Tumgik
imnifit · 1 year
Text
Katarsis #1
"Kenapa memilih untuk tinggal di kos, padahal jarak tempuh antara rumah dan kampus terbilang dekat?"
“Kenapa memilih untuk tinggal di kos, padahal rumah dan kampus berada pada kota yang sama?”
Sejujurnya saya selalu kebingungan ketika dihadapkan pada pertanyaan demikian. Saya tidak punya jawaban pasti (atau mungkin tidak ingin memberikan jawaban), sebab sampai sekarangpun saya juga menyimpan tanya ‘kenapa?’. Meski ini tepat tahun keempat saya tidak tinggal di rumah semenjak di bangku perkuliahan, tetap saja saya belum bisa menemukan jawabannya.
Lalu jika disuguhi pertanyaan,
"Apakah dengan memutuskan untuk tinggal di kos, berarti saya melepaskan kenyamanan di rumah?"
Tentu jawabannya adalah tidak. Sebab nyatanya, saya masih difasilitasi dan tidak serta merta menanggalkan apa-apa yang biasa saya dapatkan dari rumah.
Asumsi saya untuk pertanyaan-pertanyaan serupa, barangkali hal ini menjadi semacam latihan ketika nanti memilih untuk melanjutkan pascasarjana, agar bisa beradaptasi lebih cepat, agar bisa memikul tanggung jawab lebih pada diri sendiri, juga melatih hidup mandiri. Yah, meskipun sebenarnya saya juga tidak yakin apakah ini bisa menjadi jawabannya. Sebab konteks ‘mandiri’ dengan ‘difasilitasi’ tentu tidak tepat bila disandingkan.
Namun, apapun itu saya berterima kasih sekali kepada salah satu teman dekat saya, Ela Marita, yang dengannya saya berbagi atap, yang dengannya menampung segala kotak cerita, sejak semester awal hingga menginjak semester tua.
Kalau-kalau dia menyempatkan untuk membaca tulisan saya di sini: terima kasih sudah menjadi teman pada segala cuaca.
Pangkalpinang, November 2022 (menginjak hari kelima sejak pindahan ke kos baru)
5 notes · View notes
imnifit · 1 year
Text
Fase
Yang tidak kau dengar berkeluh, bukan berarti selalu tangguh.
Bisa jadi, ia sekadar tahu tempat untuk sebenar-benar jatuh.
Ia sekadar sadar ruang untuk mengaku rapuh.
Sebab adakalanya, yang ia butuhkan hanyalah sejengkal ruang untuk luka.
Di dalamnya, ia merayakan kecewa dengan cara-cara yang tak biasa.
Di dalamnya, ia mengambil cukup waktu untuk nelangsa.
Bukankah selalu tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja?
Lantas kenapa kau minta ia selalu bahagia?
Pangkalpinang, November 2022
10 notes · View notes
imnifit · 2 years
Text
Memorabilia
Membaca buku “Yang Fana adalah Waktu” mengingatkan saya bahwa hari ini tepat dua tahun berlalu kepergian Pak Sapardi Djoko Damono.
Maka, kepergian Pak Sapardi sepertinya justru menggali mimpi-mimpi lama saya dengan tidak sederhana:
2012 adalah tahun di mana kali pertama saya “mengenal” Bapak Sapardi melalui tulisan-tulisan tentang beliau, dan berakhir dengan menulis biografi Pak Sapardi untuk tugas Bahasa Indonesia sewaktu di bangku kelas 1 SMP.
2012-2013 adalah tahun di mana kali pertama saya mulai gemar mendengarkan musikalisasi puisi dan mengusulkan ide musikalisasi puisi untuk tugas akhir pagelaran seni di SMP.
2013-2015 adalah waktu saya giat berkelana di Gramedia dan toko buku di Pangkalpinang lainnya untuk mencari karya-karya Pak Sapardi, pernah ada saat dimana saya membaca salah satu bukunya dan selesai dalam kurun waktu satu hari padahal keesokan harinya adalah jadwal ujian sekolah.
2015-2017 adalah saat di mana saya mulai tergabung dalam ekstrakulikuler kepenulisan di bangku SMA dan mengikuti lomba menulis, termasuk dalam rentang waktu ini saya menulis cerita pendek dan puisi.
2018-2019 adalah tahun di mana saya bergabung di beberapa komunitas menulis daring, juga mulai menulis fiksi di situs online dan berakhir dengan mendeaktifkan akun saya di situs tersebut.
2020-sekarang adalah tahun di mana saya membuat akun tumblr dan memulai kembali menulis, meski beberapa tulisan hanya berakhir untuk diarsipkan kembali.
Buku-buku yang ditulis Pak Sapardi masih tersimpan rapi. Beberapa buku bahkan dibaca berulang kali.
Selamat jalan Pak Sapardi, “Hujan Bulan Juni”-mu abadi.
Pangkalpinang, Juli 2022
1 note · View note
imnifit · 3 years
Text
Kabar
Bunga yang kau tanam di kuntum hatiku Kau pagari puisi dan larik-larik mimpi Kembang, tepat di tahun ketiga Meski musim begitu pancaroba Meski cuaca seringkali menjelma bala
Kucabut satu Untuk kukabarkan padamu Bahwa hujan yang kau kirim dari kotamu Dan terik yang kau titipkan pada tukang pos berbaju biru : sampai di tanahku
Kucabut satu lagi Untuk kukabarkan hanya sekali Telah kurangkai ia dengan pita dan temali Kusandingkan dengan kenangan yang kau tinggal di halaman Kularung perlahan dan diam-diam Sembari kubisikan : hari ini, kita telah sepakat untuk saling melupakan.
Pangkalpinang, 2021
2 notes · View notes
imnifit · 3 years
Text
Perempuan yang Menjelma Hujan
1/ puan, langit kota kita cepat sekali berubah, ya. cerah lalu sekejap mendung, sebentar terik lalu mendadak didekap hujan.
2/ puan, terima kasih untuk lebih tabah dari hujan bulan juni.
11 notes · View notes
imnifit · 5 years
Text
Akhir dan Awal
Kamu tetap konsisten dengan ribuan tanda tanya di kepalamu.
Sedang aku tetap konsisten dengan kebungkamanku.
"Jalani saja dulu", kataku.
"Apa yang mau dijalani, kalau mengawali dengan kata 'mulai' saja kita enggan?" jawabmu.
"Bukan begitu..", kilahku.
Hening yang mengisi. Kamu terlihat menimbang-nimbang sesekali menghela napas. Tergambar sekali lelah di wajahmu kala itu.
Aku terdiam. Tersenyum getir. Mencoba mengingat-ngingat kembali rentetan cerita belakangan ini. Rumit sekali.
Kita,
Kalah.
Pada beberapa hal, kita tidak sejalan. —atau memang tidak akan pernah sejalan?
Pangkalpinang, 2019
2 notes · View notes
imnifit · 5 years
Text
Menemukanmu
Aku menemukanmu di antara rak buku yg berdebu.
Aku menemukanmu di antara tumpukan buku-buku.
Aku menemukanmu di antara padatnya perpustakaan kota kala itu.
Tidak di kerumunan keramaian seperti kebanyakan orang.
Mataku sesekali mengawasi.
Membaca gerak-gerik.
Mencoba menginvasi objek yg jadi candumu itu.
Kala kudapati netra hitammu menatap tepat di netraku,
seketika aku terperangah,
lalu alih pandang.
Malu.
Dan aku pun tergugu.
Pangkalpinang, 2019
1 note · View note
imnifit · 6 years
Text
Hujan
"Apa makna hujan bagimu?"
"Seperti yang kamu tau, aku kurang pandai merangkai makna dengan filosofis. Jadi kujawab sekenanya saja, ya. Menurutku hujan adalah momentum yang tepat untuk meresonansi ingatan masa lalu. Ketika turun hujan sebenarnya secara nggak sadar, aroma hujan, suara hujan, membawa kita pada memori lampau—semacam kilas balik gitu. Makanya ketika hujan orang-orang seringkali menjadikannya sebagai ajang untuk bergalau-galau ria."
"Memangnya begitu?"
"Kamu engga percaya?"
"Bukan begitu, sependapat dengan katamu tadi. Hanya saja menurutku selain sebagai ajang bergalau-galau ria, hujan juga bisa menjadi momentum yang tepat untuk melangitkan doa."
"Sepakat. Jadi melangitkan nama seseorang di kala turunnya hujan adalah momentum yang pas?"
"Tentu. Menyebutkan nama seseorang juga dalam rangka melangitkan doa, 'kan?"
"Sekalipun yang kusebut itu kamu?"
Pangkalpinang, 2018
0 notes
imnifit · 6 years
Text
Utuh
Tak perlu yang teramat baik Yang penting mau belajar agar terus membaik Tak perlu yang utuh Yang penting mau membersamai agar utuh
Dan ini manis.
Pangkalpinang, 2018
1 note · View note