Tumgik
warnaai · 6 months
Text
Aku bereksperimen dengan masakan karena aku penasaran. Apakah bahan ini dengan bahan itu bisa jadi sesuatu yang enak? Apakah kalau dimasak lebih lama lagi akan muncul sesuatu yang unik? Tapi aku butuh sebuah pendapat, butuh seseorang untuk jadi kelinci percobaan ku. Bagaimana rasanya? Apakah ada yang aneh? Belum juga masakanku matang, mereka yang ku sebut teman bahkan enggan mencicipinya. Sakit? Tentu saja. Aku sudah sangat bersemangat untuk memulainya tapi mendengar keengganan itu rasanya masakan ku akan hambar nantinya.
Aku jadi rindu rumah, Ibu ku akan sangat senang dapurnya penuh tepung dimana-mana. Ibuku pasti akaan mencemooh cara masakku yang tak karuan. Ibuku akan sangat senang mencicipi masakan ku meskipun rasanya seperti meminum air laut. Ibuku...
Sudah cukup lama aku melupakan rindunya rumah, rindu Ibu dan ayah. Aku jadi merasa bersalah karena jarang menelponnya dan sekalinya berteleponan aku terlalu malas untuk menanggapi ceritanya. Durhaka sekali anak satu-satunya ini. Maaf.
Aku juga rindu ayah. Aku jarang bertukar kabar dengannya. Sedari kecil ayah sudah sering tidak di rumah karena pekerjaan, aku jadi cukup terbiasa dengan ketiadaannya. Tapi semakin dewasa, aku rasa perasaan ini salah. Ayah orang yang gengsinya tinggi, itu terlihat jelas karena menurun pada ku. Ayah gengsi mengakui dia rindu padaku, dan aku sebagai anak kandungnya juga gengsi untuk menghubunginya duluan. Terkadang percakapan kami via chat tidak lebih dari 10 bubble. Dan ketika berteleponan pun pertanyaannya selalu monoton, lagi apa? sudah makan belum? pake apa? Yah semacam itu. Cukup canggung.
Kami bahkan tidak punya foto keluarga. Ada satu, itupun karena persyaratan masuk universitas. Terkadang aku iri dengan teman-teman ku yang bisa seharmonis itu dengan keluarganya, sampai-sampai aku terheran ternyata ada sebuah keluarga yang bisa sehangat itu, selucu itu, seceria itu.
Ahhh, susah ternyata curhat lewat ketikan. Terlalu banyak kata yang mau ku masukkan, terlalu banyak cerita yang mau ku bagikan. Tapi sepertinya cukup untuk malam ini.
Terima kasih tuan dan nona yang bersedia membaca. Ini hanya sedikit warna yang ku bagikan atau malah terkesan terlalu over sharing. Maaf lah ya. Hehe🌵
3 notes · View notes
warnaai · 6 months
Text
Jika aku kembali, apakah bisa seperti dulu lagi?
2 notes · View notes
warnaai · 6 months
Text
In the Disney stories, the main character has a father
In the Ghibli stories, the main character has a mother
I have both but still can't be like the main character in the story.
In the story, the main character will always shine
But they say the brighter the light, the darker the shadow
And then I think, is it necessary to be the main character like in the other stories?
Why do I have to stick to the other stories, when I can make my own?
I still have my parents and I'm not a princess who waiting for a prince to arrive
I am the main character in my story
No one will be able to change it
And no one has the right to demand an ending of the story from me
3 notes · View notes
warnaai · 7 months
Text
Kamu itu terlalu baik untuk aku yang nggak enakan
Kamu juga terlalu nggak peduli untuk aku yang perhitungan
Kamu terlalu egois untuk aku yang pendendam
Dan kamu terlalu asik untuk aku yang selalu insecure
3 notes · View notes
warnaai · 8 months
Text
Tidur saja. Terkadang itulah yang kamu butuhkan untuk meredam bisingnya dunia. Bermimpi lah, meski itu hanya bunga tidur. Lepaskan beban hari ini, dan istirahatlah.
3 notes · View notes
warnaai · 9 months
Text
Dia yang pergi, tapi kau ikut menjauh.
Aku tau kau bersedih, tapi aku ingin selalu ada di setiap tawa mu.
Kau berduka, dan tak ingin pulang.
Takut semua kenangan kan menyakiti mu.
Ku coba menanyakan kabar, tapi tak pernah kau senang.
Semakin lama semakin asing.
Aku berhenti, berharap kau akan rindu kembali.
Tidak, kau malah menemukan senang yang lain.
Aku coba tuk ikut bahagia, kini kau bisa tertawa.
Tapi rasanya salah, bukan aku yang ada di sana.
Cemburu? Ya, ku akui aku cemburu.
Tapi, siapa aku?
Hari-hari ku merindu.
Tak suka dengan bahagia mu yang baru.
Aku benci.
Aku ingin kau pulang.
Seakan kau di mantrai cinta, kau tak pernah mau dengar.
Hari menjadi bulan, bulan menjadi tahun.
Kini ku mencoba merelakan.
Lalu ku mendapat kabar, kau ingin menikah.
Menikah? Kau yakin.
Aku bertanya ragu, apa ini hanya candaan?
Aku tidak setuju.
Kau menghilang tanpa kabar, dan kini kau memberi kabar.
Tidak lucu.
Kau seakan lupa, siapa orang yang dulu selalu kau jadikan sandaran.
Lalu begitu saja kau campakkan.
Ini tidak lucu.
Aku tak suka.
Tapi kau bahagia.
Lalu siapa aku menghalangi bahagia mu?
Aku tak tau.
Aku salah, dan kau juga salah.
Aku hanya ingin kau pulang.
Jika bahagia mu akan membuatmu pulang.
Maka berbahagialah, dan pulang.
Meski tak bisa seperti dulu lagi.
Pulanglah.
Aku rindu.
4 notes · View notes
warnaai · 9 months
Text
Sebenarnya apa yang kamu katakan itu adalah benar dari hati. Jangan pernah mengatakannya dengan ringan, dan berdalih itu hanyalah candaan.
Karena aku tau maksud ucapanmu. Mungkin tidak bermaksud menyakiti, hanya ingin si lawan bicara sadar akan posisi.
Ketika ditanya apakah sedang menyindir, jawabnya hanya bercanda jangan di ambil hati.
Tapi, siapa yang tau apa yang ada di hati. Rapuh kah? Remuk kah? Hancur kah?
Bisa saja si lawan bicara itu pemaaf. Tapi tidak, masalahnya aku ini si pendendam.
Jadi berhenti mengatakan itu hanya candaan. Lebih baik kamu bilang saja sejujurnya. Toh aku masih bisa instrospeksi diri, cukup nasehati. Perkara itu baik untukku atau tidak, aku sendiri juga yang menilai.
Sesungguhnya,
Lisannya orang bijak itu ada di belakang hatinya. Kalau tak bermudharat, maka dia akan bicara. Tapi kalau ternyata mudharat dia akan diam. Sebaliknya, orang bodoh hatinya ada di ujung lisannya. Pembicaraannya tidak akan ditimbang oleh hatinya.
Imam Al Hasan al Bashri rahmatullah 'alayh
1 note · View note
warnaai · 9 months
Text
Segala hal mungkin disulitkan.
Tapi segalanya telah dicukupkan.
1 note · View note
warnaai · 9 months
Text
Siapakah kamu?
Apakah kamu orang yang berbeda tergantung lawan bicaramu? Apakah kamu orang yang berbeda berdasarkan situasi di sekitarmu? Apakah kamu orang yang berbeda sesuai dengan moodmu?
Jadi mana diri mu yang asli?
Yang selalu tersenyum dan tertawa? Yang selalu supportif? Yang menangis tiap sujud? Ataukah saat ego menguasaimu?
3 notes · View notes
warnaai · 10 months
Text
Fokus dengan segala hal yang ada di depan kita itu memang bagus. Karena apa yg ada di depan kita, bisa saja mimpi kita selama ini.
Tapi pernahkah terpikirkan untuk menoleh ke belakang?
Bukan untuk mengorek luka lama, ataupun melihat rangkaian kenangan. Tapi mencoba untuk melihat sekitar. Teman lama, kenalan masa lalu, bahkan peran figuran yang kita tak tahu namanya atau malah lupa wajahnya.
Karena tanpa kita sadari, mungkin saja mereka selama ini berdiri di belakang kita. Masih mengingat dan mendukung kita, meskipun kata semangat dari mereka tidak bisa tersampaikan langsung.
Jadi, terima kasih kawan lama. Mungkin aku lupa wajahmu. Hanya dengan kau mengingatku dan menanyakan kabarku di persimpangan jalan kala itu, aku cukup yakin bahwa aku sudah berada di jalan yang benar. Maaf sudah melupakanmu, lain kali mari kita bertemu lagi.
6 notes · View notes
warnaai · 10 months
Text
Dia adalah makhluk yang `mudah`.
Mudah bergaul, mudah tersenyum, mudah marah, mudah mengeluh, mudah jatuh cinta, mudah patah hati, mudah tersesat, mudah percaya, mudah kecewa, mudah terjatuh, mudah bangkit, dan masih banyak mudah-mudah lainnya.
Yah semoga makhluk `mudah` ini, mudah-mudahan dipermudah urusan skripsinya.
3 notes · View notes
warnaai · 10 months
Text
Tersesat?
Dan tidak bisa kembali?
Maka jangan kembali
Terus saja berjalan
Jalan yang jauh
Hingga lelah
Istirahat
Lalu jalan lagi
Naik
Turun
Berkelok
Dan temukan ujungnya
Jalan keluar
Jalan pembebasan
Kebahagiaan
Nikmatilah
Itu adalah buah
Buah dari lelahmu
3 notes · View notes
warnaai · 10 months
Text
Apa yang kita suka terkadang tidak perlu kita miliki.
Sederhananya,
Warna yang aku suka adalah UNGU, karena cantik dan anggun. Tapi, hampir kebanyakan baju yang aku punya berwarna ABU-ABU, karena cocok dipakai di segala acara. Namun, ada hati kecilku yang terdalam, dimana aku menginginkan warna BIRU.
Jadi, aku berpikir bahwa terkadang suka boleh saja hanya sekedar suka, tidak perlu lebih hingga memiliki. Karena apa yang kita sukai dengan apa yang kita butuhkan atau kita inginkan itu tidak selalu sama. Tergantung keadaan dan kebutuhan seseorang.
3 notes · View notes
warnaai · 11 months
Text
Kecewa dan penyesalan itu selalu datang di akhir.
Entah beberapa tahun setelahnya atau seper sekian detik setelahnya.
Dan yang paling ku benci adalah nasihat yang akan selalu datang kemudian di benakku.
Andai saja aku bisa lebih berani, semua ini tidak akan pernah tejadi
5 notes · View notes
warnaai · 1 year
Text
LALAT
Lalat kini pamit
Lalat bukanlah yang ditunggu Bunga
Lalat kini sadar
Lalat sadar taman bukan tempat yang semestinya
1 note · View note
warnaai · 1 year
Text
Jadi aku dan kedua temenku (P dan R) lagi kumpul di kamar kost ku. Malem itu kita bertiga bercerita banyak hal, hingga sampai tengah hari pembahasan kami beranjak ke kisah cinta masing-masing. Yang intinya—
Mari kita ibaratkan Hubungan/Hati adalah sebuah rumah.
Suatu hari si Pria menyuruh si Wanita untuk keluar dari 'rumah'. Si Wanita tidak tau apa masalahnya. Si Pria yang awalnya bungkam lalu menceritakan sekilas bahwa 'rumah' si Pria kini sedang berantakan. Dan si Pria ingin membenahi sendiri 'rumah' itu. Si Wanita juga ingin membantu, tapi si Pria tidak mau si Wanita kelelahan dan menyuruhnya untuk keluar.
Si Wanita pun akhirnya keluar dari 'rumah', tapi ia berhenti di depan pintu. Si Pria masih membuka pintu 'rumah'. Si Wanita tak ingin pergi, ia mencoba menawarkan bantuan dari ambang pintu, namun kembali ditolak oleh si Pria. Si Wanita hanya bisa melihat si Pria membersihkan rumah seorang diri dari ambang pintu.
Si Wanita yang masih berdiri di ambang pintu tiba-tiba mendapat tawaran dari 'tukang ojek' untuk berkeliling 'taman' yang terletak di depan "rumah'. Si Wanita tentu menolak, ia masih mengkhawatirkan si Pria. Kemudian 'tukang ojek' pun berlalu.
Tak lama 'tukang ojek' yang lain menawarkan tawaran yang sama, namun ditolak juga oleh si Wanita. Tapi 'tukang ojek' ini tidak menyerah, ia mencoba menawarkan banyak hal kepada si Wanita. Tetapi si Wanita tidak bergeming, ia justru menengok ke dalam 'rumah' dan memperhatikan si Pria yang tengah sibuk membersihkan 'rumah'. 'Tukang ojek' pun berlalu ketika dirasa si Wanita tidak tertarik akan tawarannya. Namun ia tidak menyerah, ia masih berusaha dengan menunggu si Wanita agar beranjak dari ambang pintu 'rumah'.
Setelah 'tukang ojek' itu pergi, si Wanita menawarkan bantuan untuk kedua kalinya kepada si Pria. Tetapi nyatanya jawaban si Pria tetap sama. Si Wanita lelah hanya berdiam di ambang pintu, sedikit pilu ia mencoba melangkah kearah 'taman'. Bukan berkeliling 'taman' dengan 'tukang ojek' yang sudah menawarkan si Wanita sebelumnya, tapi ia berkeliling 'taman' sendiri dengan berjalan kaki. Sesekali memetik bunga, berjongkok melihat kerikil, menghindari akar-akar tanaman agar tidak tersandung, dan menoleh ke belakang untuk melihat bahwa pintu 'rumah' masih terbuka. Mungkin menunggu untuk si Wanita kembali atau bahkan menunggu orang lain untuk mampir.
Si Wanita mungkin masih sering menengok ke belakang, was-was jika pintu 'rumah' ternyata sudah tertutup dan masih mencoba menghidupkan harapan bahwa suatu saat si Pria akan menjemputnya di 'taman'. Tapi jika memang sudah tertutup dan tidak ada harapan, si Wanita kini sudah mulai belajar untuk merelakan. Meskipun sudah singgah di 'rumah' itu cukup lama, bukan berarti 'rumah' itu tempatnya untuk tinggal.
Kini si Wanita hanya ingin menikmati indahnya 'taman'. Mencoba untuk merelakan dan sedang tak ingin mencari tempat bersinggah dulu. Sekarang, ia hanya ingin melihat keindahan 'taman'.
3 notes · View notes
warnaai · 1 year
Text
Makin tambah usia, makin sadar kalo orang lain berhak dapet yang lebih baik dari aku.
Sadar fisik, sadar harta, sadar posisi
Bukan nggak cinta diri sendiri. Aku cukup sadar kalo aku nggak terlalu jelek dan aku sadar nggak sebegitu cantik. Wajar kan?
Dan disisi lain aku juga tau kalo aku berhak untuk mencicip manisnya kisah cinta. Tapi entah kenapa nggak pernah terbesit barang satu nama aja untuk aku jadiin crush? mungkin. Padahal setiap malam pikiran buat punya kekasih selalu selalu seliweran di kepala dan juga hati.
Sedikit kecut rasanya buat nerima kenyataan kalo mungkin aja aku nggak laku. Dan cukup pahit kiranya untuk punya kisah hidup yang bisa terbilang sangat amat flat di usia yang harusnya sudah pernah icip manis pahitnya cinta.
Tapi ya mau gimana lagi, katanya jodoh itu sudah diatur. Pasti Allah udah nentuin siapa jodohku. Dari berjuta milyar bahkan 8 triliun manusia di Bumi (cewe nggak termasuk) pasti ada jodohku di sana. Entah mungkin dia belum lahir, dia masih sekolah, udah kerja atau mungkin masih gandeng cewe lain.
Cukup cape sih yang nunggu tapi ya balik lagi, jalanin aja dulu yang sekarang.
Lidah kan punya 4 indra pengecap yang berbeda ada asin, manis, asam, sama pahit. Masing masing aspek hidup juga udah pernah icip rasanya. Tapi untuk manisnya cinta kok ya lama.
Ya Allah dipercepat sepersekian detik boleh? Jujur hamba mu ini lelah menunggu.
Tapi Ya Allah kalo manisnya cinta harus dituker sama aspek lain mungkin hamba mu ini mundur saja. Nggak apa manisnya cinta telat pake banget, seenggaknya manisnya keluarga, manisnya rezeki, manisnya persahabatan jangan diambil dulu. Nggak lagi-lagi kalo gitu minta dipercepat, tapi sekedar mengeluh boleh kan?
Maaf kalo makin ngelantur, maklum makin malam overthinking makin menjadi. Apalagi kalo kesepian begini.
Ya Allah hamba mu ini memang nggak minta dipercepat jodohnya buat dateng tapi hamba mu ini mohon supaya masih diberikan sehat dan umur panjang untuk kedua orang tua hamba, sanak saudara hamba, teman-teman hamba, serta saudara muslim lainnya dan non Islam juga ya Allah.
Aamiin ya rabbal alamin
Sekian keluh kesah Malam? Pagi? hari ini.
12 notes · View notes