Tumgik
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Jika dirasa-rasa, kehidupan ini lucu juga. Kita yang membuat ekspektasi, ketika tidak tercapai kita marah-marah. Lalu, menyalahkan diri sendiri. Padahal hasil bukanlah kendali kita. Barangkali ekspektasi kita yang terlalu tinggi, belum tersupport oleh kapasitas diri kita yang masih terlalu rendah. Aku jadi teringat dengan sebuah ayat Al Qur’an yang mengatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, 'kami telah beriman' TANPA diuji?!...” Apakah setelah menetapkan ekspetasi, tidak akan ada ujian untuk mengetahui kesungguhan diri untuk mencapainya? Sesuatu yang barangkali selalu ingin dihindari manusia, UJIAN.
Ada hal yang yang pernah terpikir olehku, membayangkannya akan menjadi hal yang menyenangkan jika aku benar-benar berada pada situasi itu. Namun, nyatanya di hari ke-100 aku menjalaninya, mungkin masih hitungan jari aku benar-benar menjalani peran ini dengan bahagia.
Suara riuh anak-anak terdengar hingga dalam rumah. Teriakan goal sesekali terdengar, membuatku ingin sekali segera menontonnya seperti hari-hari sebelumnya. Tinggal sedikit lagi apa yang aku masak siap disajikan di atas meja makan. Menu nutrisi penting untuk tubuh jompo kami, jangan sop. Kuah telah mendidih sempurna, rasa sudah pas, dan wortel sudah cukup empuk untuk digigit. Kumatikan kompor, kuambil eros, kugayung jangan sop beserta isinya dari panci ke mangkok. Kubawa menu terakhir ke atas meja. Voila! Makan malam sudah siap, waktunya bersantai sejenak menonton pertandingan anak-anak di depan rumah.
Tanah luas itu tepat berada di depan rumah kontrakan. Satu-satunya tanah yang paling luas yang ada di perumahan ini. Tanah yang seringkali dijadikan tempat tanding bola, badminton outdoor, sampai acara nikahan tetangga. Fasum serbaguna tempat menjalin silaturahmi antar tetangga, juga tempat berita terbaru dengan cepat menyebar.
“Tante Rayya!!!” suara pertama yang kudengar saat membuka pintu pagar rumah. Mbak Anggun melambaikan tangan si bungsu ke arahku. Kubalas dengan lambaian tangan paling tinggi dan senyum seriang mungkin. Kuberjalan menuju mereka dan membiarkan pintu pagar terbuka sedikit. Kugerak-gerakkan jari jemariku, membuat pertunjukkan sederhana yang membuat si bungsu tertawa riang. Dia mengangkat tangannya seakan-akan memberitahu bahwa aku pengen digendong tante Rayya. Kusambut tangan itu, lalu kugendong putri kecil yang baru berusia enam-belas bulan itu.
“Kok telat, dhek?” tanya mbak Anggun ketika mengalihkan si bungsu kepadaku.
“Iya, mbak. Menu makan malam kali ini sedikit ribet,” jawabku sekenanya.
“Merayakan sesuatu?”
“Enggak. Permintaan paksu.”
“Oh…,” jawab mbak Anggun mengakhiri topik permenuan.
“Itu siapa mbak?” tanyaku sambil menunjuk seorang gadis yang baru muncul dari belokan jalan menuju ke arah lapangan, melewati kami dengan senyuman, lalu masuk ke rumah yang berjarak tiga rumah dari rumahku.
“Itu Gina. Putri sulung Bu Joko. Dia dulu merantau ke Medan. Udah hampir satu bulan ini dia ditugaskan di Surabaya. Jadi, bisa pulang sebulan sekali. Nggak kayak dulu, setahun sekali aja sudah untung.”
Gina. Pertama kalinya ada seseorang yang membuatku teringat akan masa laluku sejak kepindahanku ke perumahan ini. Gadis berkerudung krem, ber-PDL mirip dengan yang pernah kupakai dulu, bersepatu safety dengan besi di bagian atasnya, dan tentu dengan ransel yang barangkali berisikan laptop, takut tiba-tiba si bos besar bertanya mendadak tidak peduli staffnya sedang cuti atau tidak.
***
Tahun lalu...
Menjejakkan sepatu safety di tengah tanah yang lebih sering berlumpur di kala hujan adalah salah satu scene kehidupan yang telah kubayangkan sejak mengenal apa itu praktek kerja lapangan saat kuliah. Bau semen yang begitu khas. Pepohonan yang hampir tidak ada sama sekali. Lonjoran besi di mana-mana. Tentu, tak ketinggalan, tangga scaffolding yang ngeri-ngeri sedap saat menaikinya. Tangga yang kubenci sekaligus kusuka dalam satu waktu. Karena dengannya-lah aku bisa mendapati pemandangan kota dari lantai tertinggi dan menjadi perempuan pertama yang menikmatinya sebelum menjadi viral saat gedung ini telah sempurna.
Bulai Mei yang digadang-gadang akan memasuki musim kemarau, ternyata telah mengalami cuaca yang labil dan upnormal. Sudah seminggu lebih hujan turun terus menerus tanpa henti, menyebabkan pergeseran jadwal pengecoran sangat di luar prediksi. Pawang hujan? Sayangnya itu tidak bekerja. Allah rupanya tidak menulis takdir bahwa pawang hujan itu akan berhasil dalam misinya kali ini. Seminggu lebih kami hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan. Untungnya, lantai basement, mezzanine, lantai 1, lantai 2 dan lantai 3 telah tuntas proses cor. Pekerjaan arsitek dan Mechanical Electrical (ME) bisa masuk, sambil berharap hujan segera berhenti dan proses pengecoran lantai 5 segera dilakukan.
Hari ini, hari pengecoran pertama setelah off tujuh hari. Dengan semangat yang mulai membara lagi, aku mengikuti proses pengecoran yang memakan waktu satu hari penuh untuk memenuhi separuh bekisting plat lantai 5 yang telah diisi oleh besi-besi yang teranyam.
Roger... roger... Readymix terakhir datang! Readymix terakhir datang! Siap-siap test slump! Akhirnya, sebentar lagi pengecoran hari ini selesai.
"Rayya... Rayya... Rayya...," suara handy talky memanggilku.
"Ya, pak!" jawabku.
"Mbak, kamu order berapa kubik? Ini kenapa sisa banyak sekali?"
Deg! Aku yang mendengar pertanyaan itu langsung menutup mata dengan tangan kiriku. Teringat sebuah kertas berisi rincian BOQ yang digunakan acuan untuk order readymix ke supplier setiap harinya. BOQ yang kubaca adalah BOQ lama untuk pengecoran tertulis untuk pengecoran plat dan balok sekaligus 72 meter kubik. Sedangkan untuk pengecoran hari ini di jadwal baru hanya 65 meter kubik. Artinya tujuh meter kubik tersisa.
"Order tujuh puluh dua meter kubik, pak," jawabku dengan sedikit cemas. Aku telah melakukan sebuah kesalahan dan aku baru tersadar di detik-detik terakhir pengecoran malam ini akan tuntas.
"Gimana sih kamu, mbiaaaak! Kamu baca BOQ lama? Kesepakatan kita kan di rapat kemarin hanya 65 meter kubik!!!"
"Iya, pak! Maaf!" jawabku lemah. Sudah terbayang bagaimana marahnya Pak Roto yang berusaha semaksimal mungkin mempercepat pekerjaan di lapangan, namun, aku mengacaukannya.
"Pak Roto! Pak Roto! Ijin masuk, pak!" Aku mendengar suara yang tak asing masuk menyela percakapan kami.
"Iya, Ryan! Kamu ada area yang bisa dicor malam ini?!"
"Ada, pak. Tujuh meter kubik siap diterima di area tower A sisi utara."
"Oke, Ryan. Yok, semuanya siapkan jalan menuju tower A sisi utara! Segera! Beton makin mengeras. Duit ini! Duit. Yok, segera habiskan! CEPET! CEPET! CEPET!" Seketika nafasku lega. Tujuh meter kubik beton terselamatkan malam ini.  
Suara handy talky masih terdengar riuh. Bintang-bintang yang meramaikan langit malam seakan menyapaku dan bertanya apakah kau baik-baik saja? Lampu-lampu yang memberikan terang cahaya untuk para pencari nafkah di atas anyaman besi di lantai 5 itu seakan memberitahu ini pengecoran terakhir hari ini, sebentar lagi kita akan istirahat. Tenanglah. Sisa tujuh kubik itu telah ada solusinya. Are you okay, Rayya?
"Belum pulang, mbak?" suara di belakangku membuat kuterkejut. Portofon terlepas begitu saja. Buk. Jatuh tepat di luar railing balkon Site Office, untung tidak sampai terpantul ke luar lebih jauh. Aku menunduk dan melihat sebuah tangan sedang mengambil portofon melalui sela-sela railing yang tidak terlalu rapat, lalu memberikannya padaku seraya berkata, "Sampeyan terlihat lelah."
"Hehe. Makasih, pak! Maaf ya, merepotkan. Kalau nggak ada bapak, aku bisa pingsan mempertanggungjawabkan kelebihan orderan malam ini."
"Tenang mbak. Tadi tukangku mau kerja lembur menyiapkan balok dan plat untuk jadwal pengecoran besok. Dan udah diceklist. Kalau bisa dicor malam ini, kenapa nggak! Toh, kita semua yang untung kan," Ryan menoleh ke arahku, 
“He��em.”
"Sampeyan nggak pulang, karena khawatir ta, mbak?
“Nggak. Lagi pengen aja mengamati proses cor hari ini. Udah lama nggak lihat proses cor malam ditemani semarak lampu di atas sana.”
“Hahaha. Apa istimewanya, mbak?”
“Suka aja. Malam nggak selamanya ditemani bintang-bintang. Juga nggak selamanya mendapatkan cahaya rembulan. Lampu-lampu itu selalu menemani proses cor hingga tetes beton terakhir. Seakan pagi atau malam tak ada beda cahayanya. Sama-sama terang.”
“Puitis sekali. Biasanya manusia-manusia yang puitis punya tingkat kekhawatiran yang tinggi.”
“Bisa jadi iya. Bisa jadi enggak. Karena khawatir itu akan selalu ada membersamai manusia. Itu salah satu bentuk ujian manusia.”
“Sampeyan tak perlu terlalu mengkhawatirkan kejadian malam ini! Perjalanan masih panjang. Masih ada sepuluh lantai lagi.”
“Haha! Iya masih sepuluh lantai lagi ya. Masih panjang perjalanan drama proyek ini!”
“Namanya juga hidup, mbak. Kalau nggak ada drama, kata anak muda, nggak asyik,” ucap Ryan menirukan ekspresi anak muda, “Hidup itu ada yang bisa kita kendalikan, ada yang tidak. Dan kita tidak perlu mencemaskan hal yang tidak bisa kita kendalikan.”
"Sepakat! Dan kenyataan bahwa kita punya tingkat kekhawatiran yang tinggi membuat hidup lebih berwarna. Seperti malam ini. Kukira akan mulus, ternyata jantungku berdegub lebih kencang di saat-saat terakhir, ketika mengetahui aku kelebihan order. Antara merasa bersalah membuat kekacauan atau merasa beruntung akhirnya target kita hari ini terlampaui tanpa terencana. Hahaha. Allah itu Maha Baik ya!”
“Hahaha. Jantungku juga berdegub kencang sekarang, mbak."
"Mulai… Udah, ah! Makasih untuk ruang tujuh kubiknya. Jangan kapok kerja satu tim denganku. Ingat istri dan anak di rumah.” Aku menepuk bahunya dan membalikkan badan, melangkah meninggalkannya, dan masuk ke dalam kantor. Aku berjalan menuju meja kerjaku yang terlihat sangat berantakan dari jarak sepuluh meter. Barangkali jika ada orang-baru melihatnya, ia tak akan percaya bahwa pemilik meja itu adalah seorang wanita berkerudung yang dulu sering mendapatkan imej seorang ukhti. Sayangnya imej itu perlahan luntur semenjak aku memutuskan bergabung dengan kontraktor ini tiga tahun lalu. Rok yang biasa kupakai, kini telah menggantung di lemari selama sekian tahun. Aku belum pernah memakainya lagi. Tugas negara yang mengharuskan berteman dengan lumpur, tangga scaffolding, dan tumpukan material, membuatku harus memilih untuk menggantinya dengan celana. Setiap hari. Bahkan di jadwal cutiku, sekalipun.
Kertas berisikan gambar kerja, surat perintah cor, notulen rapat, dan memo-memo lainnya berantakan menutupi hampir seluruh meja hingga menyisakan satu luasan kecil yang telah tertutupi oleh sebuah tas kertas berwarna coklat. Aku berhenti tepat di depan mejaku sendiri. Mulai berpikir, apakah aku memesan makanan dari ojol, kurasa tidak. Tanganku reflek meraih tas itu dan membukanya. Sebuah buku bercover dua manusia yang berada di depan dua lukisan. Lukisan bunda maria dan langit-langit Masjid Hagia Sophia. Buku yang telah lama menjadi incaranku itu telah sampai di mejaku begitu saja. Aku melihat ada sebuah note di dalam tas itu.
"Buku untuk menemani perjalanan bertemu keluarga di kampung halaman. Semoga cutimu menyenangkan ya, mbak!"
Aku pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia penyelamat tujuh kubik betonku.
----
Esok harinya…
Bunyi sirine kereta terdengar. Gerbong besi yang konon tingkat keamanannya ditemukan oleh Eyang Habibie saat di Jerman ini bergerak perlahan membawaku menuju kampung halaman yang kurindu. Seperti biasa, tempat favoritku di samping jendela. Rumah-rumah penduduk yang hanya selemparan batu dari rel, terlihat sangat padat. Pemandangan anak-anak berlarian kejar-kejaran membuat senyuman akhirnya mampir di pagi ini. Pakaian yang tergantung pada kawat di pinggir rel pun tak mau kalah tampil dengan anak-anak kicik itu. Kereta semakin mempercepat lajunya ketika telah lepas dari kampung pinggir rel itu. Pemandangan berganti dengan berjajarnya kendaraan yang sedang antre hendak melewati pembatas kereta api. Kereta api sungguh menjadi rajanya kendaraan di darat ini.
Pramusaji mulai berlalu lalang menawarkan sarapan pagi atau sekadar camilan dengan kadar msg yang bikin nagih. Tapi ku hanya melihatnya, tak memanggilnya. Masih enggan untuk menyarap di jam sepagi ini. Ku melihat jam tangan di pergelangan kiriku, masih dua jam lagi kereta ini sampai pada kampung halamanku.
Aku membuka goodie bag yang sedari tadi sudah memanggil-manggil untuk kubuka. Kuraih sebuah buku yang masih dalam bungkusnya. Novel perjalanan 99 Cahaya di Langit Eropa. Aku sudah pernah membaca ulasannya di mana-mana. Itu yang membuatku tertarik untuk membacanya. Tak kusangka, Ryan memberikannya tepat di saat jadwal cutiku tiba dan di tengah huru hara cuaca yang tak menentu penyebab keterlambatan progress di lapangan dan tragedi tujuh kubik beton. Sungguh laki-laki yang jika ia masih single, kuingin sekali berdampingan dengannya seumur hidup.
Hanum Rais Salsabila. Wanita yang pernah kekeuh untuk menjalani LDR dengan suaminya, akhirnya memilih untuk membersamai suaminya, Rangga, yang sedang melanjutkan studi di benua Eropa. LDR? Akankah esok aku juga akan LDR dengan suamiku? Seperti kebanyakan pekerja proyek lainnya? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan tanpa tahu kapan akan terjawab, karena hilal imam pun belum nampak. Berkarir terus di dunia perproyekan? Hm…sepertinya cukup empat tahun saja, tidak lebih. Karena aku memilki impian menjadi seorang dosen, dosen yang memiliki pengalaman di lapangan. Menjadi dosen pun artinya menetap di satu domisili. Lalu bagaimana jika mendapatkan suami yang tetap memilih bekerja di proyek? Akankah aku tetap menuju impianku, ataukah berubah haluan mengikuti ke manapun suamiku nanti pergi. Ah…persoalan ini rumit tanpa solusi sebelum bertatap muka dengan my future husband. 
Roda kereta sekali lagi menderit. Berhenti di stasiun S, stasiun ke-5, selama 10 menit. Seperti di stasiun sebelumnya, di stasiun ini juga ramai dengan penumpang naik. Meskipun terhitung stasiun kecil, stasiun ini telah menjadi pusat mobilitas tertinggi di kotanya.
Sepuluh menit termasuk waktu yang pendek. Penumpang yang hendak naik, telah mempersiapkan diri di belakang garis kuning. Ketika kereta benar-benar berhenti, mereka sat set wat wet memasuki gerbong kereta agar tidak tertinggal. Aku yang telah satu jam berada di dalam gerbong kereta mengamati aktivitas di luar yang sudah mulai lengang.
“Hey!” seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sampingku. Seketika aku menoleh ke arahnya dan cukup terkejut dengan kehadirannya. “Ga nyangka ya, bisa ketemu di sini.”
“Hey!” jawabku dengan muka bingung. Laki-laki yang sudah empat tahun tak pernah jumpa, hari ini Allah kirimkan tanpa duga di sampingku. Terbesit di pikiranku, anak ini kenapa tahu aku duduk di sini? Dia secret admirer? Stalker ku yang tak pernah kutahu?
“Sebuah kebetulan yang Allah takdirkan ya,” ucapnya sambil menunjukkan tiket kereta yang tertulis nomor kursi beserta gerbongnya. Tiket yang wujudnya berbeda dengan yang kupegang. Tiket yang menunjukkan dia memesannya beberapa jam sebelum kereta ini datang. On the spot. Takdir ilahi.
“Ikutan reuni hari ini?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Emang ada reuni?” jawabku yang baru sadar dari lamunan dan membetulkan posisi duduk.
“Ada. Kamu ga ikutan ikatan alumni kampus?”
“Nggak.”
“Pantes. Hari ini ada reuni kampus. Kabarnya sih akbar gitu. Mau bareng ke sana?”
“Kamu beli tiket dadakan hanya untuk reuni kampus? Sungguh anak kampus beneran. Nggak berubah, ya?” tanyaku menoleh dengan menghadapkan tubuh sedikit serong ke arahnya.
“Hahaha. Enggak. Dadakan beli tiket karena dipanggil bos besar. Harus segera sampai sebelum adzan dhuhur berkumandang.”
“Kamu kerja di Malang, sekarang?”
“Nggak. Aku kerja di kota ini. Bos besar di kota Malang.”
“Oh…”
“Mau ikutan reuni nggak? Ayo, datang bareng. Udah lama kita nggak dateng acara bareng.”
“Nggak. Aku mau jumpa bapak ibu.”
“Udah, ikut aja. Ntar aku anterin sampe rumah.” Deg! Anak ini! Tetap dengan sifatnya. Tidak berubah. Sekali jumpa denganku, aku harus turut serta dengannya. Dia pun akan rela membayarnya dengan mengantarkanku sampai depan pintu rumah dalam keadaan perut kenyang dan bertemu bapak ibu sekadar menceritakan kegiatanku bersamanya di hari itu. Takut akan dicap sebagai teman putrinya yang nggak baik.
Iya. Teman. Kami hanya teman. Teman yang seringkali memunculkan gosip bahwa kami memiliki hubungan lebih. Gosip itu pun sempat membuatku mempertanyakan kejelasan hubungan kami.
“Yo,” tanyaku saat kami memutuskan belajar bersama di teras perpustakaan.
“Hm,” jawabnya pendek sambil menulis tugas kuliah.
“Kita jadian aja, yuk!” ajakku to the point yang membuat Rio menghentikan gerakan pulpennya. 
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. “Nggak, ah!” jawabnya tanpa menatapku.
“Kenapa?” desakku dengan menatapkan mataku ke arah matanya walau aku harus menempelkan pipiku di atas meja dan kakiku sedikit berjinjit. Demi melihat ekspresi wajahnya yang masih menunduk mengerjakan tugas kuliah.
Akhirnya dia meletakkan pulpennya dan menatapku dalam-dalam, “Aku suka kamu. Kamu itu istri-able, bukan pacar-able. Aku lebih seneng ngejaga kamu dengan hubungan seperti ini. Tidak perlu terbebani dengan perasaan kita masing-masing. Karena perasaan yang kita miliki itu sudah fitrah. Kalau pun suatu saat nanti akhirnya kita terpisah jarak dan waktu, kamu nggak perlu mencemaskan aku, aku pun tidak akan mencemaskanmu. Aku punya impian, kamu pun punya impian. Kita raih impian kita masing dulu. Jika sudah waktunya, nanti pasti akan bersama. Percaya!” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman menyakinkanku.
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa diam. Terpaku. Berpikir keras. Dia suka aku? Sejak kapan? Jadi, selama ini dia menghabiskan banyak waktu denganku, karena dia ingin menjagaku? Kok bisa sih? Momen yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Dan hari ini ingatan akan momen itu tetiba muncul kembali setelah sekian tahun. Sikapnya. Cara bicaranya denganku. Sama. Tidak berubah.
“Kamu suka baca buku?” sekali lagi dia membuyarkan lamunanku.
“Oh, ini? Nemenin aja. Biar ga bosen di kereta. Ga ada yang diajak ngobrol.”
“Oh… buku bagus itu. Sembilan puluh sembilan cahaya di langit Eropa. Seorang Napoleon Bonaparte yang diduga tertarik dengan islam, sengaja membangun Eropa dengan titik awal di Arc de Triomphe menuju Ka’bah. Jika dugaan itu benar, sungguh Islam benar-benar telah memberikan cahaya di seluruh muka bumi ini. Panglima selevel Napoleon tunduk dengan cahayaNya,” penjelasannya membuktikan bahwa ia masih sama dengan Rio yang dulu. Lelaki cerdas. Suka membaca sekaligus menganalisa. Aku selalu kagum dengan cara dia berpikir.
“Dan negeri Eropa telah sedemikian pesat berkembang dengan mengamalkan nilai-nilainya, sayang mereka belum mengimani agama ini,” tambahku.
“Sepakat!” ucapnya menoleh ke arahku seraya menyodorkan gawainya, “Simpan kontakmu di hape ini ya.”
Pertemuan tak terduga yang menjadi awal hubungan kami terajut kembali. Setahun lagi, satu impianku sempurna aku jalani. Bekal pengalaman di lapangan menambah portofolio dan rasa percaya diriku untuk memulai karir di dunia pendidikan formal. Rio pun begitu, satu impiannya akan sempurna ia jalani, satu tahap lagi menjadi Site Engineer Manager termuda di perusahaan yang sudah ia incar setahun sebelum kelulusan.
***
Calon imam mulai nampak hilal. Namun, jawaban atas pertanyaan, akankah aku menjalani hubungan jarak jauh setelah menikah, bagaikan memasuki taman labirin. Bingung, pusing, serasa masih jauh menemukan muaranya.
Menikah tidak sebercanda itu. Menikah artinya siap untuk membangun sebuah peradaban baru penerus generasi penjaga bumi. Memang, semua-muanya sekarang serba berteknologi, bahkan yang jauh menjadi dekat. Tapi, apakah sebuah pernikahan jarak jauh hanya satu-satunya pilihan, padahal kita masih bisa memilih pilihan lain yang lebih Allah ridhoi? Takut rezeki akan seret karena harus resign dari kerja dan memilih untuk mengusahakan selalu bersama? Bukankah menikah sendiri adalah sebuah rezeki? Rezeki yang harus dijaga. Bukankah Allah menakdirkan seorang manusia yang menjadi pasangan kita untuk menjadi penenang jiwa, pembuka pintu rezeki untuk kita? Tentu, secanggih apapun teknologi, bonding yang paling powerfull adalah ketika bertatap muka langsung, bukan dengan video call. Secanggih apapun teknologi, keberkahan rumah tangga akan lebih banyak turun ketika sepasang suami istri lebih sering bercengkrama di bawah satu atap rumah, bukan dalam satu forum chatting teknologi. Secanggih apapun teknologi, manusia akan lebih merasa tidak sendirian, ketika pasangannya berada dalam jangkauan penglihatannya, walau tidak sedang beraktivitas yang sama. Ah… ketika keduanya menjadi pekerja proyek yang harus berpindah-pindah domisili memang memiliki konsekuensi ini. Menikah dengan LDM atau salah satu bersedia untuk ikut ke manapun pasangannya ditugaskan. Dan itu yang menjadi dilemaku ketika Rio datang kepada orangtuaku memintaku menjadi istrinya, sebulan setelah pertemuan kami di kereta kemarin. Berdiskusi dengan orangtuaku pun serasa ah…sudahlah!
“Kamu bakal resign?” tanya mama terkejut ketika aku menyampaikan rencana resignku.
“Iya, Ma.”
“Kenapa? Kenapa kamu harus resign?” Mama terlihat mulai menunjukkan emosi ketidaksetujuannya terhadap rencanaku.
“Aku nggak mau LDR-an Ma setelah nikah,” terangku.
“Kamu yang nggak mau atau Rio yang nggak ngijinin kamu berkarir?” Mama memulai pertanyaan-pertanyaan menyelidik.
“Rio ngijinin aku berkarir. Akunya nggak mau LDR-an abis nikah, Ma,” aku masih santai menjawab segala pertanyaan Mama.
“Rayya. Menjadi istri itu nggak harus selalu di rumah aja! Kamu bisa berkarya di luar rumah,”
“Ma… ini pilihan Rayya. Rio juga nggak maksa Rayya buat ikut dia ke mana pun penempatannya. Kenapa mama emosi, sih?”
“Karena wanita tanpa kemandirian finansial hanya akan membuat dia tidak berdaya, Rayya!!”
“Tapi kemandirian finansial juga akan membuat wanita tersebut abai terhadap suaminya, Ma!!”
“Rayya!” Plak! Tamparan mendarat di pipiku.
Pertama dalam seumur hidup, mama menamparku. Aku tercengang, wajahku memerah panas, air mataku menggenang. Aku tinggalkan mama di ruang makan, dan BRAK! Aku tutup pintu kamar sekeras yang kubisa. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi gagal. Sekeras apapun aku menahannya, ia tetap jatuh.
Tamparan? Hanya berdiskusi tentang hal itu, mama sampai menamparku? Salahnya di mana? Ketika nggak setuju, haruskah dengan menampar? Toh, apa yang aku utarakan adalah sebuah fakta. Kesibukan mama di luar rumah membuat mama abai terhadap ayah.
Tubuhku terasa tegang dari ujung rambut hingga ujung kepala. Jantungku berdegub kencang, nafasku cepat, membuat aku berjalan mondar mandir entah sudah berapa putaran. Aku paksakan duduk di tepi ranjang, kupaksa bernafas lebih sadar, tapi air mata tetap mengalir dan pikiran secepat kilat me-recall memori-memori masa lalu. Tanganku masih mengepal, emosi tak tertahankan membuatku memukul-mukul bantal dan teriak sekencang mungkin. Aku tidak peduli apa kata tetangga.
Tok! Tok! Tok!
“Rayya… Ayah boleh masuk?”
Aku tidak menyahut panggilan ayah. Tak lama, Ayah sudah duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Kami menghadap ke arah luar jendela, ke titik yang sama.
“Nak, maafkan mamamu ya! Dia sama sekali nggak bermaksud menampar kamu. Itu refleks dari emosinya yang memuncak.” Aku masih sesenggukan, kepalan tanganku mulai merenggang.
“Kamu lihat pohon itu, Nak? Mungkin usianya seusiamu lebih mudah beberapa tahun. Kamu inget nggak, kalau kita yang menanamnya bersama-sama saat kamu umur tiga tahun? Kamu merengek terus untuk ikut ayah merapikan halaman itu. Rengekanmu sungguh membuat gempar tetangga jika ayah tidak menuruti. Akhirnya, ayah mengizinkan kamu ikut menanam beberapa pohon. Salah satunya pohon ini. Dulu, dia hanya setinggi ini ketika di tanam,” ayah memanjangkan lengan kirinya, “sekarang, tingginya sudah melebihi atap rumah kita. Banyak hal yang ia lewati. Panas matahari yang membakar. Hujan badai yang membuatnya basah kuyup. Petir menggelegar yang selalu tertarik dengannya. Lihatlah, ia semakin berdiri kokoh. Dari ranting yang setebal lengan ini, menjadi pohon yang kita peluk pun tak sanggup mempertemukan jari jemari tangan kiri dan kanan kita. Dari daun yang tidak bisa melindungi kita dari terik matahari, menjadi rimbunan daun yang jika kita duduk di bawahnya kita bisa berteduh sepanjang hari. Nggak ada hidup yang santai kayak di pantai terus menerus, Nak. Mungkin ini salah satu badai kecil yang harus kamu hadapi.”
“Trus aku harus gimana, Yah?” tangisku mulai mereda dan kepalan tanganku mulai membuka.
“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Terima semua emosi yang menghampirimu. Salurkan semuanya. Nggak ada yang salah dengan emosi itu,” ucap ayah sembari mengelus kepalaku, “Kami, orangtuamu, hanya manusia biasa, Nak. Seringkali kami khilaf terhadap kamu. Marah. Ngomel. Atau sampai memukul kamu. Kami pun sama denganmu, berusaha memahami kamu, tapi terkadang tidak paham jalan pikiran kamu. Ada banyak hal yang berbeda antara kami dan kamu. Suatu saat, ketika kamu sudah menjadi kami, kamu akan mengerti,” ayah merangkulku.
“Tapi sakit, Yah! Mama nggak harus ngomong gitu kan di depan Ayah tadi,” kuletakkan kepalaku di pundak ayah. Sandaran paling nyaman dan paling menenangkan.
“Pssst!”
“Kenapa ayah selalu diam? Kenapa ayah nggak ngomong?” aku menegakkan kepala dan memutar tubuhku sedikit menghadap ke arah ayah.
“Pernah, Nak! Ayah pernah,” ayah tetap menghadap ke arah keluar jendela dengan wajahnya yang tetap meneduhkan. “Tapi, setelah itu, Ayah sadar. Mama kamu hanya seorang manusia biasa, yang asal penciptaannya dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang akan selalu bengkok. Tulang rusuk yang jika dipaksa untuk lurus, ia akan patah. Ketika patah, ia tak lagi bisa berfungsi menjaga hati si empunya tubuh. Dan Ayah tidak ingin mamamu patah. Ayah memilih untuk mengalah agar kapal ini tetap berlayar. Jika tidak ada salah satu dari kami yang mengalah, sudah sejak lama kapal ini karam, Nak.”
Dari wajah ayah, aku melihat bahwa pohon yang telah menjadi kokoh dan rimbun itu adalah ayah. Ayah yang menjadi ayah rumah tangga untukku, anak semata wayangnya. Ayah yang menjadi kepala sekolah untuk guruku, mama. Guratan pada wajahnya mengisyaratkan bahwa telah banyak kejadian besar dalam rumah tangganya yang telah ia taklukkan dengan usaha maksimalnya. Telah banyak hal yang tentu ia korbankan agar kapalnya tetap berlayar mengarungi samudra kehidupan yang penuh kejutan.
“Mamamu hanya khawatir dengan kamu, Nak. Ia sadar sekali, walau wajahmu sangat mirip dengan Ayah, namun karakter dan sifatnyalah yang ada pada diri kamu. Mamamu tahu kalau kamu nggak akan betah terus menerus di dalam rumah dengan aktivitas rumah yang monoton. Mamamu tahu kalau kamu suka pekerjaan yang menantang, dan mengurus pekerjaan domestik itu kurang menantang.”
“Trus, yang tentang kemandirian finansial? Selama ini aku melihat mama bertindak seenaknya terhadap ayah. Mentang-mentang menghasilkan duit sendiri, aku nggak mau merasa lebih tinggi dari suamiku nanti, Yah.”
Ayah tersenyum, “Setiap awal pernikahan, tidak semua pasangan baru memiliki finansial yang cukup, Nak. Dulu, Ayah belum seperti sekarang. Ayah belum bekerja dengan penghasilan yang tetap dan cukup setiap bulannya. Sedangkan Mamamu, sudah. Ayah belum bisa memberikan sepenuhnya kebutuhan lahir Mama kamu. Kebutuhan dapur pun kadang sebulan cukup, kadang enggak. Sisanya ditutupi oleh penghasilan Mama kamu. Mama kamu khawatir kalau Rio yang sekarang seperti Ayah yang dulu. Mamamu hanya ingin memastikan kamu tidak perlu mengalami apa yang ia alami dulu di awal pernikahan.”
“Rio kan sudah kerja empat tahun, Yah!”
“Itu belum menjamin pengaturan keuangannya baik, Rayya. Kamu sudah pernah membicarakannya?”
Aku terdiam, karena memang aku belum pernah menyentuh topik itu sama sekali. Aku masih merasa itu hal tabu untuk diobrolin di awal.
“Bicarakanlah, Nak! Agar itu bisa membuat kamu lebih tenang menjalani rumah tanggamu nanti. Mama dan Ayah memiliki sebuah kesepakatan yang kami buat agar Ayah nyaman, Mama nyaman, dan kapal ini tetap ajeg walau badai menghadang. Salah satunya tentang pengaturan keuangan. Di dalam agama kita, berlaku hukum keterpisahan harta antara suami dan istri. Itu yang kami sepakati di awal. Mungkin mama terkesan abai terhadap Ayah, tapi sebenarnya tidak. Kami memiliki waktu bersama untuk membicarakan segalanya dan menyepakati solusinya. Kami menjalankannya dan tidak mempedulikan apa kata orang. Karena kamu adalah buah hati ayah mama, ketika tadi kamu mengeluarkan statement itu, perlu menurut ayah meluruskannya.”
Kalimat-kalimat ayah membuatku makin terdiam. Ada banyak hal yang tidak kutahu tentang pernikahan. Yang kutahu ayah dan mama selalu bertemu setiap hari, setidaknya saat sarapan dan makan malam. Saat itulah kami membicarakan segala hal tanpa distraksi gawai. Setelahnya, mereka tak banyak bicara dan sibuk dengan urusannya masing-masing, walau berada dalam satu tempat. Ternyata itulah cara mereka mendukung satu sama lain, memberikan ruang berkarya untuk menumbuhkan potensi yang ada.
Satu atap. Ruang berkarya. Bertumbuh. Keberkahan. Banyak kata kunci yang berseliweran dalam benakku, memberikan andil pada keputusan besar yang akan kubuat. Menikah, pasti. Rio adalah lelaki yang entah sejak kapan ia berhasil mencuri perhatianku dan membuatku yakin bahwa kami bisa bertumbuh bersama. Berfokus pada rumah, ini yang masih kupertimbangkan. Keinginan paling besar dalam hidup setelah pernikahan adalah bisa sering bertatap muka dengan suami membicarakan banyak hal tentang masa depan keluarga kami.
"Abis nikah, aku resign, ya! Aku bakal ikut kamu di mana pun penempatan kamu," kataku kepada Rio saat kami mulai membicarakan masa depan di teras perpustakaan yang sering kami singgahi dulu waktu kuliah.
"Kamu yakin bakal melepaskan karir kamu, Rayya?" kata Rio yang cukup terkejut dengan pernyataanku.
"He'em. Bulan depan kita sudah menikah. Tepat empat tahun aku menimba ilmu di dunia perproyekkan. Kurasa cukup dan satu impianku telah sempurna tercapai. Waktu yang tepat untuk mencoba hal baru," jawabku mantap.
"Apa yang membuatmu mengambil keputusan itu? Kamu pintar. Kamu punya nilai akademis yang baik. Dan kamu punya kesempatan besar untuk meniti karir di perusahaanmu sekarang. Aku ga masalah kalau kita nanti harus LDM. Toh, aku kerja setiap hari dan hampir selalu lembur. Terus gimana dengan rencana sekolahmu?"
"Aku masih ingin lanjut sekolah, tetapi mungkin itu bisa kita bicarakan lagi. Hal terbesar yang ingin aku capai dalam pernikahanku adalah aku pengen kita jumpa setiap hari nantinya. Aku pengen kita bisa pillow talk mendiskusikan banyak hal untuk masa depan keluarga kita. Tanpa alat komunikasi untuk menghubungkan jarak kita yang jauh. Dan tentunya, aku pengen mencium tanganmu setiap pagi saat kamu berangkat kerja dan mendoakanmu dalam jarak dekat. Urusan rumah serahkan saja padaku," aku menatapnya sambil tersenyum, "tentu dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanyanya menyelidik.
"Kasih aku uang jajan khusus, ya! Hahaha," jawabku sambil tertawa.
"Hmm... baik," jawab Rio dengan senyum manyun lalu membetulkan posisi duduknya, "betewe, terima kasih, ya! Sudah mau mengalah untuk selalu bersama saat menikah nanti. Jujur, aku tidak berekspektasi kalau kamu bakal memutuskan hal itu. Tentang sekolahmu nanti, insya Allah akan aku dukung."
"Itu soal prinsip, Rio," jawabku. Keputusan telah dibuat. Ada rasa deg-degan membayangkan seorang Rayya yang suka lembur, sering ngeluh kalau pulang larut, selalu pakai PDL setiap hari, akan menjadi Rayya yang sering berada di rumah, mengerjakan segala hal di rumah agar suaminya senang saat pulang rumah rapi, makan malam sudah tersedia. Uwuuu banget.
***
Hari ke-30 setelah resepsi pernikahan.
Mendapatkan keberkahan, memang harus mengalahkan ego. Surga tak didapatkan hanya dengan tawa riang. Karena tawa riang yang terlihat menyenangkan, seringkali membawa manusianya terjerembab dalam neraka.
Tiga puluh hari berada di rumah saja, ternyata memang bukan Rayya yang sebelumnya. Benar kata ayah dan mama. Pekerjaan rumah itu monoton dan kurang menantang bagiku. Tak seperti hari-hari sebelum menikah, awal pagi selalu terisi dengan semangat membara, ada perasaan bahwa aku akan menemui sesuatu yang menyenangkan di tempat kerja. Setelah pernikahan, awal pagi seperti itu hanya bertahan seminggu. Selebihnya, aku harus terus mencari hal yang membuatku bisa tetap bersemangat mengawali hari. Mulai dari nonton Youtube Devina Hermawan untuk menemukan resep simple tapi endeus, sampai cek out peralatan mbenthel untuk menemani sore yang kadang gabut. Tapi semuanya tetap tidak bertahan lama. Aku harus terus mencari sesuatu yang membuat Rayya yang dulu kembali. Rio pun merasakannya.
“Yang,” ucap Rio suatu saat makan malam di hari ke-50 pernikahan kami.
“Hm…,” jawabku pendek sambil mengunyah makanan.
“Nggak pengen balik kerja?” tanyanya agak kurang jelas karena sedang mengunyah makanan.
“Kenapa, yang?” tanyaku balik ketika suapan terakhir telah sempurna kutelan.
“Biar kamu bisa ceria seperti dulu.”
“Emang sekarang nggak ceria?” tanyaku sambil merapihkan meja makan dan menunggu Rio selesai dengan makanannya.
“Enggak,” jawabnya menggeleng. Ia telah menghabiskan seluruh makan malamnya.
“Kok bisa?” aku menyandarkan diri ke kursi makan.
“Yang… gapapa banget lho, kalau kamu mau kerja lagi. Aku dukung. Dulu kan aku pernah bilang, gapapa banget kalau kamu mau meniti karir dan kita LDRan.”
“Tapi aku tetep nggak mau LDRan, Yang.”
“Oke, kamu nggak mau LDRan. Kamu cari kerja yang bisa kerja dari rumah aja. Karena kamu yang sekarang seperti bukan kamu. Ga bisa diajak bercanda seperti dulu. Bawaannya sensi mulu. Padahal dulu kalau aku becandain, reaksi kamu ga seserius itu. Aku nggak tau ya, kamu ada pikiran apa. Ini hanya dugaanku. Kamu kangen kerja ya?”
“Aku nggak tau aku kangen kerja atau nggak, Yang. Tapi rasanya aku useless di rumah ini. Ya…meskipun pekerjaan domestik setiap hari ngantre, tapi masih ada perasaan yang nggak bisa aku jelasin dengan kata-kata.”
“Hayuk, aku bantu menemukannya.”
“Apa?”
“Yang bikin kamu bingung.”
“Yakin?”
“Emang kamu sudah tau?”
“Kemarin aku mulai menuliskan apa yang bikin aku kayak gini. Hanya, ini perlu divalidasi sama kamu.”
“Coba apa aja?”
“Sepertinya karena aku terbiasa untuk menghasilkan uang sendiri, Yang. Mendapatkan uang bulanan dari kamu, seharusnya bisa sama bahagianya ketika mendapatkan uang dari keringat sendiri. Nominal besarannya sama. Beban kerjanya lebih ringan.”
“Hey, mengurus rumah itu nggak ringan, Sayang.”
“Ringan. Hanya monoton. Itu yang membuat tantangannya tak sebesar ketika aku di proyek dulu. Selain itu, aku tidak berjumpa dengan manusia lain. Tidak ada yang bisa kuajak ngobrol.”
“Kamu nggak pernah maen ke rumah mbak Anggun, istrinya mz Pras, teman kantorku? Kan rumahnya di depan kita.”
“Pernah. Tapi feelnya berbeda.”
“Fix, kamu memang butuh kembali ke dunia sipil, Yang.”
“Gitu, ya?”
“Iya. Kamu rindu dengan duniamu, Yang.”
“Kamu ga papa?”
“Aku nggak papa. Aku ridho. Asalkan aku tetap menjadi prioritas pertama kamu,” jawabnya memberikan senyuman menyakinkan itu lagi.
Berada di tempat asing, tanpa teman dan keluarga, membuatku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Ingin sonjo, tapi mulai dari mana. Seringnya, bukan aku yang mendahului, tetapi para ibu-ibu tetangga yang memulai. Tanah luas yang di depan kontrakan menjadi penyelamatku dari kesendirian. Ibu-ibu tetangga tiba-tiba menyapa dan mengajak bergabung menonton anak mereka bertanding. Seringkali aku iyakan. Setidaknya aku telah mencoba untuk membaur dan memperkenalkan diri kepada mereka. Tapi, tetap saja ada sebuah ruang yang kosong tak bisa terisi oleh hal-hal itu. Entah apa itu.
Hingga, suatu ketika ada yang menelponku. Di hari ke-100, di pagi hari setelah Rio berangkat kerja. “Halo, Assalamu’alaikum,” aku menjawab telepon dari nomor yang asing bagiku.
“Wa’alaikumsalam, Rayya. Ini Bu Kris,” suara empuk di seberang sana membuatku teringat akan masa lalu yang menyenangkan. Ada rasa yang mulai mengisi ruang kosong itu. Tapi aku belum tahu apa.
“Eh, bu Kris. Apa kabar? Maafkan nomornya belum tersave,” jawabku basa basi.
“Nggak papa. Kamu sekarang di mana?”
“Di Banyuwangi, Bu. Ibu di Banyuwangi?”
“Iya. Ibu di Banyuwangi. Sekarang sedang di hotel Amaris. Kalau Rayya tidak sibuk, boleh kita bertemu?”
“Jam berapa ibu senggang?” aku langsung mengiyakan. Sudah lama aku tidak berjumpa dengan Bu Kris. Sudah lima tahun berlalu.
“Rayya senggang jam berapa?”
“Sekarang senggang, bu.”
“Sekarang aja, yuk! Ibu tunggu di restoran hotel, ya.”
“Baik, bu,” kataku bersemangat. Bu Kris. Wanita yang pernah menjadi atasanku saat aku magang di kantor BUMN besar. Wanita yang sudah seperti ibuku sendiri. Ibu ideologisku.
Tak banyak kata, kulaju motor menuju Hotel Amaris. Ada banyak hal yang terlintas di dalam ingatan. Pengalaman magang pertama selepas lulus kuliah. Pertama kali mengenal dunia kerja yang nyatanya mengharuskan kita memberikan toleransi terhadap hal-hal yang tidak sesuai teori di perkuliahan. Pertama kali gejolak batin muncul begitu hebat dan Bu Kris lah yang memegang tangan ini agar tidak masuk dalam pusaran kegalauan yang terlalu dalam. Semoga hari ini pun Bu Kris membawa berita baik. 
“Hai, Rayya,” teriakan Bu Kris membuatku menoleh, lalu menuju ke arahnya.
“Assalamu’alaikum, bu!” aku meraih dan mencium punggung tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Rayya makin bersinar saja wajahnya. Sini, duduk!” bu Kris menepukkan tangan ke kursi sebelah tempat ia duduk.
“Makasih bu. Ada agenda apa, bu di sini?” tanyaku basa basi di sampingnya.
“Ada yang harus ibu urus di sini. Tapi ibu nggak bisa lama-lama di kota ini.”
“Ibu sudah berapa hari di sini?”
“Sejak kemarin siang. Turun pesawat, ibu langsung menuju lokasi. Ibu mikir, siapa ya yang bisa ibu delegasikan untuk melanjutkan tugas ini. Semalaman ibu mikir. Iseng ibu buka instagram dan story kamu muncul. Jadilah, pagi ini ibu telpon kamu. Untung nomor kamu nggak ganti,” ucap Bu Kris dengan logat bugisnya yang khas, “Terus terang, kerjaan ibu di kantor pusat sedang menumpuk dan harus selesai akhir bulan ini. Dan agenda ini permintaan pak Bos.”
“Kerjaannya tentang apa?” ruang yang kosong itu terasa mendapatkan angin segar.
“Jadi, pak Bos punya lahan di sini. Beliau ingin membuat rumah lengkap dengan kebun pangannya. Apa ya istilah yang sedang in sekarang ini, per..per…”
“Permaculture, bu?”
“Nah, iya! Rayya tahu tentang permaculture?”
“Sedikit bu.”
“Bagus. Belajar yang banyak tentang itu ya! Tugas ini rencananya ibu delegasikan ke kamu. Pak Bos juga sudah tahu kinerjamu. Kukira dia akan setuju kalau project ini kamu yang handle. Kamu masih di sini dalam jangka lama kan?”
“Insya Allah begitu. Nanti saya diskusikan dengan suami ya, bu!”
“Kenapa? Suamimu melarang kamu kerja?”
“Oh, nggak, bu. Malah sebaliknya. Saya dulu yang terlalu keukeuh untuk berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus rumah saja. Ternyata, mengurus rumah lebih melelahkan dan membosankan. Tantangannya tidak sesuai dengan saya. Hehe”
“Haha. Rayya… Rayya,” Bu Kris menepuk bahuku, “seringkali Allah menguji hambaNya dengan ekspetasi yang ia buat sendiri.”
Aku bengong mendengar kalimat bu Kris. Allah sedang menguji keinginanku? Apakah aku serius menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah, ataukah aku bisa berpikir lebih realistis bahwa berkarya pun tak masalah bagi seorang istri?
“Okeh, nanti bicarakan dengan suamimu ya. Semoga apapun keputusan kalian, ridho Allah menyertai.”
“Amin.” 
Pagi yang membawa angin segar, walau Banyuwangi di atas jam 10 pagi sudah sangat membuat gerah. Sepulang dari Hotel Amaris, aku beraktivitas melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai. Kali ini, mengerjakan rumah lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku. Apakah benar adanya bahwa aku rindu dunia sipil? Ah, jika sepulang dari berjumpa Bu Kris membuatku lebih bersemangat, artinya benar. Aku memang rindu.
“Yang,”
“Hm…”
“Tadi aku jumpa dengan Bu Kris.”
“Bu Kris siapa?”
“Ohya, aku belum cerita ya. Jadi, dulu setelah lulus kuliah, aku mendaftar magang di perusahaan A. Nah, Bu Kris ini atasan aku.”
“Oh… iya. Trus?”
“Dia menawariku kerjaan.”
“Kerjaan apa?”
“Kamu tahu permaculture kan? Salah satu list impian yang aku tuliskan bulan lalu?”
“Kemandirian pangan?”
“He em. Nah, Pak Bosku dulu itu punya tanah di sini. Mau bangun permaculture itu. Luasnya memang hanya 500m2. Rumah tinggalnya juga maunya dibangun sederhana aja. Mendengar itu tadi, seakan gayung bersambut tau nggak, Yang?”
“Kamu mau mengambil kesempatan itu?”
“He em.” jawabku tersenyum mantap.
“Nah, kita dong! Cahaya mata yang selalu kurindukan sudah kembali.”
“Heh?”
“Iya, aku ijinin kamu mengurus project itu. Aku percaya, kamu bisa atur waktu antara pekerjaan, suami, dan rumah.”
“Aaaah, terima kasih, Sayang!” kupeluk Rio dan kucium pipinya. Barangkali jika ku ditanya, hal apa yang aku syukuri saat ini, aku akan menjawab, memiliki Rio sebagai teman hidup sekaligus teman bertumbuh.
17 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Langit sore kota M sungguh candu. Warna jingganya tak pernah sama setiap harinya. Seakan Allah ingin memberikan hadiah bagi setiap hambaNya yang selesai bekerja dan belajar, memberikan hadiah kepada hambaNya yang telah menyelesaikan tugasnya hari itu.
Delapan tahun telah berlalu tanpa mama. Delapan tahun pula aku, bapak, dan Adun menjadi warga kota M. Pindah domisili dengan timing yang di luar dugaan.
****
"Ndug, hari Senin kemarin, Bapak mendapatkan surat pindah tugas ke kota M," bapak membuka pembicaraan sesaat setelah pengajian tujuh hari mama selesai digelar, "Kamu kuliah di kota M, bapak per Senin depan mulai kerja di kota M, Adun sama siapa ndug?"
"Kita semua pindah ke kota M aja, Pak. Biar Adun bisa Ita urus sambil kuliah," jawabku sambil menyiapkan teh hangat buat bapak. Aku ingat bahwa ada salah satu permintaan mama pada surat itu. Temani bapak dan Adun. Aku juga sudah mulai merelakan melepas jurusan impianku dan memaksimalkan diri di jurusan dan kampus yang sekarang. Karena keyakinan bahwa ridho ibu yang akan mempermudah jalanku, tidak akan pernah luntur.
"Kamu gapapa?" Bapak menatapku tajam. Mungkin Bapak khawatir aku tidak bisa membagi tugas antara mengurus rumah dan kuliah.
"Gapapa, Pak. Biar Bapak bisa fokus kerja, aku fokus kuliah dan ga kepikiran Adun semisal kita tinggal Adun di sini sendirian," jawabku sambil memberikan surat dari kampus kepada Bapak, "Alhamdulillah, Ita dapat beasiswa, Pak. Semoga bisa memperingan pekerjaan Bapak ya. Dan kita sama-sama mendampingi Adun menjadi apa yang kita impikan selama ini bersama mama." Bapak menatapku tak percaya. Bapak mengelus kepalaku dan mengecupnya.
"Ohya, Bapak kemarin dapat info dari teman Bapak. Ada rumah yang dikontrakkan murah di sana. Barangkali cocok sebagai tempat tinggal sementara kita sebelum kita menemukan rumah yang sebenarnya. Kamu bisa bantu, Ndug?" Bapak memberikan nomor telepon pemilik kontrakan itu beserta alamatnya. Aku membaca alamatnya. Kukira tidak jauh dari kosku yang sekarang.
"Iya, Pak. Besok aku minta tolong teman-teman kampus buat nemenin cari rumah ini, ya! Semoga cocok ya," jawabku sambil memegang kertas itu dan menyimpannya dalam sakuku, "Pak, besok Ita langsung balik Subuh ya ke kampus. Ita sudah banyak sekali ijinnya, melebihi limit semester ini. Kampus hanya memberikan tiga hari untuk mahasiswa yang kehilangan keluarganya. Selebihnya adalah ijin tertulis yang sudah hampir habis jatahnya."
"Iya, Ndug. Gapapa. Semoga Sabtu ini kita sudah bisa pindahan ya. Bapak bakal urus kepindahan sekolah adekmu." Aku mengangguk tanda mengiyakan.
****
"Mbak...," suara Adun mengagetkanku, "ngelamun apa?"
"Mbak mengingat-ingat kejadian delapan tahun lalu, Dun. Saat kita semua memutuskan pindah ke kota ini. Sungguh benar apa yang orang-orang katakan ya. Kota ini punya magnet tersendiri bagi setiap manusia yang menjejakkan kakinya di sini untuk belajar," jawabku sambil memandang jingganya langit penuh rasa syukur.
"Adun ga inget!" balas Adun sewot karena tidak dimintai persetujuan kepindahan kami ke sini.
"Hahaha. Udah... Kan sebulan sekali kita pulang kampung. Dan kamu selalu ketemu sama sahabat kecil kamu kan?" colekku. Adun hanya bersungut tanda kesal, dan aku makin menggodanya.
"Hm.... ya ya ya," Adun menyudahi pem-bully-anku dan bertanya, "tadi pagi kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Oh... itu. Mbak Ita mendapatkan funding untuk studi di Jepang. Hehe."
"Whoaaah! Jepang?! Mbak Ita jadi ke Jepang? Whoah!!!!" teriak Adun.
"Insya Allah. Masih ada beberapa hal yang harus mbak persiapkan. Semisal takdir mbak Ita lanjut studi di Jepang, Adun temani bapak ya. Adun udah baligh dan mau 17 tahun, sudah biasa melihat kakak mempersiapkan segala keperluan bapak. Jadi, bisa kan, Dun?" tanyaku menatap tajam pada Adun.
"Bisa...bisa...!" jawab Adun menepuk dadanya, "tapi mbak Ita, kenapa mbak Ita harus studi di luar?"
"Karena itu salah satu impian mbak Ita. Karena kamu sudah dewasa, mbak bisa lebih fokus lagi mengejar impian, mbak."
"Iya, kenapa harus Jepang? Di Indonesia tidak ada?"
"Karena Jepang adalah negara yang penuh disiplin dan negara dengan kejujuran yang tinggi. Mbak lelah berada di lingkungan yang sering memanipulasi data tanpa alasan yang jelas. Mbak rindu bekerja dengan data yang jujur dan lingkungan yang supportif."
-Selesai-
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Untukmu yang Ingin Berdakwah Dengan Tulisan
@edgarhamas
Pembiasan terlebih dahulu. Melihat peristiwa, tulis. Melihat benda, tulis. Melihat fenomena, tulis. Komentar atau ungkapan kita dalam memahami itu semua akan melatih ketajaman kita dalam menggali hikmah.
Banyak baca buku. Tulisan-tulisan itu hadir karena banyak hal, diantaranya; refleksi kita atas sesuatu, atau ide yang lahir dari apa yang kita baca. Banyak membaca memudahkan kita mencari gaya kita menulis.
Sering-sering melihat KBBI. Walaupun hanya sekilas lihat dalam sehari. Pikiran kita ini sebenarnya luas dan dalam, namun minimalnya kosakata membuat kita terjebak ketika harus menyampaikannya. Membaca KBBI memudahkan kita.
Pilih apa yang membuatmu istimewa. Passion kamu akan membantu kamu menjadi penulis yang dicari. Spesialkan dirimu di satu tema utama; sejarah, ekonomi, pengembangan diri dsb. Bahasa kerennya, jadikan dirimu referensi orang-orang.
Paling utama sebenarnya, adalah niat. Penghargaan terbesar bagi penulis adalah, ketika tulisannya menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jika niatmu tulus, Allah pasti akan mudahkan jalanmu.
1K notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Apa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita. Begitu pun sebaliknya, apa yang tidak kita sukai juga belum tentu buruk buat kita. Semua berdasarkan pandangan Sang Khaliq, pemilik skenario kehidupan kita yang tahu apa yang terbaik untuk kita. Karena Dia melihat bagaimana proses kita bertumbuh, bukan apa hasil yang kita dapatkan. Dia Maha Mengetahui sifat manusia yang akan oleng ketika berada di atas tanpa usaha keras. Dia juga Maha Mengetahui bahwa surga yang didapatkan tanpa effort hanya akan menumbuhkan ujub di dalam hati.
Mendung menggelayuti langit pagi. Angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Matahari enggan menampakkan wajahnya, padahal ini sudah menunjukkan pukul enam pagi. Aku yang sedang sarapan di warteg Bu Joko mendengar bunyi gawai berdering. Dering gawai yang baru kuubah membuatku tak sadar bahwa itu adalah telepon di gawaiku. Sampai seorang pengunjung lain berkata, "Mbak, hapenya bunyi." Aku yang sedikit melamun, sontak kaget dengan tepukan bahu yang diberikan pengunjung itu. Langsung aku memeriksa gawaiku yang kutaruh di saku tas bagian dalam. Aku buka resleting tasku, lalu kuraih gawai menggunakan tangan kiri. Aku keluarkan gawai itu dan kulihat ada 20 panggilan masuk dan semuanya dari bapak. Ada hal penting apakah hingga sebanyak ini? Ketika ku akan menelepon balik, bapakku telah menelepon kembali.
"Assalamu'alaikum, pak!" jawabku setelah ku pencet tombol hijau pada gawai Nokiaku.
"Wa'alaikumsalam. Ndug. Kamu bisa pulang sekarang nggak?" tanya bapak dengan nada tak seperti biasa.
"Ada apa, pak?" tanyaku curiga.
"Kamu pulang sekarang ya. Nanti bapak jemput di terminal. Bisa ya?" desak bapak. Mendengar suara bapak yang tak biasa, pasti ada sesuatu yang urgent yang ingin disampaikan langsung. Suapan terakhirku ku selesaikan, kuteguk setengah gelas teh hangat yang tersisa. Aku langsung berjalan kembali ke kos yang hanya berjarak 20 meter, untuk menukar isi tasku. Lalu, aku teringat Aji, ketua kelasku.
"Ji. Aji. Halo!"
"Assalamu'alaikum, Bro!" jawab Aji di seberang sana. Terdengar sangat ramai sekali.
"Wa'alaikumsalam. Aku nggak masuk hari ini, Ji. Minta tolong buatin surat ijin, dong!" jawabku sedikit lagi sampai depan gerbang kosku.
"Kenapa, bos?"
"Nggak tau, Ji. Bapakku nyuruh pulang sepagi ini. Ini aku otewe berangkat ke terminal." Aku membuka pintu depan rumah kosku.
"Ada yang anterin ke terminal?"
"Naik angkot, Ji. Hahaha." Aku sudah berada di dalam kamar kosku yang selisih satu kamar dengan pintu depan rumah kos.
"Tunggu di depan kosmu. Ini aku otewe kampus. Tak anterin dulu kamu ke terminal. Kampus terminal butuh sejam kalau naik angkot. Biar cepet kamu dapat bis. Jam tujuh kurang seperempat ada jadwal bis ke arah kotamu."
"Wah...thankyou, Ji." Aku menutup telepon, lalu mengeluarkan buku-buku di dalam tasku dan menggantinya dengan beberapa helai pakaian yang akan aku tukar dengan pakaian yang di rumah. Pakaian yang telah kupersiapkan jauh hari sebelum jadwal pulang kampungku datang, yang ternyata datang lebih cepat dua minggu. Tidak lupa aku memasukkan amplop berisi simpanan uang khusus pulang kampung.
Hapeku bergetar. Ada pesan masuk. Dari Aji, Bro, aku udah di depan kosmu. Salah satu hal yang aku syukuri masuk di kampus ini, solidaritas antar teman yang sangat tinggi. Walau kami baru kenal setahun sejak OSPEK berlangsung, tetapi jiwa saling tolong menolong mereka nggak main-main.
Waktu menunjukkan pukul 06.15, artinya ada 30 menit lagi waktu yang tersisa untuk mengejar keberangkatan pertama bis menuju ke kotaku. Dengan kecepatan tinggi, Aji mengendarai sepedanya membelah keramaian kota M di jam sibuknya, jam anak sekolah berangkat. Sepeda Aji meliuk-liuk dengan lihai. Tanganku berpegangan pada besi di bagian belakang jok motor. Tasku aku bawa menghadap depan, membatasi tubuhku dengan punggung Aji. Aku mengikuti irama meliuknya motor Aji dan hanya bisa berdoa agar selamat sampai tujuan.
Sampai di pertigaan lampu merah, aku melihat bis dengan jurusan kotaku dari kejauhan. Aji juga melihatnya. Sat set sat set, Aji yang berada di sisi tengah depan, langsung melajukan motornya lurus, tidak jadi belok kanan menuju terminal. Aji menurunkan aku di depan sebuah toko dengan halaman yang cukup lebar. Di sana adalah tempat paling tepat untuk bisa naik di bis yang kami lihat tadi.
"Thankyou, Ji. Jangan lupa bikinin aku surat ya! Aku sudah kapok kompen di waktu liburan. Hahaha." Pesan terakhirku pada Aji sebelum naik bis.
"Beres. Hati-hati ya, Bro! Salam buat keluarga. Kabari kalau ada apa-apa," Aji melambaikan tangan padaku yang telah duduk di bagian belakang dan dekat jendela.
****
Dua ratus meter mendekati rumah. Aku melihat banyak kerumunan di depan rumahku. Hampir seluruh perempuan yang di sana memakai penutup kepala, walau tidak bisa dianggap sebagai kerudung syar'i. Sedangkan para laki-laki memakai kopyah dan sebagiannya memakai seragam yang sama dengan yang dipakai mama di hari itu. Ada apakah gerangan? Bapak yang sedari tadi bersamaku juga tidak banyak bicara seperti biasanya.
Aku mendekatkan mulutku pada telinga bapak, agar bapak yang memakai helm mendengarku, "Pak, kenapa banyak kerumunan orang di sana?" tanyaku sambil menunjuk arah keramaian itu. Bapak diam seribu bahasa.
Kami berhenti di depan rumah tetangga kami, Pak Pardi, karena di depan rumah sudah tidak ada ruang lagi untuk sekadar memarkir motor. Aku turun dari motor dan bapak memarkir motor di halaman rumah Pak Pardi. Tak lama, bapak menepuk pundakku dan berkata lirih, "Ndug, ikhlaskan mama, ya. Sekarang berikan penghormatan terakhir kamu untuk mama. Setelah itu, kita melaksanakan kewajiban kita sebagai keluarga inti mama untuk memakamkannya. Segalanya telah siap. Semua hanya menunggu kamu."
IDeg! Mendengar kata per kata yang bapak ucapkan membuatku tak mampu membalas sepatah kata pun. Mengangguk pun aku tak sanggup. Bapak membantuku melepaskan tas ransel yang kubawa dan bapak titipkan di rumah Pak Pardi. Bapak memegang tanganku dan menuntunku ke rumah. Menembus kerumunan manusia pelayat. Dari pagar aku melihat seseorang telah terbaring di atas dipan. Berbaju putih hingga menutupi mata kaki dan berkerudung putih. Yang tertinggal hanya wajah cantiknya yang tersenyum, seperti bahagia kedatangan malaikat maut. Tanganku dilepaskan bapak ketika selesai melihat mamaku. Gantian bulikku sekarang, menuntunku untuk mengambil wudhu agar aku segera menyolatkan mama.
Dalam sholat mayyit, aku hanya merapalkan doa. Hatiku terasa beku dan kaku. Melihat keramaian, aku ingin segera bersembunyi. Tetapi itu hal yang mustahil. Mama akan segera dimakamkan. Aku melihat sekeliling, di mana Adun? Kenapa aku tak melihatnya? Bapak dan bulik pun tidak bercerita apapun. Selang berapa menit, aku mendengar sebuah jeritan dari kamar. Jeritan Adun. Aku langsung berlari menuju suara itu berasal. Kamarku. Aku segera membuka kamarku. Benar, Adun di sana, dijaga oleh Bu Pardi. Melihatku membuka pintu, Adun langsung menghambur ke arahku. Menangis sejadi-jadinya sambil menunjuk ke arah mama. Aku dekap Adun, meredakan tangisnya yang pecah. Aku bisikan sesuatu, "Dek, mama udah selesai tugas menemani kita. Saatny mama pulang. Adun di sini sama Mbak Ita ya." Lima menit ia masih menangis. Lama kelamaan suaranya melirih. Lelah. Lalu tertidur. Aku gendong dia.
Adun. Adek laki-lakiku yang mempunyai selisih umur 10 tahun denganku. Usianya baru delapan tahun. Ia paling dekat dengan mama. Meninggalnya mama sungguh mengguncang dirinya, pun mengguncangku.
"Ndug...," bapak membuka kamarku yang memilih menemani Adun tidur di dalam kamar.
"Iya, Pak?" jawabku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
"Ndug. Maafkan bapak ya," Bapak duduk di sampingku sambil mengelus-elus kaki Adun, "maafkan tidak bisa terus terang tentang sakitnya mama. Mama terus menghalangi bapak untuk memberitahumu. Katanya supaya kamu tenang di perantauan sana dan menjalani perkuliahan dengan baik...
"Ini titipan terakhir mama buat kamu. Baca di saat kamu siap ya, ndug!" Bapak menyerahkan sepucuk surat bersampul biru kepadaku, mengusap rambutku, lalu beranjak keluar kamar. Memberikan ruang untukku. Aku melihat surat itu lama sekali. Ada tulisan indah mama di sampul itu. Aku hela nafas panjang, mencoba menyiapkan diri membacanya.
Assalamu'alaikum, mbak Ita, putri sulung kebanggaan mama.^_^
Maafkan, mama ya. Di saat surat ini dibaca mbak Ita, mama sudah lulus dari dunia ini. Mama ridho kepada mbak Ita. Semoga mbak Ita ridho terhadap mama ya.
Lewat surat ini, mama mau minta maaf, ya Sayang. Maafkan mama yang belum bisa membela kamu di hadapan bapak untuk pilihan jurusan yang kamu inginkan. Mama merasakan apa yang kamu rasakan saat itu, walau mbak Ita nggak pernah terus terang sama mama. Mbak masuk kampus P dengan perasaan sedikit terpaksa, dan merelakan jurusan impian mbak. Doa mama, semoga mbak Ita betah dan tetap semangat sampai akhir ya! Mama yakin mbak Ita mampu melewatinya dan akan mempunyai impian yang lebih besar lagi nantinya. Hwaiting!
Dadaku sesak. Aku tak sanggup melanjutkannya. Aku lipat surat itu, aku masukkan kembali ke dalam amplop, dan aku menaruhnya di atas meja belajarku. Lalu, banjirlah air mata yang tertahan sejak siang tadi. Aku ambil bantal dan kuteriak sekencang mungkin di bawah bantal. Antara perasaan menyesal atas keputusan masa lalu atau menyesal tak pernah bercerita seleluasa itu pada mama.
Bersambung...
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Aku memasuki kelas berukuran 10x10 meter dengan tiga jendela kaca yang memenuhi sisi dinding bagian selatan. Hanya ada sebuah pintu masuk dengan lebar satu meter. Ruang kelas dengan dua papan tulis putih atau mereka menyebutnya whiteboard, papan tulis yang masih jarang aku temui di kampung halamanku. Ada 12 meja besar terbagi dalam tiga banjar dan empat baris. Meja dengan alas putih yang tentu lebih lebar, bahkan sangat lebar, daripada meja kayuku saat SMA dahulu. Meja dengan besi di bagian bawahnya dan kakinya terbuat dari pipa besi dua letter C yang saling membelakangi. Kalau diangkat sendirian, kukira mampu mengubah posisi tulang belakangku karena memang terlihat sudah sangat berat walau belum diangkat. Kursinya adalah kursi lipat dengan alas duduk dan sandaran berwarna hitam. Aku memilih duduk di pojok kiri depan, dekat jendela.
Suara riuh terdengar sepanjang waktu di kelas ini. Maklum, dari berduapuluh, hanya lima di antaranya perempuan. Lima belas orang laki-laki yang berlatar belakang smk teknik bangunan, ternyata mempunyai kebiasaan tak pernah diam, selalu ada saja bahasannya. Ya, lelaki dan perempuan ternyata sama saja, membutuhkan ruang untuk bercerita, sekalipun dia seorang introver.
"Pagi, kawan-kawan!" Suara riuh sekejap terlempar ke luar kelas. Hening, tak bersuara, ketika seorang dosen laki-laki memasuki ruang kelas kami. Seorang laki-laki dengan tinggi badan tidak lebih dari 160cm, berwajah kotak, di dahinya ada dua titik hitam, dan logatnya sepertinya bukan orang Jawa.
"Pagi, Paaak!" jawab kami semua setelah lima detik hening.
"Oke. Saya adalah kaprodi jurusan kalian," dosen tersebut langsung pada intinya, perkenalan, "nama saya Reynald Putra. Kalian bisa panggil saya Pak RP. Er Pe bukan rupiah ya! Tapi Reynald Putra." Sontak suara riuh itu kembali ke dalam kelas kami. Bapak Reynald Putra. Wajah yang juga terasa tidak asing. Tapi siapa?
"Selamat datang di Jurusan Manajemen Rekayasa konstruksi Teknik Sipil Kampus P. Semoga kalian betah sampai akhir. Kalian angkatan ke-3 dari program reguler Diploma IV ini," lanjutnya.
Teknik Sipil. Iya. Akhirnya aku ditakdirkan untuk memasuki dunia ketekniksipilan, bukan dunia kearsitekturan seperti yang pernah aku perjuangkan sebelumnya. Sebuah plotwist dalam hidupku.
****
Beberapa bulan lalu...
Siang yang terik, selepas pendaftaran SPMB, aku dan bapak sedang menunggu angkot di depan gerbang Kampus I. Bapak yang telah sempat tertidur saat menungguku seharian untuk daftar SPMB, membuka pembicaraan dengan menunjukkan sebuah brosur pendaftaran Diploma IV kampus P. Kampus yang tidak jauh dari kampus I berada.
"Ndug, kita mampir ke sini dulu ya! Lihat-lihat," ajak bapak memperlihatkan selembar brosur ukuran A4 dengan tiga lipatan. Pada brosur itu terpampang nyata tulisan PENDAFTARAN DIPLOMA IV KAMPUS P. Aku melihat tanggal pendaftarannya, hari ini adalah hari pertama. Sungguh, kampus ini benar-benar memanfaatkan momentum dengan baik. Memberikan opsi kedua bagi lulusan SMA SMK seperti kami agar tetap melanjutkan studi ketika pada akhirnya nanti kami tertolak di ujian SPMB. Dan bapak tidak melewatkan kesempatan sedikit pun untuk bisa menyekolahkan anaknya di kota M ini.
Aku menoleh dengan wajah datar dan tatapan tanda tidak setuju. Tapi sayang, aku tidak bisa beralasan dengan dalih permintaan bapak. Aku menghela nafas panjang dan tetap diam. Dan bapak tidak mempedulikan sinyal ketidakinginanku. Seperti sifat umum laki-laki, tidak peka.
Ketika bapak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kampus P, bapak sengaja tidak menyebrang jalan untuk mencari angkot dengan arah berlawanan. Bapak diam di sisi tempat kami turun pertama kali sebelum memasuki kampus I tadi. Aku hanya mengikuti beliau. Dan angkot warna biru muncul dari kejauhan. Bapak memberikan tanda berhenti dengan melambaikan tangan kirinya. Angkot biru itu ternyata juga mengangkut calon peserta SPMB lain yang baru datang di siang itu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Banyak juga ya peminat SPMB tahun ini. Mereka berpenampilan sama sepertiku. Penampilan khas anak yang baru lulus SMA dan bukan warga asli kota M.
Angkot berjalan dengan kecepatan rendah, karena sepanjang perjalanan menuju kampus P, ternyata banyak calon penumpang yang menunggu angkot dengan kode yang kunaiki sekarang. Sampai-sampai, yang awalnya aku dan bapak bebas untuk duduk, menjadi harus lebih mengalah berada di dekat pintu angkot, karena memang tujuan kami semakin dekat. "Kiri!" teriak bapak kepada supir angkot. Angkot bergerak menepi. Setelah berhenti benar, kami turun.
Sebuah gerbang besar berada di depan kami sekarang. Ada sebuah baliho besar. Baliho dengan judul yang sama dengan brosur. Baliho tersebut dipampang di sisi kiri sebuah gerbang. Gerbang dengan tulisan SELAMAT DATANG DI KAMPUS B. Kampus B? Bukannya aku mau ke kampus P? Otakku langsung bertanya-tanya dan hatiku sudah dalam kondisi senggol bacok di bawah terik matahari siang dan kondisi cacing di perut sudah berteriak-teriak.
Aku mengikuti langkah bapak. Menyebrang di zebra cross menuju ke gerbang itu. Langsung mengambil sisi kanan jalan. Tidak ada pedestrian, kami jalan menepi berusaha agar tetap aman berjalan melawan arus kendaraan bermotor yang datang dari dalam kampus. Sisi kananku ada pagar besi setinggi satu meter. Pagar besi itu terpasang mulai dari pintu gerbang tadi. Berbeda dengan sisi kiri jalan, ia tidak memiliki pagar besi yang sama. Kami berjalan kurang lebih 500 sampai 600 meter kira-kira dari gerbang tadi. Sebuah pencapaian luar biasa untukku yang jarang sekali jalan kaki sejauh itu di siang bolong dengan kondisi lapar. Dan bapak sepertinya selalu punya energi untuk itu walau ia terlihat lelah sekali.
Pagar besi itu pun akhirnya berakhir di sebuah lapangan parkir yang cukup untuk lima mobil dan puluhan motor. Dari lapangan parkir itu aku melihat tulisan KANTOR PUSAT KAMPUS P di atas sebuah gedung berlantai dua. Oh, ternyata kampus P berada di dalam kampus B. Bapak terus berjalan menuju gedung itu. Aku, si anak penurut (atau anak penakut?) mengikuti bapak di belakang. Kami melewati pintu kaca yang memang sengaja dibuka. Tidak jauh dari pintu tersebut terdapat dua meja. Meja pendaftaran dan meja formulir. Di depan meja-meja itu ada puluhan kursi yang telah ditata.
Ada sebuah banner yang berdiri di setiap meja dengan isi yang berbeda. Satu banner berisikan visi dan misi kampus P. Satu banner lainnya berisikan pilihan program studi yang ditawarkan pada level Diploma IV. Paling atas Manajemen Rekayasa Konstruksi. Di bawahnya Teknik Mesin. Disusul dengan Kelistrikan. Lalu, Akuntansi. Terakhir, Administrasi Bisnis. Saat membeli formulir, kami diberitahu bahwa lulusan IPA SMA hanya bisa mengambil program studi dari jurusan teknik saja. Dan pilihanku hanya tiga saja, dua jurusan berlatar belakang IPA Fisika Listrik, satu lainnya IPA Fisika Mekanika. Itu yang ada di benakku.
"Ndug, kamu isi ya!" bapak menyerahkan formulir kosong itu kepadaku. Aku diajak untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Kursi lipat yang sepaket dengan meja putihnya. Aku masuk kampus ini? Ah...bapak! Segigih itu kah punya keinginan menyekolahkan putri satu-satunya di dunia laki-laki seperti teknik sipil ini? Apa ini? Aku nggak mau!!! Teriakku dalam hati yang membuat raut wajahku sedikit cemberut. Kecemberutan itu yang nantinya membuat kesan pertama pada dua manusia yang tengah mengamatiku dari jarak tiga meter.
****
"Sara Pramita," suara Pak RP memanggilku.
Aku lantas mengangkat tangan, "Iya, Pak! Hadir!"
"Ah... kamu yang datang bersama bapak waktu itu ya? Syukurlah wajah cemberutmu tidak kamu bawa di hari pertama kita. Selamat datang di Jurusan Manajemen Rekayasa Konstruksi Teknik Sipil Kampus P, ya mbak!" sebuah kalimat yang membuatku baru tersadar dan wajahku memerah. Ternyata dosen cantik itu dan Pak RP adalah dua orang yang sedang bertugas menjaga pendaftaran kampus P kala itu. Ingin rasanya aku melarikan diri sejenak, menghalau perasaan maluku. Tapi sayangnya, aku tetap bertahan di sana. Damn!
Bersambung...
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Kamu tahu Menara Eiffel, kan?
Menara Eiffel dibangun di masa Revolusi Prancis. Di masa ketika bangsa Eropa telah melewati masa kegelapan. Hm... apakah itu di masa ketika Prancis memenangkan peperangan melawan kaum muslimin? Atau...
Yang pasti setiap pembangunan menara adalah unik. Menara terbuat dari kumpulan batang baja yang disatukan menggunakan mur-baut. Ia dibangun tidak sama seperti membuat bangunan rumah yang berbentuk kotak, karena menara bentuknya selalu limas. Bentuk bangun ruang dengan ujung atas yang meruncing. Bentuk meruncing inilah yang membuat proses pembangunannya juga menjadi unik.
Dan... aku pernah membuatnya di atas kertas.
****
Siang yang terik sangat membikin kantuk. Bu Deka, guru kelas, sedang menjelaskan tentang pelajaran IPS, lebih tepatnya tentang Tujuh Keajaiban Dunia setahun setelah krisis moneter melanda Indonesia. Papan hitam dengan pojokan yang tidak mulus lagi telah menjadi tempat ternyaman bagi Bu Deka untuk mengekspresikan segala sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada kami. Sebuah kapur tulis telah meliuk-liuk indah, menggoreskan warna putihnya pada papan hitam itu, tentu atas keinginan Bu Deka. Warna putih itu saling menyambut hingga membentuk tulisan tegak bersambung, tulisan khas Bu Deka yang terkadang aku tak mengerti itu huruf apa.
Jam pelajaran terakhir sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Pelajaran yang membuatku sangat excited. Tidak dengan satu teman bangkuku, Reya. Ia sudah mulai akan tertidur di atas meja coklat yang penuh dengan tulisan bolpoin. Tangan kirinya yang lurus menjadi tumpuan kepalanya yang mulai berat. Telapak tangan kanannya menyangga pipinya yang mulai mengeluarkan iler. Wajahnya menghadap ke tembok di sebelahku, membelakangi Bu Deka yang sedang asyik menulis di papan hitam. Aku sengaja membiarkannya, karena dia memang sudah lelah, lelah dengan kehidupannya.
Setelah menyalin catatan dari papan tulis ke buku B5 bergaris, aku langsung membuka halaman terakhir dari buku itu. Menggambar sebuah bentuk bangunan limas segiempat yang mirip sekali dengan menara Eiffel. Hanya saja, ini tidak memiliki sisi lengkung. Ini lebih mirip menara listrik yang sering kulihat di tengah sawah dalam setiap perjalanan menuju luar kota.
"Reya... Reya...," kubangunkan Reya yang sudah mulai terdengar suara dengkurannya. Sekali, belum bangun. Dua kali, belum bangun. Aku takut Bu Deka mendengar dengkuran itu. Tiga kali, terpaksa kubangunkan lebih keras lagi. Buku RPUL yang tebal dan selalu kubawa, aku jatuhkan dekat ujung hidungnya. Bruk! Buku itu jatuh tepat diujung hidung Reya dan membuat kami menjadi pusat perhatian seluruh siswa di kelas, termasuk perhatian Bu Deka.
"Iya, Ita? Suara apa tadi?" tanya Bu Deka setelah membalikkan badan ke arah kami.
"Bu..buku ja..jatuh, Bu. Hehe," jawabku sambil menyeringai lebar dan menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Oh! Segera diambil dan harap tenang ya! Salin apa yang ibu tulis di papan tulis ini," nasihat Bu Deka, lalu beliau kembali melanjutkan tulisannya.
Reya di sampingku akhirnya bangun. Tanpa rasa bersalah, ia memandangku dengan tatapan kosong, nyawa belum terkumpul. Dengan polosnya dia bertanya, "Ada apa, Ta, barusan?"
"Ada gempa, Reya. Kamu boleh tidur, tapi jangan sampai ngorok! Suaramu hampir terdengar keras tadi!" bisikku agak sebal kepada Reya. Reya hanya menyeringai lebar ketika baru menyadari kelakuannya.
"Whoa!" Reya seketika hampir menjadi pusat perhatian lagi, sebelum aku mencubit pahanya untuk lebih mengecilkan suaranya, "gambar apa ini?!"
"Kamu jangan keras-keras kalau ngomong!" bentakku lirih pada Reya.
"Hehe. Iya... iya...," balas Reya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, "Kamu lagi nggambar apa?"
"Psst! Dengerin. Besok, aku bakalan bangun menara kayak gini!" jawabku sambil melanjutkan coretan yang sempat terhenti tadi.
****
Menjadi manusia perantau, belum pernah ada bayangan yang jelas di benakku. Kalau hanya sekedar liburan seminggu dua minggu di kota orang, mungkin itu belum disebut sebagai perantau. Menurut KBBI, perantau adalah (kata benda) orang yang mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya di negeri lain. Untuk pertama kalinya aku menjadi perantau. Tinggal di kota M untuk melanjutkan sekolah, demi menaikkan derajat kehidupan yang telah Allah janjikan.
Untuk kesekian kalinya aku melewati jalanan kecil ini. Orang bilang, jalan tikus. Jalan yang tidak bisa bebas dilalui oleh segerombolan manusia, bahkan motor pun tidak bisa papasan dan tidak jarang harus dituntun. Jarak tempuh kampus dan kosku hanya 20 menit.
Gerbang kampus B sudah nampak dari kejauhan. Hati begitu bertanya-tanya, bagaimanakah perkuliahan hari pertama setelah OSPEK berlalu. Aku berjalan tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Aku menikmati setiap langkahku. Aku senang sekali melihat sekitar, barangkali menemukan sesuatu yang bisa mendukungku selagi aku merantau di sini.
Aku memasuki gerbang masuk kampus B di selatan. Gerbang yang lebih dekat dengan Fakultas Perternakan. Pohon besar dengan dedaunan yang rimbun, memberikan kesejukan yang luar biasa untukku yang sedikit panik. Aku berjalan lurus, lalu belok kiri melewati jalan yang memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Hukum. Sampai di pertigaan Masjid Kampus B, aku belok kanan. Kampusku sudah terlihat. Kampus yang tidak lama baru lepas dari kampus B dan menjadi mandiri bernama kampus P.
Koridor menuju gedung perkuliahanku berpaving. Di atasnya ada atap beton yang disanggah oleh tiang beton. Kanan kiri koridor ada selokan kecil mengikuti arah ke mana koridor menuju. Di sebelah luar selokan, ditanami pagar tanaman yang telah dipangkas. Koridor kampus P tak kalah fungsional dan aestetik dengan kampus B. Seolah-olah pembuatnya paham sekali bagaimana membuat sebuat koridor nyaman dilalui oleh pejalannya.
Dari kejauhan aku telah melihat segerombolan teman sekelasku yang kukenal sejak OSPEK lalu. Segerombolan kecil dari ratusan mahasiswa baru di jurusanku yang diterima kampus. Aku juga melihat beberapa seniorku yang menjadi DISMA OSPEK. Semuanya berkumpul dalam sebuah ruangan besar tanpa sekat yang kemarin lalu menjadi pusat OSPEK kami. Mereka menyebutnya bengkel. Di sinilah, seluruh mahasiswa dikumpulkan untuk diberikan pengarahan hari pertama langsung oleh Ketua Jurusan.
Bruk! Aku tidak sengaja menabrak salah satu dosen dan membuat bukunya terjatuh. "Eh, maaf, bu!" permintaan maaf aku lontarkan dan kuambilkan buku beliau yang terjatuh. Dosen itu sangat familiar, tapi siapa.
"Nggak papa, dek!" Dosen cantik itu menerima buku yang kuambilkan, lalu tersenyum. Sangat manis. "Kamu anak yang kemarin daftar siang-siang sama bapaknya kan? Jadi masuk kampus ini? Wah, senang sekali melihat kamu bisa di bengkel ini."
Deg! Aku baru sadar ternyata dosen cantik itu yang menerima pendaftaranku. Wajahku langsung memerah, malu.
Bersambung...
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Mari kita bernostalgia sejenak...
Kota M sungguh kota yang punya daya tarik. Bagi siapapun yang pernah mendiami kota ini lebih dari 30x24 jam, akan sulit untuk tidak menjadikannya tempat domisili. Barangkali mencapai 80% mereka yang pernah menjalani kuliah di kota M, lalu menjadikannya sebagai tempat tinggal untuk menjalani kehidupannya selepas kuliah. Bagaimana tidak? Dia dikenal dengan kota yang dingin, banyak pepohonan di sana-sini, bahkan beberapa pohon besar sepertinya tidak akan pernah ditebang oleh pemerintahnya, kecuali ia akan roboh dengan sendirinya. Kota yang memiliki magnet bagi setiap manusia yang pernah mengunjunginya. Termasuk aku.
Semasa SMA, aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menjadikan kota M sebagai tempat domisili. Namun, takdir berkata lain. Adanya tragedi Lumpur Lapindo di tahun 2006 membuatku terdampar di kota ini, atas pilihan orangtuaku. Sebuah hal yang tidak masuk ke logikaku waktu itu. Ditambah dengan ketakutan seorang bapak, jika Lumpur Lapindo itu benar-benar menenggelamkan kota dan memutus jalur perjalanan darat antara kampung halamanku dengan ibukota provinsi. Padahal, sekalipun benar-benar terputus, kukira pemerintah tidak akan tinggal diam membiarkan roda perekonomian masyarakan provinsi ini terganggu. Pemerintah akan mencari cara bagaimana tetap berjalan, walau tragedi sedang berlangsung. Jika tidak ada penghalang, kukira pemerintah provinsi ini tidak akan bisa maju secepat ini.
Pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) akan dibuka besok selama tiga hari berturut-turut. Aku sudah membayangkan akan berangkat seorang diri menuju ke kampus U yang telah ditunjuk sebagai pusat pendaftaran di kota M. Naik angkot dari rumah saudara, membawa berkas, panas-panas. Bakal seru nih!
"Assalamu'alaikum," lamunanku buyar ketika mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku membuka pintu rumah. Bapakku.
"Eh. Wa'alaikumsalam. Lho, bapak ke sini?" tanyaku sambil membenarkan posisi dudukku di kursi ruang tamu.
"Iya. Bapak mau ngantar kamu." Buyar sudah bayanganku. Diantar bapak? Artinya perjalanan sedikit akan lebih menakutkan. Hufth!
****
"Kamu mau ke kampus mana?" tanya bapak tiba-tiba saat mengajak kami sekeluarga untuk makan malam menu sate kambing kesukaan kami. Beberapa bulan sebelum pendaftaran SPMB dibuka. Di kampung halamanku.
"Kampus I," jawabku pendek sambil mengunyah sate.
"Jurusan apa?"
"Arsitektur."
"Kenapa arsitek? Daripada arsitek, mending ke teknik sipil. Masih saudaraan." Mendengarnya membuatku berhenti makan tiga detik. Kulihat bapakku, datar. Tanpa ekspresi. "Teknik Sipil masih banyak dibutuhkan. Kalau kamu pilih arsitek, ntar kamu lebih banyak di studio, lho!" lanjut bapak tanpa mengindahkan tatapan datarku tanda tidak setuju.
Selalu. Selalu. Dan Selalu. Pilihanku tidak pernah langsung disetujui. Studio? Kenapa dengan lebih banyak di studio? Apakah buruk? Aku juga tidak tahu apa itu studio. Apakah aku akan nyaman atau tidak kan belum dicoba? Lalu teknik sipil? Apapula itu teknik sipil? Saudaraan? Banyak dibutuhkan? Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya menjadi bising dalam pikiran dan hatiku. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku melakukan aksi protes dengan diam. Karena aku takut, takut ketika aku mengucapkannya, akan membuat bapakku tersinggung dan marah.
****
"Kamu jadinya ambil jurusan apa, Ta?" tanya teman sekelasku ketika aku menyempatkan diri main ke rumahnya.
"Entahlah."
"Lho, piye sih? Yang mau kuliah kamu. Kok jawabnya 'entahlah'?"
"Lha... bapakku kemarin mendengar jawabanku, aku langsung disuruh ambil jurusan yang masih saudaraan dengan pilihanku."
"Saudaraan? Emang kamu bilang kamu mau jurusan apa?"
"Arsitektur."
"Trus, saudaranya arsitektur apa?"
"Teknik Sipil."
"Oalah! Terus kamu jawabnya apa?"
"Diem."
"Lha! Piye sih? Kamu harusnya bisa dong memperjuangkan pilihanmu!" Mendengar kata 'memperjuangkan' dari mulut temanku membuatku memaku. "Kalau kamu punya pilihan A, kamu harus perjuangkan. Sampaikan alasan-alasan kamu kenapa pilih A. Biar bapakmu ngerti apa yang kamu inginkan," lanjut temanku.
Memperjuangkan. Kosa kata apa itu? Sangat asing dalam diriku. Aku selalu menuruti apa kata bapak. Saat aku kekeuh masuk SD karena teman-temanku TK sudah masuk SD, aku dimasukkan ke SD di mana mamaku kerja. Memasuki usia SMP, lalu disuruh masuk SMP A, ya aku masuk SMP A. Sewaktu SMA pun begitu, ketika disuruh masuk SMA B, ya aku masuk SMA B. Aku tidak pernah punya alasan kuat mengapa aku harus masuk sekolah-sekolah itu. Kecuali pilihan jurusan Arsitektur ini. Karena aku suka dan merasa tertantang menggambar benda yang diproyeksikan. Sesimpel itu. Tetapi aku belum berani memperjuangkannya. Damn!
****
Kendaraan besi roda empat berwarna biru itu berjalan sangat lambat. Ia berjalan di sebelah kiri jalan, bahkan terlalu kiri mungkin. Pengemudinya selalu menengok kanan lalu kiri, jari telunjuknya tidak berhentik bergerak, barangkali akan ada penumpang lagi. Maklum, kami berangkat di jam-jam anak sekolah sudah memasuki kelasnya masing-masing.
Aku membawa map plastik merah bertali pada dua kancing. Map itu berisikan berkas-berkas penting pendaftaran. Pas foto, fotokopi legalisir NEM, dan lain sebagainya. Aku memakai kemeja coklat dengan bawahan hitam, bersepatu hitam yang biasa kupakai saat bersekolah. Sesekali aku menggoyangkan kakiku dan melihat jam tangan hanya sekadar memastikan bahwa tidak terlambat sampai di tempat tujuan.
"Jadi ambil IPA atau IPC?" tanyak bapakku memecah keheningan di antara kami berdua.
"IPC, Pak. Kemarin bayarnya buat formulir yang IPC."
"Jadinya ambil jurusan apa?"
"Arsitektur, Kimia, dan Akutansi."
"Yakin Arsitektur?" Pertanyaan bapak membuatku menghela nafas panjang. "Bukannya bapak nggak setuju. Bapak hanya takut kamu nggak kuat menjalani sesuatu yang seperti terisolasi di studio. Karena kata om kamu, arsitektur itu banyak sekali menghabiskan waktunya di studio. Bapak hanya takut, relasi sosialmu makin terganggu."
"Bapak cukup dukung aku ya! Insya Allah jika memang rezekiku masuk arsitektur, aku bisa melewatinya dengan enjoy walau berat," jawaban diplomatisku untuk pertama kali keluar (mencoba) memperjuangkan pilihanku. Kulihat bapak tak bereaksi apapun, kecuali kembali menoleh ke arah kendaraan besi melaju yang sekarang berkecepatan lebih tinggi karena tempat duduk penumpang telah terisi penuh.
Kampus U telah penuh dengan calon mahasiswa baru dari berbagai kota di sekitar kota M. Terlihat wajah-wajah yang penuh harap bisa lolos SPMB. Banyak di antara mereka didampingi oleh orangtua masing-masing. Banyak pula yang bergerombol dengan kawan mereka mendaftar SPMB tanpa orangtua.
Aku memasuki loket satu, tempat penukaran bukti pembayaran SPMB dengan formulir. Aku menyerahkan selembar kertas bukti pembayaran dari map plastik merah yang kubawa dengan selembar formulir pendaftaran SPMB. Kubawa lembaran itu menuju ke meja besar yang telah disediakan oleh panitia. Aku keluarkan pensil 2B. Aku mulai menulis satu per satu pada setiap baris pertanyaan. Sampai di bagian foto, aku lupa tidak membawa lem. Kepanikan mulai menjalar ke tubuhku. Aku menoleh kanan kiri mencari bapak. Tapi tidak kutemukan. Aku melihat di depanku ada anak yang membawa lem, tapi aku tidak berani memintanya. Panik dan takut bercampur jadi satu. Sampai tiba-tiba di sebelahku ada seorang anak laki-laki memberikan se-cup lem kepadaku. "Makasih," ujarku.
Satu per satu berkas aku keluarkan. Aku urutkan sesuai permintaan yang ada pada formulir. Semua telah sesuai. Aku masukkan dalam satu map dengan formulir. Aku melangkah menuju antrean loket pengecekan berkas yang ada di dalam gedung. Di antrean depan aku melihat anak lelaki yang telah memberikan se-cup lem pada diriku tadi. Cepat sekali dia! Kecemasanku hadir kembali. Tanganku mulai berkeringat dingin. Lama sekali aku berdiri. Lupa tidak membawa air minum. Hawa dingin kota M kalah dengan panasnya hawa penuh sesak manusia di dalam gedung walau gedung tersebut telah ber-AC.
Kartu peserta tes SPMB telah kupegang. Dengan hati-hati aku masukkan ke dalam map plastik merahku. Alhamdulillah! Satu proses telah terlewati. Aku berjalan menuju pintu keluar gedung itu. Saat aku keluar, aku baru teringat kalau pintu masuk dan pintu keluar adalah pintu yang berbeda. Bapak masih ada di area pintu masuk. Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Mencoba mencerna arah mana yang lebih tepat aku pilih. "Hai," anak lelaki yang tadi tiba-tiba datang dari arah kananku, menyapa (lagi).
"Hai," jawabku gugup.
"Mau ke mana?"
"Cari bapak."
"Bapaknya di area loket satu yang tadi?"
"Iya," jawabku sambil nyengir.
"Tau jalan ke sana?"
"Nggak," jawabku polos.
Dia tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah kulihat. "Ayo, ikut aku. Aku juga mau ke sana."
Akhirnya, aku mengikuti dia. Berjalan di sampingnya. Tapi entah kenapa dia selalu saja mendahuluiku. Karena telah tiga kali seperti itu, akhirnya aku memilih berjalan di belakangnya. Kami hanya berjalan dalam diam. Tanpa mengobrol. Kami melewati pedestrian di mana kananku adalah jalan berpaving yang banyak dilalui kendaraan, sedangkan sebelah kiriku adalah taman dengan tatanan yang sungguh cantik. Aku melihat sekitar, barangkali bapak telah masuk dalam radar penglihatanku.
Tepat di sebelah pintu masuk menuju loket satu, aku melihat sesosok yang sangat familiar, laki-laki berjaket kulit hitam, bercelana drill hitam, bersepatu-sendal, dan rambut cepak yang mulai memutih, menunggu seseorang sambil sesekali menengok ke arah pintu masuk. Seketika itu, aku langsung berpamitan pada anak laki-laki itu, "Makasih ya. Bapakku udah terlihat." Aku membungkukkan badan ke arahnya dan langsung berlari ke arah bapak, tanpa melihat wajah anak lelaki itu lagi.
"Paaak!!!" aku memanggilnya keras-keras agar ia menoleh, tapi bapak tidak menoleh. Aku semakin mendekat. "DOR!" aku ingin memberikan kejutan dari belakang bapak.
Lelaki itu pun menoleh dan... "Iya, dek?" Yassalam. Aku salah orang. Wajahku mungkin sudah memerah saking malunya. Aku reflek menutupi wajahku, lalu mengucapkan maaf berkali-kali. "Cari bapaknya ya? Barangkali bapak itu yang adek maksud," tunjuk bapak itu menunjuk seorang laki-laki yang sedang duduk dengan tangan bersedekap dan kepala tertunduk. Lelaki itu sedang tidur. Dan dia adalah bapakku.
Bersambung...
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
“Menjadi berbeda itu baik.” Sebuah kalimat yang selalu terngiang dari kemarin di pikiranku yang sudah ruwet selama bertahun-tahun lamanya. Berbeda? Berbeda untuk mendapatkan kritikan pedas setiap hari? Atau berbeda hanya untuk menenangkan diri sendiri bahwa kebenaran itu layak diperjuangkan? Atau malah sebaliknya? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghantam diriku yang selalu ragu untuk melangkah yang pada akhirnya memilih untuk mengikuti arus ke mana pun membawa diriku bermuara.
****
"Deeek! Tangiii! Wes subuh!” teriak mbakku keras-keras dari luar kamar, mengalahkan suara toa masjid yang ada tepat di sebelah kamarku. Dan aku hanya berdehem tanpa ia dengar dari tempatnya sekarang. Kuhempaskan selimutku. Kududuk di tepi kasurku. Kukucek mataku. Kudengarkan suara adzan yang terlantun indah dari musholla samping kamarku. Kepalaku terhenti di batas leher yang kumampu. Dan… “DEK! Wes qomat! Agean wudhu!” teriak mbakku sekali lagi dan membuatku sadar 100%. Kuraih sarung di sandaran kursi, berlari semampuku, membuka pintu rumah, menuju tempat wudhu yang ada di samping masjid. Rakaat pertama kuambil langsung dalam posisi rukuk. Untunglah!
Cantik banget! Kulihat langit tak sengaja ketika aku menguap. Subuh selalu menjadi waktu paling enak untuk tidur. Setan memang pintar mengiming-imingi manusia untuk memilih kenikmatan dunia yang hanya setitik daripada rezeki yang Allah sebarkan melalui malaikat-Nya. Lalu, ada yang menyenggolku dari belakang, “Dun! Sarapan di rumah, yuk!” Ali membuatku menoleh.
“Heh?” aku setengah sadar atas ajakan Ali.
“Sarapan di rumah. Tadi umi bilang suruh ajak kamu selesai sholat Subuh di musholla,” terang Ali dengan menatap wajahku tajam.
“Aku pamit mbakku dulu, ya!” Aku langsung berlari menuju rumah yang tak ada 5 meter jaraknya, kubuka pintu, “Mbaaak!!! Aku dijak Ali sarapan! Aku berangkat, ya! Assalamu’alaikum!” Kututup pintu lalu ku kembali pada Ali yang sudah menunggu depan musholla. Kami berjalan lurus melawan arah rumahku menuju sebuah rumah yang mirip dengan rumahku. Rumah dengan halaman seuprit di mana pohon mangga tumbuh bahagia dan sangat menghasilkan saat musimnya tiba. Bedanya, rumah itu baru saja dicat ulang oleh pemiliknya, sedangkan rumahku entah kapan terakhir dicat oleh bapak.
“Assalamu’alaikum!” kami memberi salam bebarengan. Aku mengikuti Ali masuk. Kulihat Umi Ali sedang menata makanan di atas meja.
“Ali dan Adun udah datang. Sini, nak! Langsung duduk, ya!” Umi Ali menyapa kami berdua. “Umi tadi bikin bubur kacang ijo. Udah mateng sejak Ali berangkat ke musholla. Trus Umi suruh buat ajak Adun ke sini. Sarapan sedikit di rumah. Semoga Adun suka, ya! Soalnya ini makanan kesukaan Ali. Silahkan makan, mumpung masih hangat!” Senyumnya sungguh membuatku rindu dengan ibu.
“Makasih, Umi!” jawabku dengan senyum paling lebar pada Umi, lalu melirik Ali tanda siap balapan makan burjo. Ali membalas kodeku dan perlombaan dimulai.
Selang berapa menit, “Slurp! Ah! Kenyangnya!” aku menghabiskan sendok terakhir burjoku, lalu bersandar ke punggung kursi dan mengusap perutku yang rata.
“Cepet amat, Dun! Kalah lagi dah gua! Hahaha,” timpal Ali di sebelahku yang baru menghabiskan sendok terakhirnya.
“Laper, Li!” jawabku sekenanya.
“Laper atau doyan?” suara dari belakang muncul.
Aku menoleh, “Hm… laper atau doyan ya, Mas? Dua-duanya! Hahaha.”
"Sarapan yang banyak!" suara itu makin mendekat. Tangannya sudah mengacak-acak rambutku. Ia duduk tepat di depanku. Menyusul ayah Ali duduk di samping Mas Pras. Lengkap sudah keluarga Ali berkumpul dalam satu meja makan untuk sarapan bersama sambil ngobrol ringan. Suasana yang mengingatkanku pada momen ketika ibu masih ada.
Setelah selesai sarapan, kulihat jam di dinding. Pukul 05.30. Waktunya pulang, karena Mbak Ita pasti telah bersiap menyambutku dengan tampangnya yang garang itu.
Aku berpamitan. Umi membekaliku sarapan yang sama untuk Mbak Ita. Aku terima dengan senang hati, lalu ku berjalan kembali menuju rumah. Jarak rumah kami hanya selisih tiga rumah dan satu musholla.
Ketika ku sampai di depan rumah kedua, aku mendengar teriakan dari suara yang tak asing bagiku, “DEEEK!” Aku menoleh ke sumber suara dan benar, Mbak Ita sudah menghambur ke arahku, memelukku sampai aku terhuyung hampir terjatuh. Tumben!
“Kenopo, Mbak?” tanyaku heran.
“Mbak kangen!” dengan wajah berseri tak seperti hari-hari kemarin.
“Gorrrooo!” sergahku sambil terus berjalan menuju rumah.
“Iyo, Mbak kangen!” susul mbakku yang berlari-lari kecil.
“Mbak... are you ok?” tanyaku mengguncangkan badannya, ketika kami sudah di depan pintu rumah.
“I am okay, adekku yang ngganteng sejagat raya!” jawabnya sambil mencolek hidungku yang mancung, lalu membuka pintu rumah, “Kamu bawa apa itu?”
“Burjo teko Umi Ali. Gae samean,” kutaruh bungkusan burjo itu di atas meja, lalu mengambil mangkok dan menyiapkannya untuk Mbak Ita.
“Matur keso’on, Adekku yang ngganteng!” Mbak Ita menyeruput burjo di hadapannya dengan nikmat selagi hangat, “oh ya, buruan mandi, gih! Udah jam 6. Bukannya kamu jadi petugas upacara?” Aku yang tersadar bahwa hari ini adalah hari Senin di mana aku jadi petugas upacara, langsung mengambil handuk dan mandi. Sungguh kulupa!
****
Klik!
Submit terakhir aku lakukan. Tepat pukul 02.00 WIB. Kurang dua jam lagi menuju subuh, kalau aku tidur bakal runyam ga subuhan. Akhirnya aku memilih untuk scrolldown TikTok-ku. Aku buka simpanan videoku. Ada cara bikin nugget, cilok aci, kentang krispi, tempe mendoan, dan sebagainya. Masak apa ya hari ini? Semenjak ibu tiada, tugas masak-memasak untuk sarapan dan makan malam menjadi urusanku. Adekku tugasnya hanya belajar yang benar dan sesekali membantu menurunkan jemuran lalu melipatnya. Keluargaku termasuk keluarga yang senang sekali dengan masakan fresh from the wajan daripada makanan yang selalu dihangatkan. Ya, karena kami memang keluarga yang harus bisa mengatur segala sesuatunya sesuai porsi dan cukup. Selain, karena memang kami nyaman dengan itu.
Tak terasa dua jam berlalu, tarhim telah terdengar dari masjid besar yang jauh dari rumahku. Kubangkit dari tempat tidur, kubuka pintu kamar. Ruang tengah masih sangat gelap. Kuhidupkan lampu ruang tengah, lalu ku menuju kulkas dan melihat bahan apa saja yang bisa dieksekusi. Aku sudah menemukan menu apa yang ingin kubuat dengan waktu dan tenaga yang minim ini. Iya, aku sudah begadang semalaman, ditambah siang kemarin aku sama sekali tidak berjeda karena kegiatan di lingkungan.
“Deeek! Tangiii! Wes subuh!” aku meneriakki adekku dari dapur yang hanya berjarak 5 meter dari kamarnya. Sungguh, memiliki adek yang mandiri itu sangat menyenangkan. Namun sayang, untuk shalat subuh saja dia yang agak mbelot.
Aku melirik jam yang ada di ruang tengah. Suara toa dari musholla sebelah sudah begitu kencang membangunkan rakyat sekitar. Tapi setan menutupi telinga adekku terlalu rapat. “DEK! Wes qomat! Agean wudhu!” kubuka pintu kamarnya dan kuteriaki dia sekencang-kencangnya. Dia terbelalak, meraih sarungnya, keluar kamarnya terburu-buru dan hampir menabrakku. Membuka pintu rumah dan selalu tidak menutupnya kembali. Udara dingin di subuh hari tetiba menyerbu ruang tengah dan aku segera melipat tanganku. “Sungguh, bocah aneh!” Kututup pintu rumah lalu kembali ke dapur menyelesaikan masakanku.
Jam dinding menunjukkan pukul 04.45. Kumendengar suara adekku berteriak dari depan. Entah apalah itu. Setelah kulipat mukena, kupasang alarm, lalu kurebahkan diri sejenak. Paling enak memang tidur setelah subuh, walau sudah banyak yang melarangnya. Tapi ku memiliki alasan kuat untuk tetap melakukannya.
Tiga puluh menit berlalu. Alarm gawaiku berbunyi keras sekali. Dengan setengah sadar aku raih gawaiku, kumatikan alarm. Sesaat setelah kumatikan alarm, aku membaca satu notifikasi email yang membuat kesadaranku langsung 1000%. Senyum mengembang kurasakan pada bibirku. YES!
Bersambung...
Catatan kaki
“Deeek! Tangiii! Wes subuh!” – “Deeek! Banguuun! Udah subuh!”
“DEK! Wes qomat! Agean wudhu!” – “DEK! Udah iqomah! Buruan wudhu!
“Mbaaak!!! Aku dijak Ali sarapan!" – "Mbaaak!!! Aku diajak Ali sarapan!"
“Gorrrooo!” – “Bohooong!”
“Burjo teko Umi Ali. Gae samean,” – "Burjo dari Umi Ali. Buat kamu."
“Matur keso’on, Adekku yang ngganteng!” – “Terima kasih, Adekku yang ngganteng!”
0 notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Bip. Sebuah notifikasi instagram masuk. Seseorang menyebutkan namaku di IGnya. Kubuka kunci layarku. Kupilih notifikasi itu. Captured by @riopraditpa, sebutnya di bagian bawah caption. Sebuah foto dengan latar pegunungan. Aku baca lamat-lamat nama akun yang menggunggah. Terasa asing. Aku buka profilnya, kuscroll-down, kutemukan satu foto pemiliknya. Oh, dia.
"Le... kamu jadi berangkat jam berapa?" tanya Mamahku yang sedang menyiapkan sarapan.
"Jam 8, Mah. Nanti anak-anak yang jemput Rio."
"Semua perlengkapan udah siap, Le?"
"Udah, Mah. Yang pakai barang Rio, udah ada di ruang tamu. Sisanya anak-anak yang bawa."
"Ya wes. Semoga lancar ya, kerjanya," ucap Mamah sambil mengusap kepalaku. Mamah yang berbeda dari tiga tahun lalu. Mamah yang sudah mendukung penuh apa yang kumulai. Satu hal yang aku syukuri. Aku berani untuk mencoba hal yang awalnya mustahil, demi kegalaukanku yang harus berujung. Aku membangun komunikasi dengan Mamah yang terdidik keras oleh orangtuanya, di tengah ego dan keidealisanku yang memuncak.
Ada seorang mentor berkata, "Jadilah sebenar-benarnya anak untuk orangtua kalian. Jika orangtua kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan, ya… kalian kasih tahu. Dulu, aku bawa teman-temanku datang ke rumah. Aku ingin memberitahu orangtuaku, ini lho yang aku kerjakan, ini lho penghasilannya. Aku berikan bukti. Setelah itu, jalanku bebas hambatan. Lancar. Karena aku sudah mengantongi restu orangtua."
_
"Mas Rio?" seorang pria paruh baya menyapaku.
"Iya. Rio," jawabku menjabat tangannya.
"Aku udah melihat portofolio kamu. CEO juga sudah merekomendasikanmu. Jadi, mari kita berkolaborasi," pernyataan singkat yang membuat hariku penuh! Akhirnya aku bergabung dengan salah satu startup fotografi terbesar di Indonesia. Bye bye Sistem Informasi! Terima kasih telah menjadi jalanku sampai di titik ini.
Benar Rasulullah bilang. Ridho orangtua adalah ridho Allah. Sejak aku mulai untuk berdamai dengan diriku, membangun komunikasi dengan orangtua, terutama Mamah, semua yang aku inginkan bisa aku komunikasikan. Mendapatkan kepercayaan mereka adalah modalku untuk berjuang.
1 note · View note
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Rumah. Bagi sebagian orang ngangenin. Bagi sebagian lain tidak, dan itu aku.
Sejak kelulusanku tiga bulan lalu dan masa bakti marbot masjid telah usai, aku memutuskan kembali ke rumah. Lagi-lagi, itu bukan keputusan dari hatiku. Itu adalah keputusanku atas permintaan Ayah. Alhasil, aku selalu bergesekan dengan Mamah yang setiap hari tanya kapan aku kerja, kapan aku daftar PNS, dan kapan aku menikah. Pertanyaan-pertanyaan yang sungguh enggan aku menjawabnya. Karena setiap kali aku menjawab, kritikan selalu ada, dan aku tidak terlatih untuk menjawabnya. Payah!
Sampai suatu waktu di ruang makan… "Rio, ada formasi di Pemda. Daftar sana, gih! Nanti Ayahmu nembusin kepala bagian sana. Ada jatah buat anak-anaknya Ayah," Mamah memulai pembicaraan. "Ga," jawabku santai sambil mengunyah makan malamku. "Trus kamu mau kerja apa? Udah tiga bulan kamu luntang luntung, ga ngapa-ngapain." "Aku ada kerjaan, Mah." "Tukang foto maksudmu? Itu kerja?" Aku hanya menatap Mamah tajam. Kuselesaikan makan malamku yang hanya separuh. Ku menuju kamar dan langsung menutup pintu. BRAK!!! Aku memilih menghindar (lagi) untuk berdebat tentang hal yang tak ada titik temunya. Menurut Mamah pekerjaan itu selalu PNS, sedangkan menurutku nggak harus! Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjemput rezekiNya.
Ku buka jendela kamar, langit malam sedang cantik, dinginnya udara malam memasuki kamarku yang mulai panas. Kubuka laciku, kuambil sebuah album foto kecil dan kubaca tulisan di kertas yang terselip di dalamnya. "Terima kasih Fotografer Andalanku! Sengaja aku cetak foto-foto ini, supaya kamu makin sadar kalau kamu punya bakat. Ohya, foto-foto ini udah aku upload di shutterstock sejak awal kita jumpa di semester pertama. Email dan passwordnya udah aku tulis ya di sini. Jangan kaget lihat uang dolarnya! Hahaha. Dari Freya yang selalu mendukungmu." Sebuah souvenir khusus untukku di hari pernikahannya dua bulan lalu. Ia juga menyelipkan foto kami di depan altar gereja selepas prosesi janji suci pernikahannya.
Aku tersenyum. Kututup album itu. Kumasukkan kembali ke dalam laci sambil bergumam, "Andai Mamah melihat apa yang Freya lihat…"
1 note · View note
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Freya. Gadis cantik yang selalu mengagumkan. Aku mengenalnya sejak semester pertama. Gadis yang menjadi semangatku untuk tetap masuk kelas walau sangat berat.
"Hai!" sapanya penuh ramah.
"Hai!" balasku.
"Sorry, ya! Aku pasti telat, deh! Tadi ada klien yang mendadak minta ketemu pas kamu wa aku," dia membetulkan rambut ikalnya ke belakang telinga, "gimana? Apa yang bisa kubantu? Aku seneng banget, kamu bilang mau nyelesein skripsi dan punya target wisuda tahun ini!"
"Bantu aku sampai lulus ya!" pintaku dengan senyum lebar.
Kuputar laptopku, kuarahkan ke dia. Aku meminta pendapatnya Bab IV. Bab yang menjadi momok setiap mahasiswa yang sedang skripsi. Bab pengolahan data. Banyak mahasiswa masih bermindset, hipotesanya harus selalu benar, padahal nggak harus. Dan aku termasuk salah satunya. Hipotesaku tidak pernah benar.
Mengulang dari nol? Bukan pilihanku, karena Ayah sudah memberi kode saat di pembaringan kemarin, "Nak, bagaimanapun ujian kehidupanmu, selesaikanlah apa yang telah kamu mulai. Mungkin kamu benci dengan hal itu, tapi Allah pasti menyiapkan hadiah terbaik untuk hambaNya yang ikhlas." _ "Muhammad Rio Pradipta… Sarjana Sistem Informatika…" namaku menggema di hall terbesar di kampusku. Impian orangtuaku mewujud, aku lulus kuliah dan jadi sarjana. Genap 11 semester aku berjuang di kampus ini, tanpa kutahu kuingin jadi apa dan siapa. Kujalani lima setengah tahunku hanya untuk menuruti orangtua alih-alih sebagai bakti anak pada orangtuanya. Kuabaikan diriku.
Nak, terima kasih telah menyelesaikannya. Maafkan Ayah dan Mamah. Pesan dari Ayah membuatku hampir menitikkan air mata sesaat sebelum Hari memukul punggungku, "Bro! Selamat! Sudah jadi sarjana kau! Udah ga galau lagi kan kau?!" Galau? Yang ada… aku semakin bingung mau ke mana setelah ini. Izin tinggal di masjid kampus menghitung hari. Jobless. Passion? Boro-boro!
"Rio! Selamat ya! Semoga jalanmu ke depan makin terbuka lebar. ❤️ Ohya, ntar malam ketemuan, yuk!" pesan singkat dari Freya membuat dopaminku bertambah. Aku mengiyakan.
"Yo! Jadi fotograferku, ya!" todong Freya dengan mengeluarkan sebuah undangan. Undangan pernikahannya…
4 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Februari 2018. Enam bulan sejak kudapati namaku termasuk dalam daftar Marbot Masjid. Sejak itu pula, aku terlepas dari satu masalah dan mendapatkan masalah baru yang tak kalah pening. Namun setidaknya, pilihan menjadi marbot adalah pilihan yang tidak pernah aku sesali seumur hidupku. _ Alarm gawai menunjukkan pukul 02.00. Aku sudah bersiap untuk memulai aktivitas harian. Pintu masjid kubuka. Ruangan utama masih temaram, ia hanya mendapatkan cahaya dari lampu teras masjid. Aku edarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku dapati sesosok pria yang sedang tidur di ujung pintu lain. Pria yang gesture tubuhnya sangat familiar, tapi siapa?
Kumendekat. Ketika wajahnya makin terlihat, kakiku terhenti, dadaku terasa berat, dan aku tercekat. Air mataku menggenang perlahan. Kubalikkan tubuhku. Ku segera berlari kembali ke kamar. Kuambil selimut tipisku. Ku kembali masuk ke dalam masjid. Namun… aku tak lagi melihat sosok itu. Kukucek mataku berkali-kali, aku yakinkan diri bahwa yang kulihat tadi nyata, bukan mimpi. Tapi tak ada siapapun di sana. Hatiku mencelus, kecewa, dan sedih.
"Rio…?" suara itu memanggil, ragu. Aku menoleh. Sosok yang kulihat tadi telah ada di hadapanku sekarang.
"Ayah…," Aku terdiam. Ayah melempar senyum terhangatnya yang kurindu. Kubalas dengan senyuman. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhembuskan perlahan. Kutahan air itu agar tidak tumpah. Kuraih tangannya. Kucium segera punggung tangannya takzim. Punggung tangan yang telah lama tak kuberikan haknya untuk mendapatkan penghormatanku sebagai anak. Ayah langsung memelukku erat. Mengizinkanku menangis sehingga tumpukkan rindu itu seketika meluruh.
Memori enam bulan lalu kembali hadir. Seribu pertanyaan memberondongku tanpa henti. Seribu kritikan akan pilihanku tak kalah menghujani. Kuambil ranselku, kumasukkan laptopku, dalam diam aku memutuskan untuk pergi dan entah kapan kembali. Aku tak pernah lupa, wajah teduh itu mengangguk pelan dan memberikan izin. _ "Rio. Hei! Bangun! Henpon kau bunyi!" suara Hari membangunkan tidur siangku. Raissa, adekku, menelepon. Kuangkat, tak sampai satu menit, gawaiku terjatuh. Kali ini, jantungku berdebar lebih cepat.
2 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Hiruk pikuk kampus mulai terdengar. Semester ganjil telah tiba. Wajah-wajah baru menghiasi pemandanganku sepanjang perjalanan. Hari ini, aku memilih untuk berjalan kaki menuju kampus. Menikmati setiap langkah yang aku yakini akan membawa kebaikan. Aku kampusku, tetapi tidak dengan gedung kuliahku. Aku melewatinya tanpa menyapanya. Sama seperti semester lalu, aku langsung menuju masjid kampus.
Masjid ini bukan sekadar masjid. Ia memiliki ruang yang luas untuk menampung seluruh mahasiswa shalat Jum’at. Di sampingnya ada cafe yang tak kalah cozy layaknya cafe instagrammable lainnya. Menjadi tempat makan sekaligus tempat berdiskusi selepas shalat. Masjid yang menjadi pusat peradaban kampus. Hobiku menghabiskan waktu di sini, bukan di gedung kuliah ataupun di kos bar-bar itu. Bukan untuk menyelesaikan skripsi, tetapi menyusun kegiatan kerohisan masjid.
“Ya, akhi! Kaifa haluk?” Sabil menyapa.
“Alhamdulillah baik, Akhi! Antum?” tanyaku balik lalu menarik kursi dan duduk di depannya.
“Alhamdulillah. Gimana skripsi antum?”
“Tidak ada perkembangan.”
“Apa yang perlu ane bantu?”
“Doa,” aku menjawab asal. Doa agar manusia-manusia di kosan segera bertaubat karena aku sudah jengah dengan kelakukan mereka yang semakin liar.
Brak! “AU!” suara erangan diikuti suara kursi jatuh terdengar begitu keras. Aku dan Sabil kaget. Gawai yang kupegang hampir jatuh. Aku melihat Haris mengerang kesakitan memegang kakinya. Ia berjingkat-jingkat, mengambil kursi yang jatuh, menatanya, lalu melompat duduk. Dengan menahan rasa sakit, ia mengambil sebuah kertas yang jatuh bersama kursi yang ia tabrak.
“Kau kenapa selalu terburu-buru?” tanyaku yang sudah sibuk dengan gawai lagi.
“Kau ini! Bukannya kau menolong teman, malah sibuk sama henpon!” protes Hari.
“Kau bisa duduk, kan? Jadi apa yang mau aku tolong?” jawabku meniru logat khasnya.
“Ini!” jawab Hari menyodorkan kertas ke arahku, “buat kau yang suka ngeluh di kosan.”
Aku melihat kertas itu. Aku baca lamat-lamat. Bibirku perlahan mengembang, aku tertawa dan mengguncang tubuh Hari yang membungkuk memegangi kakinya. Sebuah kesempatan yang kunanti akhirnya datang juga!
Bersambung…
5 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Domestik
"Yah."
"Hm."
"Besok jadwal nyuci Bunda, yang njemur Ayah ya. Bunda bakal start jam tiga pagi. Semoga Kei belum bangun. Rencana Bunda, jam 6 pagi pas Kei bangun, cucian kita udah beres. Jadi, kita bisa jalan pagi sebentar sambil beli sarapan. Kasihan Kei, udah 2 hari di rumah terus."
"Okay!"
Sebuah percakapan antara dua insan yang telah berumah tangga selama lima tahun, yang berusaha mencari ritme mengerjakan urusan domestik bersama yang menyenangkan sambil mengasuh anak pertama mereka yang sedang aktif-aktifnya. Aku mendengarkan mereka ketika aku menunjukkan pukul 23.00.
____
Aku tidak pernah tidur. Aku selalu terjaga selama dayaku masih ada. Aku mengamati keluarga ini sudah cukup lama. Kira-kira dua tahun, sejak Kei, anak mereka, lahir. Aku adalah hadiah dari kawan dekat Bunda Kei. Rupanya, dia sangat mengenal Bunda Kei yang tidak pernah lepas dari "melihat waktu".
Sejak pertama aku berada di rumah ini, aku merasakan vibe yang menyenangkan. Bersama pasangan muda yang sangat kooperatif mengerjakan segala urusan domestik rumah tangganya. Dan tentu, mereka sangat menyukaiku. Aku adalah hal yang selalu mereka lihat saat bangun tidur, saat Kei minta nen, saat Kei pup, saat Kei sudah terlelap, sampai saat Kei bangun. Mereka benar-benar memastikan bahwa Kei mendapatkan latihan disiplin waktu yang baik.
Termasuk pagi ini. Mereka mengatur kapan aku bisa berdering memberitahukan mereka bahwa saatnya bangun dan mengeksekusi rencana yang telah tersusun semalam. Pukul tiga pagi. Aku sudah berdering, memberi kabar bahwa pagi sudah datang. Tapi sayangnya, mereka lupa mengatur volume pada diriku. Volumenya terlalu nyaring di tengah keheningan pagi buta. Hingga, yang pertama kali bangun adalah Kei.
"A...a...a," suara Kei saat membangunkan Ayah Bundanya yang masih terlelap. Sayangnya, Ayah Bundanya terlalu lelah untuk memulai pagi sesuai dengan rencananya. Tak satu pun dari mereka yang terbangun dengan suara Kei yang lumayan kencang itu. Hanya aku dan ayam tetangga (mungkin) yang mendengarnya. Sampai akhirnya, Kei menangis kencang sekali.
Bunda sontak terkejut dengan suara Kei. Ia mengucek matanya, mulai mengumpulkan nyawa, mengubah posisi menjadi duduk, menggerakkan lehernya, dan meraih Kei yang menangis, walau matanya masih sangat berat terbuka. "Cup... cup... cup... Kei sayang. Bunda di sini." Suara tangis Kei mereda ketika dia mulai nen.
Sepuluh menit berlalu... Bunda masih menggendong Kei di pangkuannya. Mereka masih tetap di atas tempat tidur dengan posisi yang sama.
Tigapuluh menit berlalu... Kei sudah terlelap dalam pangkuan Bunda, disusul dengan Bunda yang juga terlelap dalam posisi duduk memangku Kei.
Enampuluh menit berlalu... Adzan subuh berkumandang. Barulah Bunda Kei sadar 100% dan segera membangunkan Ayah Kei. Ia teringat akan jadwal yang ia buat semalam.
Sekali lagi, Ayah dan Bunda Kei gagal mengeksekusi rencana mereka mencuci baju sendiri. Akhirnya, di hari itu mereka menyerah. Mereka menyerahkan urusan cuci mencuci kepada laundry, karena pakaian kotor sudah menumpuk sekali.
1 note · View note
yaninurhidayati · 1 year
Text
Si Goeboe
Hai! Kenalin aku Goeboe. Iya, pakai ejaan lama nih! Biar keren gitu. Hahaha. Ohya, umurku setua pemilikku, lho! Percaya nggak kalian? Kudunya sih percaya ya.
Dulu, aku menemani pemilikku sedari dia orok. Piknik ke mana, aku dibawa. Tidur di kamar mana, aku dibawa. Sampai dia kuliah pun, aku tetap dibawa, dibawa sampai kamar kosnya. Selama itu lho, aku menemani pemilikku.
Sayangnya, selama itu pula aku nggak pernah dicuci. Uuuugh! Pasti kalian tahu gimana bauku. Nggak cium-able, deh! Cium-able hanya untuk pemilikku saja. Pernah suatu waktu, bunda mencuciku, tahu apa yang terjadi? Pemilikku nangis kejer! Sejak saat itu, bunda nggak pernah lagi mencuciku. Kalau nggak salah, waktu pemilikku berumur tiga tahun. Meskipun begitu, aku tetap sayang dia forever! Sampai dia sudah menikah sekarang, aku tetap menemaninya.
Aku tetap menemaninya tidur, walau di sampingnya sekarang sudah ada seseorang. Hm... aku juga selalu mendengarkan dengan saksama saat mereka pillow talk, lho! Agenda rutin yang mereka lakukan setiap malam, membahas A to Z tentang masa depan mereka, masalah personal yang wajib diketahui pasangan, dan tentu juga masalah kapan mereka siap punya momongan.
Bedanya, kalau mereka ke luar kota, sekarang aku sudah tidak pernah diajak, dong! Aku pasti ditinggal di rumah. It's okay! It's time to relax for me. Aku bisa ngobrol dengan kawan-kawanku lainnya.
Selain itu, penampilanku sekarang lebih bersih dan wangi. Bukan karena permintaan sang suami, tapi karena ada kejadian di luar prakiraan. Hahaha.
"Sayang! Kamu nyuci si Goeboe?" omel pemilikku ketika ia baru pulang dari dinas luar kota.
"Iya," jawab suaminya enteng.
"Gimana, sih! Kan udah menjadi kesepakatan kita, kalau kamu nggak-bakal-pernah apa-apain si Goeboe! Kok sekarang si Goeboe kamu cuci bersih?!"
"Sayang... duduk dulu sini, gih!" suaminya menarik tangan pemilikku pelan dan mengajaknya dia duduk bersama di teras, "tau nggak apa yang terjadi sampai Goeboe harus aku cuci bersih tanpa persetujuan kamu dulu?"
"Apa emang?!" pemilikku masih dengan wajah yang cemberut.
"Si Malay, kucing kesayangan kita, masuk kamar."
"Trus? Bukannya dia biasa masuk kamar kita? Hubungannya apa?" pemilikku tetap ngegas.
"Tau, kan, kalau dia sudah waktunya lahiran?"
"Emang dia udah lahiran?" nadanya mulai merendah.
"Udah. Tau lahirannya di mana?"
"Di mana emang?"
"Di atas kasur kita. Di sana ada Goeboe. Dan... ya... Si Goeboe terkena darah nifasnya Malay. Kamu mau mencium Goeboe yang bersimbah darah nifasnya Malay?" suaminya menatap wajah pemilikku dengan senyum menggodanya, "mau mencium Goeboe dengan kondisi kayak gitu?"
"Iiiih, ya nggak mau, lah!" jawab pemilikku sambil mendorong tubuh suaminya yang mendekat itu.
"Jadi, it's oke, kan, kalau Goeboe akhirnya aku cuci bersih dan wangi sepanjang hari indah mewangi seperti di taman bidadari?" canda suaminya.
"Iya... iya...," jawab pemilikku sambil memandangku yang sedang di jemuran. Cita-cita untuk tidak akan mencuciku kandas karena Malay yang lahiran.
Gimana perasaanku? Tentu bahagia dong! Bisa merasakan kesegaran setelah puluhan tahun lamanya. Hahaha.
Nb. Goeboe adalah guling buluk.
1 note · View note
yaninurhidayati · 1 year
Text
Malam Rabu. Langit sangat gelap dengan bulan sabit yang tak begitu terlihat. Bintang gemintang tak muncul begitu banyak menghiasi langit. Ada sesosok pria dewasa berdiri di depanku. Sedang menunggu sesuatu, rupanya.
Bip... bip...
Gawai disakunya berdering.
"Halo. Assalamu'alaikum," jawabnya.
"Wa'alaikumsalam, Sayang. Gimana kabar? Aku kangeeen!!!" suara seorang wanita terdengar di seberang sana menanyakan kabarnya. Senyum di wajah pria itu mengembang. Wajahnya sumringah sekarang.
"Alhamdulillah baik. Aku juga. Kamu dan Yoga gimana? Hari-hari kalian bagaimana? Menyenangkan di sana?"
"Yoga udah mulai betah di sekolah, Mas. Alhamdulillah. Sekarang dia udah bobok. Itu kenapa aku baru telpon sekarang. Lagi di mana, Mas?"
"Masih di kantor, Sayang. Sedang menatap langit. Sendirian."
"Ini udah jam 11 malam, Mas. Nggak pulang ke kos?"
"Aku lebih suka di sini. Akses ke mana-mana gampang. Tahu, nggak, Pak Ardi memberikan aku satu sofa unik yang bisa diubah jadi tempat tidur buat aku. Jadi, dari kemarin aku sudah bermalam di kantor. Hahaha."
"Syukurlah. Jadi, kita bisa menghemat banyak hal ya, Mas."
"Iya," senyumnya mengembang.
"Mas... maafkan aku ya."
"Buat apa?"
"Untuk hal yang belum bisa kutepati karena kondisi keluargaku. Untuk keadaan kita sekarang."
"Pssst! Udah... udah... kita sudah sepakat kan kemarin? Kita hanya memberikan waktu tiga tahun. Insya Allah itu waktu yang cukup untuk Mbak Rani recovery pasca ditinggal Mas Rasyid, ya. Abis itu, kita bisa mengeksekusi rencana yang udah kita susun kemarin."
"Mas, kamu kok ringan sekali mengambil keputusan ini?"
"Hm... karena keluargaku hanya kalian. Aku nggak bisa bantu banyak untuk bisa mendukung Mbak Rani dan Hanif. Aku membantu mereka dengan mengijinkan kamu kembali bekerja untuk mendukung mereka. Kalau keputusan ini dibilang ringan, sih, ya karena aku pernah mengambil keputusan lebih berat sebelum ini kali ya. Jadi terkesan ringan dilihatnya. Haha. Lagian kota S, P, dan L ga sampai 24 jam ditempuh. Kalau sewaktu-waktu aku kangen berat dan jadwal kerjaan nggak banyak, aku bisa cusss nemuin kalian."
"Mas... terima kasih, ya!"
"Untuk...?"
"Untuk ridho kamu padaku dan keluargaku. Untuk menjadikan keluargaku seperti keluargamu sendiri. Untuk kelapangan hati mengijinkanku kembali mencari materi dunia, dengan menjadikan tujuan rumah tangga kita prioritas kedua. Untuk kamu yang selalu bisa meredam rinduku yang membuncah tiap harinya. Semoga tahun depan kita udah sama-sama ya."
"Semoga tahun depan kita udah sama-sama. Amin. Muah! Love you, Sayang!"
"Love you too, Sayang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Semoga mimpiin aku malam ini," godanya.
Senyumnya makin mengembang. Pria ini unik. Dari sekian pria yang bekerja di kantor ini, hanya dia yang mampu bertahan nggak "aneh-aneh" di perantauan. Semoga kalian selalu akur, ya!
Aku melihat dia menuju ruangannya, mematikan lampu di dekatku, lalu mengunci ruangannya. Di sini, aku kembali sendiri. Sekarang yang ada hanyalah bayangan meja, kursi, dan berkas yang menumpuk. Hening. Dan kukembali menatap langit sendiri, sebelum fajar menghampiri.
1 note · View note
yaninurhidayati · 1 year
Text
Penantian Tak Berujung
Klek...klek...
Suara pintu rumah dibuka. Langkah kaki terdengar begitu terburu-buru. Ada beban berat yang ia tanggung, membuatnya berjalan lebih menekan sedikit dari biasanya. Sebuah kantong belanja berukuran besar, berisi berbagai macam sayuran mentah, ikan segar, dan beberapa bumbu dapur.
Sara segera mengeluarkan seluruhnya di dapur cantiknya. Ia mulai mengeluarkan thinwall bermerk yang ia simpan di laci bawah. Ia mulai memisahkan mana yang akan ia olah hari ini dan besok. Teg! Suara tutup thinwall berbunyi. Segera ia membuka kulkas dan menyimpan thinwall-thinwall itu.
Suara pisau memotong sayuran mulai terdengar. Artinya, Sara sudah mulai memasak. Kalau Sara sudah memasak, seluruh ruangan akan menjadi harum dengan rempah-rempah yang ia racik bersama bumbu lain. Sungguh menggiurkan. Entah, sejak kapan ia belajar memasak yang baunya aja sudah bikin kenyang.
Dua jam berselang. Appetizer, main course, dan dessert sudah siap dihidangkan. Dengan sigap ia menata meja makan sedemikian rupa. Sempurna!
"Wah! Masak apa, Sar?" tanya Risa yang baru saja menutup pintu rumah.
"Hei!" sapa Sara yang baru saja berselonjor di sofa.
"Kamu masak apa, Sar? Baunya sampai depan, lho! Aku jadi lapar," tanya Risa sekali lagi.
"Sekarang ulang tahunnya Rio. Aku masak kesukaannya. Semalam dia bilang sedang otewe pulang. Cuti," jawab Sara sambil memejamkan mata.
"Rio? Semalam?" tanya Risa heran.
"Iya. Rio. Semalam nelpon aku. Katanya dia sedang perjalanan pulang ke sini. Katanya tahun ini mau rayain ultahnya bareng aku. Dia udah dapat cuti yang susah itu," Sara menikmati relax time-nya.
"Sar..."
"Hm..."
"Are you okay?"
"I am okay, Risa."
"Rio... kan... sudah... meninggal..., Sar," ucap Risa hati-hati.
Mendengar perkataan Risa, sudut mata Sara basah. Nafasnya mulai berat. Tangannya mulai mengepal. Matanya membuka, "Risa. Harus berapa kali aku bilang, Rio masih hidup!"
Risa menggenggam tangan Sara, "Sara..."
Sara melepas paksa genggaman Risa. Bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu sama dengan yang lainnya?! Nggak mama! Nggak ibu! Semua mengatakan kalau Rio udah meninggal!! Mana bukti kalau Rio sudah meninggal?! Mana?!" suara Sara meninggi. Emosi yang tak terkendali. Risa hanya bisa melihat amarah Sara. Ia sudah kehabisan amunisi untuk menyadarkan Sara.
Aku yang sedari tadi melihat dan mendengar percakapan mereka, sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sebab orang yang Sara tunggu selama ini ada pada diriku. Sara mulai meraihku dengan tatapan nanar, mengelus-elusku, dan PRANG! Aku kembali pecah kesekian kalinya.
4 notes · View notes