Tumgik
kenj-i · 4 years
Text
Bukan tanpa alasan seorang anak diangkat menjadi putra bangsawan, ingat ucapan para pepatah; bahwasanya bila tidak ada api, lantas tidak akan ada asap. Bagaimana jadinya bila keturunan bangsawan yang seharusnya memimpin rakyatnya harus pergi bahkan sebelum menyapa? Tentu saja akan menjadi aib keluarga besar. Mereka tergopoh-gopoh, berlari ke sana kemari mencari sosok anak lelaki yang mirip dengan si putra bangsawan. Hingga suatu hari, mereka berhasil menemukan bocah di panti asuhan yang memiliki kriteria kemiripan hampir 95% dengan putra bangsawan yang telah tiada.
Dan awal ceritaku dimulai dari sini.. Mereka datang dengan mobil mewah. Pakaian yang mereka kenakan bagus, aku bahkan tidak pernah melihat benda mengkilap yang tersemat pada jari mereka sebelumnya, apakah itu cincin berlian?
Hari itu, salah satu dari tuan tanah datang ke panti. Wajahnya garang, sebab ada kumis tebal di sana. Aku yang tengah bermain sepak bola bersama salah satu adik pun terhenti aktifitasnya. Melihat orang-orang asing berjalan masuk ke dalam rumah, bertemu dengan Ibu.
“Hai, adik manis. Siapa namamu?” sapa seorang pemuda, kali ini berbeda dengan tuan yang tadi; wajahnya terlihat ramah, sangat ramah sebab esem melengkapi wajah sang pemuda.
“Kenji..” aku menjawabnya dengan pelan, menyadari bahwa orang di depanku saat ini adalah seorang donatur tetap panti, lantas aku pun membungkuk kecil. Sembari meminta adikku yang lain untuk melakukan etika sopan santun. “Namaku Kenji, dan ini adikku, Aoi.” aku memperkenalkan diri di hadapannya.
“Ah, kalian saudara kandung? Sayang sekali rupanya.” pertanyaan itu dijawab cepat oleh Aoi, kepalanya menggeleng dan mendorong tubuhku untuk lebih maju. “Bukan! Ken nii-chan bukan kakak kandungku! Kami hanya bermain bersama!” suara Aoi berhasil membuatku menatap tak percaya ke arah gadis tersebut, bagaimana mungkin dia bilang kami bukan saudara? Bagaimana bisa dia berkata semudah itu di hadapan orang asing setelah kami tinggal bersama lebih lima tahun?
“Ah, begitu? Jadi tidak akan ada masalah jika Kenji-kun pergi bersama kami kan, Aoi-chan?” aku tidak lagi bisa mendengar percakapan selanjutnya. Terlalu sibuk memikirkan maksud dari Aoi, jahat ... sejak saat itu, aku membenci Aoi. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi.
Keluarga baru. Saudara Baru. Masalah baru.
Kini namaku telah diganti sepenuhnya, tuan muda Tokugawa Kenjirō yang memiliki kesempatan menjadi penerus pemimpin keluarga Tokugawa di kota Mito. Sayang, semua mimpi yang aku inginkan saat berada di Panti Asuhan tidak terjadi sepenuhnya.
Kukira setelah mereka mengadopsiku menjadi anak, perilaku yang akan kuterima adalah kasih sayang. Benar, sebagian besar memberikan afeksi kepadaku—terutama sepuluh saudara laki-laki yang ku miliki dari keluarga Tokugawa. Namun, tidak dengan ibu angkatku. Pandangan jijik selalu diberikan olehnya. Beliau tidak sudi menanggapku anaknya, masih menangisi putra satu-satunya yang telah meninggal dunia.
'Jika memang mereka sayang pada anak tersebut, lalu kenapa mengadopsiku? Bahkan umurku belum genap sepuluh tahun, kenapa aku harus menerima perilaku seperti ini?’
Tahun-tahun berlalu, sosok tuan muda Kenjirō telah tumbuh menjadi pemuda seperti layaknya anak seumurnya. Banyak yang bilang dia adalah tuan muda yang terampil, senang bertemu dan berbicara kepada setiap anggota keluarga besar. Prestasinya di sekolah pun tidak mengecewakan, tingkahnya tidak pernah macam-macam, nilainya pun bagus. Usahanya agar tidak membuat orang tua (angkatnya) kecewa dijalani dengan sempurna. Orang-orang diluar Keluarga Tokugawa tidak ada yang mengetahui bahwa Kenji sebenarnya anak angkat; sebab dia bertingkah memang sebagai seorang anak bangsawan.
Terakhir kali, yang dilakukan oleh sang Ibunda ialah mengirim putra (angkat) sematawayangnya ke sekolah bergengsi, Tenjin Kokusai. Bila Kenjirō berhasil membuat kedua orang tua (angkatnya)—terutama sang Ibunda bangga dengan prestasi maupun hal lain, ia dijanjikan, akan disambut sebagai anak kandung tanpa ada caci maki lagi. Oleh karena itu, sejak kelas tahun pertama, Kenjirō belajar mati-matian. Walaupun sang taruna membenci belajar, ia tetap pergi ke perpustakaan untuk membaca; hasilnya baik atau tidak ... itu urusan nanti, setidaknya dia sudah berusaha. Ambisinya untuk mendapat pengakuan dari sang Ibunda ialah satu-satunya tujuan hidup seorang Tokugawa Kenjirō.
0 notes