Tumgik
leafnrs · 1 month
Text
Satu, dua, tiga, tak berempat.
Sebuah lembaran kertas itu kupegang erat di tanganku. Setelah serangkaian acara wisuda ini berakhir, aku akan menggunakan kupon tersebut di tempat pengambilan foto. Sebenarnya tiap orang mendapat dua. Aku telah menggunakan salah satunya untuk mengabadikan kelulusanku bersama dengan ibuku.
“Hei, kalian. Foto bareng, yuk!”
Satunya aku pergunakan bersama dengan orang-orang ini. Ketika masa depan pasca sekolah masih tak menentu, aku percaya bahwa ketiga orang yang kupanggil ini akan berbagi cerita nantinya kepadaku. Namun, dalam hati maupun permukaan, aku sadar bahwa mereka bukan siapa-siapa. Kita bukan apa-apa. Tidak ada kata kita dalam kegiatan yang dilalui bersama-sama. Tidak ada grup khusus yang membahas apa saja dari selamat makan sampai dengan turut berduka. Kenyataannya adalah, kita hanyalah empat orang dengan nama yang kebetulan berurutan dalam kelas yang sama. Atau mungkin lebih tepatnya aku yang kebetulan daftar namanya berada tepat setelah mereka.
Ketika mereka menerima tawaran foto tersebut, aku senang mendengarnya. Karena di antara teman-teman lainnya, mereka-lah tempat yang paling sering kukunjungi untuk bertukar kata. Mereka-lah yang aku inginkan berada di sebelahku ketika reuni kelas suatu hari nantinya.
Setelah menunggu antrean yang lumayan memakan waktu, kini tiba saatnya giliran kami berpose di depan kamera. Satu, dua, tiga! Petugas foto itu memberikan aba-aba. Kami bergaya dan sesi foto selesai begitu saja. Aku menerima hasilnya tidak lama. Karena menggunakan kuponku, aku sendiri yang menyimpan foto tersebut. Foto yang akan kulihat jika aku ingin mengingat masa-masa sekolah.
Masa kuliah datang, kami berpisah sesuai dengan kampus masing-masing. Masih dalam kota yang sama, tapi dalam kesehariannya seakan-akan berbeda dunia. Ketika masa reuni tahun pertama tiba, tidak banyak yang berubah dari sebelumnya. Namun, seperti yang kusebutkan, konsep kita berempat hanya ada di kepalaku saja. Bagi mereka, aku hanyalah teman satu kelasnya saja. Tidak lebih.
Tahun-tahun berikutnya, aku semakin terjebak dalam pikiranku sendiri. Aku selalu berpikir bahwa satu-satunya cara supaya aku lebih diterima oleh mereka adalah dengan aku memperjuangkan pertemenan ini. Lalu, karena konsep kita berempat tidak akan pernah terbentuk, aku akhirnya memutuskan untuk menjaga pertemanan secara personal. Di tulisan setelah paragraf ini, mereka tidak sepenuhnya merujuk ke tiga orang tersebut. Bisa salah satu atau keduanya.
Maka, dalam lima tahun terakhir, aku selalu memperjuangkan mereka. Aku selalu mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahiran mereka, pada beberapa kesempatan bahkan memberikan hadiah secara langsung maupun tidak langsung. Aku selalu mengupayakan kehadiranku pada mereka. Ketika ada acara reuni kelas, aku selalu menyambut kehadiran mereka. Ketika mereka terlihat dalam kesulitan, aku selalu berupaya memberikan yang aku bisa untuk membantu mereka. Meski seringkali aku tidak mendapatkan timbal balik yang serupa.
Aku bodoh dan naif sekali, ya?
Mungkin puncaknya bisa dikatakan terjadi tahun lalu. Aku, bersama dengan satu temanku, cukup sering mengadakan kegiatan atau acara. Di semua kegiatan tersebut, aku selalu mengajak mereka. Tidak jarang aku menyesuaikan detail kegiatannya demi mereka.
Namun, ketika mereka mengadakan kegiatan serupa, tidak pernah ada namaku di dalamnya.
Aku tidak bisa bercerita panjang lebar di sini karena mengingatnya saja membuat hatiku lebih berat tiga kali lipat. Intinya adalah, apapun yang kulakukan, aku tidak akan bisa membuat diriku menjadi teman penting bagi mereka.
Tahun ini, ketika banyak permasalahan pertemanan yang terjadi, aku mengevaluasi ulang mengenai konsepku tentang pertemanan dan siapa yang layak untuk mendapatkannya. Aku harus merelakan bahwa kita berempat tidak pernah ada dan tidak akan pernah bisa ada. I’m done merendahkan diri hanya untuk bisa melihat wajah mereka.
Selamat tinggal, semoga bahagia di kehidupan masing-masing. Setidaknya mereka tidak hidup di kepalaku lagi.
0 notes
leafnrs · 2 years
Text
Sebenarnya, untuk berhasil itu perlu berapa jatah gagal sih?
Biar keterima fulltime tuh harus berapa kali internship dulu?
Untuk akhirnya mencapai apa yang kita mimpiin, butuh berapa prioritas lain yang dijalanin sih? Butuh kerja tanpa hati sampai kapan sih?
Tak terhingga?
10 notes · View notes
leafnrs · 2 years
Text
Grace
“Aku besok minggu balik ke Sidoarjo, pulang kampung.”
Kalimat itu datang dari seorang teman lama. Teman yang dulu tetap berperilaku baik kepadaku ketika orang-orang menjauhiku. Aku akan menyebutnya dengan nama Grace.
Grace adalah seorang mahasiswa kedokteran. Dulu, aku sempat bingung saat dia memilih jurusan kedokteran, mengingat dia sangat bagus di bidang matematika. Kalau tidak salah ingat, nilai ujian nasional (UN)-nya di mata pelajaran matematika hampir sempurna. Namun, setelah dia lolos dan diterima sebagai mahasiswa kedokteran, aku percaya bahwa jurusan itu cocok untuknya. Grace adalah anak yang rajin, cekatan, pintar, dan cerdas. Kecerdasan (IQ)-nya merupakan yang tertinggi kedua seantero sekolah. Semua hal yang diperlukan untuk menjadi mahasiswa kedokteran ada di dalam Grace.
Grace sudah lulus dari S1 pendidikan dokter pada bulan Agustus tahun lalu. Kini, saatnya dia menempuh koas (co-assistant) dokter selama dua tahun. Grace ditempatkan di rumah sakit umum daerah (RSUD) di kota rantaunya. Masa koas dibagi menjadi beberapa stase, dengan stase besar selama sepuluh minggu dan stase lainnya selama lima minggu. Totalnya bisa mencapai dua tahun.
Semenjak Grace menjalani masa koas, aku menyadari kesibukannya. Aku yang biasa chatting perkara macam-macam, memutuskan menunggu dia yang chat duluan. Atau, membalas story dengan kata sederhana yang tidak berujung percakapan panjang.
“Aku libur satu minggu.”
Apakah ini saatnya aku bertemu? Terakhir kali aku bertemu dengan Grace pada saat dia sedang menunggu kelulusan. Tidak ada salahnya, kan?
Senin, 20 Juni 2022
Awalnya, aku mengajakanya bertemu di sebuah tempat makan. Namun, Grace bertanya tentang ‘tempat hijau-hijau’ yang ada di Sidoarjo. Aku memberikan dua jawaban, yaitu jalan menuju arah bandara juanda dan alun-alun Sidoarjo. Ternyata, Grace meminta supaya jalan-jalan ke sana sekalian. Akhirnya, rencana pun diubah menjadi jalan-jalan lalu makan di daerah sana.
Aku menjemput Grace di rumahnya, lalu berangkat menuju jalan arah bandara juanda (tbh aku nggak tahu nama jalannya). Setelah beberapa saat menikmati pemandangan hijau-hijau, kami berangkat menuju alun-alun. Melalui perempatan gedangan yang selalu macet dan penuh dengan truk besar, lalu melaju lancar sampai tujuan.
“Kamu berapa kali ke alun-alun?” tanyaku begitu tiba di parkiran.
“Jujur saja ini baru pertama kali aku ke sini,” jawabnya tertawa ringan.
“Waaw, kamu anak Surabaya* sih,” balasku bercanda.
*Sebagai orang yang tinggal di daerah Sidoarjo yang berdekatan dengan Surabaya, aku lebih sering memperkenalkan diri sebagai orang Surabaya*
Kamu masuk ke alun-alun, yang ternyata tidak sehijau apa yang kuingat. Cahaya matahari masih menembus kulit tanpa tertutup awan. Kami berkeliling ke arah selatan, sebelum memutuskan duduk di tempat ayunan.
Kami duduk sambil mengayunkan diri. Kebetulan, posisi ayunan terlindungi dari sinar matahari oleh bayangan pohon besar. Lalu, tibalah waktu untuk bercerita macam-macam. Grace bercerita tentang pengalaman koasnya yang cukup berat. Sehari-harinya berkutat dengan koas-makan-koas-tidur.
Grace bercerita banyak dokter di tempatnya yang berperilaku tidak menyenangkan. Sehingga cukup sering Grace dan teman koasnya harus hidup penuh tekanan. Tidak jarang marah dan kekesalan harus mereka terima. Ada teman koas Grace yang pernah salah dalam menyambut dokter dengan sebutan “Pak”, bukan “Dok” seperti yang diharuskan. Dokter tersebut langsung memarahinya di depan banyak orang dan meminta supaya teman koas Grace itu dihilangkan dari sudut pandangnya.
Ketika sedang bertugas, ada dokter yang selalu menanyakan ini-itu kepada anak koas. Salah sedikit, akan langsung mendapat konsekuensinya. Sebenarnya, kalau melihat dari sisi dokter dan umum, aku bisa memahaminya sih, mengingat dokter harus bertanggung jawab penuh atas kesehatan pasien. Namun, karena aku mendengar dari sisi Grace selaku koas, rasanya tetap menyedihkan juga.
Grace sendiri pernah mendapat perlakuan itu. Ketika sedang bertugas memeriksa telinga seorang pasien, Grace mendapat seorang pasien yang sensitif akan bagian tubuhnya. Sehingga, setiap kali Grace akan memeriksa, pasien itu akan merespons dengan penolakan (sebagai sesama orang yang sensitif, aku sangat relate dengan pasien tersebut ‘-‘ ) yang mengakibatkan pemeriksaan berjalan lama. Dokter yang bertugas pun menganggap bahwa kelamaan pemeriksaan adalah hasil dari ketidakbecusan Grace dalam memeriksa pasien. Akhirnya dia menekan Grace tepat di hadapan pasien, dan meminta supaya teman koas yang lain menggantikan Grace.
Kalau mau seimbang, pasti ada dokter yang baik dan menyenangkan. Namun, sepertinya tujuan utama Grace bertemu denganku adalah untuk menceritakan hal-hal negatif yang disimpannya. Aku sih tidak masalah. Bahkan aku senang mendengarkan cerita baik maupun buruk orang lain. Hingga tiba di suatu cerita yang tidak kuduga sebelumnya.
“Aku udah nggak kuat lagi. Mau menyerah saja. Rasanya seperti nggak bisa terus berjalan, tetapi putar balik juga nggak mungkin. Aku nggak sepintar teman-temanku yang lain, aku nggak tahu bisa jadi dokter atau nggak. Menurutmu, aku harus gimana?”
Aku terdiam. Duh, aku tidak menyiapkan jawaban apa-apa tentang ini. Masalahnya, jawaban ‘kamu pasti bisa’ dan semacamnya pasti sudah banyak diterima oleh Grace dan tidak membantunya. Sedangkan jawaban ‘menyerah saja’ tentu bukan jawaban yang bisa kuberikan mengingat dia sudah sejauh ini melangkah.
Grace bercerita bahwa kedokteran bukanlah jurusan yang dia inginkan. Dia lebih senang berkutat dengan dunia matematika dan seni. Pilihan utamanya adalah arsitektur dan desain komunikasi visual. Grace memilih jurusan kedokteran atas dorongan orang tuanya.
Kini, Grace berada di persimpangan yang tidak menentu. Lanjut dokter, tetapi tidak ada semangat dan [menurutnya] kemampuan ke sana. Pindah jurusan, harus mengulang semuanya dari awal. Harus bagaimana?
Kalau boleh jujur, jawabanku sangat tidak memuaskan. Aku hanya memberikan beberapa penjelasan ulang tentang situasi yang sedang Grace alami saat ini, memberikan alasan dan konsekuensinya apabila memilih keputusan tertentu, dan memberikan satu-dua kata motivasi kepadanya bahwa aku paham kondisi Grace dan sangat kagum dengan dirinya yang mampu bertahan sampai sekarang.
Aku kecewa karena merasa tidak bisa memberikan jawaban yang tepat bagi Grace. Mungkin, Grace lebih kecewa karena dia berharap akan mendapat jawaban yang berbeda dari yang selama ini dia terima.
Berkat pertemuan dengan Grace hari itu, aku jadi membuka pandangan baru. Orang seperti Grace yang sebelumnya selalu kuanggap sebagai orang yang sempurna, punya struggle tersendiri yang mungkin tidak akan dipahami oleh banyak orang. Jika biasanya orang begitu mendambakan keberuntungan, Grace malah membencinya karena dia merasa bisa sejauh ini hanya karena keberuntungan.
“Aku hanya beruntung. Bagaimana jika situasinya berbeda? Aku tidak percaya bisa melewatinya.”
Aku mengerti. Dalam diriku, aku percaya bahwa itu bukan keberuntungan belaka, pasti ada usaha dan kemampuan yang dipunya. Jika suatu hari keberuntungannya pergi, aku percaya dia masih bisa berdiri sendiri.
Akhir cerita, aku harap Grace bisa berjuang sebaik mungkin. Aku tahu Grace bisa, dan aku percaya Grace akan kuat menghadapinya. Semangat! :)
Tumblr media
0 notes
leafnrs · 2 years
Text
trust issue dan hubungannya sama solitude.
Imagine, betapa kepengennya ada orang di sisi lo tapi lo sendiri step back dan udah nerka bahwa ‘udah deh kejadian lagi, ni orang ga bakal mau lama-lama sama gue, mau seberapa effort gue mempertahankannya.’
Dari dulu, permasalahan sosial gue yang paradoks ya kayak gini. Especially di pertemanan, love life gue juga sampai sekarang mungkin masih ada sedikit karena sisa luka masa lalu yang bikin gue terkadang berpikir kayak gini.
I was born as an only child. Ga pernah punya teman main sampai SMP. My highschool life was a nightmare. Udah terbiasa ditinggal orang tua kerja, satu-satunya temen gue cuma bibi dan keong  yang gue beli di abang-abang yang kalo dikeluarin harus di ‘hah’-in dulu.
Dengan saking sendirian dan kesepiannya gue di masa kecil, sekalinya gue diterima sama satu dua-orang atau bahkan satu circle itu sebuah achievement yang luar biasa sih. Karena pada saat itu gue udah nggak mentingin prestasi diri sebagai pencapaian, tapi gimana caranya gue bisa berhasil fit in di suatu kelompok.
Tapi nggak pernah bertahan lama. Ada aja yang menjauh dengan cara yang nggak enak dan membuat gue bertanya-tanya, mostly nggak enak sih. Entah karena gue selalu kurang di mata mereka atau gimana. Selalu gue tanya sama orang terdekat dan ortu tentang ini dan jawaban mereka “mungkin di kamu nya yang salah, mungkin kamu kurang begini begitu.” 
“Emang gue seburuk itu kah? Salah dan se-kurang itu kah sampe orang lain itu stab my back dan treat me like I dont exist?” itu yang selalu muter di otak gue. I’ll try my best to correct myself, introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, ngasih semua yang gue bisa kasih biar gue diterima dan mereka nggak ninggalin gue. 
Tapi itu nggak ngubah apapun. Selalu aja ada hal yang salah dan kurang di mata orang lain. Mungkin karena gue nggak berguna lah, nggak punya privilege apa-apa yang bisa ngasih kemudahan buat orang lain. Meskipun, dalam pov diri sendiri gue udah berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat baik dan nggak melukai hati mereka.
Setelah itu, gue nggak akan pernah percaya lagi sama orang lain lagi. Gue nggak mau berharap terlalu banyak, dan expect for the worst case only. Menerima konsekuensi terburuk seperti yang pernah gue alami sebelumnya, karena emang lebih banyak konsekuensi buruk dibandingkan baik yang hadir di hidup gue. 
Gue nggak bisa terlalu percaya sama orang lain, karena mereka sewaktu-waktu bakal ninggalin gue ketika udah habis manis sepah dibuang, ketika gue udah nggak ada manfaatnya buat mereka. Friends come and go, walaupun gue akan terus berusaha ngasih yang terbaik buat mempertahankan pertemanan sampai waktu yang lama. But nothing to lose. 
Padahal, satu sisi gue berharap banget at least ada satu orang yang bisa nemenin gue dan gue juga bisa begitu sebaliknya.
Sakit nggak bayanginnya? Banget. Sangat sakit bahwa lo harus menerima kalau lo cuma bisa ngandelin diri sendiri dan nggak ada orang yang bakal stay terus sama lo. Sangat sakit rasanya ketika lo harus bersahabat dengan kesepian dan kesendirian, meskipun itu adalah musuh bebuyutan lo yang udah membersamai lo sejak lahir. Sakit rasanya kalau di titik tertentu lo butuh bantuan tapi lo nggak tau mau reach out ke siapa. Because the fact that they don’t need you and you don’t wanna burden them either. Lo cuma punya diri sendiri dan Tuhan yang bisa lo andalkan
Tapi balik lagi, kalo nggak ada mereka gue harus bisa bertahan hidup sendiri. Gue akan tetep terus bantuin orang lain siapapun itu, tapi kalo emang mereka nggak mau bantu dan menemani lo yaudah nggak maksa dan nggak ngerepotin orang lain. Prinsip hidup gue yang gue pegang teguh: jangan jadi orang yang hidupnya ngerepotin orang lain.
Jadi, itu lah trust issue gue terhadap komitmen orang lain ke gue. Ya, kenyataan pahit yang cuma bisa gue telen dan gue jalan terus. Gue harus bisa belajar rely on myself more.
2 notes · View notes
leafnrs · 2 years
Text
Kedengerannya idaman banget ya, kalau rumah tangga tanpa konflik.
Segala sesuatu lancar sesuai rencana. Pasangan kita sifatnya persis seperti ekspektasi kita terhadapnya sejak sebelum menikah. Diri kita sendiri pun, tanpa kendala beradaptasi dengan peran dan tanggungjawab baru yang melekat.
Wussss, mulus kayak jalan tol yang baru diresmikan.
Menarik bukan?
Sampai suatu kali aku pernah mencoba mengondisikan rumah tangga ku agar seperti itu. Aku, tentu saja, dengan rencanaku sendiri, menjadi pihak yang mencegah konflik.
Aku diam saja ketika suami berbuat keliru.
Aku lagi-lagi memilih diam ketika aku merasa gelisah dan tidak tenang akan sesuatu.
Aku juga berkali-kali menahan rasa ingin tahuku tentang sesuatu yang membuatku curiga.
Berdalih positive thinking, padahal mah cuma cari aman aja. Malas debat.
Hingga lama-kelamaan, aku jenuh sekaligus jengah juga. Mungkin karena terlalu banyak menyimpan dan menahan perasaan. Sambil bertanya ke diri sendiri,
Apa iya ini adalah kondisi yang kuinginkan? Apa iya, dengan tanpa konflik seperti ini, rumah tanggaku dijamin baik-baik saja sampai nanti?
Ternyata jawabannya tidak.
Nyatanya aku merasa tidak bertumbuh menjadi lebih baik, baik secara pribadi maupun keluarga secara keseluruhan. Malah sebaliknya, aku merasa tidak berharga.
Komunikasi kami juga menjadi tidak sehat. Karena menghindari konflik, sama saja dengan menyetujui ketidakterbukaan satu sama lain. Sama saja dengan membiarkan ketidakpedulian.
Padahal bukankah... Berkeluarga artinya kita berjanji untuk saling terbuka dan peduli? Maka apa jadinya jika itu tidak ada lagi?
Kurasa hanya tinggal sekelompok manusia, yang berada dalam satu atap, namun tanpa kehangatan.
Kehangatan. Iya, kurasa itu kata kuncinya. Ternyata, disitulah kunci keberhasilan dalam suatu hubungan. Kondisi yang bisa tercapai atas kolaborasi yang apik antara trust dan komunikasi. Trust dan komunikasi yang diupayakan bukan hanya kepada pasangan dan anak2, tapi lebih dari itu, yang utama, kepada Allah azza wa jalla...
Mengadu, meminta, dan menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Kehangatan dengan pasangan (dan bahkan anggota keluarga lain) yang mustahil tercapai jika kita memilih menghindari konflik.
Karena justru dengan berkonfliklah, timbul kerendahan hati... Belajar saling mendengarkan dan mengutarakan perasaan dengan cara yang baik.
Karena konflik antara dua manusia yang saling mencintai, mau memahami, mau belajar, dan berubah menjadi lebih baik adalah anugerah. Perekat hubungan. Bukan justru menjatuhkan.
Adapun jika itu menjatuhkan, jatuhnya adalah jatuh cinta lagi. Wkwkkw. Serius ini. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, setelah konflik (misal berdebat sengit membahas satu perkara) biasanya hubungan jadi jauh lebih hangat. Berasa pengantin baru lagi (ok ini kayaknya berlebihan, tapi intinya ya semacam timbul lagi kekaguman/kasmaran ke pasangan).
Jadi kesimpulannya, konflik itu baik. JIKA: kita paham caranya. Kita itu maksudnya berdua suami dan istri ya, bukan cuma sebelah pihak aja. Dan lebih bagus lagi kalau sadar sama manfaatnya. Bikin kita jadi lebih jernih dalam memandang konflik.
Semoga Allah kuatkan dan mudahkan kita dalam menghadapi konflik2 yang akan datang ya :")
31 notes · View notes
leafnrs · 2 years
Text
Lucky
Minggu, 08 Mei 2022
Pukul 09.30
Aku terbangun dari tidur singkatku ketika suara panggilan whatsapp terdengar di telingaku. Sebelum sempat terjawab, panggilan itu sudah berhenti. Dari seseorang yang cukup dekat denganku. Aku akan menyebutnya N.
Aku mengirim pesan singkat kepada N, “ada apa?”
Karena biasanya ada hal yang penting jika dia menelepon. Lagipula, dia selalu ada ketika aku membutuhkan dia, sehingga aku juga ingin memberikan prioritas yang sama kepadanya. Tidak berselang lama, N membalas.
“Taqaballahuminna waminkum. Mohon maaf lahir batin, ya.”
Hah? Reaksi pertamaku membaca itu. Bukankah baru saja lebaran kemarin aku dan N saling mengirim pesan bermaaf-maafan?
“Hmm... Baiklah,” balasku.
“Eh udah ya kemarin? Hehehe,” kata dia menyadari basa-basinya, “Aku ada tiket bioskop nih, ada saudaraku yang nggak ikut jadinya sisa satu. Kamu mau nggak?”
“Jam berapa?” tanyaku.
“Jam 12. Film Dr. Strange. Di Pakuwon City,” jelasmu.
Aku berpikir sejenak. Tidak ada agenda khusus untuk hari ini. Kurasa ikut tidak akan menjadi masalah, kan?
“Btw, kamu jual atau kamu kasih ke aku?” tanyaku memastikan. Kalau dia bermaksud menjual, aku akan membelinya saja.
“Kasih dong, anggap aja THR.”
“Wah oke deh aku terima pemberiannya. Aku kabarin pas aku berangkat.”
Saat itu sudah pukul 10. Aku segera bersiap-siap. Mandi dan berganti pakaian. Namun, jarak rumahku dengan Pakuwon City sangatlah jauh. Kira-kira membutuhkan waktu satu jam. Sedangkan, jika filmnya dimulai pukul 12, aku harus tiba di tempat setidaknya paling lambat pukul setengah 12.
Meleset.
Memang, aku sampai di mall-nya pada pukul setengah 12. Namun, aku yang baru pertama kali ke sana, tersesat sampai ke mall sebelahnya. Aku sampai berlari-larian di dalam mall. Untungnya, aku berhasil sampai di bisokop pukul 11.45 -dengan kondisi berkeringat.
N sudah ada di sana. Dia langsung memberiku sebuah tiket dan menjelaskan situasinya. Aku melihat sekilas isi tiket itu.
Cinema 2 Row H Seat 4
Karena masih ada waktu, aku ke toilet terlebih dahulu. Berusaha menutupi keringat dan menyegarkan diri. 
12.00
Aku hendak masuk ke dalam pintu cinema sebelum saudara N (aku sebut H) menahanku. Dia mengatakan bahwa ada perubahan tempat duduk. Aku ikut kata-katanya saja. Pada akhirnya, aku mendapatkan Seat 8. Tidak terlalu berbeda sih dengan Seat 4, malah aku lebih suka karena lebih menengah daripada berada di pojok-an. Sebelum film dimulai, aku melihat bagaimana N dan saudara-saudarnya memastikan semuanya aman. Lalu, H memberiku sebuah botol minuman dingin. Padahal, aku sudah membawa sendiri dari rumah dan kutaruh di dalam tas. Namun, tetap kuterima saja. Tidak berapa lama, N juga memberiku sebuah botol minuman dingin. 
“Loh, aku sudah nerima kok tadi dari H.”
Namun, sepertinya suaraku tidak terdengar oleh N dan dia tetap memberikan padaku. Aku terima, sebelum H memberitahukan bahwa aku sudah mendapatkan satu darinya. 
“Bilang dong, kalau kamu sudah dapat,” kata N. 
Haha.
Lalu, lampu bioskop dimatikan dan film akan dimulai. Aku tidak akan menceritakan isi filmnya, tetapi aku bisa mengatakan bahwa film ini melebih ekspektasiku dan memberiku pengalaman yang memuaskan.
Setelah film berakhir, aku keluar cinema dan sepertinya N akan sibuk dengan saudara dan keluarganya. Tentu saja. Sebelum berpamitan, aku meminta N untuk berfoto bersama terlebih dahulu. 
Terima kasih, ya!
Aku turun dari lantai bioskop menggunakan elevator sedangkan N dan keluarga menggunakan lift. Sebelum mencapai lantai dasar, aku bisa melihat N serta keluarganya sudah berada di sana. Aku mengambil arah yang berlawanan, lalu keluar dari mall yang meninggalkan kesan tersendiri bagiku. 
Salah satu yang kurasakan adalah... Aku beruntung.
Aku beruntung kita saling bertemu.
Aku beruntung bisa mengenalmu.
Aku beruntung bisa berteman denganmu.
0 notes
leafnrs · 2 years
Text
Pertemuan dan harapan
Jumat, 17 Desember 2021
Aku berkendara keluar rumah tepat pukul 14.00 WIB, menuju sebuah tempat makan yang menjadi tempat pertemuan. Sekitar 30 menit aku sampai di sana dan mereka sudah menempati salah satu meja. Aku bergegas menyapa, dua orang yang dulu kuanggap sebagai duo terpintar di kelas. F dan I. 
Sebelum memesan makanan, alangkah baiknya aku kembali ke awal cerita ini bermula, yaitu beberapa hari sebelumnya...
--
Sabtu, 11 Desember 2021
Hari itu, F resmi dinyatakan lulus dari kuliahnya dan sedang menjalani rangkaian acara wisuda. Sebagai teman yang baik (sepertinya), tentu saja aku mengirimkan ucapan selamat padanya. Karena F wisuda di luar kota, aku mengajak F untuk merayakannya disini juga. 
F menawarkan untuk bertemu pada hari kamis, bertepatan dengan F yang ada keperluan di luar sehingga bisa sekalian. Aku menyanggupi. Lalu, tiba-tiba aku teringat dengan sosok I, seseorang yang belum pernah kujumpa lagi sejak wisuda SMA. Timbul keinginan untuk mengajak I juga. 
Eh, mungkin alangkah lebih baik aku mengenalkan siapa itu F dan I terlebih dahulu.
F adalah seorang teman kelasku pada masa SMA. Dia merupakan anak yang pintar, tegas, dan bertanggung jawab. Sedikit banyak, aku menjadi akrab padanya. Setelah lulus, F adalah teman SMA terdekatku yang sering kuceritakan berbagai hal yang terjadi selama aku kuliah. Walaupun semenjak memasuki tahun kedua, hubungan kami menjadi biasa saja dan tidak sesering sebelumnya.
I adalah teman sebangku F. Dulu, I adalah seseorang yang [diam-diam] kusuka semasa SMA. Meski begitu, ada beberapa teman yang tahu dan kurasa I juga tahu, tetapi dia memilih bersikap biasa saja. Seperti yang kutulis sebelumnya, sejak wisuda SMA, aku belum pernah bertemu lagi dengan I. Kuliah kami berbeda, selain itu I tidak pernah mengikuti reuni yang diadakan anak kelas (ditambah aku juga jarang ikut). Lagipula, aku juga hampir tidak pernah bertukar pesan dengannya. Hanya sekali saja, ketika aku terpaksa akibat permainan truth-or-dare bersama teman-teman lainnya. 
Namun, karena aku sangat ingin bertemu, akhirnya aku beranikan diri mengirim pesan padanya. I mengatakan ada keinginan untuk ikut, tetapi pada hari kamisnya I akan melaksanakan sidang seminar proposal. Maka aku bertanya kapan I ada waktu luang, dan I menjawab hari jumat. Setelah memastikan kembali dengan F, akhirnya disepakatilah hari jumat sebagai hari pertemuan.
--
Setelah menempati tempat duduk dan memesan makanan, mulailah terjadi pembicaraan. Tentu saja hal yang pertama kuucapkan adalah selamat kepada F atas wisudanya dan I atas sidangnya. Setelah itu, pembicaraan mengarah apa yang sedang dilakukan untuk mempersiapkan masa depan. Khususnya F yang sudah menyelesaikan kuliah. Pagi harinya, F pergi ke sebuah perusahaan di luar kota untuk mengirimkan lamaran kerja. Menyadarkan bahwa dunia ini tidak seindah yang dibayangkan. F menceritakan baik itu pengalaman sendiri maupun senior kampus tentang betapa mengerikannya kehidupan setelah kuliah. Dalam benakku, aku jadi membayangkan. Kalau F, salah satu orang paling profesional dan terpintar yang pernah kukenal saja begitu, bagaimana dengan nasibku ya? 
Sedangkan I menceritakan bahwa jurusan yang dipilih terkesan nanggung untuk lanjut ke jenjang pekerjaan. Ke profesi x kalah dengan jurusan lain, ke profesi y juga kalah dengan jurusan lain. Sehingga pilihan pekerjaan pastinya menipis. 
Meski terkesan menyeramkan -dan menyedihkan-, kami membahasnya dengan canda tawa. Mengerti bahwa cerita hidup memang untuk ditertawakan, dan peristiwa hidup untuk diperjuangkan. 
Di sisi lain, ada rasa unik yang muncul dari pertemuan ini. Aku belum mengerti apa itu sebenarnya, tetapi kurasa ini berhubungan dengan kami semua yang semakin beranjak dewasa. Aku mengenal F dan I ketika berumur 15 tahun, dan sekarang kami semua sudah berkepala dua. Katanya sih, waktu itu berjalan terlalu cepat. Aku masih ingat ketika aku bertanya tentang pelajaran matematika kepada mereka. Aku masih ingat ketika mengikuti kompetisi bersama mereka di luar kota. Aku masih ingat kesibukan menyiapkan SNMPTN. Aku masih mengingat semuanya...
Mungkin, aku beruntung bisa mengenal F dan I. Beruntung bisa berteman dan menghabiskan waktu dalam ruang yang sama. Pernah mempunyai tujuan yang sama. Pernah menghadapi masalah yang sama. Pernah berjuang bersama-sama.
Sekarang, ketika garis takdir sudah berkata, sudah saatnya berdoa yang terbaik untuk semua. Meskipun aku percaya F dan I pasti bisa mengalahkan kesulitan yang ada, aku tetap mendoakan semoga hasilnya berbuah air mata bahagia. Dan semoga kita bertemu lagi suatu hari nantinya, dengan segudang pengalaman menyenangkan yang bisa menjadi cerita.
Terima kasih :)
0 notes
leafnrs · 2 years
Text
You are not alone in this loneliness
Di antara teman-temanku, pernah terbesit bahwa akulah orang yang paling kesepian. Di luar pertemanan ini, setiap mereka kulihat punya pertemanan lain yang gak kalah seru. Mereka sering kali dikelilingi orang-orang, sebaliknya aku sangat jarang.
Kondisiku saat ini tidak banyak berubah. Tidak demikian dengan teman-temanku yang sudah punya fokus masing-masing. Aku optimistis ada yang lebih kesepian, mengalahkan kesendirianku. Mereka sedang bergelut dengan realitas di depan mata tanpa sosok yang menemani dan menguatkan.
Untuk mereka, dan siapa pun yang merasakan hal serupa, kukatakan: “Kalian tidak sendiri dalam kesepian ini.”
Aku juga merasakannya. Temanku mungkin lebih akut lagi. Intinya, bukan kamu seorang yang sedang kesepian. Ada orang-orang di luar sana yang berjuang melawan badai, sendiri. Mengerjakan tugas kelompok, sendiri. Menanggung beban pekerjaan, sendiri.
Lagi pula, apakah kesendirian mutlak benar-benar ada? Kesepian yang kaurasa sebatas ketiadaan orang lain secara fisik. Kamu tidak bertemu, berbicara, atau berinteraksi dengan siapa pun. Cobalah melihat lebih jauh, ke realitas lain yang tak kasatmata.
Tumblr media
Bukankah, Allah selalu menyertai hamba-Nya, di mana pun dan kapan mereka berada? Jadi...kamu tidak benar-benar sendiri.
Malah, kesendirian itu adalah kesempatan emas untuk berkomunikasi dengan-Nya. Menyegarkan kembali hubungan dengan Dia yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Dengan begitu, segala urusanmu dapat dimudahkan.
© ahmadgzaki
295 notes · View notes
leafnrs · 2 years
Text
I Have so Many Fears.
Sampai hari ini, aku masih hidup dengan banyak ketakutan. Rasanya setiap aku terbangun di pagi hari, selalu ada teriakan di luar sana yang memaksa aku untuk bisa terus maju. Aku takut akan ekspektasi orang lain yg begitu tinggi terhadapku, aku takut akan kehidupan yg memaksaku utk terus baik-baik saja, aku takut terombang-ambing tanpa punya pegangan.
Sampai hari ini, aku masih sering menangis. Aku takut realita tidak sesuai dengan harapanku. Mimpiku banyak, harapanku luas. Tapi aku nggak tahu harus kemana aku minta dikuatkan.
Tolong aku yg sedang kebingungan ini. Setiap hari harus selalu ku lalui dengan pertanyaan yang sama, "Mau kemana aku setelah ini?".
Aku hidup dengan banyak kebingungan.
Aku juga hidup dengan banyak ketakutan.
Sampai saat ini.
Maka dari itu, tolong bantu aku. Bantu aku utk punya alasan hidup lebih lama lagi.
2 notes · View notes
leafnrs · 2 years
Text
You don’t understand
Sabtu, 4 Desember 2021
(Trigger Warning!!! Suicide)
Pukul 2 pagi. Waktu yang sering disebut di lagu-lagunya Taylor Swift. Ketika semua pikiran bercampur aduk menjadi satu, menjembatani penyesalan masa lalu dan kecemasan akan masa depan. 
Karena tidak ingin terlalu terjerumus, aku berselancar ke media sosial. Perbuatan yang sia-sia, bagi beberapa orang. Namun, aku harus bagaimana? Mataku tidak bisa dipaksa tidur sejak 5 jam sebelumnya. Sedangkan otak tidak fokus mengerjakan tugas yang ada. 
Ketika sedang membuka beranda Twitter, aku melihat sebuah thread dari akun base. Isi dari thread itu dibuka dengan sebuah berita, tentang seorang perempuan yang memutuskan bunuh diri di samping makam ayahnya dua hari lalu. Perempuan berusia kepala dua dari mojokerto. Mbak N. 
Pada umumnya, selalu ada alasan mengapa seseorang berani mengakhiri hidupnya. Tidak terkecuali mbak N. Dalam thread tersebut, dijelaskan bahwa ada pendorong yang terus memaksa mbak N mengambil pilihan tersebut. 
Aku tidak ingin terlalu dalam menjelaskan itu, karena itu adalah hal yang memilukan dan menyakitkan bahkan hanya dengan membacanya. Intinya adalah dunia mbak N runtuh, akibat serentetan perisitwa yang menimpa dirinya. Khususnya pelecehan seksual oleh pacarnya, R, seorang anak orang penting yang menjadi bagian dalam institusi negara. Dari situ, R dan keluarga tidak ingin bertanggung jawab dan bahkan semakin memperparah keadaan mbak N. Hal ini diperparah dengan keluarga besar mbak N sendiri yang tidak suportif, bahkan cenderung menyalahkan mbak N. 
Mbak N tidak punya siapa-siapa, kecuali ibu yang sangat dicintainya. Ayahnya telah mendahuluinya. Mbak N sudah berupaya berobat ke psikiater, tetapi semua pikiran itu tidak bisa hilang.
Bulan November 2021, dia membuat akun quora, sebuah situs tanya-jawab. Mbak N menggunakan akun tersebut untuk bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pikiran bunuh dirinya serta mencurahkan seluruh isi hatinya. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Dalam hatinya, pasti ada keinginan seseorang, siapapun itu, akan menolongnya. Namun, yang mbak N temukan hanyalah komentar belaka, yang mungkin tidak terasa tulus baginya. Bahkan, banyak pembaca yang kesal akan curahan hatinya.
Tumblr media Tumblr media
Mungkin inilah yang belum banyak kita sadari. Mungkin bagi kita, masalah orang lain itu nggak besar-besar banget. 
“Ayolah, gitu doang kok gak bisa.” 
“Tinggal gini aja loh.”
“Kamu ini udah dikasih semangat kok malah makin sedih, sih!?” 
Sehingga, mulailah kata-kata nasehat menyakitkan itu keluar. Memang, bagi beberapa orang, nasehat seperti itu bisa menjadi titik balik mereka. Namun, bagi orang yang sudah hancur dunianya, yang niat perginya sudah terlihat nyata? 
Aku percaya, bahwa mungkin saja pemberi komentar itu bermaksud baik. Mungkin memang penyampaiannya terkesan kasar dan membentak. Mungkin, bisa jadi dia kesal, untuk apa memberi respons yang baik jika tidak ditanggapi.
Sebenarnya, membaca komentar itu, aku jadi teringat perkataan guruku dulu. Ada mantan muridnya yang menjadi korban perundungan (bullying) dan akhirnya terpaksa pindah sekolah. 
“Korban perundungan itu menyerah bukan karena dia dirundung. Ada berapa banyak sih pelakunya? Palingan hanya 3-4 orang, atau satu kelompok geng, atau bahkan satu orang saja. Yang bikin menyerah itu ketika dia tidak punya teman yang bisa mendukungnya. Ada ratusan orang di sekolah, tetapi mereka tidak peduli kepada dia ketika kena rundung. Seandainya ada satu teman saja yang tulus berniat membantu, mungkin saja dia bisa kuat menghadapi perundung itu.”
Aku tidak sepenuhnya setuju dengan perkataan itu, dan tentu saja aku tidak bermaksud menyamakan perundungan dengan apa yang terjadi dengan mbak N. Yang aku ingin sampaikan adalah, bahwa orang itu pasti membutuhkan dukungan dalam setiap langkah hidupnya, khususnya ketika orang tersebut sedang dilanda masalah. Semakin berat masalahnya, semakin besar dukungan yang dibutuhkan. Dan aku percaya, mbak N pasti sangat ingin dukungan tersebut datang kepada dirinya.
Sayangnya, masih banyak diantara kita yang tidak mengerti cara memberikan dukungan yang tepat. Pemberi komentar menganggap masalah yang dihadapi mbak N bisa dihadapi dengan mudah hanya dengan modal keinginan belaka. Asumsi inilah yang membuat pemberi komentar muak dan melepaskan keinginan memberi dukungan kepada mbak N.
Pemberi komentar tidak mengerti bagaimana keadaan mbak N, atau lebih tepatnya apa yang dirasakan oleh mbak N. Walaupun mbak N sudah menuliskan panjang lebar isi hatinya, pemberi komentar memberikan interpretasi sesuai dengan asumsinya. Bahwa masalah ini cukup mudah, dsb. Padahal tidak. Dia belum pernah merasakan berada di posisi seperti mbak N, dia belum pernah mengalami hal yang sama seperti mbak N. 
Aku sadar, memberi dukungan (khususnya yang intens) itu hal yang sangat menyusahkan. Banyak waktu, tenaga, dan mungkin finansial yang terbuang. Oleh karenanya, sebagian besar dari kita lebih rela memberi dukungan kepada orang terdekat, orang tersayang, atau ketika situasinya membutuhkan (bencana alam, menjadi sukarelawan, dsb). Maka, memberi dukungan kepada orang yang sama sekali kita tidak kenal adalah hal yang sangat mulia bagiku.
Aku harap, kita bisa lebih mengerti dalam memberikan dukungan. Seperti halnya kupu-kupu. Jika kita memberi bantuan ketika sedang dalam proses kepompong, dia tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengepakkan sayapnya. Namun, jika kita memberi bantuan ketika menjadi ulat dengan memberinya banyak makanan, maka kupu-kupu akan penuh gizi dan terbang indah di angkasa.
Semoga ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Dan semoga tenang di alam sana, mbak N. 
0 notes
leafnrs · 2 years
Text
Tentang menulis
Aku kehilangan hati untuk menulis.
Sejak tahun 2020 kemarin, ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Tulisanku tidak lagi lancar seperti biasanya. Atau, setidaknya begitulah menurutku. Struktur kalimatnya payah, pilihan katanya sederhana. Bahkan aku tidak mengerti apa maksud yang sebenarnya dari tulisanku.
Aku masih ingat dengan jelas, ketika aku bisa menuliskan apa yang kupikirkan atau kurasakan. Meskipun sebagian besar adalah hal yang negatif, setidaknya ada tulisan yang bisa mewakilinya. Sekarang perasaan itu masih ada, tetapi tulisannya sudah hilang entah kemana.
Diri selalu bertanya, bagaimana bisa?
Mungkin, kandidat terkuatnya adalah hilangnya interaksi yang ada. Memang, sebagian besar tulisanku berawal dari dunia nyata. Ada yang murni dari sana, ada juga yang mendapat sisipan fiksi di tengahnya. Namun, sejak hubunganku memburuk dengan dunia, tidak ada lagi inspirasi untuk menuliskan perasaanku. Hanya malu dan perasaan bersalah yang tersimpan.
Aku punya teman, dia selalu menulis semua yang ada di kepala maupun hatinya. Dia mempunyai sebuah blog sebagai tempah goresan penanya. Suatu hari, karena alasan tertentu, dia mengubah blog tersebut menjadi tempat khusus untuk hal-hal negatif yang muncul di kepalanya. Tidak lama, dia meninggalkan  blognya begitu saja. Kini, dia lebih banyak berkutat dengan dunia nyata. Manfaatnya masih terasa, dan sinarnya lebih bercahaya.
Aku berharap bisa menjadi demikian.
Mungkin, aku tidak akan pantas menjadi penulis. Semoga aku bisa menggantinya di kehidupan nyata.
0 notes
leafnrs · 3 years
Text
Daripada memaksa diri dengan kalimat
"Aku harus bisa....."
Lebih baik mengafirmasi diri dengan
"Aku memilih untuk melakukan... "
Tujuannya sama, caranya yang berbeda.
Dan yang terpenting, experience yang didapat berbeda. Karena prosesnya berpikirnya berbeda.
Yang satu terasa berat, yang satu terasa ringan. Atau jika tidak bisa dibilang ringan, katakanlah kita enjoy melakukannya. Bebannya sama, perasaan senang yang membuatnya lebih ringan.
Yang satu penuh dengan kekhawatiran, sedang yang satu lagi penuh dengan kesadaran dan tanggung jawab.
44 notes · View notes
leafnrs · 3 years
Text
Selamanya itu lama
Sabtu, 31 Juli 2021
Hari ini aku berkunjung ke rumah salah seorang teman dekatku. Sebut saja namanya R. Aku tidak sendirian, aku bersama dengan seorang teman dekatku yang lain, M.  
Dalam rangka apa? 3 minggu sebelumnya, R berulang tahun. Tidak ada perayaan apa-apa sih. Namun, karena saat itu kondisinya tidak memungkinkan, aku baru bisa ke rumahnya pada hari ini. Bukan sesuatu yang penting sih, hanya bermain dan mengobrol saja.  
Aku tiba sekitar pukul 10 pagi di rumah R. Sudah ada M disana. Setelah memarkirkan motor, aku masuk ke ruang tamu. M sedang mengerjakan tugas kuliahnya menggunakan laptop R, sedangkan R hanya bermain di handphone-nya. Karena baru datang, aku mencoba berbasa-basi sejenak. Lalu, perhatianku teralihkan dengan tugas yang sedang dikerjakan M. Cukup menarik. Aku menawarinya bantuan semampuku, tetapi sedang tidak dibutuhkan. M lalu memberiku saran untuk bermain game yang sama dengan R. Akhirnya kucoba.  
Game yang kumainkan ini bernama sausage man. Disebut sebagai 'game sosis' oleh M dan R. Gamenya sebelas dua belas dengan game battle royale lain seperti PUBG atau COD-M. Aku pun mencoba bermain itu dari handphone si M. Setelah melakukan tutorial dan kurasa lancar, aku dan R terjun melawan orang-orang lainnya. Singkat cerita, tim kami berhasil finish di peringkat 3 dari 25 tim. Lumayan.
Setelah itu, aku salat zuhur terlebih dahulu di masjid dekat rumah R. Kembalinya dari sana, ternyata M sudah selesai mengerjakan tugasnya. Karena tidak menemukan permainan yang bisa dimainkan bertiga, akhirnya aku bertanya pada R apakah dia punya koleksi video-video semasa kami SMA dulu. R bilang ada beberapa, tetapi tersimpan di laptopnya yang lama. Dia pun segera mengambil laptopnya.
Ada satu koleksi video yang R punya. Saat itu R dan M masih kelas 10. Aku belum kenal dengan mereka. Mereka berdua sedang mengerjakan tugas mata pelajaran bahasa indonesia yaitu membuat video observasi di tempat wisata. Kelompok mereka berisikan 5 orang, dan mendapat tempat di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Handphone yang digunakan untuk merekam atau membuat video itu adalah handphone milik R. Di dalam video, terekam bagaimana kelompok itu mengenalkan KBS, masuk ke dalam KBS, melihat hewan-hewan, berinteraksi dengan hewan-hewan, dan kegiatan lain yang mereka lakukan.
Begitu video di KBS itu sudah habis, aku bertanya apakah ada lagi video yang lain. Setelah dicek ternyata hampir tidak ada. Sebagian besar adalah foto-foto. Sama sepertiku, di koleksi masa SMA-ku juga lebih banyak fotonya daripada video. Padahal, walaupun foto itu bagus dalam menyimpan suasana dan menyampaikan kata-kata, video dapat menyimpan konteks yang ada dalam sebuah foto.
Tiba-tiba, R menunjukkan sebuah video dari masa lalunya. Ketika dia sedang merayakan ulang tahun yang kelima (2005). Sebuah video produksi dari... sebuah perusahaan produksi video. Maklum, zaman itu harga kamera sangat mahal, dan handphone juga belum secanggih sekarang. Aku melihat wajah R yang masih kecil disitu, imut dan ceria. Dia sedang duduk di kursi bersama dengan temannya (atau saudaranya), dengan meja yang berisi kue ulang tahun beserta kado-kado hadiah.
Ternyata tanggal perayaan ulang tahun itu adalah 31 juli, sama seperti hari ini, dan tempat yang digunakan adalah rumah R, lebih tepatnya di ruang utama yang hanya terpisah satu tembok dari tempatku duduk. Di dalam video itu, banyak sekali teman masa kecil yang diundang, sampai-sampai ruangannya terkesan tidak cukup. Hanya menonton saja aku bisa merasakan sesak berada dalam lautan manusia itu. Seakan belum cukup, perayaan itu juga mengundang dua badut berkostum dora (dora the explorer) dan doraemon.
Aku menangkap kehadiran orang tua R di dalam video tersebut. Wow, luar biasa. Ayah dan Ibu R di video tidak terlalu berbeda dengan yang kutemui di rumah ini. Mereka berdua terlihat senang dengan kebahagiaan anaknya, dan tetap penuh senyum tanpa cela. Padahal, jarak hari ini dengan video itu adalah 16 tahun. Aku bisa melihat perbedaan pada diri R yang semula anak kecil manis menjadi remaja-dewasa ini. Namun, pada kedua orang tuanya, aku tidak bisa menemukan perbedaan sama sekali. Mereka masih tetap orang yang sama. Mereka adalah orang hebat. Setiap hari mereka selalu penuh kasih sayang baik satu sama lain maupun kepada anak-anaknya.
Aku baru mengenal R selama 5 tahun. Mengenal kedua orang tuanya setahun kemudian. Aku jadi teringat, bagaimana perjuangan orang tuaku dalam membesarkanku sampai sekarang. Orang tua R dan M pasti merasakan hal serupa. Hal ini, mau tidak mau, membuatku berpikir ketika aku sudah menikah dan berkeluarga. Membesarkan anak dari bayi sampai dewasa. Apakah aku sanggup? Bagiku, 5 tahun itu waktu yang sangat lama. Tidak terasa begitu sudah berlalu, tapi pada hari-hari menjalaninya semua benar-benar nyata. Bagaimana dengan 16 tahun? Bagaimana dengan 21 tahun? Lalu, jika takdir berkehendak, bagaimana dengan seumur hidup?
Aku tahu, kedua orang tua R merupakan orang hebat. Begitupula kedua orang tua M dan kedua orang tuaku. Semua orang tua adalah orang hebat. Mereka bisa merelakan hidupnya demi orang yang dicintainya, baik itu pasangan hidup maupun anak-anaknya. Namun, aku baru menyadari sesuatu. Bahwa setiap orang yang kutemui, setiap teman yang kukenal, pasti dibalik itu terdapat kasih sayang besar yang diberikan oleh kedua maupun salah satu orang tuanya. Belum dari keluarganya.
Seperti manusia pada umumnya, aku kemungkinan besar akan menjalani hidup yang sama. Menikah dan merawat anak sampai akhir hayat. Aku harap aku bisa tetap berjuang selama proses tersebut dan tidak menyerah di tengah jalan. Karena pertemanan mungkin akan berakhir seiring berjalannya waktu. Namun, keluarga akan tetap terhubung sampai darah di tubuh berhenti mengalir. Dan aku harap aku bisa menjadi orang hebat seperti mereka.
0 notes
leafnrs · 3 years
Text
Satu pelajaran berharga yang didapat dari peristiwa kematian;
Setiap kita akan mati. Tinggal menunggu giliran. Jadi, bersedihlah secukupnya. Berdoa untuk kebaikannya, beramal atas namanya, itu jauh lebih baik (dan bermanfaat bagi mayit) daripada terus menerus meneteskan air mata.
Selanjutnya... Banyaklah menangis untuk diri kita sendiri. Bersedihlah oleh sebab kita yang sulit berubah. Menangislah karena kesadaran yang seringkali muncul, hidayah yang telah berulangkali mengetuk, tetap tak menjadikan kita lebih baik. Kita masih begitu2 saja. Jalan ditempat. Maju baru sedikit, mundur lagi dengan cepat.
Bersedihlah.. Sambil memohon pertolongan dan rahmat Allah.
Menangislah.. Sambil berharap kelak, Allah menghendaki kita berakhir dalam keadaan husnul khatimah.
***
Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk memaknai hidup sebagai persiapan menuju kematian. Memaknai dunia yang sementara, sebagai waktu untuk memperoleh akhirat yang abadi.
Senang secukupnya,
Sedih seperlunya,
Beramal shalih sebanyak-sekuat-semaksimal yang kita bisa.
Niatkan dan relakan tubuh ini 'berakhir' dalam keadaan terlalu lelah oleh kebaikan.
72 notes · View notes
leafnrs · 3 years
Text
Ketulusan #3
Tumblr media
Sebenernya udah lama pengin nulis ini, tapi ketunda terus. Dan hari ini aku dapet triggernya buat beneran nulis ini, alhamdulillah.
Kalimat yang aku garis bawahi itu, biasa banget jadi topik bersama teman-teman perempuanku. Kami sadar bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tetap memiliki peluang buat melakukan kesalahan, penyimpangan, dan semacamnya. Dan terutama soal lisan, siapa tau ucapan yang keluar dari mulut kami adalah sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain, yang kami tidak menyadari itu. Makanya butuh diingatkan.
Tapi kali ini aku mendapat kalimat itu dari seorang teman laki-lakiku. Walaupun bukan untuk yang pertama kali aku dapet itu dari teman lakiku, tapi baru pertama kali ini aku dapet kalimat itu dari dia.
Rasanya kayak....seneng campur terharu gitu. Kayak....wah ternyata dia menganggapku teman karib. Yaa kalau nggak sebegitu akrab, nggak mungkinlah yaa langsung bilang gitu. Seneng udah dianggep. Terimakasih.
Makin kesini, makin berumur ini, aku semakin memaknai pertemananku. Aku punya lingkar pertemanan (perempuan) yang kami dekat karena memang kami pernah seatap, ditempa bareng, saat sedang mencari jati diri. Wajar kan yaa kami jadi dekat, ya karena terbiasa bareng, saling nguatin dan saling ngingetin. Makin kesini, ya makin menerima kekurangan satu sama lain. Menurutku, salah satu bukti sayang itu yaa ketika kita benar-benar menerima kekurangan dia. Dan kami udah sampai pada tahap itu. Perbedaan pendapat udah bukan masalah lagi bagi kami. Dan kami pengin temenan sampai surga. Aamiin
Tapi ternyata nggak cuma sama mereka doang aku sayangnya, pengin temenan sampai surganya. Kepada beberapa teman lain pun aku juga merasa demikian, nggak peduli mereka merasakan hal yang sama atau enggak, yang penting aku sayang, yang penting aku pengin temenan sampai surga. Padahal yaa, nggak yang deket-deket banget gitu, jarang ketemu juga karena jarak, chat-an juga nggak sering, berbagi ceritanya juga masih dipermukaan doang. Tapi aku sayang. Tapi aku pengin tetep jalin komunikasi. Tapi aku tetep pengin temenan sampai surga sama mereka juga.
Aku sempet bingung juga, kok bisa sih aku sayang sama mereka? Sampai bisa gitu bawa mereka ke doaku juga. Sampai yang aku ngrasa pengin temenan sampai surga juga. Padahal deket banget juga enggak, cerita soal masalah-masalah hidup juga baru yang dipermukaan doang, bahkan ada yang kalau ketemu cuman bercandaan dan ada yang nyebelin juga wkwkw. Tapi aku sayang.
Kata salah satu temenku, memang ada hal-hal yang nggak bisa dijelasin. Dan nggak perlu juga dijelasin. Ketika kita sayang sama orang, nggak melulu harus beserta alasannya kan?
Kata temenku yang lain, aku tuh tulus gitu berteman sama mereka. Bahkan aku juga bakalan sedih kalau mereka kenapa-kenapa. Namanya juga sayang.
3 notes · View notes
leafnrs · 4 years
Text
Terharu
Kamis, 04 Juni 2020
Hai.
Tahun ini, aku mendapat amanah sebagai ketua divisi kesekretariatan sebuah acara.
Sebuah divisi yang sangat asing bagiku. Untungnya, aku berada di lingkungan yang sangat suportif, membantuku setiap aku ada kesulitan dan memberiku banyak pertimbangan dalam membuat keputusan.
Progres divisiku berjalan tidak terlalu cepat. Masih banyak yang belum kutahu tentang divisi ini. Sialnya, prioritasku untuk divisi ini masih terbagi karena ada beberapa kegiatan lain yang harus kuurus. 
Hari ini, aku mencoba mendata apa saja peralatan yang dibutuhkan pada saat hari H acara. Aku membahasnya dengan anggotaku, tentu saja. Saat dalam pembahasan, ada seseorang yang bertanya, 
“Tahun lalu printernya berapa kak?”
Duh. Walaupun aku termasuk panitia tahun lalu, tapi aku tidak memerhatikan printer karena itu bukan tugas utamaku. Daripada berasumsi yang salah, akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan ketua divisi sebelumnya. Sebut saja namanya Nara. 
Nara adalah salah satu teman dekatku. Dia adalah sedikit dari orang yang mengenalku saat zaman mahasiswa baru. Walaupun sekarang kami berjalan di jalan kami masing-masing, aku masih menyimpan banyak rasa hormat dan kagum kepadanya.
Namun, dari berbagai kepanitiaan yang tidak aku ikuti, nama Nara sering disebut sebagai orang yang jarang muncul dan susah dihubungi. 
Aku sendiri tidak masalah dengan itu, karena aku tahu orang pasti mempunyai waktunya sendiri dan paham bagaimana menjalankan tugasnya. 
Maka, tanpa berharap langsung dibalas, aku mengirim pesan ke Nara. Aku menyebutkan namanya, lalu menanyakan apa saja yang dibutuhkan divisi ini berdasarkan pengalaman Nara tahun lalu.
Betapa kagetnya aku, baru saja aku mengirim pesan ‘Nara’ dan sedang mengetik pertanyaanku, kontaknya langsung berubah menjadi online dan centang dua hitam berganti centang dua biru. 
Ternyata Nara langsung membalas. Pertanyaanku juga langsung dijawab dengan jelas, meskipun aku tahu pasti dia berjuang keras mengingat hal-hal yang sudah tidak berhubungan dengannya saat ini.
Setelah mendapat informasi yang kubutuhkan, aku mengucapkan terima kasih banyak kepada Nara. Dalam pesan yang kukirim sekaligus di hati yang paling dalam.
Seharusnya, ini hal yang biasa saja. Namun, bagiku yang sudah hampir gila di masa kuarantina seperti ini, dengan kecemasan yang menumpuk di kepalaku, dengan banyaknya hal buruk yang telah terjadi padaku tahun ini, aku terharu dengan perlakuan Nara. Lagipula, seperti perkataan dosenku yang kusimpan baik-baik, nggak ada yang sudah seharusnya. 
Bahwa di tengah kesibukannya, dengan reputasi slow respon yang diberikan oleh orang lain, dia mau menyempatkan diri membaca pesanku langsung setelah menerima pesan itu. Langsung menjawab semua pertanyaanku. Berusaha memberikan jawaban yang tepat dan akurat. Menghilangkan semua atribut slow respon itu kepadaku. Selalu baik kepadaku.
Aku terharu.
Aku berterima kasih.
Aku senang bisa mejadi teman dekatmu.
0 notes
leafnrs · 4 years
Text
Bilas muka,
gosok gigi,
evaluasi 
(Hindia - Evaluasi)
2 notes · View notes