Tumgik
#Makna puasa (shaum) .....
sm1618 · 2 months
Video
youtube
Kisah mualaf | Dokter mualaf kagum Cara umat Islam Berpuasa. #kisahislam...
0 notes
yasmijn · 1 year
Text
3. Describe the spiritual benefits of fasting and how they affect your daily life
Sejujurnya ya selama 20+ tahun menjalani Ramadan, aku baru bener-bener bertanya kenapa kita harus puasa (selain bahwa ya, itu diperintahkan Allah swt dalam Al-Quran), kira-kira 4 tahun lalu. Thanks to Google, I stumbled upon some videos and articles dan ada satu kalimat yang membekas banget bagiku, bahwa ya tujuan kita berpuasa selama bulan Ramadan adalah untuk mendapatkan heightened awareness of Allah. 
Tadi nyari dulu di Youtube dan nemu video ini: 
youtube
Bagus deh ybs membahas bedanya makna shaum dan shiyam di QS Al-Baqarah 2:183. Penggunaan kata shiyam - turunan jamak dari kata shaum - itu maksudnya adalah kita tidak hanya diperintahkan untuk berpuasa tapi juga untuk melakukan lebih dari yang diminta dan berpikir mengenai puasamu. Perbedaannya, ya kalau shaum itu tidak makan, minum, menahan diri dari hawa nafsu, sedangkan shiyam adalah untuk melakukan semua itu sambil berkontemplasi, sambil berpikir. 
Dan itulah bagaimana kita bisa mencapai ketaqwaan yang lebih tinggi.
Tumblr media
Semakin dewasa, aku ingin semakin lebih menghargai Islam sebagai sebuah agama dengan pandangan yang lebih kritis. Kritis, meaning to go beyond and do my own research, and to accept it because I truly believe in its teachings. Kalau selama ini ya baca buku agama dan dengerin aja orang tua dan guru ngaji bilang bahwa gaboleh ini, gaboleh itu, maka sejak beberapa tahun lalu aku mulai banyak googling dengan keyword macam ‘what is the meaning of ramadan?’ ‘what is the meaning of eid al adha?’ ‘why do we fast?’ ‘why do we pray?’ ‘is it mandatory to wear hijab?’ dan lain sebagainya. Dan jawaban-jawaban yang kutemukan sih semuanya memuaskan dan membuatku makin appreciate Islam. 
Suka banget sama konten-konten Youtube dari para ustaz/ustaza dari Barat yang menjelaskan ajaran Islam secara logis, yang berangkat dari why. Wajar banget bagi manusia untuk mempertanyakan, dan pertanyaan itu ya harus dijawab dengan sebaik-baiknya. Because it needs to make sense. 
Kalo ditanya apa manfaat spiritual dari berpuasa untuk kehidupanku sehari-hari, ya... lebih ke meningkatkan ketaqwaan aja, jadi lebih mindful dalam berkata dan bersikap, dan juga tentunya untuk selalu bersyukur karena alhamdulillah sudah diberikan nikmat Allah untuk terlahir sebagai seorang muslim dan tumbuh di keluarga yang religius tapi tidak keras, dan juga di lingkungan yang insyaAllah mendukung untuk selalu menjadi manusia yang lebih baik :) 
18 notes · View notes
1sandimulyadi · 1 year
Text
KITAB MUKHTASAR
Makna Islam
1. Dua kalimat Syahadat
2. Sholat dan Zakat, selalu bergandengan
- al Baqarah 124
- Al Baqarah ayat 1-5
1. Ayat tidak ada keraguan dan
Hukum dan sanksi orang yang melanggar sholat
1. Dinafikan dirinya (tertolak, di sandingkan dengan iblis) qs. Maryam 59
MUKHTASAR, penulis saat menjelaskan ayat ini, tobat iman dan beramal Sholeh, " seandainya orang yang mengabaikan sholat disebut orang mukmin tak mungkin bertobat maka tidak beriman" seandainya Merka tobat sholat dan menunaikan zakat maka mereka itu saudara
" bahwa mereka yang tidaj sholat dan Zakat bukan orang mukmin
" hadits"
" perjanjian kami dengan mereka sholat, maka kalo tidak sholat kufur"
Para sahabat tidak melihat amal apapun yang ditinggalkan akan menjadi kufur, pemahaman sahabat adalah dalil "
Wajib nya membunuh orang yang meninggalkan shalat
At Taubah ayat 5, dalam hadits disebutkan " aku diperintahkan manusia bersyahadat lalu melaksanakan shalat dan menunaikan zakat
Meninggalkan shalat karena bukan menentang, tapi malas, menganggap enteng " para ulama ikhtilaf"
?. Apakah mereka dibunuh karena kufur atau karena had(hukuman),
imam abu Hanifah dan muridnya " orang yang meninggalkan shalat karena malas maka tidak kufur tapi tidak dibunuh, dia dihukum sampai dia sholat".
Selama dia masih tetap muslim, tapi terancam neraka,
Jumhur ulama " ada sanksinya jiga tidak sholat
3. Menunaikan zakat
Zakat: mengeluarkan harta dengan jumlah tertentu karena terpenuhi 2 syarat
A. ( nishob)
B. Tersimpan 1 tahun ( wajib 2,5
Di wajibkan sebelum perang badar
Bila dia menolak zakat, dia kafir berdasarkan ijma Qur'an dan hadits, " seandainya mereka tidak menunaikan zakat, mengakui wajib zakat, mereka memiliki kelompok, maka perangi oleh iman.
Rosul " aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai syahadat dan sholat serta puasa, kecuali dengan haqnya, dan hisabnya tergantung Allah"
Tapi kalo menolak nya individu maka diambil harta zakat itu secara paksa minimal kadar jumlah harta zakat.
?. Apakah orang ini kufur atau tidaj
1. Kufur " imam Ahmad
2. Imam Malik dan Syafi'i dianggap muslim yang dosa besar
? Apakah harta diambil sebagai zakat, apakah diambil sejumlah yang di zakat 2,5% atau lebih lagi?...
Siapa yang menolak memberikan zakat kami akan ambil harta zakat itu dan ambil 1/2 hartanya. Tidak halal sedikit pun oleh keluarga nabi Muhammad Saw.
Meyakini
Di shahihkan oleh Al Hakim, " ambil 2,5 dan ½ hartanya
Imam Syafi'i " mengomentari pendapat ini " Pendapat ini tidak ditetapkan oleh ilmu oleh hadits, seandainya jika berpendapat dengan dalil kami akan mengambil hadits ini, hidup 2H, lahir. Akhir abad 2h, wal hasil hukum zakat Wajib, sebagai mana sholat, kalo tidak meyakini nya itu berarti kufur
4. Shaum
Makna : imsaq (menahan) berbicara, makan, minum syahwat,
Syar'i: menahan dengan makna yang khusus dengan menahan tertentu dengan syarat tertentu, waktu tertentu "
Jam bisa berbeda beda, dari fajar s.d matahari tergenggam. Wajib menjauhi maksiat, shaum nya tidak batal tapi pahalanya rusak(tidak nampak), tapi dia telah menuaikan ibadah shaum
" banyak orang yang shaum, tapi yang didapat hanya lapar dan haus, kalo bermaksiat"
Rosul " siapa orang yang shaum, tidak dibarengi dengan perkataan dan ucapan yang buruk Allah tidak butuh, kalo selama shaum nya bermaksiat "
Filosofi " mengharamkan sesuatu sementara waktu saja, saat buka halal lagi, tapi dari subuh s.d magrib haram. Apalagi kalo yang haram , selama shaum berdusta, mendzolimi, . Ketika shaum melakukan hal hal yang haram makan berdosa.
? Kapan dilaksanakan
2H sebelum perang badar, lebih awal,
Islam didirikan 5hal
1. Syahadat
2. Sholat
3. Zakat
4. Puasa
? Orang shaum meninggalkan sholat?
" tidak ada ikhtilaf tentang kufur nya orang, kafirnya orang, (biar sehat, biar ga gendut) ternyata untuk shaum untuk kesehatan dirinya) dia kufur, karena mengingkari wajib shaum. Dia kufur walaupun mengingkari amalannya ini.
? Ulama ikhtilaf dengan orang yang meyakini shaum, karena ga kuat karena syahwat dan makanan
" yang tidak tahan menahan syahwat, terhadap makanan dan minuman, itu pengendalian terhadap syahwat, meyakini shaum tapi meninggalkan shaum karena syahwat
* jumhur ulama " dia tetap muslim,
? Bagaimana taubatnya meninggalkan shalat dan shaum
Secara sengaja " tidak ada Qada, kecuali ada udzhur( safar, tidur,sakit). Kalo sengaja ditinggalkan tidak ada qada
Karena hawa nafsu dia harus taubatnya
Taubatnya Nasuha
* berhenti melakukan
* menyesal
* saya tidak akan melewati
* lakukan sebelum sakaratul maut
* segera kerjakan sebelum kiamat
* ibadah taubatnya karena Allah
Kalo berhubungan dengan orang, kalo pernah mendzolimi ngaku salah dan minta maaf, kalo pernah mengambil barang-barang orang harus diganti
5. Haji
Ada syarat
" Allah memiliki haq, apabila mampu dari segi finansial, kesehatan, diperjalanan,) ini urusan dunia tidak disebutkan bid'ah " kalian lebih tahu tentang urusan dunia, kalo agama ikuti Qur'an dan Sunnah."
Mampu dari berbagai segi maka wajib haji.
? Kalo cinta dunia, hukum mampu haji tapi tidak haji
" sama mengingkari sholat shaum, zakat. Muslim yang berdosa besar".
PERTANYAAN
1 note · View note
blogalloh · 1 year
Text
Ya Alloh Engkau “Maha Membentuk Rupa” Dan Aku Hanya Hamba Yang Kau Indahkan #Dakwah #Islam
Tumblr media
Nama Allah Al-Mushawwir Beribadah dengan Nama Allah Al-Mushawwwir pada Bulan Ramadhan Nama Allah Al-Mushawwir disebutkan 1 kali dalam al-Qur’an diantaranya dalam Surat Al-Hasyr:24: هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى … Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna Ya Alloh Engkau “Maha Membentuk Rupa” Dan Aku Hanya Hamba Yang Kau Indahkan Makna Al-Mushawwir adalah yang melaksanakan apa yang dia inginkan pengadaannya sesuai dengan sifat yang dia inginkan1.Dan sifat tersebut berupa tinggi  pendek, besar kecil, laki perempuan, dan rupa yang khas. Perbedaan antara Al-Khaliq, Al-Bari’, dan Al-Mushawwir bahwasanya Al-Khaliq yang umum, yang menunjukan pada semua makhluk, menentukan takarannya dan mengadakannya, dan terkadang Al-Bâri’ dan Al-Mushawwir memiliki makna Al-Khaliq. Sedangkan Al-Bâri’ umum pada setiap yang ada, dia yang mengadakan dari sebelumnya tidak ada tanpa menetukan ukurannya, dan mengadakannya setelah ditentukan ukurannya. Sedangkan Al-Mushawwir khusus pada penciptaan bentuk atau gambar.2 Sehingga kita lihat dari bentuk yang beraneka ragam yang kita lihat di dunia ini bahkan ada yang belum pernah kita lihat sama sekali dan ada yang baru dilihat, dan satu jenis hewan saja memiliki triliunan bentuk dan rupa yang beragam. Pengaruh dari nama ini bahwa Allah satu-satunya yang dituju di dalam hati dari kecintaan, peribadatan dan pengagungan. Karena bentuk dan rupa dari Allah maka yang dilihat adalah yang datang dari hamba berupa amalan dan hati-hati mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ  Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564). Konsekwensi dari nama ini diantaranya bahwa dengan bentuk dan rupa supaya dapat dikenali diantara kita, dan juga hikmah yang lainnya yang Allah lebih tahu tentang-Nya. Maka yang asal bagi hamba adalah hatinya sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. Do’a ibadah dengan nama ini diantaranya menerima takdir dari apa yang diberikan oleh Allah dari rupa, warna kulit dan lain sebaginya yang merupakan rukun iman yang ke-6, meninggalkan menggambar /melukis makhluk yang bernyawa serta membuat patung berhala, karena itu menandingi ciptaan Allah sebagaimana yang disebutkan Allah melalui lisan rasul-Nya, haram dan hukuman yang berupa azab yang paling pedih pada hari kiamat.2 Bahkan dapat menjadikan kafir pelakunya, kekal di neraka selamanya, begitu juga merubah ciptaan-Nya dengan bertato, memakai rambut palsu, qaza’ (memotong rambut kepala sebagian dan meninggalkan sebagaian), mencukur alis, haramnya laki-laki menyerupai wanita, dan wanita menyerupai laki-laki, merapikan gigi tanpa kebutuhan, mencat rambut warna hitam, dan lain-lain sebagaimana disebutkan keharamannya dalam hadis. Maka dosa keharamannya akan lebih besar apabila melakukannya pada bulan Ramadhan sebagaimana banyaknya pelanggaran tersebut yang ditonton di media-media televisi yang dapat merusak pahala shaum/puasa kaum muslimin dan merusak akhlak mereka. Maka  hendaklah menjauhinya dan meninggalkannya perbuatan tersebut dalam rangka taat kepada Allah dan rasul-Nya mengarapkan ganjaran dan pahalan di sisi-Nya.       Doa mas’alah yang berkaitan dengan nama ini dalam do’a sujud tilawah, , اَللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، أَنْتَ رَبِّي، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي شَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.” “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa show
warohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.”3 Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta. Adapun doa (permintaan) dengan nama ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun secara umum semua nama kita dapat berdoa dengannya dalam doa yang dipanjatkan, memujinya dan mengagungkannya. Wallahu’alam. Penyusun: Dzakwan Mukhtar B.A. Sumber   : 1. Fiqih Asma’ul Husana hal.152. 3. HR. Muslim no. 771 2. Asrar Asmaul Husna hal.90.     Sumber Artikel dari Asmaul Husna Center: https://asmaulhusnacenter.com/al-mushawwir-yang-membentuk-rupa.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Ya Alloh Engkau “Maha Membentuk Rupa” Dan Aku Hanya Hamba Yang Kau Indahkan
0 notes
yasirmukhtar · 4 years
Text
Renungan Pribadi Soal Takwa
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta--yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah--yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Temuan Saya Akan Makna Takwa
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Contoh Implementasi Pemaknaan Takwa
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Tips Mengasah Kesadaran Akan Kehadiran Allah
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat--misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”--wahai Tuhanku, “ighfirli”--ampuni dosaku, “warhamni”--sayangi aku, “wajburni”--cukupilah aku, “warfa’ni”--tinggikan derajatku, “warzuqni”--berilah aku rezeki, “wahdini”--berilah aku petunjuk, “wa’afini”--sehatkan aku, “wa’fu’anni”--maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah.  Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
2K notes · View notes
izzahabdr · 6 years
Text
Shaum dan Ramadhan
Puasa/Shaum adalah hal yang tentu tak terpisah dari bulan ramadhan, sebenarnya apa hubungan puasa dan ramadhan?
coba kita lihat Al-qur’an ya, Allah menyebut kata puasa (dengan segala bentuknya bahasa) ada beberapa kali. Paling sering digunakan istilah shiyâm dan satu kata shaum. Meski begitu, kata shaum mengandung makna lebih dibanding shiyâm. Shiyâm hanya berarti berpuasa dengan mencegah makan, minum dan “bergaul” dengan dengan istri mulai fajar sampai maghrib, sedang shaum mencegah harus mencegah bicara, mencegah mendengar, mencegah melihat, dan bahkan mencegah pikiran.
oke, bisa cukup dipahami ya. Oiya ini berdasarkan yang pernah dibaca dan dengar aja yaa
sekarang kita masuk ke ramadhan, Ramadhan apa sih? Ramadhan itu bulan urutan ke-9 di kalender hijriyah. HEHE, jadi ada hubungan erat apa ramadhan dan puasa? kenapa di Indonesia sering disebut “bulan puasa”? se erat itukah hubungan Puasa dan ramadhan?
Lagi-lagi, coba kita buka qur’an cari kata Ramadhan. Ternyata Allah cuma satu kali menyebut Ramadhan, dan dan dan yang disandingkan dengan Ramadhan itu bukan “shaum” melain kan Al-qur’an. WAW
" Ramadhan adalah ( bulan) diturunkannya  Al Qur'an , sebagai panduan untuk umat manusia , juga tanda yang jelas  untuk bimbingan dan penilaian ( Antara benar dan salah ) . Selanjutnya ,jika  salah seorang dari kamu mencapai bulan itu,maka ia harus berpuasa . " ( Al Baqarah: 185 )
Jadi sebetulnya yang menjadi otentik bulan Ramadhan bukan puasanya, bukan kolaknya, bukan acara kuis menjelang shubuh nya, tapi Al-qur’an nya :( sementara kita yang merasa pintar ini cuma ingat sama buka bersama dan takjil manis aja kalau Ramadhan.
Sekarang, mari memeriahkan Ramadhan dengan mendekat pada Al-qur’an, membaca Al-qur’an, mengkaji Al-Qur’an, mengulang hafalan dan apapun yang membuat kita erat dengan Qur’an karena bulan inilah momen terbaik untuk memulainya, lagi pula siapa yang bisa memberi kepastian tentang romadhon berikutnya :)
SELAMAT MENDEKAT DENGAN BAIT-BAIT TERINDAH SEPANJANG MASA
Izzah Abidati Rahmani
02 Ramadhan 1439 H
1 note · View note
rizqiauliyani18 · 4 years
Photo
Tumblr media
#Repost @fikihmuslimah_ • • • • • • 🔖 SALAH KAPRAH, KATA "TA'JIL" ITU BUKAN MAKANAN . Selama bulan Ramadan ini, kita sering mendengar kata “ta'jil”. Di berita, di televisi, di radio, di lingkungan sehari-hari, bahkan di warung dan pasar juga sering terlihat tulisan “ta'jil”. . Beberapa restoran menulis “Tersedia ta'jil gratis buat pelanggan”. Beberapa masjid juga menulis hal serupa. Sehingga tak asing kalau mendengar ada orang yang bertanya: "Sudah beli ta'jil belum?, Belum ada ta'jil nya nih! Ta'jil nya cuma gorengan ... . Apakah makna "ta'jil" yang sebenarnya? Karena semua media pemberitaan selalu menyebut makanan untuk berbuka adalah ta'jil, maka seolah-olah kita semua sepakat menyebut bahwa ta'jil adalah hidangan atau panganan untuk berbuka puasa. . Kata ta’jil (تعجيل) artinya adalah “bersegera diambil dari hadist Nabi : “La yazalunn asu bikhairin ma ‘ajjaluuhul fithra. Artinya: Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa). (HR. Muttafaq alaih). . Makna ta'jil menurut bahasa arab ialah “penyegeraan, bersegera, percepatan”, sebuah kata dasar dari ajjala, yu’ajjilu artinya menyegerakan, mempercepat. Ta’jilul fitri = menyegerakan berbuka (puasa). . Terlihat disini bahwa makna ta'jil tidak ada hubungannya sama sekali dengan makanan. Dalam hal ini pengertian TA'JIL dengan jelas ditulis adalah “mempercepat" berbuka puasa saat tiba waktunya. . Kesimpulannya jika ada pernyataan “Orang arab berta'jil dengan kurma” maka pengertian yang benar ialah mereka menyegerakan berbuka puasa dengan kurma, bukan "makanan berbuka puasa" mereka adalah kurma. . Allahu a'lam . 📚 Ref: thesunnahway_ , editted _________________________________________________________ . . . 📷 aries.abdillah | #ariesabdillah Semoga manfaat & menginspirasi hijrah lebih baik . #takjil #tajil #salahfaham #takjilbukanmakanan #puasa #ramadhan #bekalramadhan #puasa #shaum #sahur #imsak #bukapuasa #ifthar #tarawih #taroweh #sholattarawih #tadarrus #alquran #murrotal #islamicquotes #fiqihmuslimah #fiqihwanita_ https://www.instagram.com/p/B_YQhG5Awbw/?igshid=1i9konoevbmbh
0 notes
tehkuning · 5 years
Text
Kajian muslimah di Fakultas ISIP, IGZ(Islamic Girl Zone) pertama dibulan Ramadan yey
So kajian muslimah kali ini diadakan di fakultas sendiri oleh LDF dimana aku menjadi bagian didalamnya, LKI FISIP UNS myluv! Ciee
Bidang Nisaa' LKI emang rutin ngadain kajian muslimah dua minggu sekali,waktunya jam 11.30 - 12.30 pas ikhwan lagi pada jumatan yes.
IGZ kalini ngebahas soal Fiqh Puasa, pemateri : Mbak Wulan Nurjanah
Apapun keadaan kita sekarang, entah sedih, bahagia, terharu, ngerasa lelah, ngerasa sendiri, dan lain-lain, kita perlu dan memang harus yakin bahwa semua jenis keadaan yang sedang kita rasakan adalah kondisi terbaik yang Allah kasih untuk kita, percayalah ada kebaikan disana, yap bagi mereka yang mau berpikir dan mengambil pelajaran :) yeay!
Dan sungguh sebaikbaik nikmat adalah kita masih dipertemukan dengan bulan mulia bulan Ramadan, kita harus benar-benar bersyukur, dengan Maha Baiknya Allah masih mau memberikan bulan terbaikNya untuk kita, Ramadan yang dirindukan. Dipertemukannya kita dengan Ramadan adalah satu cara Allah untuk menolong kita, karena Ramadan adalah bulan dengan limpahan ampunan, bulan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan,bulan yang banyak memberikan kesempatan untuk memaksimalkan ibadah.
***Sunah jumat == banyakin sholawat
Salah satu syarat diterima nya amal adalah itiba kepada Rasulullah, meneladani Rasulullah harus tau ilmunya.... Ilmu sebelum amal
Ulama ulama terdahulu dalam menyambut Ramadan mempersiapkan selama 6 bulan sebelumnya,dan memanjatkan doa :
"YaAllah sampaikanlah kami pada bulan Ramadan,dan sampaikanlah bulan ramadan kepada kami,dan terimalah amal kami."
Kurang lebih makna doanya==> minta dipertemukan dan minta dimampukan untuk melakukan ibadah ibadah di bulan Ramadan
Seharusnya kita juga meneladani mempersiapkan diri sebelum Ramadan
Persiapan => fisik, ruhiyah, materiil
- membiasakan tilawah
- membiasakan puasa sunah
- dll
Makna puasa secara syariat, yaitu menahan atau mencegah diri untuk makan minum berhubungan suami istri dan hal2 yg termasuk itu dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena menjalankan perintah Allah,yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Poin=Menahan syahwat
Tujuan sejati shaum Ramadan => Membentuk kita menjadi pribadi yang bertakwa kepada Allah
HIKMAH-HIKMAH PUASA
Untuk apapun yang Allah tetapkan anjurkan perintahkan
==>Tanpa perlu kita paham dulu kita harus sami'na wa atho'na = kami dengar dan kami taat
1. Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa)
=> Ramadan untuk mengajarkan kita ,mengarahkan kita, mendidik kita menjadi pribadi yang taat kepada Allah. Ramadan ada untuk membiasakan kita dalam kebaikan-kebaikan.
2. Menjaga kesehatan tubuh
=> puasa ada untuk mengistirahatkan organ2 pencernaan hehe,insyaaAllah berefek juga pada kondisi ruhiyah kita
Karena Rasul juga mengajarkan untuk tidak makan yg berlebihan kan:) karena kalau makan berlebihan bisa mendatangkan kemalasan:(
3. Kebahagiaan
Kebahagiaan ketika berbuka puasa, maknanya brarti kita telah ditolong Allah menyelesaikan puasa pada satu hari itu.
Karena mungkin kan dari sekian juta umat manusia, tidak semua bisa menjalankan puasa:( mungkin karena sakit, perempuan haid,dll
Jadi ketika kita diberi kesempatan menjalankan puasa Ramadan kita harus maksimal, harus bersyukur, harus senang dan bahagia, juga ikhlas ngejalaninnya :)
Anasunjaya, kajian#1ramadan
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Hadits 3: Rukun Islam (Bag. 4)
Selanjutnya:
وَصَوْمِ رَمَضَانَ – dan puasa Ramadhan
Definisi Shaum
Secara bahasa, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah:
الصيام في اللغة مصدر صام يصوم، ومعناه أمسك، ومنه قوله تعالى: {فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم] فقوله: {صَوْمًا} أي: إمساكاً عن الكلام، بدليل قوله: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا} أي: إذا رأيت أحداً فقولي: {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا} يعني إمساكاً عن الكلام {فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا}.
“Shiyam secara bahasa merupakan mashdar dari shaama – yashuumu, artinya adalah menahan diri. Sebagaimana firmanNya: (Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”) (QS. Maryam (19):26). firmanNya: (shauman) yaitu menahan diri dari berbicara, dalilnya firmanNya: (jika kamu melihat seorang manusia), yaitu jika kau melihat seseorang, maka katakanlah: (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah) yakni menahan dari untuk bicara. (Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini). (Syarhul Mumti’, 6/296.  Cet. 1, 1422H.Dar Ibnul Jauzi. Lihat juga Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/431. Lihat Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/850)
Secara syara’, menurut Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, makna shaum adalah:
الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية
“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dan dibarengi dengan niat (berpuasa).” (Fiqhus Sunnah, 1/431)
Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan:
وأما في الشرع فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.
ويجب التفطن لإلحاق كلمة التعبد في التعريف؛ لأن كثيراً من الفقهاء لا يذكرونها بل يقولون: الإمساك عن المفطرات من كذا إلى كذا، وفي الصلاة يقولون هي: أقوال وأفعال معلومة، ولكن ينبغي أن نزيد كلمة التعبد، حتى لا تكون مجرد حركات، أو مجرد إمساك، بل تكون عبادة
“Ada pun menurut syariat, maknanya adalah ta’abbud (peribadatan) untuk Allah Ta’ala dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan semua hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Wajib dalam memahami definisi ini, dengan mengaitkannya pada kata ta’abbud, lantaran banyak ahli fiqih yang tidak menyebutkannya, namun mengatakan: menahan dari dari ini dan itu sampai begini. Tentang shalat, mereka mengatakan: yaitu ucapan dan perbuatan yang telah diketahui. Sepatutnya kami menambahkan kata ta’abbud, sehingga shalat bukan  semata-mata gerakan , atau semata-mata menahan diri, tetapi dia adalah ibadah.” (Syarhul Mumti’,  6/298. Cet.1, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)
Dari definisinya ini ada beberapa point penting sebagai berikut:
Menahan diri dari perbuatan yang membatalkan
Harus dibarengi dengan niat
Bertujuan ibadah kepada Allah Ta’ala
Definisi Ramadhan
Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh).  Atau juga diambil dari  ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. (Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)
Imam Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah mengatakan:
وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ  ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .
“Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan dengan ‘kelelahan’, lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha’ yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan  dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapskannya.” (Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr)
Secara istilah (terminologis), Ramadhan adalah nama bulan (syahr)[1] ke sembilan dalam bulan-bulan hijriyah, setelah Sya’ban dan sebelum Syawal.
Sejak Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?
Telah diketahui secara pasti bahwa puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al Quran (QS. Al Baqarah, 2: 183), Al Hadits, dan ijma’. Telah masyhur pula bahwa puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua hijriyah, dan sepanjang hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjalankan sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam sejarah Islam, pewajiban puasa pun tidak langsung, melainkan diberikan anjuran puasa sebagai memberikan pengalaman dan pembiasaan.
Berkata Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
وحكمه: الوجوب بالنص والإجماع.
ومرتبته في الدين الإسلامي: أنه أحد أركانه، فهو ذو أهمية عظيمة في مرتبته في الدين الإسلامي.
وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً، وفرض أولاً على التخيير بين الصيام والإطعام؛ والحكمة من فرضه على التخيير التدرج في التشريع؛ ليكون أسهل في القبول؛ كما في تحريم الخمر
“Hukumnya adalah wajib berdasarkan nash (teks Al Quran dan Al Hadits) dan ijma’. Kedudukannya dalam agama Islam adalah dia sebagai salah satu rukun Islam yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam. Telah ijma’ bahwa Allah   mewajibkan puasa pada tahun kedua,  dan ijma’ pula  bahwa puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sembilan kali Ramadhan. Pertama kali diwajibkan adalah sebagai  takhyir  (pemberian pilihan) antara puasa dan makan, hikmah dari pewajiban dengan cara ini adalah sebagai pentahapan dalam pensyariatannya agar lebih mudah diterima, sebagaimana dalam pengharaman khamr.” (Syarhul Mumti’ , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam)
Kecaman Untuk Orang Yang Tidak Puasa Ramadhan Tanpa Udzur
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal (untuk dibunuh), (yakni):  Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’la dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini  telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah:
وعند المؤمنين مقرر:  أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.
“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Hikmah Puasa Ramadhan
Puasa adalah ibadah yang unik, sebab itu untukNya dan Allah Ta’ala sendiri yang langsung memberikan ganjarannya. Pada ibadah ini, kita dilatih agar jujur dan merasa di awasi Allah Ta’ala. Sebab, yang tahu kita sedang puasa adalah diri kita sendiri dan Allah Ta’ala. Ibadah lain manusia bisa melihat dengan jelas, seperti shalat, zakat, haji, dan jihad.  Sedangkan puasa, bisa saja seseorang berlagak lemas dan letih, padahal itu sandiwara.
Puasa juga melatih diri kita untuk berempati dengan kaum fakir miskin, sebab rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan adalah keseharian mereka. Maka, lahirlah  sikap memandang orang miskin dengan pandangan empati, cinta, dan ujian bagi kedermawanan kita.
Puasa juga sarana efektif mengendalikan hawa nafsu, emosi, dan berbagai keinginan syahwati dan duniawi lainnya. Selama sebelas bulan lamanya kita melepaskannya dan menghamburkannya, bahkan sebagian manusia ada yang melepaskan tanpa batas dan aturan bagaikan binatang. Pengendalian ini ,  demi kestabilan antara jiwa, emosi, dan tubuh manusia. Masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari ibadah puasa.
Pembahan lebih lengkap tentang Puasa Ramadhan, klik disini.
Catatan Kaki:
[1] Ada pun kata ‘bulan’  yang berarti salah satu benda  angkasa yang menjadi satelit bumi, bahasa arabnya adalah Al Qamar, dan bulan sabit adalah Al Hilal.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/07/hadits-3-rukun-islam-bag-4/
0 notes
mohnadi · 4 years
Text
Mereka yang Boleh Tidak Berpuasa
Sebentar lagi bulan Ramadan tiba. Pada bulan ini setiap umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa. Kata puasa sendiri ada yang mengatakan berasal dari bahasa Sanskerta, upavasa. ‘Upa’ berarti hidup, sedangkan ‘vasa’ berarti dekat; dan yang lain mengatakan berasal dari bahasa Jawa, pasa, yang berarti mengekang dan menahan diri.
Makna kata puasa di atas seleras dengan arti shaum atau
View On WordPress
0 notes
penasantri · 5 years
Text
Empat Tingkatan Puasa: Dari Fikih Hingga Tasawuf
Empat Tingkatan Puasa: Dari Fikih Hingga Tasawuf
Apa arti “shiyam” dan “shaum“? Lalu apa arti keduanya bagi kita? dan apa perbedaannya? Juga makna yang tersirat maupun tersurat, sehingga hidup dan ritual tahunan ini bisa kita lihat dari aneka sudut pandang. Di sanalah pakar mufassir bertindak, dan kita perlu mereguk makna demi maknanya.
Secara umum, kedua lafaz tersebut menurut Kamus Lisanul Arabi, sama-sama menunjukkan makna puasa dalam…
View On WordPress
0 notes
friskadestiana · 7 years
Text
Taqwa
*Al-Islam No. 862-13 Syawal 1438 H_07 Juli 2017* *MENJAGA SPIRIT KETAKWAAN USAI RAMADHAN* Bulan Ramadhan yang agung telah berlalu. Di dalamnya Allah SWT mewajibkan puasa selama sebulan penuh agar kita meraih takwa (QS al-Baqarah [2]: 183). Tentu wajib bagi orang-orang Mukmin meraih takwa bila mereka mengharapkan keridhaan Allah SWT. Apalagi kemenangan sesungguhnya hanya Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa (QS al-Ahzab [33]: 71). Ketakwaan akan memberikan dampak positif dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Apalagi bila ketakwaan itu terpancar dari seorang pemimpin, insya Allah negeri yang dia pimpin akan jauh dari kesengsaraan dan penderitaan. *Makna Takwa* Thalq bin Habib berkata, “Takwa artinya Anda melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu dan iman) dari-Nya karena mengharap pahala-Nya serta Anda meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.” Selama Ramadhan, seorang Muslim menjaga dirinya bukan saja dari perkara yang haram, semisal minuman keras atau berzina, tetapi juga dari semua perkara yang dapat membatalkan puasa walaupun sebenarnya di luar Ramadhan itu adalah halal, seperti minum atau berjimak dengan pasangan yang sah. Seorang Muslim yang sungguh-sungguh berpuasa juga menjaga dirinya dari perkara yang merusak pahala puasa semisal perkataan dusta, kasar dan kotor, menipu, dll. Itulah tujuan puasa Ramadhan, membuat pelakunya menjadi insan yang berhati-hati dalam berbuat. Takut melanggar hukum-hukum Allah SWT sekecil apapun. Hal itu persis seperti penjelasan Ubay bin Kaab ra. kepada Umar bin al-Khaththab ra. saat ia ditanya tentang makna takwa. Ubay ra. balik bertanya, “Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?” Umar menjawab, “Ya.” Kaab bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berhati-hati dan berusaha agar tidak tertusuk.” Ubay menjawab, “Itulah takwa!” Karena itu setiap Muslim yang menjalankan shaum Ramadhan dengan sebenar-benarnya akan melindungi dirinya dari perbuatan maksiat kecil maupun besar. Jangankan menumpahkan darah saudaranya yang seiman, melecehkan mereka pun tak akan ia lakukan. Ia paham bahwa ciri seorang Muslim adalah yang menjadikan sesama Muslim lainnya terjaga dari gangguan lisan dan tangannya. Seorang Muslim yang bertakwa senang menolong saudaranya yang sedang kesusahan, memberikan tausiyah yang bermanfaat dan bahu-membahu melaksanakan ketaatan total kepada Allah SWT dengan memperjuangkan penerapan syariah secara kâffah. Seorang Muslim yang bertakwa tidak akan mempersekusi saudaranya yang seiman, apalagi bersekongkol dengan orang fasik dan kafir untuk menjatuhkan kehormatannya, terutama ketika saudaranya tengah berjuang di jalan Allah SWT. Rasul saw. bersabda: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ *Muslim adalah saudara Muslim yang lain; ia tidak menzalimi dan menyerahkan saudaranya itu (kepada musuh) (HR al-Bukhari).* Setiap tahun negeri ini bersikap mendua pada saat memasuki bulan Ramadhan. Menutup tempat hiburan malam. Menghias kota dengan nuansa ibadah. Televisi ramai dengan acara pengajian. Namun, selepas Ramadhan, ketakwaan seolah nyaris tak berbekas dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat. Berbagai kegiatan maksiat seperti hiburan malam kembali diizinkan. Umat pun banyak yang bersikap relijius hanya saat Ramadhan, tetapi kemudian berubah ketika Ramadhan telah usai. Sikap inilah yang disebut sebagai “imma’ah”, tak punya pendirian. Sikap ini dicela oleh Rasulullah saw.: لا تكُونُوا إمَّعةً تقولُونَ: إنْ أحسنَ النَّاسُ أحسنَّا وإنْ ظلمُوا ظلمْنَا، ولكِنْ وطِّنُوا أنفسكم إن أحسنَ النَّاسُ أنْ تُحسِنُوا وإنْ أساءُوا فلا تظلِمُوا Jangan kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan, “Jika manusia berbuat baik, kami pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, kami pun berbuat zalim.” Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berlaku zalim (HR at-Tirmidzi). *Takwa Sesungguhnya* Kita pantas bertanya: apakah takwa sudah benar-benar melekat pada diri kita ataukah baru sebatas jargon belaka? Takwa yang hanya sekadar jargon tentu tidak akan membawa dampak perubahan apapun dalam kehidupan. Bagi kelompok orang semacam ini agama hanya dipakai untuk pencitraan agar dekat dengan umat. Padahal kemudian ia mengerjakan kemungkaran, mencegah yang makruf, lagi menyusahkan rakyat banyak. Ini jelas perilaku munafik yang tercela di mata Allah SWT (QS at-Taubah [9]: 67).* Ciri pemimpin yang bertakwa tidak akan mengkriminalisasi Islam dan para ulama, juga tidak menghalang-halangi dan memusuhi orang-orang yang memperjuangkan syariah dan Khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Namun yang bisa kita lihat, kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan umat Muslim malah makin menjadi-jadi. Tak lama usai hari raya, umat dibuat marah dengan film pendek berjudul Kau Adalah Aku Yang Lain yang kontennya justru mencitrakan umat Muslim intoleran dan tidak berperikemanusiaan. Film ini oleh Kepolisian malah dinobatkan sebagai pemenang Police Movie Festival 2017. Ironi karena film ini provokatif, berbau SARA dan memancing kemarahan masyarakat yang justru sedang dihimbau untuk menjaga kerukunan beragama dan kebhinekaan. Kriminalisasi terhadap Islam dan umat Muslim juga ditengarai ada dalam simulasi penanganan serangan teroris di Polsek Jatiuwung, Tangerang, Banten. Diperlihatkan bahwa aktor yang memerankan teroris diperagakan oleh pria berjenggot dan memakai peci. Meski pihak Polsek sudah meminta maaf, kejadian itu memperlihatkan ketidakpekaan aparat Pemerintah terhadap kehormatan Islam dan kaum Muslim. Pemerintah juga terus menempatkan umat Muslim sebagai tertuduh yang mesti dicurigai sebagai ancaman. Media Singapura, The Straits Times, melansir laporan tentang tindakan aparat Pemerintah Indonesia yang memata-matai masjid di Jakarta. Aparat yang dikerahkan ditugaskan untuk mencari tahu siapa yang mengelola masjid dan materi apa yang disebarkan. Kegiatan intelijen itu dilakukan sebagai tindakan deradikalisasi Islam. Di antara kesempurnaan shaum pemimpin yang bertakwa adalah menjaga shaum Ramadhannya dari perkataan palsu (qawl az-zûr) karena kedustaan hanya akan membuat puasa mereka sia-sia. Nabi saw. bersabda: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ *Siapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu dan perbuatannya maka Allah tidak membutuhkan upayanya yang meninggalkan makanan dan minumannya (HR al-Bukhari).* Bagaimana bukan perkataan dusta bila sebelum berkuasa berjanji tidak akan menyusahkan masyarakat, semisal tidak akan menaikkan tarif BBM dan listrik, kemudian dengan tanpa malu mengatakan bahwa itu bukanlah kenaikan tarif, namun pencabutan subsidi. Bukankah ini perkataan dusta? Pada masa kampanye, Presiden juga berjanji tidak akan menambah hutang negara. Namun, baru 2,5 tahun berkuasa hutang Pemerintah RI pada bulan Mei 2017 mencapai Rp 3.672,33 triliun. Oleh karena itu ketakwaan bukanlah sebatas jargon atau tontonan yang penuh pencitraan, melainkan amal nyata yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT. *Takwa Tanpa Syarat* Allah SWT berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ *Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).* Imam Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas: “Wahai segenap orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, IttaqulLâh, yakni takutlah kalian kepada Allah; jagalah Dia dengan menaati-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya; haqqa tuqâtihi, yakni dengan sebenarnya takut kepada-Nya.” Oleh karena itu, marilah perkuat ketakwaan kita dan beristiqamah di dalamnya, dengan ketakwaan yang tanpa syarat dan tak mengenal waktu. Rasulullah saw. mengingatkan agar umat tetap bersabar dalam ketakwaan saat umat ini sudah rusak pemikiran dan peradabannya: يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ *Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api (HR at-Tirmidzi).* Para pemimpin juga semestinya mengikatkan diri dengan ketakwaan. Pada masa lalu, ketakwaan yang melekat pada diri para khalifah mengantarkan umat dalam keberkahan dan kesejahteraan. Karena takwa, Amirul Mukminin Umar bin Khathtab ra., misalnya, menangis ketakutan ketika mendengar seorang ibu mempercepat masa sapih bayinya agar bisa segera mendapatkan insentif dari negara sehingga anaknya menangis kelaparan. Pasalnya, pada waktu itu Khalifah Umar membuat kebijakan hanya memberikan insentif pada anak yang telah disapih. Khalifah Umar sambil menangis menyesali keputusannya dengan berkata, “Celakalah Umar! Berapa banyak bayi yang telah dibunuh oleh Umar!” Kemudian ia pun mencabut kebijakannya yang keliru tersebut. Inilah pemimpin bertakwa yang takut kepada Allah SWT dalam mengurus rakyatnya. Semua dilakukan dengan menerapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. [] Komentar al-Islam: *Kemenag DIY Minta Sekolah Awasi Kegiatan Rohis (Republika.co.id, 4/7/2017).* 1. Pemerintah terkesan ketakutan dengan kegiatan Rohis (kerohanian Islam) di sekolah. 2. Padahal selama bertahun-tahun kegiatan Rohis sangat positif bagi para siswa, paling tidak menjadikan mereka giat beribadah dan berakhlaqul karimah. 3. Jelas, upaya mengawasi kegiatan Rohis sama saja dengan menganggap Rohis itu berbahaya. Ini adalah bagian dari upaya untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim sebagaimana marak terjadi akhir-akhir ini.
0 notes
Text
MAKNA IDUL FITHRI
✍🏻 _*Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat* _hafidzohulloh_ Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah “Kembali kepada Fitrah”, Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita. Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara’/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi _-meskipun umat tertipu-_ karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta’ala. Kami berkata. ✅ *Pertama* : “Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz _Fithru/ Ifthaar”_ (فطر / افطار ) artinya menurut bahasa : "Berbuka" (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi *_Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”._* Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut ( *فطرة* ) dan bukan ( *فطر* )”. ✅ *Kedua* : “Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa _*“Idul Fithri” itu ialah “Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa”.*_ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ : أَنْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ Artinya : _"Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. *“Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”*_. [Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua sanadnya di kitab saya “Riyadlul Jannah” No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi] Dan dalam salah satu lafadz *Imam Daruquthni* : صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ Artinya : *_"Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka”_*. Dan dalam lafadz *Imam Ibnu Majah* : اَلْفِطْرُ يَِوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ Artinya : *_"(Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu menyembelih hewan”_*. Dan dalam lafadz *Imam Abu Dawud*: وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْمَ Artinya : *_"Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan”_*. Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunahkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka. Bukan artinya bukan “kembali kepada fithrah”, karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi : “Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci”. Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa. Adapun makna sabda *Nabi* _shallallahu ‘alaihi wa sallam_, bahwa *_puasa itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa_*, demikian juga Idul Fithri dan Adlha, maksudnya : *_Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama’ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini_* (1412H/1992M). *Imam Tirmidzi* mengatakan -dalam menafsirkan sabda *Nabi* _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya : اَلصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ Artinya : *_"Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama’ah dan bersama-sama orang banyak”_*. Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin! [1] 📚[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam – Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M] ____________ 📌Footnote: [1]. Ditulis akhir Ramadlan 1412H/awal April 1992
0 notes
wicaksanasatya · 7 years
Text
AKU DAN MAKNA RAMADHAN : BULAN SUCI ATAU BULAN KAPITALISASI ?
Oleh : Satya W.
Ramadhan kali ini merupakan ramadhan yang berbeda bagi Satya. Biasanya, ketika berbuka ada yang menyiapkan, sahur pun ada yang membangunkan dan ada yang menyediakan. Ya, ini kali pertamanya Satya menikmati suasana bulan suci di kos-kosan yang penuh pengisapan ini. Berbuka pun saya masih mengandalkan takjil gratisan yang berjejer-jejer di pinggir jalan daerah ngesrep, dekat tempat saya tinggal.
Yang khas dari bulan puasa adalah munculnya pedagang-pedagang musiman, iklan sirup yang bertebaran, kue kalengan yang mulai dipajang, diskon-diskon pun tak kalah gencar. Saya pun memendam rasa ini dibenak saya. Mengapa itu bisa terjadi ? Bulan yang seharusnya kita diperintahkan untuk menahan nafsu, namun seolah-olah banyak produk-produk yang mendorong manusia semakin engas dan bernafsu.
Puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa. Keistimewaan puasa yang tak dimiliki oleh ibadah lainnya adalah bahwa puasa merupakan ibadah personal serta ibadah social. Ibadah seperti salat masih dianjurkan untuk dilaksanakan dengan berjemaah. Zakat juga masih melibatkan keberadaan orang lain sebagai mustahik. Ibadah puasa sama sekali tidak melibatkan peran orang lain. Kata ‘shaum’ yang berarti puasa, juga bisa dimaknai dengan kata ‘junnah’ (tutup). Artinya, puasa adalah ibadah yang sangat tidak terbuka, yang—seharusnya—hanya diketahui oleh Allah.
Ibn Arabi menyebut puasa sebagai ‘momen negatif’. Maksudnya puasa merupakan negasi atas perbuatan dan perkataan yang bisa membatalkan ibadah puasa. Maka, berpuasa berarti ‘menahan’ (imsâk) diri untuk tidak melakukan perbuatan tertentu; ‘meninggalkan’ (tarak) perbuatan tertentu; dan akhirnya ‘diam’ (shamat) dalam kepasifan yang syahdu.
Intinya puasa itu penyangkalan atas perbuatan –yang bisa jadi itu merupakan perbuatan. Namun, perbuatan yang menegasikan perbuatan lebih sublim daripada perbuatan itu sendiri. Karena ibadah puasa adalah laku negasi, maka ia berarti ibadah yang paling sunyi. Ibadah yang hanya melibatkan seorang hamba dan Yang Ilahi.
Dalam sunyi itulah, seorang hamba yang berpuasa bisa bermunasabah dengan Tuhannya. Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa Tuhan menjelmakan sifat-sifat Dzat-Nya dalam diri hamba-Nya yang berpuasa. Dengan begitu, puasa bisa menjadi momen eksistensial yang bersifat sangat personal. Dan karenanya, ibadah puasa bukan ranah publik yang mesti diumbar, apalagi minta perhargaan dan penghormatan. Puasa adalah diam, larut dalam kesunyian.
Ketika ibadah puasa sudah penuh dengan euforia dan rupa-rupa huru-hara, maka di situlah Tuhan gagal hadir dalam puasa seorang hamba. Sebab puasa adalah ibadah esoteris, tak punya bentuk dan rupa. Bila ibadah puasa mau diberi bentuk dan rupa, maka itu sebenarnya adalah negasi atas keduanya.Namun, dalam hilangnya bentuk dan rupa itu sebenarnya di kedalaman jiwa seorang hamba yang berpuasa ada sebuah pertarungan. Pertarungan antara pancaran cahaya Ilahi melawan kegelapan nafsu dan berahi. Bila pancaran cahaya Ilahi yang menang, maka puasa seorang hamba akan semakin kehilangan bentuk. Ibadahnya akan sangat tersembunyi, bersifat privasi, dan hanya diketahui Yang Ilahi.
Bila sebaliknya, sekalipun seorang hamba itu berpuasa namun nafsu dan syahwatnya masih tetap berkuasa, maka puasa seorang hamba itu akan berusaha mencari ‘bentuk’; mencari pengakuan, penghargaan, dan penghormatan. Maka, puasa yang sejati itu justru menemukan bentuknya dalam negasi atas bentuk; dalam diam; dalam kesunyian.
Sayang seribu sayang, kebanyakan masyarakat –termasuk saya- mem’bentuk’kan puasa itu sendiri. Puasa dimaknai sebagai bulan yang penuh diskon, baju lebaran, kue kalenga, minuman2 manis, dsb. Hal tersebut dikarenakan pikiran masyarakat terkonstruk oleh kondisi pada tatanan masyarakat itu sendiri. Bagaimana tidak ?
Contohnya seperti ini, ketika bulan puasa akan muncul istilah “berbukalah dengan yang manis”. Apakah kita sadar bahwa brand tersebut muncul oleh salah satu perusahaan teh berbotol yang sekarang mulai menjual dalam kemasan kotak. Saya ingat pertama kali brand tersebut muncul ketika tahun 2000an yang mana mereka selalu menggaungkan slogan “berbukalah dengan yang manis, teh botol sos*o”. Tidak hanya berhenti disitu saja, perusahaan2 tersebut juga mulai menggandeng para ustadz, ustadzah, alim ulama yang sering mondar-mandir di layar kaca tv dengan menghadirkan produk mereka di saat-saat berbuka, sehingga seolah-olah berbuka dengan yang manis merupakan keanjuran dalam suatu agama.
Padahal setau saya *mohon koreksi jika saya salah* Rasul tidak pernah menganjurkan untuk selalu berbuka dengan yang manis, saya kutip hadits berikut :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda) maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air” (HR. Abu Daud 2356, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Disitu yang dianjurkan oleh rasul ialah kurma, bahkan kurma yang dianjurkan pun kurma yang muda, bahkan jika kurma tidak ada, air putih lah yang dianjurkan sebagai pembuka dalam berpuasa. Nah dari ayat tersebut ada ulama yang mengatakan bahwa yang dianjrukan oleh rasul adalah kita berbuka dengan buah-buahan. Buah disini yang dimaksudkan adalah buah yang belum terkena api –belum diolah, masih alami- Nah, jadi rasul tidak pernah menganjurkan untuk berbuka dengan yang manis –teh, sirup, soda, dsb-, namun berbuka dengan buah-buahan.
Tidak hanya pada komoditas makanan-minuman, hal serupa terjadi pada komoditas pakaian-pakian. Ya, di bulan puasa ini beberapa minggu sebelum hari raya pasti akan beredaran diskon-diskon murah, di mall-mall tertentu. Seolah-olah membuat masyarkat berpikir “Ah, mumpung murah beli ah, mumpung diskon”. Media pun juga mengiklankan produk-produk tersebut dengan kemasan menarik, menggaet model2 yg menawan, sehingga membuat masyarakat berpikir bahwa membeli baju lebaran merupakan suatu keharusan. “Ah, Cuma setaun sekali, kali kali tampil trendy”.
Kenyataan kontemporer ini sebagian dapat dijelaskan dengan Teori Kritis bahwa “kapitalisme lanjut menciptakan pasar untuk kebutuhan produksi.” Namun disini saya menconba sedikit mengevaluasi teori ini supaya bisa menjelaskan realitas yang ada di Indonesia ini. Menurut Teori Kritis, kapitalisme lanjut tidak lagi mencari nilai lebih seperti yang Karl Marx katakan tentang kapitalisme, tetapi mencari pasar baru karena kelebihan produksi. Dengan kata lain, komoditas diproduksi bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar, namun pasar diciptakan sedemikian rupa agar mempertahankan keberlangsungan produksi. Proses penciptaan pasar ini dilakukan salah satunya dengan iklan. Iklan mengondisikan pikiran pasar dengan sedemikian rupa agar mereka merasa membutuhkan komoditas yang diproduksi, dengan begitu terciptalah pasar baru yang mengonsumsi komoditas mereka—memang dapat dilihat bahwa pasar sebenarnya tidak mengonsumsi komoditas, namun mengonsumsi iklan dari komoditas tersebut; dengan kata lain hanya memakan bualan atau ditipu.
Hubungan antara pemilik modal dan pemilik media memiliki sifat saling ketergantungan secara logis—bukan komplementer yang saling melengkapi, namun mereka saling membutuhkan. Pemilik media hidup dari uang pasang iklan dan sponsor oleh pemilik modal. Sementara itu, pemilik modal hidup dengan keuntungan yang didapatkan dari penjualan komoditasnya dan penjualan komoditas ini laku berkat iklan dan sponsor yang ia pasang pada pemilik media.
Persamaan yang unik antara pemilik modal dan pemilik media adalah focus mereka yang berusaha menghegemoni pikiran pasar. Pemilik modal akan berusaha agar komoditasnya dianggap oleh pasar sebagai trend, tentu hal ini dengan cara memasang iklan dan sponsor pada pemilik media yang memiliki rating tinggi. Dalam menipu pasar, kedua pihak tersebut memanfaatkan apa yang telah ada di dalam pasar. Hal tersebut adalah kondisi social. Ia memanfaatkan bulan ramadhan ini untuk meng endorse produk mereka melalui artis-artis yang lalu lalang di acara-acara special Ramadhan. Media pun juga mendukung hal tersebut, dengan menambah acara-acara sahur, sinetron special ramadhan, dsb. Yang tentunya sembari menyelipkan kata-kata persuasive yang mengajak pemirsa televisi untuk menggunakan produk tersebut. Seolah menghipnotis, media berusaha menampilkan bahwa ibadah puasa kita belum lengkap jika belum membeli ini, itu, belum menggunakan produk ini, itu.
Bagaimanapun, sejatinya para pemilik ini menghegemoni untuk mencapai tujuan utama tertentu. Konsumerisme adalah tujuan utama dibalik hegemoni para pemilik ini. Konsumerisme menjadi hal yang penting dalam kelangsungan produksi dan naiknya omzet penjualan dan rating komoditas mereka. Mereka menggunakan dan memanipulasi unsur kondisi sosial agar konsumerisme menjadi bagian dari unsur penyusun kondisi sosial. Dengan kata lain, mereka ingin agar konsumerisme menjadi identitas pasar; tepatnya, identitas setiap individu di dalam pasar, identitas setiap individu di dalam sosial.
Dengan menyadari kenyataan kontemporer ini, tentu ini sudah bukan era di mana manusia mengedepankan sisi fungsional seperti tesis yang tawarkan oleh van Peursen. Era sekarang sudah beranjak dari tahap fungsional menjadi tahap imajiner. Maksud dari tahap imajiner adalah tahap di mana manusia hanya membeli khayalan, bualan, imajinasi, dan melupakan sisi fungsional dari komoditas maupun sesuatu yang lain. Tentu kita perlu mengkaji lebih lanjut ketika kita ingin mengkonsumsi sesuatu, apakah kita memang benar-benar membutuhkannya. Atau kita hanya menuruti hawa nafsu kita.
Jangan nodai ramadhan, yang seharusnya merupakan bulan dimana kita seharusnya menegasikan perilaku yang memanifestasikan nafsu kita. Jadikanlah Ramadhan sebagai usaha muhasabah diri, usaha untuk mendekatkan kita dengan sang ilahi.
0 notes
radarbanten · 7 years
Text
Hikmah Ramadan : Puasa untuk Siapa?
Hikmah Ramadan : Puasa untuk Siapa?
Dalam kitab suci Alquran, ada dua kata yang digunakan untuk makna puasa dari segi bahasa, yaitu shiyam dan shaum. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, yaitu ‘menahan diri’.
Menahan diri tidak hanya makan dan minum saja, tetapi juga menahan semua organ tubuh, hati, dan pikiran manusia. Untuk apa? Tentu saja untuk memuasakan diri dari sikap dan perbuatan negatif,  menjalankan semua perintah…
View On WordPress
0 notes
Text
Pengertian Puasa Dan Macam Puasa
Judul : Pengertian Puasa Dan Macam Puasa Isi: Puasa merupakan salah satu ibadah yang wajib dijalankan oleh pemeluk agama Islam. Puasa termasuk ke dalam salah satu rukun Islam. Secara bahasa, pengertian puasa berasal dari bahasa Arab yaitu shaum. Makna puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu. Jadi pada intinya pengertian puasa... Categori Semua Kategori Klik : Pengertian Puasa Dan Macam Puasa
0 notes