Tumgik
megandarii · 8 days
Text
Tugas
Ayah & Ibu subuh-subuh sudah sibuk di dapur. Lalu terdengarlah percakapan ini..
Ayah: *sambil siap-siap mencuci piring* "Tugas suami mencuci piring."
Ibu: "Kalau tugas istri?"
Ayah: "Taat pada suami."
Ibu: "Jadi kalau istri nyuruh cuci piring?"
Ayah: "Suami harus mau, karena itu tugasnya."
Me: *Ngakak di ruang keluarga*
0 notes
megandarii · 10 days
Text
Badai terhebat kadang tidak harus selalu diterjang, tapi boleh ditunggu sampai mulai mereda.
0 notes
megandarii · 10 days
Text
Titik Terendah
Semalam mendapat cerita tentang seorang ibu yang mengeluhkan kehidupannya saat ini, hingga terpikir ingin mengakhiri hidup.
Dia punya tiga anak lelaki berusia 8, 4, dan 2 tahun. Ketiganya masih butuh biaya cukup besar untuk kesehariannya. Pendidikan, makan, jajan, susu, popok. Sayangnya, semua kebutuhan itu sulit terpenuhi karena suaminya bekerja sebagai driver ojek online di kota besar, dan penghasilan sebagai driver terkadang hanya cukup untuk makan dihari itu. Sementara dia sendiri tidak bekerja karena memutuskan mengasuh semua anaknya tanpa bantuan pengasuh.
Saat ini ia, suami, dan anak-anaknya tinggal bersama orang tuanya yang sudah tidak berpenghasilan. Satu rumah juga dengan adik lelakinya yang sudah bekerja. Tapi bukannya mendapat dukungan untuk melewati berbagai kesulitan yang ia hadapi, orang tuanya selalu memojokkan dia untuk segala kesusahan yang tengah dialaminya saat ini.
Hingga akhirnya, dia bercerita pada orang yang dipercayainya bahwa ia ingin menyerah. Keputusan untuk bunuh diri selalu terbayang dibenaknya.
Bukannya ditolong, orang-orang sekitarnya yang tau hal tersebut malah makin memojokkan dia karena perasaan itu. Karena keinginan untuk menyerah. Padahal disepanjang hidupnya, sebagai anak perempuan pertama, yang selalu ia utamakan adalah keluarganya. Tidak peduli seberapa lelah, ia terus bergerak untuk menjamin kebahagiaan orang tua dan adik-adiknya. Sampai di titik ia tidak lagi berdaya, semua orang masih saja berharap ia sekuat biasa.
"Kenapa menyerah sih?", "Kok nggak berusaha kreatif buat menghasilkan uang biar suaminya juga termotivasi kerja lebih keras?", "Orang lain juga ada yang lebih susah kondisinya tapi bisa melewati itu, kenapa dia nggak bisa?".
YA KARENA DIA ADALAH DIRINYA SENDIRI DAN BUKAN ORANG LAIN.
Betul, dia harusnya nggak menyerah. Tapi apa dia nggak boleh merasa lelah saat telah lama berada di titik terendah? Bolehkah ada seseorang yang bisa bantu dia memvalidasi perasaannya dan bukan menghakimi apa yang ia inginkan saat ini? Mengatakan kalau dia boleh berhenti sebentar, bahkan untuk sekedar bernafas. Bahwa menjadi lemah bukanlah dosa. Bahwa tidak apa-apa merasa kalah, akan selalu ada kesempatan untuk mencoba lagi. Bahwa sekalipun ia mesti bertahan, itu bukan demi orang tua, suami, atau anak-anaknya, tapi DEMI DIRINYA SENDIRI.
Mungkin yang paling ia inginkan saat ini adalah didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak dapat diberikan orang-orang di sekitarnya karena terlalu terbiasa melihat dia jadi yang paling bisa diandalkan.
Memang terkadang, kita dan pikiran kita yang merasa paling benar tidak mampu menjangkau perasaan orang lain.
0 notes
megandarii · 1 month
Text
Memilih Duka
Setelah begitu banyak hari dilewati untuk saling memahami
yang aku temukan hanyalah kita yang memilih jalan berbeda
Kamu bilang, tapi cinta masih sama
Namun cinta dan sekedar terbiasa memang kadang nampak serupa
Setelah begitu banyak hari dilewati untuk saling memahami
Bolehkah aku menolak untuk lebih banyak terluka?
Bisakah aku memilih kehilangan sebagai obatnya?
Aku lebih dari tahu bahwa dukaku kadang tak sesuai seleramu
Tapi inilah aku yang tak lagi ingin menolak alpa dari derita
Memilih duka yang masih bisa kutakar penawarnya
Kini, dari semua rencana kepergian yang pernah tertunda
biar aku tuntaskan salah satunya
Dan semoga usahaku tetap hidup tidak lantas membunuhmu
0 notes
megandarii · 2 months
Text
Tapi masalahnya, rasa sayangmu sama seseorang bakal selalu bikin kamu begitu peduli sama dia. Sama kesehatannya, sama keperluannya, terlebih sama perasaannya.
1 note · View note
megandarii · 2 months
Text
Kala Hujan-6
April 2013
Jangan ajari Alan arti sabar, sudah lebih dari satu bulan ia menahan diri untuk bicara dengan Hujan yang masih dengan konsisten mendiamkannya. Sebelumnya, ia merasa sudah sangat mengenal Hujan, tapi kali ini ia jauh dari mengerti. Pada akhirnya Alan hanya diam di tempat, tidak mencoba dekat ataupun pergi. Hujan sendiri terlalu gengsi untuk meminta Alan kembali. Bagi Hujan, ini masalah harga diri. Sementara untuk Alan, jaga jarak dengan Hujan adalah hal paling tepat yang bisa dilakukan lelaki sejati dalam situasi ini.
Karena itu, Alan makin sering menghabiskan waktu bersama teman-teman lainnya. Sabtu ini pun mereka berencana tracking ke Gunung Papandayan, menginap di sana barang semalam. Alan butuh waktu menjernihkan pikiran, melepaskan Hujan untuk sejenak, jadi ajakan itu mustahil ia lewatkan. Sementara Hujan, makin menyibukkan diri dengan kegiatan UKM Jurnalistik yang ia ikuti sejak tahun lalu. Setiap hari pulang larut malam karena harus kuliah dan meliput, kemudian menulis berita. Sampai di kostan hanya sempat mandi dan makan, lalu langsung tertidur lelap karena kelelahan. Tidak sempat untuk mengkhawatirkan hatinya sendiri.
Sabtu ini, Hujan tau Alan dan teman-temannya akan pergi naik gunung. Salah satu anggota rombongan yang akan berangkat mengajak Hujan ikut serta, namun Hujan menolaknya. Ia belum siap menghadapi Alan. Alhasil, agenda Hujan diakhir pekan hanyalah menghabiskan waktu di kostan, dengan setumpuk bacaan yang sudah ia siapkan hasil meminjam dari perpustakaan. Menjelang sore, Hujan menyalakan televisi, mencari channel berita. Seorang jurnalis tidak boleh ketinggalan isu-isu terkini, menurutnya. Hingga muncullah berita tentang bencana kebakaran hutan di Gunung Papandayan. Kebakaran tersebut baru saja terjadi, dan yang ada dipikiran Hujan hanyalah Alan. Refleks Hujan mengambil handphone dan menelepon nomor Alan. Tapi tidak ada jawaban. Hujan berusaha menelepon teman-teman lainnya, tapi nihil. Tak satupun bisa dihubungi. Yang kemudian terlintas dipikiran Hujan adalah Keenan.
"Halo, Keenan."
"Ya?"
"Help."
"Ann? Are you ok? Tenang dulu. Ada apa?"
"Alan. Papandayan. Kebakaran," jawab Hujan terbata.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, Keenan memahami perkataan Hujan. Ia tau Alan dan teman-temannya tengah mendaki sejak pagi ini. Dan... Papandayan, kebakaran, tak elak ia membayangkan hal-hal buruk terjadi.
"Kamu di mana?"
"Kostan."
"Kamu siap-siap. Aku ke sana sekarang, jemput kamu."
Bermodalkan mobil pinjaman salah seorang teman, Keenan dan Hujan berangkat menuju Garut. Sebagai ketua angkatan, Keenan merasa perlu memastikan kondisi teman-temannya. Tapi sebagai mantan, entah kenapa Keenan ingin membantu Hujan memastikan kondisi pria yang secara tidak sadar sangat disayanginya.
Dalam perjalanan sejauh 96 KM dengan waktu tempuh lebih dari 3 jam, Keenan dan Hujan tak saling bicara. Menjelang maghrib keduanya baru tiba di pos pertama. Berkat berita kebakaran sore tadi, situasinya jadi cukup ramai. Keenan dan Hujan turun dari mobil dan bergegas menuju pusat informasi. Namun sayang, informasi yang mereka dapatkan hanya sebatas, 'rombongan teman-temannya belum kembali karena tidak ada satupun laporan tentang mereka sampai saat ini'. Hujan merogoh handphone dari dalam tas, berusaha menghubungi Alan, lagi. Tapi gagal. Ia sendiri kesulitan mendapat sinyal. Kondisi itu hanya membuatnya makin frustrasi.
"Tenang. Kita tunggu dulu. Mungkin mereka dalam perjalanan turun," Keenan berusaha menenangkan.
"Tapi sekarang sudah hampir malam, Nan. Gimana kalau ternyata mereka terjebak di sana karena asap?"
"Mereka bakal baik-baik aja. Percaya sama aku."
"Nan, kita nggak bisa ke atas aja, ya? Minta izin, Nan. Kita harus cari mereka."
"Nggak bisa, Ann. Bukan gitu cara kerjanya."
"Tapi mereka nggak bisa dihubungi. Sampai sekarang belum ada kabarnya. Nan, kalau mereka kenapa-napa gimana?" Hujan mulai menangis, membayangkan hal buruk menimpa Alan membuat hatinya nyeri.
"He's gonna be okay. I promise," Keenan mengelus bahu Hujan. Melihat Hujan menangisi pria lain bukan sesuatu yang ingin ia hadapi saat ini, tapi kakinya menolak pergi.
Satu jam. Dua jam. Hari sudah gelap. Tidak satupun wajah dari teman-temannya yang terlihat di antara rombongan pendaki yang turun gunung.
"Kamu tunggu aja di mobil. Aku keluar sebentar cari informasi."
Hujan hanya mengangguk setuju.
Keenan berjalan menuju pos informasi, sampai kemudian, Keenan melihat seseorang yang ia kenal. Diki, teman sekelas Hujan.
"Diki!" Panggilnya lantang sembari berlari.
Mendengar namanya dipanggil, Diki menoleh. "Lho, kok ada di sini, Nan?"
"Gua liat di berita, terus buru-buru ke sini bawa mobil. Kalian gimana?" Keenan menepuk-nepuk bahu Diki dengan raut khawatir.
"Kami berhasil turun, tapi Alan..." kalimat Diki menggantung.
"Alan kenapa?"
"Kakinya terkilir karena jatuh saat berusaha lari. Makanya kami butuh waktu cukup lama buat turun dari lokasi camp ke sini."
"Oh, God. You scared me," Keenan menghela nafas lega.
"Yang lain di pos, buat laporan. Alan lagi diobati di ambulan sebelah sana," Diki menunjuk salah satu ambulan tak jauh dari pusat informasi.
"Syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Ann di sini, biar gua antar dia ketemu Alan dulu, ya."
"Ok. I'll see you later."
Keenan bergegas menghampiri Hujan, "Mereka selamat."
"Really? Oh thanks God. Mereka di mana sekarang?"
Tanpa menjawab, Keenan membuka pintu mobil, menarik lengan Hujan, membawanya bertemu Alan.
Alan masih berada di ambulan. Kakinya hampir selesai dibebat oleh salah seorang perawat. Hujan yang melihat Alan lantas berlari menghampiri. Di detik yang sama, genggaman tangan Keenan terlepas dan langkahnya terhenti.
"Alan!" panggil Hujan dari kejauhan.
"Hujan?"
Sesampainya di hadapan Alan, yang Hujan lakukan hanya satu, memeluknya.
"I'm okay," kata Alan setelah beberapa saat.
Hujan melepas pelukannya. Matanya memerah, hidungnya basah, pipinya sudah dibanjiri air mata.
"Jelek banget ya kamu kalau lagi nangis," canda Alan sambil tertawa. Satu tangannya mengelus kepala Hujan.
"Kamu nggak apa-apa? Yang lain mana?"
"Kakiku cuma terkilir. Yang lain aman. Mereka lagi laporan di pos. Kamu kok bisa ke sini?"
"Sama gua, Lan," jawab Keenan sambil berjalan menghampiri.
Alan tak mampu mengantisipasi situasi ini, jadi ia tak bisa merespon dengan kata-kata, hanya wajahnya yang menyiratkan kebingungan.
"Syukur kalian nggak apa-apa. Kami khawatir banget waktu dengar beritanya."
"Thank you, anyway."
"Well, gua ketemu anak-anak dulu ya," Keenan meninggalkan Alan dan Hujan.
"Kok bisa sama Keenan?" tanya Alan setelah memastikan Keenan menjauh.
"Kalian sama sekali nggak bisa dihubungi, satu-satunya yang terpikir cuma Keenan. Setelah aku telepon dia langsung jemput dan ngajak aku ke sini."
"Kupikir dia marah sama aku."
"Mungkin dia ke sini buat mastiin kondisi anak-anak sebagai ketua angkatan."
"Kamu udah nggak marah sama aku?"
"Gimana bisa aku marah saat yang aku bayangin adalah kamu terjebak di atas sana tanpa bantuan?"
Alan tersenyum lembut, "Aku kehilangan kamu. Kangen kita yang dulu," pinta Alan dengan wajah memelas.
Hujan ingin bilang, 'Aku juga kehilangan, kangen kamu, tapi bukan lagi sebagai teman.'
Otak dan hatinya tidak sedang selaras, jadi yang terucap dari mulut Hujan hanya, "Aku juga."
Alan tersenyum, satu tangannya refleks merengkuh Hujan dalam dekapan. Antara lega atau semakin mempertegas luka, Alan tidak peduli. Ia hanya ingin Hujan ada, entah dengan status apa. Pintanya saat ini hanya untuk bersama Hujan, selama yang ia bisa usahakan.
Dari kejauhan, Keenan menyaksikan bagaimana Hujan dan Alan berbaikan. Meskipun sudah berstatus mantan, ada perasaan tidak rela yang mencuat ke permukaan. Namun Keenan juga sadar, bahwa sejak awal, melepaskan Hujan adalah jenis kekalahan yang tidak bisa ia tawar.
Rangkasbitung, 6 Maret 2024
Find the previous story here:
2 notes · View notes
megandarii · 3 months
Text
Kala Hujan-5
Maret 2013
Hujan kira, Keenan akan seperti pria-pria sebelumnya yang hanya singgah dan kepergiannya tak bisa dicegah, lalu bisa Hujan lupakan dengan mudah. Ternyata tidak. Hujan tidak pernah menduga bahwa akan ada saat di mana pria yang membuatnya merasa jatuh cinta juga bisa meninggalkan luka saat kebersamaan mereka telah tiada. Seperti saat Keenan melangkah pergi tanpa pernah menoleh lagi.
Ini sudah bulan ketiga. Hujan masih sering berpapasan dengan Keenan pada beberapa kesempatan. Di lorong kelas, di kantin, di parkiran, di perpustakaan, di jalanan, pertemuan mereka nyaris tak terhindarkan. Keenan tak pernah sengaja menghindar, namun ia memperlakukan Hujan seperti kasat mata. Dan bagi Hujan, melihat Keenan nyaris setiap hari tak pernah tidak membuat hatinya nyeri.
Alan menyaksikan sendiri bagaimana Hujan menghadapi dampak perpisahannya kali ini. Hujan tak seperti biasanya. Hujan terluka, tapi tak berusaha untuk sembuh. Ia terjebak dalam perih yang dipelihara dalam hatinya. Alan tak berani bertanya, hanya menebak-nebak alasannya.
Siang ini, kelas terakhir dibatalkan. Alan berencana mengajak Hujan makan siang bersama, lagi. Entah ini kali keberapa, tapi untuk hari ini Alan tidak mengharapkan penolakan lainnya. Ia butuh bicara.
"Hujan," panggil Alan.
"Ya?" jawab Hujan sambil sibuk membereskan buku dan laptopnya ke dalam tas.
"Lunch? With me?"
Pergerakan Hujan terhenti. Ia nampak berpikir, kemudian menjawab, "Sure."
Alan mengajak Hujan makan siang di kafe dekat gerbang kampus. Alasannya sederhana, ada jus stroberi favorit Hujan di sana, Alan berharap itu bisa sedikit menjadi penghiburan bagi Hujan yang selalu mendung akhir-akhir ini.
"Susah banget ngajak kamu makan siang bareng, berasa temenan sama seleb nih jadinya," canda Alan membuka percakapan.
"Maaf ya, Lan," jawab Hujan murung. Ia bahkan tidak berusaha untuk berpura-pura baik-baik saja di depan Alan.
"Kamu masih sedih putus sama Keenan?"
Hujan menghela nafas, "Nggak tau. Awalnya terasa lega, tapi lama-lama rasanya hampa."
"Kupikir kamu selalu punya cara untuk sembuh?"
"Kukira juga begitu. Sebelumnya selalu mudah, mungkin karena terasa hanya seperti sedang membuang sampah."
"Dan sekarang?"
"Sampahnya aku sendiri, Lan," jawab Hujan sembari tersenyum getir.
Alan tidak bertanya lagi. Tapi kali ini ia tau satu hal, Hujan menyesal, entah karena apa.
TRINGGG...
Terdengar dering lonceng tanda pintu kafe terbuka. Pandangan Alan refleks tertuju ke arah pintu masuk tak jauh dari tempat duduknya. Keenan melenggang masuk dan langsung menuju konter pemesanan.
"Keenan di sini. Are you okay? Should we go?" Alan bertanya dengan nada sepelan mungkin.
"Di mana?" Hujan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe dan menemukan sosok yang ia cari. Keenan berdiri di depan konter menunggu pesanannya disajikan. Mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hitam dengan kancing yang dibiarkan terbuka, inner putihnya nampak serasi dengan kemeja hitam dan celana jeans warna dark denim dan ransel hitam yang ia selempangkan asal-asalan. Tubuh tingginya menjulang dengan punggung tegap dan bahu lebar. Keenan tetap tampan bahkan saat sudah berstatus mantan, pikir Hujan. Untuk sekian detik, Hujan hanya terdiam melihat Keenan di kejauhan. Sampai kemudian mata Keenan menemukan Hujan yang tengah memandanginya. Hujan refleks menunduk. Ia tau, tidak ada yang bisa ia lakukan. Keenan bahkan tak sudi menganggap dirinya ada.
Di luar ekspektasi, Keenan datang menghampiri. Tanpa sadar, Alan menegapkan posisi duduknya, seolah siap pasang badan seperti Keenan adalah ancaman.
"Hai," sapa Keenan singkat.
"Hai," Hujan menjawab pelan.
"On a date?"
"Iya," jawab Alan cepat.
Mata Hujan membelalak, lantas lekas mengoreksi, "Hah? Nggak."
Keenan menunjukkan ekspresi bingung.
"Ada perlu apa ya?" Alan bertanya tenang.
"Oh, nggak. Just wanna say hi, since we're friends."
"Nan, we're not on a date," Hujan masih berusaha meluruskan kesalahpahaman.
Sambil tersenyum, Keenan menjawab dengan nada menyindir, "But you look good together. Congrats."
"Thank you. Tapi kayaknya kami harus pergi duluan, ada keperluan lain," Alan berdiri, mengambil tasnya dan menarik Hujan untuk mengikutinya. Meninggalkan Keenan yang belum beranjak. Hujan yang tidak berniat menimbulkan huru-hara hanya bisa pasrah mengikuti.
Setelah agak jauh dari kafe, di taman yang cukup sepi, Hujan berusaha melepaskan pegangan Alan, "Lepas! Kamu apa-apaan sih?"
Alan ikut terhenti. Berbalik dan memandangi Hujan yang nampak marah.
"Aku cuma nggak mau kamu terluka."
"Perasaan aku bukan tanggung jawab kamu. Sekarang, gara-gara kamu Keenan jadi makin salah paham tentang hubungan kita."
"Makin salah paham? Maksud kamu?"
Hujan ragu, tapi akhirnya menjawab, "Keenan minta putus karena kamu."
"Tunggu. Kenapa aku?"
"Dia kira ada sesuatu antara kita."
"Lalu?"
"Dia minta aku berhenti berteman sama kamu. Tapi..."
Alan menunggu.
"Tapi aku nggak mau."
"Kenapa?" kejar Alan.
"Aku... Aku cuma nggak mau kehilangan kamu."
Sepintas, Alan teringat Mentari, bagaimana Mentari bisa melihat betapa ia mencintai Hujan. Sekarang, ia tau Keenan bisa melihat hal yang sama. Satu-satunya yang tidak menyadari itu hanya orang yang sangat perlu tau perasaan Alan. Hujan.
"Tapi akhirnya kamu kehilangan Keenan. Are you okay with that?"
Hujan tidak menjawab.
"Ternyata aku nggak baik-baik aja tanpa Keenan."
"Lantas?"
"Aku juga nggak tau, Lan. Aku bingung."
"Sekarang kamu berharap aku berbuat apa disituasi ini?"
Seperti saat menghadapi pertanyaan Keenan, Hujan hanya bisa tertunduk tanpa jawab. Saat bersama Keenan, ia takut kehilangan Alan. Sekarang, di depan Alan, ia dengan lantang menyatakan penderitaannya berpisah dari Keenan.
"Aku butuh waktu sendiri." Lalu Hujan bergegas pergi.
Alan mematung. Ia bisa melihat kemarahan, kebingungan, bercampur kecewa di mata Hujan. Sesuatu yang jarang ia lihat. Sesuatu yang tidak bisa ia antisipasi dengan reaksi apapun. Memang ada hal yang masih tidak ia ketahui, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk mencari. Hujan butuh waktu, dan ia hanya perlu bersabar untuk itu.
Rangkasbitung, 30 Januari 2024
Find the previous story here:
0 notes
megandarii · 3 months
Text
Kita bisa merencanakan segala hal, mengusahakannya, mengharapkannya jadi nyata meski lama. Tapi satu yang tidak berada dalam jangkauan kita, takdir.  
1 note · View note
megandarii · 7 months
Text
Surat yang Tidak Akan Pernah Sampai
Apa kabar kamu? Aku hanya mencoba menyapa seperti sapaan pembuka surat pada umumnya. Selain itu, lama tidak berjumpa membuatku wajar bertanya kabar, bukan? Kabarku baik. Jauh lebih baik dari yang bisa aku harapkan. Kamu tahu, sejak dulu aku memang tidak pandai berharap pada apa-apa yang tidak pasti, dan kamu adalah salah satu ketidakpastian itu sendiri. Sudah berapa lama, ya? 8 tahun? Semoga kamu tidak lagi bertanya-tanya tentang kekitaan kita yang saat itu tiba-tiba tiada. Dengan surat ini, aku hanya ingin kamu tahu, aku sudah bahagia, dan kuharap kamu juga. Kita sudah banyak terluka, saatnya berhenti lupa cara menyayangi diri sendiri. Aku sudah bersama seseorang, bukan penggantimu. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu. Dia berbeda. Dia tidak menjadikan dirinya alasan kebahagiaanku, tapi mengajariku cara berbahagia. Hingga saat dia tak lagi ada, aku tidak kehilangan segalanya. Dia sebuah ketidakpastian. Tapi dia adalah ketidakpastian yang tidak membuatku menunggu. Maaf untuk masa lalu. Terima kasih telah jadi bagian dari masa itu dan tetap ada di sana. Kuharap bahagia tidak pernah meninggalkanmu, cukup aku. Yang tak lagi menunggu kamu, Megandari
Randomly menemukan tulisan ini. Tulisan yang dikirim buat event menulis dari salah satu penerbit indie bulan Mei lalu, dengan tema "Surat: Untuk yang Telah Pergi". Karena ngga menang, at least bisa debut di sini lah yaaa.
0 notes
megandarii · 8 months
Text
Rahmat Semesta
hari ini ketemu salah seorang saudara jauh yang kebetulan sedang berkunjung karena urusan pekerjaan. sebut saja tante Y. tante Y ini sudah menikah puluhan tahun dan tidak dikaruniai keturunan hingga memasuki masa menopausenya, yang artinya nyaris mustahil kalau sekarang masih berharap punya keturunan. aku tau cerita itu sejak lama, dan dari dulu selalu merasa bersimpati sama beliau dan suaminya. kasian banget yaa, pikirku.
sampai aku mengalaminya sendiri.
ternyata ngga punya anak tuh ya ngga kasian-kasian amat. tanteku dan suaminya ini punya karir yang oke. financially stable karena dua-duanya punya jabatan mentereng di tempat kerjanya masing-masing. hidup mereka ga sesedih yang dibayangin orang-orang, termasuk aku.
hari ini, aku dapat cerita lain tentang tante Y. ternyata sekarang beliau ngurus beberapa saudaranya. di rumahnya ngga cuma berdua, tapi ada adik iparnya yang bawa dua anak, ada keponakannya yang lain juga dari adiknya yang sudah meninggal. semua tinggal di rumahnya, dicukupi kebutuhan-kebutuhannya sama beliau dan suami. ahh, hebat sekali.
mungkin rejeki tante Y bukan datang dalam wujud anak, tapi dalam bentuk yang lain. kemampuan untuk memberi, membantu saudara-saudaranya. dan itu hal yang luar biasa.
sebagai manusia, bukankah menjadi rahmat bagi semesta juga sangatlah berharga?
4 notes · View notes
megandarii · 9 months
Text
kalau kamu tidak terlalu berharga, memang lebih mudah bagi orang lain memperlakukanmu semena-mena.
2 notes · View notes
megandarii · 11 months
Text
Tuhan, kalau sudah dihajar kesulitan sebegini banyak, aku nanti dapat banyak kesenangan juga kan ya?
6 notes · View notes
megandarii · 11 months
Text
Kala Hujan-4
Desember 2012
Waktu terus berganti, Alan sudah mulai terbiasa tanpa Mentari. Kedekatan mereka beberapa bulan ini bukan tanpa arti, sesedikit apapun, tetap saja meninggalkan bekas. Alan tidak mencoba memahami, malah ia sangat mengerti saat Mentari memilih pergi. Justru ia mengagumi keputusan itu. Keberanian Mentari. Sambil juga meratapi betapa pengecutnya ia di hadapan Hujan. Ia yang tidak berusaha menggapai ataupun pergi. Ia yang merasa cukup hanya dengan dekat.
Sore itu, kelas terakhir selesai pukul 5.
“Tugas desain poster belum selesai nih. Bantuin dong, Lan. Di kostanku aja ya. Aku traktir bubur ayam keju deh, oke?”
“Denger ya, Hujan, nggak ada desainer grafis yang honornya dibayar pake bubur ayam keju.”
“Astaga perhitungan amat sama temen?” Hujan merengut, tapi tetap menyeret Alan yang memasang tampang sebal keluar kelas. 
Di perjalanan menuju kost Hujan.
“Ann, kamu sering ketemu Keenan? Aku jarang banget liat kalian bareng-bareng di kampus."
"Nggak tiap hari sih. Jadwal kuliah kelas B kan beda walaupun kita satu jurusan."
"Kalau weekend?"
"Dia biasanya ada kegiatan komunitas."
"Ketua himpunan jurusan, aktif di unit kegiatan mahasiswa, rajin ikut kegiatan komunitas juga. Dia itu sibuknya udah ngalahin presiden.”  
“Hiperbola ih.”
“Kamu kok kuat ditinggal-tinggal dan dicuekin terus sama dia? Waktu kamu sakit aja dia nggak datang.”
"Namanya juga cinta."
"Kok bisa cinta?"
"Dia ganteng."
"Hmmm."
"Baik."
"Oke."
"Cerdas."
"Yaaa iya sih."
"Ngobrolnya seru."
"Well..."
"Berkarisma."
"Wow."
"Romantis."
"Duh..."
"Hahaha. Apa sih, Lan?"
"Tapi dia nggak selalu ada buat kamu, Hujan. How can it works?"
Sebelum Hujan sempat menjawab, langkah mereka sudah sampai di depan pintu kost.
"Yuk masuk."
Alan melepas sepatu dan melangkah masuk mengikuti. Hujan sibuk membereskan meja belajarnya dan mulai membuka laptop, bersiap mengerjakan tugas desain poster yang mesti dikirimnya malam ini.
“Keenan memang baik. Ganteng. Smart. Tapi bukan tipikal laki-laki yang bisa dipacarin cewek manja kayak kamu.”
“Berisik ah. Udah sini bantuin. Kamu sih enak udah submit, pokoknya aku mesti submit tugas ini sebelum jam 10.”
Sepanjang sisa sore itu keduanya larut dalam diskusi tentang tugas desain poster milik Hujan sambil menikmati coklat panas dan bubur ayam keju yang dijanjikan. Pengerjaannya jadi sangat lama karena Hujan tipikal yang perfeksionis. Menjelang pukul 8 malam ia baru selesai mengirim tugasnya.
“Aku pulang, ya,” Alan membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Hujan mengantar sampai ke depan gerbang. Setelah melihat punggung Alan menjauh dan hendak menutup pintu gerbang, dari arah lain Hujan melihat sosok yang tidak asing berjalan mendekat.
“Ann…” panggil Keenan sambil melambaikan tangan dengan riang.
“Kamu ngapain ke sini jam segini?” tanya Hujan saat Keenan sudah benar-benar di hadapannya.
Keenan tersenyum sambil mengelus pelan rambut Hujan yang tergerai, “Kangen.”
Hujan tersipu, “Masuk yuk. Aku buatin coklat panas.”
Secangkir coklat panas sudah tersaji. Keenan dan Hujan duduk berhadapan di dekat tempat tidur.
“Katanya hari ini rapat persiapan acaranya sampai larut malam?”
“Nggak, ternyata bisa selesai lebih cepat. Ketua panitianya lagi kangen pacar.”
Tak elak Hujan tertawa mendengar jawaban manis dari Keenan, “Itu jawaban dari laki-laki yang baru satu bulan pacaran, nggak tau deh kalau udah satu tahun.”
“Kalau udah satu tahun, aku yakin kamu bakal diabetes.”
Obrolan mereka malam itu terus berlanjut. Keenan yang memang satu jurusan dengan Hujan punya banyak topik untuk dibicarakan, organisasi, mata kuliah, bahkan sampai menggosipkan dosen. Namun, di tengah obrolan seru itu, tiba-tiba mereka mendengar suara jendela kamar yang bergetar, lantai yang mereka duduki pun rasanya seperti bergoyang. Keenan buru-buru mengajak Hujan keluar kamar karena langsung menyadari sedang terjadi gempa bumi. Sesaat setelah mereka berada di luar, handphone yang tengah digenggam Hujan berdering.
“Iya, Lan?”
“Keluar kamar sekarang! Gempa!”
“Iya aku udah di luar kok ini.”
“Jangan dulu masuk ya. Khawatir gempa susulan. Tunggu di luar, aku ke sana sekarang.”
“Aku sama Keenan.”
Tidak terdengar jawaban dari Alan selama beberapa detik.
“Lan, halo?”
“Oh, oke, good then. Kamu hati-hati, ya.”
Klik. Panggilan Alan berakhir.
“Siapa?” Keenan bertanya dengan mimik penuh selidik.
“Alan.”
“Kenapa dia telepon?”
“Nyuruh aku keluar karena gempa. Mungkin dia takut aku lagi tidur makanya telepon.”
“Kenapa dia perlu khawatir sama kamu?”
Hujan tidak langsung menjawab.
“Aku pulang sekarang, udah malam,” kata Keenan kemudian. Ia bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas.
Sebelum keluar dari kamar, Hujan menahan langkah Keenan, “Kamu kenapa sih tiba-tiba kayak gini?”
“Aku nggak suka Alan tiba-tiba telepon kamu kayak tadi. Memangnya dia siapa berhak khawatir sama kamu?”
“Terus kalau dia khawatir itu jadi salah aku?”
“Nggak, itu bukan salah kamu. Makanya sekarang aku mau ke tempat Alan dan bilang sama dia kalau dia nggak perlu khawatir lagi karena sekarang kamu udah punya aku.”
“Kamu cemburu? Kamu juga kan tau aku sama Alan nggak ada apa-apa.”
“Awalnya aku pikir juga begitu. Kalian nggak pernah keliatan dekat di kampus. Tapi satu bulan ini aku baru sadar seberapa dekat kamu sama dia.”
“We’re just friend, that’s it.”
“Kalau gitu, nggak masalah kan kalau aku temui dia dan nyuruh dia buat berhenti dekat-dekat sama kamu?”
Hujan menunduk, tidak menjawab.
“Oke, kalau pertanyaan tadi sulit buat dijawab, aku punya pertanyaan lain. Kamu minum dua gelas coklat panas sebelum aku datang?”
Hujan mengerjap, menatap mata Keenan yang sudah kehilangan kelembutannya. Ia baru menyadari kalau Keenan pasti melihat gelas coklat panas bekas Alan yang belum ia bereskan.
“Siapa yang datang ke sini sebelum aku, Ann?”
Hujan hanya kembali menunduk, entah karena takut atau mulai merasa bersalah.
“Alan? Alan tadi habis dari sini?”
Akhirnya Hujan mengangguk. Hujan tau, sia-sia saja berbohong pada Keenan, ia terlalu teliti untuk bisa dikelabui dengan jenis kebohongan apapun.
“Kamu nggak merasa perlu bilang sama aku tentang itu?”
“Dia ke sini karena aku minta, Nan. Tugas desain posterku belum selesai dan aku minta bantuan dia.”
“Kenapa nggak minta sama aku? Pacar kamu.”
“Kamu yakin bisa bantu? Bahkan saat aku sakit pun kamu nggak datang. Kamu memilih sibuk sama semua kegiatan organisasimu itu.”
“Setidaknya kamu bisa bilang kan? Kamu bahkan nggak ngasih aku kesempatan berusaha.”
“Karena aku tau itu percuma. Aku bosan ngemis-ngemis perhatian kamu.”
“Oh, jadi sekarang aku yang salah?”
Hujan kembali terdiam. Ia terlalu takut menghadapi kemarahan Keenan.
Tanpa menunggu jawaban Hujan, Keenan keluar dari kamar dan meninggalkan Hujan yang masih tidak bergerak dari tempatnya. 2 jam berlalu, Hujan berharap Keenan menghubunginya, tapi handphone yang sedari tadi dalam genggamannya tak menunjukkan tanda ada pesan atau telepon masuk. Dengan tergesa, ia mengambil jaket, handphone dan dompet. Bergegas menuju kost Keenan.
Malam kian larut, jalanan mulai sepi, Hujan sampai di kost Keenan. Ia mengetuk pintu. Keenan nampak cukup terkejut dengan kedatangan Hujan yang tiba-tiba.
“Aku mau bicara.”
“Di dalam aja.”
Hujan duduk di dekat pintu, “Aku minta maaf.”
“Itu aja?”
“Kamu mau aku gimana?”
“Telepon Alan sekarang, bilang kalau dia nggak perlu khawatir sama kamu, bilang kalau kamu nggak butuh dia lagi.”
“Nan, masalah utama kita itu bukan Alan.”
“Jadi menurut kamu siapa yang salah dalam hubungan kita? Aku? Karena aku terlalu sibuk dan kamu merasa diabaikan?” cecar Keenan.
“Sekarang kamu punya bahuku untuk bersandar, Ann. Ada pelukku yang siap menenangkan kamu. Ada tanganku yang bersedia menggenggam tanganmu. Bisa nggak, berhenti bergantung sama Alan? Cukup aku.”
Hujan memang menyayangi Keenan, tapi melepaskan Alan tidak nampak seperti pilihan. Pun ia tidak merasa ada yang salah dengan persahabatan mereka.
Lama Hujan tidak menjawab. Keenan mencoba cukup sabar untuk menunggu.
“Kalau kamu benar sayang aku, harusnya pertanyaan itu nggak terlalu sulit untuk kamu jawab.”
Hujan menyadari kebenaran dari ucapan Keenan. Itulah mengapa yang bisa ia lakukan kemudian hanya meminta maaf.
“Aku memang salah karena nggak memprioritaskan kamu. Tapi apa itu berarti kamu boleh cari perhatian dari pria lain?”
“Nan, sudah aku bilang kalau aku sama Alan itu cuma berteman.”
“Bukan itu jawaban yang aku butuhkan.”
Sebenarnya Keenan sudah dapat jawabannya. “Aku rasa kita memang nggak seharusnya sama-sama, Ann. Aku bukan sosok yang kamu butuhkan, dan aku tidak cukup bodoh untuk memaksakan hubungan semacam ini.”
Hujan menghela nafas. Terasa sesak, tapi ia sudah tidak ingin menangis. Antara lega, tapi juga nelangsa. Hujan bahkan sulit mengidentifikasi perasaannya sendiri.
Keluar dari kost Keenan, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Setelah berjalan kaki cukup lama, Hujan tak kunjung menemukan angkutan umum untuk pulang. Satu-satunya yang bisa terpikir olehnya hanya menelepon Alan.
“Ya, Hujan?” tanya suara dari seberang sana dengan nada mengantuk.
“Udah tidur, ya?”
“Baru sebentar. Kenapa?”
“Bisa jemput aku nggak? Aku dekat kost Keenan, mau pulang tapi angkutan umum udah sepi.”
“Tunggu di sana. Aku berangkat sekarang.”
Bahkan tanpa bertanya lagi, Alan bergegas menjemput Hujan.
“Ojek, Neng?” canda Alan sesampainya di depan Hujan yang tengah duduk sendirian di depan warung pinggir jalan.
Hujan hanya tersenyum, tapi Alan menangkap emosi lain dari ekspresi Hujan saat itu. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh orang yang betul-betul memahami Hujan dan kerumitan perasaannya. Tanpa kata, Hujan duduk diboncengan motor Alan.
Sepanjang perjalanan, Alan yang biasanya cerewet tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan Hujan sendirian bersamanya. Ia tahu sesuatu telah terjadi, dan Hujan butuh waktu untuk mencerna itu.
“Sudah sampai, Neng. Ongkosnya pake coklat panas juga boleh.”
“Iya,” jawab Hujan singkat, bukan mengomel seperti biasanya.
Alan mengikuti Hujan ke dalam, menunggu segelas coklat panas buatan Hujan. Bukan karena benar-benar ingin minum coklat panas, ia hanya tidak ingin Hujan seorang diri dalam situasi ini.
“Nih,” tak sampai 5 menit, coklat panas yang ditunggunya sudah tersaji.
“Thank you.”
“Kamu kok nggak tanya apa-apa?” Hujan bertanya sambil mengambil posisi duduk di sebelah Alan.
“Aku penasaran. Tapi mungkin lebih baik aku nunggu kamu sendiri yang cerita.”
“Aku putus sama Keenan.”
“Bukan karena aku telepon kamu pas gempa tadi kan?”
Hujan menoleh. Sedetik ia berniat jujur, tapi kemudian ia sadar hal itu mungkin akan membuat Alan menjauhinya.
“Nggak. Dia tau kalau aku keberatan dengan kesibukan dia. Dia tau aku mengharapkan hal lain yang nggak bisa dia penuhi. Yah, semacam itulah.”
“Kamu sedih?”
“Nggak tau. Aku sedih, tapi juga lega. Menyayangi Keenan rasanya kadang melelahkan. Kupikir harusnya cinta nggak gitu. Iya kan, Lan?”
‘Menyayangimu bahkan menyakitkan, Hujan. Tapi aku yang bodoh ini terus saja merasa nggak punya pilihan.’
Pada akhirnya Alan memilih tidak menjawab dan ikut tenggelam di dalam hening yang Hujan ciptakan. Ia tau, bukan tugasnya memberi nasihat bijak seputar mengobati patah hati, karena ia juga gagal mengobati dirinya sendiri. Alan menunggu Hujan menangis, karena itu yang biasanya terjadi setelah kata putus disepakati. Hujan terlalu rapuh untuk sebuah perpisahan. Benar saja, hanya butuh beberapa menit, tangis Hujan mulai terdengar. Kali ini ia tidak menahannya, Hujan menangis tergugu. Alan mendaratkan tangis Hujan di dadanya. Membiarkan bajunya basah oleh air mata, menahan dirinya sendiri untuk tidak ikut hancur.
‘Beginikah cara yang tepat menyayangi Hujan? Dengan membiarkannya jatuh berkali-kali?’
Alan masih tidak tau jawabannya.
Rangkasbitung, 19 Juni 2023 
Find the previous story here:
1 note · View note
megandarii · 11 months
Note
Hai Gadis Hujan :)
Halooo follower gadis hujan, miss me? :D
0 notes
megandarii · 11 months
Text
Kala Hujan-Part 3
Agustus 2012
Alan sedang dalam sebuah misi. Ia tengah fokus pada program de-hujan-i-sasi, alias proses menghilangkan segala tentang Hujan dari hatinya. Untuk turut mensukseskan program tersebut, Alan memilih seseorang yang ditemuinya dari sebuah aplikasi kencan. Mentari. 
Hal pertama yang membuat Alan tertarik dengan Mentari bukan parasnya yang cantik berkat darah Belanda dari ibunya. Alan justru tertarik pada satu hal, namanya. Nama itu mengingatkan ia pada Hujan. Aneh memang, bukannya menghindari segala hal tentang Hujan, ia malah memilih seseorang yang mengingatkannya pada wanita itu.
Alan tidak menaruh harapan terlalu tinggi, tapi tanpa diduga pertemuan pertamanya dengan Mentari jauh dari kesan membosankan. Mentari dan Alan seusia. Tidak sulit saling mengakrabkan diri bahkan sejak pertemuan pertama. Mentari itu... gambaran kesempurnaan. Mungkin bukan hanya saat menciptakan Bandung Tuhan tersenyum, tapi juga saat menciptakan Mentari. Wajahnya cantik sudah pasti, hal itu tak perlu lagi di validasi. Kecerdasannya siap diuji. Mentari juga periang, karakter yang cocok dengan namanya. Iya, Mentari nyaris tanpa cela. Mestinya mustahil Alan tidak jatuh cinta.
Sampai memasuki bulan keempat, Alan dan Mentari selalu rutin bertemu dihari minggu. Kadang hanya untuk minum kopi, jalan-jalan ke toko buku, nonton bioskop, atau sekedar lari pagi dan sarapan bubur ayam, seperti hari ini.
"Enak, ya?" tanya Alan tiba-tiba.
"Enak. Kamu langganan?"
"Ini favoritnya Hujan. Aku jarang sengaja datang ke sini buat beli bubur ayam sendirian."
Mentari kehilangan minat membahas bubur ayam itu lagi setelah mendengar nama Hujan disebut.
"Kamu sering lari pagi di sini?" tanya Mentari sambil menyimpan mangkuk bubur yang isinya baru habis separuh.
"Nggak juga sih, jauh. Biasanya dekat kostan aja. Ke sini kan karena mau ketemu kamu."
"Wow. Manis banget emang mulutmu itu ya, hahaha."
Alan hanya tersipu. Ia tidak bermaksud menggombal, tapi sepertinya ia berhasil membuat Mentari senang, seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Meski Alan belum yakin dengan perasaannya pada Mentari, ia cukup yakin Mentari tidak keberatan dengan pertemanan dan kedekatan mereka beberapa bulan ini. Mentari tidak pernah absen dari jadwal pertemuan, begitupun dirinya. Alan tidak ingin misinya gagal di kesempatan ini.
"Jadi, jadwal kita hari ini cuma lari pagi dan sarapan bubur?"
"How about museum date?" saran Alan.
"Date?"
"Oh, nggak, maksudku, jalan-jalan ke museum. Lihat-lihat benda antik, artistik, ya semacam itulah," menyadari kalau ucapannya bisa membuat Mentari salah paham, Alan mencoba mengoreksi. Tapi lagi-lagi kegugupannya malah memicu tawa Mentari.
"Sure. I'd love to."
Setelah menyempatkan untuk mandi dan ganti baju dahulu, mereka sepakat bertemu lagi di Museum Geologi sebelum jam makan siang.
Baru selesai membeli tiket, dering hp Alan berbunyi. Nomor tak dikenal memanggil. 
“Halo?” 
“Dengan Alan?” 
“Ya, betul. Maaf, ini dengan siapa?” 
“Saya perawat di RSHS. Saya dapat pesan dari Kala untuk menghubungi Alan melalui HP-nya sebelum beliau masuk ruang operasi.” 
“Kala?” 
“Kala Hujan. Iya, namanya Kala Hujan. Beliau baru saja masuk ruang operasi karena harus operasi darurat, usus buntunya pecah. Setelah telepon orang tuanya untuk minta izin tindakan, saudari Kala minta saya telepon nomor ini juga untuk mengabari kondisinya. Apa Anda temannya? Atau keluarganya?” 
“Iya betul saya temannya, Pak. Saya segera ke sana sekarang.” 
“Baik.” 
“Terima kasih, Pak.” Alan menutup telepon. 
Mentari yang melihat betapa pucat dan paniknya Alan turut khawatir. 
“Kenapa, Lan?” 
“Hujan. Sekarang di RSHS. Aku harus ke sana sekarang, Tar,” jawab Alan.
“Aku antar pakai mobilku. Kamu nggak mungkin bawa motor dengan kondisi begini. Ayo.”
Sepanjang perjalanan Alan tidak bersuara. Mentari juga memilih diam, memberi Alan waktu untuk mencerna dan menenangkan diri. 
Sesampainya di rumah sakit, Alan bergegas ke bagian informasi untuk mencari tahu di mana Hujan. Seorang perawat menunjukkan arah menuju ruang operasi. Di sana, Alan menunggu dengan cemas sambil terus berkabar via telepon dengan orang tua Hujan. Semua urusan administrasi untuk perawatan ia selesaikan.
3 jam berlalu, dokter keluar dari ruang operasi.
“Dok, saya temannya Hujan.” 
“Oh iya, operasinya sudah selesai dan berjalan lancar. Sekarang bisa langsung masuk ruang perawatan, semua sudah disiapkan. Kita tinggal menunggu pasien siuman."
"Baik, Dok, terima kasih."
Alan nampak sangat kalut dan Mentari bisa melihat itu dengan jelas. Sejelas ia bisa melihat isi hati Alan. Hujan bukan sekedar teman. 
Hujan sudah di ruang perawatan ketika siuman. Yang pertama kali dilihatnya adalah Alan. Di ruangan VIP itu hanya ada mereka berdua.
“Hei. Are you okay?” tanya Alan seraya mengelus kepala Hujan dengan sayang.
“Sakit," Hujan memegang perut sebelah kanannya.
“Pasti. Kata dokter, setelah efek biusnya hilang bakal terasa sakit. Aku panggilkan perawat ya?”
"Nanti aja."
"Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit? Kata perawat tadi kamu dirujuk dari klinik. Jadi kamu pergi ke klinik sendiri? Kalau ada apa-apa di jalan gimana?"
Hujan memang dimarahi, tapi entah kenapa ia senang melihat Alan secemas ini. Hal sebaliknya dirasakan Mentari yang sedari tadi berdiri dibalik pintu memegang dua botol air mineral dan menguping pembicaraan itu. Mendengar Alan memarahi Hujan malah membuatnya marah.
"Jangan gini lagi, ya. Aku khawatir."
Sebelum Hujan sempat menjawab, orang tua Hujan masuk ke ruangan.
“Ann, sayang. Astaga, kamu nih bikin ibu khawatir aja. Gimana? Bagian mana yang terasa sakit?” Bu Ira langsung menghambur memeluk Hujan begitu tahu anaknya sudah siuman. 
“I’m okay. Maaf aku bikin khawatir. Ayah Ibu sampai mesti datang jauh-jauh dari Jakarta.”  
“Yang penting sekarang kamu nggak apa-apa,” kata Pak Firman, sambil mengelus bahu anaknya. 
“Alan, terima kasih sudah menemani Ann. Maaf ibu merepotkan.”
"Nggak kok, Bu."
"Tadi di depan pintu sepertinya ada teman kalian. Kelihatan ingin masuk tapi ragu. Mau ibu tanya eh orangnya keburu pergi."
Alan menepuk jidat. Ia baru sadar kalau ia melupakan Mentari sejak masuk ruang perawatan tadi. Perhatiannya tersita habis oleh Hujan yang belum sadarkan diri.
“Itu teman saya, Bu. Apa Ibu lihat dia pergi ke mana?” 
“Waduh, ibu nggak perhatikan dia ke arah mana.”  
“Saya pamit keluar sebentar, Bu.” 
Hujan hendak bertanya, tapi Alan sudah melesat keluar ruangan. 
Buru-buru Alan menelepon Mentari. Tidak diangkat. Ia mencoba berkali-kali, tapi yang terdengar hanya nada memanggil. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. 
“Cari aku?” 
Alan terkejut, tapi juga lega. 
“Kamu dari mana? Maaf, aku… tadi…” Alan ingin menjelaskan, tapi juga kebingungan memilih kata.
“Aku sudah lihat semuanya. Tanpa perlu kamu jelaskan, semuanya sudah jelas buat aku. Itu, hatimu, transparan banget lho sekarang,” kata Mentari sambil menunjuk dada Alan. 
Alan makin kebingungan dengan pernyataan itu. Sebagian dari dirinya ingin menyanggah, tapi sebagian lagi menginginkan sebaliknya. 
“Harus aku akui, beberapa bulan ini menyenangkan sekali. Aku suka segala hal tentang kamu. Walaupun sejak awal aku tau kamu selalu terikat pada satu nama. Hujan. Pertemuan kita, obrolan kita, nyaris tidak bisa lepas dari nama itu. Selalu ada hal yang bisa kamu kaitkan dengan dia. Aku tidak bertanya kenapa karena terlalu takut untuk mendengar jawabannya. Aku hanya ingin menikmati kebaikan kamu dan kedekatan kita, sambil berharap suatu hari yang entah kapan, nama itu tidak lagi kamu sebut. Kupikir aku akan selalu punya kesempatan selama masih ada hari di mana kamu ingin menemui aku.” 
“Tari, aku…” 
“Tapi hari ini, aku tau kalau kesempatan itu nyaris mustahil,” suara Mentari mulai bergetar. 
Alan menatap Mentari dengan penuh penyesalan. 
“Aku orang yang sederhana, Lan. Cinta segitiga terlalu rumit buatku.” 
“Tari…” 
“Aku pamit, ya. Sampaikan salamku pada Ann dan orang tuanya. Aku lega dia sudah siuman. Semoga Ann lekas pulih.” 
“Maaf, Tari.” 
Mentari tersenyum getir, “Bahkan sampai akhir, aku belum pernah mendengar kamu memanggilku Mentari, seperti kamu selalu memanggil Ann, Hujan.”  
Tidak menunggu lagi, Mentari memilih pergi, dan Alan putuskan untuk tidak mengejar. Program de-hujan-i-sasi status: Failed. 
Rangkasbitung, 22 Mei 2023
Find the previous story here:
1 note · View note
megandarii · 1 year
Text
Pertemanan
Minggu lalu menyempatkan diri untuk menghubungi salah seorang teman SD yang kebetulan sedang berkunjung ke rangkas dalam rangka mudik lebaran. Kami bertemu sore hari, yang awalnya hanya berdua, akhirnya jadi berenam, empat teman lainnya datang menyusul.
Kami tidak bertemu setahun sekali. Ini saja sudah 5 tahun sejak pertemuan terakhir kami. Iya, lama sekali. Obrolan kami tiap bertemu selalu seru. Bukan tentang pencapaian pribadi. Tidak ada yang bertanya kamu kerja di mana, sudah menduduki posisi apa, atau punya anak berapa. Aku tidak merasa terintimidasi bersama mereka. Kami selalu seperti bocah SD yang sedang menikmati waktu istirahat di sekolah. Nostalgia kisah-kisah masa lalu tetap jadi topik utama. Bagaimana si A suka mengamuk dan berubah jadi maung. Bagaimana si B jadi ketua kelas abadi selama 5 tahun (hanya sekali posisinya terganti olehku). Bagaimana si C menyukai teman sekelas kami tapi berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Tentang si D yang paling tampan. Tentang si E yang paling cantik dan punya geng seperti tokoh dalam film AADC, dan hal-hal lain yang tentu mengundang tawa. Bersama mereka, aku tidak merasa bertambah tua.
Ini tahun ke-25 kami, dan masuk dalam rekor terbaikku dalam menjaga pertemanan. Selama 25 tahun, nyaris tidak ada yang berubah. Mereka tetap sama, akupun juga. Hanya frekuensi pertemuan saja yang semakin berjarak. Wajar karena kini kami sudah bekerja dan berkeluarga, bertemu teman untuk sekedar minum kopi adalah kemewahan yang hakiki. Harus kukatakan sekali lagi, ini rekor terbaikku dalam menjaga pertemanan. Untuk yang satu ini, seorang INFJ seperti aku, tidak pernah tahan lama.
Aku selalu punya teman dekat di setiap jenjang pendidikan. Selain di jenjang SD, saat SMP pun aku punya lingkaran pertemanan yang solid. Kami sering main bersama di luar jam sekolah, entah untuk sekedar nonton film bersama hasil meminjam VCD di ultradisc, pergi berenang dengan meminjam mobil bak terbuka milik salah seorang teman, atau jalan-jalan di mall dekat sekolah. Masa SMP ku menyenangkan. Sangat. Tapi buatku sendiri, pertemanan itu tidak bertahan lama. Lulus SMP, kami tidak melanjutkan sekolah di tempat yang sama. Frekuensi pertemuan kami lama-lama berkurang, sampai akhirnya hilang. Kami hanya saling tau kabar satu sama lain ketika mulai ada facebook. Pertemanan kami berlanjut di sana, dan kami yang sudah punya lingkaran pertemanan lain merasa itu sudah cukup. Sekarangpun aku lupa, kapan terakhir kali aku bertatap muka dengan mereka, 10 tahun lalu? atau.. lebih dari itu? Entahlah.
Memasuki jenjang SMA, aku punya teman baru. Teman dekat yang baru. Seseorang yang sangat tidak mirip aku. Dia perempuan cerdas yang ceria, supel, cerewet dan pemberani. Ibarat langit, aku mendung kelabu, dia langit cerah dengan semburat pelangi. Sekontras itu perbedaan kami. Satu-satunya yang sama dari kami hanya tentang selera pria. Aku dan dia mengencani pria yang sama, tentu dalam waktu yang berbeda. Meski begitu, nyatanya itulah akhir dari pertemanan yang kupikir akan lebih lama dari biasanya. Kurang dari satu tahun, aku kehilangan dia. Sekalipun setelahnya kami berusaha kembali baik-baik saja. Tapi pertemanan kami tak pernah sama lagi. Hingga hari ini.
Pindah sekolah di kelas 1 semester 2 saat SMA memberiku kesempatan lain dalam hal pertemanan. Memasuki kelas yang baru dengan sebagian besar teman yang asing (ada beberapa teman pernah satu sekolah saat SMP), membuatku cukup kelimpungan. Aku yang tidak pandai berteman ini lebih banyak diam di awal-awal masuk sekolah. Lucunya, takdir lagi-lagi mempertemukan aku dengan orang yang sangat tidak mirip aku. Di kelas yang baru itu, dia orang pertama yang mengajakku berkenalan dan duduk sebangku dengannya, "Duduk di sini aja dulu, teman sebangkuku lagi sakit hari ini." Sejak itu, kami jadi teman baik. Banyak prestasiku semasa SMA yang kucapai bersama dia. Banyak kegiatanku semasa SMA yang juga melibatkan dia. Kami tidak bagai pinang di belah dua, karakter kami benar-benar berseberangan. Iya, seperti langit mendung dan langit cerah dengan semburat pelangi. Tapi sepertinya itulah kekuatan dalam pertemanan kami. Meski akhirnya juga berpisah karena kuliah di kota berbeda, paling tidak setahun sekali kami bertukar kabar entah via sms, telepon, chat whatsapp, atau komentar instagram, sampai saat ini. Dan ini jadi pertemanan kedua paling lama dalam sejarah pertemananku.
Anehnya, meski kurang bisa bergaul, saat SMA aku masuk dalam beberapa lingkaran pertemanan. Aku berteman dekat dengan 4 orang teman perempuan yang satu kelas denganku sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Aku juga sering diajak main bersama oleh sekelompok anak populer di sekolah. Selain itu, aku sering juga main bersama anak-anak ekskul rohis. Porsi kedekatanku dengan tiga kelompok bermain itu nyaris sama. Sepertinya aku cukup pandai membagi waktu mesti bermain dengan kelompok yang mana dulu. Ini sisi diriku lainnya yang baru kutemukan. Ternyata aku tidak seburuk itu dalam berteman. Sayangnya, pertemanan dengan tiga kelompok itu juga tidak bertahan lama. Lulus SMA, hanya pernah beberapa kali aku menyempatkan diri bertemu mereka. Seiring dengan berkurangnya frekuensi pertemuan, aku makin merasa asing dengan pertemanan kami. Aku sudah bukan bagian dari mereka lagi.
Memasuki dunia perkuliahan, aku kembali sendiri. Tidak ada satupun teman dekat saat SMA yang satu kampus. Lingkaran pertemanan lainnya kembali terbentuk. Dari yang awalnya hanya berdua, lingkaranku jadi makin besar sampai berdelapan. Kami awet sampai sekarang walaupun jarang saling berkabar, biasanya sebatas saling like postingan instagram. Hanya dua dari tujuh teman yang cukup sering bertemu (sering versiku, yah paling tidak dua tahun sekali). Kadang kami masih saling berkabar juga di grup whatsapp. Jangan tanya kapan kami pernah berkumpul lengkap delapan orang sejak lulus kuliah, bahkan ada salah seorang teman yang tidak pernah lagi bertemu sejak kami lulus di 2014 sampai sekarang. Wow sudah sembilan tahun rupanya. Padahal dia teman pertamaku di kampus. Tapi yah begitulah, kesibukan kami yang menjalankan beberapa peran sekaligus saat ini hampir selalu jadi hambatan untuk bisa mengusahakan pertemuan.
Di jenjang S2 dan S3 malah lebih parah. Saat S2, aku paling muda di kelas. Bukannya dapat teman, malah dapat orang tua kedua, hehe. S3 lebih mending sih, ada satu orang yang seumuran. Tapi entah bagaimana, kami juga sulit berteman dekat sampai sekarang. Padahal sama-sama belum lulus juga. Paling tidak, harusnya kami bisa menyempatkan bertemu saat bimbingan, tapi nyatanya tiap bimbingan ke kampus, selalu saja sendiri-sendiri.
Aku tau harusnya tidak begini. Pertemanan itu mesti dirawat, silaturahmi mesti terjaga, bisa memperpanjang usia katanya. Tapi memang hanya ini hal terbaik yang bisa aku lakukan. Aku yang tidak pernah lagi menghubungi mereka bukannya lupa. Bukan pula tidak rindu. Pada akhirnya aku hanya berharap teman-temanku bisa memaklumi caraku menjaga hubungan dengan mereka, dan membantuku tidak kehilangan pertemanan ini.
3 notes · View notes
megandarii · 1 year
Text
Jawaban
Rutinitasku tiga tahun ini masih sama, menulis. Kafe ini hanya satu dari selusin kafe yang sering kudatangi untuk mencari secangkir inspirasi. Tidak hanya lewat kopi, tapi juga sepintas obrolan seru dari meja seberang, atau tangis seorang wanita dari meja lain di pojok ruangan. Sayangnya, semua yang kutulis tak pernah selesai. Mungkin sudah ratusan draft memenuhi cloud yang tagihannya tak pernah alpa kubayar setiap tahun. Pada akhirnya aku tidak pernah sanggup menyelesaikan apa-apa. Semuanya terhenti sebelum menemui kata selesai.
Hari ini sudah dua jam aku menulis cerita baru, yang juga masih menggantung. Sampai kemudian mataku tertumbuk pada sesosok wanita yang melangkah masuk dan berdiri mengantri, mungkin untuk segelas kopi. Sosok itu tidak asing. Mataku masih lekat pada punggungnya yang mungil dan rambutnya yang tergerai sampai bahu. Kemeja yang lengannya tergulung sesiku itu selalu berhasil membawa ingatanku pada seseorang. Ia pun berbalik, membawa segelas es americano, berjalan ke arahku, ah lebih tepatnya, ke arah satu-satunya meja kosong yang ada di sebelahku. Mata kami bertemu. Langkahnya melambat, tapi terus melaju ragu ke arahku.
"Hai", sapanya, saat sudah benar-benar di hadapanku. Tidak ada senyum. Wajahnya datar. Begitupun aku.
"Hai," hanya sebatas itu juga kemampuanku di momen yang terlalu mendadak ini.
"Sendiri?"
"Iya."
"Keberatan aku duduk di sini?" tanyanya lagi.
"Oh ya, It's ok."
Dia menggeser kursi.
Jika ada satu-satunya hal di dunia ini yang aku inginkan, itu adalah bertemu lagi dengan dia.
"How's life?" dia mencoba mengawali.
"I'm good," tapi sayang lidahku masih kelu.
"It's my first time."
"Sorry?" tanyaku tak mengerti.
"Oh, I mean, ini pertama kalinya aku ke sini. Teman kantorku bilang kafe ini punya kopi yang enak."
"Hmmm.."
"Sering ke sini?"
"Lumayan. Dekat dari rumah," jawabku tanpa melepaskan tatapan dari layar laptop.
"Oh..."
Kemudian ada jeda sekitar lima menit. Dia hanya menyesap kopi sambil melihat keluar jendela, memerhatikan lalu lalang kendaraan.
"Aku mengganggu kamu kerja, ya?" pertanyaan lainnya.
"Nope. Abaikan aja aku dan nikmati kopimu."
"Are you still mad at me?"
Jariku berhenti mengetik.
"Sudah lama aku kehilangan keinginan untuk marah. Mungkin aku memang pantas kamu perlakukan seperti itu."
"Kamu tidak pantas aku perlakukan seperti yang aku lakukan. Tentu aku punya alasan, tapi tetap tidak membenarkan apa pun."
"Lantas?"
"Aku hanya bisa minta maaf, seperti terakhir kali."
"Setelah tiga tahun berlalu, kamu masih mau menyiksaku dengan ketidaktahuan?"
"Jawaban apa yang kamu harapkan?"
"Kebenaran."
"Aku mencintai orang lain."
"Kamu tau bukan itu jawabannya."
"Menurutmu, kamu lebih tau siapa aku dibanding diriku sendiri?" tantangnya.
"Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal kamu, Ra."
Kulihat mata Aira mulai berkaca. "Kebersamaan kita bukan lagi karena cinta, Des."
Dahiku mengerenyit, tidak sepenuhnya memahami perkataannya.
"Lalu apa? Aku tetap mencintai kamu bahkan setelah tahu kamu bersama pria lain. Aku mencoba membawamu kembali tapi langkahmu terhenti."
"Kamu yakin itu cinta?"
Aku terdiam. Lantas cinta mana lagi yang dia maksud kalau bukan perasaan yang aku miliki untuk dia?
"Kalau benar itu cinta, apa masih pantas kamu bohongin aku, Des?"
"Bohong?"
"Syila. Kamu sering bertemu dia kan? Kamu pikir aku nggak tau? Kamu pikir aku sebodoh itu karena diam aja?"
"Kenapa tiba-tiba ada Syila di antara kita?"
"Karena memang sejak lama dia selalu ada di antara kita, Des. Berhenti berlagak seolah-olah kamu nggak menyadarinya. Kalau memang nggak, berarti yang bodoh bukan aku, tapi kamu!" air mata Aira turun satu-satu, ia menangis, tanpa sedu. Seperti Aira yang kukenal sejak dulu.
"Aku dan Syila cuma teman."
"Sudah kuduga, perpisahan kita harusnya sudah jadi pilihanku sejak lama."
"Jadi jawaban sebenarnya, Syila? Kamu pikir ada sesuatu antara aku dan Syila?" kejarku, tanpa memedulikan raut marah diwajah Aira.
"Bukan. Bukan karena Syila. Tapi karena kamu pembohong. Kamu bohongin aku tentang pertemuanmu dan Syila yang selalu diam-diam. Kamu bohongin dirimu sendiri tentang perasaanmu, Desember Iskandar! Berhenti merasa aku satu-satunya padahal kebersamaan kita selama ini fatamorgana."
Aku terdiam lama, menatap mata sembabnya, "Kenapa bukan itu jawaban yang kamu berikan dari awal, Ra?"
"Karena percuma. Jawabanmu juga akan selalu sama."
"Jadi perpisahan kita karena aku?"
Aira mengelap air matanya untuk kesekian kali, lantas menjawab, "Dan karena aku yang tidak lagi sanggup menerima kebohongan kamu, juga karena aku yang akhirnya sadar bahwa alasan bahagiaku tak lagi kamu. Jadi apa perpisahan kita adalah kesalahanmu? Tidak sepenuhnya. Maaf aku terlalu egois untuk bisa percaya pada persahabatan antara pria dan wanita."
Es americanonya bahkan belum habis separuh. Kali ini tanpa pamit dan maaf, Aira melangkah pergi. Lagi.
Pertanyaanku tuntas dijawab, seperti juga pertanyaannya. Setidaknya cerita kami tidak mesti berakhir di draft karena telah menemukan akhir.
Rangkasbitung, April 2023
1 note · View note