Tumgik
nightingalewinter · 2 years
Text
Hari Kelima - Penikmat Kuku
Ruang kecil tanpa sekat ini sungguh semrawut. Orang-orang berbicara semaunya. Menuturkan kata sesukanya dengan bungkusan nasihat sarat makna. Lalu mendiamkan seraya mengamati dari kejauhan kapan dapat bergerak untuk menemukan kejanggalan yang dapat dikomentari. Di sini orang saling tuding dengan nada tinggi, berdialog sembari melampiaskan emosi, berkompetisi dalam ambisi, dan tentunya gemar mengkritisi.
Seiring dengan usia yang bertambah, aku belajar bahwa dalam dunia ini ada panduan yang telah dirumuskan dalam diam. Panduan tersebut tak berbentuk dan cenderung semu. Berisi perintah dan aturan yang mesti dilafalkan pada setiap kesempatan datang. Kesempatan tersebut pun kasat oleh mata. Hanya yang penuh takwa berpegang pada panduan kehidupan saja yang dapat melihat. Aku bukan salah satunya. Dengan demikian, aku menjadi bidikan latihan hafalan yang sudah mereka lantamkan.
“Hah? Kok bisa ada orang suka musik jelek kayak begitu?”
“Hitam mulu pakaiannya. Mau ke pemakaman, Kak?”
“Tanganmu halus sekali. Gak pernah bantu-bantu orang tua di rumah ya?”
“Dunia ini bukan cuman kamu doang yang menempati. Jangan terlalu asik sama duniamu sendiri. Kayak orang autis.”
“Perempuan kok gak tahu dapur.”
“Kamu tuh dah tua. Malu tau kalau masih pecicilan segala. Kayak anak-anak.”
“Berhenti gigiti kukumu!”
Aku tertegun. Terlalu bising suara di luar dan di dalam sampai aku harus terdiam sejenak untuk mencari sumber suara. Barulah kemudian aku melihat barisan jemari yang terpaut dekat mulut dengan penampakan kuku bergerigi seperti habis dikopeki.
“Maaf…”
“Kebiasaan…”
Dikira aku mau punya kebiasaan begini. Menggigiti kuku sampai habis sampai nanti sisa jari untuk kunikmati. Setidaknya resahku pun turut tergerus oleh kuku yang semakin kurus.
“Gak baik tau. Nanti kukumu itu infeksi. Kuman-kuman gak jelas bisa masuk lewat mulut…”
Lucu. Dikira dia bersikap mulia dengan mengatakan fakta yang sudah kutahu. Justru aku lah yang terlalu berbaik hati di sini. Menahan fakta bahwa karena dia lah aku berakhir menjadi si penikmat kuku yang tak laku-laku.
7 notes · View notes
nightingalewinter · 2 years
Text
Hari Ketiga - Dia yang Berisik
((Harusnya ini tentang profile karakter gitu, tapi karena gak ngerti gimana bikinnnya, jadi dibikinin narasi kayak gini aja deh hahaha. Temanya itu tentang karakter yang terinspirasi warna. Tujuanku sih supaya orang yang baca nebak ini warna apa, tapi kayaknya ketebak banget sih hehehe hint nya dimana-mana))
Kamu gemerisik sungai yang berisik. Walau kamu diam saja, kamu mampu mengucur deras dalam benak. Membuat isi kepala ini ramai hanya olehmu seorang. Kamu mengalir menuju hilir dan tak pernah berhenti. Baik lembah lautan maupun palungan samudra sekali pun tak dapat untuk membungkammu. Kamu ada hanya untuk datang dan pergi. Dari awal memang sudah niatmu untuk tidak tinggal. Kamu lebih suka lepas diterpa semilir angin bebas. Kamu tidak butuh arah. Utara dan Selatan, apalagi Timur dan Barat, hanya mengekang dan memenjarakanmu. Itu lah kamu, gemerisik sungai yang berisik.
Kali pertama kita saling bertukar sapa dan jumpa, aku tahu tak akan pernah tercetus dalam otakmu kata “selamanya” bila menyangkut aku dan kamu – aku bahkan ragu kata “kita” ada dalam kamusmu seperti dalam kamusku. Namun tetap saja semua kuterima karena aku luka yang perlu untuk disembuhkan. Jadi aku sambut hadirmu dengan rekah senyum di bibirmu dan gaung merdu suaramu. Aku butuh mendengar bijaksana yang kamu tuturkan dan wibawa yang kamu ucapkan. Butuh segala pelukan erat untuk menenangkan dan segala kecupan ringan untuk memabukkan. Aku tahu, mustahil bila aku terus bersembunyi dalam teduhmu. Lebih mustahil lagi jika aku turut terseret dalam arusmu. Kamu akan selalu terlalu dalam untuk kuselam dan terlalu luas untuk kujelajah. Tetap saja kamu memikat untuk disingkap. Kamu pun menjelma menjadi rahasia yang perlu untuk kuungkap. Usaha yang terus kutenun sampai aku gila dan sinting sendiri. Semua gara-gara hadirmu yang berisik dan menarik itu.
Kamu sungkan untuk dimengerti. Kamu sengaja membuka halaman kosong di dalam bukumu untuk kuisi, tapi kamu sendiri melarang aku untuk melirik halaman-halaman yang sudah lewat. Tentang suka dukamu yang timbul tenggelam. Atau tentang gelombangmu yang terus bergelung. Kerikiil yang hanyut bersamamu itu pasti telah menorehkan banyak radang, tapi kamu tak mati-mati mencoba untuk menyejukkan penatku yang sudah lama melekat. Meski sepeninggalmu, masih ada berisik yang kamu jejakkan dalam benak dan bisa jadi selamanya akan terjebak di sana.
Kadang aku ingin tahu bagaimana kamu menaklukkan sendumu. Jika tadi kubilang aku selalu bersembunyi dalam teduhmu, kulihat-lihat kamu memilih bersembunyi dalam senyummu sendiri. Aku takut. Suatu hari nanti mungkin kamu akan mengeruh. Kamu tak lagi lembut, tak lagi merdu. Kamu akan berubah menjadi muram dan murung. Tidak, kamu tak boleh melebur dalam sedu sedanmu. Sama seperti kamu yang menghembuskan nyawa padaku, aku pun akan menjagamu. Meski waktu kita sempit, setidaknya aku harus memastikan kamu tidak pergi dengan hati yang sakit.
1 note · View note
nightingalewinter · 2 years
Text
Hari Kedua - Si Penyiar dan Sang Ilmuwan
PENYIAR
“Selamat malam, warga dunia! Meski ada begitu banyak bahasa di dunia, tapi suatu sapa akan tetap bermakna sama. Kembali lagi dengan saya, Diandra, pada segmen BBM: Bincang-Bincang Melulu. Sudah bergabung bersama kita seorang seniman dalam ilmu pengetahuan yang baru saja mematenkan penemuan pertamanya selama sepuluh tahun. Wow! Bukan waktu yang singkat untuk dihabiskan. Tanpa banyak cing-cong, basa-basi tanpa arti lagi, mari kita sambut ilmuwan kita, Krisna!”
PENYIAR
“Selamat malam, Mas Krisna.”
ILMUWAN
“Malam.”
PENYIAR
“Tadi sempat saya singgung ke pendengar sekalian tentang penemuan barunya Mas Krisna ini. Pasti pada penasaran dengan penemuan pertama Mas Krisna ini yang viral di media sosial itu. Boleh diceritakan gak, Mas?”
ILMUWAN
“Hmmm… Ya… Jadi, seperti yang sudah dilihat, ini saya namakan YaTi atau Cahaya Hati. YaTi ini…. Uhm… seperti namanya, bisa bercahaya. Lampu yang bisa… uhmm… menerjemahkan isi hati kita. Ketika disentuh, dia bisa mengeluarkan warna yang menggambarkan keadaan hati kita saat itu.”
PENYIAR
“Wah… Menarik sekali ya YaTi ini. Kira-kira terinspirasi darimana ini Mas sampai kepikiran membuat YaTi ini?”
ILMUWAN
“Ya… Awalnya karena saya bukan orang yang ekspresif. Jadinya… ya… saya cari cara lain buat menunjukkan… anu… perasaan saya.”
PENYIAR
“Seberapa akurat YaTi ini dalam menunjukkan perasaan orang yang menyentuhnya?”
ILMUWAN
“Sampai saat ini… hmm… 65% lah.”
PENYIAR
“Berarti ada kemungkinan menunjukkan perasaan yang salah dong? Bagaimana kalau orang yang dituju itu malah salah sangka? Misal, warnanya merah seperti sedang marah padahal sebenarnya tidak. Itu gimana?”
ILMUWAN
“Makanya masih dalam tahap pengembangan. Begitu.”
PENYIAR
“Menghabiskan sepuluh tahun hanya untuk menunjukkan perasaan? Kenapa tidak langsung bilang saja? Bukankah lebih ringkas dan mudah?”
ILMUWAN
“Hmmm… Memang ringkas, tapi tidak mudah –“
PENYIAR
“ – Kalau diucapkan saja seperti biasa, Mas Krisna gak perlu repot kan menghabiskan sepuluh tahun untuk mengembangkan sesuatu yang belum akurat?”
ILMUWAN
“…Benar kata Mba Diandra. Buat apa? Mudah saja. Marah bilang marah. Suka bilang suka. Seperti kalimat di opening tadi yang bilang ‘dengan begitu banyak bahasa, suatu sapa akan tetap bermakna sama’, harusnya semudah itu. Nyatanya tidak. Kita hidup di tengah masyarakat yang hanya bisa memahami satu bahasa saja. Marah bisa digambarkan dengan berbagai cara, demikian juga dengan rasa suka. Namun kita terbiasa merumuskan satu pemahaman saja sehingga kita tidak bebas untuk berekspresi. Jadi YaTi ini untuk menjawab keresahan itu. Tapi ternyata keakuratannya masih belum sempurna. Tadi Mba Diandra bilang tentang kemungkinan salah paham. Memang jika diungkapkan dengan kata, kita tidak bisa salah paham? Banyak hubungan yang rusak karena salah paham dan YaTi belum ada saat itu. Orang bercerai dan berpisah. Sama saja. Kalau perasaan manusia yang buatan Tuhan saja bisa disalahartikan, apalagi buatan manusia?”
PENYIAR
“Itu bisa menyatakan perasaan Mas Krisna sendiri. Mudah kan?”
ILMUWAN
“Siapa bilang?”
3 notes · View notes
nightingalewinter · 2 years
Text
Hari Pertama - Percakapan di Rumah Sakit
            Seelok-eloknya bangunan sebuah rumah sakit, tidak ada satu pun pengunjungnya yang mau repot-repot bersolek. Mungkin karena kata “rumah” yang tersematkan sehingga pengunjungnya merasa nyaman mengenakan kaos oblong – sekalipun yang sudah bolong-bolong –, celana pendek di atas lutut, dan sandal jepit saat sedang bertandang ke rumah sakit. Sudah lah pakaian seadanya, wajah mereka pun kusut semua. Seolah hukum dunia yang berbunyi “Penampilan adalah yang utama dan segalanya” menjadi terlupakan dan terabaikan. Konsep yang menarik. Ruang publik lainnya harus meniru bagaimana rumah sakit mampu membasmi kelas-kelas sosial sehingga tak ada lagi yang saling membandingkan.
            Tempat ini ramai. Penuh dengan orang berlalu-lalang yang menenteng bungkusan plastik besar berisi selimut dan minum. Belum seramai pasar di pagi hari memang, tapi cukup lah jika mendengar suara sandal yang terus menerus menepuk lantai tiada henti. Sayang sekali, tidak ada musik yang dimainkan. Jika ada, sudah pasti jadi pesta meriah di sini. Oh, tentu harus ada kudapan yang terhidang agar obrolan menjadi semakin renyah, tapi kantinnya sudah tutup semenjak tadi sore. Tidak asik. Pantas saja orang-orangnya saling berdiam, padahal ini kesempatan bagus untuk menaikkan daya tarik rumah sakit sehingga akan banyak rujukan yang masuk. Strategi marketing. Papa suka mengajak ngobrol teman kerjanya lewat ponsel tentang memasarkan suatu cetusan sehingga semakin luas masyarakat dapat merasakan manfaat yang ditawarkan. Ya, rumah sakit ini harus belajar dari Papa kalau mau memiliki strategi marketing yang bagus.
            “Kamu mikir apa?” tanya Kakak lirih.
            Lamunanku yang sudah jauh kemana-mana jadi hilang seketika. Huft, sudahlah. Nanti bisa dilanjut lagi di mobil, jika tidak segera terlelap karena kedua mata ini sudah terlalu berat untuk kuasa kujaga tetap kubuka.
            “Enggak ada, Kak. Sampai berapa lama lagi kita di sini, Kak? Ngantuk…”
            “Sabar ya, Dek. Tunggu Tante Yuli datang. Sebentar lagi kok.” Kakak pun mengelus tempurung kepalaku lembut, Huh, yang ada aku semakin mengantuk.
            Sementara Mama di ruang rawat inap menemani Eyang yang sedang sakit, kami menunggu kedatangan Tante Yuli yang bertugas menggantikan Mama berjaga. Semalaman sudah Mama berada di rumah sakit. Akhir pekan keluarga yang biasanya dihabiskan dengan jalan-jalan dan bermain sepeda terpaksa batal karenanya. Papa sudah menunggu di luar sambil mengisap rokok. Aku dan Kakak memilih menunggu di dalam daripada kena terpa udara malam yang menggigit. Apalagi kalau harus menunggu selama ini. Tante Yuli kan selalu datang terlambat. Jatah makan sisa-sisa pas lebaran saja kadang tidak kebagian saking lamanya sampai ke rumah Eyang. Apalagi kalau diminta berjaga sekarang. Namun apa boleh buat. Mama bilang sudah ada jadwal yang harus ditepati. Selama pengganti belum datang, yang berjaga belum boleh pulang. Bilangnya sih karena takut Eyang kenapa-kenapa.
            “Eyang sakit apa sih, Kak? Pilek?” rungutku yang sudah tak betah menaruh pantat di bantalan kursi yang keras.
            “Bukan… Sudah tua saja…”
            “Tua? Itu nama penyakit?”
            Setahuku sih bukan. Tua itu tingkatan usia tertinggi. Urutannya itu kecil, remaja, dewasa, lalu yang terakhir, tua. Lagipula jika memang itu benar nama penyakit, Eyang sudah lama tua. Dari awal aku berjumpa waktu masih kecil pun Eyang juga sudah tua, tapi anehnya baru sekarang di rawat inap begini.
            Kakak menggeleng, “Eyang… Sudah gak sekuat dulu lagi… Jalan aja susah.”
            “Kira-kira sembuhnya kapan?”
            Melihat kondisi Eyang yang tak berdaya selain menoleh kanan dan kiri, aku ingat bulan lalu waktu terkena demam dan flu ringan. Aku pun juga tak bisa berjalan seperti biasa. Demamku baru bisa turun setelah dibantu obat dan banyak istirahat. Tak lama kemudian, Mama bilang aku sudah sembuh dan bisa ke sekolah lagi. Kalau sudah sembuh, nanti Eyang juga bisa jalan lagi. Habis itu, masak opor ayam dan rendang lagi deh buat natalan. Hmmm… jadi tidak sabar.
            “Ini bukan sakit kayak kamu yang cepat sembuh, Dek. Beda.”
            Heh?! Bagaimana Kakak bisa membaca pikiranku?!
            “Beda gimana, Kak?”
            “Ya lebih lama, Dek. Gak ada yang tahu.”
            “Kenapa bisa lebih lama?”
            “Karena sudah tua!” Kakak memang kadang suka agak berteriak membalas ucapanku atau Mama dan Papa, seperti sekarang ini. Habis itu, Kakak pasti mengurut-urut pelipis dan bilang: “Maaf…” dengan sepasang mata sedikit berkaca-kaca. Eh? Sejak kapan Kakak yang sok jago itu jadi bisa menitikkan air mata begitu?
            “Kalau sudah tua, tubuhmu akan melemah. Pada usia tertentu, kamu akan berhenti bertumbuh tinggi dan berhenti bertambah gigi. Terakhir, semuanya yang – “
            “ – Usia tertentu? Papa dan Mama gimana? Kakak? Aku?”
            “Kamu dan aku masih muda. Papa dan Mama juga masih kuat. Di usia Eyang ini, segala di dalam diri Eyang pasti sudah menjadi rapuh dan ringkih.”
            Aneh. Bukankah seiring usia yang bertambah, semakin banyak juga doa yang didapatkan? Sementara di dalam doa-doa yang biasa diucapkan itu selalu tersemat doa mohon diberikan kesehatan. Eyang pasti banyak mendapatkan ucapan doa serupa, tapi kemudian Kakak bilang kalau usia lah yang menyebabkan Eyang sakit begini. Tidak masuk akal. Ucapan doa yang sudah terkumpulkan itu jadi sia-sia dan tak berguna.
            Kakak mengangkat tanganku dan meletakkannya di atas telapak tangannya. Dengan jemari tangan yang bebas, Kakak menggambar sebuah lingkaran di tas punggung tanganku sembari berkata, “Kita ini hidup dalam sebuah lingkaran. Awalnya kamu akan naik, seperti kamu sekarang. Kamu akan bertambah besar dan pintar sampai kamu mencapai titik puncak seiring dengan bertambahnya usiamu, tapi untuk membentuk sebuah lingkaran, kamu harus turun. Meski usia bertambah, kamu justru akan melemah. Itu lah makanya Eyang harus dituntun kan kalau jalan.”
            Aku memperhatikan lingkaran imaji di atas punggung tanganku dengan seksama. Masih ada yang menjanggal. “Apa yang terjadi saat usia bertambah dan berada di titik terbawah lingkaran?”
            Kakak selalu cepat menjawab. Benar atau tidaknya selalu dipikir belakangan. Kali ini, Kakak terdiam cukup lama. Ketika terlihat kedua belah bibirnya bergerak, terdengar teriakan yang mengalihkan perhatian keheningan rumah sakit yang mulai menusuk. Pria itu mengenakan jubah serba hijau. Lengkap dengan masker dan sarung tangan yang penuh noda merah-merah. Dengan tatapan mata yang berseri, pria itu mengumumkan sesuatu yang tak kumengerti, tapi disambut gembira oleh orang-orang dekatnya. Mereka saling berpelukan dan bersuka cita. Berbeda dengan kebanyakan pengunjung rumah sakit lainnya yang murung dan bermuka kusut, orang-orang ini terlihat bahagia. Seolah-olah pesta sesungguhnya sedang berlangsung penuh gegap gempita. Tanpa musik yang mengiringi atau kudapan yang dihidangkan, sekumpulan orang ini masih dapat bergembira dengan begitu meriah. Pria berjubah itu pun membuka layar ponsel dan memperlihatkan sesuatu untuk disaksikan. Orang-orang yang tadi bersorak langsung diam memperhatikan. Aku turut penasaran dan ikut memasang telinga. Suara tangis bayi lirih terdengar memenuhi ruangan yang sepi. Kemudian terdengar tepukan tangan ramai dari sekian banyak orang yang hadir memenuhi rumah sakit, termasuk Kakak.
            Hanya aku seorang yang belum paham. “Kenapa Kak?”
            “Anaknya baru lahir ke dunia.”
            “Berarti lingkarannya baru dimulai ya?”
            Kakak mengangguk, “Huum… Dia akan memulai dari titik terbawah lingkaran.”
            “Kalau Eyang gimana? Apa Eyang juga akan mulai dari titik terbawah lagi?”
            “Hmmm…” Kakak melipat kedua tangannya. “Iya, sepertinya begitu, tapi bukan di lingkaran yang sama. Eyang akan kembali ke titik terbawah di lingkaran yang baru di dunia yang baru juga.”
            “Dunia seperti apa itu?”
            “Dunia… Dunia yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Pokoknya, lebih baik lah. Coba bayangkan, dunia ini saja sudah mengasyikkan, apalagi dunia baru itu kan?”            
            Aku baru dengar adanya dunia baru itu. Jadi, apakah kita akan terlahir kembali seperti bayi yang baru lahiran tersebut? Aku baru mau bertanya saat Kakak bangkit menyambut Tante Yuli yang baru datang. Antusiasmeku untuk pulang jauh lebih menggebu dan mengubur rasa penasaranku. Nanti di rumah aku akan menceritakan yang Kakak katakan barusan pada Papa dan Mama. Mereka juga harus tahu bahwa ada dunia baru yang akan menanti Eyang untuk memulai lingkaran barunya.
5 notes · View notes