Tumgik
#Macam Zakat Profesi
sitenesia · 2 months
Text
Kewajiban Zakat Profesi: Pengertian, Definisi, Jenis dan Macam, Konsep, Cara Hitung, serta Pentingnya Menunaikannya untuk Keadilan Sosial dan Spiritual Umat!
Memahami Kewajiban Zakat Profesi, Pengertian, Definisi Menurut Ahli, Jenis dan Macam, Cara Hitung, dan Pentingnya Menunaikan Zakat Penghasilan! Baik, seperti yang kita ketahui, zakat profesi, atau yang biasanya disebut dengan zakat penghasilan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktik keagamaan dalam Islam. Kewajiban ini tidak hanya menjadi salah satu dari 5 (lima) rukun…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
riskamhrn · 3 years
Text
Literasi Zakat Fitrah dan Mal Kelas 9
Membayar zakat adalah salah satu kewajiban dalam Islam. Ada macam macam zakat, seperti zakat fitrah dan zakat mal. Zakat sendiri mempunyai ketentuan untuk melaksanakannya.
Harta harus dikeluarkan zakatnya, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya :
1.       Milik penuh
2.       Berkembang
3.       Cukup nisab
4.       Lebih dari kebutuhan rutin
5.       Bebas dari hutang
6.       Sudah haul
A.      Zakat Fitrah
Zakat fitrah yaitu zakat yang diwajibkan bagi seluruh umat islam tanpa terkecuali pada akhir bulan Ramadhan. Banyaknya yang harus dikeluarkan sebanyak satu shã atau setara 2,5 kilogram atau 3,5 liter dari makanan pokok suatu kaum. Syarat-syarat yang wajib untuk menunaikan zakat fitrah adalah beragama islam, lahir sebelum waktu Maghrib di akhir Ramadhan, dan mempunyai kelebihan harta dari kebutuhan pokoknya.
B.      Zakat Mal
Zakat Mal (harta) adalah bagian harta dari seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu dan dimiliki penuh dalam kurun waktu tertentu. Untuk jenis kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, seperti:
1.       Emas dan perak
2.       Hewan ternak
3.       Harta perdagangan
4.       Hasil tanaman dan buah-buahan
5.       Harta rikaz dan ma’din
6.       Hasil laut
7.       Hasil profesi
8.       Investasi
Siapa saja orang-orang yang berhak dan akan menerima zakat? Yang pertama adalah fakir atau orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, miskin atau orang yang mempunyai harta dan pekerjaan namun tidak sanggup memenuhi kebutuhan primer. Amil, yaitu mereka adalah orang-orang yang mengurus zakat mulai dari penerimaan zakat hingga menyalurkannya kepada orang yang membutuhkan. Mualaf atau sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Hamba sayaha, gharim atau orang yang memiliki hutang, sabilillah, dan ibnu sabil adalah orang asing yang kehabisan bekal di wilayah orang lain.
Tentu saja orang yang berzakat akan mendapatkan manfaatnya sendiri. Manfaat bagi yang berzakat:
1.       Membentuk karakter yang peduli orang yang kesulitan dan membutuhkan
2.       Membentuk karakter syukur
3.       Mendekatkan diri kepada Allah swt
4.       Membersihkan diri dari sifat kikir
Dalil tentang Zakat
Surah At-Taubah/9:103                                                                                      
Tumblr media
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (Q.S. At-Taubah/9 : 103)
Surah At-Taubah/9:34
Tumblr media
”Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfaqannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,”. (Q.S. At-Taubah/9 : 34)
Surah Al-Baqarah/2:267
Tumblr media
”Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.,”. (Q.S. Al-Baqarah/2 : 267)
Surah At-Taubah/9:60
Tumblr media
”Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu'allaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”. (Q.S. At-Taubah/9 : 60)
1 note · View note
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Hizbullah; Siapakah Mereka? (Bag. 1)
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِ��ُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَات�� وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes
azizahfitri · 5 years
Text
IBD (PART 2)
Contoh Tanggung Jawab
Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dibedakan menurut keadaan manusia atau hubungan yang dibuatnya. Atas dasar ini,dikenal beberapa jenis tanggung jawab yaitu:
Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Contoh : Rini suka sekali menunda makan, hingga akhirnya sakit maag.
Tanggung jawab terhadap keluarga
Contoh : Andi adalah seorang kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya.
Tanggung jawab terhadap masyarakat
Contoh : Seorang dokter yang yang akan resmi menjalani profesi dokter akan melalui fase dimana mereka akan mengucapkan sumpah. Dimana didalam sumpah tersebut terdapat poin yang berisi “saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.”
Tanggung jawab terhadap Negara
Contoh : Seluruh penduduk negara Indonesia diwajibkan untuk tunduk atas undang – undang yang ada.
Tanggung jawab terhadap Tuhan
Contoh : Setiap muslim diwajibkan untuk sholat lima waktu.
Pengabdian dan Pengorbanan
Pengertian Pengabdian
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pendapat,pikiran ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan,cinta,kasih sayang atau satu ikatan dan itu semua itu dilakukan dengan ikhlas.
Pengabdian pada hakekatnya adalah rasa tanggung jawab. Apabila seorang bekerja keras sehari penuh untuk mencukupi kebutuhan berarti seorang tersebut mengabdi kepada keluarga.
Pengabdian kepada agama atau kepada Tuhan terasa menonjol seperti pemeluk agama karena kesadaran moralnya.
Pengabdian kepada Negara dan bangsa juga antara lain dapat diambil dari salah satu profesi penting yaitu guru. Mereka yang biasa disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru merupakan salah satu profesi yang menanggung beban yang cukup berat. Bagaimana tidak, dari didikannya lah akan lahir para agen perubahan yang akan memimpin dunia ini suatu saat kelak.
Macam – Macam Pengabdian
Sebetulnya munculnya pengabdian karena adanya rasa tanggung jawab, baik terhadap Tuhan sebagai Penciptanya terhadap diri sendiri, terhadap keluarga dan terhadap masyarakat. Oleh karena itu pengabdian pengabdian dibedakan antara lain :
Pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu penyerahan diri secara penuh terhadap Tuhan dan merupakan perwujudan tanggung jawabnya yang juga diikuti oleh pengorbanan. Contoh: Umat Islam melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari, melakukan zakat, melaksanakan kurban dan sebagainya, itu semua tidak lain adalah untuk pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa.
Pengabdian kepada masyarakat. Ini timbul karena manusia dibesarkan dan hidup dalam masyarakat, sehingga sebagai perwujudan tanggung jawabnya kemudian melakukan pengabdian juga pengorbanan. Contoh: Seorang mahasiswa yang telah lulus, kemudian berusaha memajukan pendidikan di desanya dengan mendirikan sekolah, walaupun tanpa imbalan apapun, ia lakukan demi kemajuan desanya.
Pengabdian kepada raja, yaitu suatu penyerahan diri secara ikhlas kepada rajanya, karena dianggap yang melindunginya, walaupun sekarang jarang terjadi. Contoh: Seorang gadis dengan suka rela dijadikan selir oleh rajanya.
Pengabdian kepada Negara. Hal ini timbul karena seseorang merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian (kelangsungan) negara dan demi persatuan kesatuan bangsa. Contoh: Dalam usaha merebut kembali Irian Barat dari penjajah Belanda, banyak pemuda yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan.
Pengabdian kepada harta. Ini terjadi karena seseorang memandang bahwa harta yang menghidupinya, sehingga tindakan- tindakannya semata- mata demi harta. Kadang- kadang ia tanpa menyadari justru mengorbankan dirinya untuk mempertahankan hartanya, yang akhirnya tidak dapat menikmati hartanya.
Pengabdian kepada keluarga. Ini timbul karena keinginan untuk membahagiakan keluarga dengan terpenuhinya kebutuhan secara lahir dan batin secara layak. Contoh : Seorang istri yang membantu suaminya bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup.
Contoh Pengabdian
Pengabdian kepada agama atau kepadaTuhan terasa menonjolnya seperti yang dilakukan oleh para biarawan dan biarawati. Pada umumnya mereka itu adalah orang-orang yang terjun di ladang Tuhan karena kesadaran moralnya,karena panggilanTuhan. Mereka meningggalkan keluarganya dan tidak akan berkeluarga,  Sehingga hampir seluruh waktu waktu, pikiran, tenaga maupun kegiatan hanya tercurah untuk memuliakan Tuhan. Dalam agama yang tidak membedakan manusia atas dasar ras ataupun bangsa itu, para biarawan atau biarawati ditempatkandi daerah – daerah yangjauh dan terpencil.Semuanya dilakukan dengan semboyan tugas sud. Selain pada gereja Katolik,pada agama Budha juga dikenal biarawati atau biarawan dengan sebutan bhiksu dan bhiksuni dengan cara kehidupan yang tidak jauh berbeda.
            Pengabdian kepada negara dan bangsa yang juga menyolok antara lain dilakukan oleh pegawai negeri yang bertugas menjaga mercusuar di pulau yang terpencil. Mereka bersama keluarganya hidup terpencil terpencil dari masyarakat ramai, sementara ito sctiap ban tiupan angin kencang dan laut tidak pernah bernenti, apalagi bila terjadi badai. Mereka bersunyi diri dalam rnengabdikan diri demi keselamatan kapal yang lalu lalang. Kesenangan yang dapat dirasakan oleh pegawai negri di kota tidak dapat dirasakan,mungkin sekali-sekali bila mereka memperoleh cuti tahunan. Kesenangandan kegembiraansesamapegawai negri haanya mereka bayangkan secara terang di alam yang demikian sepi. Anak-anak mereka sulit berkembang sebagai mahluk sosial, dan tebatas untuk dapat mengembangkan diri akibat terpencilnya tempat tinggalnya. Dengan membandingkanmereka dan kehidupan kawan-kawannya di kota atau di tempat yang lebih enak terasa arti pengorbanan mereka demi keselamatan manusia lain, bangsa dan negara sendiri.
Pengertian Pengorbanan
Pengertian Pengorbanan adalah suatu tindakan atas kesadaran moral yang tulus dan ikhlas atau juga bisa diartikan sebagai kerelaan seseorang akan suatu hal yang biasanya ditunjukan pada seseorang yang mempunyai tujuan atau makna dari tindakannya itu, dalam bentuk pertolongan dan tidak berharap imbalan dari suatu tindakan atau kerelaan, ikhlas semata-mata karna Tuhan. Pengorbanan diserahkan secara ikhlas tanpa pamrih, tanpa ada perjanjian, tanpa ada transaksi, kapan saja diperlukan.
Orang-orang yang berkorban biasanya adalah orang-orang yang melakukannya dengan ikhlas semata-mata karna Tuhan. Dan orang-orang yang berkorban berfikir bahwa pengorbanannya yang sedikit ataupun banyak akan berguna dan berarti sekali untuk orang yang menerima pengorbanannya itu, walau kadang ia harus rela mengorbankan jiwa dan raganya.
Pengorbanan untuk saat ini jarang sekali dilakukan oleh masyarakat, karna dijaman ini masyarakat hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan orang lain, sebenarnya pengorbanan adalah perbuatan yang sangat mulia karena dari pengorbanan itu bisa membantu seseorang mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Jadi makna dari pengorbanan itu sendiri adalah :
Bisa membantu hidup atau masalah seseorang menjadi lebih baik.
Pengorbanan yang diberikan akan sangat berharga dan berguna sekali untuk orang yang mendapat pertolongan atau pngorbanannya, walau pengorbanan yang diberikan sedikit.
Orang-orang yang berkorban akan mendapat imbalan atau pahala yang sesuai dari sang pencipta (Tuhan) atau dari seseorang yang mendapatkan pertolongan atau pengorbanannya.
Dan pengorbanan itu akan selalu melekat dan terkenang oleh orang yang mendapat pengorbanan dan orang-orang yang disekelilingnya, yang mengetahui bentuk pengorbanan itu.
Pengorbanan adalah suatu tindakan yang mulia.
Macam – Macam Pengorbanan
Pengorbanan harta benda
Pengorbanan pikiran
Pengorbanan perasaan
Pengorbanan tenaga
Akibat Pengorbanan
Pengorbanan merupakan akibat dari pengabdian. Pengabdian lebih banyak menunjuk kepada perbuatan sedangkan, pengorbanan lebih menunjuk kepada pemberian sesuatu misalnya berupa pikiran, perasaan, tenaga, biaya dan waktu. Dalam pengabdian selalu dituntut pengorbanan, tetapi pengorbanan belum tentu menuntut pengabdian.
Jadi, dari sebuah pertanggung jawaban yang kita lakukan, pasti terdapat sebuah pengabdian dan pengorbanan yang dilakukan.
Contoh Pengorbanan
Kesediaan seorang   guru sekolah dasar ditempatkan di  pelosok terpencil daerah transmigrasi, adalah pengabdian yang juga menuntut pengorbanan. Dikatakan pengabdian karena  ia mengajar disitu  tanpa  menerima  gaji dari  pemerintah, tanpa  diurus  oleh pihak berwenang  usul pengangkatannya,  ia hanya bertanggung jawab untuk kemajuan dan kecerdasan masyarakat  / bangsanya.  Ia hanya menerima  penghargaan  dan belas kasihan dari masyarakat setempat.  Pengorbanan   yang  ia berikan  berupa  tenaga, pikiran,waktu untuk kepentingan anak  didiknya.
Dalam  novel  berjudul  “Siti  Nurbaya”  karya  Marah  Rusli,  betapa  besar  pengorbanan gadis  Siti  Nurbaya  sebagai  pengabdiannya   kepada  orang  tua. Orang  tua Siti  Nurbaya  tidak mampu membayarhutang   kepada Datuk Maringgih. Sebagai tebusannya, Siti Nurbaya dibujuk agar bersedia  kawin dengan  Datuk Maringgih,  si tua bangka,  walaupun  sebenamya  ia sudah mengikat janji  dengan pemuda  pujaannya  bemama  Syamsul Bahri. Demi pengabdian  kepada bapaknya  , Siti Nurbaya  bersedia memutuskan  hubungannya  dengan  Syamsul  Bahri dan mau dikawinkan  dengan  Datuk  Maringgih,  walaupun  dcngan  perasaan  yang  sangat  berat.
DAFTAR PUSTAKA
abduladjisnasamalik.blogspot.com/2015/05/mendalami-arti-tanggung-jawab.html
http://ilmubudayadasarardhi.blogspot.com/2012/11/manusia-dan-keadilan.html
http://rachmat-ali.blogspot.com/2015/03/pengertian-macam-macam-dan-contoh.html?m=1
http://yossyuslaf.blogspot.com/2012/04/dua-jenis-hak-ideologi.html
https://10menit.wordpress.com/tugas-kuliah/ilmu-budaya-dasar-manusia-dan-tanggung-jawab-bab9/
https://aisyahtyasmaharani.wordpress.com/2013/12/04/usahaperjuangan/
https://angga12casidy.wordpress.com/2011/03/22/tugas-ibd-6-%E2%80%9D-manusia-dan-pandangan-hidup-%E2%80%9C/
https://devilmavioso.wordpress.com/update-post/tulisan/manusia-dan-keadilan/
https://hanifnaufalhawari.blogspot.com/2016/11/ilmu-budaya-dasar-manusia-dan-keadilan.html
https://helmyfajri.wordpress.com/2012/04/11/perhitungan-hisab-dan-pembalasan/
https://mahasiswasuksesmulia.blogspot.com/2016/02/ilmu-budaya-dasar-manusia-dan-pandangan.html
https://werdiningsiih.wordpress.com/category/manusia-dan-tanggung-jawab/
https://www.academia.edu/22829599/Ilmu_Budaya_Dasar_-_Manusia_dan_Pandangan_Hidup
https://www.academia.edu/28325379/MATERI_ILMU_BUDAYA_DASAR_SEMESTER_1
kbbi.web.id/tanggung%20jawab
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema A. menilai kebijakan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) sejatinya untuk menciptakan keadilan sosial. "Kebijakan zonasi ini membuat keadilan sosial dan pemerataan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.
Menurut dia, keluhan warga, baik melalui media sosial maupun sejumlah pemberitaan, salah satunya karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap tujuan PPDB berbasis zonasi.
Ia menjelaskan kebijakan zonasi, membuat anak sekolah dekat rumah, biaya transportasi sedikit, dan memberikan keuntungan ekonomi orang tua.
Kebijakan zonasi yang berdasarkan jarak dan bukan nilai pendidikan, kata dia, karena ingin membuka akses pendidikan lebih luas kepada semua orang.
Selama ini, lanjut dia, sekolah yang bagus diisi anak dari kalangan orang tua kaya yang pintar-pintar meskipun rumahnya jauh dari sekolah, sedangkan anak dari keluarga kurang mampu yang berada di sekitar sekolah unggulan tersebut, tidak pernah mendapatkan sekolah yang bagus.
Ia mengatakan dengan sistem zonasi maka anak dari keluarga miskin mendapatkan kesempatan yang sama dengan murid yang berasal dari keluarga kaya serta pintar. "Makanya menteri punya ide dengan kebijakan zonasi ini akses sekolah yang lebih baik itu bisa terbentuk," katanya.
Ia mengemukakan dengan sistem itu, anak-anak dari keluarga miskin yang sudah berusaha keras tetapi nilainya tidak mencukupi, karena orang miskin identik dengan kebodohan yang dikarenakan kemiskinannya, bisa memiliki akses sama dengan anak dari keluarga kaya yang bisa mempunyai akses lebih luas karena orang tuanya mempunyai biaya mencukupi.
"Padahal tidak semua orang miskin yang bodoh dan malas, ada anak orang miskin yang pintar juga," katanya.
Sementara itu, banyak warga yakni para orang tua mengeluhkan kebijakan PPDB berbasis zonasi yang telah diterapkan sejak tiga tahun terakhir ini, sebagai hal yang menyulitkan mereka.
Para orang tua harus mengantre dan datang lebih pagi untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah sesuai zona. Ada kekhawatiran orang tua, anaknya tidak tertampung di sekolah yang ada di zonanya serta minimnya informasi terkait dengan tata cara pendaftaran sekolah tersebut.
Bahkan sejumlah warganet mengeluhkan PPDB berbasis zonasi yang diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena tidak mempertimbangkan hasil Ujian Nasional (UN).
"Ya, terus buat apa UN diadakan pak? Tahu gitu tidak usah ikut bimbingan belajar sana-sini, Pak, terbuang sia-sia uang orangtua saya," tulis akun Instagram @qonitafadiyah di laman Instagram Kemendikbud, @kemdikbud.ri.
Menanggapi keluhan itu, Doni mengatakan orang tua hendaknya memilih sekolah yang memang sesuai dengan minat dan bakat anak karena tidak menjadi jaminan sekolah unggulan lalu membuat anak pintar. "Banyak sekolah unggulan anaknya tetap bimbingan belajar toh," katanya.
Doni juga menangkal laporan para orang tua yang berkomentar agar anaknya tidak perlu belajar pintar karena nilai tidak lagi menentukan dirinya diterima masuk sekolah unggulan.
Hal seperti itu, menurut Doni, pemikiran salah karena sistem PPDB memiliki tiga jalur masuk, yakni zonasi 90 persen, anak berprestasi lima persen, dan jalur perpindahan orang tua atau wali murid lima persen. "Itu pemikiran keliru, karena anak pintar bisa masuk lewat jalur prestasi yang lima persen," katanya.
Sebelumnya, Mendikbud bersama Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2019 dan Nomor 420/2973/SJ. Edaran yang ditujukan kepada para kepala daerah itu agar pemda segera menetapkan kebijakan petunjuk teknis (juknis) PPDB berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 serta zonasi persekolahan sesuai kewenangan masing-masing.
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 mengatur agar PPDB yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, maupun pemerintah provinsi untuk pendidikan menengah, wajib menggunakan tiga jalur, yakni jalur zonasi (paling sedikit 90 persen), jalur prestasi (paling banyak lima persen), dan jalur perpindahan orang tua/wali (paling banyak lima persen). Nilai UN tidak dijadikan syarat seleksi jalur zonasi dan perpindahan orang tua.
Penerapan PPDB yang menyimpang dari Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tidak dibenarkan. Sanksi akan diberikan sesuai peraturan, seperti teguran tertulis sampai dengan penyesuaian alokasi atau penggunaan anggaran pendidikan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Analisis : Keadilan Sosial
dari berita di atas terdapat beberapa pendapat yang beredar di masyarakat ada positif dan negatifnya. positifnya untuk pemerataan agar tidak ada lagi sekolah favorit semua sama dan zonasi diharapkan dapat menghilangkan praktik pungli. Negatifnya seperti di daerah pada pelosok belum ada sekolah maupun fasilitas sekolah yang tidak mendukung. dan kecilnya kemungkinan untuk masuk sma favorit. pendapat saya seharusnya sebelum diterapkannya zonasi ini, diharapkan pemerintah menyediakan sekolah dan fasilitas yang memadai terlebih dahulu barulah boleh diterapkannya sistem tersebut.
Jakarta - Tim catur Indonesia menjadi raja di pentas Asian Para Games 2018. Berbekal tambahan lima medali emas dari kategori catur cepat, Jumat (12/10/2018), Indonesia jadi juara umum di cabang catur Asian Para Games 2018.
Pecatur andalan tuan rumah Edy Suryanto merebut medali emas kategori VI-B1 (netra) perorangan putra. Prestasi sama dipetik rekannya di kelompok putri Tati Karhati.
Tati mengaku puas dan senang dapat menyumbang emas bagi kontingen Merah Putih. "Senang dan lega dapat menyumbang emas. Sekarang rasanya plong. Kerja keras dan latihan berat selama menjalani persiapan terbayar sudah," kata Tati seperti rilis yang diterima media.
Medali emas lainnya dipersembahkan dari kategori VI-B1 beregu putra dan putri serta VI-B2/B3 beregu putra. Secara keseluruhan catur memborong 11 medali emas guna keluar menjadi juara umum cabang catur pada Asian Para Games III/2018.
Tak hanya itu, tim catur tuan rumah juga meraih dua perak dan tiga perunggu. Dua medali perak diraih dari kategori VI-B2/B3 (low vision) perorangan putra atas nama Gayuh Satrio dan kategori PI (daksa) beregu putra. Sedangkan tiga perunggu diraih Carsidi di kategori VI-B1 perorangan putra, kategori VI-B2/B3 beregu putri dan kategori PI beregu putri.
Peringkat kedua cabang catur direbut Filipina dengan lima emas. Peringkat ketiga diraih Iran dengan mengoleksi empat emas di Asian Para Games 2018.
Analisis: Usaha dan Perjuangan
Seorang atlit perempuan yang memiliki keterbatasan fisik (tunanetra) dapat memperoleh medali emas pada ajang bergengsi Asian Para Games. Dapat kita ambil perkataan dari atlet tersebut yaitu . "Senang dan lega dapat menyumbang emas. Sekarang rasanya plong. Kerja keras dan latihan berat selama menjalani persiapan terbayar sudah," Usaha atau perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Setiap mausia harus kerja keras untuk melanjutkan hidupnya. Sebagian hidup manusia adalah usaha/perjuangan, perjuangan untuk hidup dan ini sudah kodrat manusia. Tanpa usaha/perjuangan manusia tidak dapat hidup sempurna.
TRIBUNPEKANBARU,COM, PEKANBARU - Lain kisah Dewi, lain pula kisah Abridayani. Perempuan berusia 50 tahun ini bekerja sebagai buruh lepas di sebuah instansi pemerintahan.
Sudah 14 tahun ibu lima anak ini bekerja sebagai petugas kebersihan. Baginya, bekerja membantu suaminya merupakan sebuah pekerjaan yang menyenangkan.
“Malahan meringankan bagi saya. Saya dan suami berbagi tugas. Beliau bagian kebutuhan rumah dan biaya sekolah anak. Saya bagian dapur, beras dan sambal,” kata ibu yang tinggal di Jalan Kartama ini.
Kehidupan keras sebagai ibu juga dijalani Nurhayati (42) warga Jalan Senggoro Desa Senggoro, Kecamatan Bengkalis. Perempuan yang bekerja sebagai tukang pijat ini, berstatus orangtua tunggal setelah dua kali gagal membangun rumah tangga.
Namun demikian, ia berhasil membesarkan dua anaknya hingga melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Pekanbaru.
Tapi cobaan berat kembali mendera Nurhayati, setelah anak sulungnya tertangkap membawa narkotika jenis sabu-sabu saat melakukan perjalanan ke Malaysia.
Sang anak sudah divonis hakim Pengadilan Pekanbaru 14 tahun Penjara. Namun naluri seorang ibu yang selalu akan melindungi anaknya tak mengurangi raya sayangnya terhadap sang anak.
Ia berdoa semoga si buah hati tegar dan bisa berkumpul kembali. (Tribun Pekanbaru Cetak)
Analisis : Tanggung Jawab
Berita diatas berisi tentang Seorang ibu yang menjadi tukang pijat yang pada akhirnya berhasil membesarkan kedua anaknya yang dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi cobaan berat terus mendatangi Ibu tersebut. Anak sulungnya tertangkap membawa narkotika jenis sabu-sabu saat perjalanan ke Malaysia. Tanggung Jawab yang seharusnya dipikul oleh seorang kepala rumah tangga berakhir di pikul sendiri dikarenakan gagal membangun rumah tangga.
0 notes
onlyhitlyrics · 4 years
Link
VOI.Co.Id –Zakat merupakan salah satu dari 5 rukun islam yang berada di urutan ke empat. Dalam islam zakat dibagi menjadi dua yaitu zakat harta atau zakat mal dan zakat fitrah. Keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Di sini akan dijelaskan pengertian zakat baik zakat mal ataupun zakat fitrah.
Pengertian Zakat Fitrah dan Zakat Mal Beserta Dalil Perintahnya
Secara bahasa zakat mempunyai makna bersih, tumbuh, berkah, dan berkembang. Di dalam ilmu fikih dijelaskan bahwa zakat ialah sebagian harta yang dikeluarkan kepada orang yang berhak menerima. Hukum zakat dalam islam adalah wajib bagi orang yang mampu.
Perintah zakat ada di dalam surat At Taubah ayat 11, yang artinya:
Jika mereka bertaubat, mendirikan shilat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaun yang mengetahui.
Dalil ini diperkuat dengan penjelasan lainnya yang ada di dalam surat At Taubah ayat 103. Arti dari dalil ini yaitu:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Macam-macam zakat di dalam islam dibagi menjadi 2 yaitu zakat harta atau mal dan zakat fitrah. Di sini akan dijelaskan secara detail mengenai kedua jenis zakat ini.
Pengertian Zakat Fitrah
Dilihat dari segi bahasa zakat fitrah mempunyai arti membersihkan atau mensucikan. Secara istilah zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Hukum membayarkan zakat fitrah adalah wajib bagi semua muslim yang masih hidup.
Zakat fitrah diberikan dalam bentuk makanan pokok. Setiap muslim wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah pada akhir bulan Ramadhan atau sebelum sholat idul fitri. Waktu yang sangat dianjurkan untuk membayar zakat fitrah adalah setelah subuh sebelum sholat idul fitri.
Umat muslim biasanya mengelola zakat fitrah ini di masjid dengan panitia khusus. Jika ingin lebih afdhal bisa langsung memberikan zakat fitrah ini kepada yang membutukan.
Bayi yang baru lahirpun wajib untuk membayar zakat fitrah dengan syarat lahir sebelum matahari terbenam di hari akhir bulan Ramadhan. Begitu juga dengan orang yang meninggal setelah matahari terbenam di akhir Ramadhan tetap wajib membayar zakat.
Pengertian Zakat Mal
Jika zakat fitrah dikeluarkan satu tahun sekali dan berupa makanan pokok, berbeda dengan zakat mal. Nama lain dari zakat mal adalah zakat harta benda. Pengertian zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan berupa harta benda yang dimiliki dengan syarat tertentu.
Harta yang wajib dibayarkan zakatnya diantaranya yaitu hasil pertanian, pertambangan, laut, perniagaan, ternak, emas, perak, dan harta temyan. Masing-masing dari harta ini mempunyai perhitungan pembayaran zakat yang berbeda.
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur dalam undang-undang 38 tahun 1998. Dalam undang-undang ini dijelaskan secara detail mengenai zakat fitrah dan zakat mal dan cara pengelolaannya di Indonesia. Pembayaran zakat mal ini bisa langsung ke orang yang berhak menerima ataupun melalui badan amil zakat nasional.
Badan pengelola zakat di Indonesia sudah banyak berdiri. Bahkan bank-bank syariah juga sudah memberikan layanan pembayaran zakat. Jadi tidak ada alasan lagi bagi umat muslim untuk tidak membayar zakat hartanya.
Perbedaan Dari Zakat Fitrah dan Zakat Mal
Zakat fitrah dan zakat mal berbeda dalam dua hal yaitu harta yang dizakatkan dan waktu pengeluarannya. Untuk lebih jelasnya berikut ini perbedaan zakat fitrah dan zakat mal:
Harta yang Dizakatkan
Perbedaan yang paling utama dari zakat fitrah dan zakat mal adalah bentuk harta yang dizakatkan. Zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok, sedangkan zakat mal berupa harta benda sesuai dengan yang dimiliki. Di Indonesia zakat fitrah pada umumnya dibayarkan dalam bentuk beras karena makanan pokok Indonesia adalah beras.
Namun kemajuan zaman membuat banyak orang memilih membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. Jumlah uang yang dibayarkan adalah sesuai dengan harga makanan pokok. Pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang ini masih dalam perdebatan.
Sebagian ulama berpendapat pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang ini diperbolehkan, sebagian tidak diperbolehkan. Jika mengacu pada aturan syariat agama islam, pembayaran zakat fitrah sebaiknya berupa makanan pokok.
Waktu Pengeluaran Zakat
Perbedaan dari zakat fitrah dan zakat mal juga bisa dilihat dari waktu mengeluarkannya. Zakat fitrah dikeluarkan pada setelah melaksankan puasa Ramadhan, sedangkan zakat mal dikeluarkan satu tahun sekali.
Ada 4 waktu dalam mengeluarkan zakat fitrah, yaitu:
Waktu yang diperbolehkan, zakat fitrah mulai boleh dikeluarkan dari awal Ramadhan. Umat muslim sudah bisa mengeluarkan zakat fitrah dariawal Ramadhan.
Waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah yaitu setelah terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan. Pada akhir Ramadhan setelah terbenam matahari umat islam wajib hukumnya mengeluarkan zakat fitrah.
Waktu yang afdhal atau diutamakan untuk mengeluarkan zakat fitrah yaitu setelah subuh sebelum sholat idul fitri. Mengeluarkan zakat diwaktu ini sangat diutamakan dan pahalanya lebih besar.
Waktu yang diharamkan untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah setelah terbenamnya matahari di hari idul fitri. Diwaktu ini umat islam yang baru membayarkan zakat fitrahnya justru akan mendapatkan dosa.
Syarat Mengeluarkan Zakat Mal
Hukum zakat mal adalah wajib bagi orang yang mampu atau hartanya sudah memenuhi syarat tertentu. Adapun syarat mengeluarkan zakat mal adalah:
Harta Sudah Memenuhi Nisab
Nisab adalah batas minimal harta yang dimiliki untuk wajib mengeluarkan zakat. Perhitungan nisab untuk setiap harta berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Nisab ini juga merupakan syarat utama untuk mengeluarkan zakat mal.
Jika harta yang dimiliki belum mencapai nisab maka umat muslim tidak wajib untuk mengelurakan zakat. Yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang yang mempunyai harta dan sudah mencapai nisabnya.
Harta Sudah Memenuhi Haul
Syarat kedua untuk mengeluarkan zakat mal adalah harta yang dimiliki sudah mencapai haul. Haul merupakan waktu tunggu harta disimpan. Lamanya haul adalah 1 tahun. Jadi, jika harta yang dimiliki sudah mencapai nisab dan sudah disimpan selama 1 tahun maka wajib untuk mengeluarkan zakat mal.
Niat Zakat
Niat adalah syarat utama untuk membayarkan zakat mal. Umat muslim yang akan mengeluarkan zakat mal wajib untuk niat. Niat ini tidak perlu dilafalkan secara lantang cukup di dalam hati saja.
Beragama Islam
Ini meurakan syarat wajib untuk mengeluarkan zakat mal yaitu beragama islam. Orang yang akan mengeluarkan zakat haruslah umat islam.
Jumlah Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Harus Dikeluarkan
Berdasarkan dalil dalam alquran jumlah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebanyak 2,5 kg atau 3,5 liter bahan makanan pokok. Sedangkan jumlah zakat mal yang harus dikeluarkan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Berikut ini penjelasan detail jenis dan besaran zakat mal yang harus dikeluarkan
Hasil Pertanian
Zakat dari hasil pertanian mempunyai nisab 5 wasaq atau 750 kg. Besaran nisab dari hasil pertanian ini untuk hasil pertanian biji-bijan yang sudah dikupas. Jika biji-bijian belum dikupas nisabnya 1481 kg.
Sedangkan besaran zakatnya adalah 10% dari total hasil pertanian jika sawah diairi dengan air hujan. Untuk sawah yang membutuhkan biaya tambahan dalam pengairan besaran zakatnya 5%. Khusus untuk hasil pertanian zakatnya tidak harus mencapai haul.
Emas, Perak dan Hasil Niaga
Zakat emas dan perak besarannya adalah 2,5% dengan nisab 85 gram. Umat muslim yang mempunyai emas atau uang seharga emas 85 gram sudah wajib mengeluarkan zakat. Karena harga emas berubah-ubah yang menjadi patokan adalah harga emas saat akan dikeluarkan zakat.
Hasil Tambang
Zakat dari hasil tambang mempunyai nisab 91,92 gram emas dengan besaran zakat 2,5%. Perhitungan zakat hasil tambang ini patokannya sama yaitu harga emas, kecuali tambang perak nisabna 642 gram.
Waktu pengeluaran zakat hasil tambang ini adalah satu tahun setelah tambang beroperasi. Ada beberapa ulama berpendapat bahwa zakat hasil tambang ini masuk dalam kategori zakat hasil niaga.
Barang Temuan
Rikaz atau harta temuan juga wajib dikeluarkan zakatnya. Besaran zakat yang wajib dikeluarkan adalah 20%. Zakat barang temuan tidak harus memenuhi syarat nisab dan haul. Jadi, jika menemukan harta wajib dizakatkan pada saat itu juga.
Hewan ternak
Zakat hewan ternak mempunyai nisab yang berbeda-beda dengan jumlah zakat yang berbeda pula. Ada 4 jenis hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu unta, sapi, kambing, dan unggas. Berikut penjelasan lengkapnya:
Unta, nisab dari ternak unta ini adalah 5 ekor. Pertenak yang mempunyai kurang dari 5 ekor unta tidak wajib berzakat. Besaran zakatnya yaitu 1 ekor kambing.
Sapi, nisabnya yaitu 30 ekor sapi dengan besaran zakat adalah 1 ekor sapi untuk setiap 30 – 39 sapi yang dimiliki.
Kambing atau domba, nisabnya yaitu 40 ekor dengan besaran zakat 1 ekor kambing untuk setiap 40 sampai 120 ekor kambing.
Unggas, perhitungan zakat ternak unggas disamkan dengan zakat hasil niaga.
Zakat Profesi
Jenis zakat mal yang terakhir adalah zakat profesi. Besaran zakat ini adalah 2,5% dengan nisab sama dengan nisab zakat niaga yaitu 85 gram emas. Penghasilan dari profesi yang wajib dizakatkan harus dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran setiap bulannya.
Orang yang Berhak Menerima Zakat
Di dalam islam dikenal dua istilah yaitu muzakki dan mustahik zakat. Muzakki adalah orang yang mengeluarkan zakat, sedangan mustahik adalah orang yang menerima zakat. Mustahik zakat dijelaskan dalam surat At Taubah ayat 60, yang artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk 1. orang-orang fakir, 2. orang-orang miskin, 3. amil zakat, 4. para muallaf yang dibujuk hatinya, 5. untuk memerdekakan budak, 6. orang yang terlilit hutang, 7. untuk jalan Allah, dan 8. untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sudah jelas bukan bahwa orang yang berhak menerima zakat ada 8. Berikut ini penjelasan lebih jelasnya mengenai Mustahik zakat:
1. Orang Fakir
Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan. Orang dengan keadaan seperti ini wajib untuk diberi zakat.
2. Orang Miskin
Berbeda dengan fakir, miskin adalah orang yang mempunyai pekerjaan tapi masih kekurangan.
3. Amil Zakat
Amil zakat merupakan panitia pengurus zakat. Dalam islam panitia zakat juga berhak untuk menerima zakat. Hal ini dikarenakan amil zakat tidak mendapatkan bayaran apapun.
4. Muallaf
Orang yang baru masuk islam ataumuallaf juga berhak menerima zakat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keimanannya.
5. Budak
Di zaman modern sekarang sudah sangat jarang sekali ada budak. Budak ini berhak untuk mendapatkan zakat fitrah dan zakat mal.
6. Gharim atau Orang yang Berhutang
Seorang gharim adalah orang yang terlilit hutang dan tidak mampu untuk membayarnya. pemberian zakat kepada gharim dimaksudkan untuk meringankan bebannya.
7. Fisabilillah
Merupakan orang yang sedang melakukan jihad di jalan yang sudah Allah tentukan. Fisabilillah juga dapat diartikan sebagai orang yang sedang berperang di jalan Allah.
8. Ibnu Sabil
Disebut juga dengan musafir. Seorang musafir yang sedang dalam perjalanan jauh juga berhak mendapatkan zakat. Musafir yang dimaksud adalah musafir yang di dalam perjalanan bekalnya habis.
Kesimpulan
Pengertian zakat fitrah dan zakat mal wajib dipahami oleh semua umat muslim. Zakat fitrah dan zakat mal wajib dikeluarkan oleh umat muslim. Besarnya zakat yang dikeluarkan sudah ditetapkan dengan syarat tertentu. Zakat tidak hanya membersihkan harta tapi juga sebagai ladang amal umat islam.
Sebagai umat muslim tentunya harus menunaikan zakat sebagai rukun islam yang ke empat. Jangan lupa membayar zakat tahun ini.
Baca juga:
GTA SA Lite Apk Mod
Bussid Mod Apk
PixelLab Pro Mod Apk
LayarKaca21 (LK21)
Download PicSay Pro Apk
Download Inshot Pro Apk Mod
from VOI.CO.ID https://ift.tt/30QrLlK
0 notes
Photo
Tumblr media
Bagian ke-2 Para Ulama menyandingkan zakat profesi/penghasilan dengan zakat pertanian/perkebunan tentang cara mengeluarkannya. QS. Al-An'am: 141 "Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya),dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". Dalam ayat tersebut zakat pertanian/perkebunan mengeluarkan zakatnya saat dipanen. Begitupun dalam zakat profesi ditunaikan saat mendapat gaji/penghasilan. Zakat profesi wujudnya yaitu sejumlah harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang halal, misal berwujud uang. Nisab Dalam penghitungannya juga disandingkan dengan zakat pertanian/perkebunan. Zakat pertanian yaitu 5 wasaq=520kg beras. Misal; beras yang biasa dikonsumsi harga 8.000/kg, maka 520kg X 8.000= 4.160.000. Jadi bila penghasilan sudah minimal 4.160.000 setelah dipotong kewajiban lain (misal hutang) maka sudah wajib zakat. Rumusnya= (pendapatan+gaji+penghasilan lain) - hutang. Contoh; Bang Thayyib menerima gaji perbulan 2jta dan mendapat penghasilan dari penjualan pulsa sebesar 10jta. Cicilan mobil yang harus dibayar sebesar 3jta per bulan. Berapa zakat profesi yang harus dikeluarkan? Penghitungan - Misal harga beras yang biasa dikonsumsi 8.000/kg. - jumlah nisab yang berlaku (520kg X 8.000= 4.160.000) - rumus (2jt + 10jt) - 3jt= 7jt. Jadi; 7jt X 2,5%= 175.000 (wajib zakatnya) dikutip dari kajian Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA
0 notes
ramlisemmawi-blog · 7 years
Text
ZAKAT PROFESI
oleh
Ramli Semmawi
Pada masa Nabi, sumber pendapatan masyarakat masih relatif terbatas dan tradisional, seperti berdagang, beternak atau bertani. Sementara sekarang, demikian banyak macam pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan yang menghasilkan cukup besar harta. Pekerjaan tersebut dalam banyak hal didasarkan pada adanya keterampilan khusus atau keahlian dari proses pendidikan, seperti profesi dokter, bidan, paramedis, ahli farmasi, akuntan, konsultan, pengacara, notaris, guru, dosen, dan banyak lagi profesi lainnya. Profesi ini kadang dilakukan secara mandiri dan kadang terikat pada pihak lain atau institusi tertentu. Untuk yang terikat, pendapatan mereka disebut gaji atau upah.
Dalam Al-Qur'an disebutkan beberapa macam jenis kekayaan yang dikenai Zakat, yaitu: 1) emas dan perak, 2) tanaman dan buah-buahan, 3) hasil usaha, seperti dagang, dan 4) hasil perut bumi seperti barang tambang. Yang selain itu disebut secara umum dalam kata 'mal' yang jamaknya adalah 'amwal,' yang berati harta kekayaan, termasuk di dalamnya binatang ternak. Syarat harta kekayaan yang dikenai zakat adalah: 1) milik sempurna, 2) produktif dan berkembang, 3) mencapai nisab, 4) kelebihan dari kebutuhan pokok, dan 5) telah berlalu waktu satu tahun hijriah (haul).
Pekerjaan profesi jelas mendatangkan penghasilan dan menjadi sumber pendapatan utama yang menopang kehidupan manusia di zaman modern. Oleh karena itu layak dikenakan dengan memenuhi ketentuan umum tentang zakat atas penghasilan dari melakukan pekerjaan terikat maupun bebas. Hal tersebut dapat didasarkan pada keumuman perintah membayar zakat atas hasil usaha dan keumuman kata amwal yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Di antara nas-nas umum tersebut adalah: "Wahai orang-orang beriman infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik....(QS. 2: 267); "Dan pada harta-harta mereka, (ada pula bahagian yang mereka tentukan menjadi) hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. az-Zariyat: 19). "Dan mereka (yang menentukan bahagian) pada harta-hartanya, menjadi hak yang termaklum--Bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (tidak meminta)" (QS. al-Ma'arij: 24-25).
Kata infak dalam ayat pertama (QS. 2: 267) adalah mencakup zakat wajib dan sedekah tatawwu'(sukarela); orang yang berzakat mengambil sisi wajibnya zakat dan orang yang berinfak tatawwu' mengambil sisi Sunnahnya memberikan infak. Ibn Jabir at-Tabari menafsirkan infak dalam ayat ini sebagai zakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hasil usaha dalam ayat tersebut dikatakan oleh al-Jassas dalam tafsirnya 'ahkam Al-Qur'an,' "hasil usaha (kasb) itu ada dua macam: 1) keuntungan yang diperoleh melalui pertukaran barang, dan 2) hasil dari kegiatan memberikan jasa. Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam mengkualifikasi penghasilan dari profesi secara khusus dan penghasilan dari pekerjaan bebas dan terikat secara umum. Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah az-Zuhaili memasukkannya ke dalam kategorial-mal al-mustafad--penghasilan.
Hasil Bahtsul Masail dalam Munas Alim ulama NU 2002 cenderung memasukkan zakat profesi dan zakat pendapatan dan jasa secara umum (zakah kasb al-mal wa al-mihan al-hurrah) sebagai zakat tijarah. Sementara, di lingkungan Muhammadiyah zakat profesi telah diterima dalam Putusan Tarjih ke-25 di Jakarta tahun 2000. Nisabnya setara 85 gram emas murni 24 karat dan kadar zakat 2,5%. Kedua organisasi terbesar telah mengambil sikap akan zakat profesi, Muhammadiyah dengan 85 gram emas, dan NU 20 dinar emas.
Zakat profesi dikeluarkan pada saat diterima tanpa dikenakan haul, dan dari hasil bersih setelah dipotong pengeluaran kebutuhan pokok minimal. Apabila sisa dari kebutuhan pokok minimal itu mencapai nisab, maka dikeluarkan zakatnya 2,5%. Apabila kelebihan kebutuhan pokok minimal itu tidak mencapai nisab, maka tidak dikenai zakat. Tetapi alangkah baiknya perhitungan zakatnya itu diakumulasikan dalam setahun dikurangi kebutuhan pokok satu tahun, sehingga dimungkinkan tercapai jumlah nisabnya.
Sumber Bacaan:
Al-Qur'an dan Terjemahannya
Ahmad Rofiq. Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Syamsul Anwar. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Book. 2007.
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُو��َهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Hakikatnya, saat seseorang berpihak kepada al-haq, berarti ia telah berpihak dan mengikatkan dirinya kepada hizbullah (kelompok pengikut Allah, golongan Allah, atau partai Allah)
Al-Hizbu secara bahasa artinya adalah: kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Berkata Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri rahimahullah: “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atau ikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikat oleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok” (Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.7).
Hizbullah artinya penolong-penolong Allah; kelompok orang-orang yang memihak Allah dan dekat kepada-Nya, bersedia berjuang menegakkan agama-Nya. Kelompok inilah yang akan mencapai puncak keberuntungan dan meraih segala yang mereka harapkan.[1]
Hizbullah tidaklah dapat dinisbatkan kepada satu-dua kelompok atau golongan tertentu yang ada di dalam tubuh umat Islam saat ini—dengan berbagai macam nama dan laqab (julukan/panggilan)-nya—seperti: Hizbullah, Hizbut Tahrir, Ansharu Sunnah, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Jama’at Islami, Naqsabandiyyah, Tijaniyyah, dan lain-lain; akan tetapi ia dinisbatkan kepada akhlak dan karakter, etika dan moral, yang dimiliki oleh kelompok-kelompok, apa pun nama dan dimana pun mereka berada.
Maka fokus kita sebagai muslim adalah berupaya menetapi al-akhlaqul asasiyyah (akhlak/karakter dasar) hizbullah serta berupaya berhimpun, bekerjasama, atau saling tolong menolong bersama kelompok mana pun yang memiliki karakter dasar tersebut. Allah Ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat terang di dua surah: QS. Al-Maidah ayat 54 – 56 dan Al-Mujadilah ayat 22.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang – orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah, 5: 54-56).
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَه��مْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)
*****
Al-Akhlaqul Asasiyyah
Dari dua surah di atas kita ketahui karakter dasar hizbullah adalah sebagai berikut.
Pertama, mahabbatullah (mencintai Allah). Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 54 karakter ini diungkapkan dengan kalimat:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Makna ungkapan ini adalah: Allah meridhai mereka, dan mereka ikhlas kepada Allah dalam beramal dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangan-Nya.[2] Allah mencintai kaum itu dan merekapun mencintai-Nya karena keteguhan hati mereka.[3]
Mereka adalah kaum yang menjauhi perbuatan orang-orang fasiq yang mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, rasul, dan jihad di jalan-Nya.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Mereka adalah kaum yang kaya jiwanya karena senantiasa mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya. Sebagian salaf mengungkapkan hal ini dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”[4]
Mereka adalah orang-orang yang telah merasakan manisnya iman sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Oleh karena itu pantaskanlah diri kita agar menjadi bagian dari hizbullah; berusahalah untuk selalu beramal shalih sehingga Allah Ta’ala mengikutkan kita ke dalam barisan kelompok yang dicintai Allah Ta’ala.
Di antara contoh sebab agar dicintai Allah adalah membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan wajib, selalu berdzikr kepada Allah, mendahulukan apa yang dicintai Allah apabila dihadapkan dua hal yang dicintainya, mempelajari nama Allah dan sifat-Nya, memperhatikan nikmat Allah baik yang nampak maupun tersembunyi serta memperhatikan pemberian-Nya kepada kita agar membantu kita bersyukur, pasrah kepada Allah dan menampakkan sikap butuh kepada-Nya, qiyamullail di sepertiga malam terakhir dengan disudahi istighfar dan taubat, duduk bersama orang-orang shalih yang cinta karena Allah serta mengambil nasehat dari mereka dan menjauhi sebab yang menghalangi hati dari mengingat Allah.[5]
Kedua, adillatin ‘alal mu’minin (lemah lembut terhadap mu’minin).
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“…bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka mengasihi orang-orang mu’min, [6] mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mu’min,[7] mengungkapkan kelemahlembutan, kasih sayang, dan tawadhu kepada orang-orang beriman,[8] mereka berendah hati dengan saudara mu’min mereka.[9]
Kasih sayang, kelemahlembutan, sikap tawadhu dan rendah hati yang mereka tunjukkan tiada lain karena mereka menyadari bahwa sesama mu’min hakikatnya adalah satu tubuh dan satu bangunan. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Mereka adalah kaum yang telah memahami dan berupaya menunaikan hak-hak terhadap sesama muslim sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari suatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari suatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aib orang itu pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ .
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya. Ketakwaan itu di sini (dalam hati). Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai ia menghina saudaranya sesama muslim.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan beliau berkata bahwa ini adalah Hadits hasan).
Dalam hadits dari al-Bara’ Ibn ‘Azib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أمَرَنَا رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِيَادَةٍ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَصْرَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ .
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, menjawab orang bersin, melaksanakan sumpah bagi orang yang bersumpah, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan orang, dan menyebarkan salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, a’izzatin ‘alal kafirin (keras/tegas terhadap kafirin).
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“…bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Makna ungkapan ini adalah: mereka tegas terhadap orang-orang kafir[10], membenci orang-orang kafir, memusuhi mereka, meyakini kekafiran mereka dan memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat jihad yang syar’i[11], bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.[12] Kata a’izzah adalah bentuk jamak dari kata ‘aziz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian As-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam QS. Al-Fath, 48: 29,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”[13]
Namun perlu dipahami bahwa sikap keras dan tegas ini tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir mereka dari negeri mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Tegasnya, hizbullah memahami bahwa mereka tidak dilarang untuk menghormati, berlaku adil, berbuat baik, dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka karena keislaman mereka dan tidak mengusir mereka dari rumah-runah mereka.
Mereka tidak dilarang oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kepada orang-orang kafir seperti itu apa yang menjadi hak mereka, sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar aṣ-Shiddiq terhadap ibunya (yang musyrik, red.) ketika ia mengunjunginya setelah minta izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkannya untuk menyambung silaturahim dengannya.
Hizbullah tidak dilarang melakukan silaturahim, menghormati tetangga non muslim, dan menjamu mereka; menetapi janji, menyampaikan amanat, dan memenuhi pembayaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan atas mereka berbuat adil kepada orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan dan hukum.
Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat lahir batin, yakni orang-orang kafir yang tidak bersedia hidup berdampingan secara damai, bahkan memerangi mereka karena agama, tidak memberi ruang kebebasan dan toleransi beragama; mengusir orang-orang beriman dari tempat tinggal mereka karena pembersihan ras, suku, dan agama serta penguasaan teritorial, juga membantu pihak lain untuk mengusir orang-orang beriman karena kerja sama yang sistemik dan terencana.
Barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan karena keuntungan ekonomi, politik, dan keamanan; maka mereka itulah orang yang zalim terhadap perjuangan Islam dan kaum muslimin.[14]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mu’min dilarang memberikan loyalitas, dukungan, dan kasih sayang kepada orang-orang kafir yang memerangi disebabkan oleh agama, mengusir orang-orang Islam dari negeri mereka, dan membantu orang-orang kafir untuk mengusir mereka. Orang-orang kafir seperti itu haram dijadikan teman setia, sekutu, penolong, pemimpin, dan diberi bantuan dengan perkataan maupun perbuatan.[15]
*****
Oleh karena itu, dalam hubungan dengan kaum muslimin, orang kafir terbagi dalam empat kategori,
Kafir Dzimmi
Penjelasan dari para fuqaha:
أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ اللإسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإِسْلاَمِ فِيهِمْ
“Kafir dzimmi adalah orang-orang kafir yang menegaskan kekafirannya di negeri Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan diterapkan hukum-hukum Islam pada mereka.” (Jawaahir Al Iklil, 1/105, Al Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/704)
Kafir Mu’ahad
هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ
“Mereka adalah yang mau berdamai dengan imam kaum muslimin untuk mengakhiri perang selama waktu tertentu yang diketahui melihat adanya maslahat hal itu. Al Mu’ahad diambil dari Al-‘Ahdu, yaitu damai sementara.” (Fathul Qadir, 4/293; Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181; Syarhul Kabir, 2/190; Mughni Al Muhtaj,  4/260; Nihayah Al Muhtaj, 7/235)
Istilah lainnya adalah al-hudnah, atau gencatan senjata.
Kafir Musta’man
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأَصْلِ : الطَّالِبُ لِلأَمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Berasal dari makna ‘orang yang meminta keamanan’ yaitu orang yang masuk ke negeri Islam dengan aman, atau seorang muslim masuk ke negeri bukan Islam dengan aman.” (Durar Al Hukam, 1/262; Ad–Durul Mukhtar, 3/247; Hasyiah Abi Sa’id, 3/440)
Ini mirip dengan istilah ‘suaka’ dimana seseorang meminta perlindungan politik di negeri lain.
 Kafir Harbi
أَهْل الْحَرْبِ أَوِ الْحَرْبِيُّونَ : هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Ahlul Harbi atau harbiyun, mereka adalah non muslim yang tidak masuk dalam perjanjian jaminan, juga tidak mendapatkan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan kaum muslimin.” (Fathul Qadir, 4/278; Mawahib Al Jalil, 3/346-350; Asy–Syarhush Shaghir, 2/267; Nihayatul Muhtaj, 7/191; Mughnil Muhtaj, 4/209)
Semuanya kategori kafir di atas tidak diboleh diganggu dan diperangi kecuali kafir harbi.[16]
*****
Keempat, al-jihadu wa ‘adamul khaufi minannas (jihad dan tidak takut kepada manusia). Dalam surah Al-Maidah ayat 54 diungkapkan dengan kalimat,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
Dari ayat ini, kita ketahui hizbullah merupakan umat yang selalu siap untuk berjihad—merasakan keletihan, kegentingan, kepedihan, kesulitan, berdaya upaya, mengerahkan kemampuan, dan kerja keras—di jalan Allah; memerangi musuh-musuh Allah, berjuang dengan harta dan jiwa untuk menjunjung tinggi kalimat Allah.
Mereka memahami bahwa jihad adalah martabat tertinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ
“Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.” (H.R. Ath-Thabrani).
Pada hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pada hadits lain disebutkan, Abu Hurairah bertanya:
مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Amal apakah yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim).
Hizbullah bukanlah orang-orang yang puas dengan kehidupan dunia; mereka mengutamakan kenikmatan yang hakiki di akhirat dibandingkan kenikmatan di dunia; mereka takut akan murka Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأَخِرَةِ‌ۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِى ٱلۡأَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡڪُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَڪُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡـًٔ۬ا‌ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah [untuk berperang] pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal keni’matan hidup di dunia ini [dibandingkan dengan kehidupan] di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya [kamu] dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah, 9: 38-39).
Mereka tidak ingin hidupnya ditimpa kehinaan sebagai akibat meninggalkan jihad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud).
Mereka tidak ingin ditimpa kefakiran. Terutama kefakiran jiwa. Waspadalah, ketika manusia telah berpaling dari jihad di jalan Allah, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya secara penuh kepada berbagai urusan dunia. Maka, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir, untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah.
As-Sya’bi rahimahullah berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ
“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, ‘Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.’” (HR Ibnu ‘Asakir).
Mereka pun tidak ingin mati pada satu cabang kemunafikan sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa (seorang Muslim) yang mati, sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim).
Mereka akan selalu berupaya terlibat dengan jihad sekecil apa pun peran yang dapat diambilnya. Karena mereka mengetahui orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ
“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” (H.R. Abu Dawud).[17]
*****
Hizbullah juga tidak takut kepada siapapun dijalan Allah; tidak takut celaan dan cemoohan yang dilontarkan oleh para pencela; tidak takut pada cibiran saat melakukan tugas agama; mereka teguh dan tak menghiraukan apa yang dilakukan musuh-musuh Islam dan hizbus syaithan, seperti hinaan dan anggapan buruk karena kedengkian dan kemurkaan mereka terhadap al-haq dan orang-orang yang berada didalamnya. Mereka bahkan semakin solid, karena mereka lebih mendahulukan ridha Allah daripada kerelaan makhluk.[18]
Karakter dan sikap mental tidak takut celaan dan cemoohan di jalan Allah adalah sesuatu yang sangat penting karena hal itu menunjukkan teguhnya komitmen dan kokohnya keimanan. Oleh karena itu pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai salah satu point janji setia dalam bai’at Aqabah, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُ كُنَّا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Ayyub, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ibnu Ishaq dan Yahya bin Sa’id dari ‘Ubadah bin Al Walid bin Ash Shamit dari ayahya dari kakeknya, ia berkata: ‘Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah, kami senangi maupun kami benci, dan tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan melakukan kebenaran dimanapun kami berada, tidak takut kepada celaan orang yang mencela.’” (HR. An-Nasa’i)
*****
Kelima, al-wala-u (kecintaan, kesetiaan, loyalitas, pembelaan) kepada Allah, rasul, dan mu’minin.
Karakter ini diungkapkam dalam surah Al-Mujadilah ayat 22 yang telah dikemukakan sebelumnya,
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ اَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah, 58: 22)[19]
Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya tidak mungkin saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin mencintai dan menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai sekutu. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka sendiri. Sebab keimanan mereka melarang mereka untuk mencintai orang yang menentang Allah dan rasulullah; dan menjaga keimanan lebih utama daripada menjaga hubungan dengan bapak, anak, saudara atau kerabat.[20]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728]).
Allah Ta’ala telah meneguhkan keimanan dalam hati mereka, dan Dia menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya untuk melawan musuh mereka di dunia. Di ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan pertolongan dari-Nya dengan istilah ‘ruh’ (وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ), karena dengan pertolongan itu urusan mereka dapat berlanjut.
Allah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan dimasukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; selama-lamanya. Hal ini tidak lain karena Allah telah ridha terhadap mereka; menerima amalan mereka dan memberi mereka rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Merekapun telah merasa puas terhadap limpahan rahmat-Nya; mereka bergembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka baik itu di dunia maupun di akirat.
Mereka itulah hizbullah, yakni tentara-Nya yang mentaati perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan menolong para kekasih-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, jilid X, hal. 71
[2] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[3] Tafsir Al-Mukhtashar
[4] As-Syariah Edisi 079, Jalan Meraih Manisnya Iman, Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
[5] Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an, Marwan Hadidi bin Musa
[6] Tafsir Al-Muyassar
[7] Tafsir Al-Mukhtashar
[8] Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar.
[9] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.
[10] Tafsir Al-Muyassar.
[11] Sifat-sifat Orang yang Beriman dalam Al-Maidah ayat 54, Sofyan Chalid Ruray.
[12] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[13] Tafsir QS. Al-Maidah, 5: 54, Rokhmat S. Labib, M.E.I.
[14] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[15] Ibid.
[16] Status dan Kedudukan kaum Kuffar (non muslim) di Negeri Muslim, Farid Nu’man Hasan.
[17] Hadits-hadits jihad yang penulis cantumkan disini dikutip dari artikel berjudul: Keutamaan Jihad di Jalan Allah, ditulis oleh Ali Farkhan Tsani, minanews.net
[18] Lihat: Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia), Tafsir Al-Mukhtashar (Markaz Tafsir), Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar), Tafsir Al-Wajiz (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), An-Nafahatul Makkiyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi), Tafsir As-Sa’di (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di), Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan Hadidi bin Musa), dan Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu (Depag RI) yang dimuat di tafsirweb.com.
[19] Ibnu Abi Hatim, Thabrani, dan Hakim meriwayatkan: bahwa ayah Abu Ubaidah pada perang Badar selalu mengincarnya, namun Abu Ubaidah selalu menghindarinya; dan ketika ayahnya terus menerus melakukan itu, Abu Ubaidah kemudian mendatanginya dan membunuhnya. Maka turunlah ayat ini.
[20] Dikutip dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiaman Al-Asyqar, hal. 545, Darun Nafais, Yordania.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/10/08/hizbullah-siapakah-mereka-bag-1/
0 notes