Tumgik
axnoslabillea · 3 years
Note
hi! can i request sanzu gets tired after work and s/o likes to kiss sanzu's lip scars to make him feel better, and they just cuddle after... puleasee i saw this idea in tiktok and has been stuck in my head since then 😭😓🤞🤞
❀ KISSES FOR REPLENISHING | TOKYO REVENGERS
;; sanzu finally comes home, tired, and his s/o kisses his scars
🥛 — haruchiyo sanzu
🧾 — gender neutral, second pov (you/your), cursing, fluff, comfort, use of illegal substances - cocaine, mentions of murder (typical bonten), au - canon divergence, established relationship, imagine
✉ — because @sxlver-sweet is going to charge me for attempting murder with my angst works, have some fluff, dear readers of mine and rethink if you really want me in jail instead of posting more
Tumblr media
Bonten is in deep shit.
Like really deep shit.
There’s a rat hiding among them, skittering around their feet and feeding information to the police force. They only managed to realize that when three of their bases were attacked simultaneously, Kokonoi and Mochi were present in one of the warehouses and almost had cuffs on their hands or bullets to their skull if they hadn’t reacted fast enough.
Sanzu, because he’s clearly in charge of everything around here—since all Mikey wants to do is fight—has been working for three days straight, trying to find the rat and destroy the team that rained bullets on their bases at the same time. And because everyone is useless or found excuses to not help him because a) he pissed them off, b) he pissed them off real bad.
Bonten’s executives are a petty bunch, as you can see.
He used cocaine after the second all-nighter, realizing that coffee wasn’t doing him any good and nor was listening to documentaries boring enough that he got motivated to work with no pause.
It gave him a boost, getting him to do twice as much work as usual in an hour (even though it was messier than usual) but it was only a temporary fix. After he came down from his high, he was burned and all he wanted to do was sleep the week away.
After working for three days straight with only fifteen-minute naps in between because he dozed off without realizing, Sanzu finally finished getting rid of all possible turncoats and the taskforce that may be a problem for them in the near future.
He merely dropped the reports on Mikey’s desk instead of his usual giddy explanation that goes into so much detail that it takes them hours to finish. Manjirou didn’t seem to mind, only staring blankly at the ceiling as if that was a whole lot more interesting than the fact that Bonten was almost ruined. Sanzu knew that he was thinking of Touman and Takemichi.
He didn’t have it in him to ruin Mikey’s train of thought and just decides to hitch a ride from Akashi, too tired to drive home on his own and too prideful to ride a public transport. The other executive merely grunted and let Sanzu plop in his car. He didn’t exactly have a choice since Sanzu would have found a way to break his car if he didn’t let Sanzu in.
After what seemed like hours, he finally found himself swinging the front door open at two in the morning, tiredness weighing in his bones, fog clouding his eyes, but his mind was on you.
He had stupidly expected a greeting from you only for it to click that it was way past midnight now, closer to the wee hours of the day instead.
Sanzu pouts, dropping his coat and throwing away his shoes blindly before he enters your shared room. You were fast asleep on the bed, bundled under the blanket and curled inwards to yourself. The night lamp was open, the only light in the whole apartment.
He can only shake his head with a small silly smile. You were probably tired as well. From your own work and worrying over him not coming home.
He couldn’t even bother to change, only slipping off his shirt before crawling his way to bed with you. Sanzu lets out a sigh of relief as the tension eases from his shoulders when he wraps his arms around your waist, pressing his face on your hair.
You startle awake at the sudden movement.
“Sorry,” Sanzu murmurs apologetically but you only hum, fidgeting and turning around to face him. Your eyes were half-lidded, sleep clear in your face as you drowsily stare at him as if searching for an answer to a question only you know.
He blinks tiredly when you hold onto his arm, leaning forward to press a kiss on his scar. One then two, on both corners of his lips, on the very center of his scars.
Sanzu wasn’t sure if you were aiming for his mouth and only missed (twice) or if you weren’t actually lucid. All he knows is that he loves you and these little actions you were doing was making his heart flutter so much that it’s almost sickening. Almost. Sanzu actually wants more.
Still, he smiles, indulging as you kiss his scars even more. He softly bumps his nose against yours, pulling you impossibly closer as you let out a little whine at the abrupt pulling.
Sanzu hadn’t slept for three days straight but he feels reenergized immediately just by your little kisses and adorable actions.
1K notes · View notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Selembar kisah di Jakarta.
Shinsuke agaknya memiliki tabiat baru dalam mengisi waktu luangnya, duduk mendengarkan denyut polusi dari jentara yang ada di depanya— yang saling beradu-adu suara klakson, yang riuh-ricuh ingin segera tebas kemacetan, yang jendela-jendela mobilnya terbuka dengan acungan jari tengah untuk sesama para pengendara, dengan musik kroncong yang bergema pada pertunjukan jalanan untuk meminta-minta. Shinsuke resapi itu semua dengan khidmat. Rasanya mengenal ibu kota terlalu berbeda dengan ibu-ibu yang lainya. Ibu kota tidak berrahim, anaknya haram semua, isinya hanya melingkup padat, sesak dan tidak bebas. Ibu kota memang semenyebalkan itu. Namun Shinsuke suka, suka sekali duduk-duduk di halte tua yang sudah tak terjamah lagi. Para penunggu angkutan umum itu lebih senang tegak berdiri di pengujung trotoar sambil kepalanya disirami terik hingga berbau matahari.
Shinsuke tidak ingin kemana-mana, hanya duduk diam saja dan menegasi seluruh ajakan supir bus yang beroprasi. Dengan pandangan yang lurus kedepan, Shinsuke berfikir Ibu Kota sudah memberinya banyak pengetahuan. Lebih dari sekedar kemacetan, lebih dari sekedar pencopetan, lebih dari sekedar kecelakaan. Jakarta memberi banyak pengalaman, dan dia suka. Suka sekali.
Tepat saat jam lima sore. Ketika matahari sudah meredup sebab habis batrainya, pun perlahan pamit mengundurkan diri sambil tinggali gurat-gurat warna ungu dan marah jambu di bawa kaki gemawan yang membiru. Suara dentingan sendok yang beradu dengan botolan kaca itu menyambangi rungu. Membuat Shinsuke refleks menoleh setengah mengadah.
"Halo kak! Ingat aku kan?" pemuda dengan warna rambut kuning setengah pudar itu memamerkan senyuman cerah, seraya mengistirahatkan gerobak coklat tua dengan tulisan "Siomay Bandung Akang Cumu" itu di samping halte. Berkeliling kota dari subuh hari hingga petang memang bukan hal yang mudah, terlebih tanggungjawabnya sebagai anak paling tua dan diamanahi untuk melanjutkan dagangan bapak serta memberi nafkah ibu dan adiknya memang berat. Namun mau bagaimana lagi? Ini semua menjadi keharusan harus dipikul sekuat tenaga.
"Kak shin, aku Atsumu! Inget kan? Inget dongg" pemuda itu mendaratkan bokong di samping Shinsuke sambil mengelap keringat yang mengucur di pelipis dengan selembar handuk usang. "Inget kok, suara kamu paling merdu di tengah bising kota soalnya" ada cekikikan di akhir kalimat yang Shinsuke lontarkan. Sederhana memang, namun Atsumu sampai stagnan ditempat dengan semburat merah di pipi yang berwarna coklat karamel itu samar terlihat.
"Ah kaka, bisa aja. Aku ga mau deket-deket bau asem nih abis jualan" Shinsuke mengangguk saja sambil menaruh tanganya diatas paha.
"Jualan kamu habis? Kalau ada sisa nanti aku beli ya. Bunda bilang siomay kamu enak banget rasanya."
"Masih ada kak! Sisa dua porsi kayanya. Heheheh, itu kan resep dari bapak yang udah dikasih turun-temurun dari ngkong" Cengiran berkroma serupa permata itu memang tidak pernah muram, Atsumu selalu menjadi anak yang ramah pada siapapun. Dia tipe yang gamblang dan mudah berbaur bahkan pada rentanan usia berapapun. Kadang-kadang Shinsuke mendengar Atsumu berbincang ringan dengan bapak-bapak sesama pedangang atau obrolan riang dengan anak SD yang dititip ibunya sebab ingin ketoilet kala itu.
Agaknya apapun yang Atsumu celotehkan menjadi lembar perwarna sendiri bagi indahnya Jakarta. Entah karena fonetiknya menyoal itu, atau karena presensinya yang selalu taemani Shinsuke dikala langit tak lagi ditembusi angin panas.
"Okei." jeda dari bilah bibirnya tak seberapa sebelum melanjutkan pembukaan topik berikutnya. "Tsumu, bisakah kamu gambarkan suasana didepan kita kali ini?"
Atsumu menunduk dan tersenyum, menghela sebentar lalu menopang tubuhnya dengan sebelah tangan. "Sedikit mendung terus jalanan juga mulai lenggang. di sebrang ada banyak anak kecil yang lagi mengerumuni tukang mainan. Di sebelahnya ada ibu-ibu penggosip, um ya, aku ga tau mereka omongin apa sih, tapi kayanya lagi bahas pembangunan rumah susun disekitar sini deh." Atsumu berhenti memaparkan kejadian di hadapanya. Beralih menangkap roman Shinsuke yang fokus kedepan dengan dua netra yang berkedip sesekali.
"Tsumu,"
"Iya?"
"Kamu pakai baju warna apa hari ini?" Shinsuke memalingkan wajahnya berhadap pada Atsumu, meski tidak sempurna sejajar.
"Biru, kak. Hari ini aku pakai baju biru" lalu dijawabi anggukan duakali dari Shinsuke. "Aku nggak tau biru itu kaya apa, tapi kayanya cocok buat kamu" kurva ditarik hingga mata menyipit itu mampu membuat detik-detik mati. Atsumu kembali di buat terpesona, kembali dibuat merekah, kembali dibuat jatuh cinta. Maka setiap percakapan ringan ditemani laju mobil dan motor yang jarang-jarang itu membuat Atsumu memiliki keinginan baru, ada yang masuk pada daftar orang yang harus dia bahagiakan lagi. Atsumu juga tidak keberatan jikalau dia harus menjadi mata bagi Shinsuke, demi pemuda itu bisa melihat agungnya kota Jakarta yang telah mempertemukan mereka.
1 note · View note
axnoslabillea · 3 years
Text
𝐅𝐑𝐀𝐊𝐓𝐔𝐑 𝐒𝐄𝐌𝐄𝐒𝐓𝐀:
𝐡𝐚𝐤𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐭𝐢 𝟏𝟎.𝟏𝟎
Acapkali ada yang singgah, pelatuk itu ditarik hingga mengadah lalu melecut menembaki norma-norma masyarakat yang kelewat jingga. Menikmati kekacauan negara sambil tertawa agaknya menjadi tabiat pemerintah yang hilir terulang, hingga yang kecil dibuat muak tapi suara-suara rengekanya dibisukan. Selaras dengan semesta yang mulai menampakan kuasanya; ombak disamudra pelan-pelan merangkak menaiki darat, beberapa tanah yang lelah memilih mengundurkan diri, hijau daun yang mati terbakar panasnya globalisasi.
Hari ke hari ratusan jiwa disudahi masa berdosanya. Seolah diberikan bonus istirahat sebelum waktu kebangkitan menyambangi lalu kemudian menarik jiwa-jiwa mati itu untuk berdiri lagi. Hari ke hari suasana semakin terasa sembilu, udara dicemari nestapa iri, benci dan kemunafikan yang sengaja dibebaskan dari terungku. Hari ke hari bumi semakin mati. Hari ke hari hati hanya memiliki satu koneksi pada emosi. Hari ke hari sampai semua lupa pada hakikatnya sendiri maka tuhan cukup akhiri siklus kehidupan sampai disini.
0 notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Atsukita
Malam turun tanpa isyarat apapun. Kosongnya menghisap semua cahaya surya yang kokoh berdiri dipangkal langit. Sampai garis cakrawala patah, dan hilang dimakan laut— sialnya dia tidak pernah basah kecuali ketika hujan dengan kuatnya melucut tergelincir dari selembar biru di atas. Seperti saat ini, Basahi seluruh permukaan kota tampa ada yang tersisa.
Beberapa menit yang lalu tepatnya pukul delapan lewat seperempat. Pintu rumah Shinsuke di ketuk beberapa kali. Awalnya nenek agak khawatir perihal siapa gerangan yang bertamu dikala malam tepat saat hujan datang. Namun ketika pintu di buka perlahan, Shinsuke dan neneknya mendapatkan jawaban. Di sana berdiri seorang pemuda dengan baju yang habis basah serta satu kantung plastik berisi makanan di tangan kirinya. Sambil menyengir bodoh ia berucap "maaf ganggu malem-malem kak, nek. Boleh izin berteduh?"
Maka setelah itu Atsumu di giring menuju kamar Shinsuke berlandaskan titah nenek. Sesampainya di ambang pintu, Atsumu dibuat stagnan beberapa saat ketika memasuki kamar yang sepenuhnya berbanding terbalik dengan miliknya. Shinsuke memiliki ruangan pribadi yang begitu rapih, di dominasi warna putih dan coklat kayu. Aroma vanilla yang menyerbak memasuki hidung begitu terasa manis, serta buku-buku yang terjajar rapih memiliki nilai plus dalam penggambaran pribadinya.
Melihat Atsumu yang termenung seperti itu membuat Shinsuke menyengit heran. "Atsumu, kamu kekamar mandi aja dulu. Nanti aku siapin bajunya" ujarnya sambil menunjuk kamar mandi di sebalah kiri. Maka Atsumu yang gelagapan hanya mengangguk saja sambil melangkahkan tungkainya kaku.
"Ada-ada aja. Lagian dia ngapain sih dateng pas ujan-ujan begini? Kalau demam kan repot." Shinsuke mengoceh kesal sendiri terkait tamu tak diundangnya. Sambil Dia memilah-milih beberapa baju yang ukuranya agak besar, supaya muat di pakai Atsumu nantinya. Namun yang ditemukan hanya sepotong kaus jadul dan boxer motif ikan hiu.
"Kak shin! Psssttt Kak Shinsukee!" Atsumu menyembulkan kepala dibalik pintu, wajahnya memerah. Padahal belum ada tiga menit dia di dalam sana. "Kak kesini dong..."
Shinsuke menghela napasnya, lalu dengan terpaksa menghampiri pemuda itu. "Kenapa?" Tanyanya. "Ada kecoa!" cicit Atsumu pelan
"Hah? Yang bener aja. Coba mana?" dengan wajah yang mengkerut Shinsuke memasuki kamar mandi sambil celingak-celinguk. Sementara Atsumu tersenyum kecil sambil menutup pintu dan bersandar diantaranya.
"Dimana?" selagi Shinsuke meneliti sudut kamar mandinya Atsumu yang sudah telanjang dada itu terkekeh kecil, memandangi Shinsuke yang terlihat lucu dengan pijama corak beruang. "Coba madep sini kak."
Saat Shinsuke membalikan tubuh sontak netranya membulat sempurna, ada panas gugup yang menjalar ditelinga hingga memerah seketika. Atsumu menarik cengirannya lebih lebar lagi sambil menunjukan apa yang ada di genggamannya. "Aku kira kaka anak yang polos. Taunya, punya vibrator kualitas bagus begini." Atsumu terkekeh pelan sementara Shinsuke stagnan dengan wajah yang sepenuhnya memerah.
"Kaka sering main kah? Bayangin siapa? Aku, suna Atau Osamu? Umm... Atau malah kak Ushijima?" Atsumu mengikis jarak diantaranya. Mendakati Shinsuke sampai terpojok.
"Diam." bagai kucing yang terjepit. Ditengah kepanikannya Shinsuke dengan segala sumpah serapahnya mengutuk Vibrator warna hitam miliknya yang lupa di simpan rapat-rapat. Dengan sebelah tangannya. Atsumu merangkul pinggang ramping Shinsuke, kemudian mengangkatnya untuk di dudukan pada pinggiran wastafel, dengan begitu mudah. Spontan Shinsuke menarik napas terkejut.
"Kuno." ucap Atsumu dengan wajah yang datar sambil tatapi paras agung milik Shinsuke. Pemuda yang dibuat bingung itu. "Maksu—" belum selesai kata meluncur, Atsumu sudah terlebih dahulu menyambar pada titik yang mengganggu fokusnya, menyita segala atensinya; bilah bibir yang memiliki kroma merah alami
"Kalau mau tinggal panggil aku, ga usah pake alat brengsek begini." bibir Shinsuke di kecup lagi beberapakali. Manis, manis sekali. Hingga kecup ringan itu berubah menjadi lumatan yang cukup membuat keduanya kewalahan. Lidah-lidahnya beradu dengan liur yang meluncur basahi permukaan dagu.
Pelan-pelan telapak tangannya yang besar itu menyusup memasuki daksa Shinsuke yang panas. Mengusap sensual di dada yang kecil menggemaskan atau menyelinap jatuh dari punggung ke bilah bokongnya."At-atsumu berhenti—"
Shinsuke bersuara tepat ketika tautan mereka terlepas. Napas-napas menburu saling berpacu dengan detak jantung. Shinsuke nyaris gila. Terlebih ketika Atsumu menarik celananya hingga nyangkut dipangkal lutut. "Gimana kalau main sama aku kak?" Shinsuke membuang muka tak ingin menjawab.
"Kak shin..." Atsumu sengaja membuat suaranya mendayu, serak dan dalam. Berbisik di pangkal telinga lawanya sambil sesekali mengecup leher jenjang Shinsuke. "Kak.." maka setelahnya Atsumu tancapkan gigitan disana, menghisapnya kuat-kuat sampai Shinsuke memejam dan spontan mengeram. "Akhh!"
Ciumannya tak berhenti sampai di sana, jejak-jejak merah-biru sengaja Atsumu tinggalkan agar menjadi pertanda bahwa Shinsuke sejarang sepenuhnya miliknya. Dikecup sampai habis tak tersisa. Terlebih dipangkal paha dan dada.
0 notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Rindu
Terjaga pada televisi mati, dan gelap yang berhambur terlalu palsu, seolah pekat itu mengelim juga teatrikal digaris mika-mika tipis. Entah itu layar, entah itu kedua bola matamu yang ramai. Aku tidak bisa renyap, sebab rodan daksa berkaca dengan bedak-bedak yang keruh, setengah remang, setengah redup, membias di sana replika rindu yang awam sekal berkaru, berseteru dengan wajah puisiku. "Inikah yang dinamakan Rindu?" sesekali kata-kata di setiap baris sajak rapuh ini ingin kukonversi menjadi nafas di tenggorokanmu, agar senantiasa aku berkuasa menghapusnya, menyendatnya, merengsek beberapa serdak dan membuat pertikaian diantaranya. Lantas kau megap-megap memohon udara, yang kepadanya nama kita berenang-berenang lancang.
ingin sekali-kali aku menyaksikan kematianmu berulangkali dalam detik yang tunggal. Setunggal kehampaan ini.
0 notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Mati
Maka ketika petang menyeret matahari agar pulang, tanpa disadari banyak jiwa-jiwa yang dingin karena kematian, ikut membuntutinya di belakang. Tepat di samping rumah ada kibar bendera kuning yang menyala terang pedihkan mata, menempel dengan erat di sisi pagar seolah serap semua bahagia.
Aku mengintip dibalik daksa bunda, sebab takut pada bising tangis yang menggema. Bahkan beberapa diantaranya berteriak, memaki, mengaung tak terima atas takdir sialan yang menimpa. Mataku memanas saat mendapati paman yang berdiri dengan pundak bergetar dipojok ruangan. Beberapa kali ia berteriak dengan geram, bermonolong tak jelas sambil tabrakan tinju pada dinding yang kaku. Namun, dinding itu malah ketakutan dan bergetar saat tinju dari dua tangan yang lembek tak henti mencari pelampiasan.
Doa-doa semakin riang. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam nada-nada yang dipanjatkan terpecah pada beberapa bagian, namun semua berfokus pada satu raga yang terbungkus kain kafan. ketika doa-doa itu semakin hebat dan maknanya menghujami isi bumi. Tubuh yang sedari tadi murka kini mulai kehabisan bahan bakar. Daksanya merosot seiring dengan air mata yang mulai pecah dipelupuk. merintis miris, terisak sesak, dan kepalan tangannya yang sadari tadi buas ikut menjinak.
Aku tidak pernah melihat paman sekacau itu. Aku jadi ingat pada penggalan cerita yang pernah bunda ceritakan, kisah percintaan paman dan bibi, awalnya aku bingung kenapa bunda bisa tahu sedetail itu, ternyata bunda turut ambil peran dalam kisah mereka.
Maka setelahnya paman dibantu berdiri oleh dua orang yang berempati, di dekatkan ada sang istri. Tatapan matanya kosong tersirat banyak luka serta romannya dibingkai nestapa. Aku melihatnya, paman mengalami dua hal yang menyakitkan. Kehilangan separuh hatinya dan juga dirinya.
0 notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
I wonder if you know how they live in Tokyo
18K notes · View notes
axnoslabillea · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Do Not Under Any Circumstances Drink From These Teacups
65K notes · View notes
axnoslabillea · 3 years
Text
Sweet Night x Levihan
An analysis of the parallels between BTS' V song "Sweet Night" and Levihan. I highly recommend you to listen to the song as you read, you can find it on Spotify and on YouTube!
"On my pillow
Can't get me tired
Sharing my fragile truth
That I still hope the door is open"
The whole premise of Sweet Night is that you only realized you loved someone when you already lost your chance, when you "reached the shore." Because of that, the lovers are compared to "ships in the night." They're sailing together, when the waves are the harshest and when the ocean is at its calmest. Still, that love is not realized until the travel is done. Until they've reached the shore, and realized that, inside their heart, there's a fragile truth, which can only be shared in between the softess of their pillow. This creates a parallel to levihan's possible night meetings (Levi recognizes their knock), and how, in these times, their feelings are shared in its deepest form. They don't say "i love you", no, because remember, they're still sailing. But it's at night, in those spaces between whispers and late night conversations, that they're able to share their fragile truth, even if not explicitly.
Tumblr media
"Cause the window
Opened one time with you and me
Now my forever's falling down
Wondering if you'd want me now"
They only realized that their love was mutual when it was too late. They could never do anything about it because of fear and because of their responsibilities, and it was only in Hanji's last moments that they finally realized it, and it was already too late. "Now my forever is falling down", because the wish to live together in the forest cannot become true. There is no more time for hopes and dreams. "Cause the window opened one time with you and me", because one day, they were suddenly introduced to each other's lives. "Wondering if you'd want me now", is asked by Hanji through "Just let me go, will you?" because they're asking if he wants them to stay, if he can ask them not to go, if he can be selfish, even though they both know he can't. Nobody can.
Tumblr media
"How could I know
One day I'd wake up feeling more
But I had already reached the shore
Guess we were ships in the night
Night, night"
Their meeting was pure destiny. It was fate, because they're each other's compass. "How could I know, one day I'd wake up feeling more", because they fell in love so naturally, that they didn't even see it happening. Before Hanji, Levi never thought he'd meet someone like them. And before Levi, Hanji never thought they'd meet someone like him. "But I had already reached the shore", because the fears and the responsibilities held them back from ever asking if the other felt the same. It was too late when they knew. "Guess we were ships in the night" because in the end, their love was always hidden beneath the darkness of the night. Because they sailed together, untill the end.
Tumblr media
"We were ships in the night, night, night
I'm wondering
Are you my best friend
Feel's like a river's rushing through my mind
I wanna ask you
If this is all just in my head
My heart is pounding tonight
I wonder"
They're best friends. Hanji knows Levi's life story, and has seen him at his worst, and is always there when he needs comfort. When Hanji doubts themselves, when they feel like they're not good enough, Levi's there to remind them that they are. Their love for each other feels like "a river rushing through their minds", because it was realized all of a sudden. "I wanna ask you if this is all just in my head", means that they want to ask each other "do you feel this way too?" "My heart is pounding tonight", in the nights where they met in each other's rooms and talked for hours on end. In those nights, there wasn't a moment of silence. Because even when Hanji stops rambling and takes a breath, or when Levi stops complaining about their smell, the sound of their hearts is still pounding in their ears.
Tumblr media
"If you
Are too good to be true
And would it be alright if I
Pulled you closer
How could I know
One day I'd wake up feeling more
But I had already reached the shore
Guess we were ships in the night
Night, night"
"I wonder if you are too good to be true", because they're incomparable to each other. Nobody answers to Levi's poop jokes like Hanji does, and nobody offers their ear to Hanji like Levi does. "And would it be alright if I pulled you closer?" brings us back to "Do you feel this way too?"
Tumblr media
"We were ships in the night
Night, night."
Because they went through the waves together, and sailed the ocean hand in hand. Because their feelings were hidden under the dark blanket of the night, and each star is a promise they had to leave behind.
Tumblr media
75 notes · View notes
axnoslabillea · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
24, feels like I became a grown-up faster than everyone else ☾ do not repost without crediting. reblog if used.
557 notes · View notes
axnoslabillea · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
— 𝒋𝒐𝒐𝒏 𝒎𝒆𝒔𝒔𝒚 𝒊𝒄𝒐𝒏𝒔
⤷ don’t repost \ não reposte
like or reblog if you save \ de like ou reblog se salvar
2K notes · View notes
axnoslabillea · 5 years
Text
Tumblr media
The half devil is enchanting
Sebenarnya Peach tidak terlalu peduli dengan Taehyung yang kerap kali mengganggunya. Menyelinap masuk dari jendela yang terbuka, mengintip disela-sela dinding yang retak atau membuat suara-suara menyeramkan dibawah ranjang. Agak menakutkan sih, namun ia tidak pernah mengindahkannya. Kata mama kalau dia lelah pasti akan berhenti sendiri kok. Lagipula buat apa Peach takut? Sedangkan dia sendiri adalah putri dari Hades si penguasa dunia bawah.
Angin kembali berhembus kencang, membuat jendela yang tidak dikunci itu terdorong kencang, menerbangkan gorden dan sedikit siulan janggal mulai terdengar. Peach menghela. Merotasikan mata jengah. "Mau apa lagi sih Kim?" ayolah memangnya Peach tidak tau bahwa angin yang berhembus itu adalah si sialan Kim Taehyung.
Peach yakin kalau Taehyung menampakan wujud aslinya saat datang ke diskotik, club atau tempat pemuasan yang lainnya, dipastikan semua pengunjung akan lari ketakutan sampai mengompol di celana atau bahkan pingsan di tempat. Bagaimana tidak? Tubuhnya tinggi menjulang—hampir menghantam langit kamar, sayapnya yang membentang mampu melingkupi seisi ruangan, taring dan tanduk tidak lepas menjadi poin plus menyeramkan nya.
"Aku mau minta jatah" si iblis sialan anak Azazel dan Lilith itu bersuara dengan taring yang mengatup-katup dan air liur yang menetes kelantai. Peach merinding sesaat dia menutup buku yang semulanya tengah di baca. "Ubah dulu wujudmu, sial. Itu menjijikan" di sertai decakan kesal.
Detik berikutnya Taehyung berubah menjadi pemuda yang luar biasa tampan. Posri wajah dan tubuhnya sempurna. "Malam itu aku mau minta jatah oke, minggu lalu aku belum dapat loh" mengerling centil sambil tersenyum miring. Astaga, pintar sekali anak ini menggoda, tidak usah heran ibu nya saja penggoda.
"Padahal setiap hari kau sudah dipuaskan oleh jalang-jalang murahan itu. Ngomong-ngomong berapa poin yang kau hasilkan, 1000, 10.000?" Peach menatap Taehyung yang sudah duduk dihadapannya.
"Akukan belum puas kalau belum menyentuh kau. Lagipula paman Hades tidak keberatan kalau putri cantiknya disentuh oleh iblis tampan seperti ku ini." terkekeh sesaat sembari mencondongkan tubuh mendekat. "Lagipula poin itu tidak penting, yang aku mau hanya kau Peach" bisikan yang membuat Peach meremang, hasratnya memuncak. Sial iblis penggoda memang selalu menang pada akhirnya.
1 note · View note