Tumgik
#5CC
khoridohidayat · 1 year
Text
Lalu, apa alasanmu ingin menikahi anak puteriku, Nak?
Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari laki-laki paruh baya yang berada didepanku. Disampingnya, duduk seorang gadis teduh berdandan sederhana, ditemani oleh ibunya yang juga berpakaian rapi ketika itu. 
Aku yang sudah sedari tadi berbicara panjang lebar basa basi dengan dua orang paruh baya ini mulai memutar otak untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tertata dan mengena. Aku menegakkan punggung, menghirup nafas dengan rileks, dan merapikan sedikit bajuku yang sudah cukup lusuh karena tebaran angin sore itu.
Di situasi itu, apa yang harus aku lakukan? Kamu sebagai pembaca, apa hal yang bakal kamu lakukan jika kamu berada di posisiku? Kalau aku, mungkin, aku akan cukup bingung menjawabnya.
Karena, kadang, apa yang kita lakukan sering kali tanpa alasan. Tentang makanan yang kita makan, apakah kita betul memikirkan nutrisinya? Tentang kebiasaan scrolling social media yang kita lakukan setiap hari, apakah kita membatasinya? Tentang mengerjakan tugas sekarang atau nanti, apakah kita memang sudah menghitungnya betul-betul agar tidak terlalu mepet deadline? Sepertinya banyak hal di dalam hidup kita yang dilakukan secara otomatis, tanpa sadar.
Tapi untuk ini, aku tak bisa melakukan secara otomatis, aku harus mempunyai alasan. Tapi apa. Aku masih mencarinya. Mungkin ini alasan Fathia menanyakan pertanyaan yang sama dua minggu lalu, agar aku siap ketika ditanya hal yang sama oleh Abinya. Sial, mana ketika itu aku tak menjawab pertanyaan dia dengan baik lagi. Aku hanya menggunakan analogi kampungan untuk menjelaskan mengapa aku memilih dia untuk menjadi pendamping hidupku nanti. Mampus, hari ini aku merasakan akibatnya.
Aku masih memikirkan jawabannya. Waktu seperti berhenti sejenak, sedangkan aku masih bisa memikirkan sesuatu secara leluasa. Aku melihat perempuan itu senyum manis malu-malu kepadaku, percaya bahwa aku bisa menjawab pertanyaan itu dengan baik. Sedangkan aku, masih bergulat dengan pikiranku, menelusuri ruang perasaan didalam hati, berharap aku bisa menemukan jawaban itu. 
Pikiranku menyelam ke dalam otakku dengan lebih dalam, ada hal yang harus aku jawab. Ada seseorang yang membutuhkan jawabannya. Kenapa ya aku memilih dia? Apakah karena cantik? Sepertinya bukan itu poin utamanya. Apakah karena dia pendengar? Iya memang, tapi hatiku berkata bahwa aku mempunyai alasan yang lebih tinggi daripada itu. Apakah karena pekerjaannya? Sebentar-sebentar, sepertinya aku tahu. Oke, aku menemukan alasannya!
“Saya ingin menyelamatkan diriku dan anak keturunanku, Abi.” Kataku
Sejenak ruangan tamu rumah ini menjadi hening. Suara detikan jam dinding terdengar lebih keras dari sebelumnya. Suara angin dari sebuah kipas di pojok ruangan juga menjadi terdengar lebih kencang. Waktu seperti berhenti ketika itu. Dan nampaknya perempuan itu juga tidak paham dengan apa yang baru saja aku sampaikan.
“Aku kurang paham dengan jawabanmu, bisa tolong jelaskan lebih lanjut?” Kata pria paruh baya itu
Baik, aku menghela nafas lebih dalam, mengatur intonasi dan ritme paragraf-paragraf panjang yang akan aku keluarkan. Tak lupa, aku juga membaca doa untuk memperlancar lisanku, yaitu doa yang sama ketika Nabi Musa diperintah oleh Allah untuk menghadap penguasa Mesir ketika itu .
“Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.”
Paragraf pertama aku buka dengan sebuah teori psikologi.
Jadi maksud saya seperti ini, Abi. Saya selalu percaya, bahwa baik buruknya seseorang sangat bergantung pada lingkungannya. Orang akan menjadi baik jika dia berkumpul dengan orang baik. Dan juga sebaliknya, orang akan menjadi “jahat” jika dia berkumpul dengan orang yang kurang baik. Iman juga seperti itu. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda, bahwa hati manusia itu sangat lemah. Dia harus terus diikat dengan pertemanan yang baik.
Saat ini, dunia sudah tidak seaman dahulu. Banyak orang menganggap bahwa berpacaran adalah hal yang lumrah. Menonton tayangan tidak senonoh juga sepertinya sudah menjadi bagian hidup bagi beberapa orang diluar sana. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, banyak anak SMP dan SMA di suatu kabupaten mengajukan pernikahan dini. Bukan karena memang sudah siap menikah, tetapi mereka telah hamil diluar nikah.
Kejadian seperti ini yang membuat saya takut. Bagaimana jika anak saya juga seperti itu. Bagaimana jika pada suatu saat nanti anak saya merengek untuk pergi satu malam bersama pacarnya. Apa jadinya jika dia pergi bersama pacarnya kemudian dengan rela pahanya dipegang-pegang oleh pacarnya dan dia tidak merasa risih sedikitpun. Mungkin terlihat klise, tapi saya benar-benar pernah melihatnya di jalan, dengan kedua mata kepala saya.
Disisi lain, orangtua juga tak kalah berzinanya. Ada istri yang selingkuh dengan rekan sekantornya karena dia lebih mendengarkan dan menerima apa adanya daripada suaminya. Ada juga suami yang mempunyai hubungan asmara lain dengan asistennya, yang lebih muda, yang lebih cantik, dan yang lebih sering bertemu di kantornya. Bahkan ada juga orang yang sampai sengaja check in di hotel bersama teman sekantor atau asistennya untuk melakukan hubungan haram itu.
Saya takut jika itu akan terjadi di keluarga saya. Saya boleh menerima cobaan apapun, asal jangan cobaan dalam keluarga dan agama. Karena konon itu adalah cobaan yang paling berat di dunia dan jarang ada orang yang bisa melewatinya dengan baik.
Oleh karena itu, saya harus memilih pasangan yang solehah. Orang yang telah menjaga dirinya. Perempuan yang juga telah berkomitmen lama untuk menjaga hawa nafsunya dengan tidak bermesraan dengan seseorang jika belum sah. Dan, aku melihat, bahwa puteri bapak adalah muslimah yang taat. 
Saya pernah mendengar dari sahabatnya bahwa dia selalu sholat hajat sebelum tidur, menjaga shalat tahajudnya seperti dia menjaga barang yang dicintainya, bahkan sahabatnya juga pernah melihat dia tak sengaja tertidur di atas sajadahnya dengan memeluk mushafnya akibat lelah menuntaskan target bacaan hariannya.
Saya mempercayakan hidupku untuk dilengkapi oleh dia.
Saya sangat selektif dalam memilih teman, maka saya juga berhak selektif dalam memilih pasangan.  --
Orang yang membeli sepatu mungkin hanya menyesal satu atau dua minggu ketika dia memilih barang yang salah. Orang hanya akan kesal selama satu atau dua tahun jika salah memilih pekerjaan. Tapi, soal pasangan, akan seberapa menyesal jika orang telah salah memilih pasangan?
Saya ingin menyelamatkan diri dari lingkungan yang tidak sehat. Saya ingin menyelamatkan anak dan isteriku dari zina yang telah dihiasi sedemikian rupa. Aku, juga ingin memilihkan ibu yang cerdas dan shalihah untuk anakku nanti. Itulah satu alasanku untuk memilih dia sebagai pasangan saya.
Satu paragraf gagasan ku telah terucap dengan lancar. Aku melihat orang tuanya mengangguk-angguk setuju dengan jawabanku. Hope it will be. Aku menghela nafas sejenak, menyadari ternyata keren juga ya aku bisa mempunyai gagasan yang kuat seperti itu. Ternyata berdebat dengan dosen ketika di kelas psikologi klinis di kampus bisa berguna juga ya untuk melamar perempuan yang aku cintai.
Semoga memang ayah dia bisa mencerna apa yang aku sampaikan, dan semoga apa yang aku harapkan bisa terwujud. Aku ingin segera menggenapkan separuh agamaku.
Bersambung (3/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 3
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
270 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Menu Sarapan dalam Bertahan Hidup: Episode Satu
Aku tak berniat kabur, tapi setelah kulewati hari-hari sepi setelah berhenti dari pekerjaan yang kujalani setengah hati, aku merasa baiknya memang begitu.
Kutelusur lagi hidupku yang carut-marut. Apakah semua dimulai dari bagaimana bapak memaksaku menapaki jalan yang sebenarnya tak kusuka. Atau karena orang yang kukira bisa kusandarkan bebanku padanya, ternyata masih membawa sekoper masa lampau yang membuatku terluka? Atau aku saja yang begitu tidak kompeten?
Ya. Barangkali itu.
Pagi itu perutku bergemuruh. Warung nasi hanya berbeda beberapa gang dari kosanku. Aku ingin berhemat, tapi terlalu lelah mencuci beras, menanak nasi, bahkan memikirkan teman makannya. Kudatangi warung nasi itu. Ada yang tak biasa dari hari-hari sebelumnya. Tertulis, ‘Hari ini jual bubur’. Ganjil, tapi tetap kudatangi. Kududuk di hadapan etalase yang memisahkanku dengan Ibu Warung Nasi.
“Kenapa jadi jual bubur, Bu?” tanyaku.
“Ini, loh, suamiku masak nasi terus kebanyakan airnya. Daripada dibuang, ya, dijual saja.” Jelasnya dengan nada antusias. Hebat sekali dia, antusias tiap kali berhapan dengan pelanggan dan mengubah hal yang bukan keinginannya menjadi hal yang lebih berharga. Kuharap aku menjadi dia.
Semangkok bubur itu tersaji di hadapanku. Nasi yang sudah menjadi bubur, harfiah, bukan hanya peribahasa. Berbagai topping tergeletak begitu saja di permukaan bubur. Kutambahkan beberapa keping kerupuk di atasnya. Kubanjiri dengan kecap karena bagiku rasanya akan lebih luhur. Tak kuaduk, tentu saja. Kubiarkan beberapa saat meski perutku sudah cukup keroncongan. Tak mau kubakar lidahku dengan bubur panas.
Waktu sesaat itu berubah menjadi waktu penuh tanya. Apa aku adalah bubur ini? Tak lagi aku bisa memutar waktu, sudah terlanjur, dan hanya perlu dibumbui? Mungkin, ditambah beberapa hiasan agar lebih menggugah selera? Apakah hidupku bisa lebih mudah jika aku menjadi bubur ini?
“Makasih, Bu, buburnya gak dibuang.” Ujarku kepada Ibu Warung Nasi. 
Kulahap suap demi suap hingga tandas sambil kuusap air asin di pipiku yang mengalir saat kuucapkan terima kasih.
Ibu Warung Nasi–barangkali karena melihatku menangis–menaruh sekotak tisu di hadapanku sambil memberikan surat selebaran dengan tulisan merah metalik yang cukup menarik perhatianku.
Bersambung.....
76 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
TIDAK ADA NAMAKU
Tumblr media Tumblr media
Hari yang ditunggu-tunggu setelah perjuangan sekian minggu, akhirnya tiba juga. Rasa antusias yang dibumbui penasaran yang amat dalam, menjelma menjadi kata berulang : deg-degan. Dua Puluh peserta yang lolos tahap berikutnya akan segera diumumkan.
Sebagaimana yang di iming-imingkan sebelumnya, bahwa peserta yang lolos akan mendapatkan benefit yang luar biasa. Tentu saja, itu menjadi cemeti yang memecut diri untuk berusaha yang terbaik.
Ketika daftar peserta yang lolos diperlihatkan. Diri ini membaca satu per satu baris nama yang tertera. Tidak ada namaku disana. Seketika hati dilumuri rasa kecewa. Sebagai manusia biasa, sempat ku berfikir,"apa usahaku masih terhitung tidak sekeras yang lain? Tapi aku merasa, semua hal yang kulakukan adalah usaha terbaik yang sudah aku berikan."
Aku tersadar bahwa memelihara rasa kecewa tidak pernah ada baiknya. Sebagai seorang yang berlatih menjadi pemenang, aku pun harus bisa mengakui kekalahan. Bukankah hal yang biasa, menang dan kalah dalam sebuah pertandingan?
Ah, aku jadi malu sendiri. Aku lupa bahwa proses bertumbuh dari kompetisi inilah yang menjadi titik balik banyak perubahan yang terjadi. Aku bisa menemukan diriku.
Lagi-lagi perlu kubesarkan hati. Selagi tidak memutuskan berhenti, pintu peluang masih akan terbuka lebar di waktu yang lain. Kesempatan akan selalu ada bagi orang-orang yang selalu mau mencoba. Semoga, aku masih menjadi salah satunya.
Selamat berjuang kuucapkan kepada teman-teman. Selamat dan semangat untuk memberikan karya terbaik kalian. Percayalah bahwa garis takdir Tuhan tidak pernah salah sasaran.
Salam,
Ika
23 notes · View notes
ariekdimas · 1 year
Text
Magnet Hati
Tumblr media
Kalau dipikir hati itu bagaikan magnet.
Jika menemukan lawan dengan kutub yang cocok maka akan saling tarik menarik. Akan tetapi jika kutubnya tidak cocok, maka pasti akan saling tolak menolak.
Namun walaupun ada hati yang terlihat cocok, mungkin saja daya tarik menarik nya lemah. Atau mungkin terdapat distrupsi yang membuat keduanya tidak bisa klob untuk bersatu.
Ketahuilah kawan, medan magnet memang tidak terlihat, tetapi bisa kita rasakan jika saling berdekatan. Sama seperti rasa cinta dan kasih sayang. Boleh jadi aura magnet yang kuat tersebut ada di dekat kita, bisa pada teman atau pada seseorang yang ada disekitar kita.
Jika belum menemukannya, coba cari dan rasakanlah kembali. Karena semakin dekat ia maka tarikannya akan terasa semakin kuat. Hingga akhirnya Allah satukan kedua hati tersebut oleh suatu hubungan yang bernama Pernikahan.
23 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #1
Aku terjatuh dengan pukulannya yang kuat mengenai kepalaku. Napasku seakan berhenti saat itu. Menahan rasa sakit dan pukulan lainnya yang berangsur mengenai tubuhku. Aku meringkuk. Seakan ingin mendapat perlindungan dari siksaan laki-laki itu. Akan tetapi, tidak ada satupun yang dapat menjadi pelindungku saat itu. Lelaki itu menggenggam rambutku dan menariknya sekuat tenaga, hingga aku memaksakan tubuhku untuk terseret mengikuti tarikan itu. Dia menarik tubuhku ke dapur. Setelah ia puas, ia melepaskan genggamannya. Kini tidak tersisa tenaga dalam tubuhku. Aku tergeletak di lantai dengan tatapan kosong yang penuh air mata.
Kapan semua ini akan berakhir?
Kejadian ini sudah berulang-ulang. Apakah masih ada harapan?
Saat itu aku teringat dengan buah hatiku sedang tidur dalam kamar. Airi. Buah hatiku. Ia adalah harapanku. Alasan aku dapat bertahan. Alasan aku harus kuat. Karena aku harus melindunginya. Aku tidak ingin anakku besar dalam lingkungan seperti ini.
Belum puas dengan menyiksaku, ia melangkah ke kamar itu. Dimana Airi sedang tidur. Seketika itu aku langsung sadar dan menahan kaki kirinya melangkah lebih jauh dengan tangan dan sisa tenagaku.
"Jangan Mas.. Tolong jangan Airi. Aku aja. Aku aja, Mas.." ujarku lirih, memohon kepadanya berulang-ulang.
Tapi ia tetap bersikukuh untuk ke kamar itu.
Jangan!! Aku berteriak dalam hatiku.
Seketika itu, tak sadar bagian setengah atas tubuhku langsung terbangun, terduduk tegak, dan mataku terbuka. Aku terkaget. Wajah dan leherku penuh dengan keringat dingin. Napasku tersenggal-senggal. Tanganku mencengkram selimut. Aku menoleh dan melihat sekeliling. Membutuhkan tiga puluh detik untuk sadar kembali itu hanya mimpi.
Alhamdulillah, itu udah lewat.
Itu udah lewat. Aku mengulangi kata-kata itu dalam hati untuk meyakinkan, itu hanya mimpi buruk. Itu kejadian 6 tahun yang lalu.
Setelah mulai tenang, aku meraih gelas di meja sebelah tempat tidurku. Kemudian meneguk air dalam gelas itu hingga tak tersisa lagi.
Aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Menuju kamar Airi. Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 00.30. Airi sedang tidur dengan mulutnya sedikit terbuka. Aku tersenyum melihatnya. Bahkan wajah tidurnya sangat cantik. Aku membuka selimut Airi, dan berbaring memeluknya dari belakang. Tercium harum Airi dari rambutnya yang khas. Menikmati harum Airi. Lama kelamaan kelopak mataku terasa berat hingga tak mampu membukanya lagi. Aku terlelap.
*****
"Airi, sini Bunda keringin dan kuncirin dulu rambutnya."
Ini kebiasaan kami sebelum Airi berangkat sekolah. Setelah bercerai dengan Ivan, aku bisa menjalani pagi yang damai bersama Airi. Airi mendekat kepadaku dan duduk di atas karpet sebelah tempat tidur. Sementara aku duduk di atas tempat tidur dan mulai mengeringkan rambut Airi.
"Bunda mimpi buruk lagi ya?" tanya Airi kepadaku. Kebisingan hair dryer memang membuat suara Airi kurang terdengar, tapi aku tau apa yang Airi jelas tanyakan.
"Bunda kangen aja tidur sama Airi. Udah lama kan, kita ga tidur bareng?"
Airi mengangguk. Aku tetap lanjut mengeringkat rambut Airi.
"Bunda, hari ini Airi ada pelajaran olahraga. Jadi rambut Airi dikepang aja ya."
"Oke, sayang."
Aku mulai mengepang rambut Airi. Dari bagian seperlima atas, kemudian aku tambahkan berangsur-angsur helaian-helaian rambutnya ke dalam kepangan hingga mencapai ujung rambut.
"Udah, gimana rambutnya? Udah cantik kan?" tanyaku dengan bangga.
Airi menoleh kepadaku. Ia menatap mataku dan tersenyum. Tubuhnya makin mendekat, melingkarkan kedua tangannya ke leherku dan mendekapku.
"Makasih Bunda. Kapanpun Bunda mau, tidur aja ke kamar Airi."
Aku membalas dekapannya. Walaupun tubuhnya masih kecil, pelukannya sangat hangat. Seakan dia tau kegelisahan dalam malamku. Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan mutiara yang sangat indah kepadaku.
Setelah kami sarapan bersama, aku mengantar Airi ke sekolah. Kemudian aku pergi untuk menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Rutinitasku setelah mengantar Airi adalah mengajar. Selain untuk membiayai kehidupan Airi, pekerjaan ini juga menjadi hobiku. Aku mulai mengajar juga sejak bercerai dengan Ivan, karena diajak oleh sahabat dekatku, Nami, menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Gigi universitas swasta. Walaupun aku tidak menyangka ternyata tugas dosen sebanyak itu. Tidak hanya mengajar mahasiswa, tapi dikejar untuk melakukan penelitian, menulis jurnal serta mempublikasikannya, dan harus selalu update ilmu yang tak berhenti berkembang. Mengajar mahasiswanya juga tidak hanya S1, tetapi juga mahasiswa koasnya.
"Han, makan siang keluar yuk.", tanya Nami yang tiba-tiba membuka pintu ruang dosen.
"Udah kelar kerjaan, Nam?"
"Nanti aja abis maksi. Aku diajak makan bareng temen kampung."
"Aku harus ikut? Lagi males ketemu orang."
"Temenin aku dong, Han. Dokter anak. Bisa konsul gratis kan.", ujar Nami sambil menyengir khasnya. Nami sangat mengenalku. Ia tau cara merayuku. Aku suka belajar, apalagi ini mengenai parenting mungkin. Ini juga salah satu alasan Nami mengajakku untuk menjadi Dosen. Karena aku suka belajar.
Aku menghela napas. "Naik mobilmu ya.", jawabku. Aku kalah.
"Siap!"
*****
Sampai dua ratus meter di depan meja tujuan, aku berhenti melangkah.
"Nam, kamu ga bilang temenmu cowo?"
"Kamu ga nanya, Han."
"....."
"Udah gapapa, Han. Ayok." ajar Nami sambil menarik lenganku, melanjutkan berjalan.
Okelah. Mau gimana lagi. Udah terlanjur nyampe sini dan aku lapar. Setidaknya aku bisa dapet ilmu parenting darinya. Sepertinya.
Laki-laki itu menoleh dan sepertinya langsung mengenali Nami. Ia bangkit dari duduknya dan menyambut Nami. "Mi, ga ada berubah ya lo."
"Lo juga lagi, Tih. Ga jadi bareng Yogi?"
"Tiba-tiba ada operasi darurat. Jadi ga bisa ikut. Nanti nyusul kalo keburu katanya. Ini siapa Mi?", tanyanya ketika menyadari adanya kehadiranku bersama Nami.
"Kenalin, ini temen gue dari pas kuliah. Sampe sekarang masih kerja bareng."
"Fatih.", ujarnya sambil menundukkan sedikit kepalanya dan tersenyum.
"Hana.", jawabku membalasnya.
Bersambung.
21 notes · View notes
diananggrayuni · 1 year
Text
Menjadi Ibu
Belakangan, diri ini kerap dihadang kesah dan resah. Tentang keberdayaan diri, tentang pilihan-pilihan yang sedang dijalani, tentang ambisi, rencana, dan mimpi yang tidak mudah untuk digapai, namun tidak mustahil untuk dituju dan dicapai. Setiap kali termenung dalam kontemplasi, selalu teringat ujaran seorang teman, "Kita ga harus jadi yang terbaik dalam semua hal", katanya menghibur berkedok menguatkan. Lantas, kalimat itu justru menjadi pelecut diri, tertuju pada sebuah ambisi 𝘮𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮, menomorduakan ambisi-ambisi lain; menjadi Ibu yang terbaik untuk sang putri. Dalam hiruk pikuk dunia yang kian bising ini, menjadi seorang Ibu sungguh membutuhkan pondasi iman dan takwa yang kuat, lisan yang hangat, dekapan ilmu dan adab, serta amal yang tepat. Laa hawla wa laa quwwata illa billaah. Menjadi Ibu adalah belajar. Yang paling sederhana, belajar tenang saat anak tantrum - meski pada saat yang sama rasanya ingin ikutan tantrum. Sejak menjadi Ibu, aku tau bahwa anak yang tengah menangis histeris, sebenarnya membutuhkan ruang untuk mengenali dan meluapkan emosinya, untuk kemudian diberikan kenyamanan dan hangatnya dekapan. Menjadi Ibu adalah belajar. Belajar membunuh futur dan kufur. Belajar merawat syukur. Belajar menjadi teladan. Menjadi Al ummu madrasatul ula; madrasah pertama bagi sang anak. Tidak harus sempurna, tapi jadikan amanah ini sebagai wujud syukur yang tiada habisnya, melakukan yang terbaik disetiap waktunya. Meski terseok-terseok, ada Allah ta'ala yang membersamai kita. Masyaa Allah Tabarakallaah. Peluk hangat untuk semua Ibu 🤍 *** Sebuah catatan sebagai pengingat diri. ***
21 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 8: Memulai Kembali
Seminggu telah berlalu. Chia telah kembali menjalani rutinitas. Ia sempat kembali ke desa dua hari setelah penyelamatan Satya untuk mengambil barang-barangnya. Pram sendiri kembali dengan kesibukan di bengkelnya. Sedangkan Satya berangsur pulih. Kasus yang tengah ia hadapi juga menuju titik terang. Ia beberapa kali dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi sekaligus korban.
Di suatu sore yang sedikit mendung, angin bertiup sejuk. Chia duduk berhadapan dengan Satya di taman kota. Pertemuan empat mata pertama kali setelah rangkaian peristiwa yang mengejutkan.
"Chia," panggil Satya dengan lembut. Ia menatap lurus perempuan di depannya. 
"Ya." 
"Aku rindu," ucapan Satya membuat Chia tersipu.
"Aku berhutang banyak penjelasan ke kamu. Maaf aja nggak cukup untuk menebus semua yang telah terjadi," lanjut Satya.
"Tiada maaf buat kamu kalau yang terjadi adalah kamu benar-benar kabur dengan sengaja karena takut pernikahan. Kan yang terjadi bukan itu. Aku sudah memaafkan," balas Chia tenang.
"Aku nggak pernah terpikir untuk lari dari pernikahan. Aku serius saat melamarmu. Soal kekacauan ini," Satya mengambil jeda. "...di luar dugaan."
"Satya," panggil Chia.
"Ya."
"Aku rindu sekaligus kesal," ucapan Chia membuat Satya salah tingkah.
"Karena peristiwa ini aku jadi tahu diri nggak sepenuhnya aku tahu tentang kamu. Kamu resign aja aku nggak tahu. Apalagi dikejar debt collector. Aku merasa nol besar," sambung Chia yang menyiratkan kecewa.
"Maaf Chia aku nggak terus terang sama kamu. Aku nggak mau kamu kepikiran. Kupikir semua akan baik-baik aja. Aku janji akan lebih terbuka sama kamu," Satya menggenggam tangan Chia.
"Kalau kita punya rahasia masing-masing, nggak papa juga, kok. Aku minta maaf juga karena sempat meragukan kamu," Chia balas menggenggam tangan Satya. 
"Soal kerjaan, aku memang sudah merasa nggak nyaman di sana. Terlebih dengan kasus Arga. Untuk sekarang aku mau bantu-bantu bisnis papa selagi nunggu panggilan wawancara," jelas Satya disambut anggukan Chia. "Sebenarnya sudah ada panggilan wawancara yang masuk. Apa daya dengan peristiwa kemarin, panggilan wawancaranya hangus."
"Sayang banget. Ada berapa wawancara?"
"Dua. Kayaknya dua. Nggak papa belum rejekinya," Satya menepiskan kecewa.
Satya melepaskan genggaman tangannya. Ia bangkit berdiri. "Rafflesia Arunika, maukah engkau memulai kembali pernikahan yang tertunda bersamaku?" Satya berlutut di hadapan Chia. Air mata haru tidak bisa lagi dibendung Chia. Ia kehilangan kata. Hanya sanggup mengangguk dan meraih uluran tangan Satya.
"Tapi kita tunggu semua selesai dulu ya," ucap Chia di sela keharuan.
"Pasti. Aku juga mau kasus ini segera selesai."
"Sekarang tugasmu meyakinkan keluargaku."
"Pasti."
"Kamu jangan hilang lagi, ya."
"Aku janji," ucap Satya dengan penuh keyakinan.
"Ingat ya, di bawah langit sore yang sedikit mendung di taman kota, Satya telah berjanji tidak akan hilang atau kabur di hari pernikahan. Semesta saksinya," ucap Chia dengan tatapan awas jangan macam-macam. Satya tergelak melihat ekspresi Chia. Mereka berdua pun menikmati sisa sore hari di taman membicarakan banyak hal yang terlewatkan selama Satya menghilang.
17 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Jika dirasa-rasa, kehidupan ini lucu juga. Kita yang membuat ekspektasi, ketika tidak tercapai kita marah-marah. Lalu, menyalahkan diri sendiri. Padahal hasil bukanlah kendali kita. Barangkali ekspektasi kita yang terlalu tinggi, belum tersupport oleh kapasitas diri kita yang masih terlalu rendah. Aku jadi teringat dengan sebuah ayat Al Qur’an yang mengatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, 'kami telah beriman' TANPA diuji?!...” Apakah setelah menetapkan ekspetasi, tidak akan ada ujian untuk mengetahui kesungguhan diri untuk mencapainya? Sesuatu yang barangkali selalu ingin dihindari manusia, UJIAN.
Ada hal yang yang pernah terpikir olehku, membayangkannya akan menjadi hal yang menyenangkan jika aku benar-benar berada pada situasi itu. Namun, nyatanya di hari ke-100 aku menjalaninya, mungkin masih hitungan jari aku benar-benar menjalani peran ini dengan bahagia.
Suara riuh anak-anak terdengar hingga dalam rumah. Teriakan goal sesekali terdengar, membuatku ingin sekali segera menontonnya seperti hari-hari sebelumnya. Tinggal sedikit lagi apa yang aku masak siap disajikan di atas meja makan. Menu nutrisi penting untuk tubuh jompo kami, jangan sop. Kuah telah mendidih sempurna, rasa sudah pas, dan wortel sudah cukup empuk untuk digigit. Kumatikan kompor, kuambil eros, kugayung jangan sop beserta isinya dari panci ke mangkok. Kubawa menu terakhir ke atas meja. Voila! Makan malam sudah siap, waktunya bersantai sejenak menonton pertandingan anak-anak di depan rumah.
Tanah luas itu tepat berada di depan rumah kontrakan. Satu-satunya tanah yang paling luas yang ada di perumahan ini. Tanah yang seringkali dijadikan tempat tanding bola, badminton outdoor, sampai acara nikahan tetangga. Fasum serbaguna tempat menjalin silaturahmi antar tetangga, juga tempat berita terbaru dengan cepat menyebar.
“Tante Rayya!!!” suara pertama yang kudengar saat membuka pintu pagar rumah. Mbak Anggun melambaikan tangan si bungsu ke arahku. Kubalas dengan lambaian tangan paling tinggi dan senyum seriang mungkin. Kuberjalan menuju mereka dan membiarkan pintu pagar terbuka sedikit. Kugerak-gerakkan jari jemariku, membuat pertunjukkan sederhana yang membuat si bungsu tertawa riang. Dia mengangkat tangannya seakan-akan memberitahu bahwa aku pengen digendong tante Rayya. Kusambut tangan itu, lalu kugendong putri kecil yang baru berusia enam-belas bulan itu.
“Kok telat, dhek?” tanya mbak Anggun ketika mengalihkan si bungsu kepadaku.
“Iya, mbak. Menu makan malam kali ini sedikit ribet,” jawabku sekenanya.
“Merayakan sesuatu?”
“Enggak. Permintaan paksu.”
“Oh…,” jawab mbak Anggun mengakhiri topik permenuan.
“Itu siapa mbak?” tanyaku sambil menunjuk seorang gadis yang baru muncul dari belokan jalan menuju ke arah lapangan, melewati kami dengan senyuman, lalu masuk ke rumah yang berjarak tiga rumah dari rumahku.
“Itu Gina. Putri sulung Bu Joko. Dia dulu merantau ke Medan. Udah hampir satu bulan ini dia ditugaskan di Surabaya. Jadi, bisa pulang sebulan sekali. Nggak kayak dulu, setahun sekali aja sudah untung.”
Gina. Pertama kalinya ada seseorang yang membuatku teringat akan masa laluku sejak kepindahanku ke perumahan ini. Gadis berkerudung krem, ber-PDL mirip dengan yang pernah kupakai dulu, bersepatu safety dengan besi di bagian atasnya, dan tentu dengan ransel yang barangkali berisikan laptop, takut tiba-tiba si bos besar bertanya mendadak tidak peduli staffnya sedang cuti atau tidak.
***
Tahun lalu...
Menjejakkan sepatu safety di tengah tanah yang lebih sering berlumpur di kala hujan adalah salah satu scene kehidupan yang telah kubayangkan sejak mengenal apa itu praktek kerja lapangan saat kuliah. Bau semen yang begitu khas. Pepohonan yang hampir tidak ada sama sekali. Lonjoran besi di mana-mana. Tentu, tak ketinggalan, tangga scaffolding yang ngeri-ngeri sedap saat menaikinya. Tangga yang kubenci sekaligus kusuka dalam satu waktu. Karena dengannya-lah aku bisa mendapati pemandangan kota dari lantai tertinggi dan menjadi perempuan pertama yang menikmatinya sebelum menjadi viral saat gedung ini telah sempurna.
Bulai Mei yang digadang-gadang akan memasuki musim kemarau, ternyata telah mengalami cuaca yang labil dan upnormal. Sudah seminggu lebih hujan turun terus menerus tanpa henti, menyebabkan pergeseran jadwal pengecoran sangat di luar prediksi. Pawang hujan? Sayangnya itu tidak bekerja. Allah rupanya tidak menulis takdir bahwa pawang hujan itu akan berhasil dalam misinya kali ini. Seminggu lebih kami hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan. Untungnya, lantai basement, mezzanine, lantai 1, lantai 2 dan lantai 3 telah tuntas proses cor. Pekerjaan arsitek dan Mechanical Electrical (ME) bisa masuk, sambil berharap hujan segera berhenti dan proses pengecoran lantai 5 segera dilakukan.
Hari ini, hari pengecoran pertama setelah off tujuh hari. Dengan semangat yang mulai membara lagi, aku mengikuti proses pengecoran yang memakan waktu satu hari penuh untuk memenuhi separuh bekisting plat lantai 5 yang telah diisi oleh besi-besi yang teranyam.
Roger... roger... Readymix terakhir datang! Readymix terakhir datang! Siap-siap test slump! Akhirnya, sebentar lagi pengecoran hari ini selesai.
"Rayya... Rayya... Rayya...," suara handy talky memanggilku.
"Ya, pak!" jawabku.
"Mbak, kamu order berapa kubik? Ini kenapa sisa banyak sekali?"
Deg! Aku yang mendengar pertanyaan itu langsung menutup mata dengan tangan kiriku. Teringat sebuah kertas berisi rincian BOQ yang digunakan acuan untuk order readymix ke supplier setiap harinya. BOQ yang kubaca adalah BOQ lama untuk pengecoran tertulis untuk pengecoran plat dan balok sekaligus 72 meter kubik. Sedangkan untuk pengecoran hari ini di jadwal baru hanya 65 meter kubik. Artinya tujuh meter kubik tersisa.
"Order tujuh puluh dua meter kubik, pak," jawabku dengan sedikit cemas. Aku telah melakukan sebuah kesalahan dan aku baru tersadar di detik-detik terakhir pengecoran malam ini akan tuntas.
"Gimana sih kamu, mbiaaaak! Kamu baca BOQ lama? Kesepakatan kita kan di rapat kemarin hanya 65 meter kubik!!!"
"Iya, pak! Maaf!" jawabku lemah. Sudah terbayang bagaimana marahnya Pak Roto yang berusaha semaksimal mungkin mempercepat pekerjaan di lapangan, namun, aku mengacaukannya.
"Pak Roto! Pak Roto! Ijin masuk, pak!" Aku mendengar suara yang tak asing masuk menyela percakapan kami.
"Iya, Ryan! Kamu ada area yang bisa dicor malam ini?!"
"Ada, pak. Tujuh meter kubik siap diterima di area tower A sisi utara."
"Oke, Ryan. Yok, semuanya siapkan jalan menuju tower A sisi utara! Segera! Beton makin mengeras. Duit ini! Duit. Yok, segera habiskan! CEPET! CEPET! CEPET!" Seketika nafasku lega. Tujuh meter kubik beton terselamatkan malam ini.  
Suara handy talky masih terdengar riuh. Bintang-bintang yang meramaikan langit malam seakan menyapaku dan bertanya apakah kau baik-baik saja? Lampu-lampu yang memberikan terang cahaya untuk para pencari nafkah di atas anyaman besi di lantai 5 itu seakan memberitahu ini pengecoran terakhir hari ini, sebentar lagi kita akan istirahat. Tenanglah. Sisa tujuh kubik itu telah ada solusinya. Are you okay, Rayya?
"Belum pulang, mbak?" suara di belakangku membuat kuterkejut. Portofon terlepas begitu saja. Buk. Jatuh tepat di luar railing balkon Site Office, untung tidak sampai terpantul ke luar lebih jauh. Aku menunduk dan melihat sebuah tangan sedang mengambil portofon melalui sela-sela railing yang tidak terlalu rapat, lalu memberikannya padaku seraya berkata, "Sampeyan terlihat lelah."
"Hehe. Makasih, pak! Maaf ya, merepotkan. Kalau nggak ada bapak, aku bisa pingsan mempertanggungjawabkan kelebihan orderan malam ini."
"Tenang mbak. Tadi tukangku mau kerja lembur menyiapkan balok dan plat untuk jadwal pengecoran besok. Dan udah diceklist. Kalau bisa dicor malam ini, kenapa nggak! Toh, kita semua yang untung kan," Ryan menoleh ke arahku, 
“He’em.”
"Sampeyan nggak pulang, karena khawatir ta, mbak?
“Nggak. Lagi pengen aja mengamati proses cor hari ini. Udah lama nggak lihat proses cor malam ditemani semarak lampu di atas sana.”
“Hahaha. Apa istimewanya, mbak?”
“Suka aja. Malam nggak selamanya ditemani bintang-bintang. Juga nggak selamanya mendapatkan cahaya rembulan. Lampu-lampu itu selalu menemani proses cor hingga tetes beton terakhir. Seakan pagi atau malam tak ada beda cahayanya. Sama-sama terang.”
“Puitis sekali. Biasanya manusia-manusia yang puitis punya tingkat kekhawatiran yang tinggi.”
“Bisa jadi iya. Bisa jadi enggak. Karena khawatir itu akan selalu ada membersamai manusia. Itu salah satu bentuk ujian manusia.”
“Sampeyan tak perlu terlalu mengkhawatirkan kejadian malam ini! Perjalanan masih panjang. Masih ada sepuluh lantai lagi.”
“Haha! Iya masih sepuluh lantai lagi ya. Masih panjang perjalanan drama proyek ini!”
“Namanya juga hidup, mbak. Kalau nggak ada drama, kata anak muda, nggak asyik,” ucap Ryan menirukan ekspresi anak muda, “Hidup itu ada yang bisa kita kendalikan, ada yang tidak. Dan kita tidak perlu mencemaskan hal yang tidak bisa kita kendalikan.”
"Sepakat! Dan kenyataan bahwa kita punya tingkat kekhawatiran yang tinggi membuat hidup lebih berwarna. Seperti malam ini. Kukira akan mulus, ternyata jantungku berdegub lebih kencang di saat-saat terakhir, ketika mengetahui aku kelebihan order. Antara merasa bersalah membuat kekacauan atau merasa beruntung akhirnya target kita hari ini terlampaui tanpa terencana. Hahaha. Allah itu Maha Baik ya!”
“Hahaha. Jantungku juga berdegub kencang sekarang, mbak."
"Mulai… Udah, ah! Makasih untuk ruang tujuh kubiknya. Jangan kapok kerja satu tim denganku. Ingat istri dan anak di rumah.” Aku menepuk bahunya dan membalikkan badan, melangkah meninggalkannya, dan masuk ke dalam kantor. Aku berjalan menuju meja kerjaku yang terlihat sangat berantakan dari jarak sepuluh meter. Barangkali jika ada orang-baru melihatnya, ia tak akan percaya bahwa pemilik meja itu adalah seorang wanita berkerudung yang dulu sering mendapatkan imej seorang ukhti. Sayangnya imej itu perlahan luntur semenjak aku memutuskan bergabung dengan kontraktor ini tiga tahun lalu. Rok yang biasa kupakai, kini telah menggantung di lemari selama sekian tahun. Aku belum pernah memakainya lagi. Tugas negara yang mengharuskan berteman dengan lumpur, tangga scaffolding, dan tumpukan material, membuatku harus memilih untuk menggantinya dengan celana. Setiap hari. Bahkan di jadwal cutiku, sekalipun.
Kertas berisikan gambar kerja, surat perintah cor, notulen rapat, dan memo-memo lainnya berantakan menutupi hampir seluruh meja hingga menyisakan satu luasan kecil yang telah tertutupi oleh sebuah tas kertas berwarna coklat. Aku berhenti tepat di depan mejaku sendiri. Mulai berpikir, apakah aku memesan makanan dari ojol, kurasa tidak. Tanganku reflek meraih tas itu dan membukanya. Sebuah buku bercover dua manusia yang berada di depan dua lukisan. Lukisan bunda maria dan langit-langit Masjid Hagia Sophia. Buku yang telah lama menjadi incaranku itu telah sampai di mejaku begitu saja. Aku melihat ada sebuah note di dalam tas itu.
"Buku untuk menemani perjalanan bertemu keluarga di kampung halaman. Semoga cutimu menyenangkan ya, mbak!"
Aku pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia penyelamat tujuh kubik betonku.
----
Esok harinya…
Bunyi sirine kereta terdengar. Gerbong besi yang konon tingkat keamanannya ditemukan oleh Eyang Habibie saat di Jerman ini bergerak perlahan membawaku menuju kampung halaman yang kurindu. Seperti biasa, tempat favoritku di samping jendela. Rumah-rumah penduduk yang hanya selemparan batu dari rel, terlihat sangat padat. Pemandangan anak-anak berlarian kejar-kejaran membuat senyuman akhirnya mampir di pagi ini. Pakaian yang tergantung pada kawat di pinggir rel pun tak mau kalah tampil dengan anak-anak kicik itu. Kereta semakin mempercepat lajunya ketika telah lepas dari kampung pinggir rel itu. Pemandangan berganti dengan berjajarnya kendaraan yang sedang antre hendak melewati pembatas kereta api. Kereta api sungguh menjadi rajanya kendaraan di darat ini.
Pramusaji mulai berlalu lalang menawarkan sarapan pagi atau sekadar camilan dengan kadar msg yang bikin nagih. Tapi ku hanya melihatnya, tak memanggilnya. Masih enggan untuk menyarap di jam sepagi ini. Ku melihat jam tangan di pergelangan kiriku, masih dua jam lagi kereta ini sampai pada kampung halamanku.
Aku membuka goodie bag yang sedari tadi sudah memanggil-manggil untuk kubuka. Kuraih sebuah buku yang masih dalam bungkusnya. Novel perjalanan 99 Cahaya di Langit Eropa. Aku sudah pernah membaca ulasannya di mana-mana. Itu yang membuatku tertarik untuk membacanya. Tak kusangka, Ryan memberikannya tepat di saat jadwal cutiku tiba dan di tengah huru hara cuaca yang tak menentu penyebab keterlambatan progress di lapangan dan tragedi tujuh kubik beton. Sungguh laki-laki yang jika ia masih single, kuingin sekali berdampingan dengannya seumur hidup.
Hanum Rais Salsabila. Wanita yang pernah kekeuh untuk menjalani LDR dengan suaminya, akhirnya memilih untuk membersamai suaminya, Rangga, yang sedang melanjutkan studi di benua Eropa. LDR? Akankah esok aku juga akan LDR dengan suamiku? Seperti kebanyakan pekerja proyek lainnya? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan tanpa tahu kapan akan terjawab, karena hilal imam pun belum nampak. Berkarir terus di dunia perproyekan? Hm…sepertinya cukup empat tahun saja, tidak lebih. Karena aku memilki impian menjadi seorang dosen, dosen yang memiliki pengalaman di lapangan. Menjadi dosen pun artinya menetap di satu domisili. Lalu bagaimana jika mendapatkan suami yang tetap memilih bekerja di proyek? Akankah aku tetap menuju impianku, ataukah berubah haluan mengikuti ke manapun suamiku nanti pergi. Ah…persoalan ini rumit tanpa solusi sebelum bertatap muka dengan my future husband. 
Roda kereta sekali lagi menderit. Berhenti di stasiun S, stasiun ke-5, selama 10 menit. Seperti di stasiun sebelumnya, di stasiun ini juga ramai dengan penumpang naik. Meskipun terhitung stasiun kecil, stasiun ini telah menjadi pusat mobilitas tertinggi di kotanya.
Sepuluh menit termasuk waktu yang pendek. Penumpang yang hendak naik, telah mempersiapkan diri di belakang garis kuning. Ketika kereta benar-benar berhenti, mereka sat set wat wet memasuki gerbong kereta agar tidak tertinggal. Aku yang telah satu jam berada di dalam gerbong kereta mengamati aktivitas di luar yang sudah mulai lengang.
“Hey!” seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sampingku. Seketika aku menoleh ke arahnya dan cukup terkejut dengan kehadirannya. “Ga nyangka ya, bisa ketemu di sini.”
“Hey!” jawabku dengan muka bingung. Laki-laki yang sudah empat tahun tak pernah jumpa, hari ini Allah kirimkan tanpa duga di sampingku. Terbesit di pikiranku, anak ini kenapa tahu aku duduk di sini? Dia secret admirer? Stalker ku yang tak pernah kutahu?
“Sebuah kebetulan yang Allah takdirkan ya,” ucapnya sambil menunjukkan tiket kereta yang tertulis nomor kursi beserta gerbongnya. Tiket yang wujudnya berbeda dengan yang kupegang. Tiket yang menunjukkan dia memesannya beberapa jam sebelum kereta ini datang. On the spot. Takdir ilahi.
“Ikutan reuni hari ini?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Emang ada reuni?” jawabku yang baru sadar dari lamunan dan membetulkan posisi duduk.
“Ada. Kamu ga ikutan ikatan alumni kampus?”
“Nggak.”
“Pantes. Hari ini ada reuni kampus. Kabarnya sih akbar gitu. Mau bareng ke sana?”
“Kamu beli tiket dadakan hanya untuk reuni kampus? Sungguh anak kampus beneran. Nggak berubah, ya?” tanyaku menoleh dengan menghadapkan tubuh sedikit serong ke arahnya.
“Hahaha. Enggak. Dadakan beli tiket karena dipanggil bos besar. Harus segera sampai sebelum adzan dhuhur berkumandang.”
“Kamu kerja di Malang, sekarang?”
“Nggak. Aku kerja di kota ini. Bos besar di kota Malang.”
“Oh…”
“Mau ikutan reuni nggak? Ayo, datang bareng. Udah lama kita nggak dateng acara bareng.”
“Nggak. Aku mau jumpa bapak ibu.”
“Udah, ikut aja. Ntar aku anterin sampe rumah.” Deg! Anak ini! Tetap dengan sifatnya. Tidak berubah. Sekali jumpa denganku, aku harus turut serta dengannya. Dia pun akan rela membayarnya dengan mengantarkanku sampai depan pintu rumah dalam keadaan perut kenyang dan bertemu bapak ibu sekadar menceritakan kegiatanku bersamanya di hari itu. Takut akan dicap sebagai teman putrinya yang nggak baik.
Iya. Teman. Kami hanya teman. Teman yang seringkali memunculkan gosip bahwa kami memiliki hubungan lebih. Gosip itu pun sempat membuatku mempertanyakan kejelasan hubungan kami.
“Yo,” tanyaku saat kami memutuskan belajar bersama di teras perpustakaan.
“Hm,” jawabnya pendek sambil menulis tugas kuliah.
“Kita jadian aja, yuk!” ajakku to the point yang membuat Rio menghentikan gerakan pulpennya. 
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. “Nggak, ah!” jawabnya tanpa menatapku.
“Kenapa?” desakku dengan menatapkan mataku ke arah matanya walau aku harus menempelkan pipiku di atas meja dan kakiku sedikit berjinjit. Demi melihat ekspresi wajahnya yang masih menunduk mengerjakan tugas kuliah.
Akhirnya dia meletakkan pulpennya dan menatapku dalam-dalam, “Aku suka kamu. Kamu itu istri-able, bukan pacar-able. Aku lebih seneng ngejaga kamu dengan hubungan seperti ini. Tidak perlu terbebani dengan perasaan kita masing-masing. Karena perasaan yang kita miliki itu sudah fitrah. Kalau pun suatu saat nanti akhirnya kita terpisah jarak dan waktu, kamu nggak perlu mencemaskan aku, aku pun tidak akan mencemaskanmu. Aku punya impian, kamu pun punya impian. Kita raih impian kita masing dulu. Jika sudah waktunya, nanti pasti akan bersama. Percaya!” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman menyakinkanku.
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa diam. Terpaku. Berpikir keras. Dia suka aku? Sejak kapan? Jadi, selama ini dia menghabiskan banyak waktu denganku, karena dia ingin menjagaku? Kok bisa sih? Momen yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Dan hari ini ingatan akan momen itu tetiba muncul kembali setelah sekian tahun. Sikapnya. Cara bicaranya denganku. Sama. Tidak berubah.
“Kamu suka baca buku?” sekali lagi dia membuyarkan lamunanku.
“Oh, ini? Nemenin aja. Biar ga bosen di kereta. Ga ada yang diajak ngobrol.”
“Oh… buku bagus itu. Sembilan puluh sembilan cahaya di langit Eropa. Seorang Napoleon Bonaparte yang diduga tertarik dengan islam, sengaja membangun Eropa dengan titik awal di Arc de Triomphe menuju Ka’bah. Jika dugaan itu benar, sungguh Islam benar-benar telah memberikan cahaya di seluruh muka bumi ini. Panglima selevel Napoleon tunduk dengan cahayaNya,” penjelasannya membuktikan bahwa ia masih sama dengan Rio yang dulu. Lelaki cerdas. Suka membaca sekaligus menganalisa. Aku selalu kagum dengan cara dia berpikir.
“Dan negeri Eropa telah sedemikian pesat berkembang dengan mengamalkan nilai-nilainya, sayang mereka belum mengimani agama ini,” tambahku.
“Sepakat!” ucapnya menoleh ke arahku seraya menyodorkan gawainya, “Simpan kontakmu di hape ini ya.”
Pertemuan tak terduga yang menjadi awal hubungan kami terajut kembali. Setahun lagi, satu impianku sempurna aku jalani. Bekal pengalaman di lapangan menambah portofolio dan rasa percaya diriku untuk memulai karir di dunia pendidikan formal. Rio pun begitu, satu impiannya akan sempurna ia jalani, satu tahap lagi menjadi Site Engineer Manager termuda di perusahaan yang sudah ia incar setahun sebelum kelulusan.
***
Calon imam mulai nampak hilal. Namun, jawaban atas pertanyaan, akankah aku menjalani hubungan jarak jauh setelah menikah, bagaikan memasuki taman labirin. Bingung, pusing, serasa masih jauh menemukan muaranya.
Menikah tidak sebercanda itu. Menikah artinya siap untuk membangun sebuah peradaban baru penerus generasi penjaga bumi. Memang, semua-muanya sekarang serba berteknologi, bahkan yang jauh menjadi dekat. Tapi, apakah sebuah pernikahan jarak jauh hanya satu-satunya pilihan, padahal kita masih bisa memilih pilihan lain yang lebih Allah ridhoi? Takut rezeki akan seret karena harus resign dari kerja dan memilih untuk mengusahakan selalu bersama? Bukankah menikah sendiri adalah sebuah rezeki? Rezeki yang harus dijaga. Bukankah Allah menakdirkan seorang manusia yang menjadi pasangan kita untuk menjadi penenang jiwa, pembuka pintu rezeki untuk kita? Tentu, secanggih apapun teknologi, bonding yang paling powerfull adalah ketika bertatap muka langsung, bukan dengan video call. Secanggih apapun teknologi, keberkahan rumah tangga akan lebih banyak turun ketika sepasang suami istri lebih sering bercengkrama di bawah satu atap rumah, bukan dalam satu forum chatting teknologi. Secanggih apapun teknologi, manusia akan lebih merasa tidak sendirian, ketika pasangannya berada dalam jangkauan penglihatannya, walau tidak sedang beraktivitas yang sama. Ah… ketika keduanya menjadi pekerja proyek yang harus berpindah-pindah domisili memang memiliki konsekuensi ini. Menikah dengan LDM atau salah satu bersedia untuk ikut ke manapun pasangannya ditugaskan. Dan itu yang menjadi dilemaku ketika Rio datang kepada orangtuaku memintaku menjadi istrinya, sebulan setelah pertemuan kami di kereta kemarin. Berdiskusi dengan orangtuaku pun serasa ah…sudahlah!
“Kamu bakal resign?” tanya mama terkejut ketika aku menyampaikan rencana resignku.
“Iya, Ma.”
“Kenapa? Kenapa kamu harus resign?” Mama terlihat mulai menunjukkan emosi ketidaksetujuannya terhadap rencanaku.
“Aku nggak mau LDR-an Ma setelah nikah,” terangku.
“Kamu yang nggak mau atau Rio yang nggak ngijinin kamu berkarir?” Mama memulai pertanyaan-pertanyaan menyelidik.
“Rio ngijinin aku berkarir. Akunya nggak mau LDR-an abis nikah, Ma,” aku masih santai menjawab segala pertanyaan Mama.
“Rayya. Menjadi istri itu nggak harus selalu di rumah aja! Kamu bisa berkarya di luar rumah,”
“Ma… ini pilihan Rayya. Rio juga nggak maksa Rayya buat ikut dia ke mana pun penempatannya. Kenapa mama emosi, sih?”
“Karena wanita tanpa kemandirian finansial hanya akan membuat dia tidak berdaya, Rayya!!”
“Tapi kemandirian finansial juga akan membuat wanita tersebut abai terhadap suaminya, Ma!!”
“Rayya!” Plak! Tamparan mendarat di pipiku.
Pertama dalam seumur hidup, mama menamparku. Aku tercengang, wajahku memerah panas, air mataku menggenang. Aku tinggalkan mama di ruang makan, dan BRAK! Aku tutup pintu kamar sekeras yang kubisa. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi gagal. Sekeras apapun aku menahannya, ia tetap jatuh.
Tamparan? Hanya berdiskusi tentang hal itu, mama sampai menamparku? Salahnya di mana? Ketika nggak setuju, haruskah dengan menampar? Toh, apa yang aku utarakan adalah sebuah fakta. Kesibukan mama di luar rumah membuat mama abai terhadap ayah.
Tubuhku terasa tegang dari ujung rambut hingga ujung kepala. Jantungku berdegub kencang, nafasku cepat, membuat aku berjalan mondar mandir entah sudah berapa putaran. Aku paksakan duduk di tepi ranjang, kupaksa bernafas lebih sadar, tapi air mata tetap mengalir dan pikiran secepat kilat me-recall memori-memori masa lalu. Tanganku masih mengepal, emosi tak tertahankan membuatku memukul-mukul bantal dan teriak sekencang mungkin. Aku tidak peduli apa kata tetangga.
Tok! Tok! Tok!
“Rayya… Ayah boleh masuk?”
Aku tidak menyahut panggilan ayah. Tak lama, Ayah sudah duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Kami menghadap ke arah luar jendela, ke titik yang sama.
“Nak, maafkan mamamu ya! Dia sama sekali nggak bermaksud menampar kamu. Itu refleks dari emosinya yang memuncak.” Aku masih sesenggukan, kepalan tanganku mulai merenggang.
“Kamu lihat pohon itu, Nak? Mungkin usianya seusiamu lebih mudah beberapa tahun. Kamu inget nggak, kalau kita yang menanamnya bersama-sama saat kamu umur tiga tahun? Kamu merengek terus untuk ikut ayah merapikan halaman itu. Rengekanmu sungguh membuat gempar tetangga jika ayah tidak menuruti. Akhirnya, ayah mengizinkan kamu ikut menanam beberapa pohon. Salah satunya pohon ini. Dulu, dia hanya setinggi ini ketika di tanam,” ayah memanjangkan lengan kirinya, “sekarang, tingginya sudah melebihi atap rumah kita. Banyak hal yang ia lewati. Panas matahari yang membakar. Hujan badai yang membuatnya basah kuyup. Petir menggelegar yang selalu tertarik dengannya. Lihatlah, ia semakin berdiri kokoh. Dari ranting yang setebal lengan ini, menjadi pohon yang kita peluk pun tak sanggup mempertemukan jari jemari tangan kiri dan kanan kita. Dari daun yang tidak bisa melindungi kita dari terik matahari, menjadi rimbunan daun yang jika kita duduk di bawahnya kita bisa berteduh sepanjang hari. Nggak ada hidup yang santai kayak di pantai terus menerus, Nak. Mungkin ini salah satu badai kecil yang harus kamu hadapi.”
“Trus aku harus gimana, Yah?” tangisku mulai mereda dan kepalan tanganku mulai membuka.
“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Terima semua emosi yang menghampirimu. Salurkan semuanya. Nggak ada yang salah dengan emosi itu,” ucap ayah sembari mengelus kepalaku, “Kami, orangtuamu, hanya manusia biasa, Nak. Seringkali kami khilaf terhadap kamu. Marah. Ngomel. Atau sampai memukul kamu. Kami pun sama denganmu, berusaha memahami kamu, tapi terkadang tidak paham jalan pikiran kamu. Ada banyak hal yang berbeda antara kami dan kamu. Suatu saat, ketika kamu sudah menjadi kami, kamu akan mengerti,” ayah merangkulku.
“Tapi sakit, Yah! Mama nggak harus ngomong gitu kan di depan Ayah tadi,” kuletakkan kepalaku di pundak ayah. Sandaran paling nyaman dan paling menenangkan.
“Pssst!”
“Kenapa ayah selalu diam? Kenapa ayah nggak ngomong?” aku menegakkan kepala dan memutar tubuhku sedikit menghadap ke arah ayah.
“Pernah, Nak! Ayah pernah,” ayah tetap menghadap ke arah keluar jendela dengan wajahnya yang tetap meneduhkan. “Tapi, setelah itu, Ayah sadar. Mama kamu hanya seorang manusia biasa, yang asal penciptaannya dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang akan selalu bengkok. Tulang rusuk yang jika dipaksa untuk lurus, ia akan patah. Ketika patah, ia tak lagi bisa berfungsi menjaga hati si empunya tubuh. Dan Ayah tidak ingin mamamu patah. Ayah memilih untuk mengalah agar kapal ini tetap berlayar. Jika tidak ada salah satu dari kami yang mengalah, sudah sejak lama kapal ini karam, Nak.”
Dari wajah ayah, aku melihat bahwa pohon yang telah menjadi kokoh dan rimbun itu adalah ayah. Ayah yang menjadi ayah rumah tangga untukku, anak semata wayangnya. Ayah yang menjadi kepala sekolah untuk guruku, mama. Guratan pada wajahnya mengisyaratkan bahwa telah banyak kejadian besar dalam rumah tangganya yang telah ia taklukkan dengan usaha maksimalnya. Telah banyak hal yang tentu ia korbankan agar kapalnya tetap berlayar mengarungi samudra kehidupan yang penuh kejutan.
“Mamamu hanya khawatir dengan kamu, Nak. Ia sadar sekali, walau wajahmu sangat mirip dengan Ayah, namun karakter dan sifatnyalah yang ada pada diri kamu. Mamamu tahu kalau kamu nggak akan betah terus menerus di dalam rumah dengan aktivitas rumah yang monoton. Mamamu tahu kalau kamu suka pekerjaan yang menantang, dan mengurus pekerjaan domestik itu kurang menantang.”
“Trus, yang tentang kemandirian finansial? Selama ini aku melihat mama bertindak seenaknya terhadap ayah. Mentang-mentang menghasilkan duit sendiri, aku nggak mau merasa lebih tinggi dari suamiku nanti, Yah.”
Ayah tersenyum, “Setiap awal pernikahan, tidak semua pasangan baru memiliki finansial yang cukup, Nak. Dulu, Ayah belum seperti sekarang. Ayah belum bekerja dengan penghasilan yang tetap dan cukup setiap bulannya. Sedangkan Mamamu, sudah. Ayah belum bisa memberikan sepenuhnya kebutuhan lahir Mama kamu. Kebutuhan dapur pun kadang sebulan cukup, kadang enggak. Sisanya ditutupi oleh penghasilan Mama kamu. Mama kamu khawatir kalau Rio yang sekarang seperti Ayah yang dulu. Mamamu hanya ingin memastikan kamu tidak perlu mengalami apa yang ia alami dulu di awal pernikahan.”
“Rio kan sudah kerja empat tahun, Yah!”
“Itu belum menjamin pengaturan keuangannya baik, Rayya. Kamu sudah pernah membicarakannya?”
Aku terdiam, karena memang aku belum pernah menyentuh topik itu sama sekali. Aku masih merasa itu hal tabu untuk diobrolin di awal.
“Bicarakanlah, Nak! Agar itu bisa membuat kamu lebih tenang menjalani rumah tanggamu nanti. Mama dan Ayah memiliki sebuah kesepakatan yang kami buat agar Ayah nyaman, Mama nyaman, dan kapal ini tetap ajeg walau badai menghadang. Salah satunya tentang pengaturan keuangan. Di dalam agama kita, berlaku hukum keterpisahan harta antara suami dan istri. Itu yang kami sepakati di awal. Mungkin mama terkesan abai terhadap Ayah, tapi sebenarnya tidak. Kami memiliki waktu bersama untuk membicarakan segalanya dan menyepakati solusinya. Kami menjalankannya dan tidak mempedulikan apa kata orang. Karena kamu adalah buah hati ayah mama, ketika tadi kamu mengeluarkan statement itu, perlu menurut ayah meluruskannya.”
Kalimat-kalimat ayah membuatku makin terdiam. Ada banyak hal yang tidak kutahu tentang pernikahan. Yang kutahu ayah dan mama selalu bertemu setiap hari, setidaknya saat sarapan dan makan malam. Saat itulah kami membicarakan segala hal tanpa distraksi gawai. Setelahnya, mereka tak banyak bicara dan sibuk dengan urusannya masing-masing, walau berada dalam satu tempat. Ternyata itulah cara mereka mendukung satu sama lain, memberikan ruang berkarya untuk menumbuhkan potensi yang ada.
Satu atap. Ruang berkarya. Bertumbuh. Keberkahan. Banyak kata kunci yang berseliweran dalam benakku, memberikan andil pada keputusan besar yang akan kubuat. Menikah, pasti. Rio adalah lelaki yang entah sejak kapan ia berhasil mencuri perhatianku dan membuatku yakin bahwa kami bisa bertumbuh bersama. Berfokus pada rumah, ini yang masih kupertimbangkan. Keinginan paling besar dalam hidup setelah pernikahan adalah bisa sering bertatap muka dengan suami membicarakan banyak hal tentang masa depan keluarga kami.
"Abis nikah, aku resign, ya! Aku bakal ikut kamu di mana pun penempatan kamu," kataku kepada Rio saat kami mulai membicarakan masa depan di teras perpustakaan yang sering kami singgahi dulu waktu kuliah.
"Kamu yakin bakal melepaskan karir kamu, Rayya?" kata Rio yang cukup terkejut dengan pernyataanku.
"He'em. Bulan depan kita sudah menikah. Tepat empat tahun aku menimba ilmu di dunia perproyekkan. Kurasa cukup dan satu impianku telah sempurna tercapai. Waktu yang tepat untuk mencoba hal baru," jawabku mantap.
"Apa yang membuatmu mengambil keputusan itu? Kamu pintar. Kamu punya nilai akademis yang baik. Dan kamu punya kesempatan besar untuk meniti karir di perusahaanmu sekarang. Aku ga masalah kalau kita nanti harus LDM. Toh, aku kerja setiap hari dan hampir selalu lembur. Terus gimana dengan rencana sekolahmu?"
"Aku masih ingin lanjut sekolah, tetapi mungkin itu bisa kita bicarakan lagi. Hal terbesar yang ingin aku capai dalam pernikahanku adalah aku pengen kita jumpa setiap hari nantinya. Aku pengen kita bisa pillow talk mendiskusikan banyak hal untuk masa depan keluarga kita. Tanpa alat komunikasi untuk menghubungkan jarak kita yang jauh. Dan tentunya, aku pengen mencium tanganmu setiap pagi saat kamu berangkat kerja dan mendoakanmu dalam jarak dekat. Urusan rumah serahkan saja padaku," aku menatapnya sambil tersenyum, "tentu dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanyanya menyelidik.
"Kasih aku uang jajan khusus, ya! Hahaha," jawabku sambil tertawa.
"Hmm... baik," jawab Rio dengan senyum manyun lalu membetulkan posisi duduknya, "betewe, terima kasih, ya! Sudah mau mengalah untuk selalu bersama saat menikah nanti. Jujur, aku tidak berekspektasi kalau kamu bakal memutuskan hal itu. Tentang sekolahmu nanti, insya Allah akan aku dukung."
"Itu soal prinsip, Rio," jawabku. Keputusan telah dibuat. Ada rasa deg-degan membayangkan seorang Rayya yang suka lembur, sering ngeluh kalau pulang larut, selalu pakai PDL setiap hari, akan menjadi Rayya yang sering berada di rumah, mengerjakan segala hal di rumah agar suaminya senang saat pulang rumah rapi, makan malam sudah tersedia. Uwuuu banget.
***
Hari ke-30 setelah resepsi pernikahan.
Mendapatkan keberkahan, memang harus mengalahkan ego. Surga tak didapatkan hanya dengan tawa riang. Karena tawa riang yang terlihat menyenangkan, seringkali membawa manusianya terjerembab dalam neraka.
Tiga puluh hari berada di rumah saja, ternyata memang bukan Rayya yang sebelumnya. Benar kata ayah dan mama. Pekerjaan rumah itu monoton dan kurang menantang bagiku. Tak seperti hari-hari sebelum menikah, awal pagi selalu terisi dengan semangat membara, ada perasaan bahwa aku akan menemui sesuatu yang menyenangkan di tempat kerja. Setelah pernikahan, awal pagi seperti itu hanya bertahan seminggu. Selebihnya, aku harus terus mencari hal yang membuatku bisa tetap bersemangat mengawali hari. Mulai dari nonton Youtube Devina Hermawan untuk menemukan resep simple tapi endeus, sampai cek out peralatan mbenthel untuk menemani sore yang kadang gabut. Tapi semuanya tetap tidak bertahan lama. Aku harus terus mencari sesuatu yang membuat Rayya yang dulu kembali. Rio pun merasakannya.
“Yang,” ucap Rio suatu saat makan malam di hari ke-50 pernikahan kami.
“Hm…,” jawabku pendek sambil mengunyah makanan.
“Nggak pengen balik kerja?” tanyanya agak kurang jelas karena sedang mengunyah makanan.
“Kenapa, yang?” tanyaku balik ketika suapan terakhir telah sempurna kutelan.
“Biar kamu bisa ceria seperti dulu.”
“Emang sekarang nggak ceria?” tanyaku sambil merapihkan meja makan dan menunggu Rio selesai dengan makanannya.
“Enggak,” jawabnya menggeleng. Ia telah menghabiskan seluruh makan malamnya.
“Kok bisa?” aku menyandarkan diri ke kursi makan.
“Yang… gapapa banget lho, kalau kamu mau kerja lagi. Aku dukung. Dulu kan aku pernah bilang, gapapa banget kalau kamu mau meniti karir dan kita LDRan.”
“Tapi aku tetep nggak mau LDRan, Yang.”
“Oke, kamu nggak mau LDRan. Kamu cari kerja yang bisa kerja dari rumah aja. Karena kamu yang sekarang seperti bukan kamu. Ga bisa diajak bercanda seperti dulu. Bawaannya sensi mulu. Padahal dulu kalau aku becandain, reaksi kamu ga seserius itu. Aku nggak tau ya, kamu ada pikiran apa. Ini hanya dugaanku. Kamu kangen kerja ya?”
“Aku nggak tau aku kangen kerja atau nggak, Yang. Tapi rasanya aku useless di rumah ini. Ya…meskipun pekerjaan domestik setiap hari ngantre, tapi masih ada perasaan yang nggak bisa aku jelasin dengan kata-kata.”
“Hayuk, aku bantu menemukannya.”
“Apa?”
“Yang bikin kamu bingung.”
“Yakin?”
“Emang kamu sudah tau?”
“Kemarin aku mulai menuliskan apa yang bikin aku kayak gini. Hanya, ini perlu divalidasi sama kamu.”
“Coba apa aja?”
“Sepertinya karena aku terbiasa untuk menghasilkan uang sendiri, Yang. Mendapatkan uang bulanan dari kamu, seharusnya bisa sama bahagianya ketika mendapatkan uang dari keringat sendiri. Nominal besarannya sama. Beban kerjanya lebih ringan.”
“Hey, mengurus rumah itu nggak ringan, Sayang.”
“Ringan. Hanya monoton. Itu yang membuat tantangannya tak sebesar ketika aku di proyek dulu. Selain itu, aku tidak berjumpa dengan manusia lain. Tidak ada yang bisa kuajak ngobrol.”
“Kamu nggak pernah maen ke rumah mbak Anggun, istrinya mz Pras, teman kantorku? Kan rumahnya di depan kita.”
“Pernah. Tapi feelnya berbeda.”
“Fix, kamu memang butuh kembali ke dunia sipil, Yang.”
“Gitu, ya?”
“Iya. Kamu rindu dengan duniamu, Yang.”
“Kamu ga papa?”
“Aku nggak papa. Aku ridho. Asalkan aku tetap menjadi prioritas pertama kamu,” jawabnya memberikan senyuman menyakinkan itu lagi.
Berada di tempat asing, tanpa teman dan keluarga, membuatku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Ingin sonjo, tapi mulai dari mana. Seringnya, bukan aku yang mendahului, tetapi para ibu-ibu tetangga yang memulai. Tanah luas yang di depan kontrakan menjadi penyelamatku dari kesendirian. Ibu-ibu tetangga tiba-tiba menyapa dan mengajak bergabung menonton anak mereka bertanding. Seringkali aku iyakan. Setidaknya aku telah mencoba untuk membaur dan memperkenalkan diri kepada mereka. Tapi, tetap saja ada sebuah ruang yang kosong tak bisa terisi oleh hal-hal itu. Entah apa itu.
Hingga, suatu ketika ada yang menelponku. Di hari ke-100, di pagi hari setelah Rio berangkat kerja. “Halo, Assalamu’alaikum,” aku menjawab telepon dari nomor yang asing bagiku.
“Wa’alaikumsalam, Rayya. Ini Bu Kris,” suara empuk di seberang sana membuatku teringat akan masa lalu yang menyenangkan. Ada rasa yang mulai mengisi ruang kosong itu. Tapi aku belum tahu apa.
“Eh, bu Kris. Apa kabar? Maafkan nomornya belum tersave,” jawabku basa basi.
“Nggak papa. Kamu sekarang di mana?”
“Di Banyuwangi, Bu. Ibu di Banyuwangi?”
“Iya. Ibu di Banyuwangi. Sekarang sedang di hotel Amaris. Kalau Rayya tidak sibuk, boleh kita bertemu?”
“Jam berapa ibu senggang?” aku langsung mengiyakan. Sudah lama aku tidak berjumpa dengan Bu Kris. Sudah lima tahun berlalu.
“Rayya senggang jam berapa?”
“Sekarang senggang, bu.”
“Sekarang aja, yuk! Ibu tunggu di restoran hotel, ya.”
“Baik, bu,” kataku bersemangat. Bu Kris. Wanita yang pernah menjadi atasanku saat aku magang di kantor BUMN besar. Wanita yang sudah seperti ibuku sendiri. Ibu ideologisku.
Tak banyak kata, kulaju motor menuju Hotel Amaris. Ada banyak hal yang terlintas di dalam ingatan. Pengalaman magang pertama selepas lulus kuliah. Pertama kali mengenal dunia kerja yang nyatanya mengharuskan kita memberikan toleransi terhadap hal-hal yang tidak sesuai teori di perkuliahan. Pertama kali gejolak batin muncul begitu hebat dan Bu Kris lah yang memegang tangan ini agar tidak masuk dalam pusaran kegalauan yang terlalu dalam. Semoga hari ini pun Bu Kris membawa berita baik. 
“Hai, Rayya,” teriakan Bu Kris membuatku menoleh, lalu menuju ke arahnya.
“Assalamu’alaikum, bu!” aku meraih dan mencium punggung tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Rayya makin bersinar saja wajahnya. Sini, duduk!” bu Kris menepukkan tangan ke kursi sebelah tempat ia duduk.
“Makasih bu. Ada agenda apa, bu di sini?” tanyaku basa basi di sampingnya.
“Ada yang harus ibu urus di sini. Tapi ibu nggak bisa lama-lama di kota ini.”
“Ibu sudah berapa hari di sini?”
“Sejak kemarin siang. Turun pesawat, ibu langsung menuju lokasi. Ibu mikir, siapa ya yang bisa ibu delegasikan untuk melanjutkan tugas ini. Semalaman ibu mikir. Iseng ibu buka instagram dan story kamu muncul. Jadilah, pagi ini ibu telpon kamu. Untung nomor kamu nggak ganti,” ucap Bu Kris dengan logat bugisnya yang khas, “Terus terang, kerjaan ibu di kantor pusat sedang menumpuk dan harus selesai akhir bulan ini. Dan agenda ini permintaan pak Bos.”
“Kerjaannya tentang apa?” ruang yang kosong itu terasa mendapatkan angin segar.
“Jadi, pak Bos punya lahan di sini. Beliau ingin membuat rumah lengkap dengan kebun pangannya. Apa ya istilah yang sedang in sekarang ini, per..per…”
“Permaculture, bu?”
“Nah, iya! Rayya tahu tentang permaculture?”
“Sedikit bu.”
“Bagus. Belajar yang banyak tentang itu ya! Tugas ini rencananya ibu delegasikan ke kamu. Pak Bos juga sudah tahu kinerjamu. Kukira dia akan setuju kalau project ini kamu yang handle. Kamu masih di sini dalam jangka lama kan?”
“Insya Allah begitu. Nanti saya diskusikan dengan suami ya, bu!”
“Kenapa? Suamimu melarang kamu kerja?”
“Oh, nggak, bu. Malah sebaliknya. Saya dulu yang terlalu keukeuh untuk berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus rumah saja. Ternyata, mengurus rumah lebih melelahkan dan membosankan. Tantangannya tidak sesuai dengan saya. Hehe”
“Haha. Rayya… Rayya,” Bu Kris menepuk bahuku, “seringkali Allah menguji hambaNya dengan ekspetasi yang ia buat sendiri.”
Aku bengong mendengar kalimat bu Kris. Allah sedang menguji keinginanku? Apakah aku serius menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah, ataukah aku bisa berpikir lebih realistis bahwa berkarya pun tak masalah bagi seorang istri?
“Okeh, nanti bicarakan dengan suamimu ya. Semoga apapun keputusan kalian, ridho Allah menyertai.”
“Amin.” 
Pagi yang membawa angin segar, walau Banyuwangi di atas jam 10 pagi sudah sangat membuat gerah. Sepulang dari Hotel Amaris, aku beraktivitas melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai. Kali ini, mengerjakan rumah lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku. Apakah benar adanya bahwa aku rindu dunia sipil? Ah, jika sepulang dari berjumpa Bu Kris membuatku lebih bersemangat, artinya benar. Aku memang rindu.
“Yang,”
“Hm…”
“Tadi aku jumpa dengan Bu Kris.”
“Bu Kris siapa?”
“Ohya, aku belum cerita ya. Jadi, dulu setelah lulus kuliah, aku mendaftar magang di perusahaan A. Nah, Bu Kris ini atasan aku.”
“Oh… iya. Trus?”
“Dia menawariku kerjaan.”
“Kerjaan apa?”
“Kamu tahu permaculture kan? Salah satu list impian yang aku tuliskan bulan lalu?”
“Kemandirian pangan?”
“He em. Nah, Pak Bosku dulu itu punya tanah di sini. Mau bangun permaculture itu. Luasnya memang hanya 500m2. Rumah tinggalnya juga maunya dibangun sederhana aja. Mendengar itu tadi, seakan gayung bersambut tau nggak, Yang?”
“Kamu mau mengambil kesempatan itu?”
“He em.” jawabku tersenyum mantap.
“Nah, kita dong! Cahaya mata yang selalu kurindukan sudah kembali.”
“Heh?”
“Iya, aku ijinin kamu mengurus project itu. Aku percaya, kamu bisa atur waktu antara pekerjaan, suami, dan rumah.”
“Aaaah, terima kasih, Sayang!” kupeluk Rio dan kucium pipinya. Barangkali jika ku ditanya, hal apa yang aku syukuri saat ini, aku akan menjawab, memiliki Rio sebagai teman hidup sekaligus teman bertumbuh.
17 notes · View notes
khodijaturrohimah · 1 year
Photo
Tumblr media
MASALAH DAN MASALAH
“Kamu yakin mau lanjut sekolah lagi? Kalau iya setidaknya kita baru bisa sama-sama 4 tahun lagi lo. I need you.” Suara Arman terdengar di ujung telepon. Arman telah berusaha mendukung Sarah dan mimpi-mimpinya, tapi ia tidak menyangka akan seberat ini. Usia pernikahan mereka sudah memasuki 3 tahun, tapi ⅔ waktu itu dihabiskan dalam kondisi berjauhan.
“Boleh nggak kalau aku coba 1 kali lagi? Aku janji ini percobaan terkahir.” Suara Sarah terdengar lirih, ia menyayangi suaminya tapi ia juga punya mimpi yang ingin dikejar.
“Terus kalau keterima kita akan lanjut kayak gini selama 4 tahun selanjutnya?” Sarah hanya diam, tidak berani menjawab pertanyaan Arman.
“Tolong pikirkan ulang tentang hubungan ini maupun keinginan-keinginanmu.” Arman putus asa, istrinya memang keras kepala, sulit sekali dibujuk. Telepon diakhiri dengan diskusi yang tidak berjalan mulus. 
Bagi Sarah mimpi adalah penggerak hidupnya, sejak koas ia telah menetapkan hati ingin menjadi spesialis penyakit dalam, dan hal ini yang terus ia pegang sampai saat ini. Apa yang ia kerjakan selalu berfokus pada jalan menuju mimpinya itu. Saat awal menikah dengan Arman ia tidak menyangka bahwa hubungan ini akan menjadi salah satu penghalang besar antara ia dan mimpinya. Belum lagi mertuanya yang ingin segera mendapatkan cucu. Bukan Sarah tidak ingin punya anak, tetapi ia merasa belum siap jika harus membagi waktu dengan segala kesibukannya saat ini. Ia tidak mau jika anaknya kelak menjadi korban karena keegoisan sesaat. Sarah ingin semua sesuai dengan timeline yang telah ia buat, ia akan punya anak ketika menjadi residen senior. 
Akhir minggu ini Sarah akan menghadiri acara keluarga Arman sendirian, karena suaminya masih belum bisa pulang. Membayangkan saja sudah membuat kepala Sarah pusing, ia butuh persiapan ekstra untuk menghadapi setiap pertanyaan dan tuntutan yang akan muncul nanti, terutama dari ibu mertuanya.
Ibu, tidak lain adalah sosok wanita paling dihormati dalam sebuah rumah, bukan karena sifatnya yang semena-mena tapi kasih sayangnya yang tiada tara membuat setiap anggota keluarga begitu terikat kepadanya. Sama halnya dengan Alfi dan ibunya, rasa sayang di antara keduanya membuat Alfi memutuskan untuk fokus kepada ibunya, ia tidak ingin menyesal jika kelak ibunya pergi meninggalkannya.
Sebagai seorang dokter Alfi paham betul saat ini kondisi ibunya tidaklah baik, kasarnya “hanya menunggu waktu”. Meski sudah melalui operasi, kemoterapi dan dinyatakan bersih rupanya kanker ibu muncul kembali. Kali ini kanker nya telah menyebar ke organ lain, salah satunya adalah penyebaran ke tulang. Hanya karena hantaman kecil ketika jatuh sudah menyebabkan patah tulang kaki, dan kini ibunya harus dibantu ketika beraktivitas. Radit maupun kisah cintanya telah ia buang jauh-jauh, saat ini hanya ada ibu di pikiran Alfi.
“Radit kok sudah nggak pernah ke sini Fi?” Pertanyaan yang sudah dipersiapkan jawabannya oleh Alfi.
“Alfi sudah putus bu, udah lama malah, ibu kok baru sadar.” Alfi menjawab sambil tertawa kecil, ia tidak boleh nampak sedih di depan wanita kesayangannya itu.
“Karena ibu?”
“Ya enggaklah bu, kok ibu ge-er sih. Karena memang nggak cocok aja.” Masih dengan candaan Alfi menjawab pertanyaan ibunya.
“Padahal ibu pingin lihat kamu menikah sebelum pergi, kok ternyata malah putus.” Alfi hanya tersenyum mendengar perkataan ibunya. Dipijatnya pelan-pelan tangan ibu, begitu ringkih, hanya tersisa tulang dan kulit. Seandainya ibu tahu alasan sebenarnya mungkin akan membuat ibu sedih, dan Alfi tidak mau itu terjadi. Hanya ada keheningan di antara mereka sampai akhirnya ibu tertidur dan tak lama Alfi ikut tertidur di sebelah ibunya.
“Kalau aku menghubungi Prasetya duluan aneh nggak menurut kalian?”
Chat Riani di grup siang ini membuat geger semua sahabatnya. Setelah beberapa hari menimbang-nimbang akhirnya ia memutuskan untuk bertanya.
“Kamu gila ya?” - Sarah
“Ada masalah apa Ri?” - Alfi
“Are you okay?” - Tasya
Ketiga sahabatnya ini adalah saksi hidup bagaimana hancurnya Riani setelah kepergian Prasetya. Laki-laki itu memberikan rasa benci tersendiri di hati mereka. Bagaimana bisa seorang laki-laki bisa begitu jahat terhadap wanita yang telah memberikan segala yang dia miliki. Iblis mungkin lebih tepat untuk mendeskripsikan sosoknya. 
“Aruni tanya tentang papanya.” Hanya itu jawaban yang bisa ia berikan.
Jika bukan karena Aruni sudah pasti Riani tidak akan melakukan itu. Setiap malam putrinya selalu menuntut jawaban terkait pertanyaannya malam itu, dan ia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang ia mau. 
Bukankah tidak pernah menghubungi atau mencari anaknya selama 5 tahun sama saja dengan tidak sayang? Meski memberi jawaban bahwa Prasetya tidak menyayangi anaknya mungkin akan memuaskan rasa ingin tahu Aruni, tapi Riani takut jawaban itu akan menjadi luka tersendiri untuk putrinya. 
Keputusan Riani untuk tidak menjelekkan Prasetya di depan Aruni membuat tiga sahabatnya kagum. Orang tua Riani juga sama hebatnya, meski kecewa luar biasa mereka tetap bisa mengendalikan diri untuk tidak mencaci maki Prasetya di depan orang lain. Sebagai catatan bahwa Prasetya adalah anak dari sahabat ibu Riani.
"Let's discuss about it later. Jangan lupa nanti ke Ambrosia." Alfi membalas chat sambil bersiap untuk pergi.
Hari ini kesempatan terakhir Alfi untuk berada di luar lebih lama, karena besok mas Alif waktunya pulang ke istri dan anaknya. Keberadaan kembarannya dua minggu terakhir memberikan tambahan sedikit ruang gerak untuk Alfi. Tanpa menyia-nyiakan waktu Alfi ingin segera sampai ke Ambrosia dan menikmati waktu sendiri sebelum bertemu sahabat-sahabatnya.
"ALFI!" Suara yang begitu familiar terdengar dari belakang, tapi Alfi terus berjalan pura-pura tak mendengar.
"Alfi." Kali ini suaranya begitu dekat, di sebelah kanannya. Mau tidak mau Alfi harus menoleh.
"Hai Dit, tumben ke sini, ada perlu apa?" 
"Mau bicara sama kamu." Jawaban Radit membungkam mulut Alfi.
Meski sudah 3 bulan berpisah tapi Alfi masih belum siap jika harus bertemu kembali dengan Radit. Alfi sadar memutuskan hubungan secara sepihak adalah hal yang salah dan menyakitkan. Tapi Alfi juga tidak ingin jika menjadikan ibunya sebagai alasan kepada Radit.
"Mau bicara dimana?" Alfi tidak ingin ada yang mendengar percakapan mereka. Di sini kabar apapun bisa menyebar lebih cepat dari api yang tertiup angin di ladang gambus.
"Mau ngobrol sambil makan?"
"Nggak usah, kita bicara di mobilmu aja, aku habis ini ada janji." Alfi ingin percakapan ini cepat selesai, ia segera berjalan ke arah mobil Radit.
"Fi maaf kalau aku ganggu kamu, tapi jujur aku masih nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku. Kasih aku penjelasan supaya aku tahu apa salahku." Radit berbicara langsung ke inti tanpa basa-basi.
"Kita sudah nggak cocok Dit, itu alasannya." Alfi menatap lurus ke depan.
"Tapi itu nggak menjelaskan apa-apa Fi, beri tahu salahku dimana?"
"Kamu nggak salah apa-apa, aku cuma ngerasa nggak cocok aja." 
"Kalau memang nggak salah, setidaknya bales chatku Fi, kita putus bukan berarti jadi musuh kan?" Alfi mengangguk dan segera keluar dari mobil, jika terlalu lama bisa-bisa perasaannya akan goyah. 
Salah satu alasan kenapa ia tidak pernah membalas chat atau telepon dari Radit adalah takut benteng pertahanannya akan ambruk. Alfi memutuskan hubungan dengan Radit bukan karena perasaannya telah berubah, bukan juga karena Radit melakukan kesalahan besar kepadanya. Ia ingin menjaga ibu yang kondisinya semakin menurun. Waktu yang bisa Alfi bagi dengan orang lain semakin sedikit dan ia enggan jika ini menjadi masalah untuk hubungannya dengan Radit. Lebih baik memutuskannya lebih dulu sebelum muncul masalah baru.
Tak terasa Alfi sudah sampai di Ambrosia, ia tiba kedua setelah Riani yang telah duduk di tempat biasa. Riani melihat keluar jendela sambil melamun, tidak menyadari kedatangan Alfi. Dahinya berkerut dan bibirnya rapat terkatup, tampaknya Aruni dan Prasetya memenuhi pikirannya saat ini.
“Udah pesen belum Ri?” Alfi duduk di seberang Riani.
“Sudah, aku pesen yang seperti biasa.” Pandangannya tetap keluar jendela, ada banyak skenario yang sedang bermain di kepalanya. Ia bingung cerita mana yang akan ia pilih untuk dirinya, Aruni dan Prasetya. Egonya masih bersikeras untuk tidak menghubungi Prasetya lebih dulu. Dia ingin membuktikan bahwa hidupnya baik-baik saja tanpa kehadiran laki-laki itu. 
“Jadi gimana Ri?” Suara Sarah mengagetkan Alfi dan Riani.
Sarah datang bersama Tasya dan segera ikut duduk di tempat yang masih kosong. Agenda pertama mereka adalah membicarakan tentang masalah Riani. 
“Aruni pingin ketemu papanya.” Tatapan mata Riani tak juga bergeser dari jendela.
“Terus kamu sudah menghubungi Prasetya?”
“Belum Sar, aku sebenarnya juga nggak mau menghubungi dia duluan, toh dia yang pergi.” air mata mulai menggenang di pelupuk Riani, mengingat kembali kejadian 5 tahun yang lalu sama dengan membuka kembali luka yang hampir sembuh. Riani sudah bisa hidup dengan bahagia tanpa laki-laki itu, tapi kenangan pahit mereka masih saja terasa perih.
“Harus banget ya Ri?” Alfi tak tega melihat sahabatnya yang nampak kembali kalut karena iblis bernama Prasetya.
“Aruni berhak ketemu papanya Fi, aku salah kalau menghalangi pertemuan mereka.”
“Tapi kan Prasetya nggak pernah menghubungi kamu lagi Ri. Bukannya itu bisa jadi jawaban untuk Aruni?”
“Aku nggak mau Aruni kecewa dengan sosok laki-laki, aku berharap kelak dia bisa membina hubungan tanpa rasa takut atau kecewa terhadap lawan jenis.” 
Jawaban Riani terasa begitu menusuk bagi Tasya. Hal itu yang ia rasakan sekarang. Salah satu yang membuat hubungannya berliku-liku adalah kekecewaan terhadap ayahnya. Orang yang begitu ia sayangi tega meninggalkannya dan ibunya hanya karena perempuan yang lebih muda. Dan saat ini ia takut untuk melanjutkan ke jenjang yang  lebih serius karena tak mau jika kelak ditinggalkan begitu saja oleh Haris.
“You are a good mom Ri, I’m so proud of you.” Tasya memeluk Riani yang duduk di sebelahnya.
Riani membuka laptop dan menunjukkan draft email yang telah dibuatnya sejak semalam. Ia sudah menghapus seluruh kontak Prasetya dan hanya menyisakan alamat email saja, berjaga-jaga jika suatu hari muncul kondisi darurat seperti saat ini.
12 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Menurutmu, apa makna sekufu? Apakah mereka yang berada di kondisi ekonomi yang sama? Atau mereka yang topik pembicaraannya bisa menyambung dan saling melengkapi?
Menurutmu siapakah yang pantas menikah? Apakah mereka yang berada di status ekonomi yang sama? Atau mereka yang mempunyai tingkat keilmuan yang sama?
---
Menurutmu pribadi, apakah aku termasuk orang yang tak tahu malu? Mengajak taaruf seorang putri istana yang cerdas, sopan, dan berpendidikan?
Berulang kali aku mempertanyakan itu kepada diriku sendiri. Prosesku mengajak hubungan yang lebih serius dengan Fathia banyak mendapatkan komentar yang beragam dari beberapa teman-temanku. Beberapa ada yang mendukung, namun beberapa justru mempertanyakan apakah aku sudah memikirkannya dengan matang.
Dua kontras jawaban yang berbeda dari teman lingkaranku membuat aku menjadi setengah-setengah. Ingin lanjut namun ragu, tapi juga ingin berhenti tapi sayang jika prosesnya harus berhenti di tahap ini.
Mungkin ini sebabnya beberapa seniorku selalu menasihati orang yang sedang bertaaruf. Bahwa, kita harus menyembunyikan prosesnya. Segala prosesnya. Dengan siapa, sudah sampai tahap mana, dan lain sebagainya. Jika semua sudah fiks, barulah teman-teman kita diberitahu kabar bahagianya melalui surat undangan pernikahan. 
Memang sesuatu yang diam-diam akan selalu memudahkan seseorang dalam bekerja. Namun nasi telah menjadi bubur. Beberapa temanku sudah tahu bahwa aku sedang menjalani proses taaruf dengan Fathia, entah dari mana kabar itu. Tiba-tiba saja mereka mengetahui kabar itu dan menanyakan kebenarannya kepadaku. 
**
“Lo serius ngajakin Fathia taaruf? Gila ya emang nyali lo.” Kata temanku lantang karena kaget mengetahui bahwa aku sedang berproses taaruf dengan Fathia. 
Kami sedang berada di cafe siang ini. Hanya berdua, aku dan sahabatku. Tempat nongkrong bergaya insustrial ini cukup terkenal buat orang-orang yang bekerja di daerah kami. Tempat yang cukup sepi, bersih, dan dilengkapi dengan gaya yang estetik menjadikan cafe ini pilihan bagi orang-orang melepas lelahnya setelah bekerja seharian di kantornya. Itulah alasanku disini sekarang bersama temanku.
“Ya serius lah. Emang aku pernah bercandaan ya soal perempuan? Dari dulu aku kan juga ga pernah tuh ngejalin hubungan asmara dengan siapapun. Ya itu karena aku emang nggak pernah bercanda soal perempuan.” Jawabku santai.
“Tapi maksudku tuh gini, kamu kan tau Fathia ini orang yang kaya raya. Dunia dia tuh udah yang kayak dunia berbeda gitu loh buat kita. Ya emang sih dia tuh orangnya emang humble banget. Tapi apa dia mau buat suatu hari nanti pergi naik motor bareng elu? Kan dia biasanya naik mobil. Terus, apa dia mau buat nyoba masakin di rice cooker terus makan tahu tempe yang kayak dulu pernah kita lakuin di pondok? Lu kira Fathia tuh kayak mbak-mbak santri yang serba bisa gitu?” Temanku menjawab lagi pertanyaanku dengan bertubi-tubi seperti seorang ibu yang ingin menyadarkan anaknya yang telah berbuat salah.
Iya, aku tahu bahwa Fathia memang orang yang berbeda status dengan kami berdua, tapi jika memang itu adalah orang yang cocok menurutku, mau bagaimana? 
Aku juga pernah membaca tulisan Habiburrahman di Ayat-Ayat Cinta, beliau mengatakan bahwa seharusnya para lelaki tak cepat minder dengan apa yang dimiliki oleh seorang perempuan, karena kita para lelaki mempunyai teladan yang sempurna yaitu Rasulullah yang juga menikah dengan seseorang yang cantik, baik perangainya, dan juga kaya. Ketika itu, Rasulullah hanyalah manusia biasa yang tak kaya ataupun mempunyai jabatan. Meskipun begitu, kejujuran beliau telah dikenal kemana-mana hingga beliau dijuluki al-amin, yang artinya seseorang yang jujur. Sehingga singkat cerita, melihat kejujuran Nabi Muhammad ketika itu, Khadijah bertekad untuk mengajukan diri untuk menjadi istri beliau.
“Akupun seperti itu Bro, aku yakin Fathia akan menghormatiku meskipun kami mempunyai latar belakang yang berbeda. Aku yakin Dia bisa memposisikan dirinya jika memang kami berjodoh. Toh aku juga ngga mau mikir jauh-jauh apakah berjodoh atau tidak. Aku hanya fokus ke satu per satu prosesnya, memastikan bahwa tidak ada satu step taaruf yang tercampur dengan ikhtilat.” Jawabku panjang lebar menjelaskan mengapa aku memilih Fathia dan satu bab sirah nabawiyah kepada temanku.
“Ya semoga ya. Turut seneng kalau nanti elu jadi sama si Fathia. Dia adalah salah satu orang baik yang pernah aku temui juga di BEM ketika itu.”
“Ting…” Suara notifikasi HP ku berdering, kulihat nama Fathia di notifikasi whatsapp ku. Ternyata dia baru saja mengirim pesan. Buru-buru aku langsung membuka isi pesan itu, barangkali ada hal urgen yang dia butuhkan.
“Mas, aku udah ngomong Abi, katanya dipersilahkan silaturahmi ke rumah hari Selasa sore, apa bisa?” 
Senang dan deg-degan rasanya mendapatkan balasan pesan itu dari Fathia. Akhirnya setelah sekian lama memendam rasa kepadanya, aku bisa menyampaikan maksudku dengan cara yang baik, yaitu kepada orangtuanya langsung. Walaupun ya disatu sisi aku agak khawatir, apakah niatan baikku ini bisa diterima keluarganya atau tidak.
Ahh mengapa aku melamun, aku harus segera menjawab pesan dia. 
“Okey, Insyaallah semoga Allah memudahkan.” Jawabku singkat
Buru-buru aku menyeruput secangkir kopi yang masih tersisa siang itu, kemudian memasukkan beberapa barang-barang kedalam tasku. Degup jantungku semakin kencang, sekarang hidupku seperti berjalan diatas harapan dan ketakutan.
“Aku pamit dulu ya Bro, mau kerjain yang belum beres dikosan.”
Bersambung (2/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 2
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
72 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Kabar dari Kamar Kecil
Bagian Terakhir - Keputusan Kecil yang Amat Gemilang
Tara akhirnya menceritakan kondisinya dengan Moy kepada ibunya. 
“Ibu gak akan ngehalangin kamu. Hanya kamu dan Kismoyo yang bisa memutuskan. Pilihlah pilihan yang menurut kamu paling mendekatkan diri kamu dengan Allah.” 
Mendengar saran dari ibunya, Tara langsung menghubungi Moy–menanyakan kabarnya–karena ia tidak mungkin terus-terusan berada di rumah ibunya. Ia sudah memasrahkan semuanya. Apapun keputusan yang mereka berdua ambil nanti, Tara akan menerima dengan kelapangan hati. Tara hanya akan berusaha memperjuangkan pernikahannya jika memang Moy ingin juga. Ia tidak mau memaksakan apapun.  
Tanpa diduga, Moy langsung mengajak Tara untuk bertemu di tempat pertama mereka bertemu–-sebuah café  di tengah kota. Moy berniat untuk mengakhiri pernikahan mereka di tempat mereka memulai semuanya, di tempat ia pertama memulai semuanya.
“Kamu gak cukur kumis?” Tanya Tara berbasa-basi.
“Iya. Lebih keren, kan?”
“Menurut aku, kamu keren, kok, mau gimana juga.” Jawaban Tara tulus. Ia memang tak pernah memandang fisik sebegitunya. Ia hanya perlu kebaikan dan ketulusan hati, yang ternyata selama ini ia keliru kenali.
“Aku mungkin pernah cerita ini. Pilihanku untuk ambil jurusan di SMA, jurusan di kuliah, sampai kerja adalah saran dari Bunda. Tapi, belakangan aku jadi saran bahwa keputusanku selama ini selalu dipilih Bunda…termasuk nikah sama kamu.”
Tara menahan hatinya yang bergejolak. Ia tahu bahwa percakapan ini akan dan harus terjadi sekeras apapun ia ingin kabur.
“Waktu kita berantem, Bunda nyaranin untuk nikah lagi. Pilihannya adalah selesai sama kamu terus nikah lagi atau punya istri dua.” 
Tara masih memberikan Moy ruang untuk bercerita. Setidaknya ia kini tahu bahwa Moy disuruh menikah oleh Bunda denganya, dan Bunda pula yang menyuruh anaknya untuk mengakhiri pernikahannya. Seseorang memang bisa berubah sebegitunya. Tara kesal, tapi kekesalannya tak akan membawanya ke manapun.
“Tujuanku nikah dari awal udah salah. Bunda ingin punya banyak cucu. Kejadian yang kita alami selama ini, bikin aku sadar kalau…ini semua salahku.”
Tara meneguk air mineral yang barusan ia pesan. Seolah diteguknya pula semua kata-kata Moy. Tara memang pasrah, tapi bukan berarti semua itu tidak menyakitkan.
“Aku gak bisa terusin pernikahan ini. Aku merasa perlu beresin masalah aku dengan Bunda.”
“Aku punya satu syarat.” Tara menjawab segala pernyataan Moy dengan persetujuan berupa syarat.
“Aku ingin kamu cek kesuburan.” Mendengarnya, Moy langsung setuju. Moy paham bahwa Tara yang selama ini disebut bermasalah karena PCOS-nya. Setidaknya, dengan dilakukannya tes kesuburan yang saat itu tak Bundanya izinkan, Moy bisa meringankan rasa penasaran Tara selama ini.
“Kamu bener-bener gak pernah bahagia sama aku?” Tanya Tara.
“Pernah, kok. Waktu aku nungguin kamu keluar dari kamar kecil buat cek kehamilan dan ternyata kamu hamil.” 
Pertemuan itu ditutup dengan senyum getir Moy dan Tara.
***
Hasil tes kesuburan menunjukkan sperma Moy abnormal. Wajar karena Tara tahu selama ini suaminyalah yang banyak merokok dan pola hidupnya tidak sehat. Hasilnya Tara kirim langsung ke alamat Bunda. Tara ingin menyampaikan kepada Bunda bahwa kehamilan  bukan hanya peran perempuan, tapi juga laki-laki. 
Awalnya Bunda menyambut perpisahan Moy dan Tara dengan riang. Semua berubah ketika paket dokumen yang dikirim Tara sampai di tangannya. Ditambah, Moy memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan pindah kota untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bunda.
Moy menjual rumah yang ia bangun bersama Tara, lalu membagi hasilnya dengan Tara. Proses perceraian berjalan lancar. Moy maupun Tara hanya perlu menandatangani berkas-berkas dan hadir di persidangan. Sekilas Tara merasa perpisahan ini begitu lucu. Perjalanan yang kata orang begitu rumit, tapi ternyata Tara jalani dengan begitu ringan. Seolah keputusan untuk berpisah adalah persoalan kecil. Sebaliknya, Moy merasa keputusan kecil yang dirasakan Tara adalah langkah paling berani yang pernah ia tapaki. Semuanya memang tergantung pada sudut pandang masing-masing pelaku.
Selepas semuanya selesai, Moy mulai menemukan lagi tujuan-tujuan yang selama ini diabaikannya. Ia tetap menghubungi Bunda karena tidak mau menjadi anak durhaka. Tapi, ia mulai membatasi dirinya. Ia mulai memutuskan banyak hal untuk dirinya sendiri. Moy mulai merubah sebutannya untuk kamar kecil dengan toilet. Ia tak lagi menggunakan kata-kata ‘kamar kecil’ seperti yang diajarkan Bundanya.
Moy sesekali melihat Tara di media sosial.  Tara ternyata membuat komunitas yang mendukung perempuan dengan PCOS. Ia bisa melihat bagaimana gemilangnya Tara seperti sebelum Tara bertemu dengannya. Binar itu kembali hadir selepas perpisahan  mereka.
Keputusannya kini sudah tepat. Moy tidak akan lagi menanti kabar-kabar dari kamar kecil yang selama ini tak pernah benar-benar ia inginkan.
TAMAT
Klik ini untuk baca Bagian 1!
13 notes · View notes
chocohazel · 1 year
Text
ULasan: Pulang
Judul Buku: Pulang Genre Buku: Fiksi Sejarah dan Fiksi Politik Penulis Buku: Leila S. Chudori Bahasa: Indonesia Penerbit Buku: Kepustakaan Populer Gramedia Rating Goodreads: 4.3/5 Rating Pribadi: 4.5/5
Novel dengan tebal 474 halaman ini akan mengantarkan pembaca ke setidaknya tiga latar masa lalu dalam ritme yang cepat. Pertama September 1965, di Indonesia. Kedua Mei 1968 di Perancis dan Mei 1998 di Indonesia. Novel ini dibagi menjadi tiga bagian dengan alur maju-mundur. Tiga bagian yang ada masing-masing memuat sudut pandang orang pertama dari point of view tiga tokoh utama (multiple POVs) dan dua tokoh pendukung. Walau memiliki pergantian point of view dan plot campuran, penulis menjahit masing-masing bagian cerita dengan sangat apik sehingga masing-masing cerita saling melengkapi "kekosongan" pada cerita lainnya. Setiap konflik dan penggalan kisah memunculkan rasa penasaran dari pembaca dan membuat pembaca semakin tertarik untuk melanjutkan perjalanan membacanya.
Pada bagian satu, novel ini berkisah tentang empat eksil politik Indonesia yang menjadi pendiri Restoran Tanah Air di Paris: Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna (Tjai Sin Soe). Kecuali Tjai, mereka berempat merupakan wartawan di Kantor Berita Nusantara sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Hananto Prawiro, pimipinan kantor Berita Nusantara adalah seorang jurnalis berpengalaman ekstrim kiri. Walau beberapa jurnalis dan karyawan lainnya cenderung netral dan bahkan memiliki sikap politik yang berlawanan, tetap saja eksistensi Hananto cukup untuk menjadikan Kantor Berita Nusantara dianggap sebagai gudang antek dan simpatisan PKI.
Menjelang Peristiwa 30 September 1965 terjadi, Dimas Suryo dan Nugroho menghadiri Konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf menghadiri “agenda” lain di Havana, Kuba. Sementara Tjai meninggalkan Indonesia menuju Singapura sesaat setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Sadar bahwa situasi politik di Indonesia pasca 30 September 1965 tidak berpihak dan sangat berbahaya bagi siapapun yang dengan mudah bisa dikait-kaitkan dengan PKI, maka Dimas Suryo, Nugroho dan Risjaf tidak berani untuk pulang. Selain itu, situasi membuat mereka memang tidak mungkin bisa pulang karena paspor mereka dicabut. Mereka kemudian pergi ke Peking dan bertemu dengan banyak eksil politik lain. Dari Peking mereka berkelana ke beberapa negara dan berakhir dengan pertemuan kembali di Paris kemudian mendirikan Restoran Tanah Air.
Di Prancis, Dimas Suryo menikah Vivienne Deveraux dan punya satu orang anak perempuan yang bernama Lintang Utara. Singkat cerita, Lintang dewasa pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan tugas akhirnya di universitas Sorbonne, yaitu membuat film dokumenter yang berisi wawancara dengan para eks-tapol Peristiwa 1965 beserta keluarga. Lintang pergi ke Jakarta pada bulan Mei 1998 dan bertemu dengan Segara Alam putra Hananto Prawiro dan Bimo putra Nugroho.
Setidaknya ada dua premis besar dalam novel ini, yang pertama tentang bagaimana kehidupan para eksil politik yang terpaksa berpetualang dari negara satu ke negara lain dan kemudian menjalani kehidupan sebagai warga negara Perancis di Paris, ribuan kilometer dari tanah air yang sangat mereka rindukan. Kemudian premis utama ini memunculkan premis baru tentang kehidupan anak-anak para eksil politik di luar negeri dan juga di Indonesia menghadapi situasi politik yang kembali memanas di tanah air, tiga puluh tiga tahun pasca pemberontakan PKI.
Keunggulan novel ini adalah penulis dapat menyajikan kisah sejarah kelam Indonesia dengan alur cerita yang menarik. Pembaca seolah dapat “menyaksikan” apa yang terjadi selama dua masa kelam perpolitikan Indonesia lewat rincinya penggambaran cerita yang disajikan melalui sudut pandang karakter utama. Sementara kekurangannya adalah karena tema dan pembahasan dalam cerita, novel ini memiliki segmentasi pembaca yang cenderung khusus yaitu dewasa di atas 17 tahun dengan minat bacaan fiksi-sejarah fiksi-politik.
12 notes · View notes
walidahchoirun · 1 year
Text
Umur Orangtuaa
Tumblr media
Setiap pagi selalu bangun lebih dulu dari anak – anaknya. Lelaki paruh baya itu berprinsip untuk tidak memiliki asisten rumah tangga, bersama isterinya beliau memulai aktivitas setiap harinya sebelum ke empat anaknya bangun. Mewajibkan pendidikan harus ditempuh sebaik – baiknya, walau rela berhutang dan menjual aset yang dimiliki, menjadi garda terdepan untuk melindungi anak – anaknya. Kasih sayangnya hangat sepanjang masa. Perasaan dan ketakutan ini tiba – tiba mencekat ketika menyadari semakin banyak guratan di wajahnya dan rambutnya mulai memutih, hingga produktifitasnya yang mulai berkurang karena faktor usia. Ketakutan berlomba dan kalah dengan waktu dengan umur bapak-ibu, sedangkan diri ini masih berproses untuk meraih cita – cita.
Doa malam: tenangkanlah hati orangtua kami dari kesedihan yang mereka miliki diam-diam~
Semoga diri ini masih diberi waktu untuk menunaikan bakti pada bapak - ibu.
@bentangpustaka-blog @langitlangit.yk @careerclass_id
11 notes · View notes
kurniaristi · 1 year
Text
Guru biasa atau luar biasa
"Kamu mau mau jadi guru biasa atau guru luar biasa?"
"Apa yang seharusnya diupayakan oleh seorang guru agar bisa menjadi role model yang baik untuk anak didiknya?
Pertanyaan dari salah satu dosen yang membuatku kembali merenung apa yang selama ini sudah ku lakukan ketika menjadi seorang guru.
Memutuskan terjun di dunia Pendidikan Anak Usia Dini merupakan sebuah tantangan besar bagiku. Guru adalah bagian terpenting dalam pengembangan pendidikan di masa depan sekaligus menjadi garda terdepan dalam pembentukan generasi. Bagaimana wajah generasi di masa depan akan terwarnai oleh guru saat ini. Menjadi guru berarti belajar sepanjang masa dan tidak boleh berhenti berkarya. Harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya, selalu dituntut memiliki kreativitas agar dapat menentukan model pembelajaran yang cocok untuk di terapkan di kelas.
Guru juga sosok yang berada di garda depan kelas. Mindset guru akan berdampak dan berpengaruh sampai pada minset anak. Jika seorang guru biasa-biasa saja ( datang dan pulang hanya menjadi rutinitas keseharian ) maka peserta didiknya pun juga akan biasa-biasa saja. Karna apa yang akan dilakukan guru mempengaruhi pola piker anak. Sungguh tidak mudah bukan.
Kalau kata temenku “sejauh mana performa anak didikmu adalah sejauh mana skill dan effort yang di berikan oleh seorang guru “
"Guru yang mencintai anak akan memahami anak dan memberikan dirinya secara utuh ( head, hand, and heart) untuk terus mengembangkan anak-anak yang dipercayakan kepadanya. Ibarat seorang tukang kebun dengan pengetahuan dan ketrampilan serta peralatan yang dimilikinya , ia merawat dengan cinta semua tanaman di kebunnya agar tumbuh subur ( yuliati Siantajani)"
Yokk ris jangan pernah berhenti untuk belajar. Karna untuk menjadi guru tidak hanya sekedar bisa mengajar saja. Tapi juga harus mau belajar.
Tumblr media
11 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Sunset Bersama Rosie
Tumblr media
Penulis: Tere Liye
Tahun terbit: 2011
Halaman: 429 halm
Premis: Tegar—Laki-laki yang dulu sangat mencintai sahabatnya Rosie dan telah kehilangan kesempatan untuk menyatakannya—sangat ingin tinggal di Jimbaran, Bali untuk mendampingi anak-anak Rosie, yaitu Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili, yang kehilangan sosok ayah dan berpisah dengan ibunya yang depresi, tetapi Tegar memiliki janji kehidupan bersama Sekar di Jakarta.
Tema: Keluarga, Kesempatan, Berdamai
Plot: Tragedi (Rosie dan keempat kuntum bunganya yang tiba-tiba kehilangan Nathan sebagai suami dan ayah karena kejadian meledaknya bom di Jimbaran, Bali)(Tegar yang kehilangan kesempatan mengungkapkan cintanya kepada Rosie)
POV:  Sudut pandang orang pertama, Aku (Tegar)
Alur: Campuran (Mayoritas alur maju, tapi ada alur mundur, yaitu ketika Tegar mengingat kejadian 15 tahun lalu (menyaksikan Nathan menyatakan perasaannya kepada Rosie dan kehilangan kesempatan untuk menyatakan perasaannya kepada Rosie) dan ketika Tegar tidak sengaja mengungkapkan perasaannya 15 tahun yang lalu untuk menenangkan Rosie yang kalap karena depresi berat).
Ritme: Lambat. Suasana, perasaan, raut muka, gestur tubuh digambarkan secara detail dengan bahasa yang indah.
Latar: Gili Trawangan, Pantai Jimbaran Bali, Gunung Rinjani, Bali, Jakarta
Tokoh
Tegar: 35 tahun. Bertanggung jawab. Baik dan sabar. Bisa diandalkan. Atletis, bisa mengendarai mobil, motor, dan kapal cepat dengan ngebut. Terlalu mencintai Rosie. Cintanya melebihi cinta Rosie ke Nathan ditambah cinta Nathan ke Rosie. Terlalu mencintai anak-anak. Om, uncle, dan paman yang paling hebat, keren, dan super bagi anak-anak Rosie.
Rosie: 35 tahun. Sahabat terdekat Tegar, suami Nathan, ibu dari Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Sangat menyukai sunset. Terlambat menyadari perasaannya kepada Tegar. Mengalami depresi berat setelah ditinggal mati Nathan, suaminya.
Sekar: Gadis cantik. Lebih cantik daripada Rosie. Mudah menangis. Sangat mencintai Tegar. Cintanya melebihi cinta Tegar ke anak-anak, ditambah dengan cinta anak-anak kepada Tegar, ditambah cinta Tegar kepada Rosie, juga ditambah cinta Oma kepada anak-anak.
Nathan: 35 tahun. Suami Rosie.13 tahun menjalani pernikahan dengan Rosie dengan intensitas kebahagiaan tinggi. Lebih agresif daripada Tegar. Dua bulan mengenal Rosie, langsung menyatakan perasaannya. Meninggal dunia akibat kejadian bom di Jimbaran
Anggrek: Sulung Rosie dan Nathan. 12 tahun. Wajahnya mewarisi gurat muka Rosie. Keibuan dan bisa diandalkan. Rambutnya lurus tergerai. Senang membaca buku. Pandai menulis cerita, pandai menjelaskan banyak hal dan selalu bertanya hal aneh dan ganjil. Memanggil Tegar dengan sebutan Om
Sakura: Anak kedua Rosie dan Nathan. 9 tahun. Lancar empat bahasa asing. Menyukai segala hal yang berbau komik. Rambutnya suka dikepang.Aktif, memiliki otak kanan yang sama hebatnya dengan otak kiri. Pandai bermain musik, biola. Jahil dan super-ngeles. Memanggil Tegar dengan sebutan Uncle.
Jasmine: Anak ketiga Rosie dan Nathan. 5 tahun. Pendiam, pemerhati yang baik, penurut, dan tidak banyak membantah. Rambutnya ikal. Kalimat-kalimatnya selalu menyentuh. Bisa memerjemahkan perasaan orang lain dengan baik. Suka merajut dan merawat Lili.  Memanggil Tegar dengan sebutan Paman.
Lili: Bungsu Rosie dan Nathan. 1 tahun. Selalu digendong Jasmine. Setelah berusia 3 tahun, hanya dengan Jasmine, ia berbicara. Rambutnya panjang hitam. Kelak memanggil Tegar dengan sebutan Papa.
Oma: Nenek kandung Rosie dan nenek bagi Tegar. Mengetahui perasaan Tegar kepada Rosie dan Rosie kepada Tegar.
Ayasa: Dokter psikiater perempuan yang merawat Rosie ketika depresi berat. Masih muda, Seumuran Tegar, Cantik. Tidak pakai kacamata.
Clarice: Peneliti dari Sydney yang memperkenalkan dr. Ayasa untuk perawatan depresi Rosie. Punya helikopter. Menyayangi Tegar dan keluarga Rosie dan Nathan.
Michell: Turis yang langganan menginap di Resort Rosie. Dokter Anestesi.
Linda: Mantan sekretaris Tegar saat Tegar bekerja di Jakarta. Sahabat Sekar.
Bagi kamu yang udah baca novelnya,
pilih tim Tegar-Rosie atau Tegar-Sekar?
Pic: google
13 notes · View notes
Text
Tumblr media
Book Review
Nama Penulis : Tere Liye
Tahun Terbit : 2020
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 360
Dengan tokoh utama bernama Sintong kali ini tere liye kembali menyajikan sebuah bacaan yang penuh akan pesan- pesan moril.
dengan menyajikan sosok mahasiswa di dalam karaktek sintong, tere liye menyisipkan pesan tentang ramainya buku bajakan di pasar yang dikonsumsi oleh kaum-kaum intelektual. Dimana perilaku tersebut sangat merugikan para penulis serta orang-orang yang terlibat didalam proses lahirnya buku tersebut.
dengan mengusung alur maju mundur penulis berhasil membawa pembaca kedalam ceritanya yang tak hanya menceritakan kisah perjalanan pemeran utama sintong sebagai mahasiswa dengan lika-liku skripsi dan percintaannya tapi juga membawa penulis pada kisah sultan pane salah satu penulis yang berani dengan pemikiran dan kejujurannya pada sebuah gagasannya.
kalian ada yang sudah baca juga gak?
share dikolom komentar ya
9 notes · View notes