Tumgik
msstrsr · 6 months
Text
Terima kasih banyak Mas Gun atas kesempatan dan bimbingannya selama 10 bulan ini. Akhirnya, "anak pertama" kami lahir 🥰🥰
Tumblr media Tumblr media
Akhirnya bisa bercerita tentang sebuah proses ini. Di tahun 2022 lalu, ditantang sama @careerclass buat bikin Workshop kepenulisan tapi dengan benchmarking yang sangat berbeda. Kebetulan pernah rajin ikut workshop di beberapa tempat sebelumnya dan belajar kalau proses bikin workshop ini nggak mungkin kulakukan sendiri.
Gayung bersambut sama Bentang Pustaka, rumah yang menjadi tempat terbitnya 4 bukuku di lima tahun terakhir. Ngobrol soal tujuannya, breakdown tujuan menjadi small goals, dst sampai akhirnya tersusun kurikulum workshop yang sampai saat ini aku bisa katakan, belum ada yang sejauh ini workshopnya. Terharu.
Dari mulai materi hingga bukunya bisa diterbitkan, langsung di bawah label Bentang Pustaka. Dan setotalitas itu para stakeholders di workshop ini mau mewujudkannya jadi nyata. Workshop ini memakan waktu 10 bulan, sebuah waktu yang wajar mengingat proses sebenarnya untuk bisa sampai di tahap tsb bisa bertahun-tahun. Peringkasan waktu menjadi beberapa bulan aja ini sudah luar biasa menurutku.
Semacam simulasi menjadi penulis sesungguhnya itu seperti apa. Dinamika, kendala, bahkan sampai ke bagaimana penulis bisa memarketingkan bukunya. Karena mau gak mau, kita akan belajar dari sudut pandang industri, buku ini harus bisa terjual dan memberi untung. Ada banyak sekali orang yang terlibat dalam buku ini tidak hanya penulis, editor, tapi ada orang percetakan, kurir, bagian gudang, karyawan-karyawan lain yang rezekinya melewati buku ini.
Menjadi penulis profesional dan menulis sebagai sebuah aktivitas itu beda banget. Ada risiko tulisanmu tidak disukai, di rate bintang 1 di goodreads, dan lain-lain. Ada proses yang akan membangun mentalitas dan sudut pandang yang baru.
Alhamdulillah akhirnya workshop ini selesai. Dan besok buku ini akan diluncurkan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Aku mengucapkan terima kasih kepada Career Class yang memberi tantangan, Bentang Pustaka dan timnya yang luar biasa berdedikasi, dan juga kepada para penulis yang bisa bertahan hingga titik ini. Nggak mudah bukan berarti nggak mungkin :) Tahun depan, ada stakeholders baru yang akan masuk insyaAllah dalam workshop kepenulisan itu. Dan bakal makin "seru". Buat yang bertanya-tanya mungkin ada di mana workshopnya, ada di dalam programnya Career Class ya :)
24 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 8: Memulai Kembali
Seminggu telah berlalu. Chia telah kembali menjalani rutinitas. Ia sempat kembali ke desa dua hari setelah penyelamatan Satya untuk mengambil barang-barangnya. Pram sendiri kembali dengan kesibukan di bengkelnya. Sedangkan Satya berangsur pulih. Kasus yang tengah ia hadapi juga menuju titik terang. Ia beberapa kali dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi sekaligus korban.
Di suatu sore yang sedikit mendung, angin bertiup sejuk. Chia duduk berhadapan dengan Satya di taman kota. Pertemuan empat mata pertama kali setelah rangkaian peristiwa yang mengejutkan.
"Chia," panggil Satya dengan lembut. Ia menatap lurus perempuan di depannya. 
"Ya." 
"Aku rindu," ucapan Satya membuat Chia tersipu.
"Aku berhutang banyak penjelasan ke kamu. Maaf aja nggak cukup untuk menebus semua yang telah terjadi," lanjut Satya.
"Tiada maaf buat kamu kalau yang terjadi adalah kamu benar-benar kabur dengan sengaja karena takut pernikahan. Kan yang terjadi bukan itu. Aku sudah memaafkan," balas Chia tenang.
"Aku nggak pernah terpikir untuk lari dari pernikahan. Aku serius saat melamarmu. Soal kekacauan ini," Satya mengambil jeda. "...di luar dugaan."
"Satya," panggil Chia.
"Ya."
"Aku rindu sekaligus kesal," ucapan Chia membuat Satya salah tingkah.
"Karena peristiwa ini aku jadi tahu diri nggak sepenuhnya aku tahu tentang kamu. Kamu resign aja aku nggak tahu. Apalagi dikejar debt collector. Aku merasa nol besar," sambung Chia yang menyiratkan kecewa.
"Maaf Chia aku nggak terus terang sama kamu. Aku nggak mau kamu kepikiran. Kupikir semua akan baik-baik aja. Aku janji akan lebih terbuka sama kamu," Satya menggenggam tangan Chia.
"Kalau kita punya rahasia masing-masing, nggak papa juga, kok. Aku minta maaf juga karena sempat meragukan kamu," Chia balas menggenggam tangan Satya. 
"Soal kerjaan, aku memang sudah merasa nggak nyaman di sana. Terlebih dengan kasus Arga. Untuk sekarang aku mau bantu-bantu bisnis papa selagi nunggu panggilan wawancara," jelas Satya disambut anggukan Chia. "Sebenarnya sudah ada panggilan wawancara yang masuk. Apa daya dengan peristiwa kemarin, panggilan wawancaranya hangus."
"Sayang banget. Ada berapa wawancara?"
"Dua. Kayaknya dua. Nggak papa belum rejekinya," Satya menepiskan kecewa.
Satya melepaskan genggaman tangannya. Ia bangkit berdiri. "Rafflesia Arunika, maukah engkau memulai kembali pernikahan yang tertunda bersamaku?" Satya berlutut di hadapan Chia. Air mata haru tidak bisa lagi dibendung Chia. Ia kehilangan kata. Hanya sanggup mengangguk dan meraih uluran tangan Satya.
"Tapi kita tunggu semua selesai dulu ya," ucap Chia di sela keharuan.
"Pasti. Aku juga mau kasus ini segera selesai."
"Sekarang tugasmu meyakinkan keluargaku."
"Pasti."
"Kamu jangan hilang lagi, ya."
"Aku janji," ucap Satya dengan penuh keyakinan.
"Ingat ya, di bawah langit sore yang sedikit mendung di taman kota, Satya telah berjanji tidak akan hilang atau kabur di hari pernikahan. Semesta saksinya," ucap Chia dengan tatapan awas jangan macam-macam. Satya tergelak melihat ekspresi Chia. Mereka berdua pun menikmati sisa sore hari di taman membicarakan banyak hal yang terlewatkan selama Satya menghilang.
17 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 7: Beraksi
Pram berhasil melacak keberadaan Satya. Ia mampu menyusup email Satya yang susah payah didapatkannya dari LinkedIn. Lokasi Satya sekarang ada di kota tempat tinggalnya. Itu artinya mereka harus menempuh perjalanan jauh ke sana.
Chia akhirnya menemukan fakta mencengangkan soal Arga, teman dekat Satya yang tidak bisa dihubungi. Ia mendapatkan informasi dari rekan kerja Satya yang berbaik hati menceritakan semuanya. 
Untuk menyelamatkan Satya, mereka mengajak Iko. Diketahui Iko jago beladiri silat dan tapak suci. Selain Iko, perlengkapan tempur juga telah siap. Ada tongkat pemukul kasti, tali tambang, petasan, borgol, racikan obat tidur. Menurut Pram semuanya diperlukan sebagai tindakan antisipasi.
Mereka berangkat dari desa setelah azan isya di hari yang sama saat menemukan petunjuk. Chia tidak mau mengulur waktu lagi. Lebih cepat lebih baik.
Mobil yang dikemudikan Pram membawa mereka ke tempat tujuan dengan selamat dan cepat. Hanya tiga setengah jam. Tepat pukul 23.00 mereka sampai di lokasi. Gudang itu terletak di kompleks perumahan yang sepi. 
Pram memutar otak menyusun rencana agar tidak mencurigakan. Mobil ia parkir di dalam gang yang masih bisa menjangkau pengintaian lokasi terakhir Satya. 
"Iko, jalankan plan A!" perintah Pram memecah kesunyian. Iko mengangguk. Ia dengan cekatan mengenakan seragam kurir makanan. Di tangannya ada dua plastik berisi makanan siap saji. 
"Jangan lupa semprotan darurat," ucap Pram saat Iko akan keluar dari mobil. 
"Iko hati-hati!" kata Chia.
"Siap! Aman!" katanya dengan yakin. Iko keluar dari mobil. Ia terlebih dahulu menurunkan sepeda listrik dari bak belakang. Penyamaran yang totalitas dan detail dirancang oleh Pram. Di depan gudang ada dua orang yang berjaga. Iko segera menjalankan aksinya sebagai kurir makanan.
Dua orang berbadan kekar menatap penuh selidik ke arah Iko. Mereka meragukan ada kurir makanan malam-malam. Iko tidak hanya jago beladiri silat, tapi juga jago bersilat lidah. Setelah bujukan yang meyakinkan dua orang itu menerima makanan dari Iko dengan girang.
"Hampir mereka nggak percaya," ungkap Iko dengan nafas lega begitu menutup pintu mobil. Pram dan Chia ikut lega. Mereka menunggu di dalam mobil untuk aksi berikutnya.
"Setengah jam lagi," kata Pram. Makanan tadi sudah diberi racikan obat tidur dengan kadar tinggi. Akibatnya orang yang memakannya akan diserang kantuk dan cepat terlelap. 
Rasanya tiga puluh menit berjalan begitu lambat. Mereka resah dan gelisah membayangkan makanan tadi sudah dihabiskan atau dibiarkan saja. 
"Gimana kalau salah satu dari kita turun?" usul Chia. Ia paling resah di antara mereka.
"Dari sini kelihatan mereka masuk gudang. Tunggu lima menit lagi," ucap Pram. 
Setelah genap tiga puluh menit, Pram memberi aba-aba untuk bersiap. Chia dan Iko lekas turun dan membuka bak belakang. Masing-masing membawa alat tempur. Pram dengan ringkas menjelaskan rencana mereka.
Pram mengamati sudut tembok rumah di sekitar dan tiang listrik barangkali ada kamera pengawas. Setelah aman mereka bertiga berjalan mengendap–endap ke arah gudang. Dua penjaga kekar sudah tidak ada di depan pintu. Mereka bersiap masuk ke dalam. Nampak pintu sedikit terbuka.
Dengan pelan-pelan Pram membuka pintu meminimalkan suara derit pintu. Begitu masuk ke dalam, aroma pengap segera menyeruak. Tidak terdengar suara manusia. Hening yang mendebarkan. 
Gudang itu benar-benar berantakan. Sampah botol minuman, bungkus kemasan makanan berserakan di lantai, meja dan kursi. Mereka sesekali berjingkat agar tidak menimbulkan suara gesekan dengan lantai. Pram yang berjalan paling depan memberi aba-aba berhenti. Ia mendengar suara orang mendengkur dari ruangan terbuka di kirinya. Begitu berjalan lebih dekat, ia bisa melihat tiga orang tertidur dengan posisi duduk di lantai—sumber dengkuran—dan seseorang yang terikat di kursi. Tidak lain adalah Satya.
"Aman," bisik Pram ke arah Chia dan Iko. Mereka segera bersiap-siap. 
Pram melangkah lebih dulu menuju orang yang terikat di kursi. Dengan jantung berdebar, ia lekas membuka ikatan di tangan dan kaki orang itu. Belum selesai melepaskan ikatan, sebuah tangan memegang pundaknya. 
"Siapa kau?" tanya suara berat menghentikan gerak tangan Pram. Suara itu juga membuat Chia dan Iko melangkah mundur.
Pram mendongak melihat wajah pemilik suara. Ada bekas codet di pipi kanannya, matanya garang, dan tubuhnya kekar. Orang itu menarik kerah Pram membuatnya tubuhnya terangkat.
"Kau yang buat anak buahku pingsan, heh?!" dengus nafas si suara berat terasa di wajah Pram. Di sisi lain Iko bersiap dengan tongkat pemukulnya. BUK! Tongkat pemukul melayang mengenai kepala si suara berat. Tubuhnya terhuyung kehilangan keseimbangan. Pram terlepas dari cengkeramannya. Iko melayangkan kembali tongkat pemukul kali ini mengenai punggung si suara berat. Chia tidak ketinggalan segera mengikat tiga orang yang duduk tidak sadarkan diri, menyumpal mulutnya dengan kain dan memborgol tangan mereka.
Si suara berat tidak kunjung tumbang. Iko berhadapan dengannya tidak gentar. Sebuah pukulan mendarat di wajah Iko. Membuatnya meringis kesakitan. Dua pukulan berikutnya berhasil ditangkis Iko dibalas tendangan ke arah perut si suara berat. Pram melepaskan ikatan di tangan dan kaki Satya. Tubuh Satya lemas, Pram membopongnya keluar. Melihat Iko masih susah payah menaklukan si suara berat, Chia mengeluarkan botol cairan pamungkas. Begitu melihat si suara berat terjatuh, Chia berlari mendekat lalu menyemprotkan cairan itu tepat di mata garangnya. Si suara berat berteriak kesakitan. Iko segera melepaskan pukulan terakhir paling ampuh tepat di tengkuk. Si suara berat pun terkapar tidak sadarkan diri. Tangannya diborgol, kakinya diikat, dan mulutnya disumpal dengan kain. 
Di luar Pram segera menelepon polisi dan ambulans. Satya sudah tidak sadarkan diri. Chia panik melihat wajah Satya yang banyak lebam. Tak lama kemudian, ambulans datang, Satya dibawa menuju rumah sakit terdekat ditemani Chia. Pram dan Iko tetap tinggal, menunggu polisi datang. 
7 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 5: Teka Teki
Sudah tiga hari Chia menempati rumah eyang. Ia membaca pesan dari teman dekatnya yang kebanyakan mengirimkan pesan keprihatinan dan memberinya doa serta semangat. Pesan dari ibu tak jauh dari kapan pulang?, sudah makan belum?, serta belum ada kabar tentang Satya. Bahkan orang tua Satya pun menemui jalan buntu. 
Siang ini Chia bertemu dengan Pram. Menghabiskan semangkuk bakso di kedai langganan Pram. Mereka saling bertukar kabar dan mengulik masa sekolah.
"Kamu tahu kabar aku, Pram?" Pertanyaan tiba-tiba tanpa basa basi.
"Nggak pakai intro ya," balas Pram. Chia tersenyum tipis. "Sayangnya aku tahu kabar kamu. Terlalu kejutan ya."
"Tapi kamu nggak kelihatan baru aja gagal nikah. Aku yakin Iko nggak tahu, kalau kamu nggak cerita," ujar Pram terus terang.
"Dia memang nggak tahu. Aku nggak cerita. Penyamaranku berhasil ya. Jujur aku sedih, kecewa, marah juga," terang Chia.
"Kamu kenapa di sini? Ikutan kabur?" Pram seperti yang Chia kenal selalu blak-blakan menodong pertanyaan. Chia memutar bola mata.
"Kamu nggak penasaran dia ada di mana, gimana keadaannya, beneran kabur atau mung…,"
"Aku penasaran kok. Aku juga mau tahu dia ada di mana, gimana keadaannya. Tapi nggak bisa dihubungi," sela Chia dengan nada tinggi. Pram dibuatnya terdiam.
"Aku tersinggung. Kita baru ketemu tapi kamu nggak ada empatinya," ucap Chia dengan tatapan tajam.
"Kamu kan memang harus dibuat tersinggung dulu baru sadar. Sorry Chi," balas Pram. 
"Chia,"
"Dia resign tapi aku nggak tahu, Pram. Aku baru tahu pas dia hilang. Itu pun temannya terpaksa cerita karena keadaan. Aku merasa nol besar." Mata Chia mulai berkaca-kaca. 
"Sekarang kamu mau gimana? Kabur ke sini dan diam aja nggak menyelesaikan masalah." Pram masih lugas seperti yang dulu Chia kenal.
"Kamu sendiri kok bisa di sini?" tanya Chia mengalihkan pembicaraan.
Pram menunjukkan ekspresi kebiasaan deh ganti topik. "Jodoh," jawabnya singkat. "Aku pernah KKN di sini. Aku suka tempatnya, sepi, dan yang jelas ada kesempatan buat hidup baru."
"Bengkel itu punya kamu?"
"Heem. Nggak terduga, kan."
"Kupikir kamu bakal ada di perusahaan multinasional atau di laboratorium penelitian."
Pram menarik sudut bibirnya. "Apa yang kita bayangkan dulu nggak selalu sejalan di masa depan. Kita sudah berubah, Chia. Kamu jadi ASN aja aku masih takjub."
"Benar juga," gumam Chia.
"Menurut kamu Satya itu jodohmu?" Pertanyaan Pram membuat Chia tertegun, mengembalikan fokus pembicaraan ke arahnya. Selama ini ia selalu yakin Satya jodohnya. Bahkan tidak butuh waktu lama untuk merasa cocok.
"Menurut kamu dia sengaja kabur gitu aja?" Lagi-lagi pertanyaan Pram menohoknya. Chia merasa aneh dengan hilangnya Satya. Ia tidak yakin itu murni kehendaknya.
"Kamu yang paling tahu Satya," pungkas Pram.
"Tapi buktinya soal kerjaan dia nggak jujur," bantah Chia.
"Chia, kamu paham pastinya bahwa kita punya rahasia masing-masing. Sekalipun dia pasanganmu nggak harus selalu berbagi rahasia. Kamu pasti punya rahasia yang Satya nggak tahu kan?" tutur Pram.
"Dia mungkin sedang tenang-tenang saja atau bisa jadi justru nggak aman. Apapun keadaannya, kamu harus tahu alasan sebenarnya. Chia yang dulu kukenal gigih memperjuangkan rasa penasarannya."
Chia memainkan sedotan dalam gelasnya. Semua yang dikatakan Pram benar adanya. Dia nggak bisa diam aja.
"Bantu aku ya," pinta Chia. Pram menyanggupi dengan anggukan. Pertemuan tak terduga kali ini justru memberinya harapan keluar dari kebuntuan.
***
Di kamar Chia sibuk menelusuri media sosial Satya. Berharap menemukan petunjuk. Tak ada yang janggal dari postingan Satya. Ingin melacak lebih lanjut, sayangnya Chia tidak punya kata sandi milik Satya. Pram benar, meski berpasangan nyatanya mereka punya batasan. Seperti sekarang Chia hanyalah pengikut media sosial Satya. Dia tak punya kuasa melihat isi pesan di dalamnya.
Sejak tiga hari tidak bisa dihubungi, Chia tidak henti mengirimkan pesan ke nomor Satya. Mungkin akan ada satu detik saat nomor Satya kembali aktif dan pesannya akan terkirim. Karena nomornya tidak aktif, dilacak menggunakan aplikasi pun tidak bisa. Tuhan tolong beri aku petunjuk, doa Chia sebelum memejamkan mata.
5 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 6: Labirin
Chia terbangun dengan peluh membasahi dahi, leher serta tengkuknya. Mimpi yang membuatnya tidur tidak lelap. Ia mengerjapkan mata, memulihkan kesadaran diri. Pikirannya justru melayang kepada Satya.
Diraihnya ponsel di bawah guling, dicarinya kotak pesan Satya. Chia menuju pesan satu minggu sebelum hari akad. Ia mencermati setiap balasan pesan dari Satya. Calon suaminya itu benar-benar rapi menyembunyikan fakta. Tak ada balasan pesan yang janggal atau membuat curiga. Chia kembali merebahkan tubuhnya. Rasa kantuk segera menyergap kembali.
***
Pagi hari setelah membuka bengkel Pram datang ke rumah eyang—tempat tinggal Chia. Ia tidak sendiri ada Iko bersamanya.
"Silakan masuk," kata Chia begitu melihat tamunya telah datang. "Eh, Iko juga?" 
"Kebetulan datangnya barengan. Ini antar makanan dari ibu," jelas Iko seraya menyerahkan rantang makanan. 
"Kok repot-repot, sih?" Chia menerima rantang dengan sedikit keberatan.
"Kamu juga nggak mungkin masak," celetuk Pram. 
"Terima kasih, Iko. Nanti kalau longgar, saya mampir ke rumah." Chia menutup percakapan di teras. Iko pun segera berlalu menuju bengkel.
***
Selesai menyantap sarapan. Chia membuka diskusi memecahkan kasus hilangnya Satya. 
"Aku sudah baca surat ini berulang kali. Tapi nggak nemu petunjuk," gerutu Chia.
Pram meraih surat dari tangan Chia. "Dari pilihan kalimat dan tulisan tangannya kamu nggak merasa aneh?"
Chia menggeleng. "Dia selalu serapi ini kalau nulis?" 
"Dia memang punya tulisan tangan serapi itu. Soal kalimat atau bahasanya, ya, memang begitu," ujar Chia. 
"Keluarganya gimana? Sudah dapat informasi keberadaan Satya atau mereka mau lapor polisi?" tanya Pram penuh selidik.
"Belum ada informasi apapun. Aku rasa mereka nggak akan gegabah untuk lapor polisi. Kalau benar Satya pergi dengan sendirinya, fakta itu bakal mencoreng nama keluarga Wicaksana. Sekarang sih sudah," ungkap Chia. Tadi sebelum Pram datang, Chia mengirimkan pesan lebih dulu ke Mama Satya. Jawabannya seperti tempo hari: tidak ada kabar dan tidak lapor polisi.
"Kenapa keluarga Wicaksana?"
"Maksudnya?"
"Maksudnya, keluarga Wicaksana terpandang?"
"Oh. Cukup terpandang. Ayahnya Satya punya bisnis furnitur yang sudah ekspor ke luar negeri. Rekan bisnisnya banyak. Di lingkungan rumah juga disegani tetangga," jelas Chia.
Pram yang sedari tadi mengamati surat Satya dan bertanya ini itu sambil mondar mandir akhirnya duduk di lantai. Ia menyalakan laptop Chia yang menganggur di atas meja.
"Mau apa?"
"Kamu sudah lacak perangkatnya atau nomor handphonenya?" pandangan Pram fokus ke layar laptop yang masih proses booting.
"Nggak ada hasil. Perangkatnya nggak tertaut di ponselku. Nomornya mati sejak dia hilang. Mana bisa dilacak kan?" ada nada putus asa dari jawabannya.
"Email?"
Chia tampak berpikir sesaat. "Ah, iya, email. Kok aku nggak kepikiran," decaknya gemas. Namun sekian detik berikutnya saat membuka email di ponsel ia tersadar sesuatu. "Aku nggak pernah kirim email ke Satya."
Pram menghentikan kesibukan jemarinya di antara tuts keyboard. Ia memberikan ekspresi keheranan yang disambut senyum datar Chia. 
***
Ruangan ini luas namun minim cahaya. Lembab dan bau apak. Langit-langitnya penuh dengan sarang laba-laba. Ada meja dan kursi yang sudah lapuk di makan usia. Botol-botol bir berwarna hijau berserakan di lantai dan di meja. Bungkus makanan kosong ataupun yang masih ada sisa tergeletak di kursi menjadi sasaran kawanan semut.
Tepat di bawah lampu, ada dua buah kursi berhadapan. Ada seseorang duduk di salah satu kursi dengan kaki dan tangan terikat. Semakin mendekat, terlihat wajahnya yang lebam akibat pukulan. Kepalanya tertunduk lunglai. Pakaiannya lusuh.
"Sudah empat hari nggak mau ngaku. Dipukul berkali-kali nggak mampus juga," sebuah suara nyaring memecah keheningan.
"Lima hari, bodoh! Jangan sampai dia mampus. Kasih makan," suara berat menyahut. 
"Ada kabar Arga?" tanya suara berat. Tak ada jawaban mengartikan tak ada kabar.
"Heh! Mau sampai kapan kau mengelak?! Kawan tololmu itu nggak akan balik. Semakin kau melawan, semakin remuk badanmu." suara berat mengancam orang yang duduk terikat di kursi. Ditariknya rambut orang tersebut dan ditepuk kepalanya dengan kasar.
"Apa perlu kirim pesan ke keluarganya, Bos?" tanya suara nyaring. Dijawab gelengan oleh suara berat.
Orang itu adalah Satya. Ia masih bertahan meski telah lebam wajah dan tubuhnya. Nama yang disebut suara berat tadi adalah penyebab kekacauan yang dialaminya. Ia terpaksa pergi meninggalkan surat perpisahan tepat di hari akad karena gerombolan preman ini. Mereka adalah debt collector yang dua minggu terakhir mengejarnya karena namanya tercantum sebagai penjamin hutang milik Arga. Sial benar nasib Satya.
Surat dalam amplop biru itu ditulisnya dengan ancaman dan desakan para debt collector. Saat itu Satya berniat menemui mereka untuk mengulur waktu, tapi justru diculik. Di dalam mobil ia menuliskan surat itu dengan berat hati. Entah bagaimana surat itu sampai ke Chia, ia tidak tahu. Selesai dengan suratnya, ia mendadak pening dan jatuh pingsan.
Selama lima hari Satya bertahan dan berharap cemas tetap selamat. Jika teringat liciknya Arga ia menggeram kesal. Arga adalah kawan terdekatnya sejak kuliah. Sudah dianggap seperti saudara sendiri. Nasib baik mempertemukan mereka kembali di kantor yang sama, sebuah bank swasta. Tiga tahun bersama sebagai rekan kerja berjalan dengan baik. Prestasi Satya dan Arga cukup bersinar sebagai pegawai junior. Sayangnya, memasuki tahun keempat perilaku Arga mulai mencurigakan. Sampai enam bulan lalu, Satya mengetahui yang sebenarnya. Arga terlibat kecurangan terhadap tabungan milik nasabah. Awalnya ia menasehati kawannya agar berhenti melakukan tindakan tersebut. Tetapi tidak digubris. Tindakan yang sama terus berulang. Timbul niatan Satya untuk melaporkan ke atasan. Setelah melalui perdebatan dalam dirinya, Satya memilih menyelamatkan nasib nasabah.
Tak lama setelah melaporkan kecurangan Arga secara anonim, Satya mengajukan pengunduran diri. Proses laporannya terbilang cepat direspon. Bahkan lebih cepat dari keputusan resign dari HRD. Tindak lanjut atas laporannya berbuntut pada pemecatan Arga. Selang dua hari dari pemecatan Arga, Satya mulai diteror nomor tidak dikenal. Itulah awal mula mimpi buruk Satya.
Arga manusia licik dan pengecut kabur dari tanggung jawab ganti rugi serta pelunasan hutang pinjaman online. Ia sekarang menjadi buron polisi atas kasus penipuan nasabah. Debt collector juga mengincarnya. Tetapi terselamatkan karena kini Satya sebagai penjamin yang ditawan.
"Saya sudah bilang berkali-kali, saya dijebak Arga. Cari dia bukan saya. Sumpah saya nggak tahu apa-apa," kata-kata yang sama keluar dari mulut Satya yang luka. Sudut bibir kanannya robek. Ada bekas darah kering di sana. Pukulan kembali mendarat di perutnya.
***
"Teman Satya nggak ada yang bisa kasih petunjuk?" Pram kembali menyelidik.
Chia kembali mengamati setiap pesan dari teman Satya. Ada satu nama yang hampir terlupakan olehnya. Saat ia mengecek pesan ke orang itu, pesannya centang satu sejak Satya hilang.
"Pram, jangan-jangan ada hubungannya sama orang ini?" Chia menunjukkan pesannya. Mereka pun saling pandang.
6 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 4: Dasa Darma & Jatuh Suka
Keesokan harinya, Chia kembali menghubungi nomor Satya berharap ada kemajuan. Nihil. Ratusan pesan menumpuk tak terbaca. Chia hanya membuka pesan dari keluarganya atau keluarga Satya. Ada pesan masuk dari Mama Satya menanyakan kondisi dan keberadaan Chia. Ia hanya sanggup membalas baik-baik saja dan jangan khawatir. 
Chia mengirimkan pesan kepada Iko untuk menemaninya membeli sepeda. Chia tidak bermaksud tinggal lama di desa, hanya menghabiskan cuti yang telah diambil agar tidak mubazir. Chia bergegas menemui Iko di bengkel tepi jalan raya, tempat ia bekerja.
"Sudah lama kerja di bengkel?" tanya Chia memecah keheningan di perjalanan menuju toko sepeda. 
Iko mengemudikan motor. "Sejak bengkel dibuka, Mbak. Sudah dua tahun berarti," jawabnya.
"Pemiliknya orang sini juga?"
"Bukan. Orang jauh. Bos saya orang pintar yang kesasar ke desa," jawab Iko tertawa lirih.
"Kenapa gitu?"
"Biasanya orang pintar, lulusan universitas kan kerja di perusahaan. Bos saya pilih ke desa buka bengkel. Alhamdulillah sih, Mbak, bengkel itu jadi ladang rejeki kami. Bengkel serba ada. Orang-orang yang kerja di sana awalnya cuma buka praktik di rumah. Ada yang ahli sepeda onthel, ahli motor, ahli mobil, sampai ahli traktor juga ada. Mereka diajak gabung kerja di bengkel sama bos.  Jadi, lengkap bengkelnya," jelas Iko membuat Chia manggut-manggut. Iko yang katanya pendiam ternyata bisa bicara panjang lebar.
"Mulia sekali," sahut Chia spontan.
Mereka sampai di toko sepeda terlengkap di pasar. Chia langsung menemukan sepeda yang cocok untuknya meskipun itu bekas. Iko menyarankan sepedanya untuk diperbaiki di bengkel dulu. Chia setuju.
Perjalanan ke bengkel, Iko berada di jok belakang sedangkan Chia mengambil alih kemudi. Lalu sepeda berada di tengah, dipegangi Iko. Kata Iko, lebih baik dia yang pegang sepedanya kasihan kalau Chia, nanti berat.
Setelah sampai di bengkel, sepeda Chia langsung diambil alih teman Iko. Sesaat akan berpamitan pulang, Chia melihat seseorang yang tidak asing.
"Pram?" sapanya. Orang yang berjalan ke arah dalam bengkel berhenti dan menoleh ke sumber suara.
Orang itu mengerutkan dahinya. "Chia?" Pekerja bengkel menghentikan aktivitasnya demi menyaksikan adegan tersebut.
"Kamu kenapa di sini?" tanya Chia keheranan.
"Itu bos saya, Mbak Chia, yang tadi saya ceritakan," celetuk Iko menimpali obrolan.
"Kalian saling kenal?" Pram nampak kaget dengan interaksi mereka.
Chia mengangguk. "Iko yang urus rumah eyang di sini."
Pramudya, hanya satu kata, akrab dipanggil Pram merupakan teman SMP Chia. Dulu Chia begitu dekat dengan Pram. Mereka terlihat klop, meski Pram cenderung cuek dan Chia sangat ceria. Namun, sejak kuliah hubungan keduanya renggang. Tak jelas penyebab lainnya, selain jarak jauh dan pertemuan yang jarang.
Pram, seperti yang diceritakan Iko, memang manusia pintar. Saat SMP bahkan dapat julukan "Einstein". Dia sering menghabiskan waktu di laboratorium dan mengikuti lomba sains. Bagi Chia, Pram adalah penyelamatnya. Sebab Chia yang sering dispensasi mengikuti pertandingan badminton kerap ketinggalan pelajaran. Sehingga Pram menjadi tujuannya untuk belajar dan menyelamatkan nilai rapor.
Pertemuan tak terduga ini tanpa sadar membuat Chia tersenyum setelah muram tiga hari terakhir. Tak ada Satya, Pram pun jadi.
4 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 3: Dasa Darma & Jatuh Suka
Rafflesia Arunika akrab disapa Chia atau Runi—panggilan dari rekan kerja di kantor—mendapat pertanyaan "kapan?" yang semakin akrab di telinga saat usia dua puluh sekian. Chia selalu menanggapinya dengan santai, pertanyaan itu tidak.mengganggunya. Kalau ditanya soal pasangan dia hanya akan senyum-senyum. Ia punya daftar kriteria tersendiri untuk pasangannya. 
"Sesuai Dasa Darma Pramuka," celetuk Chia suatu hari ketika salah satu bibinya bertanya. "Paket komplit loh. Coba googling Dasa Darma Pramuka apa aja," jelasnya begitu bibinya mengerutkan dahi. 
Dasa Darma Pramuka memang lekat di ingatan Chia. Bukan karena dia anak pramuka sejati. Hanya saja dia pernah mendapat tugas sebagai pembaca Dasa Darma saat upacara pelantikan anggota Pramuka. 
Awalnya saat ditanya soal kriteria pasangan dia bingung. Namun, seketika benang-benang memori di otaknya bekerja, menemukan ingatan Dasa Darma Pramuka. Ia mengingat satu persatu poin dalam Dasa Darma. Wajahnya berseri. Ia telah menemukan jawaban yang tepat.
Mungkin tidak banyak orang awan yang tahu Dasa Darma Pramuka kecuali anak Pramuka yang masih aktif berkegiatan. Biasanya untuk mempermudah dibuat singkatan TACIPAPARERUHADIBESU. Hal ini terbukti membuat Chia lebih cepat hafal.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Begitulah pertemuan Chia dengan Satya. Chia yang santai menghadapi persoalan jodoh bertemu Satya tanpa persiapan. Mereka bertemu di acara pernikahan sahabat Chia. Saat itu mereka sama-sama menjadi pendamping kedua mempelai. Berawal dari obrolan ringan yang ternyata sefrekuensi. Hubungan mereka berlanjut dengan banyak pertemuan dan percakapan.
Arkandra Satya Wicaksana, sosok pemuda berpostur tegap dengan tinggi 175 cm. Lebih tinggi sepuluh sentimeter dari Chia. Wajahnya tidak setampan Nicholas Saputra, tetapi sekali lirik ingat selamanya. Saat Satya tersenyum, hati Chia terpikat. Senyumnya sungguh menawan hati. Terbayang di kepala meski orangnya sudah tidak di depan mata.
Satya tipikal laki-laki yang memberikan kedua telinga untuk mendengarkan lawan bicaranya dengan sepenuh hati. Tidak melakukan interupsi di tengah cerita. Chia menyukai sikap Satya ini. Chia merasa didengarkan saat bercerita. Bagi Satya sendiri menjadi pendengar yang baik telah menjadi kesehariannya. Lantaran ia memiliki mama dan adik perempuan yang juga banyak bicara. Tak hanya itu saja Satya tergolong sigap dalam membaca situasi. Tak banyak bicara, tapi banyak aksi nyata.
Aspek Dasa Darma poin pertama hingga terakhir telah ada dalam diri Satya. Semakin mengenalnya, semakin Chia yakin Satya ditakdirkan untuknya. Keyakinan itu didapatnya saat tiga bulan kedekatan bersama Satya.
Ada banyak persamaan antara Chia dan Satya. Menonton film, membaca buku, selera musik, dan olahraga yang digemari membuat Chia makin jatuh suka terhadap Satya. Deretan film dan buku yang disukai menambah referensi bagi Chia maupun Satya. Selera musik yang tidak jauh berbeda membuat mereka sering menyempatkan diri datang ke konser musik bersams. Pernah suatu hari datang ke konser musik Tulus, mereka sepayung berdua karena tiba-tiba saat lagu "Hujan di Bulan Juni" air langit turun. Soal olahraga dengan rutinitas Chia di luar kantor sebagai pelatih badminton di salah satu klub dan Satya yang rutin bermain badminton membuat keduanya semakin menemukan titik temu.
Toko buku, bioskop, tempat konser, dan gelanggang olahraga menjadi tempat yang rutin dikunjungi bersama. Salah satu diantaranya menjadi tempat yang berkesan bagi Chia. Di lapangan badminton, selesai bertanding satu lawan satu, Satya menyatakan keseriusannya dengan kotak cincin di tangan kirinya. Sorak sorai orang-orang yang masih tinggal di tepi lapangan maupun yang sedang bermain di lapangan sebelah seperti paduan suara mendukung momen romantis. Cincin unik berlambang raket—dibuat khusus—tersemat di jari manis kiri Chia tepat satu tahun bersama Satya.
***
Chia terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam tangan, pukul 12.30 pantas saja ia merasa gerah. Sudah dua jam dia merebahkan diri di kasur dan terlelap. Suara ketukan pintu membuatnya tersadar dari mimpi. Ia menatap cermin di dinding. Matanya yang bengkak sudah sedikit lebih normal. Memastikan dirinya tidak seperti orang bangun tidur, Chia bergegas menuju pintu depan. 
Tak ada orang. Hanya ada rantang makanan di meja teras rumah. Terselip secarik kertas yang sengaja ditinggalkan. Dibacanya sekilas. Kiriman makanan dari Iko rupanya. Chia lekas membawanya ke dalam.
Selepas salat zuhur dan makan siang, Chia duduk termenung memandangi potret dirinya dan Satya yang saling lempar senyum dengan mata berbinar. Foto selanjutnya Chia tampak menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Keduanya adalah foto yang diambil saat Satya melamar Chia. 
Tak ada alasan yang membuat Chia ragu untuk melangkah dalam ikatan pernikahan dengan Satya. Sedari awal Satya telah memenuhi kriteria Dasa Darma ditambah pula dia telah memiliki pekerjaan tetap. Perbedaan di antara banyak persamaan tak menjadi soal. Chia begitu yakin mereka bisa saling bertaut dan bertumbuh selamanya. Semua berjalan dengan baik satu setengah tahun ini, hingga surat di hari akad meruntuhkan segalanya. 
Chia masih dibuat bingung untuk mencerna keputusan Satya yang begitu mendadak. Bukan seperti Satya yang ia kenal selama ini. Satya tidak akan lari dari tanggung jawab. Apalagi soal keputusan dengan sadar telah ia ambil sendiri. 
Ataukah memang selama ini Chia tidak memahami Satya? Pikiran itu mengusiknya. Kenyataan Satya telah resign dan ia tidak tahu membuat keraguan itu semakin bergaung. Chia merasa gagal menyelami diri Satya. 
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak menerima panggilan," suara operator kembali menyahut. Chia menghela nafas. Percobaan kesekian puluh kali yang masih sama.
6 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 2: Rumah ke Rumah
Semalam Chia tidur tidak nyenyak. Matanya bengkak akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata. Ia jatuh tertidur akibat lelah menangis dan lemas karena sedikit asupan makanan yang masuk ke lambungnya. Ayah dan ibu juga sama terpukulnya dengan Chia. Suasana rumah menjadi hening dan tegang. 
Saat orang tua Satya bertandang ke rumah untuk melihat kondisi Chia dan memohon maaf atas tindakan Satya, ia tak kuasa untuk menemui mereka. Alhasil kedua orang tua, dua keluarga, bertemu terlibat perbincangan yang intens. Papa Satya berulang kali mengucapkan maaf, sedangkan Mama Satya terisak. Mereka mengaku tidak tahu menahu jika Satya kabur. Sebagai orang tua, mereka merasa telah dibohongi dan dipermainkan oleh Satya. Ayah dengan kesabaran yang masih ada tetap berpikir jernih serta menahan marah. Ibu tak jauh beda dengan Mama Satya, terisak dalam tangis dan tanpa kata.
Chia sendiri menghubungi semua teman-teman Satya. Menanyakan keberadaan Satya. Namun, tidak ada jawaban yang memuaskan. Begitu kabar Satya hilang dan akad batal tersebar, puluhan pesan masuk memenuhi notifikasi ponsel Chia. Semua temannya juga terkejut mendengar berita itu, terutama yang datang langsung ke rumah dengan niat menyaksikan akad.
Meski hampir semalaman menangis, Chia dengan sisa-sisa ketenangan dapat berpikir logis. Dengan mata yang bengkak, Chia membaca kembali surat dari Satya dan pesan percakapan mereka sebelum Satya tidak dapat dihubungi. Aneh. Satya nggak mungkin tiba-tiba kabur tanpa alasan, batinnya.
Dari puluhan pesan yang masuk dan tak sempat terbaca oleh Chia, ada satu pesan dari rekan kerja Satya yang mengejutkan. Isi pesan itu mengabarkan bahwa satu minggu sebelum hari pernikahan—seharusnya—Satya telah resign dari kantor. Chia tak habis pikir bagaimana ia bisa tidak tahu. Lalu semua berjalan seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa.
Maka pagi ini Chia memutuskan untuk pergi dari rumah dengan dalih mencari jejak Satya. Terbesit pikiran nekat untuk menyendiri di suatu tempat, sehingga ia pun bersiap dengan ransel berisi beberapa potong pakaian. Ia sudah bangun sebelum azan subuh berkumandang, mendahului penghuni rumah lainnya. 
Nampaknya semua orang di rumahnya kelelahan menghadapi kejutan. Hal ini akan memudahkan dirinya menyelinap keluar rumah diam-diam. Seperti Satya, ia meninggalkan pesan di secarik kertas yang dirobek dengan kasar. Ia tempelkan di cermin meja rias dalam kamarnya. Sang adik perempuan, si bungsu, yang menemani tidur pun masih terlelap. Lalu agar tetangganya tak curiga jika berpapasan, Chia telah berkamuflase dengan pakaian laki-laki. Tak lupa menggunakan kacamata gelap untuk menutupi mata bengkaknya. Pukul 05.00 ia sudah berada di atas motor membonceng ojek online. 
Chia mampir ke kompleks rumah Satya. Tujuannya mencari CCTV terdekat, ia ingin menebus rasa penasaran akan pergerakan Satya. Ada satu CCTV yang mengarah ke jalan depan rumah Satya. Monitor pengawasnya ada di pos satpam. Mudah bagi Chia untuk meminta akses sebab pak satpam sudah kenal. Sebelum menunjukkan rekaman CCTV, pak satpam mengucapkan keprihatinan atas gagalnya pernikahan Chia dan Satya. Dari hasil rekaman CCTV, terlihat Satya keluar rumah dan berjalan ke kiri, menjauh dari radar CCTV. Hanya itu yang didapatkan Chia. Tak ada lagi CCTV di jalan yang dilalui Satya.
Masih dengan pengemudi ojek online yang sama Chia memutuskan ke kantor Satya. Karena hari Sabtu kantor tutup. Terbayang kembali pesan yang dikirimkan rekan kerja Satya. Satya telah resign. Chia mendesah dengan berat.
Motor kembali berjalan di jalanan yang mulai ramai dan berhenti di depan kantor polisi. Chia bergeming di belakang pengemudi. Ia mengenyahkan pikiran untuk melaporkan hilangnya Satya.
"Maaf Mbak, mau kemana lagi?" tanya pengemudi ojek online membuyarkan lamunan Chia.
"Hmm, ke terminal, Pak."
Chia sudah berada di bus menuju rumah eyang di desa yang telah diserahkan padanya sebagai hadiah pernikahan. Letak rumah itu di kota lain dengan waktu tempuh empat jam perjalanan. Eyang membeli rumah itu setahun lalu dari kenalannya yang butuh uang cepat. Alasan eyang selain membantu kenalannya, rumah itu bisa menjadi investasi jangka panjang. Kemudian saat Chia mengabarkan telah dilamar Satya dan segera menikah, eyang tanpa ragu menyerahkan kunci rumah itu padanya. Hadiah untuk cucu perempuan pertama yang akhirnya mau menikah.
Chia tertidur selama perjalanan. Hingga saat telah sampai terminal, pemberhentian terakhir, kernet bus membangunkannya. Ia turun dari bus dan berganti naik angkot. Menurut penuturan sopir angkot untuk sampai ke tujuan, Chia akan naik dua angkot yang berbeda. Angkot pertama membawanya menuju setengah perjalanan disambung dengan angkot kedua yang melintasi tujuan Chia. 
Angkot kedua menurunkannya di pinggir jalan. Chia harus berjalan kaki 500 meter menuju rumah eyang. Ia telah dua kali datang ke sini bersama eyang saat survei rumah dan saat penyerahan kunci serta surat tanah. Sehingga ia sudah hafal jalan dari jalan raya menuju rumah eyang. 
Selama rumah kosong, ada salah seorang warga yang mendapat amanah untuk mengurus rumah. Atas rekomendasi pemilik rumah yang lama, Jatmiko atau biasa disapa Iko, menjadi pengurus rumah. Chia belum mengabari Iko jika akan datang. Ia pun belum pernah bertemu Iko. Selama ini hanya berkomunikasi melalui telepon dan pesan jarak jauh.
Saat akan mengabari Iko bahwa dirinya datang, notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab di pnselnya bermunculan. Ayah, si tengah, si bungsu, sepupu, serta paman dan bibi saling mengirimkan pesan. Semuanya menanyakan keberadaan Chia dan apa yang diperbuatnya. Jemarinya dengan lincah mengirimkan pesan di grup keluarga. Mengabarkan bahwa ia mencari Satya dan sedang ingin sendiri. Tak lupa berpesan agar mereka tidak khawatir. Lalu sekejap kemudian mengirimkan pesan pemberitahuan kepada Iko. Dan diakhiri dengan mematikan data seluler serta mengaktifkan mode pesawat.
"Mbak Chia?" sapa seseorang dari arah belakang Chia. Hampir membuatnya terlonjak.
"Iko?" tebak Chia. Orang yang dipanggil Iko mengangguk. "Saya baru kirim pesan ke kamu, kok sudah sampai?" tanyanya heran.
"Oh, Mbak kirim pesan ke saya? Handphone saya di rumah. Kebetulan saya lewat. Nebak aja tadi. Ternyata betul," jelas Iko.
"Silakan masuk mbak. Baru kemarin rumahnya saya bersihkan. Tapi kuncinya ketinggalan di rumah juga," lanjut Iko.
"Saya bawa kunci kok," ungkap Chia. "Saya mau berkabar aja kalau beberapa hari ke depan akan tinggal di sini. Jadi kamu nggak kaget kalau rumahnya ada orang."
Iko manggut-manggut mendengarkan penjelasan Chia. "Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi saya, Mbak."
"Oke. Makasih, ya."
"Kalau begitu, saya permisi, Mbak. Mari."
"Iya."
Saat masuk rumah, Chia lekas menuju kamar. Benar-benar bersih dan rapi. Chia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Matanya terpejam namun pikirannya melayang. Satya kamu di mana?
6 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 1: Akad
Chia, saat kamu menemukan surat ini artinya aku tidak menepati janjiku di hari sakral kita. Saat kamu membaca surat ini aku menjadi orang pengecut untukmu. Maafkan aku, Chia. Aku rasa maaf pun tidak akan cukup menghapus rasa kecewa dan marah.
Chia, maafkan aku tidak bisa melanjutkan acara ini. Seharusnya pagi ini menjadi momen sakral dan bersejarah untuk kita. Seharusnya lagu Akad dari Payung Teduh mengalun syahdu setelah khidmat ijab kabul terlaksana. Seharusnya aku menyematkan cincin pilihan kita di jari manis kananmu, dan begitupun sebaliknya. Seharusnya aku bisa melihat senyummu sepanjang hari yang akan terabadikan dalam foto-foto bersama keluarga dan tamu undangan. Seharusnya kita bisa menikmati acara sederhana nan intim bersama keluarga besar yang telah kita rencanakan berbulan-bulan. Namun, aku yang pengecut ini memilih pergi.
Chia, maafkan aku sungguh. Namun aku pun terima jika tiada maaf darimu. Sampaikan maafku kepada ayah dan ibu, mama dan papa, dan keluarga besar kita. Aku siap menerima konsekuensi dari tindakan bodohku.
Chia, aku sungguh menyayangimu dan mencintaimu. Tetapi… ini harus aku lakukan. Maafkan aku, Chia.
 
Satya
 
Chia terdiam membaca surat kejutan yang mematahkan hati dan harinya. Suasana rumah di pagi hari yang riuh karena persiapan akad bertambah gaduh. Jam dinding menunjukkan pukul 06.05 menit. Sesuai yang tertulis di kartu undangan, 25 menit lagi adalah pelaksanaan akad nikah. Chia mengulang kembali dari awal. Kelopak matanya yang telah dipoles indah dengan eyeshadow tak berkedip selama membaca kalimat demi kalimat dalam surat. Ia menggigit bibir tipisnya yang terlapisi lipstik soft pink tampak cocok dengan kulit wajahnya yang putih tanpa bedak tebal. Ia memastikan tak ada satu kata terlewatkan.Setelah mengulang ketiga kalinya, ia menghembuskan nafas keras. 
"BRENGSEK!" serunya penuh kekesalan seraya meremas surat di tangannya. Dadanya naik turun, seiring emosi yang meluap menguasai dirinya.
"Astaghfirullah….astaghfirullah….astaghfirullah," ucapnya sambil mengatur nafas. 
Chia duduk di depan cermin rias di kamarnya. Tampak pantulan wajahnya yang anggun dengan tatanan rias natural sesuai permintaannya. Setengah jam lalu saat menatap cermin, terlihat senyum mengembang dan mata berbinar menyapanya. Kini semua lenyap ditelan kata-kata dari surat Satya.
Di luar kamar, keluarga besarnya gaduh meributkan Satya yang tiba-tiba hilang. Mereka sibuk dengan gawai masing-masing menghubungi pihak keluarga Satya. Memastikan kebenaran surat dan keberadaan Satya. Sedangkan orang tua Chia, terduduk lemas di ruang depan. Tampak ayah menenangkan ibu yang menangis tak kunjung henti. Di halaman rumah yang seyogyanya dihelat acara akad nikah, para tamu yang hadir kebingungan melihat sanak saudara Chia yang wara wiri dengan gelisah. Sebagian mulai bisik-bisik menduga-duga keanehan tingkah mereka. Sampai akhirnya paman tertua dari pihak ayah dengan berat hati menyampaikan kabar tidak mengenakan tersebut. 
Surat itu datang tiba-tiba saat Chia dan keluarganya masih sibuk dengan pakaian serta riasan masing-masing. Salah satu sepupunya yang baru datang mengambil amplop biru dari kotak surat depan rumah. Sebab menurut sepupu Chia agak mengherankan ada kiriman surat di hari akad, ia serahkan amplop biru kepada Chia sesuai yang tertulis di muka amplop.
"Aneh ada surat pagi-pagi, padahal belum jam enam," kata sepupu Chia seraya mengulurkan amplop biru. Chia baru saja selesai mengenakan gaun pengantin yang khusus dibuat untuk hari spesialnya.
"Ada di kotak surat?" tanya Chia yang membolak-balikkan amplop biru dengan heran. Sepupunya mengangguk. "Tapi nggak ada resi atau perangkonya," ujar Chia sambil membuka rekatan pada amplop. Ada selembar kertas di dalamnya. Chia langsung membaca surat itu dan seketika ekspresinya berubah tegang. Tubuhnya mendadak lemas, ia jatuh terduduk di kursi rias. Sepupunya dan perias pun mendekat begitu melihat perubahan wajah Chia.
"Kenapa Chi?" tanya sepupu Chia khawatir. Tanpa menunggu jawaban Chia, ia langsung menyambar surat tersebut. Perias ikut mengintip isi surat. Keduanya tercengang dan terdiam beberapa saat. Chia masih membeku di tempatnya tanpa ekspresi. Perias pun menabahkan hati Chia yang hancur berkeping-keping.
Menyadari bahwa yang terjadi adalah masalah besar dengan tergesa sepupu Chia keluar dari kamar dan memberitahukan kepada orang tua Chia beserta anggota keluarga lainnya perihal surat tersebut. Sontak mereka semua pun histeris.
Chia meraih gawainya. Mengecek pesan dari Satya yang masih centang satu, sejak pukul 05.15 atau satu jam lalu. Ia masih tenang saat mengirim pesan kepada Satya dan hanya centang satu—satu jam lalu—sebab adik Satya masih dapat dihubungi dan mengabarkan bahwa Satya masih bersiap di kamarnya. Namun kini ia tahu alasan sebenarnya. 
Chia menggebrak meja rias. Emosinya kembali meluap. Ingin dibanting barang-barang yang ada di depannya, tapi urung. Dipandanginya gumpalan kertas di atas meja dengan pilu. Kini terdengar isakan tangis. Bahunya terguncang, air mata tumpah melunturkan riasan anggun di wajahnya.
Seharusnya hari ini menjadi Jumat khidmat. Seharusnya jika ada air mata itu adalah air mata haru. Namun, nasi telah menjadi bubur. Satya mengaduk semua rencana menjadi hancur lebur.
5 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Teruslah bergulir, selalu lahir
Tumblr media
Seperti fajar, yang selalu mendaur hangat tenangnya dhuha. Seperti malam, yang selalu menyulam teduh damainya gulita. Teruslah bergulir, pemahaman-pemahaman baru semoga terupaya selalu lahir.
"Kok kayak enak terus sih kamu Pus, doanya selalu dikabulin sama Allaah?!"
(Duh, deg!) Dulu, berkali-kali pertanyaan sebaliknya justru deras berputar-putar di kepala. Pertanyaan yang justru jawabannya kini malah pertanyaan kembali. Ya, pertanyaan di atas merupakan balasan untuk pertanyaan lama yang pernah ada. Dan nota tanya yang saat ini, kadang muncul sayup-sayup terdengar, entah dari mana asalnya. Untuk menjawabnya pun, butuh kontemplasi yang tak sebentar. Entah menghabiskan berapa banyak putaran edar siang malam, hingga akhirnya bisa memetik sekecil hikmah yang terserak. Lucu yaa bagaimana Allaah dengan mudah membolak-balik keadaan.
Ratusan gelap malam yang lalu, pertanyaan pertama mulanya muncul, "Kenapa sih Allaah nda pernah ngabulin doaku? Kapan yaa, Allaah jawab doa-doaku? Kok gini terus sih?!"
Dan dua pertanyaan di atas, ternyata sungguh memiliki jawaban yang sama. Ini semua adalah tentang lahirnya pemaknaan baru nan utuh, tentang doa yang selalu dirasa dijawab olehNya. Mungkin terdengar indah mendayu dan membuat haru. Walau nyatanya, "tidak", "bukan", dan "lain kali" juga merupakan jawaban dariNya atas doa-doa yang telah dilangitkan sejak lama. Awalnya memang terasa menghentak, membuat sesak, dan penyangkalan di sana-sini ikut menyeruak, namun lagi-lagi karena kasih sayang dan rahmatNya, semua rasa tak nyaman itu bisa melebur hanyut terbawa sapuan angin yang melahirkan senyum penuh nanar. Setiap doa itu, satu per satu, pasti Allaah jawab, akan Ia balas, dengan takdir yang sedemikian indahnya. Dan jika belum bertemu dengan indahnya, maka titik takdir dan diri kita masih berjalan menuju satu titik temu yang sama, sebentar lagi bersua, sebentar lagi bersatu, demi menggenapkan keindahan yang padu.
Sungguh, butuh waktu dalam hitungan tahun pula pemahaman ini akhirnya bisa tertuliskan.
Karena atas setiap balasan doa dariNya, tak ada apapun yang dapat diambil, selain kebaikan dan hikmah yang bertaburan. Karena atas setiap tengadah tangan dan isak lirih hambaNya, Allaah malu bila tak menjawabnya. Karena pada yang luput kita panjatkan dalam doa saja, Allaah selalu beri sempurna tanpa jeda, lantas pada yang selalu kita minta padaNya, bersiaplah menerima penuh suka cita 🤍
Lalu pada akhirnya, atas setiap ketetapan yang diberikanNya pada kita, jawaban diri kita-lah yang harusnya berkhidmat "sami'na wa atho'na", dengan sayap keimanan, syukur dan sabar.
Allah Maha Adil tak pernah lalim. Allaah Ar-Rahim tak pernah dzalim. Allaah Maha Baik, cintaNya selalu mengalir.
12 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 5 [the end]
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
4 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 5 [the end]
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
2 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 5 [the end]
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 4
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
4 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 3
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 2
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
msstrsr · 1 year
Text
Percakapan Teman Seperjalanan
Episode 1
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
6 notes · View notes