Tumgik
ceritanyaiffah · 2 years
Text
Hujan Berapa Rintik?
Tumblr media
Petrichor!
Langkahku terhenti. Aroma ini makin menguat ditengah jatuhan rinai yang tak seramai tadi.
Ah, pantas, momen senja bersama hujan seringkali jadi waktu sendu favorit banyak orang. Karna bahkan, hanya dengan menyesap aroma tanah dan aspal yang menguar seba'da hujan, bisa jadi hal spesial nan menenangkan.
"Sampai kapan mau berdiri disitu?"
"Waktu gabakalan nunggu kita buat gerak. 10 menit dari sekarang, ini jalanan bakal lebih padat,"
Aku bergeming. Bukankah selalu ada pilihan untuk menjeda perjalanan?
"Oke, oke, baik. Kurasa memang tak ada guna mendebat kepala yang lebih keras dari kelapa," nafasnya terhembus kasar.
Kepalaku mendongak.
"Tidakkah kau juga rasa, rintik yang jatuh perlahan ini lebih baik? Tidak menyakitkan kepala dan menyapa sensoris kita lebih lembut misalnya?" Mataku anteng mengatup. Membiarkan air yang mengalir diwajah turun dengan mulusnya.
"Apakah kau mulai kembali membual? Semua hujan sama saja, tak ada beda!" Ia tampak merasa kesal. Kupikir bila langkahku tak segera beranjak, suaranya kan makin naik beberapa oktaf.
"Kau bertanya yang lebih baik? Sungguh, mereka yang turun diiringi orkestra langit bersahabatlah yang terbaik,"
"Apa yang kan kau nikmati bila petir dan guruh tak henti bertengkar selama pertunjukan? Berhenti berpikir tak masuk akal dan mari segera pergi!" Tatapan tajamnya tak henti mengintimidasi.
Ck. Seperti biasa, kita sama kuatnya.
"Kau memang menarik. Selalu," Kulirik sebentar manik-manik hitam itu bersama seberkas sunggingan.
"Tapi, apa yang membuatmu berpikir bahwa tak ada beda dalam hujan? Bahkan, kulitmu tak bisa berbohong akan tajam tumpulnya air yang terasa," aku mengedikkan bahu.
"Jawabannya sederhana. Biar tajam atau tumpul sentuhan yang terasa, bukankah kau tetap menyebutnya hujan? Sekumpulan uap air yang jatuh guna menyeimbangkan siklus bumi. Walau nantinya ketika jatuh, titik-titik itu bisa jatuh dengan keras atau lembut seperti katamu tadi. Tapi intinya ia tetap hujan, kan? Tak ada beda," Jawabnya tak peduli.
"Jika otak kecilmu itu masih belum bisa mencerna juga, pikirkan saja hujan seperti hal-hal yang datang dihidupmu. Yang takkan berubah hakikat dari lahir hingga akhirmu. Walau tiap datang, bisa jadi rasanya berbeda,"
"Berbeda karna interpretasi dan penerimaan yang kau buat sendiri. Sama seperti hujan tadi. Bahkan bila hujan yang kau bilang berubah jadi es lalu salju. Atau tetiba datang seramai konser bersama guruh dan lintar yang bersatu padu," lanjutnya jelas tanpa ragu.
Sungguh, tak dapat kutahan seberkas sunggingan dibibirku.
"Heh, apanya yang lucu?" Matanya mendelik, persis -nan kecil yang marah bila tak dibelikan baju.
"Entah, aneh rasanya tiba-tiba kau jadi dewasa ckck,"
"Apanya yang aneh, heh!? Adalagi kau yang makin drama sampai mempertanyakan hujan segitunya. Hujan ya hujan, tak bisa kau sibuk kapan datang dan bentuknya. Jangan pulak kau ingin hitung berapa jumlahnya. Amboi, payah urusan.."
"Baik uruslah diri kau sendiri. Karna hati, respon dan lakumu, kau yang punya kuasa," Ia kembali menghembus nafas kasar.
"Atau jangan bilang kau ingin mengakuisisi saham kepemilikan hujan, heh?" Aneh, tiba-tiba ia terkekeh.
"Aishh, sudah kubilang berhenti menatapku demikian! Aku benci itu. Atau kulempar kau dengan sandal!" Kasut hitam itu sudah ikut teracung.
"Ckck, yaa, baiklah baiklah. Kali ini kau menang," kupalingkan senyum, kembali fokus memindai zebra cross yang tetiba ramai dalam jeda hujan.
Ctakk, zrashh..
Ah, Ia kembali menghilang.
Bersama langkah yang turut kupijakkan pada genangan.
-----
Picsource by pinterest.
4 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Kamu di hari ini,
Adalah dirimu,
Yang kamu takutkan di hari yang kemarin.
Nyatanya masih baik-baik aja, kan?
---------
Dari fah, kepada fah.
•Masih september•
@ceritanyaiffah
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Sebaris Pesan
Belajarlah untuk menjadi pribadi yang agile, tangguh, adaptif, lihai memahami konteks, jeli melihat akar sebuah masalah, bijak dalam memberi solusi, hebat saat bernegosiasi, menyenangkan dalam berkomunikasi, mendahulukan kepentingan bersama, fokus pada output: maslahat yang lebih besar, dan pandai menghadirkan sebab syukur & sabar ke dalam hati.
Percayalah, itu akan banyak membantumu.
Karena hidup ini sarat akan rencana-rencana, dan kabar menariknya, rencana tidak selamanya senang bertemu dengan realita.
Pesanku, untuk diriku.
230 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Bisa jadi, lelah dan jenuh itu datang karna ketidak-barokahan itu, ya. Ya Rabb:"(
Hal Kecil Yang Sering Luput
Sebuah nasihat pagi dari gurunda di sebuah Whatsapp grup. Sengaja saya copy-paste secara utuh di sini, karena menurut saya kontennya bagus untuk bahan renungan bersama.
Reminder saja … 
Sering semangat anak muda aktivis dakwah dalam berbisnis sangat menggebu untuk memberi impact kepada “umat,” sehingga lupa bahwa tidak selalu impact itu lahir dari langkah-langkah bisnis yg kita lakukan, tapi dari barokah.
Dan barokah itu hadir dari kejelian dan kemampuan kita menangkap dan memenuhi harapan orang-orang terdekat kita. 
Sekitar 3 bulan yg lalu Bang Arief ditegur oleh seorang Ustadz. Kira-kira dia bilang begini, 
“Akh Arief, antum mati-matian banting tulang sebagai seorang profesional dll.
Kapan terakhir kali antum bertanya pada orang tua antum, istri antum, dan juga naqib antum, apa yg sebenarnya mereka harapkan dari antum? 
Sudahkah antum sungguh-sungguh berupaya memenuhi harapan mereka?
Jangan-jangan antum habis-habisan berjuang, tapi sebenarnya antum lalai terhadap hal-hal kecil dan sederhana yang diharapkan orangtua dan guru antum dari diri antum. 
Jika demikian akh Arief, barokah itu jauh …..” 
Dan ketika itu saya menangis.
174 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
HYTDL #13: Luka yang Kita Undang Kedatangannya
Pada suatu kesempatan, saya pernah merasa sangat lelah dengan beberapa orang di sekitar saya. Saya merasa terluka, meski entah siapa yang sebenarnya melukai, entah saya sendiri atau orang lain. Seperti menyalakan lilin untuk menerangi orang lain, saya malah terbakar sendiri. Tidak hanya itu, dalam beberapa hal lainnya, lilin itu malah ditiup oleh orang lain sebelum ia membakar tangan saya yang memegangnya. Alhasil, semua berbalik menjadi gelap sekali, meninggalkan saya yang bertanya-tanya,
“Apa yang sebenarnya sedang saya lakukan? Jika kebaikan yang diupayakan berbalik menjadi kesakitan bagi diri saya sendiri, bukankah ada kesalahan yang mungkin tanpa sadar sedang saya lakukan?”
Sebagai calon psikolog dengan skill empati yang sedang terus dilatihkan hampir setiap hari (meski tentu saja masih banyak gagalnya dan harus terus latihan lagi), saya terkadang tidak bisa menahan diri untuk menolong orang lain, menumbuhkan mereka, dan mengajak mereka keluar dari zona nyaman yang saat ini sedang mereka jejaki. Dalam hal ini, rasanya tak ada kepentingan diri selain untuk dapat melihat orang lain menjadi lebih baik lagi. Banyak orang bilang, “Jangan gitulah Nov, enggak usah terlalu baik sama orang lain yang tidak siap menerima kebaikan.” Tapi nasehat itu saya tepis, sebab bagi saya, memberi kebaikan kepada orang lain adalah puncak dari kebaikan itu sendiri, yang tidak akan pernah menjadi sia-sia meski siapapun menyia-nyiakannya.
Kembali pada pengalaman saya yang kelelahan karena interaksi dengan sesame manusia, dihadapkan Allah pada kondisi-kondisi seperti itu membuat saya menyadari beberapa hal yang selama ini sepertinya sedang luput untuk saya sadari. Pertama, sifat kebaikan adalah tidak bisa dipaksakan. Sebagai orang yang memberi, kita bisa terus berupaya untuk memberi, tapi soal orang lain menerimanya atau tidak, itu sudah berada di luar kendali kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita sendiri, salah satunya sikap untuk tetap melanjutkan kebaikan. Di luar itu, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menerima atau tidak menerimanya.
Kedua, tak selamanya suatu kebaikan dipersepsikan sama oleh orang lain. Maksud baik tak selamanya diterima dengan baik, sebagaimana pun kita sudah mengupayakan atau menjelaskannya. Seperti ibu yang melarang anaknya memakan permen: ibu berniat baik agar gigi anaknya tidak sakit karena makan permen, namun anaknya menganggap ibunya sedang menjauhkan dirinya dari kebahagiaan yang sedang sangat diinginkannya. Kau tahu apa yang paling sulit dilakukan disaat-saat seperti ini? Menahan diri untuk tidak mengatakan, “Tuh kan, saya bilang juga apa …” Bagaimana pun, ternyata tangan kita memang tidak pernah akan sampai untuk menyelamatkan orang lain dan memastikan kebaikan hadir kepada mereka.
Lalu apa lagi? Ketiga, saya pun menyadari …
Bagaimana pun, bukan tanggung jawab kita untuk memastikan pertumbuhan dan berubahnya orang lain menjadi lebih baik. Tak ada satu hasil akhir pun yang berada di bawah kendali kita. Yup, every person is responsible for their own growth and they are the only person responsible for their growth.
Tugas kita adalah memberikan umpan, lalu umpannya diambil atau tidak, itu bukan tanggung jawab kita. Peran kita adalah memberikan stimulus, lalu stimulusnya diterima atau tidak, itu juga bukan lagi menjadi tanggung jawab kita. Hmm, mungkin ini ya yang membuat rasa berat dan lelah (juga mungkin marah) itu muncul, sebab kita merasa bertanggung jawab terhadap kebaikan hidup orang lain. Padahal, kendali itu tidak pernah ada di tangan kita, yang dapat kita kendalikan hanyalah konsistensi dan kesabaran kita dalam berupaya.
Tumblr media
“Dimana letak kesalahan saya yang sebenarnya?” Saat itu pertanyaan itu terus saja bertengger di pikiran saya. Awalnya, sulit bagi saya untuk menemukan jawabannya, sebab ternyata saya masih saja selalu merasa benar. Saya pun memutuskan untuk mengakui bahwa letak kesalahan memang boleh jadi ada pada diri saya. Apakah itu? Berharap pada manusia! Ya, saya berharap semua akan berjalan sesuai dengan apa yang saya perkirakan, hubungan kami akan baik seperti yang saya harapkan, dan semua orang akan mau mendengar apa yang saya katakana. Nyatanya? Nihil! Pada akhirnya, saya hanya sedang mengundang sebab-sebab yang pada suatu ketika, cepat atau lambat, akan membuat saya terluka.
Saya jadi ingat pada sebuah prinsip filsafat Stoic dalam buku Filosofi Teras, urusan-urusan di dunia ini terbagi menjadi 2 hal, yang bisa kita kendalikan dan yang tidak bisa kita kendalikan. Dalam hal memberi kebaikan kepada orang lain, rasanya prinsip ini pun relevan. Satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri sehingga kita bisa terus berupaya untuk meluruskan dan memperbaiki niat, mempelajari cara-cara baru untuk berbuat baik, juga untuk tetap menjaga maksud baik atas segala sesuatu. Namun, kita pun tidak boleh lupa bahwa hasil dari semua yang kita upayakan itu belum tentu sejalan dengan apa yang kita bayangkan, belum tentu pula kebaikan kita diterima sebagaimana mestinya. Lalu, kalau hal itu benar terjadi, apakah lantas kebaikan kita menjadi sia-sia?
Tidak, kebaikan itu, apapun bentuknya, tidak akan pernah sia-sia, meski siapapun menyia-nyiakannya. Sebab, selama semua karena-Nya, tak ada yang sia-sia di hadapan-Nya.
Bagaimana pun, pengalaman tidak menyenangkan dari interaksi dengan sesama manusia ini menghadirkan pembelajaran berharga, bahwa ternyata ada luka yang bisa kita undang sekaligus kita hindari kedatangannya, yaitu luka karena tingginya harap kita kepada manusia.
___
Sumber inspirasi: Manampiring, Henry. (2017). Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Picture: Pinterest
134 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Dari Kulai, Johor Bahru.
"Mbak, mbak, coba liat deh, ini banyak yang komentar di upload-an yang tadi.." Mami berseru segera setelah sampai dirumah.
"Ini juga ada kak ida yang komentar.."
Aku melirik sekilas ke ponsel mami. Tertera sapaan melayu dengan emoticon hangat, khas sepupu ramah nan luarbiasa kami itu. Ah, pikirku jadi teringat dua tahun yang lalu. Saat babe tiba-tiba mengajak kami mengunjungi Kulai,  Johor Bahru.
Pertama kali datang, pikirku terkesan. Betapa maju daerah yang mereka sembut 'kampung' itu. Jalanan lebar dan rumah-rumah luas dengan desain modern khas melayu. Bukan 'sesederhana' rumah panggung upin-ipin seperti bayanganku. Sama sekali tak mencirikan bahwa daerah itu bukan terletak pas di ibukota. Kecuali penegasan hamparan sawit dikiri-kanan jalan menuju daerahnya. Yang juga membuat daerah itu bercuaca panas luar biasa. Yang baru buatku tersadar, ada tempat yang lebih panas dari bangka wkwk.
Seminggu berada disana, walimahan kak fathiya menjadi salah satu tujuan utama. Salah satu pesta utama itu sungguh menarik. Yap, karna selain mempelai sendiri yang menggotong-gotong kursi untuk tamu, lantas mencuci piring setelahnya (bahkan keknya kak fat dan suami cuman duduk dipelaminan waktu foto dan seremonial awal ajalo. Sisanya menyapa tamu langsung, bahkan melayani mengambilkan makanan!), gaada juga organ dangdut gonjrang gonjreng yang biasa kita temui pada pesta kebanyakan. Tapi rebana melayu dan lagu-lagu islami macam sabyan yang jadi andil menyemarak-kan. Sempat kutanyai perihal ini pada om kami-pak katnin, yang jawabannya bakal bikin kita tersentil perlahan. Kurasa.
"Oh itu.. Dahulu jugak disini masih pakai-lah lagu-lagu macam dangdut tu. Atau lagu pop ke.."
"Nah, tapi semenjak ade terkenal ustad-ustad dari indonesia, macam ustad abdul somad, ustad adi hidayat, perlahan-lahan lah tu masyarakat tinggal muzik-muzik macam tu bile ade majelis perkahwinan. Kan seringlah tu, kami dengar ceramah-ceramah ustad dari indonesia. Entah dengar di tv ke, atau bile ustad tu datang ceramah kesini.."
"Jadi baiklah diganti jadi muzik islami macam ini. Kan sekarang dah banyak pilihan. Nak rebana lagu-lagu islami melayu cak ini ke, sholawat, maher zain, atau yang tengah musim macam-macam lagu sabyan.."
Sesaat rasa hangat menjalar dihati saat mendengar jawabanan pak katnin tadi. Sungguh Maha Kuasa Allah ya, yang bahkan bisa mendatangkan hidayah dari luar jangkauan mata, bahkan negara. Tapi disatu sisi ada rasa miris juga, bahwa yang jauh keknya lebih bisa terketuk hatinya, dibandingkan yang lebih dekat, sepelemparan rasa.
Hmm benar-benar, hidayah tu memang mahal kali lah ya. Kudu kuat-kuat dicari dan dijaga:(
Tumblr media
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
"Tante, sholatnya kok ga pake mukena?"
Azan isya berkumandang di sabtu malam itu. Ku pilih untuk sholat lebih dulu. Giliran terapiku masih harus menunggu mami juga adikku. Sesampai dimasjid, diri ini segera masbuk, mengambil tempat sedikit berjarak dari seorang adik kecil di pojokan shaf waktu itu. Hanya ia jamaah wanita satu-satunya.
"Tan...." samar setelah imam salam terdengar kecil sepertinya ia memanggilku. Namun urung, karna masih kulanjutkan kurang satu rakaatku.
"Tante, sholatnya kok ga pake mukena?"
Cepat ia bertanya setelah akhir salamku.
"Hmm.." terambil jeda sejenak. Agak kaget, berusaha menerka jawaban tepat. Apa kira-kira penjelasan yang dapat dicerna anak kecil usia 8/9 tahun ini. Walau sedari awal, sebenarnya sudah ter-feeling ia akan bertanya demikian tadi. Daerah kami masihlah belum terbiasa akan hal begitu. Bahkan dengan style ughte-ughte berjilbab panjang nan lebar, yang dapat dengan mudah kutemui di daerah merantau-ku. 
"Hmm, karna tante udah pakai pakaian tertutup. Liat, jilbab dan baju tante panjang, dan juga tante pakai kaos kaki.."
"Kita boleh kok sholat dengan pakaian yang seperti ini, sama seperti mukena. Yang penting tertutup ya.." kucoba lebih yakini dengan senyum.
"Oo.." adik kecil itu manggut-manggut. Macam paham apa yang ku maksud. Sembari kuiringi doa, semoga ia tak pusing yaAllah, beneran faham huhu..
Imam melanjutkan wirid. Tapi gara-gara pertanyaan tadi, yang terpikir kan kepalaku malah tentang perkara menyampaikan yang ternyata harus ada seni-nya. Bahwa mungkin, kita harus tau, pada siapa kita berbicara, narasi dan poin apa yang ingin dibawa, dan bagaimana pengemasan bahasa dan komunikasi penyampaian yang akan diguna, lantas bagaimana tahap penyampaiannya. Agar objek dapat lebih mudah mencerna, masuk dan faham terhadap pembahasan kita. Bukan mereka yang dipaksa sengaja untuk memahami kita (ya kendatipun dibeberapa kondisi hal ini bisa aja. Tapi keknya ga tepat guna). Seperti adik tadi. Walau kuyakin, penjelasan yang kuberi hanya mampu masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kirinya. Karna kuyakin pula, kalimatku belum sesederhana pikirannya, dan setepat esensi apa yang kusampaikan seharusnya.
Srakk..
Tirai hijab didepanku tiba-tiba dibuka adik itu.
Srakkk sraakk..
Makin terbuka lebar pulak. Hingga barisan bapak-bapak ramai terlihat jelas didepanku. Bergegas ku aamiin-kan wirid dan doa imam tadi, lantas segera berdiri dan pergi.
Duhai, padahal belum usai doa-doa baik tadi, juga kontemplasi pikiranku, tentang seni menyampaikan pada orang-orang disekeliling diri.
--
Btw baru sadar euy, dipanggil ateu-ateu. Gapapa weh, setidaknya lebih halus dibanding 'ibu', padahal nikahnya baru sama skripsi, belum ampe taraf nikah beneran dan punya anak begitu wkwk🥲
Ps. : Yang sebelumnya keknya relate bangett sama Q.S. Ibrahim ayat 4, coba cek dan buka yak!
0 notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Mbak-Yun.
Tumblr media
Dipikir-pikir, setelah petualangan bandung, jarang kali diri ini bertemu orang yang macam mbak-yun. Polos, lugu, dan sederhana. Gambaran perpek buat mbak-yun ku yang berharga. Pembuat salah satu faktor rumah jadi ayem sentosa. Karna dah jarang lagi dah tu sirine merdu "Lho habis makan ayo pada cuci piringnya!" Atau "Mbak ini udah disapu belum, kok masih ada semutnya?!", yang kukira kalian pasti dah paham dari siapa wkwk.
"Mbak-yun, ini nanti sayurnya dibuang aja ya. Udah ndak ada yang makan.." ujarku singkat disuatu siang.
"Eh, mana mbak iffah? Coba kuliat sini. Kayak e agik enak ni mbak, dak apelah, ku malah suka sayur kemaren. Lebih meresep rase e. Jangan dibuang, ku bain yang makan.." Padahal kuah sayur tak sampai seperempat jengkal sisa.
Atau,
"Mbak iffah, nasi ni jangan ok dibuang. Ku suka nasi dingin. Pacaklah ku kelak makan e."
Mataku hanya melirik pada nasi dingin berkerak di meja.  Atau adegan lain, yang tiap makan tak mau duduk dimeja, tapi dengan takzim duduk bersila, menikmati nasi dengan tangannya walau lauk berkuah sekalipun. Sungguh, bukan suguhan adegan sinetron kejamnya orangrumah pada khodimahnya.
Awalnya, tiap mbak-yun berkata demikian, sering kali ku-utarakan nada keberatan. Bukan apa, karna bagi keluarga kami, setiap yang datang pada rumah adalah keluarga. Maka apa yang kan masuk ke perut kami, juga apa yang terguna akan sama. Mengerti-ku pada mbak-yun-pun menjadi lama.
"Mungkin dulu mbak-yun hidupnya susah.." ujar ringan babe pada satu masa kubercerita perihal mbak-yun.
"Susah gimana? Kan jadi kesannya kita yang jahat gitu. Padahal juga udah sering kukasih tau.." Adu-ku, masih dengan pemahaman yang sama.
"Iya. Jadi mungkin, karna saking sulitnya kehidupan mbak-yun, dia sangat ngehargain apa yang dia punya. Keluarganya dulu hanya bergantung dari uang pensiunan timah 300 ribu kan, sebulan?"
Aku termagu. Betul juga. Dengan jumlah anggota keluarga yang lumayan, tidak memiliki bapak rumah tangga, dan uang yang tak seberapa. Mencelos hatiku rasa-rasanya. Diri pribadi saja sudah berkilo-kilo naik selama #dirumahsaja, menunjukkan seakan lupa dan tega, bahwa masih banyak diluar sana, yang mengunyah nasi dengan lauk sisa pun sudah bahagia luar biasa.
"Mbak iffah, kuah lempah kuning buat ku bain, ok?" Aku menoleh, untungnya dengan pemahaman yang sudah berbeda.
"Boleh mbak.."
"Tapi ni ade tenggiri pindang, berkuah juga. Lebih enak. Mbak-yun makan ni bain. Lebih bergizi. Okeh?" Kubujuk dengan sedikit semburat di bibir.
"Hmm.. aoklah pun." Dengan perlahan kuah lempah tadi terbuang perlahan, diiringi wajah sedih mbak-yun. Yang seakan tengah berat melepas emas 24 karat.
Duhai Allah, maka kau sungguh sayang..
Mulai sekarang kita makan yang enak ya, mbak-yun!
---
In pict. : scoopy biru dan jas hujan kesayangannya. Kalo tunjuk muka bisa-bisa doi terkenal dan bikin berabe ya, wkwk.
3 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Entah apa.
Sedari awal, sewaktu pertama kali mengenal tumblr, entah mengapa sudah terpatri dalam hati, bahwa tempat ini kan menjadi tempat berbagi sudut pandang a.k.a perspektif sekalian katarsis, namun menggunakan bahasa ala-ala konotasi sastra(ceritanya). Selain karna rima dan diksi tak bisa terlepas begitu saja dari tulisan anak alay ini (ya moon maap yak), namun juga merasa dengan adanya kalimat bersayap, membuat para penikmat pena tak langsung dapat 'menembus diri' tulisan-tulisan kita. Bahkan pemaknaannya dapat menyesuaikan sudut pandang masing-masing pribadi pembaca. Namun penulis tetap memiliki kewenangan ingin mengarahkan kemana pemaknaan-pemaknaan tersebut. Seru bukan terdengar?
Namun lagi-lagi, tak ada perjalanan yang tanpa halang rintang, apalagi kalo ngomongin tentang kenyataan lapangan. Sedikitnya referensi mengenai diksi, padanan kata, hingga bila ujung kalimat yang pada tak terdengar sama, seringkali membuat banyak letupan-letupan kalimat pada kepala berakhir menguap begitu saja. Bagus jika jejaknya tak ada yang menempel pada rongga kepala, tapi masalahnya seringkali meyisakan jelaga pekat, hingga membuat tersendat kendaraan lain yang ingin lewat. Fyuh. Berad. Satu bulan kemarin bukti nyatanya. Hingga berpikir kalimat pengganti diri menjadi aku, saya, atau gue pun gelap dan kelat, macam co-ke-lat.
Untuk itu, bila besok-besok hal yang terbawa tak seperti sebelumnya sungguh tak apa, ya. Entah walau cerita harian sederhana, atau tulisan random yang mampir menggangu kepala. Entah bakal muncul sebagai aku, saya, gue, tante, kita, kalian atau zuka-zuka (walau sejatinya perspektif bisa jadi sesiapa). Tapi semoga, esensi berbagi sudut pandang awal selalu terbawa. Juga ibrohnya. Macam idealisme mahasiswa. Walau dah semester tua wkwk. Hu'um dah, semoga.
5 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Jalan dan Tujuan
Sekarang aku tidak terburu-buru. Tidak seperti dulu yang segalanya pengen didapat dengan cepat. Mengukur kebahagiaan pada tujuan, bukan pada jalan. Yang indah nampaknya diseberang lautan, sedang lautnya biasa saja.
Beberapa cita-cita tetap selalu ada. Karna dengan cita-cita hidup akan memiliki arah. Atau sekedar hidup bisa memiliki tujuan, tidak selalu mengikuti apa yang populer. Kita juga memiliki kaki, tak pelu mengikuti langkah orang lain.
Aku dulu berpikir bahwa dengan menggapai sesuatu, segalanya akan terasa baru. Memiliki kerja setelah kuliah, sepertinya hidup akan bahagia. memiliki pasangan setelah lama menunggu, sepertinya juga akan begitu.
Tetapi banyak hal yang telah kugapai dengan susah payah justru setelah mendapatkan menjadi biasa-biasa saja. Membahagiannya diawal, merawat bahagianya justru yang lebih sulit.
Tujuan itu hanya satu titik kecil dari sebuah jalan. Sayang sekali jika yang kita lewati justru tak dinikmati. Kesulitan dalam sebuah jalan itu pasti, tetapi memilih untuk menikmatinya adalah pilihan. 
234 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Tumblr media
Sebuah cinta. Dari, ibunda pohon.
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Konstèlasi Semesta (1).
#SerialMolly
Tumblr media
"Kakeek!"
Bruk
"Zanky rindu sekali dengan kakek.." tangan mungil itu erat memeluk pinggang bapak, yang tengah asyik dibuai sony.
"Kakek juga rindu sekali dengan zanky! Sudah lama sekali bukan lele di empang belakang tidak kita buat sambel pecel! Duh, kakek jadi lapar nak.." Bapak terkekeh, tidak kalah antusias. Posisinya tetap tidak berganti, hanya ditambah tubuh zanky yang ikut terayun diatas tubuh tua-nya.
"Betul. Sambal pecel lele nenek memang debest! Ada pedes-pedesnya gitu kek.." Terangkat mantap kepala zanky dengan dua jempol mungilnya.
Ah, bocah. Sejak kapan yang namanya sambal rasanya asin! Pedas pasti-kan jadi citarasa yang senantiasa terbawa. Batinku mulai menjengkel.
Kemarin tidurku sudah diganggu gumaman aneh bapak, sedang hari ini bocah tengil itu datang, huh. Aku makin merapatkan posisiku, mencoba bersembunyi dibalik buffet ibu.
"Kek, tahu tidak, tadi disekolah aku mendapatkan pertanyaan yang membuatku kesaaal sekali.." Badan zanky merosot, mencoba duduk diantara gerak irama sony.
Ah, alamat, tidur soreku jadi kembali tidak nyenyak hari ini.
"Memangnya tadi bu guru tanya apa? Dan kenapa zanky kesal?" Bapak tetap santai, makin merapatkan jalinan tangan dan menikmati irama buaian.
"Masa bu guru tanya gini, lebih dulu mana diciptakannya, antara gunung-gunung, bumi, langit dan bintang-bintang?"
"Terus aku kan berusaha ingat-ingat cerita umma, kek. Tapi sepertinya umma belum pernah cerita itu.." raut wajah zanky mulai terlipat.
"Habis itu zanky jawab apa?"
"Aku bilang, langit bu guru! Habis teman-temanku diam semua kek. Ndak ada yang jawab.."
"Lha, terus kenapa kamu kesal? Kan berarti bisa jawab?" Bapak masih merespon dengan santainya.
"Soalnya, habis aku jawab langit, bu guru malah ketawa kek. Padahal kan, katanya umma, langit itu ada tujuh lapis. Dan menurutku pasti itu tinggiiii sekali. Jadi pasti langit dulu yang diciptain, kan pasti ribet kek bikinnya. Baru deh, sisanya ditempel bintang, terus ditaruh bumi yang ada gunungnya, ada kita manusianya.."
Bapak manggut-manggut. Punggungnya mulai terangkat.
"Iyaya, kakek juga setuju sama kamu. Terus habis ketawa, bu guru bilang apa lagi?"
"Bu guru bilang gini kek; zanky, jawabannya jadi pr ya buat kamu. Hari ini kamu belum berhasil menjawab dengan benar. Sambil kepalaku dielus-elus gitu. Aku kan jadi kesal kek. Malu sama teman-teman kalau jawabanku salah, huhu.." Mulai berkaca-kaca mata bocah usia 5 tahun itu.
Ah, dasar si cengeng yang perfeksionis. Begitu saja sudah kesal, marah dan menangis. Apa pulak malu karna jawabannya salah. Payah..
Aku mulai memperbaiki posisi. Berusaha menutup kuping, agar tak terdengar percakapan tak guna tadi. Bukankah sungguh tak penting mempertanyakan lebih dulu mana antara langit, bumi, bintang, dan gunung yang diciptakan? Bukankah yang penting sekarang kita sedang ada di bumi, dapat menatap langit yang ada bintangnya, bisa jalan-jalan digunung dan sisanya tinggal nikmati hidup saja? Cari makan dan santai-santai gitu?
Huh.. aku kembali menghela nafas. Sudah betul dugaan awalku bahwa percakapan ini akan sia-sia saja.
Bapak mulai menenangkan zanky.
"Sudah, ndakpapa, nak. Kakekpun sebenarnya bingung. Bingung tujuan gurumu bertanya begitu, bingung juga dengan jawaban betulnya apa.."
"Hmm.. menurutmu bagaimana mol? Apa kira-kira jawaban terbaiknya?" Menoleh bapak padaku sembari tetap mengelus zanky.
Hah? Menurutku?
Ah, pasti lagi-lagi pertanyaan dalam kepala bapak sudah makin menumpuk banyak, hingga akhirnya bertanya padaku yang besar otakku saja bahkan tak sampai sepersen dari berat total tubuhku.
Jadi, untuk apa pertanyaan itu dibuat, dan kira-kira jawaban betulnya apa?
Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Lagi-lagi gema maghrib memutus obrolan aneh kami sore ini. Padahal baru saja ingin kuajak otak kecilku ini berpikir. Ah, kuputuskan saja kembali mendengkur, mencoba meneruskan tidur.
(Bersambung)
2 notes · View notes
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Karam.
Tumblr media
"Wah, ramai ok.. kan lah kubilang agik ramai" Seru bungsu sambil melihat sekeliling.
"Enggak. Kita juga kemarin kesini sama lah ramainya.. kita berenti di ujung aja, ditempat biasa" ujar babe menenangkan.
Bimbi kembali melaju membelah pinggiran matras. Menuju ujung pantai dengan rumah nelayan, tempat favorit kami.
"Eh tengok-tengok, ade mobil polisi banyak kek ambulan. Ade ape ok?" Tunjukku sambil memicingkan mata.
"Oh, ade kapal tenggelem.."
"Besak kapal e.."
"Iya, kapal isep timah tu yang karam. Baru kemarin gara-gara gagal lempar jangkar karna ombak besar. Ada dimuat di berita" jawab babe menjelaskan.
"Oo.." respon kami berempat bersamaan.
Selekas bimbi berhenti dan membuka pintu, kupandang-pandang lagi kapal karam didepanku tadi. Bentuknya besarr kali, dengan kelir putih tegas salah satu perusahaan tambang BUMN terbesar pula di provinsi kami. Juga kelir perusahaan partner BUMN tersebut disamping kanannya.
Semakin memangkas jarak, aku jadi terpaku. Tetiba teringat beragam champaign reklamasi yg seringkali dibahas dan digaungkan saat masa SD hingga SMA-ku disini. Beragam protes-protes kami, sampai uji Ph dan segala penelitian dampak lingkungan akibat pengerukan timah, yang dulu-dulu kupikir makin tak sopan karna makin dekat menuju rumah-rumah kami.
Ingin ku-sukur-kan saja rasanya sewaktu melihat kapal isap yg hanya makin terlihat setengahnya tadi. Kupikir impas bukan? Atas segala dampak lingkungan, sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan politik yg mereka timbulkan. Taipan (beneran taipan disini sebutannya, bukan karna pinjam istilahnya bang tere ya wkwk) makin kaya, sejahtera, masyarakat yg lelah bertarung nyawa. Toh, rugi satu kapal ga bakal langsung bikin mereka miskin bukan?
Seperti kata sebuah laporan VOA Indonesia ditahun 2017,
Provinsi Bangka-Belitung berada di posisi tertinggi dalam soal kerusakan lahan yang mencapai 1,053 juta hektar atau 62 persen dari luas daratannya. Industri ini juga sumber korupsi. Selama 10 tahun sejak 2004, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara dari penambangan timah sebesar 68 triliun rupiah dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak.
Walau katanya, dengan timah pula pulau ini terdengar namanya di peta dunia,
Bangka Belitung bagai menerima buah simalakama. Sejak lama, kepulauan ini menjadi penghasil timah terbaik di dunia. Sepuluh negara, yaitu Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Jepang dan Singapura, menggantungkan pasokan timah dari sana. Buah manis itu bertahun-tahun dinikmati dan membawa nama Bangka-Belitung di peta dunia.
Begitu yang tertulis disana. Pun sama berita-berita lainnya.
Maka, ku-sukur-kan si karam tadi sungguh tak apa bukan? Toh hanya satu kapal diantara puluhan bahkan ratusan kapal yg tengah berlarung mengeruk bumi pulau kami?
Tsahh, byurr..
Gulungan ombak yg memang tengah tinggi seakan menyadarkan pikir-pikir anehku tadi.
Keknya, bukan tugasku untuk menghakimi segala hal yg terjadi pada pulau dan penghuninya ini, karna kerja taipan² dan kroni²nya tadi.
Karna kayaknya, sejahat apapun mereka di pikiran kecilku ini, tetap aja,
Ada rizki orang banyak, yang kukira hampir 1/3 masyarakat pulau yg Allah titip beri pada taipan-taipan itu,
Ada puluhan atau bahkan ratusan perusahaan di indonesia bahkan, yg memang membutuhkan timah sebagai salah satu bagian produk mereka,
Dan bahkan, masih ada kita, yg selanjutnya mungkin menjadi konsumen akhir dr produk² perusahaan itu.
Maka perkara ini, sungguh bukanlah hal yg sederhana tuk diatasi. Tapi bukan berarti mustahil tuk teratasi.
Jadi pemerintah tu sulit, karna ada tanggungan rakyat dalam tiap kebijakannya,
Jadi pengusaha juga sulit, karna ada tanggungan karyawan dalam tiap produksinya,
Jadi karyawan dan masyarakat juga sulit, karna ada perut keluarga yg harus diisi di tiap harinya,
Dan,
Jadi manusia juga sulit, karna ada hati, pikiran dan mulut yg harus pintar² pula dijaga.
Kalau kau tadi jadi sukur-kan kapalnya,
Kukira kau yg kan karam selanjutnya, fah.
"Dadi wong ki mbok yo sing solutip, ngono lho!"
Fah, fah..
Mending bantu cari solusinya🐣
Nb : Coba² buka Q.S. al ahzab ayat 70-71 dan hadist arba'in nomor 34, ya!
1 note · View note
ceritanyaiffah · 3 years
Text
Tumblr media
Bara-Bara.
Siang satu januari, gegara orang rumah sibuk kali request ayam bakar yang beneran di 'bakar', maka jadilah sesiangan daster ijo pemberian mami jadi 'harum' bakaran. Dan tau, ternyata ga gampang kali lo buat arang itam legam tu jadi matching dan kawin sama api. Lalu melahirkan bara, yg selanjutnya kan berpetualang bersama memembakar ayam dan bumbu-bumbunya tadi. Eh, tapi jadi macam judul film yak, "petualangan bara (padu rasa arang&api)". *Et maap random kali wkwk.
Tapi, ngomong-ngomong soal bara, tahun 2020 kemarin keknya banyak kali ya bara-bara yang terjadi. Apalagi tahun dimulainya era pandemi, yang bikin kita-kita hidup hari-hari dalam dunia layar lebih banyak dibanding direct interaction sesama makhluk bumi. Dan efeknya tu jadi berasa kali.
Contohnya, sadar gasih kalo misalnya kita tu jadi mudah kali kepancing akan sesuatu, mudah marah, dan emosi hanya karna suatu berita yang belum jelas keabsahan-nya, suatu champaign yg gajelas siapa penggagasnya, atau suatu konten yg sejatinya udah secara jelas pengen nge-provokasinya. Terus, kita juga jadi mudah kemakan dan keikutan trend-trend yang sebenernya bikin efek negatif buat diri sendiri. Apalagi konteksnya kalo bahas diri kita sebagai muslimah. Dan apalagi juga kalo kita kepancing, ikutan panas dan ikutan jadi negatif juga gitu. Makin banyak dah tu kan bara-bara nya. Tahun hareudang euy. Keknya syaiton berpesta ria.
Cuman, ngomongin soal tahun bara-bara, tetiba tu jadi keingetan nasihatnya ibunda pohon, yang bilang, jadilah seseorang itu yang responsif, bukan reaktif. Nah, emang bedanya apa?
Ternyata, kalo reaktif itu sikap yg lebih kita kedepankan dengan spontanitas sesaat, jadi segala reaksi yang kita keluarkan itu biasanya masih disertai dengan emosi, pikiran yang belum jernih dan luas. Jadi nanti jatuhnya ga solutif juga bisa-bisa malah tambah 'bara' di hal yg lagi kita komentarin/liat tadi. Sedangkan, kalo responsif itu, sikap yang kita kedepankan dengan kepala jernih, emosi yang lebih tenang, karna kita udah cerna dulu segala sesuatunya. Tabayyun dulu. Jadi, output yang kita keluarinpun, entah komentar atau apapun itu bisa lebih positif dan solutif gitu. Dan pastinya ga bikin bara-bara kembali idup lagi menjadi api.
Eh, jadi intinya, fah?
Ya semoga ditahun ini kita bisa lebih pintar menghadapi bara-bara, ya! Entah itu bara yang muncul karna panggangan ayam, ikan, panggangan berita, panggangan tipi, panggangan social media, ato panggang-panggangan lain yang kadang muncul ga tepat guna. Jangan makin dinyalain apinya, jangan juga dijaga panasnya kalo² hal yang lagi dipanggang tadi ga enak dan bermanfaat buat dimakan lambung, kepala dan hati kita, gitu. Kan kalo diare barabe ya.
Juga,
Kalo kata kalimat seribu ummatnya bu tedjo,
"Dadi wong ki mbok yo sing solutip!"
ngono lho..
Nb: Psstt🤫, jangan lupa juga buka Q.S. Al Hujurat ayat 6, ya!
2 notes · View notes
ceritanyaiffah · 4 years
Text
putus.
Tumblr media
Bagaimana rasanya, ketika putus sama ‘mantan’?
Hehe. Mantan di sini kontekstual, anyway. Semisal: mantan ‘kebiasaan buruk’, mantan ‘pergaulan buruk’, atau ya memang beneran mantan pasangan yang not meant to be lagi.
Kalau putus, biasanya sudah nggak mau ya, terhubung lebih lanjut dengan si mantan. Ekspektasi dibunuh. Kebergantungan pada sang mantan dituntaskan. Kita siap menyongsong harapan-harapan lebih potensial.
Kalau putus dengan ‘pemerintah’, gimana? Can you imagine? Bukan putus pada nasib negeri. Melainkan putus kebergantungan akan harapan muluk pada orang-orang yang mengelolanya.
Sebelum bahas lebih lanjut tentang itu, saya kilas balik pada tulisan yang pernah saya temui sekitar satu dekade lalu. Tulisan itu berjudul SDM: “Selamatkan Diri Masing-masing” dan ditulis oleh dosen Jurnalistik saya, Bang Sahala Tua Saragih.
Inti dari tulisan tersebut yang saya ingat ialah: jangan terlalu berharap pada pemerintah yang acapkali mengecewakan kita. Selamatkan diri masing-masing saja! Begitu simpulannya.
Hal ini terus terang mempengaruhi cara pandang saya terhadap bagaimana saya membangun kedaulatan atas diri, dan bagaimana jadinya saya tidak lagi berharap pada belas kasih pemerintah.
Bukan berarti, saran, kritik, dan ekspresi atas ketidaksetujuan sama sekali tak berguna. Karena ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan pemerintah, dan kita bisa jadi diberikan ruang untuk menginterupsi. Namun, adakalanya (atau seringnya?) aspirasi tak didengar.
Barangkali, ide-ide seperti makar, merusuh, menggulingkan kekuasaan tampak begitu ‘seksi’. Namun setelah kekuasaan digulingkan, pertanyaannya, siapa yang sudah siap membangun ‘tatanan’ baru? Kita? Atau, siapa?
Kemudian apa yang bisa dilakukan, setelah berdaulat pada diri, menyerahkan kebergantungan hanya padaNya?
Dimulai dari melihat potensi apa saja yang sudah Allah titipkan pada masing-masing diri. Dan menyibak maksud, Dia ingin kita menderma apa selama hidup? 
Menghimpun sesiapa yang menyerahkan jiwa raganya hanya untukNya, mengabdi atas namaNya — dan membangun tonggak-tonggak peradaban madani, agar rahmatNya semakin menghujam bagi segenap semesta.
Bukankah kiranya, Hadirin?***
42 notes · View notes
ceritanyaiffah · 4 years
Text
Tentang Bapak
#SerialMolly(1)
Kriet, kriet..
Derit kursi goyang tua bapak kembali memekak-kan telingaku pagi ini.
"Kamu tau, saya sudah setua ini mol.."
Bapak kembali mengedarkan pandangan. Kembali menyeruput sisa kopi terakhir di cangkir. Aku tetap mendengkur. Sejuk udara kaki bukit manglayang jauh lebih menarik dibanding cerita bapak.
"Saya mungkin sudah berada di ujung.."
"Perkebunan sudah diurus Radini. Bah dan Fatih sudah memiliki perjalanan masing-masing. Ibuk? Sepertinya sudah bahagia dengan kebun bunganya. Sudah mampu temukan warna yang mungkin selama ini ia cari. Toh tyroid-nya sudah terkendali, jadi amarah bukan lagi makanannya sehari-hari. Ckck.." Bapak terkekeh kecil, bahagia dengan monolognya sendiri.
Kriet, kriet..
"Kamu tau mol, ada banyak hal yang terpikirkan kepala tua ini sekarang.."
"Dulu, saat ulangtahun ke 17, Abdul remaja selalu takut. Takut untuk jadi dewasa. Ia pikir, jika 17 tahun usianya, ia akan segera kuliah. Lalu menikah, memiliki keluarga, lalu menjadi tua. Lantas mati.."
Bicara bapak menggantung, menghela nafas.
"Ia takut mati mol. Untuk itu ia enggan dewasa. Tapi nyatanya, sekarang saya sudah tua, mol.."
Kriet, kriet..
Terjalin tangan bapak. Sembari mengerjap, menengadah menikmati buaian sony, kursi tuanya.
"Lantas, saya harus apa mol?"
"Menunggu waktu, kah?"
Kriet, kriet..
Kakiku bergeming.  Cerita bapak sedikit banyak mengganggu posisi nyaman tidurku.
Aku bingung, pak. Batinku.
Cerita bapak terlalu kompleks. Tak terjangkau otak kecilku yang hanya suka makan dan tidur begini. Apapula bicara tua dan mati. Usiaku baru dua tahun.
"Mol, sejatinya apa yang kita cari?"
Nafas bapak gusar. Sepertinya mulai lelah bermonolog.
Makan, pak. Batinku menjawab kecil.
"Bahkan tak kurang rasa nyaman yang diri ini rasa mol. Tapi mozaik perjalanan yang diri ini punya sepertinya masih kurang.."
Kriet, kriet...
Ah bapak. Masa berpikir itu saja tak mampu. Badanku kembali menggeliat.
Apa lagi? Tidur mungkin pak yang jadi jawaban. Berat mataku kembali membendung suara.
"Pada siapa mol harusnya diri ini memetakan perjalanan? Lantas menuju dan memuarakan?" Pejam mata bapak, makin menikmati buaian sony.
Pada siapa? Kemana?
Allahu Akbar, Allahu Akbar...
Gema maghrib memutus monolog bapak. Ah, padahal baru saja ingin berpikir. Aku kembali mendengkur, mencoba meneruskan tidur.
...
0 notes
ceritanyaiffah · 4 years
Text
Dari iffah, kepada iffah.
Jika diingat, tlah lama rasanya kau tutup buku tuk segala kisahmu, fah.
Perjalanan yang kau nikmati, lantas kau bagikan dengan rasa. Ini yang kumaksud pastinya.
4 tahun. Kukira, bukan waktu yang singkat tuk temukan diri dengan segala kontemplasinya. Walau yang terasa, baru seperti kemarin saja.
Bila dulu, kau mundur karna kata bapakmu (a.k.a. abiku tersayang), apa yang kau laku hanyalah kerja orang yang lebay saja, maka sekarang ndakpapa.
Ndakpapa,
Kalau lebaymu sekiranya berguna.
Ndakpapa,
Kalau dengan lebaymu, kau bisa berbagi cinta.
Ndakpapa,
Kalau dengan lebaymu, kau bisa berbagi rasa.
Ndakpapa,
Kalau dengan lebaymu, kau tau arti bahagia.
Ndakpapa,
Kalau dengan lebaymu, kau bisa menjadi manusia.
Ndakpapa,
Kalau dengan lebaymu, kau bisa belajar menjadi sebaik-baik hamba.
Karna kita sungguh tak tau fah, pada kepingan ikhtiar mana, bukti cintamu yang kan diterima oleh-Nya.
Maka, teruslah berlarung, fah.
Menelusuri tiap tepian langkah yang kau bisa, dan Ia suka.
Lalu,
Jangan sering berbalik arah pada pulau yang terlihat ramai fah,
Karna sapatau, pulau itu tak pernah benar-benar ada.
-Iffah Qonita, dan catatan pertama-
1 note · View note