakan kapan… ah ya kalian mengerti maksudku kan? Aku masih sangat menikmati keadaanku sekarang.
“Mau tanya apa Dam?”
“Mau tanya, Ibu sehat? Ayah sehat? Udah lama banget ya nggak ketemu?”
“Astagaaa…” aku berbisik sambil mencubit tangan Adam untuk yang kedua kalinya sore itu.
“Mau nanya gitu aja ada pendahuluannya dulu.” Ibuku tertawa sambil menepuk pelan lengan Adam dan Ayahku yang berada di ujung ruangan dekat jendela menjawab “Mau jawab Dam, sehat sehat Alhamdulillah”.
“Aku masak dari sekarang aja ah, biar abis maghrib kita bisa langsung makan.” Kataku sambil berlalu menuju dapur. Semetara itu Adam dan Ibu mengobrol bersama Ayah di sudut lainnya.
  Beginilah keadaan rumahku, apartemenku. Kecil memang, tapi sudah sangat cukup bagiku. Begitu melewati pintu kalian akan langsung melihat sofa, meja kecil dan televisi di ujung ruangan. Jendela sekaligus pintu kaca menuju balkon berada tepat di samping sofa abu-abuku. Kalau berjalan dari pintu depan menuju sofa, di sebelah kanan kalian akan menemukan dinding yang agak menjorok dengan dua pintu, satu untuk menuju kamarku dan satu adalah toilet. Kamarku tidak terlalu besar, tapi cukup untuk diisi oleh tempat tidur berukuran 160x160, satu lemari dengan dua pintu geser, meja rias kecil, serta kamar mandi kecil juga. Kalau saat memasuki ruangan kalian menuju sebelah kiri, disitulah dapurku berada. Dapurku juga kecil tentu saja, tapi cukup tertata rapi berkat adanya kitchen set dan meja yang sekaligus kupakai sebagai meja makan. Ada juga kulkas di sudut ruangan. Satu lagi ruangan di rumah ini adalah ruang cuci. Terletak di depan dapur. Ada satu mesin cuci dan meja setrika. Ruangan itu juga memiliki pintu yang tembus kearah balkon lainnya (yang kugunakan untuk menjemur pakaian setelah sisi kanan-kirinya kupasang tirai agar tetanggaku tidak bisa melihat jemuranku).
Malam itu dihabiskan dengan makan bersama, lalu bercerita tentang semua yang bisa diceritakan, mulai dari salah satu film Marvel yang sedang tayang sampai membahas pemilihan umum presiden. Sungguh aku tidak menikmati topik mengenai pemilu ini, bukan berarti aku apatis dan tidak peduli, hanya rasanya semua elemen di Indonesia sedang berlomba menjadi yang paling unggul saat membicarakan pilihannya. Benar atau salah sudah tidak memiliki makna lagi.
Obrolan diakhiri dengan Ibu yang pamit untuk tidur dan kami semua baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 malam. Adam kemudian bersiap untuk pulang lalu aku mengantarnya sampai ke lift
“Hati-hati ya Dam. Makasih banyak daaaan sampe ketemu besok! Jangan lupa, jam 10 udah ada di sini ya. Mau lebih pagi buat sarapan dulu di sini juga boleh.”
“Iya siap…” jawaban lembut dan singkat yang dilanjutkan oleh kecupan ringan pada keningku.
Tepat satu detik setelahnya pintu lift terbuka. Menyelamatkanku. Aku yakin pipiku sudah memerah karena hal tadi. Sebenarnya ini bukan kali pertama, tapi tetap saja setiap Adam menciumku tepat di kening selalu ada perasaan yang sangat sulit kujelaskan. Perasaan bahagia karena aku tahu dan bisa merasakan bahwa ada seseorang yang menyayangiku. Rasa bersyukur karena hidupku lengkap dan menyenangkan. Rasa tenang karena aku tidak sendiri untuk menghadapi dunia ini. Ah entah perasaan apa lagi, yang jelas saat ini aku tidak tahu apa yang mungkin dapat memisahkan aku dan Adam. Dunia sedang berputar dengan tenang di mataku.
Aku kembali ke rumah. Sedikit merapikan meja makan lalu berganti baju. Aku terlalu malas untuk menghapus make-up apalagi mandi. Aku langsung berbaring di kasur, di samping Ibu  dan tenggelam pada cahaya yang dipancarkan layar ponselku. Membuka beberapa media sosial yang sudah seharian ini kutinggal. Oh iya, Ayah tidur di sofa karena katanya ingin sambil menonton televisi. Aku tidak langsung tidur walaupun rasanya mataku sudah sangat berat, aku masih menunggu Adam mengabari kalau ia sudah sampai di rumahnya.
“I’m home.” chat itu muncul di layar ponselku.
“Yay! Tumben sih biasanya minta ditemenin tlp pas di jalan.”
“Haha ya kan ada ayah ibu. Masa aku masih gangguin kamu.”
“Udah bersih-bersih?” bersih-bersih yang ia maksud adalah berganti baju dan mandi (atau hanya mencuci kaki-tangan kalau hanya di rumah seharian).
Aku yang baru saja mau berpamitan tidur hanya menjawab, “Hehe mager ah, besok pagi aja.”
“Ayoo bersih-bersih dulu. Masa nggak mandi, tadi kan di kantor seharian.”
“Yaudah. Aku mandi ya, terus nanti langsung tidur. Kamu juga. Nite xx.”
Tanpa menunggu jawabannya lagi aku segera menyeret kakiku ke arah kamar mandi. Aneh ya, padahal aku bisa saja langsung tidur dan berbohong pada Adam. Toh Adam tidak akan tahu kan aku benar-benar mandi atau tidak. Entah kenapa tapi rasanya untuk hal sekecil ini saja aku tidak ingin berbohong padanya. 
Iya, itulah Adam. Seorang laki-laki yang tidak kusangka bisa menjadi kekasihku. Seorang laki-laki yang memiliki tekad yang kuat, seseorang yang akan terus memperjuangkan keinginannya. Seorang laki-laki yang dulu sangat manja namun sekarang aku bisa merasakan dia selalu siap memasang badan, hati, dan pikirannya untukku. Seseorang yang selalu bisa menenangkan ombak yang bergemuruh dalam hatiku. Seseorang yang ketika ia merasa cemburu, ia tidak dengan mudah mengatakannya (agar tidak membuatku tak enak hati, katanya) dan seseorang yang bahkan dalam amarahnya tetap bisa merendahkan suaranya untukku. Bukan tipe laki-laki yang posesif tapi selalu mampu mengontrol hidupku tanpa aku sadari. Seseorang yang sebenarnya mudah panik, sering tidak fokus ketika lawan bicaranya menyampaikan sesuatu, dan ingin selalu menjadi pusat perhatian, namun aku tidak merasa keberatan akan hal itu. Kami jarang sekali bertengkar, bahkan selama lebih dari setahun pertengkaran kami hanya bisa dihitung jari. Aku menyayanginya, tentu saja. Hanya saja…aku masih merasa ada bagian darinya yang belum bisa aku kenali. Entah bagian mana.  
  Besok sepupuku menikah. Adam akan membantuku mengurus beberapa hal di sana. Itulah juga  alasan Ibu dan Ayah menginap di rumahku malam ini. Ah, aku sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang besok akan memburu aku dan Adam.
“Jadi kapan giliran kalian?”
Ah basi. Ayo tidur.
  -tbc-
4 notes · View notes
danindyar · 5 years
Text
Redamancy?
un.
Hari ini aku pulang lebih lambat dari biasanya. Dulu, seringkali aku kesal karena Ibu atau Ayahku pulang terlambat karena urusan pekerjaan, pikirku kalau sudah waktunya pulang ya pulang, untuk apa masih betah di kantor, toh bisa dilanjut esok hari. Setiap bel pulang sekolah juga, kita segera ingin meninggalkan ruangan itu, iya kan?
Ternyata sekolah dan bekerja adalah hal yang jauh berbeda. Kalau dulu ada tugas yang belum selesai, guru akan menjadikannya pekerjaan rumah atau bahkan untuk dilanjutkan keesokan harinya. Kalau urusan pekerjaan? Mana bisa~
Seperti biasa aku menyapa satpam yang selalu berdiri tepat di balik pintu kaca ini, Pak Darman namanya. Beliau bergantian jaga dengan dua orang satpam lainnya setiap minggu, 3 hari sekali. Kakiku dengan otomatis membawaku sampai ke lantai 10, dengan menggunakan lift tentu saja. Setelah keluar dari lift aku segera berbelok ke arah kiri dan menempelkan kartu pada pintu kaca yang lebih kecil dibandingkan pintu kaca di bawah. Tepat di pintu berwarna putih nomor 1011 aku kembali menempelkan kartu, kali ini pada sebuah gagang pintu kayu.  
Aku langsung menyimpan tasku begitu saja di sofa dan segera bergegas ke dapur. Mencuci tangan lalu menghangatkan makanan yang tadi pagi sudah kubuat. Ah, aku lapar sekali. Tepat disaat aku baru saja menyalakan kompor, terdengar suara dering dari ponselku.
  “Hey, maaf aku belum bales chat kamu sama sekali hari ini. Super hectic di kantor. Ini aku baruuu banget nyampe rumah.” Rumah yang kumaksud tentu saja apartemen mungil ini.
“Nggak apa-apa. Sooo how was your day?” terdengar suara lembutnya di sebrang sana.
“Hmm not fine at all, but yeaah it still okay. Sayang, ini sambil aku loudspreaker ya? Aku lagi masak soalnya.”
“Kamu baru mau makan? Malem banget, ini udah mau jam 9 loh.”
“Iya, nggak keburu tadi. Ada klien yang rewel banget ampun deh, minta analisis data harus ada besok pagi juga. Datanya belum masuk semua ke aku. Anak-anak di kantor ya jadi banyak yang pulang telat juga.”
Aku kemudian meneruskan aktvitasku sambil mengobrol via telepon. Bertukar cerita, bertukar keluh kesah, bertukar tawa. Setelah aku menyelesaikan makan, aku pamit padanya untuk menutup telepon karena aku ingin sekali mandi lalu segera tidur setelahnya.
“Oke. Dah sayang, good night!”
“Good night there, makasih yaa. Kamu langsung tidur biar besok nggak telat ke kantor. Daaah” Lalu setelah itu sambungan telepon terputus.
 **
 Tidak ada yang berbeda dengan pagiku selain aku mencoba merapikan sofa dan meja dengan ekstra tenaga, agar terlihat lebih rapi dari biasanya. Ibu dan Ayahku akan datang sore ini atau mungkin siang, mungkin sebelum aku pulang kantor. Jadi, akan lebih baik ruangan ini sudah rapi sejak pagi. Aku juga memasak dengan porsi lebih banyak, siapa tahu mereka lapar begitu sampai, jadi bisa langsung menghangatkan makanan ini saja. Aku menyimpan makananku pada dua tempat berbeda, satu untuk kubawa ke kantor dan satu lagi untuk kusimpan dalam kulkas seperti biasa.
Sambil menunggu makanannya tidak terlalu panas (agar bisa kututup) aku mandi dan bersiap-siap. Kemudian sarapan. Menu sarapanku hari ini sereal karena aku sedang tergila-gila pada salah satu merk susu UHT yang memiliki rasa pisang. Buatku, ketika susu rasa pisang dicampur dengan sereal tawar atau rasa vanilla, campuran antara keduanya menyuguhkan rasa yang menyenangkan.
Aku berangkat yaa, kamu udah di kantor? Kukirim pesan sebelum aku menutup pintu rumahku.    
*
“Oy, ngelamun aja lo.” Aku menyapa Raline, salah satu temanku di kantor. Sapaan yang buruk memang, karena setelah itu kudapati Raline bahkan tidak tersenyum atau balik mengejekku seperti biasanya.
“Eh, lo kenapa?” aku menyambung lagi kalimatku karena Raline masih saja diam. Komputernya bahkan belum menyala.
“Raline?” kembali aku yang bersuara.
“Eh, nggak apa-apa La.”
“Beneran?”
“Iyaaa bawel ah. Btw klien lo yang semalem tadi telepon. Marah-marah karena WhatsApp-nya nggak lo bales.”
“Yaelah, belum juga jam 8. Oke deeh thanks ya.”
Raline. Aku mengenalnya sejak pertama memulai hari di kantor ini. Seorang perempuan yang cerdas, perhatian, dan menyenangkan. Selama hampir dua tahun di kantor ini, entah sudah berapa laki-laki yang mencoba mendekatinya, namun belum ada yang berhasil sampai detik ini. Entah apa yang ia ingin. Aku juga jarang bertanya kecuali memang ia yang memulai obrolan mengenai topik itu.
 “Tan, hasil survey pas hari Rabu ada di lo kan?” aku bertanya pada Tania yang baru saja duduk tepat di sampingku.
“Haaah? Survey apa ya?”
“Itu loooh yang kita ke Bandung bareng Rano juga. Aduh daerah apa tuuuh gue lupa deh namanya.” Sementara aku berusaha menjelaskan pada Tania, ia masih dengan muka bingungnya. Berusaha mengingat data apa yang aku tanyakan.
“Hasil surveynya di Rano deh La…” Tania menjawab, tampak ragu. Tanpa menunggu jawaban lain dari Tania yang sepertinya masih mencoba mengumpulkan nyawa, aku langsung menghubungi Rano. Aku sangat membutuhkan data itu segera, sebelum klien rewel itu kembali menelepon.
“No? Hasil survey yang Rabu kita ke Bandung ada di lo ya?”
“Ada di Tania.”
“Lahhh katanya ada di lo No, jadi ini ha-“
“Tunggu, gue kesana.” Rano memotong omonganku.
  Aku memutar kursiku menghadap Tania, “Btw Tan. Lo ngapain disini ya? Bentar lagi yang punya meja pasti dateng deh.”
“Ini. Mau ngasih data yang dari Kota Baru Parahyangan. Udah gue rapiin kok semuanya. Jadi, lo bacanya udah enak.”
“Astaga… Kan ini yang gue tanya dari tadi… Tania…” aku mengambil map yang sedari tadi Tania pegang.
“Ooooh! Hehehe. Iya ini, hasil surveynya ada di gue.” Katanya sambil berjalan menjauh ke arah mejanya.
Nah, ini Tania. Sering capek menghadapinya karena dia suka telat respon. Pelupa dan juga sering riweuh. Untung cuma satu di kantor ini. Semoga di dunia ini juga. Yaaa tapi di luar itu dia orang yang sangat baik dan kooperatif untuk bekerja sama, peduli, dan seperti Raline, menyenangkan. Seringkali memang segala sikapnya yang menjadi moodbooster di kala penat.  
  “Udah ada No. Tania lupa tadi.” Ucapku begitu Rano muncul di hadapanku.
“Ehhh. Kebiasaan anak itu.”
“Hmm” aku mengangkat bahu
“Iya, kemarin tuh gue liat ada di meja lo soalnya.” Sambungnya sambil menunjuk mejaku.
“Apaan sih orang baru tadi dia bawa. Lagian buru-buru amat langsung kesini.”
“Nggak apa-apa. Sekalian nyapa. Selamat Pagi, La. Have a nice day ya.”
“Iye iye makasih Ranooo”
“Eh La! Jangan lupa apa?”
“Apa?”
“Jangan lupa putus! Hahahaha.” Rano tertawa, lalu meninggalkan mejaku.
“Eh gila ni anak ya.” Aku tidak ambil pusing dan langsung menyalakan komputerku.
Say hello to Rano. Dulu kita pernah deket, ya tapi entah kenapa rasanya aku lebih nyaman kalau hubungan antara aku dan dia hanyalah pertemanan. Jadi, sebelum sempat memiliki hubungan yang lebih serius, aku memutuskan untuk memberi batas. Rano orang yang ambisius urusan pekerjaan dan mungkin soal hidupnya. Sangat menghargai pertemanan dan bertanggung jawab. Sedikit merendahkan hati dan tidak sok tau mungkin akan membuatnya lebih sempurna.
*
“Ini aku jemput ya? Kamu udah beres?” sebuah pesan muncul di layar ponselku.
“Okay. Udah sih ini tinggal finishing dikit. Hmm tapi ntar langsung balik ya, kayaknya Ibu dah nyampe deh.”
“Okay. Aku otw kesana.”
Aku menekan tombol lock di ponselku dan bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Besok weekend, aku tidak mau lembur lagi malam ini. Selain itu, memang setiap hari Jumat (kalau tidak ada halangan apapun) aku selalu dijemput pulang.
 “La, cowok lo udah di bawah tuh.” Raline menyentuh pundakku.
“Kata siapa?”
“Yeee. Tadi gue ambil gofood ke bawah. Eh ada dia.”
“Gofood jam segini? Lo nggak ada rencana balik cepet terus get a life gitu? Betah amat di kantor heran.”
“Gue nggak pesen. Ada yang kirimin.”
“Cie gituuu. Dari siapa nggak?”
“Udah tar aja ceritanya. Buruan ke bawah, udah di jemput.”
“Ketemu senin lo utang cerita ya ke gue.” Kataku lagi sambil membereskan barang-barangku. “See you! Cepet pulang! Get a life!”
  “Hey! Kok nggak bilang kalo udah nyampe sih?” sapaku begitu aku berhasil melewati gerombolan orang yang super padat di Jumat sore ini.
“Soalnya pas mau bilang, eh ketemu Raline. Yuk?”
“Yuk.” Aku menyambut rangkulannya.
*
“Langsung pulang apa mau beli makanan dulu buat malem?”
“Pulang ajaaa Dam. Aku udah beli bahan-bahan kok buat masak nanti malem.”
“Siap Nyonya.”
“Nyonya? Nona dong.”
“Nyonya lah. Nyonya Adam.” Katanya sambil melirikku.
“Nona Nala. Nyonya Adam, kapan emang?”  
“Nanti ya kutanya Ayah Ibu kamu di rumah.”
Aku hanya tersenyum setelahnya. Jalanan hari itu cukup padat, diwarnai dengan jingga keemasan langit Jakarta. Dalam diam aku mengaminkan setiap kata yang baru saja diucap oleh Adam. Sambil berpura-pura membetulkan posisi seatbelt aku meliriknya dan tanpa kusadari senyumku semakin melebar setelahnya.
*
“Assalamualaikum…” kataku begitu membuka pintu.
“Waalaikumsalam Nala… Ehh, ada Adam juga.”
“Iya Bu. Assalamualaikum.” Adam menyapa kemudian mencium tangan Ibuku. “Adam hmm ada hal yang perlu ditanyain sama Ibu, sama Ayah juga.” Sambungnya.
“Heh!” Aku panik lalu mencubit tangan Adam.    
 -tbc-
2 notes · View notes
danindyar · 6 years
Photo
Tumblr media
18K notes · View notes
danindyar · 6 years
Quote
WKWK Keingetan punya tumblr yang ini. Kapan-kapan pake lagi ah hahahaa
0 notes
danindyar · 7 years
Text
Hehe
Terimakasih :) Kamu sudah menaikkan setinggi-tingginya lalu menjatuhkan sejatuh-jatuhnya :) Pengen ng-unfriend kamu dari medsos. Hehe. Terbaik tapi ya. Kamu bisa menjadi mood-booster yang sangat ulung. Tapi juga bisa menjadi mood-breaker yang sangat hebat. Terimakasih sekali lagi :)
0 notes
danindyar · 7 years
Text
Hehe
Hai. Gatau kenapa memutuskan buat punya tumblr baru. Mungkin ingin tetap bercerita tapi tidak ingin terbebani. Hehe. Soooo....let's start for the new chapter :)
0 notes