Tumgik
#5CCDay13
Text
Perjalanan ketiga
Namanya Raya, perempuan berhati baik yang selalu menjadi pendengar baikku. Pertemanan yang sudah memasuki angka ke 7 tahun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengenal dan percaya.
Kali ini bukan tentang ceritaku tapi kisah raya. Perpisahan bapak dan ibunya masih menjadi topik utama pada masalah hidupnya. " ca rasanya setahun ini berat banget ya, bisa bertahan dari hari ke hari saja sudah anugerah banget buat aku" katanya waktu itu.
"Sudah tidak ada back up apa-apa lagi dari orang tua, mau ini itu, butuh sesuatu dan harus dipenuhi sendiri itu rasanya berat ya ca". Air matanya sesekali tidak dapat dibendungnya
Hai ra walaupun saat ini kita jarang ketemu tapi aku yakin kamu bisa melewati beban berat ini. Ingat ya ra, kamu pernah bilang ke aku, kalau takdir Allah itu baik.
Kamu lagi mau naik level makanya Allah uji kamu, bukannya setelah kesulitan ada kemudahan. Walaupun kita udah jarang komunikasi apalagi bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi aku tau kamu orang baik dan aku selalu berdoa semoga kamu selalu dikelilingi orang-orang baik dan ditemukan oleh orang baik juga.
11 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep.3
Sepulang dari kampus, aku mandi, dan mengeringkan rambutku yang basah. Kemudian aku duduk di depan meja belajar.
Kebiasaanku adalah menguncir rambutku yang panjang sebelum memulai belajar ataupun bekerja. Aku mulai menyisir rambut dengan jariku dan mengumpulkan rambutku dari bagian kiri, atas, kanan, dan yang terakhir bagian bawah. Aku melingkarkan karet rambut yang sudah kugenggam, dan setelah ketat membiarkan rambutku terjatuh menyentuh punggungku.
Aku membuka laptop dan notes untuk mencatat. Siap untuk mencari tau.
Untuk mengetahui apakah benar-benar suka dengan ilmunya adalah mendalami ilmunya.
***
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 13.36.
Aku bernapas lega. Rambutku yang tadinya terkuncir ketat setinggi mata, kini sudah longgar dan menurun. Buku catatanku yang awalnya kosong, kini sudah terisi dengan coretan pulpen yang berisi istilah-istilah yang tidak kupahami dan pemahamannya.
Walaupun sudah belajar sekian lama, rasa lelah tidak terasa. Hatiku terasa ringan, senang, lega, bangga telah belajar sampai sejauh ini. Seakan-akan akhirnya berjumpa dengan teman lama yang sangat dirindukan.
Ini yang aku mau.
Ini yang aku suka.
Sebelum tidur, aku berwudhu untuk sholat istikharah untuk memantapkan hati.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam bagi agamaku, kehidupanku, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka takdirkanlah hal tersebut untukku. Mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka palingkanlah aku darinya dan palingkanlah dia dariku. Takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Bisa atas segala sesuatu.
****
Aku menjalani hari seperti biasa. Kuliah seperti biasa, pulang seperti biasa. Aku bertekad untuk membicarakan ini saat makan malam.
Harum makanan memasuki kamarku. Aku berjalan keluar kamar dan memasuki dapur, berniat untuk membantu ibuku memasak. Setelah selesai menyiapkan makan malam, aku memanggil ayahku untuk turun dan makan bersama.
Makan malam dimulai. Tapi mulutku tak kunjung memulai bicara. Aku berkata dalam hati, ayuk mulai. Ayuk mulai. Sekarang.
Aku meletakkan sendok diatas piring.
"Pa, Ma. Aku mau ubah karir boleh?"
Mendengar apa yang aku tanyakan, tangan mereka langsung terhenti. Bunyi ketukan sendok dan piring tidak terdengar lagi. Mereka terdiam.
Ayahku meletakkan sendoknya, diikuti oleh ibuku. Ayahku menatap mataku dan bertanya,
"Kamu yakin?"
"Yakin pa." Jawabku.
"Udah sholat istikharah?"
"Udah pa."
"Kalo gitu coba aja."
Segampang itu? Sepercayanya itu sama aku?
Ya Allah terima kasih, Engkau telah memberikan papa dan mama sebagai orang tuaku.
9 notes · View notes
tanyavanya · 1 year
Text
Tumblr media
Seminggu setelah Ayah tiada, aku betul betul baru berani keluar dari kamarku. Aku mencoba untuk bangkit dan mulai mencari tujuanku sendiri walaupun beban penyesalan masih ada di diriku.
“Ibu, hari ini aku ijin keluar ya. Hari ini aku mulai bekerja di Café kota sebelah.”
Ya, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Tentu saja Ibu kaget. Karena Ibu tau sekali aku. Dahulu aku adalah anak yang dalam mengambil keputusan saja masih ragu dan hanya ikut ikut orang lain saja, nah ini ditambah akan bekerja, apa Ibu tidak makin khawatir?
“Kamu betul ingin bekerja? Tidak karena ikut ikutan teman kan, Kyo? Apalagi itu di kota sebelah, bukankah itu cukup jauh, Kyo?”
“Tenang Ibu, anak ibu ini sudah besar. Sudah belajar pengalaman hidup. Kyo yang dahulu bukan Kyo yang sekarang Ibu. Ibu doakan saja Kyo baik baik saja ya. Kyo juga akan ngekost saja bu, nanti Kyo akan pulang seminggu sekali kok bu, aman hehe.”
Tidak mudah tentu untuk Ibu melepaskan aku. Aku yang selama kurang lebih 23 tahun hidup tak pernah jauh dari keluargaku, kini keluar rumah untuk bekerja. Rasanya bagai burung lepas dari sangkar.
Hidup harus terus berjalan bukan? Walaupun beban yang aku bawa di pundakku cukup membuatku kewalahan.
Mungkin benar kata Ibu, Ayah begitu karena untuk kebaikanku. Namun, tetap aku membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya.
=============
BERSAMBUNG . . .
11 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #3
(Nggak) Sibuknya Jadi Mahasiswa Akhir
Dulu, Ringgo berpikir bahwa menjadi mahasiswa tingkat akhir itu enak. Banyak nggangurnya. Nggak perlu tiap hari ke kampus, bisa ngerjain sambil ngopi-ngopi, bahkan ada yang nggak perlu mikir, tinggal pakai joki. Sambil magang bisa, sambil PDKT bisa, bahkan ada yang bisa sambil membangun rumah tangga.
Sayangnya, itu semua nggak berlaku bagi mahasiswa terancam DO macam Ringgo. Apalagi mengingat killer-nya Bu Reva. Saking inginnya Bu Reva melihat Ringgo wisuda tahun ini, dia minta Ringgo untuk stop bekerja, fokus, dilarang keras buang-buang waktu dan tenaga Bu Reva! Alhasil dia menjadi pengunjung perpustakan yang datang pertama tapi pulang paling akhir. Kalau bisa sih menginap di kampus dan nggak usah pulang ke kosan, biar sekalian menemani Pak satpam ronda.
Awalnya Ringgo sanksi dengan saran ekstrem Bu Reva. Tapi karena dukungan dan harapan Mamah-nya Ringgo yang sudah ingin melihat toga terpasang di kepalanya. Dia manut saja. Dua tahun terakhir dia sudah bekerja keras layaknya romusha. Bukan lagi overwork atau overtime, mungkin bisa dibilang overdose. Hal ini tak lain dan tak bukan, dia lakukan agar keadaan keluarganya kembali normal secepat mungkin.
"Udah cukup Nak, sekarang saatnya kamu melanjutkan mimpimu. Kamu sudah membekali Mamah lebih dari cukup, adik-adikmu sudah bisa hidup normal sekarang, kami sudah siap dan mandiri."
Tidak terasa, setelah dua bulan bergaul dengan buku-buku usang di perpustakaan, Ringgo siap untuk mengajukan sidang proposal. Hal ini tidak semata-mata karena jasa Bu Reva. Marsha yang ternyata bekerja sebagai staff SDM di kampus, punya andil besar. Selain motif akademik, Ringgo tidak keberatan menjadi penghuni paling setia perpus kampus demi urusan asmara. Kantor SDM letaknya tepat di depan perpus fakultas ISIPOL. Sembari menyelam minum air, Ringgo berusaha untuk menebus waktu yang terlewat diantara mereka berdua sejak dia menghilang. Ditengah-tengah kepenatannya mengerjakan revisi, ada angin segar nan sejuk yang bisa dia rasakan saat bersama Marsha.
TO BE CONTINUED
2 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
-GELISAH-
Tumblr media
.
Tiyan meniti langkah menuju rumah, setelah bis kota yang ia tumpangi memberhentikannya di halte tepat depan gang. Jalanan yang masih tanah itu sedikit becek, sebab guyuran air langit yang mungkin turun sore tadi. Beberapa lampu penerang jalan mati, beberapa lagi cahayanya meredup.
Pyyaaaaak... Ia menginjak kubangan air yang seharusnya dihindari. Sebab gelap, ia tak dapat membedakan tanah datar atau genangan. "Sial,"gerutunya. Satu sepatunya basah kuyub, sedangkan pasangannya basah sbagian kena cipratan. Hari itu dia benar-benar merasa tak beruntung. Sudah ia mendapat surat pemberitahuan tidak perpanjang kontrak, lalu ia mulai gelisah tentang rencana apa yang akan dia lakukan selanjutnya, sementara dalam otaknya sedang tak terpikir apa-apa dan lagi keapesannya berlanjut dengan menginjak genangan yang membuat sepatunya basah.
"Tiyan, pulang,"sapanya ketika membuka pintu rumahnya. Didapatinya ibunya sedang duduk di sofa ruang tamu dengan gawai di genggamannya.
"Sudah pulang, nak. Buruan mandi, biar ibu siapkan makan malammu,"ucap ibunya lalu bangkit, meletakkan gawainya di meja.
Beranjaklah Tiyan menanggalkan sepatu basahnya dan menjemurnya di teras rumah. Kemudian, ia mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi sebagaimana titah ibunya.
***
"Boleh ibu tanya sesuatu Tiyan?,"sergah sang ibu ketika menemaninya menyantap makanannya.
"Apa bu?"
"Kamu terlihat murung hari ini, apa ada yang mengganggu pikiranmu?,"tanya ibu tanpa basa-basi.
Deg. Jantung Tiyan tiba-tiba berdebar. Seluruh isi kepalanya seakan dibredel dengan satu pertanyaan sang ibu. Dia pun merasa ibunya seperti paranormal, yang bisa meramal kegundahan hatinya.
"Tiyan akan berhenti bekerja bu,"kalimat itu terlontar begitu saja sebagai jawaban. Memunculkan tatapan serba tanda tanya. "Apa maksudnya?,"tanya ibunya tidak mengerti.
2 notes · View notes
haisabrina · 1 year
Photo
Tumblr media
"Dill, aku izin tanya di lengan kamu itu luka apa" tanya Erina Dilla langsung menutup lengan bajunya, Dilla enggan berbicara terkait lukanya. Erina berpikir bahwa itu seperti luka sayatan. "Dilla kamu kenapa,coba cerita ke kita pelan-pelan, siapa tau kita bisa bantu" sahut clara sambil memegang tangan Dilla Dilla awalnya enggan namun dia mencoba bercerita ke Erina dan Clara "si Yusuf itu yang nyebabin gw kayak gini, gak bapak yang tega mukul anak bininya, tiap hari lu denger bapak - emak lu ribut, banting- banting barang" "menurut kalian aja stress gak jadi aku? dari SMP bapak aku kayak gitu, nih yaaa kalau aku lagi salah atau enggak ngerjain tugas biasanya aku bakal ditarik di belakang motor, ku di iket tangannya di belakang jok motor trus diarak keliling kampung ga pake sendal. gampar, mukul, cubit udah biasa buat dia" "gak ada warga yang nengor bapak kamu dill?" Tanya Erina "siapa yang berani negur bapak aku, bapak aku polisi siapa yang berani" "Lukamu apakah gak sakit del?" Tanya Clara "Sakit tapi ini lebih baik daripada tamparan bapakku, sering kali ketika aku lukai tangannku dengan silet i feel peaceful, damai sampai ga berasa sakit apapun" "Disaat anak lain seusia aku galau tentang cinta, tapi orang yang aku harus percayai malah menyakitiku, lantas harus bersandar dengan siapa aku?" "Lalu bagaimana dengan kakakmu atau Ibumu?" Tanya Erina "Kakakku yang laki-laki lebih fokus ke keluarganya, mana mau dia mengurusin adiknya ini, kakaku yang perempuan, hanya bisa menampung kami di kontrakan kecil ini, jangan tanya Ibuku, ku bersyukur dia tidak gila karena bapakku" "are you okay Dell? izinin kami untuk menemani kamu Dell" -------- to be continue ---------- #5CC #5CCday13 #CareerClassQLC #bentang pustaka https://www.instagram.com/p/CoJqoIvpJjh/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes · View notes
aalyafrst · 1 year
Text
What Will I be? (3)
Anda terdeteksi telah melampaui masa studi normal untuk jenjang Anda. Silakan hubungi dosen wali jika menemui kendala dalam menyelesaikan studi.
Notifikasi itu masuk dalam gawainya selama beberapa hari ini. Itu adalah pemberitahuan dari kampus yang didapat Feifei tiap pergantian semester tiba. Selama ini Feifei terus mengabaikannya karena terlalu takut menghadapi rasa takutnya.
Hingga kini ia pun harus berhadapan dengan ketua jurusannya melalui pertemuan daring. Beliau menanyakan sampai mana progres skripsinya itu. Ia hanya bisa menjawab, "bingung mengolah datanya, Pak." Kemudian beliau pun dengan sabarnya mengajak Feifei bertemu agar bisa dibantu.
Hati Feifei menghangat. Selama ini ia berpikir tak akan mendapat perhatian dari dosen. Ia selalu takut jika nantinya akan mengecewakan. Namun ia tak menyangka ketua jurusannya akan sebaik itu. Mau membantunya disela-sela kesibukan menjadi dosen sekaligus ketua jurusan. Ia pun menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah meminta bantuan orang lain. Ia selalu saja terkungkung dalam kekhawatiran dan ketakutannya. Bahkan, ia pun mengasingkan diri dari sahabat-sahabatnya yang sudah lulus sejak lama. Padahal sahabatnya sering kali menawarkan bantuan untuknya.
Dari pertemuan ini pula, Feifei menyadari bahwa ia tak sendirian. Banyak juga temannya yang belum menyelesaikan skripsi. Bahkan beberapa di antara mereka sama sepertinya, menganggurkan data penelitian. Kemudian salah satu temannya pun mengajak Feifei untuk mengerjakan skripsi bersama. Sembari mengiyakan ajakan temannya, Feifei meyakinkan diri. "Semester ini harus benar-benar selesai, ya, Fei," ucapnya pada dirinya sendiri.
-alfrst-
Smg, 01-02-23
2 notes · View notes
setialrsti · 1 year
Photo
Tumblr media
Part #3 - Ketika Hidupmu Berada di Persimpangan Setelah pertemuan rapat itu, aku bingung harus bertahan atau keluar. Hari demi hari ku lalui sambil memastikan apakah aku aman berada di kantor ini atau tidak. "Ya.. Allah rasanya pengen nikah aja. Ngurus anak dirumah. Cape banget kerja kaya gini" Gumamku dalam hati. "Mba Na, tolong kirim foto kamu ya skrg" Pesan dari Mama masuk ke handphone-ku. Ada apa tiba-tiba mama minta foto? Tapi karna fikirku Mama tidak mungkin aneh-aneh, jadi ku kirim saja foto selfiku yang paling cantik. Sepulangnya aku dirumah mama mengajakku ngobrol sambil menonton tv diruang tengah. "Sabtu mau ada yang dateng ya mba kerumah, kenal aja dulu" Ucap mama sambil tatapan ke arah tv. Lantas aku kaget dengan ucapan mama, aku tau maksud mama meminta fotoku ternyata untuk dikenalkan dengan sepupunya teman geng-nya mama. "Loh mama ga ngomong apa-apa sebelumnya sm aku, kenapa nyuruh anak orang ke rumah" Aku kesal. "Kalau ada orang yang mau dateng ga boleh nolak loh mba" Timpal mama kemudian. Aku jadi berfikir, apa Tuhan mau mengabulkan do'a ku ya? Apa aku lebih baik menikah saja dan mengurus anak dirumah dari pada aku harus bekerja di kantorku sekarang ini? Jika ini memang jawaban dari Tuhan, yaudah di coba dulu aja lah. Aku mengiyakan ucapan mama, dan menanti laki-laki itu datang kerumah Bersambung.. #5CC #5ccday13 #careerclassqlc #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CoH4YfQyKk8/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes · View notes
tempeorek · 1 year
Text
Maheswari (3)
Jadi pengangguran benar-benar di level stress yang berbeda. Stress merasa gak berguna, stress beban orang tua, stress jadi bahan omongan orang, stress gak punya pemasukan, stress kalau ketemu sama teman-teman. Bodohnya ngapain aja selama dua tahun ini, menghabiskan waktu tidak melakukan apa-apa. Terlena dengan segala kenyamanan rumah, alasan klasik.
Anehnya kenapa Ayah dan Ibu santai banget melihat kondisi anaknya. Ya Allah aku bingung dan tak mengerti dengan diri sendiri.
Lalu kenapa aku setidak peduli itu dengan hidupku sendiri.
Mau sampai kapan aku hidup tidak memiliki arah dan tujuan seperti ini?
Butuh waktu beberapa malam merenungkan hal-hal yang sudah terjadi beberapa tahun kebelakang sambil merencanakan kembali tujuan hidupnya. Selama ini Mahes anak yang patuh, selalu mengikuti kemauaan orang tuanya. Kali ini dia akan meminta sesuatu.
...
Di meja makan keluarga
"Ayah, Ibu ada yang ingin Mahes diskusikan.
Setelah dua tahun pandemi dan Mahes dirumah alhamdulillah nyaman sekali bisa berkumpul menyaksikan dan mendampingi Ayah dan Ibu. Setelah pikir panjang Mahes perlu refreshing sejenak, melihat dunia bekerja hari ini, melakukan perjalanan bertemu banyak orang baru ataupun orang lama, sambil memikirkan kembali mimpi dan tujuan hidup Mahes."
Ayahnya terkejut mendengar permintaan Mahes
"Sudahlah ngapain begituan nak, gak perlulah itu di rumah saja temani kami." jawab Ayahnya tegas
Jawaban yang sudah diperkirakannya
Suasana meja makan hening dan menjadi tidak nyaman
Masalah hidupnya makin hari kian bertambah
Kenapa harus dia yang bertanggung jawab menjaga Ayah dan Ibunya di desa ini, sedangkan kakak dan adiknya bisa pergi kemana saja. Sungguh tidak adil.
Bersambung....
4 notes · View notes
amaliasilvi · 1 year
Text
Mencari Jalanku (3)
Aku memulai menjalani mimpiku. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di salah satu kampus terbaik dunia di Inggris. Ya, memang dengan jurusan yang sama “menjadi guru”. Aku mulai jatuh cinta dengan lingkungan di sini. Aku tak mendengar lagi orang lain bertanya tentang hidupku. Orang di sini begitu menghargai privasi dan kehidupan orang lain. 
Aku bertemu dengan professor yang begitu luar biasa. Beliau begitu mengetahui kemampuanku yang selama ini tidak ku sadari. Aku begitu banyak mendapatkan kesempatan melakukan project research tingkat dunia. 
“Kamu, jangan pulang ke Indonesia! Kamu lebih baik hidup dan menetap di sini. Aku dengar di negaramu menjadi guru tidak begitu dihargai”, jelas professorku. “Iya, aku juga sempat memikirkan hal tersebut, Prof. Tetapi, aku takut menjadi pengkhianat negara karena aku tumbuh besar di sana’, jawabku. “Memiliki jiwa pratiotisme memang bagus, tetapi bagaimana jika hal itu menjadi penghalangmu dan membuatmu tidak berkembang?” tanya professorku. “Entahlah, Prof. Aku akan memikirkan kembali,” sahutku.
Aku sekarang memahami apa yang pernah dikatakan oleh ayah. Mungkin ini maksud ayah membangun negara sendiri tidak harus dari dalam. Kita juga dapat berkontribusi kepada negara sendiri meskipun berada di luar negeri. Tetapi, aku masih dilema dan tidak memahami keinginanku sendiri. Sebenarnya apa yang aku cari, apa yang membuatku bahagia dan bagaimana aku akan hidup di masa depan.
Bersambung . . . .  
@kurniawangunadi @bentangpustaka-blog
4 notes · View notes
wahyudwiyuliani · 1 year
Text
Keputusan Aira dan Ibu
Keluarga Aira, salah satu keluarga yang sukses dan terkenal di desanya. Bapak Aira bukan pegawai kantor, bukan PNS, tetapi seorang petani yang tidak pernah kenal Lelah, dalam mengolah sawah – sawahnya. Banyak masyarakat di desa yang berkiblat dengan Bapak Aira dalam mengolah sawah. Tapi kini, setelah bapaknya pergi, menjadi masalah siapa yang akan meneruskan mengolah sawah, Aira dan Ibunya selama ini tidak terlalu tahu bagaimana mengurusnya.
“Nak, kita sawah yuk, liat lita tanaman, seperti yang biasanya bapak lakuin” kata Ibu Aira sore itu.
“sebentar Bu, Aira ambil sweeter dan kunci motor dulu ya bu” kata Aira sambil mencari sweeternya.
Aira dan Ibunya, pergi menuju sawah – sawah mereka menggunakan motor. Ibu Aira dengan sabar menunjukkan semua letak – letak sawah mereka. Setelah hampir satu jam, berkeliling, mereka sampai di sawah terakhir mereka, sebut saja sawah waru.
“Ra, ini sawah terakhir kita, Namanya sawah waru, sekitar 14 ubin Ra, luasnya” Kata ibunya sambil menepuk Pundak Aira”
“Bu, Aira ndak pernah tau, ternyata Bapak selama ini mengolah semua sawah ini sendirian ya Bu, pasti Bapak Lelah sekali, mengelola semua sawah ini sendiria, dan bahkan Ketika di rumah, aku belum pernah mendengar Bapak mengeluh tentang hal ini” Aira hampir menangis mengatakannya.
“Iya nak, sekarang nashi sawah sawah ini, ada di tangan kita Ra, apakah kita akan mengelolanya, atau menjualnya, atau akan menyewakannya, atau mau bagaimana Ra”
Aira belum menjawab pertanyaan Ibunya. Ia sendiri masih belum tahu harus menjawab apa. Sebab baginya, semua ini terlalu mendadak. Kepergian Bapak Aira menjadi satu hal yang sangat mengagetkan bagi semua orang, terutama dirinya.
“Nak, sebenarnya….” Kalimat Ibu terpotong dan seperti enggan melanjutkannya. Seperti ada beban berat yang ingin Ia sampaikan.
“Iyaa Ibuuk, ada apa” Aira mengelus elus punggung Ibunya mencoba menenangkannya.
“Dulu sebelum Bapakmu pergi, Bapak berpesan pada Ibu “Bu untuk sawah sawah kita nanti, kalau bapak pergi, bapak titipkan pada Ibu dan Aira ya Bu. Jangan di jual, di olah sebaik – baiknya, hasilnya Sebagian diberikan kepada yang bekerja di sawah untuk kita, saat panen Bu” Ibu Aira mengucapkannya sambil menyeka air matanya.
Aira masih diam. Belum merespon perkataan Ibu. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Memikirkan banyak hal ke depannya dan juga kemungkinan kemungikan yang terjadi.
              “Nak, kamu mau kan berjanji dengan Ibu, kita akan Bersama – sama terus ke depannya, mengolah semua sawah peninggalan Bapak, mungkin ini hal baru untuk kita tapi kalau kita bersama, InsyaAllah bisa Ra”, Ibu Aira memegang tangan Aira.
              “Bu, sebenarnya Aira…” Kalimat Aira berhenti. Ia tidak ingin melanjutkan kalimatnya bahwa sebenarnya ia ingin bekerja sesuai dengan keinginannya dan itu bukan menjadi petani, tetapi Aira tidak tega melihat Ibunya harus seorang diri mengolah sawah, dan yang jelas ia tidak ingin melukai hati Ibunya.
“Iya Bu, Aira janji, Aira akan sama sama dengan Ibuk, mengelola sawah ini, demi Bapak dan demi kita bersama sama Bu”. Aira menatap wajah Ibunya yang terlihat semakin menua.
“Bu, ayo kita pulang dulu, sekarang sudah sore” pinta Aira kepada Ibunya.
Aira berjalan di belakang Ibunya. Dilihatnya punggung Ibunya yang semakin kecil. Ibu Aira terlihat semakin kurus akhir akhir ini. Aira tidak tega melihat Ibunya yang semakin kurus dan harus menanggung semua beban ini sendirian. Aira tidak tega, dan tidak akan setega itu. Walaupun itu berarti dia harus mengorbankan mimpi – mimpi dan keinginannya.
2 notes · View notes
nithata · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
Text
Dunia Baru #3
Tumblr media
Mimpi-mimpiku sudah mulaiku rangkai, berharap suatu saat nanti Tuhan mengizinkan aku meraih satu per satu mimpiku itu. Menjadi seorang yang berpengaruh diperusahaan besar merupakan salah satu mimpiku sejak awal masuk kampus ini. Satu perusahaan yang bersemayam dihatiku sejak aku masuk menjadi mahasiswa baru dan memilih jurusan yang kuidamkan saat sekolah dulu. Harapan besarku setelah lulus aku bisa meraih salah satu mimpi itu.
Namun ternyata waktu tidak berpihak padaku, 3x gagal dalam tahap interview dan mencoba untuk menjadi bagian dalam MT pun tidak lolos juga. Diriku mulai putus asa, “Apakah aku tak pantas untuk bergabung dengan perusahaan impianku itu?” Berbulan-bulan mencoba memasukan lamaran ke berbagai perusahaan bermodalan lulusan terbaik dari kampus terbaik di Indonesia, namun ternyata tidak semudah itu. Berbagai penolakan menghampiriku, dan pada akhirnya aku memilih untuk bekerja bukan karena passion. Pikirku, yang penting bisa menyambung hidup.Tak apalah bekerja bukan dipassionku yang terpenting aku bisa makan dan memenuhi kebutuhanku. Logikaku seperti itu. Sebagai laki-laki, memiliki hunian bagus, kendaraan impian, jabatan yang mentereng dan tabungan yang banyak adalah target yang harus aku dapatkan secepatnya, dan aku tidak boleh menyerah untuk mendapatkan itu semua.
“Bang, kalau kamu belum bisa bertanggung jawab untuk hidupmu, jangan pernah mencoba untuk menanggung tanggung jawab orang lain. Selesaikan dulu dirimu sendiri. Jikalau kamu sudap siap, baru kenalkanlah seseorang kepada ibu” nasehat ibu saat ibu mengabari bahwa kakak sepupuku akan menikah bulan depan.
Aku teringat nasehat ibu, aku tersenyum sambil menyesap kopi panas. “Bu, anakmu sedang jatuh cinta” batinku. Namun yah, perasaan itu aku kubur dalam-dalam, “Aku masih belum pantas untuk hadir didepan dia bu,” tuturku pilu.
(Bersambung....)
5 notes · View notes
fanicahya · 1 year
Text
Pilihan Hidup (3)
"Mas Hendra, Nisa mendapatkan beasiswa ke Belanda. Apakah mas yakin, kita bisa melanjutkan hubungan ini?" tanya Nisa kepada Hendra
"Adek di Belanda berapa lama?"
"Bisa jadi 3 tahun Mas karena akan ada semacam project bersama disana. Tadinya Nisa ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius tapi sepertinya Mas belum ingin ke arah sana, dan Mas juga sangat fokus dengan hobi Mas itu sampai komunikasi kita kurang baik. Papa dan Mama pun sesungguhnya ingin adek lekas menikah" jawab Nisa
Hendra hanya diam
"Apakah mas ada niatan untuk kesana Mas?"
"Ya ada" jawab Hendra ragu
"Sepertinya kita berpisah dulu ya Mas, ini bukanlah keputusan yang mudah buat adek" suara Nisa bergetar dan meneteskan air mata
"Baiklah jika itu keputusan adek, Mas hargai keputusan adek. Maaf mungkin mas seperti ayah. Adek orang baik, semoga adek sehat selalu" jawab Hendra dengan pandangan kosong
Mereka pun berpisah. Nisa pulang dengan tangis pecah. Hendra pun pergi mengendarai mobil dengan tatapan kosong. Mobil Hendra berhenti di suatu coffee shop langganannya. Dibukalah tab dan peralatan menggambarnya. Kali ini dia pilih Americano yang akan menemaninya menyelami benang kusut dan menumpahkannya dalam cerita dan gambar yang ia rancang.
Hampir 2 jam Hendra tenggelam dalam menumpahkan pikiran rumit yang ada dikepalanya hingga tak sadar bahwa dia ada janji kepada anak teman ayahnya. Dengan terpaksa akhirnya dia mengikuti perintah ibunya untuk menuruti perintah ayahnya.
Dibukalah notifikasi dari handphone nya
"Halo, betul ini dengan Hendra? Saya Candra, saya dapat kabar dari ayahmu untuk bertemu kamu di coffee 1000. Saya 15 menit lagi sampai ya"
Pesan itu sudah masuk 1 jam yang lalu. Sengaja Hendra silent mode handphone nya.
"Maaf baru buka handphone. Apakah kakak masih disana? saya butuh waktu kurang lebih 30 menit sampai disana."
"Masih Hendra. Saya sambil mengerjakan tugas juga disini. Saya tunggu ya" balas Candra
Buru-buru Hendra mengemasi barang-barangnya dan lekas melajukan mobilnya ke lokasi yang dijanjikan.
[BERSAMBUNG]
5 notes · View notes
arsyzela · 1 year
Text
Melangkah Mundur #3
“Iya benar pak, setelah project ini selesai, saya ingin mengajukan surat pengunduran diri.” Jawab Farhan dengan suara percaya diri.
“Memangnya sudah ada perusahaan lain yang mau menerima kamu ?”, Kamu kan sering pindah-pindah perusahaan, kerja sama saya memangnya tidak enak? Pertanyaan Pak Reihan membuat Farhan sedikit tersindir.
“Ingat Farhan, kamu itu masuk di perusahaan ini karena koneksi orang tua kamu, kamu ingin mengecewakan mereka?. Nasehat Pak Reihan dengan pertanyaan yang memberondong, membuat Farhan bingung ingin menjawab pertanyaan yang mana.
Farhan tidak menjawab, ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sebenarnya, Farhan tidak ingin bekerja kantoran. Hanya saja menurut orangtuanya, pekerja kantoran adalah pekerjaan yang menjanjikan. Ia mengikuti kemauan orangtuanya karena ingin sekali Farhan bekerja di kantor. Terlebih setelah lulus kuliah dia sempat menganggur enam bulan. Berkat koneksi orangtuanya, akhirnya Farhan masuk di perusahaan yang dipimpin oleh Pak Reihan langsung, dan kebetulan posisi yang diisi Reihan saat ini pun sedang kosong.
"Oh iya Farhan, proposal project ini udah bagus. Tinggal nanti eksekusinya saja. Pengunduran diri kamu kita bahas nanti lagi, habis selesai project, bisa jadi nanti kamu berubah pikiran. Sepertinya tidak ada yang ingin saya bicarakan lagi, jadi silahkan lanjutkan pekerjaan kamu yang lainnya Farhan." Ucap Pak Reihan lagi seolah-olah meminta Farhan untuk meninggalkan ruangannya.
"Baik pak, terimakasih ya Pak."  Ujar Farhan sambil menuju keluar dari ruangan Pak Reihan.
***
Di meja kerjanya, dia mulai menyusun jadwal untuk meeting dengan timnya untuk melaksanakan project tersebut. Project ini adalah pengalaman pertama Farhan menjalaninya, atau mungkin yang terakhir kalinya. Jika ia benar-benar bersikeras akan mengundurkan diri setelah project ini selesai terlaksana.
Farhan telah merencanakan ingin membuka bisnis, dengan modal gajinya selama bekerja di perusahaan ini. Farhan merasa menjadi pekerja kantoran adalah hal yang membosankan. Ia terus menerus memberikan hal yang orang lain inginkan, bukan yang ia inginkan. Tapi rencana ini belum diketahui oleh siapapun termasuk orangtuanya.
Bersambung...
5 notes · View notes
nonaatata · 1 year
Text
#03 : Menerima Kebaikan
Mas Yudhi melambaikan tangan begitu aku membuka pintu kafe. Kami tidak jadi ketemu sepulang kerja dua hari yang lalu. Mas Yudhi ada acara mendadak. Akhir pekan ini kami bertemu.
“Udah dipesenin nih sama Nendra.” Ucapnya begitu aku duduk.
“Nendra di sini, mas?” aku heran.
“Iya. Tuh.” Mas Yudhi menunjuk keberadaan Nendra dengan dagunya. Nendra sedang sibuk memilih kue buatan istrinya mas Yudhi, mbak Vivi.
Sore itu mas Yudhi menerangkan apa yang harus aku kerjakan di proyek menggambar, tenggat waktu, hingga upahnya. Selesai membuatku paham, mas Yudhi beranjak menerima sepiring nasi omelet buatan istrinya. Aku tersenyum riang sembari meminum kopi yang dibelikan Nendra.
“Kamu gak mau nih mempertimbangkan untuk resign saja, Ta?” mbak Vivi duduk di sebelahku setelah memastikan keadaan kafe tidak begitu sibuk.
“Masih doyan makan aku, mbak Vi.”
“Iya, tiap hari kamu makan hati.”
“Masih bisa ditolerir.” Aku tersenyum kecut.
Nendra yang baru datang sembari meletakkan sepiring kue di hadapanku melirikku tajam. “Habis ini mau kemana, Ta?”
“Pulang.” Aku menjawab cepat.
“Aku antar, ya.”
“Gak usah.”
Nendra menghela napas. “Aku anterin kamu pulang.”
“Gak usah, Nendra. Ini belum malam. Aku pulang sendiri aja.”
“Sebenarnya aku sakit hati kamu bilang gitu. Tapi aku tetap akan nganterin kamu.” Nendra menghela napas. Lalu menatapku sungguh-sungguh. “Ta, tidak apa-apa kalau kamu dibantu, sekali-kali aku beliin ini itu, menerima kado dari mbak Vivi, atau ditraktir makan siang sama mas Yudhi. Tidak apa minta tolong ke kami, minta tolong ke aku.”
Ini aku salah apa sih, kok Nendra jadi kotbah.
“Tidak apa menerima kebaikan.” lanjutnya.
Aku menelaah ucapan Nendra barusan. Aku terbiasa melakukan apapun sendiri. Mengerjakan lebih banyak, tidak ada waktu untuk minta tolong. Aku tidak nyaman minta tolong. Teman-teman boleh minta tolong ke aku, tapi aku berusaha sebisa mungkin mengerjakan tanggung jawabku sendiri.
Aku baru akan menjelaskan ke Nendra ketika sebuah suara familiar terdengar.
“Yang,” Suara merdu pengemar nomor satunya Nendra.
“Nolongin aku, nolongin diri sendiri aja masih susah.” Aku berucap sembari beranjak.
  Bersambung ...
3 notes · View notes