Tumgik
#dearaksa
coklatjingga · 8 months
Text
(Cerbung) Dear, Aksa
Hai, Aksa.
Suara rintik hujan yang jatuh di atas genteng malam ini membuatku kembali mengingatmu. Sudah sewindu berlalu, namun cerita tentangmu masih menjadi tema besar dalam hidupku. Entah sampai kapan.
Rintik yang turun di halaman rumah ternyata juga membasahi pipiku. Tanpa ada kamu yang siap mengeringkannya seperti dulu. Sapu tangan biru tua penuh garis itu, masihkah setia di kantung celanamu?
Begitu banyak kisah, Aksa. Begitu banyak memori yang terpaksa kusimpan dalam ingatan. Saat banyak orang menyarankan untuk membuangnya, tetap saja kujawab iya dengan pura-pura. Kau tak akan kemana-mana. Memori tentangmu akan tetap di sana.
Kini kuakui, Aksa. Tanpamu duniaku serta merta berubah. Yang dulu ada perlahan tiada. Seiring kepergianmu yang tak membiarkanku menahan sedetik saja.
Bagaimana kabar harimu di sana? Benarkah kau telah bahagia? Kau tega sekali, Aksa. Membawa seluruh impian kita berdua dan membiarkanku sendirian dalam hampa.
Kini kunikmati rintik hujan di bibir jendela, sembari memutar kembali kenangan kita di bawahnya. Saat kita menolak kalah dengan terus melaju di aspal yang basah.
***
Move On, Please
Tak kutahu jika cinta akan membawa luka sesakit ini. Setelah kepergianmu saat mimpi kita sedikit lagi.
“Tolong jangan menolak lagi. Ini sudah orang ke sekian yang kamu tolak tanpa alasan.” Suara itu lagi-lagi memaksaku menyumpal telinga dengan earphone.
Ya, aku tahu tindakan itu tidak sopan. Namun, bukankah lebih tidak sopan memaksa seseorang menerima apa yang semestinya ia tolak? Bagiku laki-laki di depanku ini sangat tidak sopan.
Ia masuk ke kamar tanpa permisi, lalu ngomel tanpa henti. Padahal ini masih dini hari. Tepatnya pukul tiga pagi. Apa di kamarnya tidak ada jam? Sampai lupa waktu begini.
“Kamu denger, kan?” Kini wajahnya turun tepat di depan hidungku. Nyaris saja kepala kami terbentur sebab kini kepalaku refleks maju, terkejut.
“Iya,” jawabku singkat dan tidak semangat.
Dialog dini hari ini sudah sering terjadi. Tepatnya setelah Ayah menolak proposal pernikahan yang Bayu ajukan. Ya, laki-laki yang kini berkacak pinggang di hadapanku. Dia kakakku, kakak satu-satunya yang selalu menjahiliku. Kami dua anak kembar yang berbeda jauh.
Kini Bayu sudah dewasa. Sudah menemukan tambatan hati dan berencana menikah, layaknya pria dewasa mapan lainnya. Sayangnya, Ayah tidak serta merta memberi Bayu izin. Ada satu hal yang menjadi penghalangnya dan itu aku. Anak perempuan satu-satunya yang masih diperlakukan layaknya bocah 13 tahun.
Ayah sangat menjagaku, melebihi Bayu. Bagi Ayah sedikit goresan di tubuhku merupakan bencana. Berbeda dengan Bayu yang memang hobi menyakiti dirinya sendiri dengan uji nyali. “Tolong bantu aku. Jangan jadiin aku korban gagal move on kamu itu."
Tanganku seketika geram hendak menyumpal mulutnya dengan buku di tanganku ...
(Bersambung)
8 notes · View notes