Tumgik
#membirunonaabuabu
nonaabuabu · 1 year
Text
M E M B I R U
b a g i a n p e r t a m a
sebuah cerita bersambung, ditulis sebagai project menulis tahunan di @komunitaspuanberaksara
'Kamu mungkin hanya benci kenyataannya Ul, bahkan di antara brengsek itu nggak ada yang memilihmu jadi pasangannya, menyedihkan.’
Gema suara Lalita masih menyisakan separuh kekosongan dalam diriku, sedang separuhnya lagi adalah amarah. Lalita tidak akan tahu, dan tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menyingkirkan kebohongan-kebohongan orang lain atas nama cinta. Aku sudah sangat fasih melakukannya, bagaimana mungkin perempuan sepemuja cinta sepertinya memahami itu?
Sudahlah, aku terlalu muak bahkan hanya untuk membayangkan bagaimana Lalita yang super cerdas mendadak bodoh oleh obsesinya terhadap dongeng, ya tentu saja bukan dongeng gadis korek api, tapi cinderella. Seorang putri yang menunggu peri penolongnya di malam sunyi untuk bisa mendapatkan pangeran. Lupa, jika ia mau ia juga tak butuh pangeran untuk membuatnya bahagia. Lalita jelas memiliki otak, tidak mungkin ia tidak berpikir. 
“Masih mikirin masalah kamu sama Lalita?”
Ditra meletakkan proposal kegiatan yang akan dilaksanakan organisasi kami di hadapanku. Aku membukanya sekilas, bahkan tak berminat untuk melihat detail acara yang sudah ia susun rapi.
“Jadi ke dekanat hari ini? Kayaknya pak Wir ngajar di kelas Mitigasi.” 
Ditra tak mengubris perkataanku, ia malah mengeluarkan rokoknya, menyandarkan diri dengan nyaman, melipat kaki lalu menatapku penuh. Hari ini kami berencana meminta tanda tangan untuk persetujuan akhir proposal kegiatan yang akan kami laksanakan bulan depan, dan itu adalah persetujuan dari pak Wirahadi dosen beberapa mata kuliah, termasuk mitigasi sekaligus civitas yang merangkap sebagai wakil dekan tiga, yang dalam salah satu perannya mengawasi kegiatan kemahasiswaan.
“Lalita cuma orang yang tahu apa yang dia mau Ul, sama kayak kamu tahu apa yang kamu mau.”
Ah, si brengsek ini, menggurui lagi.
Ditra adalah salah satu teman baikku di kampus, kendati karena memiliki dosen wali yang sama, kami juga mengambil banyak kelas yang sama, ironisnya lagi kami berada di organisasi yang sama. Kami mengikuti salah satu unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang penelitian, khususnya penelitian bioteknologi kelautan. Ya jangan bayangkan seberapa banyak anak ini mencampuri urusanku, mungkin juga salahku terlalu banyak bercerita kepadanya.
“Aku lagi ngga butuh komentar apa-apa Dit, kalau mau merokok silakan lanjut, aku lebih baik ke laboratorium duluan, Anisa udah telpon daritadi, ada jadwal asistensi.”
Aku berdiri tergesa, menarik proposal dengan asal, berlalu dan tak memedulikan panggilannya lagi.
Aku tahu, mungkin Ditra benar. Tapi itu juga tidak memberikan penjelasan bagiku kenapa Lalita bereaksi sejauh itu. Kenapa Lalita bersikap seolah semua pemikiranku adalah omong kosong yang tercipta dari rasa tersingkir? Apa argumenku atas pilihannya adalah sebuah penghakiman hingga ia juga berhak menghakimiku?
Semua ini dimulai dua hari yang lalu, aku cukup merasa malu dengan fakta jika aku harus terlibat dengan hal tidak penting seperti ini. Ya meski pada akhirnya sikap Lalita lebih menyita pikiran dari semua itu. Aku bahkan memikirkannya semalam suntuk. Jelas saja, meski tak memiliki predikat mahasiswa berakhlak baik, aku tak pernah memiliki masalah apapun, terlepas itu kepada dosen, kakak tingkat, seangkatan apalagi adek tingkat. Aku terlalu sibuk membangun duniaku sendiri, sebab aku tahu banyak hal yang lebih menyita perhatian daripada menciptakan permusuhan.
Awalnya aku dan Lalita hanya mengobrol biasa, di depan sekretariat himpunan saat menunggu Ditra meminta tanda tangan ketua himpunan untuk acara organisasi kami yang akan dilaksanakan, kebetulan kami akan melaksanakannya secara nasional mau tidak mau kami memakai atas nama jurusan demi kredibilitas. Lalita mulai bercerita tentang kegundahan hatinya, ya apalagi kalau bukan perihal laki-laki. Semua obrolan itu menjadi runyam saat ia mengatakan bahwa dia rela melakukan apapun untuk laki-laki yang ia cintai.
Aku yang awalnya mendengarkan dengan seksama sontak bereaksi, dan perdebatan itu tak terelak. Aku bersikeras dengan argumenku bahwa ia tak perlu melakukan apapun untuk kekasihnya yang dalam ceritanya bagiku terdengar brengsek. Bagaimana tidak, sudah seminggu ini kekasihnya menghindarinya karena alasan sedang sibuk kegiatan kampus, padahal di antara kesibukan itu Lalita melihat beberapa kali kekasihnya makan bersama dengan perempuan lain. Mengetahui itu Lalita dan kekasihnya sempat beradu argumen, hingga ada kata-kata yang dalam cerita Lalita menyudutkannya, saat itulah ia mengatakan padaku bahwa ia rela melakukan apapun, termasuk berhenti mengikuti kegiatan mahasiswa demi bisa menemani kekasihnya. 
Keadaan semakin buruk saat aku memintanya membuka mata dan tak perlu terbuai dengan cinta. Lelaki itu juga paling menyukainya hanya karena wajahnya yang rupawan makanya bersikap kurang ajar. Mungkin bagian ini aku keterlaluan, tapi Lalita adalah gadis cantik juga pintar, ia jauh dari kata-kata bahwa perempuan cantik itu cenderung tak memiliki isi. Setidaknya di mataku Lalita memiliki kelasnya sendiri, kelas yang tiba-tiba meluncur ke bawah karena dongeng cinderella yang dia impikan.
Menyedihkannya, Lalita tak terima dengan semua yang aku katakan. Ia menunjuk tepat diwajahku dan berkata pedas sebelum akhirnya berlari meninggakan gedung sekretariat.
“Kak Ulya, halo kak Ulya!”
“Eh, gimana?”
“Kak Ulya nggak ada kelas? Ini udah 13.15 loh!” Anisa rekan sesama asisten laboratorium menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan jam yang sudah menunjukkan 13.15, jam kelas siang dimulai.
Aku berdiri terburu-buru, mengambil tas dan berlari menuju pintu laboratorium. Karena memikirkan Lalita aku nyaris melupakan jika hari ini aku punya kelas pengganti untuk biodiversity dan sialnya lagi dosen pengampunya adalah bu Sumara yang tidak pernah mentolerir keterlambatan. Pernah sekali aku terlambat, dan bahkan hanya dengan gerakan mata saja aku dan beberpa mahasiswa lainnya yang terlambat menyingkir dari pintu kelas. Padahal keterlambatan kami karena adanya praktikum bioteknologi di laboratorium unoversitas, yang jaraknya cukup jauh, sehingga aku dan beberapa mahasiwa lainnya terlambat. Aku jelas tak ingin terjadi kedua kalinya, bu Sumara adalah salah satu dosen yang meski dihindari mahasiswa karena galak dan suka mengadakan kuis dadakan, tapi urusan mengajar beliau sangat jelas dan detail menjelaskan. Bagiku ia ada dalam kategori dosen terbaik di jurusan.
Akan sangat aku sayangkan melewati kelas beliau. Maka, aku menerobos lorong gedung laboratorium yang masih dipenuhi adik tingkat yang sedang menunggu giliran asistensi, melewati gedung dekanat dan berbelok cepat menuju gedung tempat jurusanku berkuliah. Sekilas aku melihat Ditra melambai padaku dari arah gedung dekanat, aku tak memedulikannya. Waktuku tak banyak. Aku terus menaiki tangga dengan napas tak beraturan hingga akhirnya sampai, tanpa berpikir panjang aku membuka pintu kelas dengan satu hentakan.
Napasku masih tersengal saat dosen yang mengajar di kelas itu melihatku kebingungan. Aku menahan napas sejenak, mengedarkan pandangaan. Dan ini lebih menyeramkan dari terlambat kelas bu Sumara, aku salah kelas.
Tatapan itulah yang mengunciku sesaat, hingga dalam detik yang amat singat namun terasa panjang aku tenggelam sejenak. Barangkali jika saja dosen yang sedang mengampu tidak berdehem, aku akan terjebak di sana lebih lama. 
Sesaat setelah kesadaranku kembali, aku menunduk lalu meminta maaf kepada dosen yang mengajar, memutar kepala ke seisi kelas, meminta maaf. Beberapa dari mereka hanya diam, mungkin kaget sedang beberapa lainnya tertawa, mungkin ekspresiku cukup menghibur.
Saat aku ingin menutup pintu undur diri, sekali lagi aku beradu pandang dengan salah satu mahasiswa dalam kelas tersebut. Detik itu kembali menghentikan gerakanku, aku mengambil jeda sebentar untuk mengenalinya, jika tadi adalah tatapan yang membuatku tenggelam maka sekarang adalah tatapan yang membuatku bertanya. Aku cukup percaya diri untuk yakin tak memiliki masalah dengan sosok itu, hingga cukup aneh jika ia menatapku sedemikian nyalang. Seolah aku baru saja membuatnya marah, atau lebih tepat seolah aku adalah orang yang paling ia benci di dunia ini.
Tunggu, bagaimana bisa seseorang dalam waktu satu menit mengubah caranya menatap kepadaku? 
Sialnya, aku tak berhenti mempertanyakan itu dan memikirkan tatapannya hingga berhari-hari kemudian.
lanjut bagian kedua
24 notes · View notes
nonaabuabu · 1 year
Text
M E M B I R U
b a g i a n k e d u a
baca sebelumnya bagian pertama
Namanya Oseano Putra, tentu saja aku mengenal pemilik mata yang menatapku nyalang hari itu. Ia memang tidak terlalu menonjol di jurusanku, tapi cukup bersinar untuk diabaikan. Aku ingat dengan baik kapan pertama kali aku menyadari sinarnya.
Dua tahun lalu, saat mata kuliah selam. Kami masih beradapatasi dengan scuba dan kawanannya, sedang ia sudah dipercaya asisten praktikum selam untuk membantu kami mengenali alat itu dengan baik. Tak butuh banyak penjelasan, asisten mata kuliah itu menjelaskan dengan singkat dan jelas bahwa Oseano sudah mendapatkan lisensi advance diver yang dikeluarkan oleh POSSI. Artinya dia sudah mengantongi lisensi menyelam deep dive, night diving, boat diving, underwater navigation dan banyak kemampuan selam lain. Ya, cukup membuat insecure segenap mahasiswa kala itu yang bahkan belum memikirkan apakah nanti akan mengambil lisensi selam atau tidak. Bahkan aku yakin jika asisten praktikum kami baru mangntongi lisensi basic diver atau yang paling jauh mungkin open water diver.
Bersamaan dengan kejadian itu merebak pula rumor bahwa Oseano adalah salah satu anak dosen di jurusan yang hingga sampai saat ini semuanya masih menebak-nebak siapa orang tuanya. Beberapa berpendapat bahwa ia putra tunggal pak Zuhari, dekan fakultas juga dosen pengampu untuk mata kuliah pengantar ilmu kelautan dan beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan biota mikro laut seperti plankton. Ada yang lebih yakin kalau dia anak bu Mirdasari kepala pusat laboratorium yang juga pengampu untuk mata kuliha yang berhubungan dengan mikrobiologi, seperti bakteri dan jamur yang seringnya jadi simbion biota laut seperti spons.
Dasar argumennya adalah cukup tidak memungkinkan di usia 19 ia sudah memiliki lisensi advance diver jika dia tidak mengenali bidang ini sejak lama. Artinya secara privilese dia sudah terjun ke bidang ini jauh sebelum banyak diantara temanku merasa salah jurusan. Sedikit yang aku tahu, advance diver sendiri dimulai legalitasnya saat kita berusia 18 tahun, tahu artinya kan? Begitu cukup usia dia sudah mengambil lisensi ini.
Kelautan, barangkali masih jurusan yang asing di telinga banyak orang. Ilmu yang aku pelajari sekarang berfokus kepada bioteknologi dan konservasi laut. Meski untuk konsentrasi bidang cukup bervariasi mulai dari akustik, energi, mitigasi, budidaya, farmakologi, penangkapan lestari dan banyak hal yang berkaitan dengan eksplorasi di keluatan.
Aku sendiri mengambil konsentrasi bidang keanekaragaman hayati, memadukan konservasi dan bioteknologi. Sekarang sedang memikirkan tema yang akan dijadikan tugas akhir, karena konon katanya bidang yang aku ambil ini menghabiskan lebih banyak anggaran dan energi. Rencananya aku ingin bergabung dengan tim penelitian dosen, untuk menghemat anggaran dan juga mempermudah aku mendapat tinjauan pustaka.
Jika masih ada yang bertanya kenapa aku memilih mengambil bidang ini untuk studi sarjanaku, aku memilih mengabaikan orang itu daripada harus meladeninya. Oh bukan karena aku pelit memberi tahu seberapa besar peluang bidang ini bisa memajukan Indonesia sebagai negara kepulauan, aku hanya tak suka dengan cara orang lain meremehkan sesuatu yang tidak sesuai standar hebat dalam diri mereka. Daripada aku harus berdebat soal pilihan hidup dan terbatasnya cara orang-orang melihat dunia, aku lebih suka undur diri dan menghemat energi yang bisa kugunakan untuk menulis artikel ilmiah.
Saat memilih untuk masuk ke jurusan ini, Nenek yang menjadi salah satu keluargaku saat itu juga mempertanyakan kenapa aku memilih ini. Padahal aku bisa saja mencoba ilmu murni seperti Fisika, Kimia, Metematika dan Biologi jika memang aku lebih menyukai eksakta. Nenek juga menyarankan untuk mengambil jurusan kesehatan saja, boleh itu Farmakologi, Keperawatan atau Kesehatan Masyarakat. Tentu saja tidak ada Kedokteran, aku tidak datang dari keluarga yang bisa membayar UKT dan uang tetek bengeknya untuk jurusan Kedokteran. Meski pada akhirnya, sekarang juga aku mendapatkan beasiswa prestasi.
Aku memilih Kelautan karena bagiku studi ini menarik dan tidak umum di kalangan orang. Meski ini alasan naif tapi inilah alasanku memilihnya, rasa percaya diri bahwa negara yang terdiri dari kurang lebih 17.500 pulau ini dan adalah wilayah perairannya lebih luas dari daratan, dalam konteks studi adalah laut, membutuhkan orang-orang yang bisa mengeksplorisasi dan memanfaatkan wilayah laut kita secara berkelanjutan. Aku melihat prospek yang lebih baik, juga mimpi yang barangkali terlalu tinggi. Karena pada akhirnya, kebijakan pemerintahan masih dalam tahap membangun sektor maritim dan kelautan di Indonesia.
“Ulya, kepikiran ngga si kalau pacar Lalita yang kamu hina-hina kemarin itu Sean?”
Ditra menarik buku yang sedang aku baca, tepatnya aku pegang dalam keadaan terbuka. Aslinya tak ada satu huruf pun yang sampai ke retinaku. “Oseano maksud kamu, keren banget sampai dipanggil Sean.” Aku menarik kembali bukuku dari Ditra dan memasukkannya ke dalam tas. Jangan heran kenapa Ditra juga tahu cerita ini, sudah kubilang ini juga salahku yang menceritakan banyak hal kepadanya.
“Semua anak-anak manggil dia Sean Ul, kamu aja yang kebanyakan di laboratorium sampai lupa hal-hal seru di dunia ini.”
“Aku juga nemanin kamu buat proposal yang nggak approve sama pak Wirahadi ya sampai begadang, dan tolong koreksi aku nggak menghina pacar Lalita, aku cuma bilang ke dia jangan bersikap bodoh soal cinta, laki-laki kan kebanyakan brengsek apalagi yang sudah kelihatan brengsek buat apa coba berkorban untuk orang begitu."
“Elah, biasanya juga kalau musim laporan sampai nggak tidur, begadang sampai jam dua masih lumayan kali Ul. Iya-iya, semua laki-laki brengsek kecuali Ditra, betul apa betul?” Ditra tertawa bangga seolah kata-katanya benar adanya.
“Ini juga harus dikoreksi, minggu lalu anak hukum kalau nggak salah nge-dm aku nanyain pacar kamu sekarang siapa, apakah aku atau siapa itu anak ekonomi yang rambutnya diwarnai?”
Ditra mencengir, dasar! Apa kubilang, kita tak perlu terlalu bodoh urusan mencintai lelaki sebegitunya, selain memang masih muda sehingga kemungkinan bermain kesana kemari banyak, coba ini itu, pilih sana sini, lebih baik kan untuk mempedulikan kewarasan diri agar tidak terjebak dalam kisah menye yang tidak mendatangkan keuntungan apapun? 
Sebentar, apa Oseano juga semenye itu, dendam karena aku menanggapi curhatan Lalita dengan argumen yang tidak menyenangka?
“Dit, emang kalau kamu jadi Oseano, kamu bakal marah?” Rasanya sedikit berlebihan jika seorang laki-laki marah hanya karena sebuah argumen yang jelas-jelas berdasar. Eh, sebentar. Apa aku baru saja mengkotakkan sifat seseorang berdasarkan gendernya?
“Ya seandainya praduga aku benar Sean itu pacar Lalita. Lagian kamu teman Lalita ni ya, masa ngga tau siapa pacarnya?”
Aku dan Lalita tidak sedekat itu hingga harus berbagi rahasia, kami berteman layaknya dua orang mahasiswa yang memiliki kegiatan yang nyaris sama. Kami mengambil banyak mata kuliah yang sama sehingga sejak dulu sering berdiskusi, kami mengikuti organisasi yang sama, namun tidak untuk keluar berdua menonton bioskop lalu posting dengan hastag sahabat selamanya di media sosial. Tidak, kami tidak sedekat itu. Aku tak pernah tahu siapa pacar-pacarnya meski beberapa kali aku mendengar keluhannya soal laki-laki.
“Kamu aja nggak tau siapa pacarnya, konon aku.”
“Tapi seharusnya pasti udah lama tersebar kalau mereka pacaran, pedekate aja langsung jadi bahan ghibah. Jarum jatuh juga kedengaran di sini.” Ditra mengambil jeda, berpikir seolah ini masalah paling rumit abad ini. “Artinya Lalita dan Sean dua masalah yang berbeda. Wuih, sejak kapan Ulya yang paling malas ribet, menciptakan masalah?” Ditra tertawa lepas.
Memang sepertinya sudah lama aku tak memikirkan kehidupan sosialku hingga seolah tak memiliki masalah soal itu, aku terlalu sibuk mengejar akademik dan bertahan dari beringasnya nasib karena tak terlahir dengan sendok emas. Lagipula aku tak pernah menciptakan huru-hara dengan siapapun, cenderung menghindar. Soal tak memiliki musuh ini aku percaya diri.
Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, samar dan sedikit tak yakin.
“Apa karena proyek bu Mirda ya?”
Aku dan Ditra saling berpandangan. Dan ya, untuk pertama kalinya aku merasa bersalah, karena aku seperti orang-orang pada umumnya, diikutsertakan atas kedekatan pribadi. Tapi sebentar, itu artinya aku mumpuni, kan makanya terpilih? 
Lalu apa alasan Sean?
lanjut bagian ketiga
14 notes · View notes