Tumgik
pikoopiku · 3 years
Text
Izinkan aku curahkan keputusasaanku atas yang terjadi selama ini.
Tuhan.. Saya ingin bekerja sebelum menikah. Berat rasanya memikirkan segala dampak yang terjadi tanpa adanya modal yang dipunya.
Saya sudah bosan berkeluh kesah dalam hati dan mengumpat untuk ketidak mampuan saya sekarang.
Saya sudah muak dengan bentuk sindiran kecil karena status perekonomian yang saya dapat sekarang.
Sampai pertanyaan beralih kepada mampukah saya membahagiakan calon pasangan saya setelah menikah dengan kondisi yang belum berubah.
Mampukah saya membimbing dia yang sifatnya semakin engkau buka menjelang bersatunya kita.
Sebaliknya, mampukah dia terus menerima menahan segala bentuk kondisi dan sifat yang saya punya sekarang.
Tuhan... Saya butuh keajaibanMu
3 notes · View notes
pikoopiku · 3 years
Text
RTM: Nafkah Istri (Bagian 2)
Satu hal yang terpenting dalam rumah tangga, nafkah dunia. Memang sudah menjadi keharusan istri itu menerima setiap pemberian dengan ikhlas, namun juga sudah menjadi keharusan bahwa suami harus memberikan yang terbaik pula untuk istri.
Nafkah bulanan, setiap rumah tangga akan ada badai awalnya, akan ada ujian pertamanya. Mulai dari ekonomi, kesalahpahaman, dan rentetan permasalahan lainnya. Uang suami adalah uang istri, namun uang istri bukanlah uang suami. Begitulah islam memuliakan wanita dan menghormatinya.
Meskipun nanti istrimu memiliki pendapatan sendiri, tetap sudah menjadi kewajibanmu untuk memberinya nafkah juga. Untuk wanita yang hendak menikah, tanyakanlah juga soal keberhakanmu menerima nafkah setelah menikah nanti, sebab banyak sekali hal ini terluput sampai harus berakhir di meja pengadilan.
Perihal menafkahi itu bisa dengan kesepakatan, bisa dengan musyawarah. Barangkali memang sengaja mengumpulkan uang bersama dan berusaha bersama hingga hasilnya pun dinikmati bersama. Namun tetaplah biarkan istri memiliki privasi keuangannya yang kamu berikan. Sebab setiap keluarga memiliki visi dan misi masing-masing, ini hanya sepenggal nasihat dari ibuk dahulu saat hendak menikah. Berilah istrimu nafkah yang baik meski sedikit.
Sempat saya diawal menikah tidak memiliki uang sebab harus diputar untuk usaha, dan belum kembali uangnya. Namun istri menerima dan tetap ikhlas meski harus menerima uang 50 ribu dalam 1 atau 2 bulan. Ikhlasnya istri menerima itu bagaikan kelapangan hati dan kelegaan tersendiri :)
Untuk sampai ke titik ini pun semua bermula dari sabar dan saling menerima, mulai dari masukan atau pun nasehat, mulai dari merancang rencana bersama dan usaha yang didirikan. Meski sampai akhir hayat akan terus belajar.
Saya hanya ingin menyampaikan, soal nafkah itu penting, memberikan ketenangan pada seorang yang sudah menjadi bagian hidup itu penting, ikhlas dan sabar itu penting, komunikasi dan saling memaafkan itu penting. Semua ilmu kini menjadi penting untuk diterapkan, bahkan dari hal terkecilnya.
Sebab sayang saja jika menikah hanya didasari rasa nafsu dan memiliki, padahal menikah adalah bagian dari cara menuju surga dengan ujian dan cobaannya tersendiri.
Selamat belajar, untukmu yang sedang menunggu atau sudah dalam pelayaran, semoga keberkahan dan kebaikan selalu membersamai.
@jndmmsyhd
358 notes · View notes
pikoopiku · 3 years
Text
RTM: Wanita dan Pandangannya (Bagian 1)
Unik dan ajaib memang wanita dan perasaannya itu, kadang sulit sekali menebak mau dan pintanya, apalagi soal pandangannya yang sering berbeda dengan cara laki-laki menilai.
Memasuki bulan ke 5 semenjak kami bertemu dan tinggal bersama untuk selamanya (tidak ada dan tidak akan lagi ldm) ada banyak hal baru yang saya pahami dan pelajari dari wanita yang sekarang menjadi istri saya. Iyap, kami memang ldm sejak 2018 karena kesibukan dan belajarnya masing, setahun mungkin hanya 2 atau 3 kali bertemu dengan durasi paling lama 1,5 bulan. Kami memang membuat kesepakatan untuk fokus pada amanah masing-masing, dalam sekepan mungkin video call hanya sekali atau 2 kali, kalo chattingan yaa setiap hari tapi sekosongnya.
Rumah tangga muda, pada usia yang memang sudah seharusnya bisa mengontrol emosi, ego, dan kepentingan. Ada banyak hal yang mulai berubah dari cara berpakaian saya dan jam untuk menikmati bacaan.
Saya yang biasa memakai baju kaos dan celana yang bisa dibilang "yang paling atas ya itu yang diambil dan dipakai, biar gausah ngangkat baju yang kadang nanti malah bikin berantakan", tapi tetap saja istri selalu komplen dengan kata tidak mecinglah kurang pas lah. Hingga saat ini setiap mau pergi atau ada acara entah di dalam kota atau harus keluar kota yaa dia yang nyiapin, ini sebenarnya bertolak belakang sekali dengan prinsip berpakaian saya yang simple dan yang penting bagus rapih dan layak :)
Ada hal lain yang musti saya ubah juga, terhadap me time dengan buku-buku dan tontonan, dengan video call bareng temen dan beberapa agenda lainnya. Tapi memang beginilah pernikahan, akan mengubah dan harus berubah dengan menyatukan prioritas yang lebih besar skalanya.
Pandangan laki-laki yang memang kebanyakan inginnya serba mudah dan cepat, tidak riweuh dan sangat diatur. Tapi memang dengan begitu akan lebih teratur dan lebih rapih juga sih. Untuk para lelaki, saya doakan nanti mendapat istri yang rapih, dari rapih menata luar dan dalam, menata keuangan dan kepentingan.
Nanti akan kamu temukan, pandangan wanita yang seringnya bertabrakan dengan pandanganmu, tapi cobalah untuk mendiskusikannya, pada peran dan bagaimana jalan tengahnya, soal pembagian keuangan dan kepentingan, soal menata masa depan dan target tahunan yang harus dicapai masing-masing dan bersama.
Tidak mudah memang, sedikit cemberut dan ngambek itu biasa, sedikit baper dan minta dimengerti itu wajar, sedikit ingin diberi apresiasi dan berbincang bersama itu standart, pernikahan memang tidak semudah bulan atau tahun pertama. Ombaknya kadang ringan kadang tinggi, dan cobalah untuk melihat hubunganmu dengan-Nya saat ada yang tidak beres dengan pasangan, barangkali ada porsi ibadah yang berkurang, ada tilawah yang tidak mencapai target harian, ada puasa sunnah yang mungkin malas dikerjakan.
Sakinah itu berasal dari tinggal bersama dan menyelesaikan masalah bersama, mawaddah itu berasal dari kelapangan dada menerima baik buruknya pasangan, dan warohmah itu adalah tujuan dari setiap pasangan untuk mendapatkan rahmat-Nya. Kerjakan saja semuanya karena Allah, soal apresiasi dan tidak itu belakangan, yang penting semuanya untuk ibadah.
Jarang sekali saya menulis seperti ini, yang biasanya hanya tertulis dalam catatan hp dan laptop, untuk disimpan sendiri dan menasehati hati. Tapi sepertinya ini perlu saya sampaikan juga, bahwa ilmu itu lebih penting daripada langsung beramal tapi tanpa ilmu.
Tenangkan dulu badai dan gemuruhnya, redakan nafsu dan lapar mata yang menyala, dan niatkan semuanya untuk ibadah. Bahkan soal menunggu pun jika karena Allah justru akan berbuah pahala juga, yang kamu cari berkahnya bukan?
@jndmmsyhd
523 notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
Coba nasib saya lebih “baik” dari sekarang :)
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Pengen punya circle baru. Yang ga sakit
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Kita Mungkin Bisa Menerima, Tapi..
Saya telah melewati fase ini, tapi pembelajaran yang terjadi dari lompatan fase itu tidak akan pernah lekang dan akan menjadi nasihat yang nanti saya teruskan ke anak-anak saya nantinya. Terkait memilih pasangan hidup.
Kita, sebagai remaja yang mungkin pada fase tersebut dilanda banyak keresahan terkait pasangan hidup, waktu yang terus bergulir memakan usia, kemudian dorongan dalam diri yang ingin segera masuk ke fase berikutnya. Hal-hal yang seringnya, membuat pikiran dan hati kita tidak stabil. Logika kita tidak berjalan dengan baik, begitu pula perasaan kita yang mudah sekali berubah-ubah.
Apalagi, saat kita dihadapkan pada kondisi dimana kita justru dipertemukan dengan orang-orang yang menguji value yang kita pegang selama ini. Ada hal baik yang ada pada dirinya, meski ada tapinya. Dan “tapi” inilah yang membuat kita kebingungan dengan diri kita sendiri.
Pada waktu itu, nasihat ini datang kepada saya. 
“Kamu boleh jadi bisa dan luas hatinya untuk menerima orang lain seburuk apapun masa lalu yang dia miliki, ditambah dengan asumsimu bahwa dia sudah berubah meski mungkin itu belum benar-benar bisa kamu validasi, tapi kamu berprasangka baik. Dia yang masih merokok, dia yang pernah berhubungan dengan perempuan di luar bayangan kita, dia yang shalatnya belum tegak lima waktu, segala sesuatu yang kita rasa, itu bisa diubah seiring pernikahan. “Boleh jadi kamu bisa menerima mereka dengan terbuka, tapi coba benturkan hal itu jika nanti ada anak-anak. Apakah kamu akan membiarkan anak-anakmu terpapar asap setiap hari di rumah bahkan sejak dia lahir? Apakah kamu menjelaskan dengan baik, dan membanggakan laki-laki itu nanti sebagai ayah dari anak-anakmu.”
“Inilah yang seringkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bahwa, sejatinya memilih pasangan hidup, salah satunya adalah bentuk kewajiban kita untuk menunaikan hak-hak anak kita memiliki ayah/ibu yang baik. Hak yang harus kita tunaikan. Kita tidak semata menikah hanya untuk kepuasan diri, ego, dan asumsi-asumsi kita.” “Selama kita masih punya keleluasaan untuk memilih dan membuat keputusan. Maka, seberat apapun upayanya. Kukira, itu tidak akan selamanya. Tapi, pernikahan itu, selalu kita harap akan baik selamanya kan?  Tak ada salahnya kita berusaha lebih keras dan lebih lama sedikit, berdoa lebih kuat lagi, kemudian memberanikan diri untuk melewati fase ini dengan lebih logis dan dengan iman. Agar langkah kita tidak didorong oleh ego kita untuk segera memiliki status, ego karena malu belum menikah sendiri, ego karena ingin seperti teman-teman kita yang lain, ego karena dirasa menikah itu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup.”
Justru, pernikahan itu menambah masalah. Kalau kita salah menentukan pilihan, salah dalam membuat keputusan, masalah yang akan kita hadapi dalam pernikahan, akan jauh lebih sulit. 
Berjuanglah lebih lama sedikit, lebih bersabar, agar kita sampai pada pelajaran yang utuh. Agar kita sampai di titik, dimana kita bertemu dengan orang yang benar-benar membuat kita yakin dan percaya bahwa anak-anak kita, layak memiliki ayah/ibu seperti dia. Di sini, semua standar kita soal ketampanan, kekayaan, dan semua hal yang tampak permukaan akan luluh. Kalah oleh akhlak, kalah oleh karakter seseorang. Sebab akhlak/karakter adalah cerminan pemahaman hidup seseorang, cerminan pikiran-pikirannya, cerminan tentang visi yang ingin kita hidupkan.
Bersabarlah, sedikit lagi. Karena pernikahan yang seumur hidup, terlalu berharga untuk kita korbankan demi ego-ego dan perasaan kita yang tak mampu kita kendalikan saat ini. Kurniawan Gunadi
Yogyakarta, 17 Juni 2020
2K notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
Kenapa sampai disini malah tidak percaya diri
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Tumblr media
Gomapta 💕
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Biar Allah Aja  Yang Ngurus
Ada satu ayat yang menarik perhatianku di Surat Ghoofir atau juga disebut Al Mu’min, tepatnya bisa kita lihat di nomor ke 44
فَسَتَذْكُرُونَ مَآ أَقُولُ لَكُمْ ۚ وَأُفَوِّضُ أَمْرِىٓ إِلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَصِيرٌۢ بِٱلْعِبَادِ
“Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”
Mari kita bahas sedikit, tentu dengan batas pengetahuanku yang sekadar iseng-iseng buka kamus bahasa arab dan mencoba membaca buku tafsir. Ayat ini masih masuk pada satu cerita yang sama dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lebih pastinya dalam Al Aisar disatukan dalam pembahasan yang dimulai dari ayat 41 sampai 46.
Pun, pembahasan ayat 41 sampai 46 masih menyambung dengan yang sebelumnya lagi, dimana konteksnya terkait seseorang lelaki mu’min dari keluarga Fir’aun yang memberikan nasihat dan arahan untuk hanya menyembah Allah sahaja sebagai jalan keselamatan, dan menjauhi kesyirikan yang membawa pada neraka serta tidak memiliki manfaat baik di dunia maupun di akhirat.
Tapi, jika dibaca lagi, ayat 44 tersebut dibaca setelah, nasihat dan arahannya ditolak dan bahkan dirinya akan dibunuh. Dan, disinilah hal menarik itu, yang digunakan oleh lelaki itu adalah kata Fawwadho namun karena digunakan dengan dhomir Ana(saya) maka menjadi Ufawwidho.
Sekilas akan biasa jika kita mengecek di kamus, terkait artinya, bahkan sama dengan kata Wakkala, sama-sama menyerah. Namun, ternyata terdapat perbedaan yang lumayan, Fawwadho jika bertemu ilaa maka akan berarti menguasakan ke_, jadi seolah-olah kepasrahan dalam menyerahkan dirinya itu sampai pada tahap “udahlah biar Allah aja yang ngurus”. Sedangkan Wakkala jika bertemu ilaa memiliki arti mewakilkan ke_, sehingga kepasrahannya bisa dibilang hanya sekadar mewakilkan tanpa memberi kuasa yang lebih.
Sehingga, jika kita ulang membaca ayat nomor 44 tersebut, “……. Dan aku menyerahkan dengan sepasrah-pasrahnya (biar Allah yang mengurus) urusanku…”
Jadi, saat memang urusan kita sedang pelik banget, susah banget, kepepet banget, poko e udah mentok, bisa tuh inget ayat itu, dijadiin dizkir “Ufawwidhu amrii ilallah, aku pasrahkan urusanku kepada Allah, biar Allah aja yang ngurus”
Wallahu’alam
91 notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
#pertemuan : tentang perjalanan
Ketika memutuskan menikah, seharusnya siap untuk berbagi dengan pasangan. perihal apa yang kita pikirkan, kita rasakan. perihal keputusan, perihal keinginan, perihal mimpi dan pula tanggung jawab. Yang semula dipikirkan sendiri menjadi harus berbagi dengan pasangan,harus jujur dan terbuka apa adanya. sebab menikah adalah seni untuk menemukan mufakat kebaikan bersama.
ketika memutuskan menikah, seharusnya kita paham bahwa kita tidak boleh memaksakan apa yang menjadi mau kita, keinginan kita kepada pasangan. sebab pasangan kita memiliki pendapat dan kemauannya pula. menikah bukan sekadar perihal aku dan harus apa kata aku. Melainkan mendengar pendapatnya, mendengar kemauannya bahkan mendengar mimpi-mimpinya. Seni mendengar akan kita butuhkan setelah menikah. sebab bukan karena ingin dihargai, melainkan pasangan kita memiliki perasaan yang juga harus diterima pendapat dan keinginannya. meski sulit, meski mudah dalam teori. iya, tapi bila dilakukan dengan ilmu maka akan terasa ada perasaan ringan ketika menjalaninya.
ketika memutuskan menikah, tidak lagi bercerita aku, melainkan kesepakatan bersama, musyawarah berdua. sebab komitmen awal pernikahan adalah sehidup sesurga bersama. beberapa hal memang harus ditekan baik-baik egonya, demi maslahat dan manfaat pada nantinya.
ketika memutuskan menikah dan bersama, maka kita seharusnya sudah paham dan rela. pada hal-hal yang kita anggap penting untuk kehidupan kita nantinya. perihal tabungan, perihal pendapatan, perihal apapun yang didapat. sebab ketika sudah menikah, maka kebutuhan itu bernama keluarga, bukan lagi untuk kepentingan diri semata. dalam rumah tangga ada upaya hidup dengan baik dan diberkahi. memperoleh dan membelanjakan harus dengan baik dan bijak. karna pada akhirnya terkhusus untuk seorang istri, jika ia memberikan hartanya untuk keluarganya maka itu dinilai sebagai sedekah. bukan karena tak menghargai pasangan. melainkan untuk sama - sama ingin ringan dalam perjalanan.
ketika memutuskan menikah, seharusnya kita sadar bahwa tidak ada pernikahan yang sempurna. didalamnya akan ada ujian, air mata, dan bahagian satu paket dalam mengarunginya. dan itulah yang menjadikan sakinah dalam sebuah rumah tangga. kita adalah baju untuk pasangan kita. ia menutupi aib dan kurang kita begitupun kita sebaliknya. ada beberapa hal yang memang harus disimpan berdua, tidak untuk keluarga besar apalagi untuk kedua orangtua. masalah itu akan selesai hanya di dalam kamar dan tidak sampai terbawa keluar, tidak terdengar oleh siapapun termasuk keluarga sendiri. inilah seni berumah tangga yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ketika memutuskan bersama dan menikah. seharusnya kita paham bahwa menikah adalah keputusan besar dalam hidup kita. ia adalah perjanjian agung dengan Allaah Ta’ala. bukan permainan semata, yang bila kita lelah kita berhenti bermain. tidak, tidak demikian,. keputusan kita musti tepat, tidak tergesa-gesa tidak terburu-buru. rumah tangga adalah ibadah terlama dalam hidup kita. maka jadikan ibadah itu adalah ibadah terbaik kita. tempulah jalan itu dengan sabar dan syukur.
rumah tangga itu haruslah pakai ilmu, biar tidak mudah lelah dan menyerah. sebab ketika kita menemukan kelelahan dan ingin menyerah. ingatlah komitmen kita ketika kita pertama kali memutuskan untuk menikah yaitu karena Allaah. kalau karena Allaah tidak ada lagi alasan untuk berpisah, meski akan ada banyak alasan untuk demikian…
november rain, 09 november 2019 akhirnya aku halal untukmu.. @andromedanisa ; menuliskan ini sebab nasihat untuk diri sendiri, agar tetap berupaya menumbuhkan cinta dan sakinah untuknya karena Allaah..
11 juni 2020
592 notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
🙂
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
😢
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Ketika kamu merasa apa yang di usahakan tetap abu-abu. Doakanlah semoga suatu saat terketuk kesadarannya.
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Sama Sama Kuat
“Jadi, kamu siap?”
Pertanyaan yang menjadi titik tekan dari awal. Bahwa kebersamaan bukanlah awal mengendornya kebermanfaatan. Akan ada perih yang dihadapi, ujian dengan harta yang masih belum mumpuni. Bahkan bisa saja mimpi mimpi yang awalnya sendiri harus disusun ulang kembali.
Saya menjadi ingat, beberapa waktu silam, Ustadz Yossi Al Muzanni menyampaikan, “Andaikan ini bukan SunnahNya, maka pasti banyak yang tak melakukannya. Sebab sebenarnya, kamu menambah masalah”.
Namun manusia tetaplah manusia. Dengan fitrah yang diberikanNya. Dijadikan indah pandangan manusia kepada lawan jenisnya. Sesuai yang termaktub dalam kitabNya.
Ada juga pesan yang senantiasa digaungkan oleh Bang Bachtiar, mentor sekaligus panutan di Rumah Kepemimpinan. Bahwa 1 + 1 sama dengan 27. Seakan bermakna bahwa berjamaah saja Allah lipatgandakan pahalaNya. Jika Allah saja melipat gandakan dalam hal shalat, maka bukankah kita seharusnya melipargandakan pula dalam perjuangan bersama?
Maka sebab itulah, aku ingin agar sama sama tangguh. Walau badai akan senantiasa bergemuruh, namun kita jangan pernah luluh. Sama sama kuat, tak hanya dekap dalam dekat, namun siap tuk mendekap masyarakat untuk berbagi manfaat. Sama sama “tatak”. Bahwa nanti kita akan benar benar berusaha menjadi orang tua terbaik untuk anak-anak. Sama sama berambisi, demi meraih ilmu setinggi tingginya dengan mencapai level pendidikan yang tlah tertuang dalam mimpi.
Setidaknya semoga ini yang menjadi awalan. Visi yang sama, misi yang sama, setidaknya akan menjadi awalan yang baik. Hingga nanti semoga menjadi akhir yang baik pula.
“Semoga kita sama-sama kuat. Setidaknya agar kelak akan banyak kesaksian kepadaNya di akhirat. Agar surga pun terpikat, hingga bukan lagi kita yang rindu, namun justru Surga yang kian hari kian mendekat.
Sama sama kuat, seperti Bunda Khadijah, yang bahkan siap menggadaikan tulang tulangnya agar perjuangan tetap membara, serta seperti Muhammad, yang dilempar batu di Thaif, namun justru bermunajat.
Sama sama kuat, dengan tetap menjadi diri sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, agar kita mampu saling menutupi. Meraih ridho Illahi rabbi.
205 notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
Tumblr media
Pernahkah kamu merasa berada pada situasi yang memembuatmu merasa tertinggal begitu jauh?
Di mana orang-orang di sekelilingmu sudah menyelesaikan apa yang menjadi keresahanmu sekarang.
Bahkan saat mereka sudah menemukan apa yang selama ini mereka cari, kamu masih saja di tempat yang sama, menyelesaikan masalah yang sama.
Hingga kamu merasa terburu-buru dengan sisa waktumu.
Tanpa sadar kamu mulai lupa dengan apa yang menjadi persoalanmu, kamu terus memikirkan ketertinggalanmu sepanjang waktu.
Selalu melihat kebahagiaan orang lain, tanpa pernah mensyukuri apa yang yang sedang kamu jalani sekarang.
Selalu melihat puncak pencapaian orang lain, tanpa pernah berusaha berproses untuk memulai perjalananmu sendiri.
Selalu membayangkan bagaimana mengalahkan orang lain, tanpa pernah memikirkan bagaimana mengalahkan diri sendiri.
Selalu bermimpi segera sampai di lembar terakhir, tanpa pernah berupaya menyelesaikan lembar pertamamu.
—ibnufir
233 notes · View notes
pikoopiku · 4 years
Text
Kuah ataupun tumis. Salah satu makanan terbaik yang pernah saya makan . gomapta nit ♥️
0 notes
pikoopiku · 4 years
Text
Takdir-Takdir yang Tertunda
Tumblr media
Tanpa terasa, sudah sebulan kita menjalani masa-masa #dirumahaja. Bagaimana kabar dirimu? Adakah yang sudah mulai bosan dan ingin melihat dunia luar lebih jauh dari sekedar berjalan-jalan di sekitar rumah? Bagaimana juga kabar hatimu? Adakah yang sudah mulai gusar, resah, juga gelisah karena sesuatu? Bagaimana pun kabar diri dan hatimu saat ini, semoga surat ini bisa tetap hadir tepat di hatimu. Sebab, sejak beberapa hari yang lalu, ada sesuatu yang ingin kuceritakan. Apakah itu?
Beberapa hari lalu, saya membaca secuplik tulisan yang ditulis oleh seorang kakak dalam Instastory yang diunggahnya. Dalam sebuah panel disana, beliau menuliskan,
“Ketidakpastian itu memang selalu jadi ketakutan manusia. Bukankah kita selama ini berusaha keras untuk mengontrol keadaan, membuat sesuatu bahkan orang lain berada dalam kendali kita. Kita membuat rencana-rencana yang teliti. Kita membuat strategi dan siasat. Semua itu nampak sia-sia. Kita kini bahkan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Sebelum ini, kita tak mengenal tawakal. Sebelum ini, kita tak pernah mengenal pasrah. Sebelum ini, kita adalah orang yang penuh gairah untuk menjalani hari demi hari. Kini, kita takt ahu apa-apa.” – Kurniawan Gunadi
Kalimat demi kalimat yang ditulis disana membuat saya berpikir dan merenungi banyak hal, tak hanya yang berkenaan dengan diri sendiri, namun juga orang lain dan tentunya orang-orang di sekitar. Kalimat itu benar. Betapa tidak, saat ini kita memang seolah tidak memiliki gambaran tentang bagaimana hari-hari kita di depan akan bergulir. Tidak hanya itu, kita pun sedang dipaksa akrab dengan berbagai ketidakpastian. Rasanya, semua serba tanda tanya, entah apa dan bagaimana jawabannya. Ada kelulusan yang entah ditunda sampai kapan. Ada sidang tugas akhir yang entah bagaimana bisa dikejar. Ada khitbah yang mau tidak mau harus ditangguhkan. Ada pekerjaan yang hilang, yang entah kapan penggantinya akan datang. Ada pula ketetapan-ketetapan lain yang kita tunggu, namun tak pernah ada yang pasti tentang kapankah ia akan datang. Apakah kamu sedang merasakannya? Hal apa yang kini sedang kamu tunggu dan sudah mulai meresahkanmu?
Entah bagaimana, kondisi pandemi yang mendunia ini sedikit banyak menggoda kita untuk mulai menyalahkan Corona atas apa-apa yang terjadi di luar rencana kita, “Lulus ditunda nih, gara-gara Corona. Khitbah terancam diundur nih, gara-gara Corona. Naik gaji enggak jadi nih, gara-gara Corona. Aku resign nih, gara-gara Corona. Agenda hidup jadi berantakan nih, sebel banget, gara-gara Corona.” Begitulah, semua gara-gara Corona. Tapi, apakah memang benar bahwa semua penundaan, penangguhan, atau pembatalan itu terjadi gara-gara Corona?
Kalau kita mengedepankan emosi dalam berpikir mengenai segala ketetapan takdir atas diri kita saat ini, mudah sekali kiranya bagi kita untuk setuju bahwa semua yang tak sesuai dengan apa yang pernah kita doakan, harapkan, dan rencanakan ini memang gara-gara Corona. Namun, ketika kita menggeser sudut pandang dan menggunakan lensa iman sebagai landasan cara pandang kita atas semua ini, kita akan temukan bahwa sejatinya, dengan atau tanpa adanya Corona, segala ketetapan takdir-Nya atas diri kita sudah ditetapkan-Nya dengan sempurna sedemikian rupa, bahkan sebelum kita terlahir ke dunia. Dalam hadist At-Thirmidzi bahkan disebutkan bahwa berkenaan dengan hal-hal seperti ini, pena telah diangkat dan tintanya pun telah mengering.
Yup! Bukan Corona yang datang mengubah atau menunda kedatangan takdir. Namun, kedatangan Corona itu sendiri pun telah menjadi bagian dari ketetapan takdir. Tanggal sidang, kelulusan, menikah, naik gaji, menerima pekerjaan baru, dst, semua sudah Allah tetapkan. Maka, tidak produktif kiranya jika kita saat ini sibuk menyalahkan Corona atau bahkan menyangkal takdir. Sebaliknya, hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah tetap menuggu dengan sabar dan tetap berupaya lagi, berdoa lagi, juga berbaik sangka lagi kepada Allah. Tenang, sebab Umar bin Khattab pernah berkata,
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”
Tidak mudah memang. Sebab, bagaimana pun kita terbiasa untuk memiliki kehendak-kehendak diri. Tidak hanya itu, mungkin kita pun terbiasa untuk bersandar pada kehendak-kehendak itu hingga melupa bahwa Allah pun memiliki kehendak dan hanya kehendak-Nyalah yang menjadi sebaik-baik kehendak. Tidak apa-apa, barangkali memang inilah saatnya bagi kita untuk menundukkan hati dan jiwa untuk kemudian kembali berserah dan berbaik sangka kepada-Nya. Selama bersama-Nya, tak ada apapun yang akan terjadi selain dengannya kita beroleh kebaikan, bukan? Tetap semangat, ya! Jika suatu ketika kamu lelah, ingatlah bahwa tak ada setetes air mata pun yang akan disia-siakan-Nya. Semoga Allah melapangkan jiwa kita semua. Baarakallahu fiik.
“Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakukan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?” – Ibn Atha’illah, dalam Al-Hikam
___
Picture: Pinterest
512 notes · View notes