Tumgik
mythumbelina · 3 years
Photo
Tumblr media
Sepertinya begitu.. â˜ș https://www.instagram.com/p/CHsUo6UndBy/?igshid=nzx4rsxof2t6
28 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Bahagia itu tentang menerima.
Menerima seutuhnya diri sendiri. Sadar utuh bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Punya kekuatan dan kelemahan. Punya keterbasan.
Sadar untuk tidak membanding banding kan dengan manusia lainnya. Potensi, berkat, dan karakter yang diberikan Allah sesuai porsinya.
Sadar bahwa tidak semua apa yang kita lakukan semua akan berhasil sesuai impian kita. Karena kita punya jatah gagal yang berbeda.
Sadar bahwa kita hidup di dunia sementara, akhirat selamanya.
Tugas kita menerima segala bentuk apresiasi, kritik, berkat, musibah, lebih dan kurang dalam satu paket yang disadari utuh.
Karena kita tidak benar benar tau.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
2 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Photo
Tumblr media
Let’s act together to fight racism, injustice, and police brutality. People are dying because of the color of their skin, and we can’t stay silent and ignore it. Black Lives Matter.
Please don’t comment that “all lives matter” - saying black lives matter in no way means other lives don’t matter. It means black people are dying at higher rates from police violence due to racism and police brutality, and saying all lives matter is completely dismissive and insensitive of that fact.
I’ve already listed funds to donate to in my IG stories, but Campaign Zero and NAACP Legal Defense Fund are ones I’m donating to outside of Minnesota. There are many resources online to educate yourself and those around you with facts like blacklivesmatters.carrd.co and mappingpoliceviolence.org.
Insensitive, inflammatory comments will be deleted. Racists, please unfollow.
5K notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Photo
Tumblr media
94K notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Nasihat yang akan selalu saya ingat:
“Gini ya. Tiap rumah tangga itu pasti ketemu masalah. Ini sunnatullah, pasti terjadi nggak mungkin nggak, cuma kita nggak tahu masalahnya nanti akan di sebelah mana. Jadi jangan harap nggak ketemu masalah.
Yang bedain itu, masalahnya dari dalam atau dari luar. Berdoa aja sama Allah semoga masalahnya bukan dari dalam (dalam: kamu dan pasanganmu).
Kalau masalah di luar, sekeras apapun itu sebanyak apapun orang benci kalian, dsb. Tapi kalian berdua tetap saling cinta dan solid, insya Allah semua masalah bisa lewat.
Tapi kalau masalahnya ada di kalian berdua, mau seluruh dunia dukung juga percuma.”
468 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
“I do not fix problems. I fix my thinking. Then problems fix themselves.”
— Louise Hay
101 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
43K notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
One baby goal at a time. ♡ This penguin is here to get through it with you.
Chibird store | Positive Pin Club | Webtoon
12K notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Bicara soal pasangan...
Setelah gagal di pernikahan.
Aku baru sadar dan introspeksi diri, ternyata aku belum pernah menemukan orang yang tulus setia dan mencintaiku.
Manusia punya kepentingan, dan sepertinya aku menemukan manusia yang waktu itu menjadi pasanganku punya AMBISI dan KEPENTINGAN atas apa yang ada di aku dan sekelilingku.
Hanya sebagai alat? Korban?
Lalu aaku terbuai dengan sebatas ucapannya saja.
Aku hampir kehilangan semua sejak aku berkencan dengan beberapa orang ini.
Aku belum pernah menemukan yang benar serius dan setia.
Yang mencintaiku, memahamiku, mendukungku.
Hanya fase dan formalitas saja sebagai pasangan.
Mungkin aku juga dulu seperti itu, ibaratnta 'yang penting terlihat punya pasangan'
Menulis ini, menjadi tamparan hebat buatku. Tamparan bagi wanita yang sudah gagal dengan pernikahannya. Ya aku salah dan punya andil tidak serius memilih pasangan.
Terbuai dengan status pernikahan dan ya, GAGAL.
Aku gagal dengan hidupku, karena aku sendiri salah dalam mengambil keputusan.
Maanusia lain memanfaatkan kelemahanku. Lenyap. Dan hancur.
Tapi ku rasa memang Allah sedang menyelamatkan ku dengan status ku ini.
Kali kedua ini, aku tidak akan membiarkan aku masuk pada jurang yang sama. Aku tidak mau kembali gagal.
1 note · View note
mythumbelina · 4 years
Text
Ternyata body shamming itu bener adanya kalo bisa mempengaruhi seseorang. For sure, aku beneran jaga makan, takut gendut karena omongan orang. Takut banget gendut karena keliatan pipi chubby, atau ngeliat perut buncit, paha membesar.
Start with "kamu gendutan ya"
Berakhir gak nafsu makan apapun karena sakit takutnya dibilang gendut.
Saampe sekarang masih kayak gitu. Masih ngerasa insecure.
Padahal kalo orang deket, gpp banget chubby. Its normal.
Tapi aku selaalu gak mau keliatan kurus. I will do anything to loss my weight.
Akibatnya, thypus nyerang sejak beberapa tahun terakhir. Karen apa, nahan makan, padahal energi keforsir.
Gak segitu aja, warna kulit muka , jerawatan, dll
Im not celebrity. Im just ordinary people that want continue life as i'm
0 notes
mythumbelina · 4 years
Text
Teman Hidup
Dulu kalau ditanya, "Kenapa nikah?", jawabanku sangat serius dan filosofis, bak caleg lagi kampanye. Sekarang, kalo ditanya, jawabanku lebih simpel: karena aku butuh teman hidup. Ya, sesederhana itu. Tapi, penjelasan di belakangnya rumit juga sih.
Nikah itu fitrah. Deep down, kita takut hidup sendiri. Kita butuh teman. Persis kayak lagu Vina Panduwinata, "Seindahnya dunia fana, dan sedamainya surga. Tetap bagai neraka tanpamu." Yg mengingatkanku pada kisah Nabi Adam as. Sudah enak tinggal di surga, tapi tetap saja terasa kurang kalau ngga ada teman utk menikmatinya. Sehingga diciptakanlah teman sejiwa bernama Hawa.
Nikah sering diromantisasi sebagai peristiwa yg menyatukan dua insan dalam kebahagiaan. Dramatis sekali. Di sisi lain, nikah juga sering digambarkan sebagai peristiwa peradaban. Sesuatu yg bisa menciptakan perubahan. Serius sekali. Aku mengambil jalan tengahnya saja. Dalam pernikahan, ada pemenuhan kebutuhan dasar manusia untuk memiliki teman, ada pula petualangan untuk mencari kehidupan yang bermakna.
Nikah itu, sama seperti pilihan hidup lainnya. Sesuatu yang melahirkan konsekuensi berupa tanggung jawab nan besar. Tapi, nikah juga ngga melulu berisi hal-hal berat seperti debat capres. Ada visi misi, program kerja, dkk.
Mungkin perlu lebih luwes saja sih. Adakalanya kita perlu memandang keluarga sbg "perusahaan" dan pasangan sbg "partner bisnis", harus ada target, program, evaluasi, dst.
Tapi, adakalanya kita juga perlu beristirahat sejenak dari misi-misi "peradaban" yg seringkali bikin kita ngga nyante. Ibarat lagi jalan, kita pengen cepet-cepet nyampe tujuan. Anak diburu-buru supaya bisa ini-itu (misal: hafal Qur'an, bisa baca tulis hitung, dsb). Suami/istri terlalu sibuk di luar rumah demi misi peradaban (bahwa dia harus bermanfaat bagi banyak orang). Tapi lupa untuk menikmati prosesnya yang berjalan manusiawi: anak bisa malas, istri bisa jenuh, suami butuh disentuh, dsb. Lupa memperhatikan sisi-sisi humanis.
Dalam pernikahan, aku belajar untuk punya tujuan dan impian besar, tapi tetap kalem dan enjoy di perjalanannya. Karena kebahagiaan itu seringkali adanya ya di proses itu. Toh pada hakikatnya, tujuan menikah tetap saja untuk "litaskunu ilaiha", agar kita merasa tenteram. Kalau serba cepat-cepat, terlalu strict pada target/tujuan besar, sehingga tidak menyisakan ruang untuk kita menikmati proses humanisnya, jangan-jangan kita lagi di akademi militer? Hehe.
874 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Manusia Itu Melelahkan, Ya?
Belakangan, saya sedang merasa lelah dengan beberapa orang di sekitar saya. Seperti menyalakan lilin untuk menerangi orang lain, saya malah terbakar sendiri. Tidak hanya itu, dalam beberapa hal lainnya, lilin itu malah ditiup oleh orang lain sebelum ia membakar tangan saya yang memegangnya. Alhasil, semua berbalik menjadi gelap sekali, meninggalkan saya yang bertanya-tanya, “Apa yang sebenarnya sedang saya lakukan? Jika kebaikan yang diupayakan berbalik menjadi kesakitan bagi diri saya sendiri, bukankah ada kesalahan yang mungkin tanpa sadar sedang saya lakukan?”
Sebagai (calon) psikolog dengan skill empati yang sedang terus dilatihkan hampir setiap hari (meski tentu saja masih banyak gagalnya dan harus terus latihan lagi), saya terkadang tidak bisa menahan diri untuk menolong orang lain, menumbuhkan mereka, dan mengajak mereka keluar dari zona nyaman yang saat ini sedang mereka jejaki. Dalam hal ini, rasanya tak ada kepentingan diri selain untuk dapat melihat orang lain menjadi lebih baik lagi. Banyak orang bilang, “Jangan gitulah Nov, enggak usah terlalu baik sama orang lain yang tidak siap menerima kebaikan.” Tapi nasehat itu saya tepis, sebab bagi saya, memberi kebaikan kepada orang lain adalah puncak dari kebaikan itu sendiri, yang tidak akan pernah menjadi sia-sia meski siapapun menyia-nyiakannya.
Back to the existing condition, dihadapkan Allah pada kondisi-kondisi lelah karena memikirkan orang lain membuat saya menyadari beberapa hal yang selama ini sepertinya sedang luput untuk saya sadari. Pertama, sifat kebaikan adalah tidak bisa dipaksakan. Sebagai orang yang memberi, kita bisa terus berupaya untuk memberi, tapi soal orang lain menerimanya atau tidak, itu sudah berada di luar kendali kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita sendiri, salah satunya sikap untuk tetap melanjutkan kebaikan. Di luar itu, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menerima atau tidak menerimanya.
Kedua, tak selamanya suatu kebaikan dipersepsikan sama oleh orang lain. Maksud baik tak selamanya diterima dengan baik, sebagaimana pun kita sudah mengupayakan atau menjelaskannya. Seperti ibu yang melarang anaknya memakan permen: ibu berniat baik agar gigi anaknya tidak sakit karena makan permen, namun anaknya menganggap ibunya sedang menjauhkan dirinya dari kebahagiaan yang sedang sangat diinginkannya. Kau tahu apa yang paling sulit dilakukan disaat-saat seperti ini? Menahan diri untuk tidak mengatakan, “Tuh kan, saya bilang juga apa 
” Bagaimana pun, ternyata tangan kita memang tidak pernah akan sampai untuk menyelamatkan orang lain dan memastikan kebaikan hadir kepada mereka.
Ketiga, bagaimana pun, bukan tanggung jawab kita untuk memastikan pertumbuhan dan berubahnya orang lain menjadi lebih baik. Tak ada satu hasil akhir pun yang berada di bawah kendali kita. Yup, every person is responsible for their own growth and they are the only person responsible for their growth. Tugas kita adalah memberikan umpan, lalu umpannya diambil atau tidak, itu bukan tanggung jawab kita. Peran kita adalah memberikan stimulus, lalu stimulusnya diterima atau tidak, itu juga bukan lagi menjadi tanggung jawab kita. Hmm, mungkin ini ya yang membuat rasa berat dan lelah (juga mungkin marah) itu muncul, sebab kita merasa bertanggung jawab terhadap kebaikan hidup orang lain. Padahal, kendali itu tidak pernah ada di tangan kita, yang dapat kita kendalikan hanyalah konsistensi dan kesabaran kita dalam berupaya.
Saya jadi ingat pada bagaimana kisah Rasulullah dan pamannya yang bernama Abu Thalib yang sampai dengan wafatnya sekali pun pamannya itu tetap tidak mengikuti agama yang dibawa oleh Rasulullah. Sekelas Rasulullah, dengan seluruh kebaikan dan kesempurnaan yang ada pada dirinya, ternyata tidak bisa menjadi orang yang memastikan keselamatan bagi orang terdekatnya. Lantas, apalah dayanya saya ini, sementara saya pun bahkan tidak bisa memastikan kebaikan-kebaikan atas diri saya sendiri? Kendali apa memangnya yang saya punya untuk dapat mengubah orang lain? Tidak ada.
Kata prinsip Filosofi Teras, urusan-urusan di dunia ini terbagi menjadi 2 hal, yang bisa kita kendalikan dan yang tidak bisa kita kendalikan. Dalam hal memberi kebaikan kepada orang lain, rasanya prinsip ini pun relevan. Satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri sehingga kita bisa terus berupaya untuk meluruskan dan memperbaiki niat, mempelajari cara-cara baru untuk berbuat baik, juga untuk tetap menjaga maksud baik atas segala sesuatu. Namun, kita pun tidak boleh lupa bahwa hasil dari semua yang kita upayakan itu belum tentu sejalan dengan apa yang kita bayangkan, belum tentu pula kebaikan kita diterima sebagaimana mestinya. Lalu, kalau hal itu benar terjadi, apakah lantas kebaikan kita menjadi sia-sia? Tidak, kebaikan itu, apapun bentuknya, tidak akan pernah sia-sia, meski siapapun menyia-nyiakannya. Sebab, selama semua karena-Nya, tak ada yang sia-sia di hadapan-Nya.
So, untukmu yang saat ini sedang merasa lelah karena tidak bisa mengubah atau menumbuhkan orang lain, take a deep breath. Tenang, memang bukan itu yang seharusnya kamu lakukan. Tugasmu hanyalah tetap menjadi baik, tetap mencari-cari cara untuk mengupayakan kebaikan pada (si)apa saja, tetap bersabar atas apapun umpan balik yang kamu terima, dan juga tetap berlari mengejar perhatian-Nya. Sebab, urusanmu yang sebenarnya bukanlah dengan manusia, tapi dengan-Nya. Keep spreading all the kindness. Baarakallahu fiik.
408 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Depresi Lagi Hits?
Tumblr media
Di tahun 2019, WHO memprediksi bahwa depresi akan menjadi penyakit dengan angka kasus tertinggi kedua di seluruh dunia setelah penyakit jantung. Prediksi ini kiranya menjadi masuk akal sebab menurut WHO, diperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia yang diakibatkan oleh depresi. Berita yang bernada sama pun datang dari negeri sendiri. Di tahun yang sama, Kompas mempublikasikan sebuah berita bahwa sebanyak 80-90% kejadian bunuh diri di Indonesia berhubungan engan ganguan mental-emosional, terutama depresi. Tak heran, depresi semakin hari menjadi topik yang semakin diperbincangkan oleh banyak orang.
Tapi, tunggu dulu! Memangnya depresi itu apa? Apakah sedih, murung, dan mengurung diri di kamar dalam waktu 1 hari sudah dapat dikatakan depresi? Apa yang menyebabkan depresi itu terjadi? Apakah depresi mungkin dialami oleh siapa saja terlepas dari apa dan bagaimana pun kondisi kehidupannya? Lalu bagaimana dengan orang beriman, apakah depresi mungkin juga untuk menghampiri?
Yuk, kita diskusi lebih lanjut tentang ini di kelas OFFLINE pertama Heal Yourself! InsyaAllah acaranya akan dilaksanakan di BANDUNG dengan mengundang sahabat-sahabat kami, yaitu dr @abdichsan (Dokter) dan @saritamatulu (Psikolog). Di acara ini, insyaAllah @novieocktavia sebagai founder dari @healyourself.id pun akan turut menjadi moderator.
Silakan cek informasi lebih lanjut di poster, ya. Untuk pendaftaran, bisa langsung melalui http://bit.ly/healyourdepression. Tiada kesan tanpa kehadiranmu, teman-teman. Sampai bertemu di Bandung!
22 notes · View notes
mythumbelina · 4 years
Text
Tidak ada yang akan baik baik saja dengan perceraian atau perpisahan. Trauma yang membekas. Aku kira sudah baik baik saja. Tapi ternyata masih saja luka itu belum sepenuhnya mengering. Air mata itu masih saja menetes ketika mengingat. Sesak dada itu masih saja tiba tiba menusuk.
0 notes
mythumbelina · 4 years
Text
Anak Pertama
Sebagai anak pertama, menjadi harus yang terbaik agar menjadi contoh untuk adiknya seperti hal yang wajib dilakukan.
Tekanan sebagai anak pertama yang memikul beban itu mungkin tidak semua mampu menjalaninya.
Terbiasa memandang ya semua baik baik saja. Tapi ternyata tidak.
Ada rasanya ingin sekali ada yang mengerti si anak pertama ini.
0 notes
mythumbelina · 5 years
Text
“Walau pada akhirnya kita tidak bisa bersama, kembali saling asing dan tidak menyapa. Aku tetap bersyukur pernah mengenalmu. Aku tak menyesal kita pernah hidup bersama dalam satu waktu. Terima kasih.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
mythumbelina · 5 years
Text
RTM : Nasihat Sebelum Menikah
Pernah tidak memperhatikan bagaimana orang lain atau teman yang kita kenal baik menemukan pasangan hidupnya? Hingga mereka mengatakan kepadamu atau kamu mendengarnya dari orang lain tentang bagaimana rumah tangganya berjalan. Entah berita baik atau buruk.
Pernah tidak memperhatikan bagaimana ia bisa menerima orang baru dalam hidupnya? Bersedia menikah dengannya dan bersedia menanggung konsekuensi atas keputusannya — sesuatu yang sampai hari ini tidak kamu miliki—. Dan bagaimana kemudian ia menjalani konsekuensi tersebut.
Anggapan bahwa keputusan besar ini pasti berujung indah – never ending fairytale – seperti yang kita saksikan di media sosial dan sebagainya. Justru bisa menjadi boomerang bagi diri kita sendiri.
Mau dibuat sesederhana apapun, perkara ini sama sekali tidak sederhana. Mau dibuat semanis apapun, perkara ini pasti akan memberikan rasa pahitnya. Dan kami, sekali lagi, tidak ingin menyuruh-nyuruhmu untuk segera berumah tangga. Raih dan genggamlah mimpimu sedemikian erat, jalanilah. Karena di jalan itu, pasti ada orang lain yang menitinya juga. Selesaikanlah urusanmu terhadap dirimu sendiri, orang tuamu, dan hal-hal yang kamu rasa itu amat penting dan berharga bagimu.
Persiapkan segala sesuatu yang kamu takut dan khawatirkan sampai hari ini. Karena ketakutan dan kekhawatiran itu ada karena tidak adanya persiapan. Tidak adanya kesiapan diri kita sendiri. Tidak hanya meratapi nasib dan memikirkan ketakutan itu, lantas bersembunyi dari hiruk pikuk dunia. Masalah itu takkan pergi sampai kamu bersedia menghadapinya.
Barangkali, nasihat paling bijaksana yang bisa kami ambil sampai hari ini adalah:
Keputusan ini kamu yang akan menjalani, kamu pula yang akan menanggung segala konsekuensinya. Bukan orang lain. Bukan siapa-siapa. Kalau kamu tidak siap, jangan pura-pura siap. Kalau kamu tidak yakin, jangan pura-pura yakin. Hati kecil, berbisik lirih tapi banyak benarnya.
Ketakutan-ketakutan itu jangan sampai mengendalikan dirimu. Mengambil alih logikamu hingga kamu gegabah dalam mengambil keputusan-keputusan besar bagi hidupmu sendiri. Keputusan-keputusan permanen, sesuatu yang sekali kamu ambil, menggema sepanjang hidupmu.
©kurniawangunadi
2K notes · View notes