Tumgik
#toer clock
sheliach · 2 months
Video
Buenos Aires
flickr
Flickr:  Torre Monumental, Retiro. 
5 notes · View notes
aksarabu · 1 year
Text
Dia Memilih Namanya, Rabu
Menyetir di BSD sore hari di akhir pekan sebenarnya sedikit menjengkelkan. Setiap kali pulang, ada saja jalan yang ditutup karena perbaikan. Tapi aku tetap menyukai kota kecil ini. Tidak, BSD tidak lagi kecil. Kota ini bertumbuh gesit dan menjadi semakin sibuk sejak kedatanganku 1995. Sekarang menjadi kota polutif seperti Jakarta. 
Jika dulu aku mengisi bensin tiga hari sekali, sekarang aku bisa mengisi bensin penuh satu kali dalam sebulan. Mobil yang aku beli sejak 2015 lalu, sekarang kutinggal di rumah orang tuaku. Dalam 2,5 tahun sejak berkantor di Jakarta Pusat, keseharianku tidak lagi membutuhkan mobil. Jarak apartemen dengan stasiun, bahkan tidak sampai satu kilometer dan aku hanya perlu 15 menit untuk sampai kantor dengan commuterline.
Kompleks rumah tinggal Chika berjarak sekitar delapan kilometer dari rumahku. Selama delapan kilometer itu pula, ingatanku kembali ke masa belia, saat mengenakan seragam sekolah putih-biru.
Setiap jalannya adalah memori saat camping pramuka, olahraga lari di jam penjaskes, berjalan di trotoar di bawah pepohonan besar dan bergandeng tangan dengan pacar pertama, tertawa riang dengan geng remaja populer bintang sekolah. Sesekali aku memilih duduk sendiri di kursi kayu di bawah pohon angsana untuk membaca novel Pramoedya Ananta Toer dan mendengarkan lagu dengan walkman. Iya, aku sudah berkenalan dengan sastra karya Pramoedya, Umar Khayam, Mochtar Lubis, Sjumandjaya, Goenawan Mohamad, dan Pablo Neruda sejak usia 14 tahun. Sesekali membaca Kahlil Gibran dan novel percintaan remaja seperti Dealova layaknya remaja pada umumnya.
Lagu Clocks-Coldplay selesai berbarengan dengan aku selesai parkir di depan rumah perempuan yang kukenal sejak 2016. Dia berlari dengan raut sumeringah dan langsung memeluk erat begitu aku keluar dari mobil.
Chika: Snowy, Ibu kamu datang” 
Aksara: “Damn, I’m a mom of a kitten” Chika membalas dengan tawa lebar. Anak kucing itu duduk menunduk mengumpat di belakang kursi begitu melihatku. Sesekali dia memandangiku, dan aku terus menatapnya sambil mendengar cerita Chika menemukan anak kucing ini. Aku tidak langsung menghampirinya, membiarkan dia terbiasa dengan keberadaanku. 15 menit berlalu, dia yang dipanggil Snowy, kembali bermain dengan empat kucing yang ada di rumah itu. 
Aksara: Namanya Snowy karena bulunya seputih salju?”
Chika: Iya. Aku sama Bunda manggil dia Snowy. Kakak ganti aja namanya. Dia cantik banget, kan”
Snowy tiba-tiba menghampiriku yang duduk di sofa, mengendus, dan mengusapkan tubuhnya di kakiku. Aku mengusap kepalanya, memangkunya, aku bahkan bisa melihat diriku di bola matanya yang biru, sebiru langit cerah.
Jam empat sore aku pamit dari Chika, membawa anak kucing itu ke vet untuk konsultasi dokter dan grooming. Aku terpaksa menitipkan Snowy di vet karena waktu grooming sudah lewat dan dokter baru ada besok pagi. 
Keesokan hari di jam 10 pagi, aku menjemput anak kucing itu. Tubuhnya sudah bersih, lembut, dan wangi. Biru bola matanya selalu mengingatkanku dengan air laut.
Dokter: Kucingnya sehat, suhu tubuhnya normal, dan sudah observasi kan ya, selama 2 minggu sejak di rumah teman Mbak?
Aksara: Iya, dok.
Dokter: Snowy saya kasih obat cacing ya, jangan kaget kalau nanti pupnya ada cacingnya.
Aksara: Ok. Dia ras apa ya, Dok? Saya cuma tau kalau dia betina. Teman saya yang rescue Snowy bilang anak ini betina
Dokter: Snowy jantan, Mbak. Sepertinya dia Anggora, tapi ada persianya. Dia mix Anggora persia.
Aksara: Hah.. (Halah, Chika. Dia yang pelihara banyak kucing, rescue kucing, tapi gak ngenalin kalo nih, anak ternyata jantan). Usianya berapa ya, Dok?
Dokter: Sekitar 6 bulan, Mbak.
Hari-hariku hidup dengan Snowy dimulai. Entah apa yang akan terjadi dengan kami besok, lusa, dan hari-hari ke depan. Snowy tidak pernah merespons setiap kali kupanggil, melirik pun tidak, menggerakkan ekornya saat dipanggil pun tidak. Entah lah…
Dering teleponku nyaring, “Rabu? Rabu meeting jam berapa?” Snowy langsung menengok dan menghampiriku, setelah dokter selesai memasukkan obat cacing ke mulutnya. 
Aksara: Snowy, it’s ok. Good boy.
Him: Snowy? Who’s Snowy? Perempuan yang meneleponku bertanya penasaran
Aksara: My cat. 
Lagi-lagi anak kucing itu mengabaikanku saat kupanggil. Saat keluar ruang dokter, aku bergumam “Rabu kenapa ada meeting pagi, sih? Rabu kan gue kerja lebih awal” Saat itulah Rabu mengeluarkan suara mengeong halus. 
Aksara: Rabu aku ada meeting pagi
Snowy: (Mengeong…)
Aksara: Iya, Rabu
Snowy: (Mengeong dan mencium pipi Aksara)
Langkahku berhenti di anak tangga yang baru kutapaki turun. Kupandangi mata kucing ini, aku menemukan tenang, aku menemukan nyaman. Pikiranku menuju satu titik, tentang seseorang yang kupanggil Rabu. Seseorang yang tetap menjadi Rabu dalam hidupku, meski kami sudah selesai. 
Aksara: “Rabu..” Kucing dalam gendonganku kembali mengeong. Aksara masih tidak percaya dengan itu.
Aksara: “Rabu…” anak kucing ini kembali mencium pipiku. 
Aku menghela nafas panjang. Semesta memang suka bercanda. Usia Rabu 6 bulan, itu artinya dia lahir di bulan Agustus. Kucingku menengok, menggerakkan ekor, menatap, dan menciumku saat aku memanggilnya, Rabu. Dia bahkan lahir di bulan Agustus dan aku adopsi di hari Rabu.
Aksara: Ya Tuhan, kisah macam apa lagi ini? Rabu dan Agustus. Aku kini hidup bersama Rabu dengan zodiak Leo dalam wujud seekor kucing. Semesta sedang mengajakku bercanda.
Sepanjang perjalanan BSD-Pancoran, berkali-kali kusebut nama itu. Rabu.
Tumblr media
Selamat datang di rumah, Rabu. Rabu yang selalu menatapku ketika kupanggil, Rabu.
0 notes